Struktur Komunitas Kepiting Bakau (Scylla Spp.) di Perairan Kawasan Mangrove Desa Jaring Halus Kabupaten Langkat Sumatera Utara Chapter III V
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2016 – Januari 2017 di
Perairan Kawasan Ekosistem Mangrove Desa jaring Halus, Kecamatan
Secanggang, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara. Identifikasi dan
analisis sampel mangrove dan sampel kepiting bakau dilakukan di Laboratorium
Terpadu, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Pengukuran parameter
fisika dan kimia perairan dilakukan langsung di lapangan dan analisis substrat
dilakukan di Laboratorium Riset dan Teknologi Fakultas Pertanian Universitas
Sumatera Utara. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 3 dan rencana
kegiatan penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1.
Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian
Sumber: Google Earth (2016)
Universitas Sumatera Utara
Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan adalah bubu (alat tangkap kepiting bakau), Global
Positioning System (GPS), DO meter, refraktometer, termometer, pH meter, pipet
tetes, tool box, pipa paralon 4,5 inchi, meteran, parang, kamera digital, timbangan
digital, gunting, penggaris, kertas milimeter gulung, tali rafia, kantong plastik,
buku identifikasi kepiting bakau, buku identifikasi mangrove, dan alat tulis.
Bahan yang digunakan adalah contoh kepiting bakau, bagian tumbuhan
mangrove, contoh air dan substrat, ikan mayung (umpan bubu), akuades, tissue,
karet gelang, tally sheet, lakban, dan kertas label. Rincian biaya penelitian dapat
dilihat pada Lampiran 2.
Deskripsi Area Penelitian
Penelitian dilakukan di perarairan kawasan mangrove desa Jaring Halus
Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat Sumatera Utara, pada lokasi ini
terdapat ekosistem mangrove yang berada dekat dan berbatasan dengan
pemukiman warga dan laut. Desa ini merupakan sebuah perkampungan yang
letaknya jauh dari pusat kota. Adapun penetapan lokasi penelitian dilakukan
dengan metode Purposive Sampling. Secara geografis, Desa Jaring Halus terletak
pada 3º51'30" - 3º59'45" LU dan 98º30' - 98º42' BT dengan ketinggian ± 1 m dpl.
Adapun batas-batasnya antara lain :
Sebelah barat
: Desa Tapak Kuda
Sebelah utara dan timur : Selat Malaka
Sebelah Selatan
: Desa Selontong
Universitas Sumatera Utara
Stasiun I
Stasiun ini memiliki kondisi mangrove yang sangat baik dan pada lokasi
ini tidak ditemukan adanya kegiatan masyarakat. Lokasi ini berada pada koordinat
03°56'21,6" - 03°56'21,75" LU dan 098°33'44,0" - 098°34'27,42" BT dapat dilihat
pada Gambar 4.
Gambar
Lokasi
4.
Penelitian Stasiun I
Stasiun II
Stasiun ini terjadi pemanfaatan ekosistem mangrove dan merupakan
daerah nelayan meletakkan bubu untuk menangkap kepiting bakau. Stasiun ini
berada pada titik koordinat 03°56'21,1" - 03°56'23,55" LU dan 098°33'58,7" 098°34'13,61" BT dapat dilihat pada Gambar 5.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 5. Lokasi Penelitian Stasiun
Stasiun III
Stasiun ini merupakan stasiun yang berada dekat dengan pemukiman
rumah warga dan langsung berbatasan dengan laut. Stasiun ini berada pada titik
koordinat 03°56'44,21" - 03°56'47,5" LU dan 098°34'09,11" - 098°34'12,3" BT
dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Lokasi Penelitian Stasiun III
Universitas Sumatera Utara
Prosedur Penelitian
Pengumpulan Contoh kepiting bakau
Contoh kepiting bakau ditangkap dengan menggunakan alat tangkap bubu
berdiameter 110 cm dan tinggi 14 cm dengan menggunakan umpan ikan mayung
yang diikatkan pada pacak ditengah bubu. Jumlah bubu yang digunakan 45 unit,
pada tiap stasiun diletakkan 15 unit. Pemasangan bubu dilakukan di setiap plot
yaitu 5 per plot pada saat air laut surut dan diangkat pada saat pasang.
Pengumpulan contoh kepiting bakau dilakukan 3 (tiga) kali sampling dengan
interval waktu 2 (dua) minggu. Selanjutnya kepiting bakau yang di dapat
diidentifikasi, dihitung jumlah induvidu perjenis dan diukur lebar karapas.
Kerapatan Mangrove
Pengambilan
contoh
untuk
analisis
vegetasi
dilakukan
dengan
menggunakan transek garis (line transect). Identifikasi jenis mangrove dapat
langsung ditentukan di lapangan dan jenis mangrove yang belum diketahui
jenisnya diidentifikasi di Laboratorium Terpadu, Manajemen Sumberdaya
Perairan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara dengan mengacu pada
buku identifikasi Noor dkk (2012). Pada transek pengamatan dibuat petak-petak
contoh
dengan tingkat tegakan menurut Kusmana (1997) dapat dilihat pada
Gambar 7.
1. Pohon, adalah memiliki diameter batang lebih besar dari 10 cm pada petak
contoh 10 x 10 meter.
2. Pancang, adalah anakan yang memiliki diameter batang kurang dari 10 cm
dengan tinggi lebih dari 1,5 meter pada petak contoh 5 x 5 meter.
Universitas Sumatera Utara
3. Semai, adalah anakan yang memiliki tinggi kurang dari 1,5 meter pada petak
contoh 2 x 2 meter.
10 x 10 m
5x5m
100 m
2x2
m
2x2
m
5x5m
Arah Rintis
Ana 10 x 10 m
Gambar 7. Transek Pengukuran Vegetasi Mangrove (10m x 10m), Anakan (5m x
5m), dan semai (2m x 2m).
