SMART CITY RASIONALITAS MASYARAKAT DALAM MENANGANI ANAK JALANAN DI KOTA SURAKARTA

Smart City: Rasionalitas Masyarakat Kota Surakarta dalam Menangani Anak Jalanan
(Studi Fenomenologi Anak Jalanan di Kota Surakarta)
Adriana Sharadhea Ningtyas PH, Debby Angga Kumara, Novi Ariyanti, Nur Puji Astuti,
Resdyatama Lantri
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Sebelas Maret

ABSTRAK
Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui apakah masyarakat Kota Surakarta
termasuk dalam masyarakat smart city dalam menangani masalah anak jalanan, dilihat
dari konsep rasionalitas weber. Indikator masyarakat smart adalah bertindak
menggunakan rasionalitas instrumental sebagai cara untuk memecahkan masalah.
Kajian ini disusun berdasarkan penelitian kualitatif dengan pendekatan Fenomenologi.
Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan Teknik purposive sampling. Analisis
data berdasarkan rasionalitas instrumental milik Max Weber. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa masyarakat Kota Surakarta sedang mengalami proses menuju
Smart City, dari beberapa temuan tindakan rasionalitas masyarakat cenderung
bervariasi namun sebagian besar sudah berupa rasionalitas instrumental. Dalam hal ini
rasionalitas instrumental tidak selalu menjadi solusi dalam penanganan anak jalanan,
pemberian uang yang dilakukan masyarakat kepada anak jalanan bukan merukapan
solusi untuk mengatasi permasalahan.

Kata Kunci : Smart City, Rasionalitas, Anak Jalanan, Masyarakat
Pendahuluan
Anak jalanan merupakan masalah sosial yang menjadi fenomena menarik
sekaligus ironis dalam kehidupan bermasyarakat. Anak jalanan dapat dijumpai
berbagai titik pusat keramaian di kota , seperti di pasar, terminal, stasiun, traffic light,
pusat pertokoan, dan sebagainya. Ada berbagai macam aktivitas anak jalanan antara
lain mengamen, mengemis, mengasong, kuli, loper koran, pembersih mobil, dan
sebagainya. Meskipun ada pula sekumpulan anak yang hanya berkeliaran atau

berkumpul tanpa tujuan di jalanan (Suyanto, 2010). Fenomena anak jalanan
merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan kota-kota besar di
Indonesia, termasuk juga di Kota Surakarta. Setiawan (2007: 32) mengungkapkan
bahwa “Anak jalanan sudah menjadi bagian dari komunitas kota, dan telah menyatu
dengan kehidupan jalanan di sebagian besar daerah perkotaan Indonesia”. Maka dari
itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana rasionalitas masyarakat
dalam menangani anak jalanan sebagai upaya pembuktian kesiapan smart city di Kota
Surakarta.
Menurut Kalida (2003). Terdapat tiga faktor penyebab anak turun ke jalan
yaitu, ekonomi, masalah keluarga, dan pengaruh teman. Kesulitan ekonomi dalam
keluarga atau kemiskinan merupakan faktor utama yang selama ini dijadikan alasan

seorang anak terjun menjadi anak jalanan.
Menurut berita online portal Antara Jateng News, Mensos merincikan terdapat
4,1 juta anak terlantar, diantaranya terdapat 5.900 anak yang jadi korban perdagangan
manusia, 3.600 anak bermasalah dengan hukum, 1,2 juta balita terlantar dan 34.000
anak jalanan. Jumlah anak jalanan Kota Surakarta tahun 2010 sampai dengan tahun
2015 menurut LSK Bina Bakat, mengalami penurunan meskipun tidak diketahui
secara pasti jumlah keseluruhan anak jalanan di Kota Surakarta. Berdasarkan data dari
PPAP Seroja jumlah anak jalanan di Kota Surakarta mencapai 103 anak pada tahun
2010, jumlah tersebut hanya sebagian kecil yang berhasil di jangkau. Dan menurut
penelitian yang dilakukan oleh Fedri (2014) sejak tahun 2006 hingga 2014 di Kota
Surakarta tercatat masih terdapat anak jalanan dalam jumlah yang cukup tinggi yakni
1200 anak. Dari data tersebut menunjukkan bahwa anak jalanan merupakan masalah
yang serius di Kota Surakarta. Suasana kehidupan di jalan yang keras penuh
persaingan, ancaman, eksploitasi dan tindak kekerasan tentu sangat tidak
menguntungkan bagi perkembangan jiwa, moral, emosional dan sosial anak.
Dalam melihat smart city menggunakan rasionalitas masyarakat dalam
menangani masalah sosial perkotaan seperti anak jalanan di Kota Surakarta. Surakarta
dapat dikatakan sebagai smart city atau kota yang cerdas apabila masyarakat
melakukan tindakan atau aksi yang dilakukan setiap warga kotanya baik dari
masyarakat maupun dari pemerintah lebih cenderung pada tindakan rasionalitas

