Metode dan Metodologi Fiqh dalam ekonomi

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………………………………………………………………………1

KATA PENGANTAR…………………………………………………………….2
DAFTAR ISI…………………………………………………………………........1
BAB .I. PENDAHULUAN
a. Latar Belakang…………………………………………………………….3
b. Rumusan Masalah…………………………………………………………4
c. Tujuan Makalah………………………………………………………...…4

BAB .II. PEMBAHASAN
a. Pengertian Metode dan Metodologi………………………………………5
b. Fiqih sebagai suatu Sistem Hukum………………………………………..6
c. Dasar Hukum Islam (Usul-Fiqih)
………………………………………….7
d. Usul Fiqih dan Isu-Isu terkait Kelompok………………………………….9
e. Ekonomi sebagai ilmu pengetahuan social dan deskriptif……………….11
f. Sumber dan metode dalam ekonomi islam………………………………13
BAB .III. PENUTUP
a. Kesimpulan………………………………………………………………17


DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………12

1

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat
dan hidayahnya,sehingga kami dapat menyelesaikan tugas “Fiqh Muamalah Abad
Klasik” yang berjudul “Metode dan Metodologid dalam Fiqh dan Ekonomi
Islam”.
Penyusunan makalah ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak, oleh sebab itu dengan segala ketulusan dan kerendahan hati kami
ingin mengucapkan terima kasih.
Kami sebagai penyusun makalah ini menyadari sepenuhnya bahwa dalam
penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan di
masa yang akan datang.
Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi kami selaku penyusun
dan penulis makalah ini pada khususnya dan bagi pembaca pada umumnya
sebagai referensi tambahan di bidang Fiqh Muamalah Abad Klasik.


Yogyakarta, 25 November 2014

2

BAB I
PENDAHULUAN

a. Latar Belakang
Penelitian ini bertujuan untuk meneliti metode-metode berpikir
(logika) yang digunakan dalam Fiqih dan membahas pengadopsiannya di
dalam ekonimi Islam secara kritis. Pada penelitian ini diasumsikan bahwa
metode-metode yang digunakan dalam Fiqih sebagian besar didesain untuk
menentukan apakah suatu tindakan boleh dilakukan atau tidak. Sedangkan,
ekonomi Islam, merupakan suatu ilmu sosial. Seperti halnya ilmu sosial
lainnya, unit analisis yang tepat untuk ekonomi Islam adalah masyarakat.
Karenanya, metodologi-metodologi Fiqih dan ekonomi Islam berbeda
sebagaimana yang telah diasumsikan, Fiqih berfokus pada aturan-aturan
(hukum Islam). Karenanya Fiqih mengatur apa yang harus atau boleh dan
tidak boleh dilakukan oleh seseorang. Sebaliknya, ekonomi Islam lebih fokus

pada fenomena ekonomi dan dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari
suatu masyarakat ke yang lain. Sedangkan Fiqih khusus mengenai ibadah, dan
aturan-aturan yang ada adalah sesuatu yang bersifat tetap (permanen).
Penelitian

ini

menyimpulkan

bahwa

metode-metode

berpikir

dalam

mengetahui suatu kebenaran dalam Fiqih dan ekonomi Islam tidak selalu
sama. Fiqih memiliki metodologi yang telah dikembangkan dengan baik yaitu
usul-fiqih, sedangkan ekonomi Islam dalam usaha mengetahui suatu

kebenaran harus menggunakan metodologi yang tepat atas sifat sosial dan
deskriptifnya
Pembahasan di dalam penelitian ini dimulai dengan diskusi mengenai
metode dan metodologi. Pada bagian ini dijelaskan mengenai bagaimana

3

pengadopsian standar-standar yang berbeda dalam proses penerimaan
(akseptabilitas) suatu kejadian dapat menghasilkan pendekatan-pendekatan
dan metodologi-metodologi yang berbeda. Pada bagian ini juga dijelaskan
bahwa beberapa ilmu memiliki unit analisis atau objek penelitian yang
berbeda. Sehingga, membuat adanya metode-metode berpikir yang berbeda.
Penelitian ini meneliti metode-metode berpikir di dalam dasar hukum islam
(usul-fiqih) dan membahas pengaplikasiannya dalam ekonomi dan isu-isu
kelompok. Kemudian, di dalam penelitian ini ditegaskan bahwa ekonomi
Islam harus menggunakan metodologi dan metode berpikir yang paling tepat
atas sifat sosial dan deskriptifnya.

b. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan Metode dan Metodologi?