Parameter Lingkungan
Pengambilan data parameter fisika kimia ini dilakukan saat keadaan
perairan Pasang. Parameter kualitas air dan metode analisis pengukuran dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Pengukuran Parameter Lingkungan Perairan
Parameter
Fisika :
Suhu
Kimia :
DO
Salinitas
pH
Substrat
C- Organik
Satuan
Alat / Metode
Lokasi
°
C
Thermometer
In situ
mg/L
ppt
%
mg/L
DO meter
Refractometer
pH Meter
Pipa Paralon
Pipa Paralon
In Situ
In Situ
In Situ
Ex Situ
Ex Situ
Universitas Sumatera Utara
Analisis Data
Kerapatan Mangrove
Hasil pengukuran data vegetasi mangrove yang telah dikumpulkan
kemudian diolah dan selanjutnya dianalisis sebagai berikut:
Kerapatan
Kerapatan Jenis :
Keterangan :
K
= Kerapatan jenis dalam satuan Individu/Ha
LPC = Luas petak contoh
Kepadatan Relatif :
Analisis Struktur Komunitas Kepiting Bakau
Kepadatan Biota
Keterangan :
K
= Kepadatan
ni
= Jumlah individu suatu jenis
A
=: Luas Area
Indeks Keanekaragaman Jenis Shannon-Wienner
Universitas Sumatera Utara
Keterangan :
H’ : Indeks keanekaragama Shannon - Wienner
Pi : Proporsi jumlah individu spesies ke-i terhadap jumlah individu total yaitu Pi
= ni/N dengan ni : jumlah suatu spesies I dan N : total jumlah spesies
Kriteria yang digunakan untuk menginterpretasikan keanekaragaman
Shannon Wiener yaitu:
H’ = < 1, Keanekaragaman tergolong rendah
H’ = 1-3, Keanekaragaman tergolong sedang
H’ = > 3, Keanekaragaman tergolong tinggi
Indeks Keseragaman (E)
E = H’
Ln S
Keterangan :
E : Indeks Keseragaman
H’ : Indeks Keanekaragaman
S : Jumlah Spesies
Menurut Krebs (1998), Indeks keseragaman berkisar antara 0 - 1, dimana :
E > 0,6
: Keseragaman tinggi
0,4 ≤ E ≤0,6 : Keseragaman spesies sedang
E < 0,4
: Keseragaman spesies rendah
Indeks Dominansi (C)
Indeks dominansi digunakan untuk menggambarkan penguasaan atau
dominansi jenis tertentu di suatu lokasi. Dalam penelitian ini menggunakan rumus
Simpson (1949) dalam Odum (1983) :
Keterangan :
C : Indeks dominansi
Ni : Jumlah individu jenis ke-i
N : Jumlah total individu
Universitas Sumatera Utara
Kriteria indeks dominansi ialah sebagai berikut:
0 < C ≤ 0,5 : Tidak ada jenis yang mendominasi
0,5 < C ≤ 1 : Terdapat jenis yang mendominasi
Hubungan Kerapatan Mangrove dan C-Organik dengan Kepadatan
Kepiting Bakau
Analisis Regresi
Analisis regresi digunakan untuk menguji berapa besar variasi
variabel tak bebas dapat diterangkan oleh variable bebas dan menguji apakah
estimasi parameter tersebut signifikan atau tidak. Rumus yang digunakan Steel
dan Torrie (1980) adalah:
Y = a + bX
Keterangan :
Y
= Kepadatan Makrozoobenthos
X
= Kepadatan Mikroplastik
a
= Konstanta
b
= Slope
Uji Korelasi
Uji korelasi yang digunakan pada penelitian ini, merupakan uji
korelasi pearson (r). Nilai r, berkisar antara 0.0 (ada korelasi), sampai dengan 1.0
(korelasi yang sempurna). Selain berdasarkan angka korelasi, tanda juga
berpengaruh pada penafsiran hasil. Tanda – (negatif) pada output menunjukkan
adanya korelasi yang berlawanan arah, sedangkan tanda + (positif) menunjukkan
arah korelasi yang searah. Tingkat Hubungan Nilai Indeks Korelasi dapat dilihat
pada Tabel 2.
Universitas Sumatera Utara
No
1
2
3
4
5
Koefisien
0,00 - 0,199
0,20 - 0,399
0,40 - 0,599
0,60 - 0,799
0,80 - 1,000
Tingkat Hubungan
Sangat Rendah
Rendah
Sedang
Kuat
Sangat Kuat
Analisis Substrat
Berikut ini adalah langkah-langkah penentuan tekstur substrat yaitu :
1.
Menentukan komposisi dari masing-masing fraksi subsrat. Misalnya fraksi
pasir 45%, debu 30% dan liat 25%.
2.
Menarik garis lurus pada sisi presentase pasir dititik 45% sejajar dengan sisi
presentase debu, kemudian ditarik garis lurus pada sisi persentase debu di
titik 30% sejajar dengan presentase liat, dan tarik garis lurus pada sisi
presentase liat 25% sejajar dengan sisi presentase pasir.
3.
Titik perpotongan ketiga garis tersebut akan menentukan tipe substrat yang
dianalisis, misalnya hal ini adalah lempung. Untuk analisis substrat
menggunakan Segitiga The United States Department of Agriculture (USDA)
dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Segitiga The United States Department of Agriculture (USDA)
(Ritung dkk., 2007)
Universitas Sumatera Utara
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Jenis Kepiting Bakau (Scylla spp.) yang Ditemukan
Hasil penelitian yang telah dilakukan di perairan kawasan mangrove desa
Jaring Halus Kabupaten Langkat Sumatera Utara diperoleh 3 jenis kepiting bakau
yaitu:
1. Scylla serrata
Hasil pengamatan yang di peroleh dari penelitian bahwa tubuh kepiting
bakau species Scylla serrata mempunyai bentuk bundar dan tebal. Tubuhnya
berwarna coklat tua. Bentuk alur H pada karapas tidak begitu dalam, duri pada
dahi tinggi, tipis agak tumpul dengan tepian cenderung cekung dan membulat,
kedua bagian atas dan bawah capit berukuran sama besar dan mata tidak menonjol
keluar seperti terlihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Scylla serrata
2. Scylla oceanica
Kepiting bakau jenis spesies Scylla oceanica yang didapati dari penelitian
mempunyai bentuk bundar dan tebal. Tubuhnya berwarna coklat kehijau-hijauan.
