Modul I Peningkatan Wawasan Kependidikan Pengurus Komite Sekolah

MODUL I

Peningkatan Wawasan
Kependidikan Pengurus
Komite Sekolah

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN DASAR
KEGIATAN PEMBINAAN DEWAN PENDIDIKAN/KOMITE SEKOLAH YANG TERBINA
JAKARTA, 2012

ii

PENINGKATAN WAWASAN KEPENDIDIKAN PENGURUS KOMITE SEKOLAH

SAMBUTAN SEKRETARIS DIREKTORAT
JENDERAL PENDIDIKAN DASAR

Peran serta masyarakat dalam bidang pendidikan merupakan amanat UU Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Peran serta masyarakat tersebut diwujudkan dalam
wadah Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah untuk meningkatkan mutu pelayanan pendidikan

dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta
pengawasan pendidikan. Agar Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah dapat melaksanakan
fungsi tersebut secara optimal, maka Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah perlu ditingkatkan
kinerjanya, melalui upaya pemberdayaan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
Secara kuantitatif, Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota telah dibentuk di hampir di
seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Demikian pula, Komite Sekolah telah dibentuk di
seluruh satuan pendidikan di Indonesia, baik negeri maupun swasta. Namun secara kualitatif,
keberadaan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah/Madrasah memang belum sepenuhnya
dapat mendorong peningkatan mutu layanan pendidikan. Salah satu faktor penyebabnya
antara lain karena masih rendahnya pemahaman masyarakat dan pemangku kepentingan
pendidikan (stakeholder) tentang kedudukan, fungsi dan tugas Dewan Pendidikan dan Komite
Sekolah. Untuk meningkatkan kinerja Komite Sekolah/Madrasah, maka diluncurkan program
pemberdayaan Komite Sekolah, yang akan dilakukan secara bottom-up oleh Dewan Pendidikan
Kabupaten/Kota. Untuk itu, kegiatan TOT Fasilitator Pemberdayaan Komite Sekolah dimaksudkan
untuk menyiapkan SDM-nya. Sedang untuk menyiapkan materinya, telah disiapkan Modul
Pemberdayaan Komite Sekolah ini berserta paparan power point-nya.
Modul Pemberdayaan Komite Sekolah ini terdiri atas tiga tajuk, yang urutannya berbeda
dengan modul yang disusun pada tahun 2009. Modul Pemberdayaan Komite Sekolah yang
disusun pada tahun 2012 ini urutannya diubah menjadi: (1) Peningkatan Wawasan Kependidikan
Pengurus Komite Sekolah, (2) Penguatan Kelembagaan Komite Sekolah, dan (3) Peningkatan

Kemampuan Organisasional Pengurus Komite Sekolah. Modul-modul tersebut disusun oleh tim
penulis yang juga akan menjadi pemandu dalam kegiatan TOT Pemberdayaan Komite Sekolah.

iv

PENINGKATAN WAWASAN KEPENDIDIKAN PENGURUS KOMITE SEKOLAH

Kami menaruh harapan besar agar modul ini dapat menjadi bahan yang bermanfaat
untuk meningkatkan kinerja Komite Sekolah. Kepada tim penulis dan pemandu kegiatan TOT
Pemberdayaan Komite Sekolah, kami menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih.

Jakarta, Maret 2012
a.n. Direktur Jenderal Pendidikan Dasar
Sekretaris Direktorat Jenderal,

Dr. Thamrin Kasman
NIP196011261988031001

KATA PENGANTAR


Dalam paradigma lama, hubungan keluarga, sekolah, dan masyarakat dipandang
sebagai institusi yang terpisah-pisah. Pihak keluarga dan masyarakat dipandang tabu
untuk ikut campur tangan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Apalagi
sampai masuk ke wilayah kewenangan profesional para guru. Dewasa ini, paradigma
lama ini dalam batas-batas tertentu telah ditinggalkan. Keluarga memiliki hak untuk
mengetahui tentang apa saja yang diajarkan oleh guru di sekolah. Orangtua siswa
memiliki hak untuk mengetahui dengan metode apa anak-anaknya diajar oleh guruguru mereka. Dalam paradigma transisional, hubungan keluarga dan sekolah sudah
mulai terjalin, tetapi masyarakat belum melakukan kontak dengan sekolah. Dalam
paradigma baru (new paradigm) hubungan keluarga, sekolah, dan masyarakat harus
terjalin secara sinergis untuk meningkatkan mutu layanan pendidikan, termasuk untuk
meningkatkan mutu hasil belajar siswa di sekolah.
Sekolah adalah sebuah pranata sosial yang bersistem, terdiri atas komponenkomponen yang saling terkait dan pengaruh mempengaruhi. Komponen utama
sekolah adalah siswa, pendidik dan tenaga kependidikan lainnya, kurikulum, serta
fasiltias pendidikan. Selain itu, pemangku kepentingan (stakeholder) juga mempunyai
pengaruh yang besar terhadap proses penyelenggaraan dan peningkatan mutu
pendidikan. Dalam hal ini orangtua dan masyarakat merupakan pemangku kepentingan
yang harus dapat bekerja sama secara sinergis dengan sekolah.
Proses penyelenggaraan pendidikan kini menggunakan pola manajemen yang
dikenal dengan manajemen berbasis sekolah (MBS), yang dalam aspek teknis edukatif
dikenal dengan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS). Untuk itu,

maka orangtua siswa, khususnya yang tergabung dalam Komite Sekolah juga harus
memahami pola manajemen sekolah tersebut.
Dalam kegiatan Managing Basic Education (MBE), orangtua siswa di setiap kelas
di suatu sekolah membentuk Paguyuban Kelas, yang beranggotakan orangtua siswa
dengan tugas membantu guru kelas dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran

vi

PENINGKATAN WAWASAN KEPENDIDIKAN PENGURUS KOMITE SEKOLAH

dengan konsep PAKEM (pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan). Ini
merupakan satu bentuk keterlibatan keluarga dan masyarakat dalam penyelenggaraan
pendidikan. Oleh karena itu, Komite Sekolah perlu memahami wawasan kependidikan
tersebut.
Modul pertama ini meliputi lima bagian yang saling terkait, yaitu: (1) Esensi
Pendidikan, (2) Sekolah Sebagai Suatu Sistem, (3) Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Pendidikan Dasar di Satuan Pendidikan, (4) Manajemen Berbasis Sekolah, dan (5)
Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan.