2. Apakah tujuan dari metodologi?
3. Apakah Sumber dan metode dalam ekonomi islam?
4. Mengapa ekonomi Islam harus menggunakan metodologi dan metode

berpikir dalam pengaplikasiannya?

c. Tujuan Makalah
Adapun tujuan dari penyusunan makalah dengan judul “Teori dan Analisis
Produksi” adalah sebagai berikut :
1. Memenuhi salah satu mata kuliah Fiqh Muamalah Abad Klasik
2. Melatih Mahasiswa untuk lebih aktif dalam pencarian bahan-bahan materi
Ekonomi Islam
3. Menambah wawasan dan pengetahuan tentang Metode dan Metodologi
dalam Fiqh dan Ekonomi Islam
4. Memahami secara utuh fungsi dari Fiqh Muamalah Abad Klasik

4

BAB II
PEMBAHASAN


a. Pengertian Metode dan Metodologis
Metode didefinisikan sebagai suatu rangkaian sistematik dan urutan ide
(pemikiran). Hal ini merujuk pada suatu struktur berpikir seperti induksi atau
deduksi atau teknik penelitian atau alat-alat yang digunakan untuk mengumpulkan
data seperti observasi, studi kasus, atau survey. Metode merupakan suatu mode,
prosedur atau cara investigasi berdasarkan suatu rencana yang ditentukan. Metode
mengarahkan kita bagaimana merangkai ide, opini, dan argument untuk
menginvestigasi atau menjelaskan suatu kebenaran. Sedangkan metodologi
merupakan filosofi penelitian. Metodologi menentukan pendekatan yang diambil
oleh peneliti untuk memahami fenomena-fenomena terentu. Metodologi juga
menentukan standar-standar diterimanya suatu kejadian dan menentukan peran
berpikir di dalam investigasi. Metodologi merupakan suatu ilmu mengenai
metode-metode dan pengaplikasiannya pada bidang tertentu. Metodologi
melibatkan ketepatan metode-metode dan teknik-teknik berpikir yang digunakan
di dalam suatu investigasi.
Perbedaan utama antara metodologi Islam dengan metodologi sekuler
adalah pada pengakuan kejadian-kejadian tertentu. Metodologi Islam menjunjung
keutamaan atas pewahyuan dan menerima hal tersebut sebagai suatu
pengetahuan ; sedangkan metodologi sekuler mengakui penggunaan metode

empiris (paham empiris atau empirisme) sebagai yang paling utama. Metodologi
Islam mengakui sedikitnya peran yang dimiliki oleh empirisme, sedangkan
metodologi sekuler sepenuhnya menolak peran pewahyuan dalam mengemukakan
dan menjelaskan suatu kebenaran.
Pemilihan metode dan metodologi oleh peneliti dapat juga dipengaruhi
oleh unit analisis dasar pada suatu penelitian. Setiap ilmu pengetahuan memiliki

5

perbedaan unit analisis dasar. Suatu unit analisis mengartikan apakah suatu
permasalahan penelitian memerlukan dilakukannya penelitian atas bentuk fisik,
hukum, perilaku, individu atau kelompok. Jenis unit analisis nantinya dapat
mempengaruhi pemilihan metode, dan rumusan masalahan penelitian. Sebagai
contoh, bentuk fisik terdiri atas objek-objek yang tidak memiliki kebebasan
berkehendak dan tidak dapat membuat pilihan-pilihan. Bentuk fisik ini diatur oleh
hukum-hukum tertentu yang tidak dapat diubah. Peran dari pemikiran manusia
adalah untuk mengetahui hukum-hukum tersebut melalui observasi, percobaan,
induksi, deduksi, dan metode-metode ilmiah lainnya yang sebagian besar
ditujukan untuk menghasilkan analisis-analisis deskriptif.


b. Fiqih sebagai suatu Sistem Hukum
Secara harfiah fiqih berarti memahami dan memiliki pengetahuan (ilmu)
atas sesuatu. Secara teknis, fiqih merupakan ilmu mengenai peraturan-peraturan
hukum yang berlaku (diterapkan) sebagaimana yang diperoleh dari sumbersumber peraturan tersebut.
Baik Al-Quran maupun Sunnah memberikan tuntunan mengenai apa yang
boleh dan tidak boleh dilakukan oleh seorang Muslim. Peraturan-peraturan dan
regulasi-regulasi mengenai tindakan, perilaku, hak, dan kewajiban seseorang
menjadikannya sebagai subjek dari fiqih. Unit analisis dasar dalam ilmu fiqih
adalah Al-Quran dan Hadist mengenai tindakan, perilaku, hak, dan kewajiban
manusia. Ayat-ayat di dalam Al-Quran yang berisi perintah tersebut diistilahkan
dengan ayat-ayat al-ahkam. Hukum Syariah didefinisikan sebagai suatu
komunikasi dari sang Pemberi Perintah (Allah) mengenai tindakan dan perilaku
mukallaf yang terdiri dari permintaan, pilihan, atau perintah. Mukallaf merupakan
seseorang yang memiliki keseluruhan tanggung jawab atas dirinya (baligh).
Berdasarkan hal tersebut, perilaku seorang Muslim akan berkaitan dengan lima
kategori, yaitu yang bersifat harus (wajib: dilakukan mendapatkan pahala,
ditinggalkan mendapat dosa), saran (sunnah atau mundub: dilakukan mendapat