Bentuk alur H pada karapas dalam, capit bagian atas lebih panjang dibandingkan
Universitas Sumatera Utara
capit bagian bawah, duri pada dahi tumpul dan mata agak menonjol keluar dapat
dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Scylla oceanica
3. Scylla tranquebarica
Kepiting bakau jenis spesies Scylla tranquebarica yang didapati dari
penelitian
mempunyai bentuk bundar dan tebal. Tubuhnya berwarna coklat
kehijau-hijauan dengan bentuk alur H pada karapas dalam, duri pada dahi tumpul
dan dikelilingi celah sempit dan mata agak menonjol keluar dapat dilihat pada
Gambar 10.
Gambar 10. Scylla tranquebarica
Kepadatan Kepiting Bakau (Scylla spp.)
Kepadatan tertinggi terdapat pada jenis Scylla serrata pada stasiun II yaitu
450 ind/ha dan yang terendah pada jenis Scylla oceanica pada stasiun III yaitu 60
ind/ha dapat dilihat pada Tabel 2.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2. Kepadatan Jenis (ind/ha) Kepiting Bakau (Scylla spp.) di perairan
kawasan mangrove desa Jaring Halus Kabupaten Langkat Sumatera
Utara
Nama Spesies
Stasiun I
Stasiun II
Stasiun III
Scylla serrata
230
450
130
Scylla oceanica
150
180
60
Scylla tranquebarica
130
240
210
Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E’) dan Dominansi (C)
Kepiting Bakau (Scylla spp.)
Hasil penelitian yang telah dilakukan pada masing-masing stasiun
penelitian memperlihatkan nilai indeks keanekaragaman (H’) tertinggi terdapat
pada stasiun I dengan nilai sebesar 1,06 dan nilai terendah sebesar 0,99 yaitu
terdapat pada stasiun III. Nilai indeks keseragaman (E’) tertinggi terdapat pada
stasiun I sebesar 0,97 dan nilai keseragaman terendah terdapat pada stasiun III
sebesar 0,90. Indeks dominansi (C) tertinggi terdapat pada stasiun III dengan nilai
sebesar 0,40 dan nilai terendah sebesar 0,35 yaitu terdapat pada stasiun I dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai Indeks Keanekaragaman (H’), Dominansi (C) Keseragaman (E’)
Kepiting Bakau (Scylla spp.) di perairan kawasan mangrove desa Jaring
Halus Kabupaten Langkat Sumatera Utara
Keterangan
Stasiun I
Stasiun II
Stasiun III
deks Keanekaragaman (H’)
1,06
1,02
0,99
deks Keseragaman (E’)
0,97
0,93
0,90
deks Dominansi (C)
0,35
0,38
0,40
Kerapatan Mangrove
Hasil analisis data vegetasi mangrove di desa Jaring Halus Kabupaten
Langkat Sumatera Utara dengan menggunakan metode transek garis pada 3
stasiun diperoleh data kerapatan mangrove dengan total identifikasi jenis
berjumlah 11 spesies mangrove.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 4. Jenis-Jenis dan Kerapatan Mangrove (ind/ha) Tingkat perairan kawasan
mangrove desa Jaring Halus Kabupaten Langkat Sumatera Utara
No.
Nama Spesies
Stasiun I
Stasiun II
Stasiun III
1.
Avicennia alba
1900
233
2.
Acanthus ilicifolius
167
3.
Bruguiera sexangula
267
4.
Excoecaria agallocha
233
500
267
5.
Nypa fruticans
333
333
6.
Rhizophora apiculata
1133
333
400
7.
Rhizophora stylosa
700
500
300
8.
Excoecaria agallocha
433
467
167
9.
Ceriops tagal
533
10.
Ceriops decandra
600
11.
Rhizophora mucronata
800
200
Jumlah
5166
4066
1567
Parameter Lingkungan
Pengukuran parameter lingkungan perairan di perairan kawasan mangrove
desa Jaring Halus Kabupaten Langkat Sumatera Utara meliputi pengukuran suhu,
salinitas, pH dan DO (Dissolved Oxygen). Hasil pengukuran parameter
lingkungan perairan dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 7. Hasil Pengukuran Parameter Lingkungan di perairan kawasan mangrove
desa Jaring Halus Kabupaten Langkat Sumatera Utara
Parameter
Suhu Air (oC)
Salinitas (ppt)
pH Air
DO (mg/L)
Stasiun
Stasiun I
28,66
9,16
6,96
6,26
Stasiun II
28
11,66
7,03
6,43
Stasiun III
28,66
15,66
7,16
6,3
Karakteristik Substrat
Tabel 8. Karakteristik Substrat di perairan kawasan mangrove desa Jaring Halus
Kabupaten Langkat Sumatera Utara
Parameter
Tekstur (Hydrometer)
Stasiun
C- Organik
(%) Fraksi
(%)
Pasir
Debu
Liat
Tekstur
Stasiun I
4,3
55
26
21
Llip
Stasiun II
4,2
51
28
21
L
Stasiun III
4,0
70
16
14
Lp
Universitas Sumatera Utara
Keterangan : L = Lempung ; Llip = Lempung liat berpasir ; Lp = Lempung
berpasir
Kerapatan Mangrove Terhadap Kepadatan Kepiting Bakau
Hasil analisis menggunakan korelasi Pearson menunjukkan hubungan
antara kerapatan mangrove dengan kepadatan kepiting bakau sebesar 0,432
dengan tingkat hubungan sedang. Nilai korelasi kerapatan mangrove dengan
kepadatan kepiting bakau dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Nilai Korelasi Pearson Kerapatan Mangrove Terhadap Kepadatan
Kepiting Bakau
Kepadatan Kepiting Bakau
Parameter
Kerapatan Mangrove 0,432
C- Organik Terhadap Kepadatan Kepiting Bakau
Hasil analisis menggunakan korelasi Pearson menunjukkan hubungan
antara C-Organik dengan kepadatan kepiting bakau sebesar 0,404 dengan tingkat
hubungan sedang. Nilai korelasi C-Oraganik dengan kepadatan kepiting bakau
dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Nilai Korelasi Pearson C-Organik Terhadap Kepadatan Kepiting Bakau
Kepadatan Kepiting Bakau
Parameter
C-Organik
0,404
Universitas Sumatera Utara
Pembahasan
Jenis Kepiting Bakau
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di perairan kawasan
mangrove desa Jaring Halus Kabupaten Langkat Sumatera Utara ditemukan 3
spesies
kepiting
bakau
yaitu
Scylla
serrata,
Scylla
oceanica,
dan
Scylla tranquebarica. Menurut Nurdin Armando (2010), di Indonesia terdapat
empat jenis kepiting bakau, yaitu Scylla serrata, Scylla oceanica, Scylla
tranquebarica dan Scylla paramamosain.
