REGISTER ANAK JALANAN KOTA SURAKARTA

REGISTER ANAK JALANAN KOTA SURAKARTA SKRIPSI

Oleh : MEMET SUDARYANTO

K1209042

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

Januari 2013

REGISTER ANAK JALANAN KOTA SURAKARTA

Oleh: MEMET SUDARYANTO

K1209042

SKRIPSI diajukan untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2013

Memet Sudaryanto. K1209042. Register Anak Jalanan Kota Surakarta .

Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, Januari 2013.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan: (1) k arakteristik penggunaan register anak jalanan Kota Surakarta; dan (2) tujuan penggunaan register anak jalanan di Kota Surakarta.

P enelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Sumber data adalah peristiwa tutur anak jalanan dan informan. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi langsung, wawancara, dan pencatatan dialog anak jalanan. Uji validitas data yang digunakan adalah triangulasi metode dan triangulasi sumber. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis interaktif yang meliputi empat komponen yaitu: (1) pengumpulan data, (2) reduksi data, (3) penyajian data, dan (4) penarikan simpulan.

Karakteristik register anak jalanan adalah (1) umumnya menggunakan bahasa jawa, (2) ada pergeseran dan perubahan makna, (3) menggunakan kata- kata bentuk ringkas, (4) menggunakan kata bermakna kasar, (5) ada peristiwa alih kode dan campur kode, (6) menggunakan ragam intim. Tujuan penggunaan register anak jalanan adalah untuk : (1) membedakan dengan kelompok anak jalanan yang lain, (2) menunjukkan penghormatan atau kekuasaan, (3) menunjukkan keakraban, (4) menegaskan emosi, dan (5) menyembunyikan makna komunikasi dari masyarakat.

Simpulan peneletian ini adalah karakteristik dan tujuan khusus register anak jalanan berbeda dengan karakteristik dan tujuan masyarakat atau kelompok komunitas lain.

Kata kunci: register, anak jalanan, komunikasi, ragam bahasa

MOTTO

Semua tidak akan selesai jika tidak diawali dengan satu langkah, yang disebut perubahan (Penulis)

Rambut putih tak menjadikan kita manusia yang segala tahu (Dee : Jembatan Zaman)

Dan setiap senti gurun akan terinspirasi karena kau berani beku dalam neraka, kau berani putih meski sendiri, karena kau.. berbeda (Dee : Salju Gurun)

Pada akhirnya aku percaya, aku sendiri yang harus bertanggung jawab atas hidupku (Oka Rusmini : Akar Pule)

Cuma kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari

biasanya, leher yang akan lebih sering melihat ke atas

(Donny Dhirgantoro : 5cm)

Jadi orang yang bisa membuat napas orang lain menjadi sedikit lebih lega karena kehadiran kita di situ.. (Donny Dhirgantoro : 5cm)

Saya Ian.. saya bangga bisa berada di sini bersama kalian semua. Saya akan mencintai tanah ini seumur hidup saya, saya akan menjaganya, dengan apa pun yang saya punya, saya akan menjaga kehormatannya seperti saya menjaga diri saya sendiri. Seperti saya akan selalu menjaga mimipi-mimpi saya terus hidup

bersama tanah air tercinta ini. (Donny Dhirgantoro : 5cm)

Karya kecil ini dengan tulus dan ikhlas kupersembahkan kepada :

1. Mamak (Suratminingsih) dan Bapak (Sukir) : terima kasih sudah membuatku menjadi ada, kalian adalah yang terhebat;

2. Mbak Titi dan Dik Dyah tersayang, aku selalu merindukan kebersamaan kita;

3. Anak jalanan di kota Surakarta yang telah memberi senyum di pagiku dan pelukan di malamku;

4. yang telah menyeparokan otaknya demi penulisan skripsi ini;

5. Sahabat sejatiku: Lili Haryanti, Imroatun Sholihah, Santi Harnani, Muhammad Nur Kholis, Auditya, Ningtias yang telah mendukungku dan menjadikan prosesku selama ini sukses besar;

6. Semua penghuni kos Klampis Ireng yang bahagia di atas sedihku, dan sedih di atas bahagiaku;

7. Teman-teman seperjuangan Bastind angkatan 2009 yang telah memberikan pengalaman yang luar biasa dan tidak terlupakan;

8. Teman-teman PPL SMAN 1 Surakarta yang baik hatinya; dan

9. Seseorang yang dipertemukan oleh hujan, dan mungkin dipisahkan oleh hujan pula.

Alhamdulillah, segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala nikmat, rahmat, dan hidayah-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini dibuat dengan tujuan sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Dalam Penyusunan skripsi ini, penulis menyadari tidak dapat bekerja seorang diri, melainkan bekerja sama dengan berbagai pihak. Atas terselesaikannya skripsi ini, penulis meyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Prof.Dr.H.M.Furqon Hidayatullah,M.Pd., Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin penulisan skripsi ini.

2. Dr.Muhammad Rohmadi,M.Hum., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin dalam penulisan skripsi ini.

3. Dr.Kundharu Saddhono,S.S.,M.Hum., Ketua Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin dalam penulisan skripsi ini.

4. Dra.Sumarwati,M.Pd. dan Drs.Edy Suryanto,M.Pd., sebagai pembimbing skripsi I dan II yang senantiasa dengan sabar dan perhatian membimbing penulis dalam menyusun skripsi ini.

5. Ibu dan Bapak Dosen Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan bekal ilmu kepada penulis, terima kasih.

6. Semua pihak yang telah mendukung dan membantu sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.

Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan dunia pendidikan, khususnya dalam bidang bahasa dan sastra Indonesia.

Surakarta, Januari 2013 Penulis

G. Teknik Analisis Data .......................................................................

37

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...........................

41

A. Deskripsi Lokasi .............................................................................

41

B. Karakteristik Subjek Penelitian ......................................................

48

C. Deskripsi Hasil Penelitian ...............................................................

52

D. Pembahasan Hasil Penelitian .......................................................... 100

1. Karakteristik Register Anak Jalanan. ...........................................

101

2. Tujuan Pemakaian Register.........................................................

111

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ...........................................................

114

A. Simpulan ......................................................................................... 114

B. Saran ............................................................................................... 119

Daftar Pustaka ...........................................................................................