6


pahala, ditinggalkan tidak apa-apa), boleh dilakukan (mubah: dilakukan tidak apaapa, ditinggalkan tidak apa-apa), kurang baik (makruh: dilakukan tidak apa-apa,
ditinggalkan mendapat pahala), dan larangan (haram: dilakukan mendapat dosa).
Sunnah Nabi adalah mencakup seluruh yang beliau katakan, lakukan, tindakan
implisit yang mana penekanannya lebih kepada sunnah yang boleh dilakukan
(sunnah tashri’iyyah).

c. Dasar Hukum Islam (Usul-Fiqih)
Penyebaran dan perluasan Islam ke daerah-daerah baru mendatangkan isuisu baru yang membutuhkan jawaban. Agar tidak menimbulkan kekacauan
hukum, jawaban-jawaban atas isu tersebut harus diberikan sesuai dengan AlQuran, Sunnah, praktek yang dilakukan oleh para imam (nasab), dan hasil
pemikiran (ra’i). Pada istilah Iqbal “pemikiran hukum sistematis menjadi suatu
kebutuhan absolut”. Meskipun begitu, tetap ada perbedaan-perbedaan yang
muncul. Perbedaan-perbedaan tersebut awalnya bersifat geografis dimana orangorang yang mewarisi tradisi-tradisi (ahli hadist) berasal dari Madinah, sedangkan
para pemikir (ahli ra’i) berpusat di Kufah. Kemudian, masing-masing pihak
memiliki ketua yang mewakilinya, yaitu Imam Malik dari Madinah dan Imam
Abu

Hanifah

dari


Kufah.

Hal

ini

memungkinkan

untuk

mencirikan

ketidaksepakatan antara para pewaris tradisi (ahli hadist) dengan para pemikir
(ahli ra’i) dan kemunculan banyaknya sekolah-sekolah fiqih dengan perbedaanperbedaan metodologi mereka. Hal ini dapat dilihat pada perbedaan standarstandar yang mereka gunakan untuk menentukan penerimaan suatu hadist dan
hadist tunggal khusus (ahad). Mereka juga berbeda dalam hal pemikiran yang
diperbolehkan dalam menentukan persoalan Syariah sejauh isu-isu hukum (fiqih)
diperhatikan. Sehingga hal ini mempengaruhi pemilihan metode-metode mereka.
Pada saat seluruh sekolah setuju dengan analogi (qiyas), mereka memiliki metode
yang berbeda. Imam Shafi’i yang mana adalah orang yang pertama kali mencoba
untuk menjembatani perbedaan di antara kedua metodologi ini tidak dapat


7

membenarkan banyaknya penggunaan prinsip berpikir Hanafi dan khususnya
preferensi pendasaran hukum (istihsan) mereka sebagaimana yang membolehkan
penggunaan pemikiran tanpa adanya batasan. Sehingga metodologi yang
digunakan oleh Imam Syafi’i diidentifikasikan lebih dekat dengan para pewaris
tradisi (ahli hadist). Meskipun begitu, metodologi-metodologi yang diadopsi oleh
seluruh sekolah fiqih memiliki dasar yang serupa. Sekolah-sekolah tersebut
memegang bahwa seluruh pemikiran yang dibuat patuh kepada wahyu. Namun,
tetap ada sejumlah perbedaan.
Metodologi yang selanjutnya dikembangkan melalui usaha-usaha para
perumus hukum Muslim disebut usul fiqih, yang paling memenuhi sifat dan
persyaratan fiqih sebagai sistem hukum. Usul fiqih merepresentasikan suatu
simbiosis antara wahyu dengan pemikiran yang mana pemikiran selalu patuh
kepada wahyu Allah. Peran pemikiran manusia adalah untuk memperluas ajaran
dari Al-Quran dan Sunnah ke dalam isu-isu hukum atau untuk memberikan
jawaban kepada permasalahan-permasalahan hukum Islam yang baru melalui
proses ijtihad. Usul fiqih melibatkan sumber-sumber Syariah, aturan-aturan
interpretasi, dan metode pemikiran. Metode-metode pemikiran ini termasuk
analogi (qiyas), konsensus opini (ijma’), preferensi pendasaran hukum (istihsan),
kepentingan yang belum dijelaskan (maslaha al-mursalah), pembatasan arti
(maksud) (sad al-dharai’), dugaan yang berlanjut (istishab), dan tradisi (‘urf).
Eksistensi ijtihad melalui beragam metode pemikiran tersebut menghasilkan
aturan-aturan hukum Islam yang sangat banyak. Menskipun begitu, banyaknya
aturan tersebut hanya diambil yang berkaitan dengan tindakan dan perilaku
mukallaf.
Oleh karenanya, metode pemikiran yang digunakan di dalam usul fiqih
juga merupakan metode yang berorientasi secara individu. Ijma’ contonya,
didefinisikan sebagai konsensus para perumus hukum Muslim atas masalahmasalah yang berkaitan dengan hukum Islam (hukum syar’i). seluruh masalah
non-hukum seperti masalah yang berkaitan dengan perang, atau masalah yang
melibatkan pengelolaan hubungan antar manusia (tadbir umur ra’yah) dikeluarkan