Namun pada penelitian ini hanya
dijumpai 3 spesies yaitu Scylla serrata, Scylla oceanica dan
Scylla
tranquebarica. Hasil ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh
Mulya (2000) di suaka margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut
Provinsi Sumatera Utara dan juga beberapa penelitian yang pernah dilakukan oleh
Rachmawati (2009) di Indonesia pada 14 lokasi penelitian ditemukan tiga jenis
spesies kepiting bakau yaitu
Scylla serrata, Scylla tranquebarica, dan
Scylla oceanica. Ketiga jenis ini menyebar luas di perairan Indonesia, meliputi
perairan di Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.
Dalam penelitian ini tidak dijumpai jenis Scylla paramomosain karena
penyebarannya terbatas dan hidup didaerah perairan yang terendam sepanjang
tahun dan mempunyai salinitas yang rendah. Pendapat ini diperkuat oleh
Keenan (1998) yang menyatakan bahwa habitat Scylla paramamosain berasosiasi
dengan hutan mangrove dan garis pantai yang terendam dengan salinitas air laut
lebih rendah dari air laut hampir sepanjang tahun.
Bentuk badan kepiting bakau secara umum adalah badan yang pendek
dengan abdomen yang tereduksi. Ukuran lebar karapas kepiting bakau yang
Universitas Sumatera Utara
tertangkap bevariasi yaitu Scylla serrata 46 mm sampai 96 mm, Scylla oceanica
41 mm sampai 75 mm dan Scylla tranquebarica 41 mm sampai 67 mm.
Kepadatan Kepiting Bakau (Scylla spp.)
Stasiun I kepadatan jenis kepiting bakau yang tertinggi adalah jenis
Scylla
serrata
yaitu
230
ind/ha
sedangkan
yang
terendah
adalah
Scylla tranquebarica yaitu 130 ind/ha. Stasiun II kepadatan jenis kepiting bakau
yang tertinggi adalah jenis
Scylla serrata yaitu 450 ind/ha sedangkan yang
terendah adalah Scylla oceanica yaitu 180 ind/ha. Stasiun III kepadatan jenis
kepiting bakau yang tertinggi adalah jenis
Scylla tranquebarica 210 ind/ha
sedangkan yang terendah adalah Scylla oceanica yaitu 60 ind/ha.
Dari ketiga jenis kepiting bakau yang tertangkap di tiga stasiun
pengamatan kepadatan jenis spesies kepiting bakau yang tertinggi yaitu jenis
spesies
Scylla
serrata
dan
yang
terendah
adalah
jenis
spesies
Scylla tranquebarica. Hal ini karena Scylla serrata penyebarannya lebih luas dan
lebih toleran terhadap perubahan lingkungan terutama perubahan salinitas.
Hill (1978) menyatakan bahwa Scylla serrata mampu mentolerir perairan dengan
salinitas hingga 60 ppt.
Kepadatan kepiting bakau yang tertinggi terdapat pada stasiun II terendah
terdapat pada stasiun III. Hal ini karena stasiun II merupakan daerah penangkapan
kepiting bakau oleh nelayan yang berdekatan dengan paluh-paluh sungai, selain
itu pada stasaiun ini kepadatan jenis Scylla serrata paling padat ditemukan yaitu
450 ind/ha. Hal ini karena paluh-paluh sungai sangat cocok bagi habitat
Scylla serrata di mana Scylla serrata biasanya berada di perairan hutan mangrove
Universitas Sumatera Utara
dengan cara meliang. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Mulya (2000) yang
menemukan Scylla serrata yang berukuran kecil sampai sedang di daerah depan
dan tengah hutan mangrove yang berdekatan dengan paluh-paluh sungai.
Stasiun III terdapat kepadatan kepiting bakau paling rendah apabila
dibandingkan dengan stasiun I dan II karena stasiun III berdekatan dengan
pemukiman masyarakat dan sering dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mencari
kayu bakar. Selain itu stasiun III mempunyai kerapatan mangrove paling rendah
apabila dibandingkan dengan stasiun I dan II. Dalam penelitian yang dilakukan
oleh Sirait (1997), kepadatan kepiting bakau sangat dipengaruhi oleh kerapatan
mangrove, dimana semakin tinggi kerapatan mangrove maka guguran daun
mangrove yang jatuh juga semakin banyak dan keberadaan kepiting bakau
semakin banyak, karena kerapatan mangrove akan mempengaruhi jumlah bobot
serasah yang dalam hal ini sebagai makanan alami dari kepiting bakau.
Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E’) dan Dominansi (C)
Kepiting Bakau (Scylla spp.)
Keanekaragaman kepiting bakau di perairan kawasan
mangrove desa
Jaring Halus Kabupaten Langkat Sumatera Uratara dihitung dengan menggunakan
indeks keanekaragaman Shannon Weiner (H’). Indeks keanekaragaman kepiting
bakau
pada
ketiga
stasiun
pengamatan
dengan
rerata
sebesar
1,02
(keanekaragaman sedang). Tinggi rendahnya keanekaragaman jenis dapat dilihat
dari jumlah jenis yang ditemukan serta kelimpahan di alam. Keanekaragaman
cenderung akan rendah apabila adanya beberapa kelompok jenis-jenis kepiting
bakau yang memiliki populasi rendah. Hal ini sesuai dengan Soegianto (1994)
menyatakan bahwa suatu komunitas tidak akan memiliki nilai indeks
Universitas Sumatera Utara
keanekaragaman yang tinggi apabila di dalam komunitas tersebut terdapat satu
atau lebih jenis yang dominansinya mencolok jauh di atas sebagian besar jenis
lainnya.