Tim Penulis,


DAFTAR ISI

SAMBUTAN SEKRETARIS DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN DASAR ------- iii
KATA PENGANTAR ----------------------------------------------------------------------------- v
DAFTAR ISI --------------------------------------------------------------------------------------- vii
MODUL 1.1: ESENSI PENDIDIKAN ---------------------------------------------------------- 1
A. PENDAHULUAN --------------------------------------------------------------------------------- 1
B. PENGERTIAN DAN MAKNA PENDIDIKAN ------------------------------------------------ 3
C. FUNGSI DAN TUJUAN PENDIDIKAN NASIONAL --------------------------------------- 4
D. PERGESERAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN NASIONAL ----------------------------------- 6
E. PERGESERAN PARADIGMA SISTEM PEMERINTAHAN --------------------------------- 11
F. PARADIGMA BARU PENGELOLAAN PENDIDIKAN ------------------------------------- 13
G. MENUJU OTONOMI PADA TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN ------------------------ 14
H. PENUTUP------------------------------------------------------------------------------------------ 18
MODUL 1.2: SEKOLAH SEBAGAI SUATU SISTEM --------------------------------------- 19
A. PENDAHULAN ----------------------------------------------------------------------------------- 19
B. PENGERTIAN SISTEM -------------------------------------------------------------------------- 20
C. PENDEKATAN SISTEM ------------------------------------------------------------------------- 27
D. SEKOLAH SEBAGAI SUATU SISTEM -------------------------------------------------------- 27

E. KINERJA SEKOLAH SEBAGAI SUATU SISTEM -------------------------------------------- 30
F. PENUTUP------------------------------------------------------------------------------------------ 32
MODUL 1.3: STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PENDIDIKAN DASAR
DI SATUAN PENDIDIKAN --------------------------------------------------------------------- 35
A. PENDAHULUAN --------------------------------------------------------------------------------- 35
B. TUJUAN ------------------------------------------------------------------------------------------- 36
C. DASAR HUKUM---------------------------------------------------------------------------------- 36

viii PENINGKATAN WAWASAN KEPENDIDIKAN PENGURUS KOMITE SEKOLAH

D.
E.
F.
G.

PRINSIP-PRINSIP -------------------------------------------------------------------------------TANGGUNG JAWAB PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL--------PENJABARAN SPM SATUAN PENDIDIKAN ----------------------------------------------PERAN KOMITE SEKOLAH DALAM PELAKSANAAN SPM DI SATUAN
PENDIDIKAN ------------------------------------------------------------------------------------H. PENUTUP------------------------------------------------------------------------------------------

38
40

42
44
48

MODUL 1.4: MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS) ------------------------------- 49
A. PENDAHULUAN --------------------------------------------------------------------------------- 49
B. MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH --------------------------------------------------------- 50
C. PRAKTIK MENAJEMEN BERBASIS SEKOLAH --------------------------------------------- 53
D. PENUTUP------------------------------------------------------------------------------------------ 55
MODUL 1.5: PEMBELAJARAN AKTIF, KREATIF, EFEKTIF, DAN
MENYENANGKAN (PAKEM) ------------------------------------------------------------------ 57
A. PENDAHULUAN --------------------------------------------------------------------------------- 57
B. APA ITU PAKEM? -------------------------------------------------------------------------------- 60
C. APA YANG HARUS DIPERHATIKAN DALAM MELAKSANAKAN PAKEM? --------- 61
D. BAGAIMANA PELAKSANAAN PAKEM? ---------------------------------------------------- 62
E. PENUTUP------------------------------------------------------------------------------------------ 64
PAPARAN 1.1: ESENSI PENDIDIKAN ------------------------------------------------------------PAPARAN 1.2: SEKOLAH SEBAGAI SUATU SISTEM -----------------------------------------PAPARAN 1.3: STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PENDIDIKAN DASAR DI
SATUAN PENDIDIKAN ------------------------------------------------------------------------------PAPARAN 1.4: MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS)----------------------------------PAPARAN 1.5: PEMBELAJARAN AKTIF, KREATIF, EFEKTIF, DAN
MENYENANGKAN ------------------------------------------------------------------------------------


67
67
67
68
68

MODUL 1.1:
ESENSI PENDIDIKAN

A.

PENDAHULUAN
“Didiklah dan persiapkanlah anak-anakmu untuk suatu zaman yang bukan
zamanmu, mereka akan hidup pada suatu zaman yang bukan zamanmu” (Ali Bin Abi
Thalib). Pesan Khalifah Ali Bin Abi Thalib itu menyadarkan kita bahwa pendidikan pada
hakikatnya menyangkut masa depan hidup dan kehidupan umat manusia. Agar bangsa
ini dapat tetap eksis dan survive di arena kehidupan global yang semakin kompetitif, tidak
ada cara lain untuk menghadapinya kecuali dengan menyiapkan sumber daya manusia
Indonesia dalam jumlah besar yang memiliki keunggulkan kompettitif. Untuk bertarung
dalam kompetisi masa depan setiap individu dalam masyarakat suatu negara harus

memiliki kemampuan prima dalam menggunakan intangible assets, yaitu knowledge,
learning competence, dan net working (Kotter, 1997). Dalam konteks demikian pendidikan
menempati posisi yang amat strategis.
Secara historis, perjalanan sistem pendidikan di Indonesia boleh dikatakan sudah
cukup panjang. Sejak memasuki periode sejarah, masyarakat Nusantara telah mengenal
sistem pendidikan keagamaaan, yakni agama Hindu, Budha, dan Islam. Agama Hindu yang
mengenal sistem kasta melahirkan sistem pendidikan yang feodalistik sehingga hanya
keluarga kaum Brahmana yang memperoleh peluang untuk mendapatkan pendidikan.
Mungkin latar belakang inilah yang menyebabkan sistem pendidikan agama Hindu
kurang memasyarakat di Bumi Nusantara.
Agama Budha tidak mengenal sistem kasta sehingga pendidikan lebih memasyarakat
dan institusi-institusi pendidikan tampak lebih demokratis. Maka tidak heran ketika zaman
keemasan Kedatuan Sriwijaya terdapat institusi pendidikan agama Budha bernama
Syakyakirti yang amat termashur hingga ke mancanegara. Syakyakirti dikunjungi oleh
para pelajar dari sejumlah negara Asia, antara lain India dan Tiongkok. Bahkan menurut
I’Tsing, saat ia berkunjung ke Sriwijaya, didapati ada sekitar 1.000 penuntut ilmu agama
Budha yang belajar di Syakyakirti (Jalaluddin dalam Sirozi, 2005:viii).

2


PENINGKATAN WAWASAN KEPENDIDIKAN PENGURUS KOMITE SEKOLAH

Pada zaman kesultanan Islam, dikenal ada dua sistem pendidikan, yakni sistem
surau (Aceh: dayah) dan sistem pondok pesantren (Djumhur dan Danasuparta, 1976:112).
Sistem pertama dikelola oleh tokoh agama secara individual atas dukungan masyarakat
setempat, sedangkan sistem pondok pesantren berada dalam kewenangan kesultanan,
sehingga urusan pengelolaan dan pembiayaan serta penunjukkan dan penempatan
tenaga pengajar dilakukan atas persetujuan penguasa politik itu. Setelah menyurutnya
kekuasaan politik Kesultanan Islam, pondok pesantren dikelola oleh kyai atau ulama
sebagai tokoh agama.
Pada masa kolonial Belanda pesantren banyak terlibat dalam kancah politik.
Dalam pandangan pemerintah kolonial Belanda, pondok pesantren merupakan “sarang
pemberontak” (Sirozi, 2005:vi). Atas penilaian itu pula maka, sekitar tahun 1926, pondok
pesantren tidak lagi termuat dalam statistik Pemerintah Hindia Belanda. Upaya untuk
menutup peluang pengembangan institusi pendidikan Islam di Nusantara, tampaknya
terkait dengan kebijakan politik kolonial yang memberlakukan Undang-undang Sekolah
Liar (Wilden Scholen Ordonantie) tahun 1925 dan 1930. Hanya institusi pendidikan yang
memenuhi ketentuan undang-undang tersebutlah yang dianggap legal dan oleh karena
itu memperoleh subsidi dari pemerintah.
Untuk mengantisipasi kebijakan politik pendidikan Pemerintah Hindia Belanda ini,

