TUGAS MANAJEMEN PERPAJAKAN SINTA AYU LES

TUGAS

MANAJEMEN PERPAJAKAN

SINTA AYU LESTARI
B1C1 11 017

JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS HALU OLEO

TAX PLANNING
PPh PASAL 21/26
I
PENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG
Pajak merupakan salah satu alat bagi pemerintah dalam mencapai tujuan Negara untuk mendapatkan penerimaan baik
yang bersifat langsung maupun tidak langsung dari masyarakat ,guna membiayai pengeluaran rutin serta
pembangunan social dan ekonomi masyarakat.Pertimbangan dalam pemungutan pajak pada prinsipnya harus
memperhatikan keadilan dan keabsahan dalam pelaksanaannya Untuk memenuhi tuntutan keadilan dan keabsahan

tersebut,perlu diperhatikan asas-asas atau prinsip pemungutan pajak yang baik dan benar .Meskipun asas atau prinsip
menyatakan bahwa jumlah pajak yang dipungut hendaklah memadai untuk menjalankan roda pemerintahan ,tetapi
hendaknya dalam implementasinya tetap harus diperhatikan bahwa jumlah pajak yang dipungut jangan sampai
terlalu tinggi sehingga dapat menghambat pertumbuhan ekonomi.Dengan demikian diperlukan adanya suatu
kebijakan pemerintah untuk mempengaruhi produksi masyarakat ,kesempatan kerja dan inflasi,disamping itu juga
untuk menentukan siapa-siapa yang berhak dan tidak berhak dikenakan pajak guna mewujudkan kelangsungan dan
peningkatan pembangunan nasional
Upaya untuk melaksanakan kewajiban perpajakan harus dibarengi dengan langkah-langkah manajemen
perpajakan yang baik. Manajemen perpajakan merupakan upaya sistemtis yang meliputi perencanaan.
Pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian dibidang

perpajakan untuk mencapai penemuan kewajiban

perpajakan yang minimum. Jadi manajemen perpajakan merupakan upaya untuk mengimpletasikan fungsi menajemen
agar dapat dicapai efektivitas dan efisiensi melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan.
Sedangkan perencanaan perpajakan atau tax planning merupakan tahap awal untuk melakukan analisasi secara
sitematis berbagai alternatif perlakuan perpajakan dengan tujuan untuk mencapai pemenuhan kewajiban perpajakan
minimum. Perencanaan pajak (tax planning) adalah untuk meminimumkan kewajiban pajak, salah satunya dengan
merekayasa agar beban pajak (tax burden) serendah mungkin, misalnya dengan memperbesar biaya-biaya yang boleh
dikurangkan dari penghasilan (deduction) sehingga penghasilan kena pajak menurun atau memanfaatkan hal-hal yang

belum diatur dalam peraturan perpajakan namun tidak melanggar peraturan perpajakan yang ada. Tidak ada yang
salah dengan melakukan perencanaan unutk menghindari pajak asalkan menggunakan metode yang legal.

Untuk dapat melakukan penghematan terhadap pajak, terutama Pajak Penghasilan (PPh) perorangan dan badan
dapat dilakukan dengan perencanaan pajak pada biaya-biaya yang berkaitan dengan kesejahteraan bagi karyawan,
salah satunya adalah pada pemberian penghasilan kepada karyawan. Ada tiga metode yang dapat digunakan untuk
melakukan pemungutan terhadap PPh Pasal 21 yaitu: Metode Net, Metode Gross, dan Metode Gross Up.
Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan jasa dan kegiatan yang dilakukan wajib pajak orang pribadi
subjek pajak dalam negeri, yang selanjutnya disebut PPh Pasal 21, adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah,
honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain, dengan nama dan dalam bentuk apa pun sehubungan dengan pekerjaan
atau jabatan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi subjek pajak dalam negeri, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Bila penerima penghasilan tersebut adalah WPOP sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN), maka akan
dikenai PPh Pasal 21, sedangkan bila penerima penghasilan adalah orang pribadi dengan status sebagai Subjek Pajak
Luar Negeri (SPLN) selain Bentuk Usaha Tetap (BUT), akan dikenai PPh Pasal 26.