instrumental, seperti yang dikatakan Max Weber dimana rasionalitas instrumental

cenderung menggunakan pemikiran yang masuk akal dengan tujuan-tujuan yang jelas
dan menggunakan alat atau instrumen untuk membantu mencapai tujuan yang
dikehendaki. Sehingga dalam penelitian ini, peneliti menjelaskan bagaimana
rasionalitas masyarakat Kota Surakarta dalam menangani permasalahan anak jalanan.
Metodologi
Wilayah penelitian kami yaitu berlokasi di lima Kecamatan di Kota Surakarta dengan
waktu penelitian dari bulan Oktober hingga bulan November 2017. Penelitian ini
menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi, dimana
pendekatan fenomenologi merupakan kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak
dalam kehidupan sehari-hari. Fenomena sosial tersebut mengenai bagaimana rasionalitas
masyarakat Kota Surakarta dalam menyikapi anak jalanan sebagai permasalahan perkotaan.
Peneliti mengumpulkan informasi secara lengkap dengan menggunakan prosedur
pengumpulan data berdasarkan waktu yang telah ditentukan. Adapun teknik pengumpulan
data yang digunakan oleh peneliti yaitu teknik observasi, wawancara, dan studi dokumentasi.
Penelitian ini menggunakan teknik pengambilan sampel purposive. Sample Purposive
yaitu melakukan pemilihan siapa subjek yang ada dalam posisi terbaik untuk memberikan
informasi yang dibutuhkan. Sampel purposive yang diambil dalam penelitian ini yaitu
Pemerintah Kota Surakarta dalam hal ini Dinas Sosial Kota Surakarta dan Satuan Polisi

Pamong Praja Kota Surakarta, Lembaga Swadaya Masyarakat yang berkonsentrasi pada anak
jalanan dalam hal ini LSK Bina Bakat dan LPPAP Seroja, juga Masyarakat Kota Surakarta
yang terdiri dari tenaga pendidik, wartawan, juru parkir, petugas keamanan, dan masyarakat
biasa. Teknik penarikan sampel yang digunakan ini cenderung memilih informan yang
dianggap tahu dan mengerti mengenai rumusan masalah yang akan kami cari, dan dapat
dipercaya menjadi sumber data yang tepat. Adapun sumber data primer dalam penelitian ini
data diperoleh peneliti langsung dari lokasi penelitian dan hasil wawancara mengenai
rasionalitas Pemerintah Kota, Lembaga Swadaya Masyarakat dan Masyarakat Kota Surakarta
terhadap permasalahan anak jalanan. Sedangkan, sumber data sekunder dalam penelitian ini
diperoleh dari buku, jurnal, penelitian terdahulu, dan artikel yang membahas mengenai anak
jalanan.
Peneliti menggunakan analisis data menggunakanTeori Tindakan Sosial dengan
konsep Rasionalitas yang dikemukakan oleh Max Weber. Dalam hal ini, peneliti juga

membuat reduksi data dengan melakukan abstraksi terhadap informasi-informasi yang
didapat dengan mengambil dan mencatat poin-poin penting yang bermanfaat juga sesuai
dengan konteks penelitian atau mengabaikan kata-kata atau informasi yang kurang diperlukan
sehingga didapatkan inti kalimatnya namun tetap sesuai dengan bahasa informan. Dalam
melakukan validitas data, peneliti menggunakan trianggulasi data dimana penguji kredibilitas
ini diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara, dan

berbagai waktu yaitu trianggulasi sumber. Kami membandingkan data-data yang diperoleh
dari ketiga kelompok sampel yang telah kami tentukan dan kemudian kami lakukan analisis
data menggunakan Teori Tindakan Sosial dengan konsep rasionalitas yang dikemukakan Max
Weber hingga diperoleh data yang valid.
Anak Jalanan di Kota Surakarta
Menurut Departemen Sosial RI (2005), Anak jalanan adalah anak yang menghabiskan
sebagian besar waktunya untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari di jalanan, baik untuk
mencari nafkah atau berkeliaran di jalan dan tempat-tempat umum lainnya. Anak jalanan
mempunyai ciri-ciri, berusia antara 5 sampai dengan 18 tahun, melakukan kegiatan atau
berkeliaran di jalanan, penampilannya kebanyakan kusam dan pakaian tidak terurus,
mobilitasnya tinggi.
Menurut Suyanto (2010) anak jalanan adalah anak-anak yang tersisih, marjinal, dan
teralienasi dari perlakuan kasih sayang karena kebanyakan dalam usia yang relatif dini sudah
harus berhadapan dengan lingkungan kota yang keras dan bahkan sangat tidak bersahabat.
Sedangkan Sugeng Rahayu (dalam Dwi Astutik, 2005) berpendapat bahwa anak jalanan
adalah anak-anak yang berusia dibawah 21 tahun yang berada di jalanan untuk mencari
nafkah dengan berbagai cara (tidak termasuk pengemis, gelandangan, bekerja di toko atau
kios).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa anak jalanan merupakan anak yang berusia 5 sampai
dengan 18 tahun yang menggunakan sebagian besar waktunya di jalan atau tempat-tempat

umum lainnya baik untuk mencari nafkah maupun berkeliaran. Dalam mencari nafkah, ada
beberapa anak yang rela melakukan kegiatan mencari nafkah di jalanan dengan kesadaran
sendiri, namun banyak pula anak-anak yang dipaksa untuk bekerja di jalan.