8

dari lingkup ijma’. Deduksi analogis (qiyas) didefinisikan sebagai perluasan nilai
Syariah dari perihal aslinya (asl) menjadi perihal baru dikarenakan perihal baru
tersebut memiliki sebab (‘illah) yang sama seperti perihal aslinya. Hukum yang
diperluas ke dalam perihal yang baru harus berkaitan dengan perihal-perihal
praktis. Hukum tersebut harus merupakan suatu peraturan yang berlaku yang
berkaitan dengan hukum tersebut. Suatu peraturan tertentu yang tidak termasuk di
dalam lingkup fiqih tidak dapat diperluas ke dalam perihal-perihal baru melalui
qiyas. Istihsan sebagai suatu metode pemikiran bergantung pada qiyas yang
awalnya dikemukakan oleh Sekolah Hanafi dan yang kemudian diadopsi oleh
Sekolah-Sekolah Fiqih lainnya. Istihsan diaplikasikan ke dalam kasus-kasus
dimana suatu keputusan yang diperoleh berdasarkan qiyas akan menghasilkan
kesengsaraan bagi orang-orang. Hasilnya, seorang perumus hukum Muslim akan
mengabaikan qiyas dan menaruh preferensi kepada bukti lainnya yang dapat
menghilangkan kesengsaraan. Maslahah secara harfiah berarti manfaat. Secara
teknis, maslahah mursalah merujuk kepada suatu pemikiran dengan seksama yang
tepat dan sesuai dengan tujuan-tujuan Syariah; melindungi manfaat atau
menghindari kerugian; dan Syariah tidak memberikan indikasi akan pemikiran
tersebut valid atau tidak valid. Saad al-dharai’ didefinisikan sebagai pembatasan
maksud atas tindakan buruk yang mungkin dilakukan jika maksud mengenai
sesuatu hal tidak dihalangi. Berdasarkan metode ini, maksud-maksud itu sendiri
jika diperbolehkan akan dinyatakan dilarang jika hal tersebut mengarah kepada
suatu tindakan buruk atau larangan.

d. Usul Fiqih dan Isu-Isu terkait Kelompok
Usul fiqih sebagai suatu metodologi ditujukan untuk mencapai pernyataanpernyataan normative yang sesuai dengan prinsip-prinsip Al-Quran dan Sunnah.
Aturan-aturan nomatif tersebut dibuat oleh para perumus hukum Islam melalui
proses ijtihad dan mengikat masing-masing dan seluruh anggota masyarakat.
Suatu metode pemikiran yang digunakan secara luas adalah analogi (qiyas) yang

9

hampir diterima secara universal oleh seluruh sekolah-sekolah fiqih. Qiyas atau
pemikiran dedukif merupakan pemikiran dari suatu prinsip. Qiyas memperluas
suatu hukum Al-Quran dan Sunnah ke dalam suatu kasus yang baru yang mana
nantinya memiliki sebab (‘illah) yang sama. Namun, merujuk pada qiyas, iqbal
mengamati: “Sekolah Abu Hanifa cenderung mengabaikan kebebasan kreatif dan
kemungkinan-kemungkinan di dalam kehidupan, dan ingin membangun suatu
sistem hukum yang sempurna secara logis hanya dengan berlandaskan pemikiran.
Kebebasan berpikir dan kemungkinan-kemungkinan di dalam kehidupan lebih
jelas ada di dalam ilmu sosial pada umumnya dan ekonomi pada khususnya
dibandingkan di dalam sistem hukum Islam. Eksistensi sejumlah besar variabel
dan faktor-faktor yang mempengaruhi fenomena ekonomi dan sosial dan
perubahan sifat dasar sosial dan kenyataan-kenyataan ekonomi menghalangi
perumusan hukum-hukum permanen, serupa dengan yang terjadi pada fiqih.
Selain analogi (qiyas) metode usul fiqih lainnya yang kurang tepat
diaplikasikan ke dalam permasalahan kelompok adalah konsensus opini yuridis
(ijma’). Ijma’ berdasarkan opini mayoritas merepresentasikan suatu konsesus
yuridis pada suatu permasalahan hukum (fiqhi). Suatu ijma’ juga mengikat
generasi-generasi selanjutnya. Konsultasi (shura) dapat menjadi metode yang
tepat untuk permasalahan-permasalahan yang mempengaruhi kelompok dan
kolektivitas. Konsultasi merepresentasikan perundingan dan keputusan-keputusan
para ahli di bidang tertentu selain hukum Islam (fiqih). Keputusan-keputusan ini
sebaiknya tidak diaplikasian pada situasi-situasi serupa yang terjadi di kemudian
hari. Pada shura ini, prinsip yang lebih penting adalah pertimbangan kepentingan
publik.
Para perumus hukum Islam yang mengikuti Hanafi dan Shafi’i juga tidak
mengakui sadd al-dharai’ sebagai suatu prinsip yurisprudensi di dalam hukumnya
sendiri.mereka berpendapat bahwa aturan yang diperlukan terkait permasalahanpermasalahan yang ada dapat diperoleh dari pergantian prinsip-prinsip lainnya
seperti qiyas dan istihsan.