121 Lampiran

............................................................................................... 124

Gambar Halaman

1. Kerangka Berpikir ......................................................................... 29

2. Rincian Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian .............................. 32

3. Model Analisis Mengalir............................................................... 40

Tabel Halaman

1. Contoh Bahasa yang Digunakan Sesama Pengemis ............................... 27

2. Contoh Bahasa yang Digunakan Pengemis dengan Calon Dermawan ... 27

3. Karakteristik Register Bentuk Ringkas ................................................... 106

4. Karakteristik Register Penggunaan Kata Kasar ................................................. 109

Lampiran Halaman

1. Tabel Temuan Register Anak Jalanan Kota Surakarta. ............

124

2. Transkripsi Data Konfirmasi......................................................

130

3. Transkripsi Data Observasi Lapangan.........................................

134

4. Dokumentasi Keberadaan Anak Jalanan.....................................

141

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebagian besar anak jalanan bergelut dengan kompleksitas kehidupan yang terjadi di kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Surakarta, dan kota-kota lainnya. Menurut Departemen Pendidikan Nasional (2007) jumlah anak jalanan yang meningkat menjadikan mereka sebagai mata rantai dari premanisme. Seperti inilah kondisi penduduk negeri ini, banyak anak jalanan yang menghabiskan masa mudanya untuk mengadu nasib getir kehidupan jalan. Anak jalanan memiliki mobilitas tinggi dibandingkan anak pada umumnya. Menurut Sudarsono (dalam Zakarya, 2011) anak jalanan tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, yang secara yuridis tidak berdomisili autentik. Mereka berpindah dari satu kota ke kota lain, tanpa kurun waktu lama. Termasuk salah satu tujuan mobilisasi anak jalanan juga terjadi di Kota Surakarta. Meski Surakarta digembar- gemborkan sebagai kota layak anak, nyatanya masih banyak anak jalanan yang menghiasi tiap sudut kota. Ini dapat dengan mudah ditemukan di Pasar Ledoksari yang dihuni puluhan anak jalanan, Terminal Tirtonadi, dan beberapa tempat lainnya. Jumlah anak jalanan dimungkinkan akan terus bertambah tanpa mengenal masa. Hal ini dipicu oleh keadaan masyarakat Indonesia yang mempermudah alur transmigrasi atau perpindahan penduduk. Selain itu, juga keadaan ekonomi di kalangan masyarakat kecil masih kurang.

Ketidakpercayaan diri anak jalanan terhadap kondisi kecerdasan intelektualnya yang belum baik, mendorong mereka untuk mengisolasi diri dari masyarakat secara umum. Seperti pada penelitian Kuswarno (2009) bahwa anak jalanan memiliki kepasrahan nasib yang cukup tinggi, jadi mereka akan sangat sulit untuk keluar dari kepengemisannya. Hal ini pula yang menandakan bahwa mereka bangga dan betah dalam waktu lama untuk menjadi pengemis. Selain itu, melonjaknya keberadaan anak jalanan mendorong mereka untuk membuat komunitas tersendiri dan lebih memperketat isolasi diri, untuk jauh dari masyarakat ilmiah. Dalam arti, kebanyakan dari anak jalanan tidak bersekolah,

meluas. Jumlah anak jalanan ternyata sampai sekarang tidak bisa dipastikan angka pastinya, sebab jumlah tersebut akan bertambah ataupun berkurang dalam kurun waktu yang tidak dapat ditentukan. Berdasarkan data Departemen Sosial Republik Indonesia (dalam Suhartanto, 2008) ditemukan bahwa beberapa tahun terakhir jumlah anak jalanan di Indonesia mengalami peningkatan cukup pesat. Menurut data dari Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (DINSOSNAKERTRANS), tercatat sebanyak 648 anak yang terdiri dari anak terlantar, anak nakal, dan anak jalanan tersebar di Solo (Arum, 2010). Meningkatnya jumlah anak jalanan tersebut dipicu oleh beberapa faktor salah satunya anak yang drop out dari sekolah. Berdasarkan data dari Kemendiknas (Jatmika, 2010) menyatakan bahwa sekitar 1,7 persen dari 30 juta anak sekolah dasar, terutama kelas 1-4 mengalami drop out karena berbagai alasan, sehingga berpotensi untuk meningkatnya buta aksara di Indonesia, dengan kata lain mampu meningkatkan pula jumlah anak jalanan di Surakarta.

Meskipun sudah disadari sebagai anggota masyarakat, keberadaan anak jalanan sebagai anggota masyarakat kadang kala tidak diakui oleh sebagian orang. Hal ini dikarenakan keadaan psikis mereka yang berbeda dengan masyarakat (anak) pada umumnya. Selain itu, salah satu penyebab ketidakberterimaan anak jalanan adalah keadaan bahasanya yang terkesan kasar dan tidak beratur. Sebenarnya kondisi tersebut bukan kesalahan anak jalanan. Namun, keadaan itu sebagai akibat mereka kurang mengerti sistem komunikasi yang baik dan benar. Bahkan keadaan memaksa mereka untuk menciptakan sistem maupun alat komunikasi baru yang lebih fleksibel dan nyaman untuk digunakan dalam komunitas tersebut. Meskipun begitu anak jalanan termasuk dalam masyarakat bahasa, mereka menggunakan bahasa dalam bersosialisasi maupun bekerja. Jelasnya, mereka mengemis dengan bahasa, meronta dengan bahasa, mereka berkenalan dengan komunitas baru dengan bahasa. Dengan komunitas yang makin luas, sebagian anak jalanan menciptakan bahasa komunitas sebagai media berkomunikasi antaranak jalanan. Bahasa dalam komunitas tersebut menggunakan

Meskipun kadang kala penggunaan diksi yang dianggap kasar dan berbeda dengan anak pada umumnya, anak jalanan tetaplah berbahasa dan anak jalanan tetaplah temasuk dalam masyarakat bahasa. Oleh karena itu, dalam setiap bahasa yang dipakai termasuk ke dalam kajian kebahasaan/linguistik yang bisa untuk diteliti.