Menurut Departemen Sosial (dalam Dwi Astutik, 2005), “karakteristik anak jalanan
meliputi ciriciri fisik dan psikis”. Ciri-ciri fisik antara lain: warna kulit kusam, rambut
kemerahmerahan, kebanyakan berbadan kurus, dan pakaian tidak terurus. Sedangkan ciriciri
psikis antara lain: mobilitas tinggi, acuh tak acuh, penuh curiga, sangat sensitif, berwatak
keras, kreatif, semangat hidup tinggi, berani menanggung resiko, dan mandiri. Lebih lanjut
dijelaskan indikator anak jalanan antara lain:




Usia berkisar antara 6 sampai dengan 18 tahun.
Waktu yang dihabiskan di jalanan lebih dari 4 jam setiap hari.
Tempat anak jalanan sering dijumpai di pasar, terminal bus, stasiun kereta
api, tamantaman kota, daerah lokalisasi PSK, perempatan jalan raya, pusat
perbelanjaan atau mall, kendaraan umum (pengamen), dan tempat




pembuangan sampah.
Aktifitas anak jalanan yaitu; menyemir sepatu, mengasong, menjadi calo,
menjajakan koran atau majalah, mengelap mobil, mencuci kendaraan,
menjadi pemulung, pengamen, menjadi kuli angkut, menyewakan payung,



menjadi penghubung atau penjual jasa.
Sumber dana dalam melakukan kegiatan: modal sendiri, modal kelompok,



modal majikan/patron, stimulan/bantuan.
Permasalahan: korban eksploitasi seks, rawan kecelakaan lalu lintas,
ditangkap petugas, konflik dengan anak lain, terlibat tindakan kriminal,




ditolak masyarakat lingkungannya.
Kebutuhan anak jalanan: aman dalam keluarga, kasih sayang, bantuan
usaha, pendidikan bimbingan ketrampilan, gizi dan kesehatan, hubungan
harmonis dengan orangtua, keluarga dan masyarakat.

Menurut Satpol PP saat ini Kota Surakarta sudah bebas dari PPGOT, hal ini
dikarenakan sudah ada praktik-praktik monitoring di setiap sudut kota, seperti yang
diungkapkan oleh Pak Lancer selaku sekretaris Satpol PP Kota Surakarta:
“Kalau sudah zero ya udah gak ada lah, mungkin kemarin masih ada ya tapi
gamungkin naik.” (W/SatpolPP/3/11/2017).
Keberadaan anak jalanan di Solo dirasakan masyarakat semakin menurun. Seperti
yang diungkapkan oleh beberapa informan sebagai berikut:
“Saya rasa agak menurun. Karena dulu kan kalau tiap perempatan banyak.”
(W/Suwarno/31/10/2017)

“Itu masih, tapi yaa nggak terlalu banyak.” (W/Bowo/25/10/2017)
“sekarang jarang ya mba.” (W/Rahmi/30/11/2017).
“ini berkurang mba.” (W/Wahyu/3/11/2017).
“Sesekali masih, cuman udah gak sebanyak dulu.” (W/Rosyid/4/11/2017).
Penurunan jumlah anak jalanan terjadi setelah Surakarta dijadikan percontohan

pembangunan Kota Layak Anak pada tahun 2003.
“….terutama sejak ada KLA. Sejak ada itu kelihatan, kelihatan yang ada
dijalanan kelihatan sudah berkurang banyak.” (W/Rosyid/4/11/2017).
Adapula yang merasakan keberadaan anak jalanan di Solo semakin sedikit sesaat
setelah Joko Widodo yang sebelumnya merupakan Walikota Surakarta menjabat sebagai
Gubernur DKI Jakarta.
“Ya ini belum lama pas pak jokowi mau pindah kejakarta itu ya sekitar tahun
2015 itu udah mulai, dulu anak punk kan banyak sekarang udah gak ada.”
(W/Fani/26/10/2017).
Keberadaan dan Faktor Pendorong Anak Jalanan
Keberadaan anak jalanan terkadang sulit untuk ditemukan karena mobilitasnya yang
tinggi dan cenderung nomaden berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Ada
beberapa titik yang menjadi pusat kegiatan anak jalanan, terutama di obyek-obyek vital. Anak
jalanan yang berasal dari luar daerah biasanya melakukan aktifitasnya di dalam bus-bus antar
kota, berpindah dari bis satu ke bis lainnya. Sehingga jalur lintas antar kota dan terminal
menjadi sentral kegiatan anak-anak jalanan, seperti yang diungkapkan oleh beberapa
informan sebagai berikut:
“Ya kamu kalo mau liat di depan tirto kan ada taman kamu disitu pelan-pelan
nongkrong disitu rombongan lah gitu nongkrong nantikan kamu bisa liat ini
penumpang ini bukan, biasanya bawak gitar kecil kamu nimbrung tanya ginigini.”(W/Kenthut/26/10/2017).