10

Metode-metode pemikiran di dalam usul fiqih dapat di definisikan sebagai
pemikiran dari prinsip-prinsip yang telah disebutkan sebelumnya dalam tulisan ini
(Al-Quran dan Sunnah). Metode-metode tersebut membuat suatu perumus hukum
Islam mendapatkan pernyataan normative dan memperluasnya menjadi kasuskasus baru. Metode-metode pemikiran di dalam ilmu ekonomi dapat
dideskripsikan sebagai pemikiran dari pengalaman dan observasi. Metode-metode
pemikiran tersebut menghasilkan hipotesis deskriptif atau asumsi-asumsi yang
menyarankan suatu hubungan tertentu antar variabel-variabel ekonomi atau
menemukan suatu kebenaran ekonomi. Sebagai contoh, metode-metode pemikiran
di dalam fiqih tidak dimaksudkan untuk menemukan atau menjelaskan pengaruhpengaruh harga terhadap perilaku, hukum permintaan dan penawaran atau untuk
member tahu kita bahwa pasar bergerak atas suatu keadaan yang diberikan.
Metode-metode pemikiran ini dapat menjelaskan bahwa apa yang seharusnya
ditawarkan dan apa yang seharusnya diminta atau apa yang sebaiknya dilakukan
atau dihindari oleh seseorang. Sebaliknya, metode-metode pemikiran di dalam
ilmu ekonomi tidak dibuat untuk menentukan tindakan-tindakan atau hal-hal
boleh dilakukan atau tidak boleh.

e. Ekonomi sebagai ilmu pengetahuan sosial dan deskriptif
Teori dan prinsip-prinsip ekonomi merupakan sebuah hipotesis deskriptif
dan asumsi yang menjelaskan realita-realita ekonomi. Sebuah pernyataan
deskriptif

atau

pernyataan

fakta

merupakan

sebuah

pernyataan

yang

mendeskripsikan realita spesifik atau hubungan tertentu antara berbagai variabel.
Mereka didasarkan pada observasi fenomena dan realita ekonomi di masyarakat
tertentu dan asumsi mengenai perilaku ekonomi manusia. Mereka melibatkan
sejumlah besar variabel yang menentang keabadian dan selalu menuntut adanya
penelitian dan pendekatan baru. Misalnya, penelitian yang berdasarkan pada krisis
dan kondisi ekonomi bersifat deskriptif. Hal ini hanya dapat mengungkapkan
karakter disiplin situasional. Ada begitu banyak variabel yang menjadi sulit jika

11

memungkinkan bagi penelitian ekonomi untuk menjadi nilai yang prediktif.
Sebaliknya, peraturan fiqih merupakan sebuah pernyataan yang bersifat normatif.
Pernyataan normatif adalah pernyataan nilai yang mengekspresikan sikap
terhadap apa yang seharusnya. Hal tersebut juga mengekspresikan preferensi dan
tidak berkepentingan untuk mendeskripsikan realita ekonomi atau ilmu
pengetahuan.
Ekonomi merupakan sebuah ilmu pengetahuan sosial. Hal ini karena
ekonomi juga berkaitan dengan isu-isu kebijakan yang mempengaruhi kelompok
atau kolektivitas. Keputusan kebijakan terkait dengan kolektivis melibatkan
sejumlah besar variabel yang menentang keabadian dan selalu meminta perbaikan.
Mereka bukanlah peraturan legal. Peraturan legal tipikalnya dialamatkan pada
seorang individu. Ekonomi dalam hal ini dibangun dengan dasar permanen
apakah tindakan tertentu direkomendasikan (wajib) atau dilarang (haram).
Sementara itu, kebijakan ekonomi bukanlah tentang kewajiban atau larangan.
Namun terutama berdasarkan pada realita-realita faktual dan dimaksudkan untuk
mencapai hasil tertentu. Dengan demikian, kebijakan ekonomi memiliki
perbedaan dari waktu ke waktu dan dari masyarakat satu ke masyarakat lainnya.
Akan tetapi, kebijakan ekonomi Islam harus selalu berupaya untuk mencapai
sasaran-sasaran syariah yaitu asumsi yang berkaitan dengan watak sifat dasar dan
motif manusia sebagaimana yang seharusnya atau tidak seharusnya. Asumsi dan
teori ekonomi tidak dapat dibangun pada perilaku manusia sebagaimana mereka
seharusnya.