Dalam berinteraksi sosial dengan orang lain, kelompok anak jalanan juga tidak terlepas dari kegiatan kebahasaan. Bahasa tersebut belum tentu dipahami oleh masyarakat di luar anak jalanan. Dalam kebahasaan, istilah bahasa komunitas tertentu disebut register. Masyarakat mengangggap anak jalanan memiliki bahasa yang kasar. Namun sebenarnya mereka tidak mengetahui apa yang dikatakannya. Hal ini dikarenakan interaksi mereka dengan kelompok anak jalanan yang juga sepola, membuat anak jalanan tidak membuka paradigma tentang bahasa yang mereka pakai.

Tidak urung, banyak kata tidak senonoh dilontarkan. Padahal, mereka sendiri tidak paham, mengapa kata-kata yang dianggap oleh masyarakat itu salah atau buruk. Dengan tekanan keras dari masyarakat, memaksa anak jalanan membentuk komunitas kecil maupun besar untuk menampung aksi dan keluhannya. Dalam komunitas itulah mereka berkesempatan untuk berkreasi dan saling memaksimalkan interaksi. Oleh karena itu, muncul register di tengah- tengah anak jalanan. Mereka menggunakan bahasa mereka sendiri agar masyarakat tidak mengerti. Hal ini dapat dikemukakan contoh berikut ini.

Kartu data di atas, digunakan untuk menjelaskan contoh dari temuan

kili anak jalanan. Dari

contoh kalimat di atas, ditemukan dua register, yakni pengki dan munggah. Dilihat dari konteksnya, pengki memiliki makna anak jalanan yang memiliki tingkatan di

X : ora ngapa-ngapa kok. Pengkimu nangdi

-apa.

: embuh mau Mas. Lagi munggah paling

X : munggah ki apa tho

: yo golek det neng dhuwur bis : yo golek det neng dhuwur bis

Dalam kartu data di atas, juga ditemukan register kata ngalor. Ngalor berasal dari kata lor atau makna harfiahnya adalah utara. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2008) utara memiliki arti arah utara. Namun secara kontekstual, ngalor memiliki perbedaan makna dengan harfiahnya. Ngalor dalam hal ini adalah pergi ke warung makan yang berada di arah barat. Anak jalanan menggunakan arah warung makan sebagai interpretasi lor. Hal ini menunjukkan penggunaan register sebagai bentuk perubahan atau pergeseran makna. Penggunaan register pada anak jalanan di Kota Surakarta dapat pula dilihat dari contoh di bawah ini.

Medhun dalam konteks di atas memiliki arti turun dari bis dan standby di jalanan untuk mencari nafkah. Standby dalam konteks ini berarti kesiagaan, atau bersiaga. Ketiga contoh tersebut adalah contoh register anak jalanan yang makna dan artinya hanya diketahui oleh mereka.

Makna lain yang juga tersirat adalah linguistik sebagai sebuah disiplin ilmu memberikan kesempatan yang luas kepada masyarakat ilmiah untuk mengkaji bahasa yang meliputi unsur-unsur pertanyaan (apa, siapa, kapan, mengapa, di mana, bagaimana) seputar bahasa yang muncul atau dimunculkan. Pemakaian bahasa sehari-hari terbukti kerap menunjukkan identitas diri dari penutur bahasa tersebut dalam lingkungan sosial. Oleh karena itu, penggunaan

X1 : Wis ngalor urung ndes X2 : urung bos, iki arep mangkat X1 : sisan sebungkus ndes. Kaya biasane

jalanan 1 dan partisipan. Anak jalanan 1 berjalan menjauh menuju arah barat, yakni arah Hotel Asia)

Aku arep medhun, golek dhit sik. Aku mau turun, cari uang Aku arep medhun, golek dhit sik. Aku mau turun, cari uang

Materi berkenaan dengan register anak jalanan di Surakarta merupakan materi beragam dan menarik untuk dikaji dan diteliti lebih lanjut. Selain peneliti harus terjun ke lapangan, penelitian ini juga membutuhkan semangat dalam berinteraksi dengan anak jalanan. Berdasar pada latar belakang di atas, peneliti ingin mengkaji lebih mendalam berkenaan penggunaan register. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi wawasan baru dalam kajian linguistik, utamanya dalam sosiolinguistik.

B. Rumusan Masalah

Melalui latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana karakteristik penggunaan register pada anak jalanan Kota Surakarta?

2. Apa sajakah tujuan penggunaan register pada anak jalanan Kota Surakarta?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan:

1. Karakteristik penggunaan register pada anak jalanan Kota Surakarta;

2. Tujuan penggunaan register pada anak jalanan Kota Surakarta

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoretis Hasil penelitian ini dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan kebahasaan, terutama dalam penggunaan register pada anak jalanan Kota Surakarta. Kaitannya dengan keberagaman dan tujuan dari penggunaan register yang berkembang di Kota Surakarta.

Selain memperkaya ilmu pengetahuan di bidang kebahasaan, dalam penelitian ini diharapkan mampu memperluas kesepahaman bahasa yang ada di masyarakat Surakarta.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Masyarakat

1) Sebagai bentuk pemaparan bahasa yang berkembang di tengah masyarakat modern, mengingat anak jalanan juga merupakan bagian dari masyarakat.

2) Peluasan penggunaan kosakata baru yang efektif dan tepat makna bagi masyarakat tertentu. Dalam hal ini penggunaan kosakata bagi masyarakat yang memiliki intensitas bertemu lebih banyak dengan anak jalanan.

3) Sebagai bentuk pengeksploran penggunaan register pada anak jalanan Kota Surakarta yang beragam dan makin luas untuk dipahami bersama.

b. Bagi Mahasiswa dan Dosen

1) Dengan penelitian ini diharapkan dapat menambah kajian disiplin ilmu sosiolinguistik dan memperkaya kosakata baru dalam berbahasa.

2) Menemukan sebuah register pada anak jalanan Kota Surakarta untuk memacu motivasi melakukan penelitian-penelitian kajian berbahasa lainnya.

3) Dapat digunakan sebagai rujukan untuk penelitian selanjutnya.

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan

1. Hakikat Bahasa

a. Pengertian Bahasa

Bahasa sebagai alat komunikasi utama bagi manusia. Kehidupan sehari hari manusia menggunakan bahasa sebagai sarana untuk berinteraksi antara satu dengan yang lain. Dengan berinteraksi, manusia dapat memenuhi kebutuhannya sebagai makhluk sosial dengan bekerja sama untuk menyatakan pikiran dan pendapatnya. Tidak hanya itu, peran bahasa sebagai alat komunikasi pada akhirnya akan membentuk pola-pola baru yang lebih unik dan berbeda, baik dilihat dari media, kondisi dan situasi, dan komunikan.