“Tapi masih ada, terutama di apa di jalur lintas kayak ya yang disekitaran
terminal daerah Gilingan itu masih, Jongke ya pokoknya daerah daerah yang
di lintasi lintas kota lah.” (W/Rosyid/4/11/17).
Anak jalanan terutama pengemis di Kota Surakarta banyak beraktivitas pada hari
Jumat terutama di Masjid Agung, karena hari Jumat merupakan hari yang paling baik untuk
bersedekah dalam umat muslim. Seperti wawancara salah satu narasumber sebagai berikut:
“Iya kan kalo dalam Islam bersedekah yang paling baik di hari Jumat
nahhh.” (W/Wahyu/3/11/2017).
“Orang ngamen kalau hari jumat mah banyak Di depan masjid Agung itu
banyak.” (W/Samidi/1/11/2017).
Tak jarang kita temui anak-anak yang mengemis dari rumah ke rumah bahkan adapula
anak-anak yang melakukan tindak kriminal seperti mencopet, mencuri bahkan merampok
hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang mereka rasa kurang. Tetapi banyak
diantara mereka yang masih bisa berfikir dengan jernih dan mencari pekerjaan halal seperti
menyemir sepatu, menjual koran maupun mengamen.
Selain di tempat-tempat tersebut anak jalanan juga bisa kita temui di tempat-tempat
strategis dan banyak dilalui oleh masyrakat seperti; daerah Mojosongo, Pucangsawit, daerah
Gilingan, daerah Jongke, perempatan Dokter Oen, Panggungrejo atau di perempatanperempatan jalan, dibalaikota, dijalanan slamet riyadi, lampu merah Manahan, warung
makan, perempatan- perempatan jalan besar, maupun di pasar-pasar.

Menurut Suyanto (2010), munculnya anak jalanan memiliki penyebab yang tidak
tunggal. Munculnya fenomena anak jalanan tersebut disebabkan oleh dua hal yaitu :
1. Problema sosiologis: karena faktor keluarga yang tidak kondusif bagi
perkembangan si anak, misalnya orang tua yang kurang perhatian kepada
anak-anaknya, tidak ada kasih sayang dalam keluarga, diacuhkan dan banyak
tekanan dalam keluarga serta pengaruh teman.
2. Problema ekonomi, karena faktor kemiskinan anak terpaksa memikul beban
ekonomi keluarga yang seharusnya menjadi tanggung jawab orang tua.
Dalam temuan data kami dilapangan tidak hanya faktor ekonomi yang melandasi
seorang anak untuk menjadi anak jalanan, tetapi juga berbagai faktor internal keluarga

seperti keluarga yang broken home maupun faktor eksternal keluarga seperti faktor
pergaulan dan pengaruh lingkungan.
“Karna yang menyebabkan seperti itu bisa beberapa faktor itu tadi faktor
keluarga, ada juga faktor ekonomi, lingkungan, hp, temen, pengaruh global.
Kalo

disini

paling

banyak

faktor

hp

sama

lingkungan….”(W/Suhartini/27/10/17).
“Karena faktor ekonomi juga kedua karena orangtua, mungkin mereka di
keluarga dia perhatian sama orangtuanya kurang, sehingga dia mencari
perhatian di luar.” (W/Fitri/31/10/17).
Anak jalanan terkadang melakukan tindakan menyimpang, seperti mencuri,
merampok, tawuran, minum-minuman keras. Di Kota Surakarta, anak jalanan terkadang
melakukan perilaku menyimpang dengan cara membuat goresan pada kendaraan para
pengguna jalan yang tidak memberikan uang kepadanya, seperti yang diungkapkan oleh
beberapa informan sebagai berikut:
“Oh iya dlu kalo ga dikasih kadang mbaretke mobil.” ”(W/Jumiati/1/11/2017)
“Ya itu kalau orang gak ngasih, motornya digarit.” (W/Samidi/1/11/2017)
Uang hasil dari mengamen, maupun meminta-minta mereka kadang menggunakannya
untuk perilaku menyimpang seperti mabuk, seperti yang diungkapkan oleh beberapa
informan sebagai berikut:
“….kalo mereka udah punya uang ya mabuk.” (W/Wahyu/3/11/2017)
Anak jalanan juga sering melakukan tindak pencurian pada tempat ramai seperti di
Pasar Klewer sebelum kebakaran, seperti yang diungkapkan salah satu informan sebagai
berikut:
“Sering, orang belanja kan gatau rubung-rubung dari belakang bawa silet.
Sering, sering kejadian.”(W/Jumiati/1/11/2017)
Perilaku-perilaku menyimpang tersebut membuat stigma negatif masyarakat terhadap
anak jalanan. Hal itu membuat anak jalanan semakin terpinggirkan. Masyarakat merasa
terganggu, resah dan risih akan kehadiran anak jalanan. Ada juga masyarakat yang