Nilai indeks keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun I dengan
nilai sebesar 1,06 (keanekaragaman sedang) dan nilai terendah terdapat pada
stasiun III yaitu sebesar 0,99 (keanakaragaman rendah). Hal ini karena stasiun I
memiliki kerapatan mangrove yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan
stasiun II dan III sehingga banyak menghasilkan serasah atau luruhan daun
mangrove yang merupakan asupan terpenting bagi kepiting bakau. Hal ini sesuai
dengan pendapat Soviana (2004) yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang
berpengaruh terhadap keanekaragaman kepiting bakau adalah ketersediaan
makanan alami yang berasal dari mangrove dan adanya luruhan daun mangrove.
Nilai indeks keseragaman tertinggi terdapat pada stasiun I sebesar 0,97 dan
nilai keseragaman terendah terdapat pada stasiun III sebesar 0,90. Hal ini karena
Stasiun I merupakan kondisi mangrove dalam keadaan alami, sehingga memiliki
keanekaragaman dan keseragaman tertinggi dibandingkan dua stasiun lainnya
yang merupakan lokasi mangrove yang dimanfaatkan untuk penangkapan ikan
dan dekat dengan pemukiman masyarakat. Berdasarkan aktivitas yang terjadi pada
setiap stasiun akan mempengaruhi biota yang hidup di ekosistem mangrove. Hal
ini sesuai dengan Hartoni dan Agussalin (2013) yang menyatakan bahwa biota
pada ekosistem mangrove sangat dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi pada
ekosistem tersebut, karena sifat hidupnya yang cenderung menetap akan
menyebabkan biota yang hidup di dalamnya menerima setiap perubahan
Universitas Sumatera Utara
lingkungan ataupun perubahan dari hutan mangrove, misalnya perubahan fungsi
lahan mangrove menjadi areal pemukiman ataupun lahan tambak.
Pada saat pengamatan, ketiga jenis kepiting bakau selalu ditemukan pada
setiap stasiun dengan jumlah yang hampir sama sehingga tidak ada spesies yang
mendominasi. Nilai indeks dominansi pada satasiun I sebesar 0,35 stasiun II
sebesar 0,38 dan stasiun III sebesar 0,40 ini artinya pada semua stasiun tidak
terdapat spesies yang mendominasi spesies lainnya. Kepiting bakau yang ada di
kawasan penelitian ini memiliki adaptasi yang baik terhadap kondisi lingkungan.
Kerapatan Mangrove
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pada seluruh stasiun
pengamatan, kerapatan mangrove di perairan kawasan mangrove desa Jaring
Halus Kabupaten Langkat Sumatera Utara masih tergolong baik. Nilai kerapatan
tertinggi pada tingkat semai terdapat pada stasiun I sebesar 79166 ind/ha dan yang
terendah pada stasiun III sebesar 45000 ind/ha. Nilai kerapatan tertinggi pada
tingkat pancang terdapat pada stasiun I sebesar 9334 ind/ha dan yang terendah
pada stasiun III sebesar 5734 ind/ha. Nilai kerapatan tertinggi pada tingkat pohon
terdapat pada stasiun I sebesar 5166 ind/ha dan yang terendah pada stasiun III
sebesar 1567 ind/ha. Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 201
Tahun 2004 bahwa kondisi mangrove dengan kerapatan >1500 ind/ha
dikategorikan masih dalam keadaan baik dengan kriteria sangat padat.
Kerapatan mangrove dan kepadatan kepiting bakau di setiap stasiun
pengamatan berbeda-beda. Kerapatan mangrove pada tingkat semai, panjang dan
pohon terdapat pada stasiun I. Hal ini karena Stasiun I kondisi ekosistem
Universitas Sumatera Utara
mangrovenya masih alami, tetapi kepadatan kepiting bakau tertinggi terdapat pada
stasiun II. Hal ini karena stasiun II merupakan daerah penangkapan yang dekat
dengan paluh-paluh sungai sebagai habitat yang cocok bagi kepiting bakau. Hal
ini sesuai dengan Mulya (2000) yang menemukan kepiting bakau dengan ukuran
kecil sampai besar pada ekosistem mangrove yang dekat dengan paluh-paluh
sungai.
Kerapatan mangrove dan kepadatan kepiting bakau terendah terdapat pada
stasiun III, karena stasiun III dekat dengan pemukiman masyarakat dan
dimanfaatkan oleh masyarakat sehingga kepadatan kepiting bakau paling rendah
dibandingkan dengan stasiun yang lain. Hill (1982) menyatakan bahwa perairan
disekitar hutan mangrove yang baik sangat cocok untuk kehidupan kepiting
bakau, karena sumber makananya seperti bentos dan serasah cukup tersedia.
Kerapatan jenis mangrove yang berbeda-beda dan memiliki jenis yang
bervariasi pada setiap stasiun, salah satunya dipengaruhi oleh faktor lingkungan
yang ada pada lokasi stasiun masing-masing dan pemanfaatan di setiap stasiun
yang ditentukan. Hal ini sesuai dengan Talib (2008) yang menyatakan bahwa
kondisi-kondisi lingkungan luar yang terdapat di kawasan mangrove cenderung
bervariasi di sepanjang gradien dari laut ke darat. Banyak spesies yang telah
beradaptasi terhadap gradien ini, sehingga di dalam suatu kawasan suatu spesies
mungkin tumbuh lebih efisien daripada spesies lain.
Parameter Lingkungan
Hasil pengukuran suhu perairan pada ketiga stasiun pengamatan hampir sama
yaitu berkisar antara 28–28,66oC (Tabel 7). Suhu merupakan salah satu faktor
Universitas Sumatera Utara
yang mempengaruhi distribusi suatu organisme. Kisaran suhu yang terdapat pada
setiap stasiun pengamatan merupakan kisaran suhu yang mampu mendukung
kehidupan kepiting bakau. Menurut Baliao dkk (1983) kepiting bakau dapat
tumbuh cepat pada perairan dengan kisaran suhu 23-32oC, sedangkan
Wahyuni dan Ismail (1987) melaporkan di perairan hutan mangrove Tanjung
Pasir, Tangerang kepiting bakau didapatkan pada perairan dengan suhu rata-rata
28,8oC.
Kisaran salinitas pada stasiun I, II dan III berkisar antara 9,16-15,66 ppt.
