Liberalisme dan Konsolidasi Gerakan Lega

Liberalisme dan Konsolidasi
Gerakan Legalisasi Perkawinan
Homoseksual di Indonesia
Sumber: Indoprogress 18 Januari 2016 (https://indoprogress.com/2016/01/liberalismedan-konsolidasi-gerakan-legalisasi-perkawinan-homoseksual-di-indonesia/)

KETIKA pada Juni 2015 lalu Mahkamah Agung Amerika Serikat membuat keputusan
untuk melegalisasi perkawinan homoseksual di negara tersebut, terjadi euforia di
kalangan aktivis gerakan hak-hak LGBT di Indonesia. Momen ini sempat membuat
keinginan untuk memperjuangkan legalisasi perkawinan homoseksual di negeri kita
berkembang kuat. Namun, semangat itu perlahan meluntur. Banyak kalangan dalam
gerakan hak-hak LGBT sendiri yang menganggap terlalu dini untuk memperjuangkan
legalisasi perkawinan homoseksual di Indonesia. Untuk sekedar terbebas dari
diskriminasi, kekerasan dan bentuk perilaku homophobia lainnya dalam kehidupan
sehari-hari sudah merupakan kesulitan mahabesar, apalagi harus memperjuangkan hak
legal untuk memformalkan perkawinan homoseksual dalam sebuah lembaga
perkawinan.
Dalam pandangan saya, sangat penting untuk (kembali) memikirkan langkah untuk
membangun gerakan khusus ke arah legalisasi perkawinan homoseksual. Satu langkah
penting adalah memperbanyak dan memperkuat argumen bagi legalisasi perkawinan
homoseksual dalam konteks Indonesia.
Banyak yang memahami jika ajaran agama menjadi hambatan paling sulit bagi upaya ini

di Indonesia. Kita tahu, sekedar pengakuan (acknowledgment) terhadap LGBT sebagai
identitas dan sebagai orientasi seksual sudah merupakan kesulitan besar di kalangan
komunitas agama-agama, apalagi jika harus mengakui legalitas perkawinan
homoseksual ini.

1

Meski sulit, banyak upaya untuk mengatasi persoalan terkait ajaran dan penafsiran
agama ini, termasuk di kalangan Islam. Banyak ulama di Indonesia yang telah terlibat
kerja penafsiran ulang terhadap teks-teks Islam –misalnya QS. Al-A’raf: 80-84, Hud:
77-83, Asy-Syu’ara’: 160-175, dan Al-‘Ankabut: 28-35 yang menceritakan kisah Kaum
Luth– yang dinilai mengandung ajaran Islam tentang “homoseksualitas” agar teks-teks
itu lebih mendukung hak-hak komunitas LGBT. Argumen-argumen yang dibangun dari
hasil penafsiran ulang telah berhasil diadopasi menjadi dasar untuk melawan
pandangan jika LGBT adalah pendosa, bertentangan dengan agama, perusak moral,
dan layak “dibinasakan.”
Hasil kerja tafsir agama tentang ayat-ayat yang selama ini dianggap berkaitan dengan
homoseksualitas telah berkontribusi besar pada menguatnya gerakan hak-hak LGBT di
Indonesia. Tidak hanya karena kini kita punya argumen alternatif berbasis teks-teks
keagamaan untuk hak-hak LGBT, kerja reinterpretasi ini juga membuka aliansi lebih kuat

antara kelompok agamawan dengan aktivis dan komunitas LGBT.
Namun, saat dihadapkan pada legalisasi perkawinan homoseksual, argumen-argumen
dari sisi agama tersebut sepertinya belum sepenuhnya bisa diadopsi sebagai dasar
untuk menguatkan gerakan ini. Ditambah pesimisme terhadap kemungkinan legalisasi
perkawinan homoskesual karena hambatan dan tantangannya yang super-kuat, gerakan
LGBT kita akhirnya seakan berhenti pada usaha membangun pengakuan identitas
seksual dan gender dan orientasi seksual tapi enggan untuk sampai pada kerja
kemungkinan menjadikan perkawinan homoseksual diterima secara legal.
Selain itu, banyak yang berpendapat, legalisasi perkawinan homoseksual justru akan
menjadi kerangkeng bagi kebebasan atas dasar gender dan seksualitas di kalangan
LGBT. Lembaga perkawinan dinilai akan menjadi institusi yang akan membuka
ketidakadilan relasi baru di kalangan LGBT. Nyatanya, lembaga perkawinan formal yang
diakui UU Perkawinan di Indonesia selama ini lebih merefleksikan institusi patriarkhal.
Banyak yang berpendapat, legalisasi perkawinan homoseksual bisa menjadi blunder
bagi gerakan hak seksual dan keadilan gender LGBT yang diperuntukan melawan
patriakhisme.