menganggap anak jalanan menjual rasa belas kasih sebagai cara untuk mendapatkan uang dan
juga tidak sedikit pula masyarakat yang memberikan uang karena rasa belas kasih.

Penanganan Anak Jalanan untuk Mewujudkan Surakarta sebagai Smart City
Smart City merupakan sebuah kota yang terdepan di dalam perekonomian, sumber
daya manusia, pemerintahan, mobilitas, lingkungan, dan kehidupan masyarakat, yang mana
keseluruhan dibangun secara cerdas, independen dan memiliki kesadaran dari masyarakatnya
(Giffinger, 2007).
Dalam mewujudkan smart city dibutuhkan peran aktif baik dari masyarakat dan
pemerintah. Membangun smart city berarti membuat kota terasa nyaman untuk ditinggali
oleh masyarakat dan mampu untuk menghadapi masalah-masalah perkotaan dengan efektif
dan efisien.
Kota Surakarta saat ini masih dihadapkan persoalan anak jalanan, walaupun pada
tahun 2017 mendapatkan predikat utama sebagai Kota Layak Anak (KLA), keberadaan anak
jalanan masih bisa dijumpai di sudut-sudut kota. Masalah anak jalanan merupakan masalah
kesejahteraan yang serius di perkotaan. Anak yang seharusnya menempuh pendidikan formal
memilih untuk bekerja di jalanan sebagai pengamen, pengemis dsb. Mereka hadir karena
ketidakmampuan dalam menghadapi tantangan kehidupan di perkotaan.
Penanganan anak jalanan membutuhan peran dari berbagai elemen baik dari
pemerintah maupun dari masyarakat. Di Kota Surakarta terdapat Dinas Sosial, Satpol PP,
LSM Seroja, LSK Bina Bakat dan juga masyarakat yang saling berkaitan dalam penanganan
anak jalanan. Dinas Sosial hadir sebagai instansi pemerintah yang mempunyai tanggung
jawab dalam menangani masalah sosial termasuk anak jalanan di Kota Surakarta. Dalam
praktiknya Dinas Sosial bekerjasama dengan Satpol PP selaku penegak Perda sekaligus
penjaga ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. Selain itu LSM PPAP Seroja dan
LSK Bina Bakat juga hadir sebagai bagian dari masyarakat yang membantu mengatasi
masalah anak jalanan di Kota Surakarta.
Elemen-elemen tersebut mempunyai strategi tersendiri dalam menangani anak
jalanan. Strategi dalam penanganan anak jalanan merupakan perwujudan dari rasionalitas
individu. Konsep rasional merupakan konsep dasar dalam teori tindakan sosial Max Weber.

Teori ini menitik beratkan pada tindakan yang memiliki makna subyektif terhadap orang lain
berdasarkan pertimbangan yang rasional atau logis.
Dalam hal ini rasionalitas elemen masyarakat Kota Surakarta dalam menangani anak jalanan
diklasifikasikan sebagai berikut:
Tabel 1
Rasionalitas Elemen Masyarakat Kota Surakarta dalam Menangani Anak Jalanan
Pemerintah

Non Pemerintah
LSM

Dinas Sosial

Satpol

Bina

Seroja

Instrumen

-Pelatihan

PP
Bakat
- Razia anak Memfasilit

-

-Memberikan

(mengguna

keterampilan

jalanan

asi

Menjangka

uang pada anak

kan

anak jalanan

-Patroli

program-

u

pemikiran

-Pelayanan dan PPGOT

program

jalanan

anak jalanan

takut akan resiko

yang masuk Rehabilitasi

untuk anak dengan cara yang

akal)

jalanan

Sosial

karena
muncul

blusukan,

ketika

-Kerjasama

memfasilita

memberikan uang

dengan

rumah

si

singgah

dan

untuk pada

mencarikan

LSM

beasiswa,
memfasilita

tidak
anak

jalanan,
-Memberikan
uang pada anak

si program- jalanan agar tidak

Nilai

-

-

-Mediator

merasa risih akan

pembinaan
-

keberadaannya
-Masyarakat

(melihat

jika

manfaat

konflik

jalanan

karena

tanpa

antar

belum

saatnya

melihat

sesama

bekerja di jalan,

tujuan)

anak

-Memberisedekah

jalanan

pada hari Jumat

dengan

ada

program

menegur

anak

cara
kekeluarga
Afektif

-

-

an.
-

-

Masyarakat

(tindakan

memberikan uang

yang

pada anak jalanan

dikuasai

karena rasa iba

perasaan)