Bahasa memiliki ciri-ciri yang spesifik, seperti konvensional, oral, simbolis, berkembang dan dinamis, beragam, dan arbitrer. Oral, yakni diucapkan dan dilafalkan serta ada rangsangan di otak untuk menanggapi bunyi tersebut. Simbolis, yakni sebuah bahasa juga merupakan lambang dan simbol bahasa, seperti huruf, angka, lambang bahasa, dan berbagai bentuk lambang atau simbol lainnya. Bahasa juga memiliki sifat berkembang dan dinamis, yakni bahasa akan terus berkembang dari satu masa ke masa yang lain. Perubahan tersebut berkenaan dengan sistem atau mungkin munculnya kosakata baru dan perlambangan bunyi yang baru. Bahasa juga memiliki ragam, seperti ragam baku, ragam resmi, ragam santai, dan ragam akrab.

Bahasa sebagai lambang bunyi yang arbitrer, yang dipergunakan oleh masyarakat untuk berhubungan dan kerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri (Kridalaksana, 1993:21). Arbitrer, artinya bahasa memiliki sifat manasuka dan bebas, tidak ada aturan bahwa kursi harus disebut sebagai tempat duduk, mungkin saja di tempat lain kursi merupakan doa-doa dalam agama Islam.

Kaitannya dengan penggunaan interaksi, kerjasama, dan berhubungan, maka bahasa sangat mungkin menggunakan keabriterannya. Oleh karena itu, Kaitannya dengan penggunaan interaksi, kerjasama, dan berhubungan, maka bahasa sangat mungkin menggunakan keabriterannya. Oleh karena itu,

b. Bahasa sebagai Alat Komunikasi

Bahasa sebagai alat komunikasi mempunyai peranan yang penting dalam interaksi manusia. Bahasa dapat digunakan manusia untuk menyampaikan ide, gagasan, keinginan, perasaan dan pengalamannya kepada orang lain. Tanpa bahasa manusia akan lumpuh dalam berkomunikasi maupun berinteraksi antara individu maupun kelompok. Dengan demikian manusia tidak dapat terlepas dari bahasa. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Samsuri (1987:4) bahwa manusia tidak akan lepas dari pemakaian bahasa, karena bahasa adalah alat yang dipakainya untuk membentuk pikiran, perasaan, keinginan dan perbuatan-perbuatannya, serta sebagai alat untuk mempengaruhi dan dipengaruhi.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa bahasa adalah tanda yang jelas dari kepribadian, yang baik maupun yang buruk; tanda yang jelas dari keluarga dan bangsa; tanda yang jelas dari budi kemanusiaan. Dari pembicaraan seseorang tidak saja keinginannya yang dapat diungkap, tetapi juga motif keinginannya, latar belakang pendidikannya, pergaulannya, adat istiadatnya, dan lain sebagainya (Samsuri, 1987:4). Secara umum, apabila dicermati penggunaan bahasa di masyarakat yang sebagian besar bekerja sebagai pekerja keras di daerah pinggiran akan memiliki bahasa yang lebih kasar dibandingkan keluarga kraton yang merupakan keluarga bangsawan. Bahasa nyatanya juga memiliki penanda identitas yang jelas. Dalam sebuah konteks, masyarakat Banyumas ketika berkomunikasi dengan masyarakat Jawa pada umumnya akan Lebih lanjut dijelaskan bahwa bahasa adalah tanda yang jelas dari kepribadian, yang baik maupun yang buruk; tanda yang jelas dari keluarga dan bangsa; tanda yang jelas dari budi kemanusiaan. Dari pembicaraan seseorang tidak saja keinginannya yang dapat diungkap, tetapi juga motif keinginannya, latar belakang pendidikannya, pergaulannya, adat istiadatnya, dan lain sebagainya (Samsuri, 1987:4). Secara umum, apabila dicermati penggunaan bahasa di masyarakat yang sebagian besar bekerja sebagai pekerja keras di daerah pinggiran akan memiliki bahasa yang lebih kasar dibandingkan keluarga kraton yang merupakan keluarga bangsawan. Bahasa nyatanya juga memiliki penanda identitas yang jelas. Dalam sebuah konteks, masyarakat Banyumas ketika berkomunikasi dengan masyarakat Jawa pada umumnya akan

Sebagai alat komunikasi, bahasa harus mampu menampung perasaan dan pikiran penutur, serta mampu menimbulkan adanya saling mengerti antarpenutur atau penulis dengan pendengar atau pembaca. Seseorang dapat berkomunikasi dengan baik dalam suatu bahasa, bila orang tersebut menguasai sistem bahasa itu. Sempurna atau tidaknya bahasa sebagai alat komunikasi umum, sangat ditentukan oleh kesempurnaan sistem atau aturan bahasa dari masyarakat pemakainya (Santoso, 1990:1).

Nababan (1993:40) mengemukakan bahwa bahasa memiliki fungsi kemasyarakatan dalam arti memiliki peranan khusus suatu bahasa di dalam kehidupan masayarakat. Klasifikasi bahasa berdasarkan fungsi kemasyarakatan dibagi menjadi dua, yaitu berdasarkan ruang lingkup dan berdasarkan bidang pemakaian. Berdasarkan ruang lingkup, berarti bahasa digunakan oleh manusia dalam lingkup nasional atau lingkup kelompok. Di dalam lingkup nasional masyarakat menggunakaan bahasa Indonesia, sedangkan pada lingkup kelompok lebih fleksibel. Bahasa nasional tentu saja di Indonesia adalah bahasa Indonesia, yakni bahasa yang dipakai oleh seluruh rakyat Indonesia. Bahasa Indonesia pun diatur dalam undang-undang kebahasaan dan lambang negara. Di negara lain pun semestinya juga memiliki bahasa nasional, karena posisi bahasa Nasional yang begitu penting. Itulah alasannya setiap negara menggunakan satu bahasa yang digunakan sebagai identitas bangsa.