2

Surutnya eforia setelah legalisasi perkawinan sejenis di Amerika tidak terlepas dari

munculnya kesadaran “lokal” yang menganggap formalisasi perkawinan homoseksual
tidak relevan dengan konteks budaya homoseksualitas dan politik LGBT di Indonesia.
Pasangan homoseksualitas di Amerika membutuhkan legalisasi perkawinan karena hal
ini, salah satunya, berkaitan dengan keperluan untuk mendapatkan hak-hak atas
berbagai program jaminan sosial (social security)yang disediakan pemerintah bagi
keluarga di sana. Dalam perspektif multikulturalisme, di mana masing-masing kelompok
masyarakat dipandang memiliki keragaman “budaya” gender dan seksualitas,
formalisasi perkawinan homoseksual –selain deklarasi coming out of the closet dan gay
bar/gay party—dinilai sebagai “westernisasi” atau globalisasi budaya homoseksual
Barat/Amerika (Altman 1996) terhadap “budaya” homokseksualitas Indonesia.
Akibatnya, bisa jadi, akan terjadi homogenisasi budaya homoseksualitas yang
“mematikan” budaya homoseksualitas lokal. Tidak seperti dalam konteks Amerika yang
menjadikan legalisasi perkawinan –plus deklarasi coming out dan life-style ala gay bar–
sebagai indikator bahkan standar “keberdayaan” sebagai LGBT, bagaimana komunitas
homoseksual bisa membangun keluarga heteroseksual bahkan hingga mempunyai
keturunan justru merupakan “khazanah” homosekesual lokal yang khas Indonesia atau
khas Nusantara, yang selama ini menjadi tempat perlindungan sosial-budaya yang
dinilai cukup aman dan nyaman bagi individu LGBT.
Demikian beberapa keberatan atas gerakan legalisasi perkawinan homoseksual di
Indonesia yang berkembang di kalangan gerakan hak-hak LGBT sendiri.

Bagi saya, legalisasi perkawinan homoseksual tetap merupakan agenda penting dalam
gerakan hak-hak LGBT di Indonesia. Saya ingin menggunakan liberalisme yang
memang belum banyak dielaborosi, sebagai argumentasi utama bagi upaya legalisasi
perkawinan homoseksual ini. Dengan argumentasi liberalisme, sekedar penegasan,
tentu saja, tulisan ini bukan ditujukan bagi pembaca yang berada pada level
“mengharamkan” homoseksualitas dan perkawinan sesama jenis; tulisan ini ditujukan
sebagai kontribusi dalam membangun dan memperkuat fondasi pemikiran bagi gerakan
legalisasi perkawinan homoseksual di kalangan aktivis hak-hak LGBT. Argumentasi
liberalisme ini diharapkan bisa mengurangi keraguan atas pentingnya legalisasi

3

perkawinan homoseksual yang juga masih berkembang di banyak kalangan aktivis hakhak LGBT di Indonesia.
Saya mengartikan liberalisme dalam makna yang sederhana sebagai cara pandang dan
pikir(way of thinking) yang menempatkan kebebasan individu sebagai petimbangan
utama dalam membuat pilihan. Dalam liberalisme ini, saya memercayai setiap individu
memiliki kewenangan tidak terbatas untuk membuat pilihan dan keputusan berdasarkan
pertimbangannya. Dengan argumentasi ini, keputusan untuk membangun atau tidak
membangun lembaga perkawinan formal diserahkan sepenuhnya pada keputusan dan
pilihan individu LGBT.