Upaya-upaya

demikian

akan

mengasumsikan

ketaatan

dan

internalisasi aturan serta etik fiqih oleh tiap-tiap dan masing-masing individu dari
kelompok tertentu. Masalah dalam asumsi tersebut yakni bahwa individu itu
berbeda satu sama lain sejauh ketaatan dan implementasi fiqihh serta etika
dipertimbangkan. Aturan dan etika fiqih merupakan kekuatan asing yang
menentukan batasan-batasan tertentu pada perilaku manusia. Pengaruh dari
kekuatan asing tersebut berbeda dari individu satu dengan individu lainnya. Oleh
karena itu selalu aman untuk mendasarkan asumsi pada sifat dasar manusia dan
menemukan bagaimana, bukan seorang individu tetapi kelompok mereka akan

12

menunjukkan reaksinya pada konteks ekonomi tertentu. Sebagai contoh, Caliph
Umer (ra) menolak untuk mendistribusi tanah Iraq diantara para tentaranya di atas
tanah tersebut kecuali jika tentara Arab menjadi penghuni tetap lahan tersebut dan
berkemauan untuk berhenti jadi pejuang. Dia menyatakan bahwa berdasarkan
pada sifat dasar manusia, jika seseorang menetap dan menyibukkan diri mereka
dengan lahan yang dimilikinya, maka mereka akan lebih berkemungkinan untuk
melepaskan keinginan jihadnya dan menyebabkan agama akan mengalami
kerugian. Kami tidak lupa bahwa diantara para tentara ada rekan dan pewaris.
Kebijakan ini dibuat dengan referensi pada sifat dasar manusia sebagaimana yang
semestinya dan tidak semestinya. Oleh karena itu dinyatakan bahwa isu mengenai
bagaimana seharusnya sikap sekelompok manusia harus dialamatkan dengan
kebijakan-kebijakan ekonomi. Kebijakan ekonomi Islam harus dirancang dalam
cara yang akan memastikan pemenuhan orang-orang dengan prinsip-prinsip
syariah. Dengan demikian, perbedaan antara ekonomi Islam dan sekuler ada pada
desain dan implementasi kebijakan - kebijakan ekonominya.

f. Sumber dan metode dalam ekonomi Islam
1. Al – Qur’an
Sumber utama pengetahuan ekonomi Islam adalah Al – Qur’an. Begitu
juga dengan kasus-kasus fiqih. Akan tetapi, tidak seperti Fiqih yang berfokus
pada ayat-ayat al - Qur’an yang merundingkan hak atau penetapan kewajiban
pada individu (ayat al-ahkam), ekonomi Islam justru berfokus pada ayat-ayat
yang mengandung pernyataan-pernyataan deskriptif mengenai sifat dasar
manusia. Pernyataan deskriptif serupa dari al-Qur’an terkait dengan fenomena
ekonomi dan ayat-ayat yang berkaitan dengan kelompok atau kolektivis ada
dalam ambisi ekonomi Islam.
2. Sunnah Nabi
Sumber kedua pengetahuan ekonomi Islam yaitu hadis Nabi (pbuh).
Pembagian sunnah menjadi sunnah legal (sunnah tashri’iyyah) dan sunnah