1.2 MASALAH
1.Dari ketiga metode yang dapat digunakan untuk melakukan pemungutan PPh 21 manakah metode yang baik?

II


PEMBAHASAN

2.1 REVIEW PPh PASAL 21
PPh pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji,upah,honorarium,tunjangan dan pembayaran lain dengan
nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan,jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh
orang pribadi.Subjek pajak dalam negeri,sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

1.

Pemotong PPh Pasal 21
Yang termasuk pemotong pajak PPh Pasal 21 adalah:

1.

Pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan, baik merupakan pusat maupun cabang

2.

Bendahara atau pemegang kas pemerintah


3.

Dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain

4.

Orang pribadi yang melakukan kegitan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar:

a.

Honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa dan/atau kegiatan yang dilakukan o
status Subjek Pajak dalam negeri, termasuk juga tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk
bukan untuk dan atas nama persekutuannya;

b.

Honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan dan jasa yang dilakukan oleh o
subjek pajak luar negeri;


c.

Honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan, dan magang

5.

Penyelenggara kegiatan

Yang tidak termasuk sebagai pemeberi kerja yang mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan PPh Pasal 21 a
1.

Kantor perwakilan negara asing

2.

Organisasi-organisasi internasional yang telah diterapkan oleh Menteri Keuangan

3.

Pemberi kerja orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang semata-mata mem


untuk melakukan pekerjaan rumah tangga atau pekerjaan bukan dalam rangka melakukan kegiatan usaha atau pekerjaa
2. Dasar Hukum

Ada pun dasar hukum pengenaan PPh Pasal 21 yang mulai berlaku umum tahun 2009 adalah:
1.

Peraturan Pemerintah Nomor 149 Tahun 2000 tentangPemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasila
Uang Tebusan Pensiun Dan Tunjangan Hari Tua Atau Jaminan Hari Tua

2.

Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 541/KMK.04/2000 sebagaimana telah beberapa ka

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 184/PMK.03/2007 tentang Penentuan Tanggal Jatuh

Penyeroran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran, Penyetoran dan Pelapor
Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak.
3.


UU No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata

4.

UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh)

5.

PMK No. 250/PMK.03/2008 tentang Besarnya Biaya Jabatan atau biaya Biaya Pensiun yang Dapat Dikurangk
Pegawai Tetap atau Pensiun.

6.

PMK No. 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan De
Kegiatan Orang Pribadi.

7.

PMK. No. 254/PMK.03/2008 tentang Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan Dari Pega
serta Pegawai Tetap Lainnya yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan.


8.

PER-Dirjen Pajak Nomor: 31/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelapora

21 Dan/Atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi, yang
PER-Dirjen Pajak Nomor: 57/PJ/2009.
9.

PP No. 68 Tahun 2009 Pasal 4 tentang Tarif Pajak PPh Pasal 21 Atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon
Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus

10. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2010 Tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan P

Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua yang dibayarkan secara s

11. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 162/PMK.011/2012 tentang Penyesuaian Besarnya Pen
12. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-31/PJ/2012 tentang Pedoman Teknis Tata Cara
Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan
Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.