Jika percaya pada liberalisme sebagai kebebasan individual yang mutlak ini,
konsekuensinya, kita seharusnya juga aktif membuat upaya agar kebebasan individual
tersebut bisa terpenuhi. Dalam konteks perkawinan homoseksual, kita perlu
mengupayakan agar setiap indvidu terbebas dari rasa takut pada saat membuat
keputusan dan pilihannya. Dalam kepercayaan liberalisme ini, kita juga dituntut untuk
melakukan banyak upaya bagi terbangunnya pilihan alternatif yang beragam. Artinya,
bagaimana kita percaya pada liberalisme sebagai kebebasan individual dalam membuat
pilihan sementara kita tidak berkenan membuat upaya agar indvidu-indvidu tersebut
punya banyak pilihan alternatif? Pengakuan legal perkawinan homoseksual atas dasar
liberalisme ditujukan sebagai bagian dari upaya membangun situasi sosial dan politik
yang bisa menjamin individu LGBT yang memiliki pilihan untuk memformalisasi
hubungannya dalam lembaga perkawinan terbebas dari rasa takut. Atas dasar
liberalisme, legalisasi ini juga bertujuan untuk menyediakan pilihan alternatif yang lebih
beragam bagi individu LGBT terkait relasi intimnya.
Liberalisme percaya pada kebebasan individu untuk membuat pilihan dan keputusan;
karenanya, yang juga penting bagi mereka yang percaya liberalisme adalah pluralism,
yang saya artikan di sini sebagai pandagang atas keragaman pilihan. Liberalisme dan
pluralisme seharusnya menjadi sepasang pandangan tidak terpisahkan. Dalam
liberalisme, kita percaya adanya banyak pilihan yang bisa dibuat secara merdeka dan
karenanya perlu dihormati dan tidak justru menjadi bahan “teror.” Liberalisme percaya

pada pluralisme; artinya, kita seharusnya tidak hanya percaya pada kebebasan invidual,

4

namun juga sangat penting untuk membangun upaya dan gerakan yang membuat
individu-individu itu memiliki alternatif-alternatif pilihan yang beragam. Di sinilah,
liberalisme dan pluralisme penting dielaborasi dalam gerakan legalisasi perkawinan
homoseksual, yaitu sebagai dasar bagi upaya untuk memberikan pilihan alternatif bagi
setiap individu yang memiliki keinginan untuk memilih untuk hidup dalam institusi
perkawinan “formal.” Dengan liberalisme plus pluralisme sebagai dasar legalisasi
perkawinan homoseksual, dan kepercayaan pada individu sebagai subyek otonom
dalam membuat keputusan, seharusnya kita tidak melakukan penyeragaman makna
perkawinan melulu sebagai sebuah pelembagaan opresi gender dan seksualitas.
Percaya pada kebebasan individual, namun tidak berusaha melakukan berbagai upaya
agar kebebasan individual itu bisa “terealisasi” bisa disebut merupakan langkah
“setengah hati.”
Apakah liberalisme bisa berkembang saat individu “menyerahkan diri” pada sebuah
institusi sosial-politik, terutama ketika institusi tersebut selama ini dipandang sebagai
institusi opresif, seperti institusi perkawinan, seperti kritik anti-lembaga perkawinan?
Antropolog Saba Mahmood (2005) telah menunjukkan lewat etnografinya tentang

kelompok perempuan masjid (women of the mosque movement) di Mesir, ekspresi
kebebasan individual, bisa berkembang dalam situasi di mana individu
terlibat (engaged) dalam sebuah institusi yang dikategorikan opresif, seperti gerakan
fundamentalisme agama. Mahmood memperlihatkan, bagaiman perempuan masjid
menggunakan kegiatan pengajian merupakan kesadaran dan respon kritis mereka
terhadap sekularisasi dan westernisasi, terutama yang dikampanyekan negara. Yang
lebih kontekstual dengan kondisi Indonesia adalah penelitian Rachel Rinaldo (2010),
bagaimana perempuan-perempuan di institusi dan organisasi perempuan yang berbedabeda: Fatayat NU, Rahima, Solidaritas Perempuan, dan Partai Keadilan Sejahtera,
mempunyai kemampuan untuk menunjukan ekspresi dan artikulasi yang berbeda atas
“kesadaran feminisme” yang mereka percaya.
Mahmood dan Rinaldo menegaskan, liberalisme atau dalam bentuknya yang lebih
praktis sebagai kemampuan agentif untuk mengarungi pengalaman mengekspresikan
“kedirian”(subjectivity) terkait identitas gender dan seksualitas tidak selalu dan melulu