Jika bahasa nasional dipakai oleh satu kelompok bangsa, tentu saja bahasa kelompok tidak demikian. Meski sama-sama digunakan satu kelompok masyarakat, lingkup penggunaanya tetap berbeda. Bahasa nasional hanya digunakan oleh sebangsa dalam satu negara saja, sedangkan bahasa kelompok tidak. Bahasa kelompok mungkin saja digunakan sekelompok masyarakat dari ragam negara yang berbeda dengan lingkup yang lebih sempit.

satu cabang ilmu bahasa adalah sosiolinguistik. Sosiolinguistik adalah ilmu yang mengaitkan bahasa dan struktur sosial (Ibrahim, 1995:40). Di dalam sosiolinguistik dikaji mengenai bahasa kaitan dengan ilmu sosial, yaitu : umur, jenis kelamin, kelas sosioekonomi, pengelompkan regionalnya, status, dan lainnya. Jadi, di dalam sosiolinguistik dibahas kajian penggunaan bahasa kaitannya dengan sosial.

c. Sosiolinguistik

Sosiolinguistik mengkaji penggunaan bahasa pada kesosialan masyarakat tertentu yang kondisinya pasti berbeda dengan kondisi sosial daerah lainnya. Tingkat sosial yang dimaksud memiliki pengertian yang sangat luas, sesuai yang dijelaskan Ibrahim di atas, salah satunya adalah umur pengguna bahasa. Contoh konkretnya adalah adanya penambahan, pengurangan, penggantian suku kata, dan berbagai bentuk lainnya. Jika dibandingkan dengan bahasa masyarakat lain dengan beda umur akan terlihat perbedaannya. Inilah yang disebut sebagian masyarakat saat ini disebut alay atau yang sebelumnya disebut lebay. Dalam berbagai konteks, kedua kata tersebut memiliki arti berlebihan atau hiperbolis.

Selain umur, tentu saja kekhasan sosiolinguistik juga timbul dalam jenis kelamin penutur, berbagai kosakata mungkin saja digunakan kaum lelaki yang tidak disadari oleh kaum wanita, begitu pula sebaliknya. Contoh nyata dalam masyarakat bahasa saat ini adalah kata roti Jepang. Roti Jepang memang satu istilah yang mungkin bermakna roti atau kue dari Jepang. Beberapa kaum hawa menafsirkan bahwa roti Jepang adalah pembalut. Selain kedua contoh tersebut, berbagai konteks sosial juga berpengaruh pada penggunaan kata dan kalimat.

Kridalaksana (1993:181) menyatakan bahwa sosiolinguistik adalah cabang ilmu linguistik yang mempelajari hubungan saling pengaruh antara perilaku bahasa dan perilaku sosial. Dalam kajian linguistik, terutama sosiolinguistik seperti yang dijelaskan Kridalaksana, ilmu ini akan menjabarkan segala sesuatu bekenaan dengan perilaku bahasa dan perilaku sosial. sebagai contoh, seorang yang tingkat sosialnya tinggi menggunakan Kridalaksana (1993:181) menyatakan bahwa sosiolinguistik adalah cabang ilmu linguistik yang mempelajari hubungan saling pengaruh antara perilaku bahasa dan perilaku sosial. Dalam kajian linguistik, terutama sosiolinguistik seperti yang dijelaskan Kridalaksana, ilmu ini akan menjabarkan segala sesuatu bekenaan dengan perilaku bahasa dan perilaku sosial. sebagai contoh, seorang yang tingkat sosialnya tinggi menggunakan

Ragam bahasa adalah variasi pemakaian bahasa yang timbul dari akibat adanya sarana, situasi, dan bidang pemakaian yang berbeda-beda (Mustakim, 1994:218). Penggunaan bahasa dalam sarana yang berbeda, memungkinkan seseorang menggunakan ragam yang berbeda dengan sarana yang lainnya. Semisal, seorang yang sedang berkomunikasi dengan pihak lainnya menggunakan telepon dan menggunakan email akan berbeda, apalagi penggunaan telegram yang lebih singkat. Penggunaan ragam bahasa bisa berbeda antara situasi tertentu. Pada konteks pertemuan seorang abdi dalem keraton dengan pembantu secara umum akan berbeda. Abdi dalem akan menggunakan bahasa yang lebih halus dengan atasannya, pembantu rumahan akan menggunakan bahasa yang relatif lugas dan sesuai konteksnya.

Mustakim (1994:218) menjelaskan bahwa penggunaan bahasa dan pemakaiannya pun makin beragam. Seorang dapat dengan mudah berkomunikasi dengan keberagaman yang ada. Di sisi lain, sebagian dari mereka perlu menggunakan pakem dan menjunjung kebiasaan sebagai satu penggunaan kekhasan. Menurut penelitian Fajarwati (2007:23), kekhasan ragam bahasa bisa dijumpai pada pemakaian kata, pemakaian partikel, interjeksi, penggunaan idiom, munculnya plesetan.

Ragam bahasa khususnya di Indonesia dewasa ini berkembang dengan cukup pesat. Adanya slogan, sleng, register, akronim, plesetan dan berbagai bentuk lainnya turut mewarnai penggunaan bahasa Indonesia. Kesemuanya dikaji dalam linguistik, terkhusus sosiolinguistik. Hal ini berkaitan dengan penelitian Fatturokhman (2000) yang menjelaskan bahwa komunikasi dengan menggunakan lambang verbal (komunikasi verbal) terjadi ketika partisipan komunikasi menggunakan kata-kata, baik itu lisan ataupun tulisan. Jadi, oleh Faturrokhman dipaparkan bahwa komunikasi tidak memandang itu dilisankan atau ditulis. Asalkan terjadi interaksi dari dua pihak, itulah komunikasi. Di sisi Ragam bahasa khususnya di Indonesia dewasa ini berkembang dengan cukup pesat. Adanya slogan, sleng, register, akronim, plesetan dan berbagai bentuk lainnya turut mewarnai penggunaan bahasa Indonesia. Kesemuanya dikaji dalam linguistik, terkhusus sosiolinguistik. Hal ini berkaitan dengan penelitian Fatturokhman (2000) yang menjelaskan bahwa komunikasi dengan menggunakan lambang verbal (komunikasi verbal) terjadi ketika partisipan komunikasi menggunakan kata-kata, baik itu lisan ataupun tulisan. Jadi, oleh Faturrokhman dipaparkan bahwa komunikasi tidak memandang itu dilisankan atau ditulis. Asalkan terjadi interaksi dari dua pihak, itulah komunikasi. Di sisi

Dengan adanya perkembangan yang beragam, membuat komunikasi antarmasyarakat lebih mudah, terutama dalam satu komunitas dan kelompok tertentu. Perannya pun makin beragam dan unik, tidak terlepas dari situasi dan kondisi penutur, tetapi juga keinginan penutur turut terkover.

d. Analisis Makna

Analisis makna yang digunakan di dalam penelitian ini berdasar pada teori milik Hymes (dalam Bell, 1976:79) menyatakan bahwa di dalam analisis bahasa perlu adanya delapan elemen yang diakronimkan dengan kata speaking . Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan di dalam berkomunikasi yaitu (1) setting and scene, (2) participants, (3) ends, (4) act, (5) key, (6) instrumentalities, (7) norms,dan (8) genres.

