INTEGRASI TASAWUF DAN SAINS.docx Copy

INTEGRASI TASAWUF DAN SAINS
Integrasi dalam Sejarah Islam
Dalam sejarah intelektual Islam Klasik, budaya integrasi keilmuan telah dikenal dan
dikembangkan dengan canggih. Dalam sejarah Islam, ditemukan seorang ahli astronomi, ahli
biologi, ahli matematika, dan ahli arsitektur yang mumpuni dalma bidang ilmu-ilmu keislaman
seperti tauhid, fikih, tafsir, hadis, dan tasawuf. Meskipun berprofesi sebagai saintis dalam bidang
ilmu-ilmu kealaman, para pemikir Muslim klasik menempuh pola hidup sufistik, dan kajiankajian ilmiah mereka diarahkan kepada pencapaian tujuan-tujuan reigius dan spiritual.
Para filsuf dari mazhab Peripatetik merupakan pemikir Muslim yang berhasil
mengintegrasikan filsafat Yunani dengan ajaran Islam yang bersumber kepada Alquran dan
hadis, lantaran tema-tema filsafat Yunani diislamisasikan dan disesuaikan dengan paradigma
Islam. Tidak sebatas integrasi belaka, mereka malah mampu menguasai berbagai disiplin ilmu
yang terdiri dari ilmu-ilmu rasional dan ilmu-ilmu kewahyuan, sehingga integrasi menjadi sangat
mudah dilakukan. Al-Razi (w. 925) adalah ahli dalam bidang filsafat, kimia, matematika, sastra,
dan kedokteran. Al-Ghazali (w. 1111) adalah seorang teolog, filsuf, dan sufi. Umar Khayyam (w.
1131) adalah matematikawan, astronom, dan sufi. Fakhr al-Din al-Razi (w. 1209) dikenal sebagai
ahli filsafat, tasawuf, kedokteran, tafsir, dan fikih. Di antara prestasi besar mereka sebagai
ilmuwan Muslim adalah kemampuan mereka menguasai dan mengintegrasikan ilmu-ilmu
rasional, ilmu-ilmu empirik, dan ilmu-ilmu kewahyuan. Secara keilmuan, mereka menguasai
banyak disiplin ilmu, dan secara personal mereka berperan sebagai saintis Muslim yang berpola
hidup religius dan sufistik.
Selain dari mazhab Peripatetik, sejarah Islam menyebutkan keberadaan para filsuf dari

mazhab Isyraqiyah dan mazhab Hikmah al-Muta’aliyah yang sukses mengitegrasikan ilmu-ilmu
rasional dengan ilmu-ilmu kewahyuan. Di antara mereka adalah Suhrawardi (w. 1191) yang
dikenal ahli filsafat, tasawuf, Zoroastrianisme, dan Platonisme. Baha’ al-Din Amili (w. 1621)
merupakan seorang fakih, ahli hadis, filsuf, matematikawan, dan arsitek.
Dengan demikian, integrasi ilmu dalam Islam bukan hal yang baru. Meskipun mereka
seorang filsuf dan saintis, perilaku hidup mereka merupakan realisasi terhadap teori mereka
mengenai filsfat dan sufisme. Dapat disimpulkan bahwa mereka sukses mengitegrasikan antara
dua jenis ilmu tersebut, dan mengintegrasikan keduanya dengan keyakinan dan perilaku hidup
mereka sehari-hari.
-

Integrasi dalam Ranah Ontologi
Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani, ont yang bermakna keberadaan, dan logos yang
bermakna teori, sedangkan dalam bahasa Latin disebut ontologia, sehingga ontologi bermakna
teori keberadaan sebagaimana ilmu tentang esensi segala sesuatu. Dengan demikian, ontologi
adalah ilmu tentang teori keberadaan, dan istilah ontologi ditujukan kepada pembahasan tentang
objek kajian ilmu.
Berbeda dari saintis Barat sekuler, para filsuf Muslim dan sufi berpendapat bahwa ada
hubungan erat antara alam dengan Allah Swt. Menurut Ibn ‘Arabi (w. 1240), alam diciptakan
Allah Swt. melalui proses tajalli (penampakan diri)-Nya pada alam empiris yang majemuk.