5

bersumber pada “filsafat” liberalisme Barat. Pandangan ini sangat penting untuk
mengkritisi cara pandang poskolonial yang menyatakan Barat sebagai satu-satunya “the
land of freedom.” Karenanya, dalam isu gender dan seksualitas, masyarakat non-Barat,
seperti Indonesia, selalu membutuhkan Barat dan segala gagasan kebebasannya untuk

menyelamatkan mereka yang teropresi secara gender dan seksualitas. Ini yang sering
menjadi legitimasi kolonialisme di masa lalu atau “perang melawan terorisme” saat ini
(Abu-Lughod 2002); perang melawan terorisme dengan segala bentuk kekerasannya
menjadi legitimate karena Barat hanya sedang menjalankan misi mengirim “white men
saving brown women from brown men” (Spivak 1994). Ketika akhirnya kita menemukan
“kesadaran lokal tentang kebebasan” di masyarakat non-Barat, kita tetap akan mencari
asosiasinya dengan gagasan dan gerakan kebebeasan di Barat. Kita perlu memahami,
ekspresi liberalisme bisa dalam bentuk yang sangat beragam, sesuai konteks budaya
dan politik. Karena cara berpikir yang terlanjur “natural” (taken for granted)menilai
liberalisme Barat sebagai satu-satunya sumber dan model (ideal) kebebasan (freedom),
khususnya di kalangan “modernis,” kita mengabaikan kemungkinan berkembangnya
pengalaman-pengalaman yang dinamis –termasuk pengalaman yang disadari sebagai
perlawanan atas opresi—pada indvidu yang memilih hidup di lingkungan atau lembaga
yang didominasi opresi.
Kita terjebak untuk memahami liberalisme hanya bisa diartikulasikan dalam situasi yang
kita nilai sebagai ruang kebebasan (space of freedom) atau ruang demokrasi. Bisa
dikatakan, satu sisi, pandangan ini justru berseberangan dengan filsafat liberalisme
karena di dalamnya tersirat pandangan manusia sebagai melulu obyek yang tidak punya
otonomi: otonomi manusia tergantung pada atau ditentukan oleh situasi tertentu, yaitu
situasi yang memang memberinya kebebasan. Akibatnya, di sisi lain, kita mengalami

kesulitan untuk memahami kemungkinan liberalisme bisa juga tumbuh dalam ruang
opresi atau ruang konservatif, seperti gerakan Islam fundamentalis atau lembaga
perkawinan. Dalam ungkapan Rinaldo, kita perlu memahami, sebagaimana konsep
otoritas diri atau self-agency atau kemampuan untuk berekspresi secara merdeka tidak
melulu atas dasar pandangan progresif, self-agency dalam konteks kepatuhan
beragama dan sosial juga tidak selalu berarti “kemandekan” atau ketertundukan.

6

Kita perlu memahami bagaimana liberalisme sebagai filsafat dan pandangan hidup
diekspresikan dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk yang tidak tunggal. Kita perlu
mengakui, selain suara perlawan keras di ruang publik, keputusan sadar untuk
menentukan sebuah pilihan secara bebas dan merdeka meski tanpa “suara” merupakan
suatu bentuk ekspresi liberalisme.
Dengan memahami liberalisme dan atau bentuk praktisnya dalam self-agency tidak
dalam dualisme progresif-regresif/konservatif, kita akan dapat memahami jika
pengalaman dalam lembaga perkawinan tidak selalu berarti ketertundukan pada
patriarkhi. Pelembagaan perkawinan sebagai ekspresi identitas, seharusnya menjadi
sebuah lembaga di mana setiap individu bisa bebas dari rasa takut dan terbebas dari
segala intervensi yang membuatnya punya ketakutakutan, kekhawatiran, dan