13

tidak legal (sunnah ghayr tashri’iyyah) telah menyajikan pedoman yang
berguna dalam rangka untuk membedakan antara hadis yang menyajikan dasar
bagi aturan fiqih dan hadis yang tidak menyajikan dasar bagi aturan fiqih.
Dalam sunnah non-legal, ada juga peraturan yang berasal dari Nabi (pbuh)
dalam kapasitasnya sebagai imam atau kepala negara seperti alokasi dan
pembiayaan dana public, keputusan yang berkaitan dengan strategi militer dan
perang, penunjukan pejabat-pejabat negara, distribusi barang rampasan, tandatanda perjanjian, dsb dimana aturan-aturan legal tidak dapat menghasilkan
peraturan-peraturan demikian. Jenis sunnah seperti ini tidak memberikan
berbagai hak bagi individu, atau menetapkan kewajiban bagi mereka, kecuali
jika ada dekrit yang efeknya ditimbulkan dari otoritas yang sah menurut
hukum.
Ancaman situasional Nabi (pbuh) dari isu-isu kelompok tertentu tidak
harus dijadikan aturan pasti, kaku dan mutlak yang berlaku di semua waktu dan
semua situasi yang dihadapi. Justru kita harus berfokus pada apa yang ingin
dicapai oleh Nabi. Hadis yang berkaitan dengan kelompok yang bersinggungan
dengan isu-isu ekonomi dan sosio-politik harus dipahami dan dimaksudkan
untuk mencegah kerusakan public tertentu dan untuk mencapai kepentingan
public tertentu. Jiwa dari jenis-jenis hadis tersebut berguna dalam pencegahan
kerusakan public (mafsadah) dan pencapaian kepentingan public yang harus
dikejar. Akan tetapi, sarana yang digunakan untuk mencegah kerusakan umum
atau mencapai kepentingan publik memiliki sifat yang berbeda. Hal ini
berkaitan dengan masalah-masalah kebijakan yang dapat diatasi dengan baik
melalui kepemimpinan yang berkaitan dengan proses-proses konsultasi
(shura).Dengan demikian, dinyatakan bahwa perbedaan harus dibuat antara
keputusan atas pertanyaan-pertanyaan hukum dan keputusan yang dibuat atas
pertanyaan-pertanyaan kebijakan. Keputusan yang berkaitan dengan kelompok
berarti berguna untuk mencapai kepentingan public tertentu (maslahah) dan
untuk mencegah kerusakan-kerusakan tertentu (mafsadah) sebagai konsekuensi
yang tidak perlu dibatasi oleh individu tetapi mempengaruhi kelompok tertentu

14

atau masyarakat sebagai satu kesatuan. Hal ini berkaitan dengan keputusan atas
isu-isu kebijakan dan tidak dimaksudkan untuk menjadi peraturan legal
permanen.
3. Membaca fenomena ekonomi
Qur’an dan Sunnah, sebagaimana yang telah kita bahas, merupakan dua
sumber utama ekonomi Islam. Keduanya juga dapat diklasifikasikan seperti
membaca teks.Sumber lainnya bagi ekonomi Islam yakni membaca fenomena
ekonomi. Dengan melakukan hal tersebut, maka akan memungkinkan para
peneliti untuk meneliti fenomena ekonomi tertentu dan mengungkapkan
hubungan

antar

berbagai

variabel.

Hal

ini

akan

membantu

untuk

mengungkapkan realita yang sebenernya. Sarana untuk membaca fenomena
ekonomi mencakup observasi, pengalaman, alasan induktif, survey, kuisioner,
wawancara, penelitian pasar, metode statistik, penelitian kuantitatif dan
metode-metode lainnya serta teknik-teknik analisis ekonomi yang dibangun
dengan ekonomi konvensional.Ini merupakan jenis ijtihad yang berbeda
dimana pikiran manusia diarahkan dengan pengungkapan-pengungkapan yang
diterapkan untuk studi fenomena ekonomi.
4. Sasaran-sasaran syariah
Ketika sedang mempelajari realita masyarakat ekonomi deskriptif, seorang
ahli ekonomi Muslim harus diarahkan oleh sasaran-sasaran syariah dan
mengajukan kebijakan-kebijakan yang akandigunakan untuk mencapai tujuan
yang diinginkan. Sasaran-sasaran syariah terutama berkaitan dengan hal-hal
yang berorientasi kelompok dan tidak berfokus secara individu dalam rangka
untuk menyajikan landasan intelektual yang berharga bagi pembangunan
pemikiran ekonomi Islam selanjutnya.Salah satu sasaran pokok syariah yakni
pencegahan fasad.Kata fasad yang telah disebutkan hampir lima puluh kali
dalam Al-Qur’an memiliki cakupan makna yang luas. Hal tersebut
menandakan “keadaan yang kacau, penuh gangguan atau kehancuran,
keburukan atau kesia-siaan”.Selain itu juga mengandung arti kejahatan,
korupsi, eksploitasi, kesalahan, dan semua bentuk ketidakbenaran, salah
pengelolaan, anarki dan ketidakteraturan.Fasad merupakan lawan kata dari