maka sejumlah organisasi sosial keagamaan mulai “mengadopsi” sistem pendidikan Barat.
Jamiatul Khairiyyah, satu organisasi sosial keagamaan yang didirikan oleh kaum pedagang
keturunan Arab, memelopori berdirinya sistem pendidikan Islam modern, yakni madrasah.
Kemudian langkah ini diikuti oleh organisasi Islam lainnya seperti Muhammadiyah, Persis,
Persyarikatan Ulama, Al-Washliyah, dan Nahdatul Ulama. Sementara itu, di luar pengawasan
pemerintah, sistem pendidikan pondok pesantren terus berlanjut. Keberadaan pondok
pesantren terus dipertahankan sebagai pendidikan masyarakat, terutama di pedesaan.
Setelah Indonesia merdeka, pendidikan dikelola oleh pemerintah. Pendidikan
umum yang merupakan kelanjutan dari sistem pendidikan kolonial Belanda diserahkan
kewenangannya kepada Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PPK).
Adapun pendidikan agama (Islam) berada dalam naungan Departemen Agama. Kondisi
tersebut berlangsung hingga saat ini (Assegaf: 2005:7). Dewasa ini penyelenggaraan
pendidikan diatur oleh Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Untuk melaksanakan undang-undang tersebut pemerintah telah mengeluarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan
Pendidikan. Dalam peraturan pemerintah tersebut diatur berbagai hal untuk mengelola
dan menyelenggarakan pendidikan nasional termasuk di dalamnya mengatur ihwal
komite sekolah.
Sebagai lembaga mitra sejajar satuan pendidikan, komite sekolah menempati posisi
yang amat strategis karena mengemban fungsi dalam peningkatan mutu pelayanan

MODUL 1.1: ESENSI PENDIDIKAN 3

pendidikan. Karena fungsinya yang amat penting itu maka komite sekolah perlu menata
dirinya maupun para anggotanya agar menjadi organisasi yang efektif, yakni dapat
melaksanakan fungsinya dalam memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga,
sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan.
Agar dapat melaksanakan empat fungsi tersebut pengurus dan anggota komite sekolah
hendaknya memiliki pemahaman yang komprehensif tentang esensi pendidikan.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Dengan demikian pendidikan bukanlah pelatihan, dan pelatihan tidak boleh mereduksi
makna pendidikan. Batasan ini perlu benar-benar ditangkap dan dipahami agar jika
terjadi penyimpangan di sekolah, misalnya pendidikan dipraktikan laksana pelatihan,
maka komite sekolah dapat memberikaan pertimbangan dan arahan agar memosisikan
proses pendidikan pada esensi yang sebenarnya.
Modul 1.1 ini akan menguraikan esensi pendidikan yang meliputi uraian tentang
(1) pengertian dan makna pendidikan; (2) fungsi dan tujuan pendidikan nasional; (3)
pergeseran kebijakan pendidikan nasional; (4) pergeseran paradigma sistem pemerintahan;
(5) paradigma baru pengelolaan pendidikan; dan (6) menuju otonomi pada tingkat satuan
pendidikan.
B.

PENGERTIAN DAN MAKNA PENDIDIKAN
Kata pendidikan sudah sedemikian dikenal oleh siapapun karena ia pernah
hadir dalam kehidupan manusia utamanya pada abad modern sekarang ini. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia pendidikan diartikan sebagai proses pembelajaran bagi
individu untuk mencapai pengetahuan dan pemahaman yang lebih tinggi mengenai
obyek-obyek tertentu dan spesifik. Pengetahuan tersebut diperoleh secara formal yang
berakibat individu mempunyai pola pikir dan perilaku sesuai dengan pendidikan yang
telah diperolehnya. Dalam khasanah bahasa Yunani terdapat kata pedagogi berasal dari
akar kata paid dan agogos. Paid berarti anak dan agogos berarti membimbing. Dengan
demikian pedagogi (baca: pendidikan) adalah usaha membimbing anak untuk mencapai
kedewasaan. Dalam konteks nasional kita mendefinisikan pendidikan sebagai usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (UU Nomor
20 Tahun 2003). Dari rumusan pengertian pendidikan tersebut tampak bahwa aspek
kesungguhan membimbing anak mencapai kedewasaan yang sempurna merupakan inti
dari pengertian pendidikan. Artinya, praktik pendidikan bukan pekerjaan alakadarnya,

4

PENINGKATAN WAWASAN KEPENDIDIKAN PENGURUS KOMITE SEKOLAH

sambil lalu, dan hasilnya pun apa adanya; melainkan suatu upaya sepenuh hati dan sekuat
tenaga untuk mengembangkan potensi anak agar menjadi manusia dewasa yang cerdas
otaknya, lembut hatinya, dan terampil tangannya dalam balutan iman dan takwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
Merujuk pada uraian di atas tampak bahwa pendidikan merupakan upaya
sistematis agar manusia memahami hubungan antarmanusia dan juga dengan makhluk
hidup lainnya, termasuk dengan alam lingkungannya. Maka dari itu, pendidikan bisa
dikatakan dasar dari proses pembangunan sebuah negara. Walaupun di dalamnya ada
unsur-unsur teknis yang biasa ditangani melalui pelatihan, pendidikan bukanlah sekedar
pelatihan, dan pelatihan tidak dapat mereduksi makna pendidikan. Bila terjadi proses
reduksi pendidikan demi efisiensi dan efektivitas yang akan terjadi justru kemadegan
kemanusiaan itu sendiri, termasuk di dalamnya modernisasi. Modernisasi adalah hasil dari
pemahaman secara total akan kehidupan yang terus-menerus berkembang. Tetapi, hal
itu tidak dapat dicapai melalui proses percepatan dengan mereduksi pendidikan menjadi
pelatihan, seperti yang saat ini terjadi di Indonesia dan bisa saja di negara-negara lainnya
(Saefuddin, 2011:197). Hal ini tampak dalam praktik pendidikan yang lebih mementingkan
perolehan hasil ujian dari pada tumbuhnya kejujuran dan kemandirian, sebab sering kali
terjadi peristiwa yang mencampakan kejujuran dan kemandirian demi lulus ujian. Praktik
pendidikan more testing than educating ini pada hakikatnya tidak sesuai dengan makna
pendidikan yang sebenarnya. Makna pendidikan yang sebenarnya adalah memberikan
ruang yang luas untuk kebebasan berpikir dan kejernihan hati nurani (rasa) sebagai cikal
bakal munculnya karya dan keindahan. Rantai teknologi – ilmu pengetahuan – kebebasan
berpikir – dan rasa – karya dan keindahan (baca: rantai modernisasi) tidak akan berkembang
bilamana suasana tidak kondusif ke arah itu. Suasana kondusif itulah pendidikan. Jadi,
pendidikan harus mampu memberikan ruang yang luas supaya rantai modernisasi
itu berkembang dengan baik (Saefuddin, 2011:198). Bukan sebaliknya menjadi ajang
pembantaian potensi, pemenjaraan kreativitas, pengerdilan nurani, dan berujung pada
proses indoktrinasi. Di sinilah pentingnya komite sekolah untuk mengawal agar proses
pendidikan di sekolah sesuai dengan makna pendidikan yang mengembangkan rantai
modernisasi: mengembangkan kebebasan berpikir – mengasah rasa – memupuk karya –
merajut keindahan dalam balutan keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa.
C.