2.2 Review PPh 26

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah PPh yang dikenakan/dipotong atas penghasilan yang bersumber dari
Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP) luar negeri selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.
Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan.
Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia, adalah Negara tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak luar negeri yang
sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan tersebut (beneficial owner).
3. Subjek Potongan PPh Pasal 21/26

Subjek pajak yang dipotong PPh Pasal 21 atau Pasal 26, atau disebut subjek pemotongan adalah orang pribadi yang m
penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jabatan, jasa atau kegitan, yang meliputi:
1. Pegawai;

2. Penerima uang pesangon, pensuin atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua, te

3. Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, a
meliputi:

a. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, kons

aktuaris;

b. Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutrad
peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya;
c. Olahragawan;
d. Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
e. Pengarang, peneliti, dan penerjemah;

f. Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk tekhnik komputer dan sistem aplikasinya, telekomunika
ekonomi, dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan;
g. Agen iklan;
h. Pengawas dan pengelola proyek;
i. Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara;
j. Petugas penjaja barang dagangan;

k. Petugas dinas luar asuransi;
l. Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenisnya;

4. Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya da
lain meliputi:


a. Peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olehraga, seni, ketangkasan, ilmu pe
perlombaan lainnya;
b. Peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja;
c. Peserta atau keanggotaan dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu;
d. Peserta pendidikan, pelatihan, dan magang;
e. Peserta kegiatan lainnya.

4. Objek PPh Pasal 21
Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan atau PPh Pasal 26, adalah:

1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang bersifat terat

penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun secara teratur berupa uang pensiun atau penghas

2. Penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan sehubungan dengan pens

sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, dan pemba

3. Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan,
yang dibayarkan secara bulanan;

4. Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan sejenis dengan
apapun, sebagai imbalan sehubungan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan;

5. Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat, honorarium,
dengan nama dan dalam bentuk apa pun, dan imbalan sejenis dengan nama apa pun;

6. Penerimaan dalam bentuk natura dan atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang
a. bukan Wajib Pajak;
b. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final (deemed tax); atau

c. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit).

5.Non Objek PPh Pasal 21
Yang tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPPh Pasal 21 adalah:
1. Pembayaran menfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan, kecelakaan, jiwa,dwiguna,

2. Penerimaan dalam bentuk natura atau kenikmatan (benefit in kind) kecuali natura atau kenikmatan yang di

Pajak, atau diberikan oleh WP yang dikenakan PPh final atau dikenakan PPh berdasarkan Norma Perhitunga

3. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh menteri keuang
tua kepada badan penyelenggara jamsostek yang dibayar oleh pemberi kerja.
4. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau

atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia yang diterim
berhak dari lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.
5. Beasiswa, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf I UU PPh 2008.

Sesuai dengan PMK No.246/PMK.03/2008, penghasilan berupa beasiswa yang diterima atau diperoleh

beasiswa dalam rangka mengikuti pendidikan di dalam negeri pada tingkat pendidikan dasar, pendidikan m

tinggi, di kecualikan dari objek PPh, sepanjang penerima beasiswa tidak mempunyai hubungan istimewa d
direktur, atau pengurus dari wajib pajak pemberi beasiswa
6. Kenikmatan berupa pajak yang ditangguang oleh pemberi kerja.

“Pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja” adalah pajak terutang atas penghasilan keryawan tetap y

dibayarkan oleh pemberi pemberi kerja, sehingga termasuk kenikmatan. Pajak yang ditanggung oleh pem
pemberian tunjangan pajak.

2.2Kebijakan/Metode Pemotongan PPh Pasal 21
Dilihat dari siapa yang menenggung beban, maka kebijakan atau metode pemotongan PPh Pasal 21 dapat dipilih