1) Setting and Scene, mengacu pada keadaan sekitar yang bersifat fisik secara umum. Dalam komunikasi diambil tempat, terutama waktu dan situasi budaya/keadaan sekitar. Hal ini berfungsi untuk mendeskripsikan situasi, tempat, dan waktu dari sebuah perbincangan.

2) Participants, merupakan pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima pesan. Dalam hal ini, pihak yang dimaksudkan adalah anak jalanan yang sedang berkomunikasi dengan sesama anak jalanan maupun ketika anak jalanan berkomunikasi dengan pihak luar.

3) Ends merujuk pada hasil tuturan, maksud dan tujuan pertuturan. Setiap pertuturan memiliki tujuan dalam penuturannya, begitu juga dengan anak jalanan. Ketika anak jalanan berkomunikasi dengan sesama anak jalanan maupun pihak di luar anak jalanan, mereka memiliki tujuan dan maksud dari tuturannya.

dengan kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya, dan hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik.

5) Key bertolok pada nada, cara dan semangat di mana suatu pesan disampaikan, contohnya dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dan dengan sombong. Dalam key, setiap anak jalanan dapat dicermati bagaimana nada ketika berkomunikasi dengan mitra tutur, demikian dapat menjadi patokan perbincangan.

6) Instrumentalities merupakan elemen analasis yang mengacu pada jalur yang dipakai, seperti jalur lisan, tertulis, telegram. Anak jalanan di Kota Surakarta sebagian besar menggunakan bahasa lisan dalam bercakap, baik ke sesama anak jalanan maupun dengan luar pihak. Di lain sisi, tidak semua anak jalanan cakap berbahasa tulis, fakta ini mendorong penggunaan bahasa lisan yang lebih dominan.

7) Norms mengacu pada norma atau aturan bertingkah laku dalam berinteraksi dengan mitra tutur. Interaksi ini akan berkolaborasi dengan tingkah laku maupun gerak-gerik dari anak jalanan yang dapat diinterpretasikan sebagai satu kesatuan berkomunikasi.

8) Genres mengacu pada jenis bentuk penyampaian. Penutur maupun mitra tutur dalam berkomunikasi menggunakan sajian lisan langsung atau tidak langsung. Dalam hal ini juga dipertimbangkan, ketika ada pihak lain yang memengaruhi pertuturan.

Dalam teori Hymes di atas dapat diidentifikasi bahwa sebuah percakapan baru dapat dikatakan sebuah peristiwa tutur kalau memenuhi syarat setting dan scene, participants, ends, act sequance, key, instrumentalities, norms, dan genres.

a. Pengertian Register

Konsep register berdasarkan perspektif sosiolinguistik pada mulanya, register dipakai oleh kelompok profesi tertentu. Bermula dari adanya usaha orang-orang yang terlibat dalam komunikasi secara cepat, tepat, dan efisien di dalam suatu kelompok kemudian mereka menciptakan ungkapan khusus yang dipakai oleh kelompok mereka sendiri.

Setiap anggota kelompok itu beranggapan sudah dapat saling mengetahui karena mereka sama-sama memiliki pengetahuan, pengalaman, dan kepentingan yang sama. Selain karena pengetahuan, pengalaman, dan kepentingan yang sama, juga karena masa pertemuan yang cukup rutin membuat sekelompok orang memiliki objek pembicaraan yang terkadang sama. Dengan kekerapan pertemuan setiap anggota masyarakat bahasa, membuat masyarakat menggunakan dan mengaplikasikan sistem bahasa yang sama. Sistem bahasa tersebutlah yang disebut dengan register. Jadi, dapat dikatakan bahwa intensitas pertemuan mampu mengubah komunikasi lebih intim dan komunikasi tersebut dapat menjadi satu aspek perubahan tuturan yang ada antara satu dengan yang lainnya.

Akibat dari interaksi semacam itu, akhirnya bentuk tuturan (kebahasaannya) akan menunjukkan ciri-ciri tertentu. Semisal, pengurangan struktur sintaksis dan pembalikan urutan kata yang normal dalam kalimat (Holmes, 1992:27-282). Oleh karenanya, ciri-ciri tuturan (kebahasaan) mereka selain akan mencerminkan identitas kelompok tertentu, juga dapat menggambarkan keadaan apa yang sedang dilakukan oleh kelompok tersebut. Konsep register telah banyak diutarakan oleh para sosiolinguis dengan pemahaman yang berbeda-beda.

Dalam penelitian Lewandowski (2010) dinyatakan bahwa register didefinisikan sebagai variasi bahasa berdasarkan pada situasi dan kondisi penutur. Ditambahkan pula, bahwa register akan semakin kuat apabila hubungan tiap anggota tuturan tidak dalam bermasalah. Selain itu, dijelaskan bahwa register akan menjadi satu media perbincangan antaranggota

Holmes (1992:276) memahami register dengan konsep yang lebih umum karena disejajarkan dengan konsep ragam (style). Style juga berarti gaya, gaya penggunaan bahasa. Jadi, menurut Holmes (1992), mungkin saja satu komunitas tertentu memiliki ragam dan gaya yang sama, namun ketika dibandingkan dengan gaya atau ragam yang dimiliki komunitas lainnya akan cukup berbeda, dan bahkan berbeda sama sekali. Setiap detail ciri dan kekhasan dari ragam dipaparkan Holmes (1992) juga merupakan ciri dan kekhasan register.