FUNGSI DAN TUJUAN PENDIDIKAN NASIONAL
Segala jerih payah dan daya upaya kita dalam menyelenggarakan pendidikan
nasional bukanlah merupakan perbuatan yang biasa-biasa saja apalagi yang sia-sia,
mengingat fungsi dan tujuannya demikian agung. Oleh karena itu seluruh komponen
yang menggerakan roda pendidikan nasional adalah insan-insan pejuang yang tidak
bisa dipandang sebelah mata, sebaliknya harus dihargai sebagai bagian dari pengabdian

MODUL 1.1: ESENSI PENDIDIKAN 5

kepada nusa dan bangsa. Dalam Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional Pasal 3 secara tegas dinyatakan sebagai berikut:
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab”.
Dari kutipan Pasal 3 tersebut tampak bahwa pendidikan nasional memiliki fungsi
yang amat tinggi maknanya, yakni hendak mengembangkan kemampuan yang ada dan
bersemayam sebagai potensi peserta didik baik potensi rohaniah maupun badaniah.
Pengembangan potensi tersebut dimaksudkan agar mendukung pengembangan bangsa
Indonesia sebagai bangsa yang memiliki watak dan peradaban yang bermartabat.
Logikanya adalah praktik-praktik pendidikaan hendaknya menghasilkan insan-insan
Indonesia yang bukan saja cerdas otaknya, namun juga lembut hatinya, dan terampil
tangannya. Artinya, insan-insan hasil didikan itu menjadi insan paripurna yang pada
gilirannya akan berkontribusi melahirkan bangsa Indonesia yang memiliki watak dan
peradaban yang bertabat, bukan bangsa “tempe” atau bangsa “kuli”. Konsisten dengan
fungsi tersebut maka pendidikan nasional menurunkan sembilan tujuan yang berisi
capaian belajar (learning outcomes) yang unggul, yakni:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Berakhlak mulia.
Sehat.
Berilmu.
Cakap.
Kreatif.
Mandiri.
Menjadi warga negara yang demokratis.
Bertanggung jawab.

Makna terpenting dari uraian tentang fungsi dan tujuan pendidikan nasional bagi
kita adalah betapa kelirunya jika capaian hasil belajar hanya diukur dari hasil ulangan dan
hasil ujian nasional. Apalagi jika untuk mencapainya dilakukan dengan mencampakan
nilai-nilai kejujuran, kemandirian, ahlak mulia, dan sebagainya. Oleh karena itu upaya
yang amat mulia jika komite sekolah dapat menjalankan fungsinya dalam memberikan
pertimbangan dan arahan agar satuan pendidikan menurunkan fungsi pendidikan
nasional menjadi fungsi sekolah dan menerjemahkan komponen-komponen tujuan
pendidikan nasional menjadi tujuan sekolah.

6

D.

PENINGKATAN WAWASAN KEPENDIDIKAN PENGURUS KOMITE SEKOLAH

PERGESERAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN NASIONAL
Mencermati perkembangan kebijakan pendidikan nasional sekurang-kurangnya
mempunyai tiga makna. Pertama, untuk mengetahui kondisi pendidikan beserta socialsetting yang mempengaruhinya; kedua, untuk mengetahui pergeseran kebijakan
pendidikan dari masa prakemerdekaan hingga kini, sehingga diketahui apa yang telah
berubah dan respons masyarakat atas kebijakan yang diambil; ketiga, untuk dapat
memprediksikan arah pendidikan nasional masa depan yang berbasis akar budaya dan
berwawasan kebangsaan.
Interval waktu untuk memahami pergeseran kebijakan pendidikan nasional
disistematisasikan dalam beberapa periodisasi sebagai berikut (Kuntoro, 1997:1-2;
Djojonegoro, dkk., 1995:vii-viii). Periode pertama, masa perjuangan, yakni masa pergerakan
nasional, bermula pada masa imperialisme hingga kemerdekaan. Dalam hal ini difokuskan
sejak masa pendudukan Jepang sampai kemerdekaan: 1942-1945. Periode kedua, masa
awal kemerdekaan atau masa Orde Lama, tahun 1945 sampai terbentuknya secara
yuridis-formal Undang-undang RI Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan
dan Pengajaran di Sekolah hingga berakhirnya Orde Lama, tahun 1965. Periode ketiga,
masa pembangunan atau masa Orde Baru, diawali dengan berakhirnya periode kedua
sampai tahun 1994, yang ditandai diberlakukannya Kurikulum Tahun 1994, hingg era
Reformasi sejak 1998 sampai dikembangkannya Kurikulum Berbasis Kompetensi pada
2004 dan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006.
Masa perjuangan. Merupakan masa transisi kebijakan dari Kolonial Belanda ke
Jepang. Perubahan mendasar akibat transisi kebijakan tersebut sedikitnya tampak dalam
lima hal. Pertama, perubahan misi, dari upaya Kristenisasi oleh Belanda ke Nipponisasi oleh
Jepang. Kedua, perubahan tipe kepemimpinan, dari sosok pemerintahan sipil Belanda ke
militeristik Jepang. Ketiga, perubahan strategi politik dari devide et impera Belanda ke
taktik integrasi ala Jepang. Keempat, perubahan sistem pendidikan yang semula bersifat
diskriminatif dengan diferensiasi sekolah menuju ke arah penyeragaman pendidikan.
Kelima, perubahan yang berkaitan dengaan materi dan tujuan pendidikan dan pengajaran.
Masa awal kemerdekaan. Masa ini dihiasi oleh perubahan situasi sosial politik yang
sangat dahsyat. Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 menandai berakhirnya masa
pendudukan Jepang atas Indonesia dan pada saat yang sama mengawali bangkitnya
pendidikan nasional. Oleh karena itu pendidikan nasional pada masa awal kemerdekaan,
tidak lepas dari pengaruh kondisi sosial politik yang ada. Karenanya transisi kebijakan
pendidikan nasional pada masa ini dapat dibagi dalam tiga fase seiring dengan suasana
politik yang mempengaruhinya. Fase pertama, sejak proklamasi kemerdekaan sampai
terbentuknya Undang-undang RI Nomor 4 tahun 1950. Iklim pendidikan nasional saat
itu, antara lain berupa: (a) masa jabatan menteri Pengajaran relatif singkat akibat sering
terjadi penggantian menteri; (b) minimnya jumlah guru, terutama guru sekolah dasar,