1. PPh Pasal 21 ditanggung oleh karyawan (potong gaji)

Metode ini lazimnya disebut Metode Gross. Dalam hal ini jumlah PPh Pasal 21 yang terutang akan
ditanggung oleh karyawan itu sendiri, sehingga benar-benar mengurangi penghasilan. Istilah yang sering
digunakan adalah bahwa PPh Pasal 21 dipotong oleh perusahaan.
2. PPh Pasal 21 ditanggung perusahaan (ditanggung)
Metode ini lazimnya disebut Metode Net. Dalam hal ini, jumlah PPh Pasal 21 yang terutang akan
ditanggung oleh perusahaan yang bersangkutan. Dengan demikian, gaji yang diterima oleh karyawan
tersebut tidak dikurangi dengan PPh Pasal 21 karena perusahaanlah yang menanggung biaya/beban PPh
Pasal 21. Perhitungan PPh Pasal 21 tersebut dilakukan dengan cara gross up. PPh Pasal 21 yang ditanggung
perusahaan tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan, karena tidak termasuk
sebagai faktor penambahan pendapatan dalam SPT PPh Pasal 21.
3. PPh Pasal 21 diberikan dalam bentuk tunjangan (ditunjangi)
Metode ini lazim disebut Metode Gross Up. Jika PPh Pasal 21 diberikan dalam bentuk tunjangan, maka
jumlah tunjangan tersebut akan menambah beban penghasilan keryawan dan dikenai PPh Pasal 21. Dalam
hal ini perhitungan PPh dilakukan dengan cara gross up di mana besarnya tunjangan pajak sama dengan
jumlah PPh Pasal 21 terutang untuk masing-masing karyawan.
Sepintas lalu kebijakan PPh Pasal 21 jenis ini terlihat memberatkan perusahaan, karena penghasilan
karyawan akan bertambah besar sebagai akibat dari penambahan tunjangan pajak. Namun beban perusahaan
tersebut akan tereleminasi, karena PPh Pasal 21-nya dapat dibiayakan.
Di samping memberi tunjangan PPh Pasal 21 yang besarnya sama dengan PPh terutang untuk masingmasing karyawan (metode gross up), perusahaan juga bisa memberikan tunjangan PPh Pasal 21 yang
besarnya berbeda dengan PPh terutang.
Dalam hal besarnya PPh Pasal 21 yang terutang lebih besar daripada tunjangan PPh Pasal 21, maka
kekurangannya bisa ditanggung karyawan (dipotong) atau ditanggung perusahaan. Jika kekurangannya
ditanggung oleh perusahaan, maka perlakuan perpajakannya menjadi non deductible expenses

2.3 Terapan Tax Planning Terkait dengan PPh Pasal 21
Klausal pajak dalam perjanjian/kontrak kerja

Dalam beberapa kasus timbul konflik dalam bisnis, dimana kewajiban pemotongan PPh Pasal 21 atau Pasal
26 yang dilakukan dari penghasilan orang pribadi penerima penghasialn, sewaktu dilaksanakan
pemotongannya pihak, yang dipotong pajak tidak menerima sehingga terjadinya dispate.
Secara normatif undang-undang perpajakan telah mewajibkan perusahaan pemilik proyek atau pemberi
kerja melaksanakan pemungutan atau pemotongan PPh Pasal 21 dari pihak ketiga, sedangkan pihak pembri
jasa (kontraktor) tidak bersedia dipotong pajaknya dengan alasan pada saat perjanjian atau kontrak kerja
disepakati, masalah pajak tidak dibahas sehingga mereka bersikukuh bahwa harga kontrak yang disepakati
sudah tidak dipotong pajak lagi (net)! Secara hukum, alasan pihak kontraktor memiliki justifikasi hukum yang
kuat, sehingga bila pada akhirnya pemilik proyek atau pemb pemilik proyek eri kerja harus menanggung
pajaknya, tentu ini menjadi tambahan beban yang seharusnya tidak perlu terjadi. Tambahan beban bagi
pemilik proyek atau pemberi kerja tersebut adalah jumlah yang signifikan yang akan mengerus keuntungan
perusahaan.
sebelum kontrak kerja ditandatangani harus pastikan:


Pembuatan kalusal pajak dalam peerjanjian atau kontrak kerja, yang
mensyaratkan pejak terutang harus dihitung berdasarkan nilai kontrak (di luar
harga pokok barang), yakni dikenakan dari nlai bruto kontrak, dan untuk PPh
Pasal 21 atau Pasal 26, pemberi kerja wajib memotong dari pembayarannya.