Konsepsi dan Strategi Pemerintah dalam menangani Anak Jalanan
Dinas Sosial
Kebijakan atau program pemerintah kota Surakarta dalam mengatasi anak jalanan sebagai
berikut ini :
1. Pelatihan Keterampilan Anak Jalanan
Dalam mengatasi anak jalanan di Surakarta, Dinas Sosial memiliki program
pemberdayaan anak jalanan dalam bentuk pelatihan keterampilan. Program tersebut
dianggarkan dari Pemerintah Kota. Seperti yang dikatakan oleh pihak Dinas Sosial
pada saat wawancara sebagai berikut :
“ …. program punya anggaran untuk melatih anak jalanan.” (W/Dinsos/01/11/2017).
2. Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial
Selain pemberdayaan anak jalanan dalam bentuk pelatihan keterampilan anak
jalanan, Dinas Sosial Surakarta melakukan rehabilitasi anak jalanan yang tidak
mempunyai rumah ke panti sosial maupun lembaga-lembaga lainnya. Seperti yang
diungkapkan pihak Dinas Sosial sebagai berikut:
“ Didata, koe cah ngendi? Cah nggawok dimulehke, terus umpamanya dia dikatakan
“Koe cah ngendi? Saya gak punya tempat” lah itu baru kita serahkan ke panti yoga
dan lembaga-lembaga yang ada.” (W/Dinsos/01/11/2017).
3. Kerjasama dengan LSM
Dalam mengatasi masalah anak jalanan, Dinas sosial bekerja sama dengan
LSM Anak Jalanan. Seperti yang dikatakan oleh informan Sebagai berikut :

“Lembaga itu pendanaannya dari pemerintah kota dan pembinaannya dari
kelembagaan sosial jadi sampai perpanjangan izin, operasional mereka disini nah
salah

satu

mengenai

pendanaan

dari

kementrian

sosial,

provinsi

yang

direkomendasikan bahwa memang lembaga yang aksi atau kegiatan anak terlantar
tapi bukan anak jalanan ya. ”(W/Dinsos/01/11/2017).
4. Kerja Sama dengan Satpol PP dalam Operasi Anak Jalanan
Selain bekerjasama dengan lembaga- lembaga sosial, dalam mengatasi
masalah anak jalanan Dinas Sosial juga bekerjasama dengan Satpol PP untuk
mengoperasi dalam bentuk razia anak- anak jalanan di Kota Solo, seperti yang
dikatakan oleh informan sebagai berikut :
“ Kan itu gini, anak itu dilihat apakah masih usia sekolah kalo iya sekolahnya juga
dipanggil kan efek jeranya disitu nah yang manggil bukan dinas tapi satpolpp karna
disana ada PPMS nya. ” (W/Dinsos/01/11/2017).
“Seperti tadi malam operasi ada orang terlantar ada orang tua ada anak-anak.”
(W/Dinsos/01/11/2017).
5. Program bebas PPGOT
Adanya larangan pengemis, pengamen, orang gila dan orang terlantar. Seperti
yang dikatakan oleh informan sebagai berikut :
“Tapi

larangan

untuk

mengemis

kan

ada,

perdanya

juga

udah

ada.”

(W/Dinsos/01/11/2017).
Untuk wilayah sasarannya pelarangan PPGOT adalah kota Solo sendiri seperti
yang dikatakan oleh informan sebagai berikut :
“ Daerah kota kan sasarannya dikelilingi. ” (W/Dinsos/01/11/2017).

Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP)
Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) adalah perangkat pemerintah daerah dalam
memelihara ketentraman dan ketertiban umum serta menegakkan peraturan daerah (Perda).