MODUL 1.1: ESENSI PENDIDIKAN 7

akibat keikutsertaan guru dalam perang kemerdekaan, demikian pula halnya dengan para
pelajar yang merangkap fungsi sebagai tentara, menimbulkan terpecahnya konsentrasi
pendidikan ke arah perjuangan nasional; (c) fasilitas sekolah banyak yang hancur akibat
perang atau karena dipakai sebagai barak militer, mengakibatkan terhentinya proses
pembelajaran di kelas; (d) belum terbentuknya undang-undang tentang pendidikan
nasional.
Fase kedua, dari akhir fase pertama sampai dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli
1959. Fase ini dalam konteks politik saat itu dikenal sebagai masa Demokrasi Liberal atau
Demokrasi Parlementer (1951-1959). Pada fase ini beberapa faktor sosial politik yang
memengaruhi situasi pendidikan nasional telah berubah dari fase sebelumnya. Faktor
dimaksud antara lain: (a) terjadi perubahan bentuk negara dari RIS ke Negara Kesauan;
(b) berlakunya sistem Demokasi Liberal atau Demokrasi Parlementer; (c) adanya Dekrit
Presiden yang menyatakan berlakunya kembali UUD 1945; dan (d) melalui perjuangan
bangsa Indonesia di bidang pendidikan maka dibentuklah Undang-undang RI Nomor 4
Tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah yang lebih dikenal
dengan nama Undang-undang Pendidikan dan Pengajaran (UUPP).
Fase ketiga, dari akhir fase kedua sampai berakhirnya masa Demokrasi Terpimpin
(1959-1965). Makna dari Demokrasi Terpimpin itu nyatanya bergeser dari dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, sebagaimana makna sila
keempat Pancasila, menjadi dipimpin oleh Presiden/Panglima Besar Revolusi. Pada tanggal
17 Agustus 1959 Presiden Sukarno menyampaikan pidato yang diberi judul Manifesto
Politik. Manifeto Politik inilah yang dijadikan doktrin dalam era Demokrasi Terpimpin dan
sekaligus sebagai penjelasan resmi Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Era kehidupan ini dikenal
sebagai era Manifesto Politik (disingkat Manipol).
Lalu, apa pengaruh Manipol bagi pendidikan nasional saat itu ? Pertama, dari
sisi ideologi, Manipol diindoktrinasikan pada seluruh lapisan masyarakat Indonesia
termasuk di semua jenjang dan jenis pendidikan. Kedua, dari sisi kebjakan pendidikan,
asas pendidikan nasional adalah Pancasila dan Manipol USDEK (UUD 1945, Sosialisme
Demokrasi, Ekonomi, dan Kepribadian). Ketiga, dari sisi materi pembelajaran. Pancasila dan
Manipol USDEK dijadikan mata pelajaran di perguruan rendah sampai perguruan tinggi.
Masa pembangunan hingga reformasi. Sejak 1966 Indonesia diperintah oleh
regim Orde Baru. Peralihan dari masa Orde Lama ke Orde Baru membawa konsekuensi
perubahan strategi politik dan kebijakan pendidikan nasional (Liddle, 1995:1). Fokus
perhatian Orde Baru ditujukan pada empat tahap strategi politik. Semuanya berpengaruh
langsung bagi kebijakan pendidikan nasional. Pertama, penghancuran PKI beserta
ideologi Marxisme dari kehidupan politik bangsa, serta membersihkan semua lembaga
dan kekuatan sosial politik dari kader-kader PKI dan proses de-Nasakomisasi seluruh aspek
kehidupan bangsa. Kedua, konsolidasi pemerintahan dan pemurnian Pancasila dan UUD

8

PENINGKATAN WAWASAN KEPENDIDIKAN PENGURUS KOMITE SEKOLAH

1945. Ketiga, menghapuskan dualisme dalam kepemimpinan nasional. Untuk itu diadakan
Sidang Istimewa MPRS tahun 1967 dengan hasil diangkatnya Jederal Soeharto sebagai
Presiden. Keempat, mengembalikan kestabilan politik dan merencanakan pembangunan.
Strategi ini dilakukan dengan jalan mengisi kemerdekaan melalui pembangunan ekonomi
serta mengembalikan wibawa pemerintah dari pusat sampai ke desa (Soemitro, 1994:185).
Itu sebabnya maka Orde Baru ini diidentikan dengan masa pembangunan.
Pada pertengahan 1997 negara kita dilanda krisis ekonomi dan moneter yang
sangat hebat. Akibat dari krisis tersebut, harga-harga melambung tinggi, sedangkan daya
beli masyarakat terus menurun. Sementara itu nilai tukar rupiah terhadap mata uang
asing, terutama dolar Amerika, semakin merosot. Menyikapi kondisi seperti itu Pemerintah
berusaha menanggulanginya dengan berbagai kebijakan. Namun kondisi ekonomi tidak
kunjung membaik. Bahkan kian hari semakin bertambah parah.
Krisis yang terjadi meluas pada aspek politik. Masyarakat mulai tidak lagi mempercayai
Pemerintah. Maka timbullah krisis kepercayaan pada Pemerintah. Gelombang unjuk rasa
secara besar-besaran terjadi di Jakarta dan di daerah-daerah. Unjuk rasa tersebut dimotori
oleh mahasiswa, pemuda, dan berbagai komponen bangsa lainnya. Pemerintah sudah
tidak mampu lagi mengendalikan keadaan. Maka pada 21 Mei 1998 Presiden Soeharto
menyatakan berhenti dari jabatan presiden. Berhentinya Presiden Soeharto menjadi awal
era reformasi di tanah air.
Era reformasi memberikan harapan besar bagi bangsa Indonesia untuk melakukan
perubahan. Perubahan apa yang kita harapkan itu? Tiada lain adalah perubahan menuju
penyelenggaraan negara yang lebih demokratis, transparan, memiliki akuntabilitas tinggi,
terwujudnya good governance, adanya kebebasan berpendapat. Perubahan-perubahan
tersebut diharapkan makin mendekatkan bangsa kita untuk mewujudkan tujuan
nasional. Maka dari itu gerakan reformasi harus mampu mendorong perubahan mental
para pemimpin dan rakyat, yakni menganut dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran,
keadilan, kejujuran, tanggung jawab, persamaan, dan persaudaraan.
Pada awal era reformasi (pertengahan 1998), populer di masyarakat banyaknya
tuntutan reformasi. Tuntutan tersebut didesakkan oleh berbagai komponen bangsa,
terutama oleh mahasiswa dan pemuda. Beberapa tuntutan reformasi itu adalah: (a)
Amandemen UUD 1945; (b) Penghapusan Doktrin Dwi Fungsi Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (ABRI); (c) Penegakan supremasi hukum, penghormatan hak
asasi manusia (HAM), serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN); (d)
Desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah (otonomi daerah); (e)
Mewujudkan kebebasan pers; dan (f) Mewujudkan kehidupan demokrasi. Mengiringi era
Reformasi ini terjadilah pergeseran paradigma sistem pemerintahan dari sentralisasi ke
desentralisasi.