Selain pendapat dari Holmes, beberapa sosiolinguis menjelaskan konsep register secara lebih sempit, yakni hanya mengacu pada pemakaian kosakata khusus yang berkaitan dengan kelompok pekerjaan yang berbeda. Karena perbedaan ragam dan register tidak begitu penting maka kebanyakan para sosiolinguis tidak begitu mempermasalahkannya.

Selain dikaitkan dengan ragam seperti yang dijelaskan di atas, register pun turut dikaitkan dengan dialek. Dalam pembicaraan tentang register pada umumnya, Chaer (2004) menambahkan, apabila dialek berkenaan dengan masalah bahasa itu digunakan oleh siapa, di mana, dan kapan, maka register berkenaan dengan masalah bahasa itu digunakan untuk kegiatan apa.

Seseorang dalam kehidupannya mungkin saja hanya memiliki satu dialek, misalnya masyarakat di daerah Kebumen akan menggunakan dialeknya dalam kehidupannya sehari-hari. Namun, masyarakat tersebut pasti tidak hidup hanya dengan satu register saja. Sebab, dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat, bidang kegiatan yang harus dilakukan pasti lebih dari satu kegiatan.

Semisal, seorang ahli bedah yang juga seorang relawan dalam sebuah perang, ia akan terus berkomunikasi dan berinteraksi dengan para ahli bedah lain dengan bahasa dokter. Ketika ahli bedah berkumpul dengan para relawan perang di medan laga, maka ia akan menggunakan bahasa dan kode tertentu dalam berkomunikasi. Ini menunjukkan bahwa ketika si ahli bedah berasal Semisal, seorang ahli bedah yang juga seorang relawan dalam sebuah perang, ia akan terus berkomunikasi dan berinteraksi dengan para ahli bedah lain dengan bahasa dokter. Ketika ahli bedah berkumpul dengan para relawan perang di medan laga, maka ia akan menggunakan bahasa dan kode tertentu dalam berkomunikasi. Ini menunjukkan bahwa ketika si ahli bedah berasal

Wardhaugh (dalam Purnanto, 2002:12), register merupakan variasi bahasa yang digunakan dalam suatu kelompok tertentu atau di dalam suatu komunitas tertentu. Jadi, bertumpu pada pendapat Wardhaugh, pemakaian bahasa oleh sekelompok orang yang ditandai oleh adanya pemilihan kosakata- kosakata tertentu sesuai dengan kelompok-kelompok profesi atau sosial tertentu dinamakan sebagai register. Secara tersirat, Wardhaugh memaparkan penggunaan register berada di setiap elemen kelompok masyarakat seperti penggunaan bahasa dalam pasukan pengaman presiden, tentara, polisi, penjahat jalanan, mahasiswa, dosen, ilmuwan dan berbagai golongan masyarakat bahasa, termasuk anak jalanan.

Hymes (dalam Purnanto, 2002:19) menyatakan bahwa pemilihan pemakaian register tidak hanya karena adanya situasi tertentu yang menuntut penggunaan register, tetapi pemilihan register juga turut menentukan situasi pemakaiannya. Jika dijabarkan, Hymes menjelaskan peran register mampu menentukan situasi pemakaiannya. Dalam situasi tertentu, register mampu menentukan situasi yang berbeda, tergantung pada tujuan penggunaan dan makna yang terkandung di dalamnya.

Di samping ragam, dalam variasi tutur juga terdapat tingkat tutur, variasi bahasa, dan register (Poedjosoedarmo, 2001). Secara umum, register dapat digunakan oleh siapa saja dan dalam bidang yang tidak terbatas. Semisal di bidang jurnalistik, militer, pertanian, pelayaran, perekonomian, perdagangan bahkan komunitas kecil seperti anak jalanan dalam satu lingkup Di samping ragam, dalam variasi tutur juga terdapat tingkat tutur, variasi bahasa, dan register (Poedjosoedarmo, 2001). Secara umum, register dapat digunakan oleh siapa saja dan dalam bidang yang tidak terbatas. Semisal di bidang jurnalistik, militer, pertanian, pelayaran, perekonomian, perdagangan bahkan komunitas kecil seperti anak jalanan dalam satu lingkup

Register secara sederhana dapat dikatakan sebagai variasi bahasa berdasarkan fungsi penggunaannya. Di dalam konsep ini, register tidak terbatas pada pilihan kata saja, tetapi juga termasuk pada pilihan penggunaan struktur teks. Register meliputi seluruh pilihan aspek kebahasaan atau linguistik dan banyak linguis menyebut register sebagai style atau gaya bahasa. Variasi pilihan register tergantung pada konteks dan situasi, antara lain terdiri dari 3 variabel yaitu: field (medan), tenor (pelibat), dan mode (sarana). Ketiganya selalu bekerja secara simultan untuk membentuk konfigurasi makna.

Konsep register berkaitan dengan konsep variasi bahasa karena munculnya variasi bahasa sangat dimungkinkan oleh berbagai faktor yang mempengaruhinya. Dalam kaitan ini, Hymes menyatakan bahwa pemilihan pemakaian register tidak hanya karena adanya situasi tertentu yang menuntut penggunaan register, tetapi pemilihan register juga turut menentukan situasi pemakaiannya. Konsep Hymes setidaknya mengandung dua arah pemahaman, yaitu: (1) munculnya variasi bahasa karena dipengaruhi oleh faktor situasi tertentu dan (2) pemakaian variasi bahasa menyatakan situasi tertentu. Hudson (1996:24) menyatakan bahwa register as varieties according to user sejalan dengan pendapat Spolsky (1998:33) bahwa, register is variety associated with a specific function, register adalah variasi bahasa yang dihubungkan dengan fungsi khusus.

Halliday (1978:35) menjelaskan bahwa register adalah bentuk variasi bahasa berdasarkan pada penggunaan bahasa tersebut. Ia juga menjelaskan,

yang sedang dilakukan (keadaan alami aktivitas) dan bentuk pengekspresian yang berbeda pada proses sosial. Jadi, register adalah cara mengungkapkan hal berbeda dan memiliki makna yang berbeda. Halliday juga memberikan yang sedang dilakukan (keadaan alami aktivitas) dan bentuk pengekspresian yang berbeda pada proses sosial. Jadi, register adalah cara mengungkapkan hal berbeda dan memiliki makna yang berbeda. Halliday juga memberikan

Register ini sering digunakan pada suatu komunitas tertentu seperti komunitas penyiar, tukang becak, pedagang, banci bahkan pada komunitas terdidik seperti siswa maupun mahasiswa. Anak jalanan yang biasanya tergabung di dalam suatu komunitas juga menggunakan register di dalam keseharianya. Register tidak hanya digunakan sebagai komunikasi dengan orang satu komunitas tetapi juga di luar komunitas (kelompok anak jalanan lain dan masyarakat umum).