Dengan begitu Satpol PP berperan dalam menertibkan anak jalanan yang menjadi masalah
perkotaan khususnya di Surakarta.
Dalam rangka untuk menertibkan anak jalanan di Surakarta Satpol PP memiliki
program khusus untuk mengatasi anak jalanan yang termasuk dalam PPGOT (Pengemis,
Pengamen, Gila, Orang Terlantar), Satpol PP memfokuskan pada penertiban PPGOT
disurakarta dengan target zero PPGOT yang artinya Surakarta sudah bersih dari PPGOT.
Program tersebut bersinambungan dengan program Solo kota layak anak yang dimana tidak
ada lagi anak jalanan yang mengemis, mengamen, dan terlantar di Surakarta.
“Anak jalanan adalah anak-anak yang berkeliaran seperti anak punk, orang gila,
pengemis nah sekarang itu solo sudah zero PPGOT jadi artinya bebas tidak ada
lagi…”(W/SatpolPP/3/11/17).
“Kota layak anak ini buktinya ini ya tidak ada lagi anak-anak yang berkeliaran
dijalan…”(W/SatpolPP/3/11/17).
Dalam proses program mentertibkan PPGOT ini Satpol PP menggerakan para petugas
untuk turun ke jalan untuk melakukan operasi razia dan patroli monitoring yang bekerjasama
dengan linmas dan pihak kepolisian untuk mengamankan pada saat operasi. Adapun tahapan
prosses program berlangsung adalah :
1. Operasi razia turun ke lapangan, menertibkan masyarakat yang melanggar
perda termasuk anak jalanan
2. Membawa masyarakat yang telah ditertibkan ke kantor Satpol PP
3. Mendata masyarakat yang telah ditertibkan
4. Menepatkan masyarakat yang tidak memiliki data yang jelas pada tempattempat yang telah disediakan Dinas Sosial untuk di tamping dan dibina.
Selain Satpol PP melakukan operasi razia, Satpol PP juga menerima laporan-laporan dari
masyarakat apabila ada anak jalanan yang masih mengemis atau mengamen untuk segera
ditindak lanjuti. Apabila ada anak jalanan yang memiliki data yang jelas akan dikembalikan
ke asalnya.

“Jadi anak-anak jalanan itu sudah tidak ada kalo masih ada lapor ke kita nanti kita
bina nanti kita tanyain KTPnya mana identitasnya mana kenapa dia begitu nanti kita
tempatkan di tempatnya masing-masing…” (W/SatpolPP/3/11/17).
“Ditabulasi ditanyakan datanya kenapa dia kesini, kenapa dia gabisa pulang, kenapa
terlantar, setelah itu kita kembalikan sesuai tempatnya.” (W/SatpolPP/3/11/17).
Dan untuk kedepannya pemerintah tengah merencanakan adanya aplikasi online
untuk menerima laporan dari masyarakat apabila ada kejadian-kejadian yang menggangu
ketertiban umum yaitu dinamakan langgangsuka (Layanan gangguan Surakarta) yang
direncanakan untuk tahun 2018, dengan tujuan untuk mempermudah Satpol PP dalam
menegakan aturan dan menertibkan masyarakat.
Dalam pemaparan tabel di atas, semua program-program dalam penanganan anak
jalanan baik dari Dinas Sosial maupun Satpol PP termasuk dalam rasionalitas instrumental.
Program-program tersebut mementingkan tujuan agar masalah anak jalanan dapat teratasi.
Adanya program tersebut merupakan langkah-langkah pemerintah dalam mewujudkan
Surakarta sebagai Smart City.
Rasionalitas Masyarakat dalam Menangani Anak Jalanan
Dari segi Lembaga Swadaya Masyarakat, rasionalitas yang diberikan lebih banyak
bersifat pada rasionalitas instrumental yang diwujudkan melalui program-program binaan
seperti penjangkauan anak jalanan dengan tujuan agar anak mau dibina dan dikembangkan
potensi nya agar tidak lagi turun ke jalan, mengidentifikasi kebutuhan yang sesuai untuk
anak-anak jalanan baik dari segi akademik, kreatifitas ataupun dari segi moral, meskipun
lebih banyak menonjolkan rasionalitas instrumentalnya lembaga swadaya yang berfokus pada
anak jalanan juga tidak menutup kemungkinan untuk adanya tindakan rasional lain seperti
rasional nilai misalnya, dimana pembina menjadi penjembatan atau mediator bagi anak
jalanan yang memiliki masalah dengan anak jalanan lainnya.
“Pernah ada, ini saya ngurusi anak jalanan yang berantem sesame temennya
pake senjata tapi difersi gak pake hukum jadi didampingkan.”
(W/BINABAKAT/1/11/17).
Selain itu dalam mewujudkan Surakarta sebagai Smart City dukungan dan peran
masyarakat sangatlah penting. Hal ini dikarenakan masyarakat merupakan subyek sekaligus

obyek dalam pembangunan kota. Berkaitan dengan hal itu peran masyarakat dalam
penanganan anak jalanan tersebut merupakan perwujudan dari rasionalitas masyarakat kota.
Tindakan rasionalitas yang diberikan masyarakat dalam penangannya terhadap anak jalanan
sangatlah beragam, tindakan rasionalitas instrumental yang diberikan masyarakat pada anak
jalanan diantaranya:
1. Memberikan uang pada anak jalanan dengan tujuan agar menghindari resiko yang
muncul ketika tidak memberikan uang pada anak jalanan, seperti kasus
penggoresan mobil, pencurian, dan tindakan kriminal lainnya.
“Oh iya dlu kalo ga dikasih kadang mbaretke mobil” ”(W/Jumiati/1/11/2017)
“Ya itu kalau orang gak ngasih, motornya digarit” (W/Samidi/1/11/2017)
2. Memberikan uang pada anak jalanan dengan tujuan agar tidak merasa risih akan
keeradaan anak jalanan.
“Kalau waktunya makan mereka kan ngamen. Yang makan risih kalau gak
kasih juga gimana.” (W/Suwarno/31/10/2017)