MODUL 1.1: ESENSI PENDIDIKAN 9

Tabel 1: Pergeseran Tujuan Pendidikan Nasional dan Analisis Faktor Perubahan
KURUN WAKTU

TUJUAN PENDIDIKAN

ANALISIS FAKTOR
PERUBAHAN

Masa Belanda:
Sebelum 1900
Sesudah 1900

Membentuk kelas elite

Untuk memenuhi
kebutuhan tenaga buruh,
kepentingan kaum modal
dan tenaga administrasi
Belanda.

Masa Jepang
(1942-1945)

Memenuhi tenaga buruh dan militer.

Kepentingan Perang Asia
Timur Raya.

Tahun 1946

Membentuk warganegara yang sejati
dan dapat menyumbangkan tenaga
dan pikiran untuk negara.

Semangat nasionalisme dan
patriotisme bangsa.

UUPP Nomor 4
Tahun 1950

Membentuk manusia susila yang
cakap dan warganegara yang
demokratis serta bertanggung jawab
tentang kesejahteraan masyarakat
dan tanah air.

Pengaruh bentuk negara
RIS dan Sistem Demokrasi
Parlementer.

Kepres RI Nomor
145 Tahun 1965

Melahirkan warganegara
sosialis Indonesia yang susila
yang bertanggung jawab atas
terselenggaranya masyarakat sosialis
Indonesia, adil dan makmur baik
spiritual maupun materiil yang
berjiwa Pancasila, yaitu: a. KeTuhanan
Yang Maha Esa; b. Perikemanusiaan
yang adil dan beradab; c..
Kebangsaan; d. Kerakyatan; e.
Keadilan sosial, seperti dijelaskan
dalam Manipol USDEK.

Ide manipol USDEK dan
pengaruh PKI.

TAP MPRS RI Nomor Membentuk manusia Pancasilais
XXVII/MPRS/1966
sejati berdasarkan ketentuanBab II Pasal 30.
ketentuan seperti yang dikehendaki
oleh Pembukaan UUD 1945.

Pembubaran PKI;
Munculnya Orde Baru
dengan semangat kembali
kepada Pancasila dan UUD
1945.

10 PENINGKATAN WAWASAN KEPENDIDIKAN PENGURUS KOMITE SEKOLAH

KURUN WAKTU

TUJUAN PENDIDIKAN

ANALISIS FAKTOR
PERUBAHAN

GBHN 1973

Membentuk manusia-manusia
pembangunan yang berPancasila untuk membentuk
manusia Indonesia yang sehat
jasmani dan rohaninya, memiliki
pengetahuan dan keterampilan,
dapat mengembangkan kreativitas
dan tanggung jawab, dan
menyuburkan sikap demokrasi
dan penuh tanggung jawab, dapat
mengembangkan kecerdasan yang
tinggi dan disertai budi pekerti yang
luhur, mencintai bangsanya dan
mencintai sesama mansuia sesuai
dengan ketentuan yang termaktub
dalam UUD 1945.

Kebijakan politik
pembangunan dalam
Repelita I

GBHN 1978

Pendidikan nasional berdasarkan
Kebijakan politik
atas Pancasila dan bertujuan untuk
pembangunan dalam
meningkatkan ketaqwaan terhadap
Repelita II
Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan,
keterampilan, mempertinggi budi
pekerti, memperkuat kepribadian dan
mempertebal semangat kebangsaan
agar dapat menumbuhkan manusiamanusia pembangunan yang dapat
membangun dirinya serta serta
bersama-sama bertanggung jawab
atas pembangunan bangsa.

GBHN 1983

Meningkatkan ketaqwaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan
dan keterampilan, mempertinggi
budi pekerti, memperkuat
kepribadian dan mempertebal
semangat kebangsaan dan cinta
tanah air, agar dapat menumbuhkan
manusia-manusia pembangunan
yang dapat membangun
dirinya sendiri serta bersamasama bertanggung jawab atas
pembangunan bangsa.

Kebijakan politik
pembangunan dalam
Repelita III

MODUL 1.1: ESENSI PENDIDIKAN 11

KURUN WAKTU

TUJUAN PENDIDIKAN

ANALISIS FAKTOR
PERUBAHAN

GBHN 1988

Meningkatkan kualitas manusia
Indonesia, yaitu manusia yang
beriman dan bertaqwa terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, berbudi
pekerti luhur, berkepribadian,
berdisiplin, bekerja keras, tangguh,
bertanggung jawab, mandiri, cerdas,
trampil, serta sehat jasmani dan
rohani.

Kebijakan politik
pembangunan dalam
Repelita IV dan menguatnya
pengaruh Islam.

UUSPN Nomor 2
Tahun 1989

Mencerdaskan kehidupan bangsa
dan mengembangkan manusia
Indonesia seutuhnya, yaitu manusia
yang beriman dan bertqwa terhadap
Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi
pekerti luhur, memiliki pengetahuan
dan keterampilan, kesehatan
jasmani dan rohani, kepribadian
yang mantap dan mandiri serta rasa
tanggung jawab kemasyarakatan dan
kebangsaan.

Kebijakan politik
pembangunan dalam
Repelita V dan menguatnya
pengaruh Islam.

UUSPN Nomor 20
Tahun 2003

Pendidikan nasional berfungsi
Kebijakan reformasi
mengembangkan kemampuan
pendidikan nasional.
dan membentuk waak serta
peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.

Sumber: Assegaf (2005:98).
E.

PERGESERAN PARADIGMA SISTEM PEMERINTAHAN
Sejak awal tahun 2001, telah bergulir suatu pergeseran paradigma sistem
pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi. Hal ini ditengarai oleh lahirnya UU No.
22 Tahun 1999 Jo. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sesuai dengan
paradigma ini, seluruh komponen sistem pemerintahan harus menyesuaikan diri dengan
keadaan dan tuntutan yang berkembang dalam masyarakat. Prinsip-prinsip perubahan
paradigmatik tersebut juga berlaku pada semua bidang termasuk dalam pengelolaan
pendidikan nasional. Sistem pendidikan dituntut untuk melaksanakan rekonseptualisasi