Beberapa faktor yang mempengaruhi salinitas suatu perairan adalah pola sirkulasi
air, penguapan, curah hujan, dan aliran air tawar dari sungai. Lokasi penelitian ini
berdekatan dengan muara sungai, hal ini diduga yang menyebabkan kisaran
salinitas yang rendah yang berpengaruh terhadap kehidupan kepiting bakau,
sehingga keanekaragaman kepiting bakau rendah hingga sedang. Secara umum
kisaran salinitas yang dapat ditolerir oleh kepiting bakau cukup luas. Kasry (1996)
melaporkan bahwa kepiting bakau dapat hidup pada pada kisaran salinitas
30 ppt. Dalam penelitian Sirait (1997) juga menemukan kepiting bakau
pada salinitas terendah 8,9 ppt. Namun beberapa penelitian juga melaporkan
menemukan kepiting bakau pada kisaran salinitas yang lebih tinggi. Hutabarat
(1983) menemukan kepiting bakau di perairan Ujung Alang, Cilacap pada kisaran
salinitas 25-28 ppt. Sudiarta (1988) menemukan kepiting bakau di perairan
Laguna Talanca Cikaso, Sukabumi pada kisaran salinitas 26,5-32,4 ppt.
Derajad keasaman (pH) memiliki peran penting karena perubahan yang
terjadi di air tidak saja berasal dari masukan bahan-bahan asam atau basa ke
perairan, tetapi juga perubahan secara tidak langsung dari aktivitas metabolik
Universitas Sumatera Utara
biota perairan. Nilai derajat keasaman (pH) perairan yang terukur pada ketiga
stasiun pengamatan selama penelitian berkisar antara 6,96-7,16. Setiap jenis biota
atau organisme perairan lainnya mempunyai toleransi yang berbeda-beda terhadap
nilai pH. Namun pada umumnya biota air dapat hidup layak pada kisaran 5-9.
Barus (2001) menyatakan bahwa nilai pH ideal untuk organisme di perairan
adalah antara 7-8,5. Menurut Wahyuni dan Ismai (1987) kepiting bakau dapat
hidup pada kondisi perairan asam, yaitu pada daerah bersubstrat lumpur dengan
pH rata-rata 6,5. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa pada
ketiga stasiun penelitian mempunyai derajat keasaman (pH) yang cukup baik bagi
kehidupan organisme.
Pengukuran oksigen terlarut (DO) pada ketiga stasiun berkisar antara
6,3-6,43 mg/L. Perubahan kandungan oksigen sangat berpengaruh terhadap
kelangsungan hidup bagi biota air. Semakin tinggi kadar oksigen di perairan maka
semakin banyak organisme yang bisa bertahan hidup. Menurut Effendi (2003),
hampir semua organisme akuatik menyukai kondisi dengan kelarutan oksigen
>5 mg/L. Menurut Susanto dan Muwarni (2006) kebutuhan oksigen untuk
kehidupan
kepiting
bakau
adalah
>4
mg/L,
sedangkan
menurut
Shelleyand Lovatelli (2011), kebutuhan oksigen untuk pertumbuhan kepiting
bakau adalah >5 mg/L, namun juga dinyatakan bahwa kepiting bakau memiliki
toleransi terhadap konsentrasi oksigen terlarut yang rendah atau lebih kecil dari
angka tersebut. Kandungan oksigen terlarut hasil pengukuran dilokasi penelitian
masih memenuhi kriteria untuk kehidupan kepiting bakau.
Universitas Sumatera Utara
Karakteristik Substrat
Karakteristik substrat yang diamati meliputi kadar C-Organik dan fraksi
substrat. Hasil analisis rata-rata kadar C-Oganik pada setiap stasiun berkisar 3,96 4,3 %. Hasil rata-rata kadar C-Organik tertinggi ditemukan pada stasiun I sebesar
4,3%. Tinggi rendahnya kandungan bahan organik diduga berkaitan dengan
aktivitas yang terjadi atau kondisi lingkungan yang berada disekitarnya. Kondisi
lingkungan yang dipengaruhi langsung oleh ombak cenderung mempunyai bahan
organik yang relatif rendah. Rustam (2003) menyatakan bahwa ombak akan
menghanyutkan sedimen dan menghanyutkan bahan organik.
Hasil penelitian yang dilakukan pada ketiga stasiun memiliki subtrat yang
berbeda. Stasiun I dan II berupa lempung liat berpasir dan lempung, dan stasiun
III lumpur berpasir. Stasiun I dan II mempunyai kepadatan kepiting bakau yang
lebih tinggi apabila dibandingkan dengan stasiun III, ini menunjukkan bahwa
kepiting bakau lebih suka hidup di subtrat lempung liat berpasir dan lempung. Hal
ini sesuai dengan Chairunnisa (2004) yang menyatakan bahwa kepiting bakau
menyenangi habitat yang bertanah lumpur dan liat, kedua jenis tanah tersebut
merupakan habitat alami bagi kepiting bakau.
Semakin tinggi kandungan bahan organik pada substrat maka semakin
baik substrat tersebut untuk pertumbuhan vegetasi mangrove. Kandungan
C-Organik yang tinggi juga menandakan banyaknya serasah daun mangrove yang
terdekomposisi sehingga dapat diduga persediaan makanan alami kepiting bakau
juga cukup tersedia banyak. Salah satu faktor yang mempengaruhi tinggi
rendahnya bahan organik di substrat adalah tekstur, tanah berpasir memungkinkan
oksidasi yang menghabiskan tanah organik dengan cepat sehingga fraksi pasir
Universitas Sumatera Utara
cukup tinggi maka nilai kandungan C-Organiknya relatif lebuh rendah, seperti
pada stasiun III memiliki kandungan C-Organik, kelimpahan kepiting bakau dan
kerapatan mangrove yang lebih rendah apabila dibandingkan dengan stasiun I dan
II.
Substrat yang halus di ekosistem mangrove banyak mengandung serasah
dan bahan organik yang dihasilkan dari daun-daun mangrove yang jatuh ke
lumpur sekitar pohon mangrove yang terdekomposisi oleh bakteri sehingga
banyak ditemukan makanan bagi organisme. Menurut Kasry (1996) tekstur
substrat dasar yang baik bagi kehidupan kepiting bakau terdiri dari lempung
berpasir atau tanah lempung berdebu dan tidak bocor (porous) yang berfungsi
untuk menahan air. Sejalan dengan pendapat Setiawan dan Triyanto (2012),
tekstur substrat yang sangat halus seperti lempung berdebu disukai oleh kepiting
bakau sebagai habitatnya. Selain itu kepiting bakau juga tedapat pada habitat yang
memiliki tekstur sedang, namun tidak menyukai habitat yang bersubstrat kasar.