keengganan saat harus memilih menerima atau menolak institusionalisasi relasi
intimnya. Banyak elemen gerakan hak-hak seksual yang menerapkan standar
kebebasan (freedom) dan keberdayaan (empowerment) hanya pada individu atau
komunitas yang (berani) menolak pelembagaan perkawinan dan tidak memberikan
pilihan bebas pada mereka yang atas dasar kesadaran personal dan politiknya memilih
untuk menerima pelembagaan perkawinan ini.
Argumentasi ini juga relevan untuk merespon pandangan yang menilai legalisasi
perkawinan homoseksual sekedar agenda homogenisasi budaya homoseksual dan
politik LGBT. Atas dasar liberalisme, kita percaya, setiap indvidu mempunyai kesadaran
dan kemampuan agentif untuk membuat pilihan merdeka termasuk pada sebuah situasi
yang dianggap orang lain sebagai “ketertundakan” pada budaya dominan dan
hegemonik. Dengan liberalisme, kita juga percaya pada pengalaman indvidu sebagai
pengalaman yang dinamis dan kompleks yang membuat kita tidak mudah memaknai
sebuah pengalaman manusia secara tunggal.
Ditambah, apakah kita sama sekali tidak memiliki budaya seksualitas dalam bentuk
perkawinan homoseksual, sehingga legalisasi perkawinan melulu merupakan imitasi
budaya dan politik homoseksual ala Amerika/Barat? Dan, lalu, apakah upaya legalisasi
perkawinan homoseksual ini terlalu dini bagi LGBT di Indonesia?

7


Budaya merupakan proses sejarah yang kontekstual, baik konteks tempat maupun
waktu. Legalisasi perkawinan homoseksual tidak menjadi agenda politik gerakan LGBT
dan tidak menjadi “budaya homoseksual” di Indonesia, menurut saya, salah satunya,
tidak terlepas dari penerimaan sosial terhadap individu LGBT. Di masa lalu, kita bisa
melihat bagaimana indvidu transgender, sebagai kelompok gender non-normatif, bisa
hidup aman dan nyaman di masyarakat. Kita tidak banyak menemukan kasus serangan
terhadap indvidu atau komunitas LGBT. Selain itu juga karena kemungkinan bagi
seorang gay dan lesbian untuk tetap bisa membangun institusi perkawinan, meski
perkawinan heteroseksual, membuat individu LGBT yang memiliki keinginan atau
mendapat tekanan sosial untuk menikah punya jalan “moderat” yang membuat mereka
tidak harus melakukan gerakan politik dalam bentuk gerakan legalisasi perkawinan.
Konteks saat ini jauh berbeda. Fundamentalisme agama dan konservatisme budaya
menguat; bahkan fomalisasi syariat Islam menjadikan kriminanalisasi terhadap LGBT
diakui legitimate secara hukum, seperti kita lihat dalam kasus di Aceh. Politik gender dan
seksualitas yang dilakukan negara, termasuk lewat UU Perkawinan 1974 yang hanya
mengakui perkawinan heteroseksual semakin memberi efek kuat untuk mengontrol dan
merespresi komunitas LGBT, khususnya dalam isu perkawinan. Situasi terakhir inilah
yang membuat gerakan legalisasi perkawinan homoseksual, salah satunya, sebagai
suatu langkah menuntut perlindungan negara terhadap hak atas perkawinan legal bagi
komunitas LGBT.
Kita juga punya pengalaman, meski sedikit yang berani melakukan (secara terbuka),
terkait perkawinan homoseksual. Di tahun 1981, pasangan lesbian Jossie dan Bonnie
melangsungkan pernikahan, dihadiri lebih dari 100 orang. Dua kasus terakhir yang
disinyalir merupakan perkawinan homoseksual juga menjadi berita cukup heboh, yaitu
kasus di Ubud, Bali yang melibatkan warga Amerika Serikat dan warga Indonesia
(Kompas, 16/9/2015) dan di Boyolali, Jawa Tengah yang melibatkan Ratu Airin dan
Dumani (Kompas, 11/10/2015). Bahkan, kini sudah ada “professional wedding planner”
yang menawarkan paket pernikahan homoseksual di Bali. Dua kasus terakhir berujung
pada cerita yang tidak begitu jelas, apakah ini merupakan prosesi perkawinan
homosekual atau kegiatan lain. Tidak begitu jelasnya dua kasus terakhir sebagai
(resepsi) perkawinan homoseksual, termasuk dibantah sendiri oleh pihak yang