12 PENINGKATAN WAWASAN KEPENDIDIKAN PENGURUS KOMITE SEKOLAH

dan restrukturisasi secara menyeluruh sehingga dapat menjawab tantangan desentralisasi
pemerintahan di bidang pendidikan seperti yang diatur dalam UU tentang Pemerintahan
Daerah tersebut di atas.
Selain sebagai salah satu sektor dalam sistem pemerintahan, pendidikan juga
merupakan sistem tersendiri yang dapat diselenggarakan di luar sistem pemerintahan
baik di pusat, propinsi maupun kabupaten/kota. Di luar mekanisme pemerintahan,
pengelolaan pendidikan juga dilakukan oleh masyarakat, yaitu: (1) Pengelolaan pendidikan
dasar dan menengah, misalnya oleh Yayasan Pendidikan Swasta sebagai wujud pelayanan
sosial (public service) yang dilakukan secara langsung oleh masyarakat, (2) Pengelolaan
pendidikan dasar dan menengah yang dilaksanakan secara profesional sebagai wujud
dari industri pendidikan, yaitu yang dilakukan oleh lembaga-lembaga profesional yang
bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari pelayanan pendidikan yang bermutu, dan
(3) Pengelolaan pendidikan oleh masyarakat, yaitu pengelolaan pendidikan dasar dan
menengah yang secara langsung dilakukan oleh masyarakat di setiap daerah, sebagai
salah satu bentuk kepedulian dan partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan
pendidikan.
Sebagai sistem yang diselenggarakan di luar mekanisme pemerintahan,
desentralisasi pendidikan tidak dilakukan melalui penyerahan wewenang pemerintah
pusat ke pemerintah daerah, tetapi penyerahan wewenang kepada setiap satuan
pendidikan itu sendiri. Dengan demikian, selain konsep desentralisasi pemerintahan di
bidang pendidikan, terdapat pula konsep desentralisasi dan otonomi pendidikan yang
menekankan pada wewenang dan otoritas yang dimiliki oleh setiap satuan pendidikan.
Konsep ini berkembang di lingkungan Depdiknas, sebagai salah satu sektor teknis,
yang dalam pelaksanaannya memerlukan Undang-Undang sektor tersendiri. Di bidang
pendidikan, sekarang kita telah memiliki undang-undang yang baru (UU Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang lebih berorientasi desentralisasi
pendidikan sebagai pengganti UU Nomor 2 Tahun 1989 yang masih berasas sentralistik.
Desentralisasi pendidikan nasional dilaksanakan atas dasar pemikiran bahwa
masyarakat di daerah merupakan fondasi yang kuat dalam pengembangan kualitas sumber
daya manusia (SDM) Indonesia. Sisi moralnya adalah, “bahwa masyarakat daerah-lah yang
paling mengetahui permasalahan dan kebutuhan mereka sendiri” dan mereka itulah yang
harus berperan lebih besar sebagai penentu kebijakan operasional, penanggung jawab,
serta pelaksana terdepan dari pengelolaan sistem pendidikan nasional. Sesuai dengan
konsep desentralisasi pendidikan, masyarakat dianggap sebagai pihak yang paling
menentukan terhadap pelaksanaan dan penyelenggaraan sistem pendidikan, khususnya
sistem pendidikan dasar dan menengah di setiap daerah. Masyarakat adalah sumber
inspirasi dan sasaran yang harus dicapai dari sistem pendidikan di daerah. Masyarakat
juga merupakan sumber dana bagi penyelenggaraan pendidikan di setiap daerah, di

MODUL 1.1: ESENSI PENDIDIKAN 13

luar biaya yang diperoleh dari sumber-sumber anggaran pemerintah. Dengan demikian,
masyarakat adalah stake-holder dari sistem pendidikan dasar dan menengah, atau pihak
yang paling menentukan terhadap sistem dan proses pendidikan.
Namun, masyarakat itu kenyataannya sangat kompleks dan tidak miliki batas yang
jelas, sehingga sulit menentukan masyarakat yang mana sebagai stake-holder di bidang
pendidikan. Salah satu cara memfungsikan masyarakat sebagai stake-holder tersebut
adalah dengan menggunakan prinsip perwakilan, yaitu memilih sejumlah kecil dari seluruh
anggota masyarakat untuk melaksanakan fungsi-fungsi kontrol, pemberi masukan,
pemberi dukungan, serta fungsi mediator antara masyarakat dengan lembaga-lembaga
pendidikan. Fungsi-fungsi tersebut dilakukan Dewan Pendidikan di tingkat kabupaten/
kota dan propinsi, serta Komite Sekolah pada tingkat satuan pendidikan.
F.

PARADIGMA BARU PENGELOLAAN PENDIDIKAN
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan suatu pergeseran paradigma
dalam pengelolaan pendidikan, namun, tidak berarti paradigma ini “baru” sama sekali,
karena pernah kita miliki sebelum Inpres Nomor 10 Tahun 1973. Sekolah-sekolah dikelola
secara mikro dengan sepenuhnya diperankan oleh kepala sekolah dan guru-guru sebagai
pengelola dan pelaksana pendidikan pada setiap sekolah yang juga tidak terpisahkan
dari lingkungan masyarakatnya. MBS bermaksud “mengembalikan” sekolah kepada
pemiliknya yaitu masyarakat, yang diharapkan akan merasa bertanggung jawab kembali
sepenuhnya terhadap pendidikan yang diselenggarakan di sekolah-sekolah.
Sisi moralnya adalah bahwa hanya sekolah dan masyarakatlah yang paling
mengetahui berbagai persoalan pendidikan yang dapat menghambat peningkatan mutu
pendidikan. Dengan demikian merekalah yang seharusnya menjadi pelaku utama dalam
membangun pendidikan yang bermutu dan relevan dengan kebutuhan masyarakatnya.
Hanya kepala sekolah yang paling mengetahui apakah guru bekerja baik, apakah bukubuku kurang, apakah perpustakaan digunakan, apakah sarana pendidikan masih layak
pakai, dan sebagainya. Kepala sekolah dapat “berunding” dengan masyarakat untuk
memecahkan berbagai persoalan pendidikan bersama-sama termasuk mengatasi
kekurangan sarana-prasarana pendidikan.
Di sisi lain, hanya guru-guru-lah yang paling memahami, mengapa prestasi belajar
murid-muridnya menurun, mengapa sebagian murid bolos atau putus sekolah, metoda
mengajar apakah yang efektif, apakah kurikulumnya dapat dilaksanakan, dan sebagainya.
Guru-guru bersama kepala sekolah dapat bekerjasama untuk memecahkan masalahmasalah yang menyangkut proses pembelajaran tersebut. Untuk itu kepala sekolah dan
guru-guru harus dikembangkan kemampuannya dalam melakukan kajian serta analisis
agar semakin peka terhadap dan memahami dengan cepat cara-cara pemecahan masalah
pendidikan di sekolahnya masing-masing.

14 PENINGKATAN WAWASAN KEPENDIDIKAN PENGURUS KOMITE SEKOLAH

Dengan MBS, pemecahan masalah internal sekolah, baik yang menyangkut proses
pembelajaran maupun sumber daya pendukungnya cukup dibicarakan di dalam sekolah
dengan masyarakatnya, sehingga tidak perlu diangkat ke tingkat pemerintah daerah
apalagi ke tingkat pusat yang “jauh panggang dari api” itu. Tugas pemerintah (pusat dan
daerah) adalah memberikan fasilitasi dan bantuan pada saat sekolah dan masyarakat
menemui jalan buntu dalam suatu pemecahan masalah. Fasilitasi ini mungkin berbentuk
capacity building, bantuan teknis pembelajaran atau manajemen sekolah, subsidi bantuan
sumber daya pendidikan, serta kurikulum nasional dan pengendalian mutu pendidikan
baik tingkatan daerah maupun nasional. Agar dapat memberikan fasilitasi secara objektif,
pemerintah perlu didukung oleh sistem pendataan dan pemetaan mutu pendidikan yang
handal dan terbakukan secara nasional.
G.