Sedangkan tindakan masyarakat berdasarkan rasionalitas nilai dimana manfaat dari tindakan
tersebut yang lebih diharapkan daripada tujuan atas tindakan tersebut:
1. Masyarakat yang menegur anak jalanan
“…kalau saya sih kalau ada orang yang minta anak kecil itu saya tanya dulu.
"Kok kamu enggak sekolah…." (W/FITRI/31/10/17).
2. Masyarakat memberi sedekah pada hari Jumat
“Iya kan kalo dalam Islam bersedekah yang paling baik di hari Jumat
nahhh.” (W/WAHYU/3/11/17).
Terdapat pula rasionalitas dari masyarakat yang dilakukan atas dasar perasaan yang
timbul pada saat bertemu anak jalanan, seperti perasaan iba atau kasihan
“Kasian kalo saya, walaupun saya orang gak punya kalo liat anak-anak
dijalanan apa gitu kalo saya beda, walaupun seribu dua ribu saya kasih
beneran saya kasian.” (W/SAR/25/10/17).
“ya dikasihlah kalo ada rejeki, kasian.” (W/JUMIATI/01/11/17).

Dari penjabaran tersebut masyarakat dalam menangani anak jalanan banyak yang
menggunakan rasionalitas instrumental terutama pada program-program LSM. Pada
masyarakat biasa rasionalitas instrumental terjadi karena anggapan keberadaan anak jalanan
yang menggangu sehingga uang berfungsi sebagai alat untuk menghalau keberadaan anak
jalanan. Selain itu dalam masyarakat terdapat penggunaan rasionalitas nilai dan afektif dalam
proses penanganan anak jalanan.
Kesimpulan
Keefektifan dalam penanganan anak jalanan merupakan salah salah satu indikator
kesiapan Surakarta sebagai Smart City. Dari segi masyarakat, ke efektifan tersebut bisa
dilihat dari program-program LSM dalam menangani anak jalanan sebagai suatu tindakan
yang berdasarkan rasionalitas instrumental, sedangkan dari masyarakat biasa dalam
rasionalitas instrumentalnya menggunakan uang sebagai alat untuk menghindari anak jalanan.
Pemberian uang pada anak jalanan bukan merupakan solusi terbaik untuk memecahkan
masalah anak jalanan. Selain itu juga masyarakat masih menggunakan rasionalitas nilai dan
afektif untuk menangani masalah tersebut
Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Kota Surakarta dalam penanganan anak
jalanan belum bisa sepenuhnya dikatakan sebagai masyarakat yang smart dengan kata lain
sedang mengalami proses menuju Smart City.

DAFTAR PUSTAKA
Astutik, Dwi. 2005. Pengembangan Model Pembinaan Anak Jalanan Melalui Rumah
Singgal di Jawa Timur.
Departemen Sosial RI. 2005. Bimbingan Sosial Bagi Penyandang Cacat Dalam Panti.
Jakarta.
Fedri Apri Nugroho. 2014. Realitas Anak Jalanan Di Kota Layak Anak Tahun 2014 ( Studi
Kasus Anak Jalanan di Kota Surakarta). Universitas Sebelas Maret.
Kalida.2003.

Harga

Diri

Anak

Jalanan.

Diperoleh

dari

http://daudgonzales.wordpr ess.com/2009.05/23/harga_diri_anak_jalanan. Diakses pada
3 November 2017.
Giffinger, R., Fertner, C., Kramar, H., Kalasek, R., Pichler-Milanovi , N., & Meijers, E.
(2007). Smart Cities: Ranking of European Medium-Sized Cities. Vienna, Austria:
Centre of Regional Science (SRF), Vienna University of Technology. Diperoleh dari
http://www.smartcities.eu/download/smart_cities_final_report.pdf. Diakses pada 25
November 2017
Johson, Doyle Paul. 1994. Teori Sosial Klasik dan Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka.
Suyanto, Bagong. 2010. Masalah Sosial Anak. Jakarta: Kencana.
Setiawan, H.H. 2007. Anak Jalanan di Kampung Miskin Perkotaan ( Studi Kasus
Penanganan Anak Jalanan di Pedongkelan Jakarta Timur) (versi elektronik). Jurnal
Informasi,

12

(3),

32-40

Diperoleh

http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/123073240_2086-3004.pdf

dari
diakses

pada

2

November 2017.
Wirawan I.B. 2013.Teori-Teori Sosial dalam Tiga Paradigma. Jakarta: Kencana
Prenadamedia Grup.
Berita:
Mensos:

Jumlah

Anak

Terlantar

di

Indonesia

Mencapai

4,1

Juta.

https://jateng.antaranews.com/detail/mensos-jumlah-anak-terlantar-di-indonesiamencapai-41-juta.html. diakses tanggal 24 November 2017.

2015.