8

melakukannya, bisa menjadi indikasi, bahkan sekedar untuk membuat acara yang
punya konotasi atau asosiasi dengan perkawinan homoseksual sudah sangat tidak
aman dari kontrol negara dan masyarakat. Sementara, penyangkalan baik oleh
pemerintah maupun masyarakat setempat terhadap dua kasus terakhir menunjukkan
jika pernikahan homoseksual masih dipandang sebagai aib yang mengotori “kesucian”
norma sosial-budaya, di satu sisi, dan “kekuatan politik” yang bisa mempengaruhi atau
membahayakan tatanan sosial-budaya, di sisi lain. Para tokoh itu perlu menutupinya
rapat-rapat atau merepresinya kuat-kuat. Meski demikian, kita tetap bisa melihat
perkawinan homoseksual bukan sesuatu yang asing sama sekali dalam konteks
masyarakat kita; perkawinan homoseksual bukan melulu hasil intervensi budaya
homoseksual atau politik LGBT ala Barat.
Kita menonjolkan situasi sulit yang masih dihadapi gerakan hak-hak LGBT sebagai
alasan menilai gerakan legalisasi perkawinan homoseksual sebagai upaya terlalu dini.
Menurut saya, penilaian ini tidak terlepas dari cara pandang dualistik: the oppressor and
the oppressed, sang penindas dan si tertindas, saat melihat situasi dan kondisi yang
dihadapi komunitas dan individu LGBT. Kita terjebak untuk menilai situasi saat
komunitas dan individu LGBT menghadapi berbagai bentuk kesulitan melulu sebagai
pihak teropresi bisu yang pasrah yang tidak memiliki kemampuan dan tidak punya
kemungkinan-kemungkinan lain yang beragam untuk mengekpresikan
kedirian (subjectivity) secara merdeka dan dinamis. Tentu saja, pandangan kritis atas
pandangan dualistik ini juga bukan dalam rangka menutup mata atas situasi sulit terkait
homophobia dan pengabaian hak-hak LGBT.
Melihat kasus-kasus (upaya) perkawinan homoseksual yang pernah ada, menilai
legalisasi perkawinan homoseksual sebagai gerakan yang terlalu dini merupakan
pandanganunderestimate. Dalam situasi tidak memiliki pilihan bebas dan aman, kita
bisa menemukan beberapa kasus yang menunjukkan keberanian pasangan
homoseksual untuk (berusaha) meresmikan hubungannya dalam suatu lembaga
perkawinan.
Atas nama liberalisme seperti dipaparkan di atas, yaitu tentang menyediakan pilihan dan
alternatif yang beragam, konsolidasi gerakan legalisasi dibutuhkan agar mereka yang

9

memiliki niat untuk meresmikan hubungan homoskesualnya dalam lembaga perkawinan
benar-benar akan punya pilihan yang sah menurut hukum formal. Yang juga penting,
proses ke arah legalisasi sebagai upaya menyediakan pilihan perlu dibarengi upaya
agar negara bisa memberikan perlindungan hukum dan politik terhadap mereka yang
memutuskan untuk melakukan pelembagaan perkawinan homoseksual.
Semoga pemikiran dalam tulisan ini bisa benar-benar berkontribusi pada upaya
penguatan gerakan hak-hak LGBT, khususnya terkait hak atas lembaga perkawinan
yang legal di negeri kita. Setidaknya, saya berharap, kita akan kembali bersemangat,
minimal, untuk membuka lagi pembicaraan dan diskusi intensif terkait legalisasi
perkawinan homoseksual ini.***

Kepustakaan:
Abu-Lughod, Lila. 2002. Do Muslim Women Really Need Saving? Anthropological
Reflection on Cultural Relativism and Its Others. American Anthropologist 104 (3), pp.
783-790.
Altman, Dennis. 1996. Rupture or Continuity? The Internationalization of Gay
Identities.Social Text 48 14(3): 77-94.
Mahmood, Saba. 2005. Politics of Piety: The Islamic Revival and the Feminist Subject.
Princeton: Princeton University Press.
Rinaldo, Rachel. 2013. Mobilizing Piety: Islam and Feminism in Indonesia. Oxford:
Oxford University Press.
Spivak, Gayatri Chakravorty. 1994. Can the Subultern Speak? In Colonial Discourse and
Post-Colonial Theory: A Reader. Patrick William and Laura Chrisman, eds. New York:
Columbia University Press, pp. 66-111.

10