Substrat lempung berdebu tersebut dalam kategori mudah digali oleh kepiting
bakau untuk membuat liang atau lubang yang digunakan untuk membenamkan
diri, bersembunyi, mempertahankan diri agar tetap dingin selama air surut dan
melindungi diri dari predator.
Kerapatan Mangrove Terhadap Kepadatan Kepiting Bakau
Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan hubungan antara kerapatan mangrove
dengan kepadatan kepiting bakau sebesar 0,432 dengan tingkat hubungan sedang. Hal ini
menunjukkan bahwa kerapatan mangrove mempengaruhi kepadatan Kepiting bakau.
Namun Menurut Tis’in (2008) tidak semua makrozoobenthos memiliki asosiasi
atau hubungan yang erat dengan vegetasi mangrove. Kerapatan mangrove terkait
Universitas Sumatera Utara
erat dengan ketersediaan bahan organik yang terdapat pada lingkungan yang
mendukung pertumbuhan dekomposer untuk melakukan penguraian bahan
organik, seperti oksigen terlarut (DO), salinitas dan substrat. Hal ini juga
dibuktikan dalam penelitian ini yang menemukan kepadatan kepiting bakau
tertinggi pada stasiun II dengan kerapatan mangrove yang lebih rendah apabila
dibandingkan dengan stasiun I. Hal ini disebabkan karena stasiun II merupakan
stasiun yang dekat dengan paluh-paluh sungai dan apabila terjadi surut stasiun ini
masih tetap tergenang air. Hal ini sesuai dengan pendapat Mulya (2000) yang
menemukan Scylla serrata melimpah berukuran kecil sampai sedang di daerah
depan dan tengah hutan mangrove yang berdekatan dengan paluh-paluh sungai.
C- Organik Terhadap Kepadatan Kepiting Bakau
Hasil korelasi Pearson menunjukkan hubungan antara c-organik terhadap
kepadatan kepiting bakau sebesar 0,404 dengan tingkat hubungan sedang.
Hal ini
menunjukkan bahwa kepadatan kepiting bakau di perairan kawasan mangrove Desa
Jaring Halus di pengaruhi oleh kandungan c-organik. Kandungan c-organik berbanding
lurus dengan kepadatan kepiting bakau. Pamuji dkk (2015) menyatakan kepadatan
makrozoobenthos disebabkan karena material-material padatan yang terbawa arus
dan mengendap mengandung tekstur yang cocok bagi organisme benthos, selain
karena tekstur yang cocok faktor lain adalah karena material yang mengendap
yang mengandung kadar bahan organik yang tinggi sebagai pendukung kehidupan
hewan makrozoobenthos.
Supriyadi (2008) menyatakan bahwa bahan organik cenderung meningkat
dengan meningkatnya kandungan lempung dan liat. Putri dkk. (2016) menyatakan bahwa
pengaruh pasir terhadap bahan organik sangatlah kecil dibandingkan dengan fraksi yang
Universitas Sumatera Utara
lain. Semakin besar jumlah persentase lempung dalam substrat, maka semakin besar pula
kandungan bahan organiknya. Namun, semakin kecil persentase fraksi lempung, semakin
sedikit pula kandungan bahan organiknya
Universitas Sumatera Utara
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan diketahui bahwa
nilai indeks
keanekaragaman kepiting bakau di perairan kawasan mangrove desa Jaring
Halus Kabupaten Langkat Sumatera Utara pada stasiun I sebesar H’= 1,06
(kategori sedang) stasiun II sebesar 1,02 (kategori sedang) dan stasiun III
sebesar 0,99 (kategori rendah).
2.
Hasil penelitian dan perhitungan yang dilakukan diketahui bahwa kerapatan
mangrove di perairan kawasan mangrove desa Jaring Halus Kabupaten
Langkat Sumatera Utara termasuk dalam kategori kerapatan yang sangat
padat, dan kondisi lingkungan masih mendukung kehidupan kepiting bakau.
Saran
Saran yang dapat diberikan ialah meningkatkan manajemen pengelolaan
kawasan hutan mangrove di Desa Jaring Halus dengan memberikan penyuluhan
dan meningkatkan kesadaran serta peran masyarakat setempat demi pengelolaan
dan pelestarian yang berkelanjutan.
Universitas Sumatera Utara
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2016 – Januari 2017 di
Perairan Kawasan Ekosistem Mangrove Desa jaring Halus, Kecamatan
Secanggang, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara. Identifikasi dan
analisis sampel mangrove dan sampel kepiting bakau dilakukan di Laboratorium
Terpadu, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Pengukuran parameter
fisika dan kimia perairan dilakukan langsung di lapangan dan analisis substrat
dilakukan di Laboratorium Riset dan Teknologi Fakultas Pertanian Universitas
Sumatera Utara. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 3 dan rencana
kegiatan penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1.
Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian
Sumber: Google Earth (2016)
Universitas Sumatera Utara
Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan adalah bubu (alat tangkap kepiting bakau), Global
Positioning System (GPS), DO meter, refraktometer, termometer, pH meter, pipet
tetes, tool box, pipa paralon 4,5 inchi, meteran, parang, kamera digital, timbangan
digital, gunting, penggaris, kertas milimeter gulung, tali rafia, kantong plastik,
buku identifikasi kepiting bakau, buku identifikasi mangrove, dan alat tulis.
Bahan yang digunakan adalah contoh kepiting bakau, bagian tumbuhan
mangrove, contoh air dan substrat, ikan mayung (umpan bubu), akuades, tissue,
karet gelang, tally sheet, lakban, dan kertas label. Rincian biaya penelitian dapat
dilihat pada Lampiran 2.