Tajalli Allah Swt. mengambil dua bentuk: tajalli dzati dalam bentuk penciptaan potensi;
dan tajalli syuhudi dalam bentuk penampakan diri dalam citra alam semesta. Teori Ibn ‘Arabi
tentang alam didasari oleh doktrinnya tentang kesatuan wujud (wahdat al-wujud) dan tajalli.
Dari perspektif Ibn ‘Arabi, alam merupakan manifestasi sifat-sifat Allah Swt. dan cermin bagiNya. Saintis Muslim sebagai peneliti alam empirik (terutama dunia mineral, tumbuhan, binatang,
dan manusia) harus menyadari bahwa alam merupakan tanda-tanda keberadaan dan kekuasaanNya, sehingga penelitian terhadap alam diharapkan dapat menumbuhkan dan memperkokoh
keimanan terhadap-Nya, bukan menjauhkan manusia dari-Nya sebagaimana ditemukan dalam
banyak teori ilmuwan-ilmuwan Barat sekular.
-

Integrasi dalam Ranah Epistemologi
Istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani, epistemeyang bermakna pengetahuan,
dan logos yang bermakna ilmuatau eksplanasi, sehingga epistemologi berarti teori pengetahuan.
Epistemologi dimaknai sebagai cabang filsafat yang membahas pengetahuan dan pembenaran,
dan kajian pokok epistemologi adalah makna pengetahuan, dan hal-hal yang dapat diketahui.
Runes menjelaskan bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang menelusuri asal [sumber],
struktur, metode, dan validitas ilmu pengetahuan. Dengan demikian, epistemologi adalah ilmu
tentang cara mendapatkan ilmu.
Kajian-kajian ilmu-ilmu alam mengandalkan metode observasi dan eksperimen yang disebut
dalam epitemologi Islam sebagai metode tajribi, sedangkan kajian tasawuf mengandalkan

metode ‘irfani yang biasa disebut metode tazkiyah al-nafs. Dari perspektif Islam, kesucian jiwa
manusia menjadi syarat utama untuk memperoleh ilmu secara langsung dari sumber asalnya,
yaitu Allah Swt. yang diketahui memiliki sifat al-‘Alim.

-

Integrasi dalam Ranah Aksiologi
Istilah aksiologi berasal dari bahasa Yunani, axios yang bermakna nilai, dan logos yang
berarti teori. Aksiologi bermakna teori nilai, invetigasi terhadap asal, kriteria, dan status
metafisik dari nilai tersebut. Menurut Bunnin dan Yu, aksiologi adalah studi umum tentang nilai
dan penilaian, termasuk makna, karakteristik, dan klasifikasi nilai, serta dasar dan karakter
pertimbangan nilai. Sebab itu, aksiologi disebut dengan teori nilai. Aksiologi juga dimaknai
sebagai studi tentang manfaat akhir dari segala sesuatu. Jadi, aksiologi membahas tentang nilai
kegunaan ilmu, tujuan pencarian dan pengembangan ilmu, kaitan antara penggunaan dan
pengembangan ilmu dengan kaedah moral, serta tanggung jawab sosial ilmuwan. Kajian
aksiologi lebih ditujukan kepada pembahasan manfaat dan kegunaan ilmu, dan etika akademik
ilmuwan.
Dari aspek etika akademik, nilai-nilai luhur tasawus dapat menjadi landasan etis seorang
ilmuwan dalam pengembangan sains dan teknologi. Konsep al-maqamat dan al-ahwal dapat
menjadi semacam etika profesi seorang saintis Muslim, sebagaimana ilmuwan Muslim klasik,

harus menampilkan kehidupan sufistik seperti sikap zuhud, warak, sabar, tawakkal, cinta, fakir,
dan ridha dalam menjalankan kegiatan akademik maupun dalam kehidupan sosialnya. Dengan
demikian, saintis Muslim masa depan dituntut untuk mengail kearifan dalam ajaran tasawuf, dan
dapat menginternalisasikannya dlam kehidupan akademik dan sosialnya.