MENUJU OTONOMI PADA TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN
Paradigma MBS beranggapan bahwa, satu-satunya jalan masuk yang terdekat
menuju peningkatan mutu dan relevansi adalah demokratisasi, partisipasi, dan
akuntabilitas pendidikan. Kepala sekolah, guru, dan masyarakat adalah pelaku utama
dan terdepan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah sehingga segala keputusan
mengenai penanganan persoalan pendidikan pada tingkatan mikro harus dihasilkan
dari interaksi dari ketiga pihak tersebut. Masyarakat adalah stake-holder pendidikan yang
memiliki kepentingan akan berhasilan pendidikan di sekolah, karena mereka adalah
pembayar pendidikan, baik melalui uang sekolah maupun pajak, sehingga sekolahsekolah seharusnya bertanggung jawab terhadap masyarakat.
Namun demikian, entitas yang disebut “masyarakat” itu sangat, sebagaimana
telah dikemukakan terdahulu, sangat kompleks dan tak berbatas (borderless) sehingga
sangat sulit bagi sekolah untuk berinteraksi dengan masyarakat sebagai stake-holder
pendidikan. Untuk penyelenggaraan pendidikan di sekolah, konsep masyarakat itu perlu
disederhanakan (simplified) agar menjadi mudah bagi sekolah melakukan hubungan
dengan masyarakat itu.
Penyederhanaan konsep masyarakat itu dilakukan melalui “perwakilan” fungsi
stake-holder, dengan jalan membentuk Komite Sekolah pada setiap sekolah dan Dewan
Pendidikan di setiap kabupaten/kota dan propinsi. Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah
(DPKS) sedapat mungkin bisa merepresentasikan keragaman yang ada agar benar-benar
dapat mewakili masyarakat. Dengan demikian, interaksi antara sekolah dan masyarakat
dapat diwujudkan melalui mekanisme pengambilan keputusan antara sekolah-sekolah
dengan Komite Sekolah, dan interaksi antara para pejabat pendidikan di pemerintah
kabupaten/kota dan propinsi dengan Dewan Pendidikan. Bukti tanggungjawab
masyarakat terhadap pendidikan diwujudkan dalam peran yang melekat pada DPKS,
yaitu peran pemberi pertimbangan dalam pengambilan keputusan, peran kontrol dan
akuntabilitas publik, peran pendukungan (supports), serta peran mediator antara sekolah

MODUL 1.1: ESENSI PENDIDIKAN 15

dengan masyarakat yang diwakilinya (Suryadi dan Budimansyah, 2009).
Kemandirian setiap satuan pendidikan adalah salah satu sasaran dari kebijakan
desentralisasi pendidikan sehingga sekolah-sekolah menjadi lembaga yang otonom
dengan sendirinya. Namun tentu saja, pergeseran menuju sekolah-sekolah yang otonom
adalah jalan panjang sehingga memerlukan berbagai kajian serta perencanaan yang hatihati dan mendalam. Jalan panjang ini tidak selalu mulus, tetapi akan menempuh jalan
terjal yang penuh dengan onak dan duri. Orang bisa saja mengatakan bahwa paradigma
baru untuk mewujudkan pengelolaan pendidikan yang demokratis dan partisipatif, tidak
dapat dilaksanakan di dalam suatu lingkungan birokrasi yang tidak demokratis. Namun,
pengembangan demokratisasi pendidikan tidak harus menunggu birokrasinya menjadi
demokratis dulu, tetapi harus dilakukan secara simultan dengan konsep yang jelas dan
transparan.
Pelaksanaan desentralisasi pendidikan sebaiknya tidak dilakukan melalui
suatu mekanisme penyerahan “kekuasaan birokrasi” dari pusat ke daerah, karena
kekuasaan telah terbukti gagal dalam mewujudkan pendidikan yang bermutu. Melalui
strategi “desentralisasi pemerintahan di bidang pendidikan”, Depdiknas tidak hanya
berkepentingan dalam mengembangkan kabupaten/kota dalam mengelola pendidikan,
tetapi juga berkepentingan dalam mewujudkan otonomi satuan pendidikan. Depdiknas
memiliki keleluasaan untuk membangun kapasitas setiap penyelenggara pendidikan,
yaitu sekolah-sekolah. MBS mengembangkan satuan-satuan pendidikan secara otonom
karena mereka adalah pihak yang paling mengetahui operasional pendidikan. Sesuai
dengan strategi ini sekolah bukan bawahan dari birokrasi pemerintah daerah, tetapi
sebagai lembaga profesional yang bertanggung jawab terhadap klien atau stakeholder
yang diwakili oleh Komite Sekolah. Keberhasilan pendidikan di sekolah tidak diukur
dari pendapat para birokrat, tetapi dari kepuasan masyarakat atau stake-holder. Fungsi
pemerintah adalah fasilitator untuk mendorong sekolah-sekolah agar berkembang
menjadi lembaga profesional dan otonom sehingga mutu pelayanan mereka memberi
kepuasan terhadap komunitas basisnya, yaitu masyarakat.
Perlu juga difahami bahwa pengembangan paradigma MBS, bukanlah kelanjutan
apalagi “kemasan baru” dari Badan Pembantu Pelaksanaan Pendidikan (BP3).Adalah keliru
jika Komite Sekolah adalah alat untuk “penarikan iuran”, karena “penarikan iuran” yang
dilakukan oleh BP3 terbukti tidak berhasil memobilisasi partisipasi dan tanggungjawab
masyarakat. Tetapi yang harus lebih difahami adalah fungsi Komite Sekolah sebagai
jembatan antara sekolah dan masyarakat. Sekolah yang hanya terbatas personalianya,
akan sangat dibantu jika dibuka kesempatan bagi masyarakat luas untuk ikut memikirkan
pendidikan di sekolah-sekolah. Sekolah yang sangat tertutup bagi kontribusi pemikiran
dari masyarakat harus kita akhiri, dan dengan MBS, dibuka kesempatan seluas-luasnya
bagi masyarakat untuk ikut serta memikirkan pendidikan di sekolah. Dengan konsep

16 PENINGKATAN WAWASAN KEPENDIDIKAN PENGURUS KOMITE SEKOLAH

MBS, masyarakat akan merasa memiliki dan mereka akan merasa tanggungjawab untuk
keberhasilan pendidikan di dalamnya. Jika ini dapat diwujudkan, jangankan “iuran”
bahkan apapun yang mereka miliki (uang, barang, tenaga, fikiran bahkan kesempatan)
akan mereka abdikan untuk kepentingan pendidikan anak-anak bangsa yang berlangsung
di sekolah-sekolah.
Namun untuk sampai pada kemampuan