Parera (1993:133) mendefinisikan register adalah variasi dalam tutur yang digunakan oleh sekelompok orang tertentu dengan profesi dan perhatian yang sama. Satu register yang khusus dapat dibedakan dengan register yang lain. Register ditentukan oleh pelibat bicara, medan makna yang dicocokkan dengan profesi dan perhatian serta sarana yang digunakan. Dengan kata lain, Parera menjelaskan bahwa register satu kelompok/komunitas akan memiliki pemaknaan, fungsi penggunaan yang berbeda dengan register dari kelompok/komunitas serupa lainnya. Dalam satu komunitas serupa pun memiliki perbedaan, apalagi jika dibandingkan dengan lain profesi dalam komunitas yang berbeda pula.

Di lain pihak Ferguson (1994:20) memaparkan bahwa variasi register adalah situasi komunikasi yang terjadi secara teratur dalam masyarakat (dalam hal partisipan, setting, fungsi komunikasi), akan cenderung memunculkan ciri struktur dan penggunaan bahasa yang berbeda dari situasi komunikasi yang lain. Orang yang terlibat dalam stuasi komunikasi secara langsung akan cenderung mengembangkan kosakata, ciri-ciri intonasi yang Di lain pihak Ferguson (1994:20) memaparkan bahwa variasi register adalah situasi komunikasi yang terjadi secara teratur dalam masyarakat (dalam hal partisipan, setting, fungsi komunikasi), akan cenderung memunculkan ciri struktur dan penggunaan bahasa yang berbeda dari situasi komunikasi yang lain. Orang yang terlibat dalam stuasi komunikasi secara langsung akan cenderung mengembangkan kosakata, ciri-ciri intonasi yang

Atmahardianto (2012) menyimpulkan dalam skripsinya, bahwa register merupakan ragam bahasa berdasarkan pemakaiannya, yaitu bahasa yang digunakan tergantung pada apa yang sedang dikerjakan dan sifat kegiatannya. Register mencerminkan aspek lain dari tingkat sosial, yaitu proses sosial yang merupakan macam-macam kegiatan sosial yang biasanya melibatkan orang. Register merupakan bentuk makna yang khususnya dihubungkan dengan konteks sosial tertentu, yang di dalamnya banyak kegiatan dan sedikit percakapan, yang kadang-kadang disebut sebagai bahasa tindakan.

b. Kajian Bahasa Register

Register terdiri dari beberapa macam. Dipandang dari berbagai sudut pandang yang berbeda, dalam Pateda (1990:65) membagi register menjadi lima macam, yaitu :

1) Oratorical atau frozen yang digunakan oleh pembicara yang profesional sehingga seseorang tertarik dengan pembicaraannya. Register pada jenis oratorical pada umumnya digunakan oleh seorang ahli yang memiliki pendidikan keilmuan. Seperti ahli bedah, dokter, redaktur, manajer, akuntan, politikus, jaksa, dan ahli bidang keilmuan lainnya. Pembicaraan dalam jenis register ini dianggap menarik, karena keilmuan yang diperbincangkan memiliki bobot tersendiri.

2) Deliberate atau formal, ditujukan kepada pendengar untuk memperluas pembicaraan yang disengaja. Pada register formal, setiap perbincangan mengarah pada keadaan yang resmi. Dalam situasi dan keadaan resmi pun beberapa komunikan tetap menggunakan register dalam percakapan situasi resmi. Berbagai motif penggunaan register yang hanya dimengerti sebagian 2) Deliberate atau formal, ditujukan kepada pendengar untuk memperluas pembicaraan yang disengaja. Pada register formal, setiap perbincangan mengarah pada keadaan yang resmi. Dalam situasi dan keadaan resmi pun beberapa komunikan tetap menggunakan register dalam percakapan situasi resmi. Berbagai motif penggunaan register yang hanya dimengerti sebagian

3) Konsultatif, terdapat dalam transaksi perdagangan ditempat terjadi dialog karena ia membutuhkan persetujuan. Konsultatif adalah register yang cukup berbeda dengan yang lainnya. Register jenis ini lebih bersifat tidak resmi, namun tidak terlalu santai. Akrab dan mengena, namun tidak saling intim. Secara implisit, Pateda memaparkan bahwa dalam perdagangan, ada banyak sekali penggunaan register untuk berbagai keperluan terutama dalam transaksi perdagangan.

4) Casual, untuk menghilangkan rintang-rintangan antara dua orang yang berkomunikasi. Casual dalam hal ini adalah santai dan tidak ada bentuk tertekan karena kebutuhan, atau karena profesi. Namun, jenis register casual ini lebih umum dan dalam kondisi santai. Kondisi antarpenutur tidak terikat pada situasi yang formal maupun ada penghalang. Kondisi santai tidak mengikat tujuan perbincangan yang kukuh.

5) Intimate, digunakan dalam situasi dan suasana kekeluargaan. Pada register jenis ini, register lebih bersifat pada penggunaan intim. Jenis penggunaan register ini lebih intim dan tidak ada penghalang antarkomunikan. Jenis situasi atau kondisi antara lain, kekeluargaan, persahabatan karib, geng karib, dan berbagai bentuk hubungan intim lainnya. Dalam kondisi ini antarpenutur sudah sangat dekat dan tanpa ada halangan.

Ada tiga komponen pokok dalam analisis register, yaitu: (1) analisis ciri-ciri linguistik register, (2) analisis ciri-ciri situasional, dan (3) analisis fungsional dan konvensional atau gabungan ciri-ciri linguistik dan situasional (Biber dalam Purnanto, 2002:24)

1) Analisis ciri-ciri linguistik register Ada dua tipe penandaan dalam ciri linguistik register, yaitu penanda register dan ciri linguistik inti (Purnanto, 2002:24). Penanda register merupakan ciri-ciri yang membedakan dan hanya dapat ditemukan dalam register-register tertentu, misalnya dalam kata combo yang artinya bermain musik bersama-sama dalam satu tim secara lengkap