15

islah.Islah berasal dari akar kata salaha yang secara harfiah bermakna bagus,
tidak rusak, berada dalam keadaan yang benar atau tepat, atau merupakan
keadaan yang tertata.Islah mengacu pada keadaan keseimbangan dimana
semua hal berada dalam tatanan yang tepat dan seimbang.Ahli hukum Muslim
juga menggunakan kata jahat (sharr) dan rusak (dharar) sebagai sinonim dari
kata mafsadah.Ibnu Ashur menyatakan bahwa sejumlah bukti tekstual telah
menyatakan fakta yang menghilangkan kerusakan (dar al mafasid) dan
pencapaian kebaikan (jalb al masalih) yang merupakan “sasaran Syariah secara
menyeluruh” serta “aturan universal mendasar syariah”. Ahli hukum Muslim
berpendapat bahwa semua ukuran yang mencegah mafsada selalu sejalan
dengan sasaran-sasaran syariah, bahkan jika ukuran tertentu tidak menyajikan
indikasi kevalidannya atau sebaliknya, namun hal tersebut seharusnya tidak
dimaknai sebagai tindakan haram yang diperbolehkan atau sebaliknya.

BAB III

16

PENUTUP

a. Kesimpulan
Metode beralasan dan penelitian dalam dua disiplin tersebut memiliki
perbedaan terkait dengan focus mereka pada dua unit analisis yang berbeda.
Dalam fiqih, subjek masalahnya berupa tindakan, hak dan kewajiban seorang
individu Muslim. Hal tersebut menentukan apakah tindakan tertentu bersifat
wajib atau haram atau antara keduanya secara permanen.Selain itu, fokusnya
juga berlandaskan pada pernyataan normatif Qur’an dan Hadits.Metode dalam
fiqih didesain untuk mengembangkan pernyataan normatif tersebut pada kasuskasus baru. Sebaliknya, ekonomi merupakan ilmu pengetahuan sosial dan
deskriptif. Unit analisis dasarnya adalah sifat manusia, sumber-sumber yang
menakutkan, fenomena ekonomi, dan sejumlah besar orang. Dengan demikian,
pencarian peneliti untuk mengungkapkan kebenaran-kebenaran dalam ekonomi
Islam dan fiqih harus berlandaskan pada dua metode yang berbeda
sebagaimana objek penelitian kedua disiplin yang juga berbeda.
Terkait dengan kebutuhan-kebutuhan hidup praktek sehari-hari yang
termasuk dalam fiqih dan bukan dalam hal ekonomi atau ilmu pengetahuan
social umum, hal tersebut mendapatkan perhatian yang sangat besar dari ahli
hukum Muslim di awal sejarah perkembangan pemikiran keagamaan.Dalam
hal ini, fokusnya ada pada tindakan, hak dan kewajiban seorang Muslim
individu yang pada akhirnya mempengaruhi upaya-upaya ahli hukum Muslim
dalam membangun metodologi fiqih.Usul fiqih memiliki metode yang paling
komprehensif terkait dengan alasan legal.Akan tetapi, beberapa metode
tersebut memiliki analogi tertentu (qiyas), preferensi hukum (istihsan), dan
konsensus pendapat hukum (ijma’) yang tidak cocok dengan karakter social
dan deskriptif dari ekonomi Islam.Di sisi lainnya, kepentingan umum
(maslahah al mursalah) dan pemblokan makna (sad al-dharai) dapat
dimanfaatkan untuk mengarahkan kebijakan-kebijakan ekonomi Islam.

17

Ekonomi Islam harus memberikan perhatian yang besar pada ayat-ayat AlQur’an

yang

mendeskripsikan

sifat

dasar

manusia

dan

fenomena

ekonomi.Selain itu, pernyataan deskriptif Al-Qur’an mengenai kelompokkelompok manusia dan kolektivis menyajikan landasan intelektual yang
berharga bagi pengembangan pemikiran ekonomi Islam. Sunnah non-legal
(sunnah ghoir tashri’iyyah) dan hadis mengenai pasar merupakan sumber
ekonomi Islam yang lainnya. Fokusnya harus berada pada bagaimana cara
untuk mengatasi kerusakan-kerusakan umum tertentu (mafsadah) yang ingin
dicegah oleh hadis. Terkait dengan hal tersebut, dua sumber ekonomi Islam
dapat menerapkan metode beralasan dan analisis yang dibangun oleh ekonomi
konvensional.Hal ini akan membantu ahli ekonomi Muslim untuk mengetahui
kenyataan dan menjelaskan fenomena ekonomi tertentu serta mengungkapkan
hubungan tertentu antara variabel-variabel ekonomi. Pengetahuan mengenai
sasaran syariah merupakan sumber lainnya dalam ekonomi Islam.Sasaransasaran syariah ketika mereka berkaitan dengan kelompok dan pencegahan
kerusakan umum (mafsadah) tertentu serta membela kepentingan umum
(maslahah) merupakan prinsip-prinsip yang menjadi pedoman dalam
perancangan kebijakan ekonomi berorientasi syariah.

DAFTAR PUSTAKA
Dikutip dari penelitian Dr. Muhammad Yusuf Saleem
Departement of Econmics

18