Kalusal pajak eksplisit menyatakan siapa yang harus menaggung PPh Pasal
21/Pasal 26, sehingga pajak yang terutang dan pemotongannya didasarkan pada
klausal tersebut.

Apabila perusahaan pemilik proyek tidak memotong PPh Pasal 21, dan transaksi ini ditemukan oleh fiskus pada saat
pemeriksaan pajak,maka perusahaan akan dikenai kewajiban membeyar PPh Pasal 21yang terutang, ditambah denda
keterlambatan penyetoran sebesar 2%sebulan dari pokok pajak.
Dari kasus ini jelas bahwa tax planning memerlukan dukungan dari beberapa divisi dalam perusahaan pemilik
proyek atau pemberi kerja, antara lain divisi pengadaan atau logistik, divisi SDM, dan divisi hukum. Untuk
menghindari timbulnya kerugian di kemudian hari di luar anggaran yang direncanakan, semua divisi yang terkait
harus mempertimbangkan aspek perpajakan atau klausal perjanjian atau kontrak kerja yang hendak dibuat seperti
beban pajak yang teruatang dan siapa yang akan menaggung pajaknya.
Pajak ditanggung pemberi kerja atau tunjangan pajak secara Gross-up?

Seringkali di dalam kontrak kerja ditemukan klausal yang menyatakan bahwa nilai kontrak sudah “net”, tidak
termasuk pajak, atau “pajak ditanggung perusahaan/pemberi kerja.” Istilah tersebut sebaiknya digunakan secara
hati-hati, karena akan berdampak pada pemotongan pajak dan pmebebanan biaya di PPh Badan.

 Tidak termasuk pajak, artinya pajak akan menjadi beban pemberi kerja, atau ditanggung oleh perusahaan atau p

mengkakibatkan PPh yang ditanggung perusahaan atau pemberi kerja tidak dapat dibayarkan di SPT PP
expense)

 Agar PPh yang ditanggung oleh pemberi kerja dapat dibiayakan,maka penghitungan PPh harus menggunakan m

penghitungan gross up tersebut dimasukkan ke dalam nilai kontrak (termasuk invoice dan faktur pajak)atau m
pihak yang memperoleh penghasilan.Dengan kata lain diberikan “tunjangan pajak sebesar PPh yang terutang “

III
PENUTUP

3.1 .KESIMPULAN
Menyusun perencanaan pajak sesuai dengan kondisi perusahan dimulai dengan strategi mengefisiensikan beban
pajak ( penghematan pajak ).Selain itu apa yang dilakukan perusahaan harus bersifat legal (tax avoidance ) supaya
terhindar dari sanksi pajak dikemudian hari..Jadi metode yang baik bagi perusahaan untuk memugut PPh 21
menurut saya adalah Metode Gross Up karena dapat upaya penghematan pajak dalam mengefisiensikan beban
pajak terutang,penghasilan kena pajak yang lebih rendah,dan PPh badan yang lebih efisien.
Penggunaan metode gross up adalah untuk memuaskan dan meningkatkan motivasi karyawan.Dengan
menggunakan metode ini karyawan akan merasa puas karena PPh pasal 21 ditanggung seluruhnya oleh
perusahaan.Dengan demikian karyawan merasa lebih diperhatikan.Meningkatnya motivasi dan kepuasan karyawan
akan meningkatkan produktivitas mereka.Semua metode ini diperbolehkan di Undang-Undang dan peraturan

perpajakan.Jadi tinggal pilih mau menggunakan metode mana yang paling efisien bagi perusahaan dan
menguntungkan karyawan

3.2 SARAN
Agar perencanaan pajak sesuai dengan yang diharapkan ,perusahaan perlu melakukan analisis terhadap metodemetode dan kebijakan-kebijakan yang akan digunakan,serta membuat strategi agar efisiensi beban pajak dapat
tercapai.