Deskripsi Area Penelitian
Penelitian dilakukan di perarairan kawasan mangrove desa Jaring Halus
Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat Sumatera Utara, pada lokasi ini
terdapat ekosistem mangrove yang berada dekat dan berbatasan dengan
pemukiman warga dan laut. Desa ini merupakan sebuah perkampungan yang
letaknya jauh dari pusat kota. Adapun penetapan lokasi penelitian dilakukan
dengan metode Purposive Sampling. Secara geografis, Desa Jaring Halus terletak
pada 3º51'30" - 3º59'45" LU dan 98º30' - 98º42' BT dengan ketinggian ± 1 m dpl.
Adapun batas-batasnya antara lain :
Sebelah barat
: Desa Tapak Kuda
Sebelah utara dan timur : Selat Malaka
Sebelah Selatan
: Desa Selontong
Universitas Sumatera Utara
Stasiun I
Stasiun ini memiliki kondisi mangrove yang sangat baik dan pada lokasi
ini tidak ditemukan adanya kegiatan masyarakat. Lokasi ini berada pada koordinat
03°56'21,6" - 03°56'21,75" LU dan 098°33'44,0" - 098°34'27,42" BT dapat dilihat
pada Gambar 4.
Gambar
Lokasi
4.
Penelitian Stasiun I
Stasiun II
Stasiun ini terjadi pemanfaatan ekosistem mangrove dan merupakan
daerah nelayan meletakkan bubu untuk menangkap kepiting bakau. Stasiun ini
berada pada titik koordinat 03°56'21,1" - 03°56'23,55" LU dan 098°33'58,7" 098°34'13,61" BT dapat dilihat pada Gambar 5.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 5. Lokasi Penelitian Stasiun
Stasiun III
Stasiun ini merupakan stasiun yang berada dekat dengan pemukiman
rumah warga dan langsung berbatasan dengan laut. Stasiun ini berada pada titik
koordinat 03°56'44,21" - 03°56'47,5" LU dan 098°34'09,11" - 098°34'12,3" BT
dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Lokasi Penelitian Stasiun III
Universitas Sumatera Utara
Prosedur Penelitian
Pengumpulan Contoh kepiting bakau
Contoh kepiting bakau ditangkap dengan menggunakan alat tangkap bubu
berdiameter 110 cm dan tinggi 14 cm dengan menggunakan umpan ikan mayung
yang diikatkan pada pacak ditengah bubu. Jumlah bubu yang digunakan 45 unit,
pada tiap stasiun diletakkan 15 unit. Pemasangan bubu dilakukan di setiap plot
yaitu 5 per plot pada saat air laut surut dan diangkat pada saat pasang.
Pengumpulan contoh kepiting bakau dilakukan 3 (tiga) kali sampling dengan
interval waktu 2 (dua) minggu. Selanjutnya kepiting bakau yang di dapat
diidentifikasi, dihitung jumlah induvidu perjenis dan diukur lebar karapas.
Kerapatan Mangrove
Pengambilan
contoh
untuk
analisis
vegetasi
dilakukan
dengan
menggunakan transek garis (line transect). Identifikasi jenis mangrove dapat
langsung ditentukan di lapangan dan jenis mangrove yang belum diketahui
jenisnya diidentifikasi di Laboratorium Terpadu, Manajemen Sumberdaya
Perairan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara dengan mengacu pada
buku identifikasi Noor dkk (2012). Pada transek pengamatan dibuat petak-petak
contoh
dengan tingkat tegakan menurut Kusmana (1997) dapat dilihat pada
Gambar 7.
1. Pohon, adalah memiliki diameter batang lebih besar dari 10 cm pada petak
contoh 10 x 10 meter.
2. Pancang, adalah anakan yang memiliki diameter batang kurang dari 10 cm
dengan tinggi lebih dari 1,5 meter pada petak contoh 5 x 5 meter.
Universitas Sumatera Utara
3. Semai, adalah anakan yang memiliki tinggi kurang dari 1,5 meter pada petak
contoh 2 x 2 meter.
10 x 10 m
5x5m
100 m
2x2
m
2x2
m
5x5m
Arah Rintis
Ana 10 x 10 m
Gambar 7. Transek Pengukuran Vegetasi Mangrove (10m x 10m), Anakan (5m x
5m), dan semai (2m x 2m).
Parameter Lingkungan
Pengambilan data parameter fisika kimia ini dilakukan saat keadaan
perairan Pasang. Parameter kualitas air dan metode analisis pengukuran dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Pengukuran Parameter Lingkungan Perairan
Parameter
Fisika :
Suhu
Kimia :
DO
Salinitas
pH
Substrat
C- Organik
Satuan
Alat / Metode
Lokasi
°
C
Thermometer
In situ
mg/L
ppt
%
mg/L
DO meter
Refractometer
pH Meter
Pipa Paralon
Pipa Paralon
In Situ
In Situ
In Situ
Ex Situ
Ex Situ
Universitas Sumatera Utara
Analisis Data
Kerapatan Mangrove
Hasil pengukuran data vegetasi mangrove yang telah dikumpulkan
kemudian diolah dan selanjutnya dianalisis sebagai berikut:
Kerapatan
Kerapatan Jenis :
Keterangan :
K
= Kerapatan jenis dalam satuan Individu/Ha
LPC = Luas petak contoh
Kepadatan Relatif :
Analisis Struktur Komunitas Kepiting Bakau
Kepadatan Biota
Keterangan :
K
= Kepadatan
ni
= Jumlah individu suatu jenis
A
=: Luas Area
Indeks Keanekaragaman Jenis Shannon-Wienner
Universitas Sumatera Utara
Keterangan :
H’ : Indeks keanekaragama Shannon - Wienner
Pi : Proporsi jumlah individu spesies ke-i terhadap jumlah individu total yaitu Pi
= ni/N dengan ni : jumlah suatu spesies I dan N : total jumlah spesies
Kriteria yang digunakan untuk menginterpretasikan keanekaragaman
Shannon Wiener yaitu:
H’ = < 1, Keanekaragaman tergolong rendah
H’ = 1-3, Keanekaragaman tergolong sedang
H’ = > 3, Keanekaragaman tergolong tinggi
Indeks Keseragaman (E)
E = H’
Ln S
Keterangan :
E : Indeks Keseragaman
H’ : Indeks Keanekaragaman
S : Jumlah Spesies
Menurut Krebs (1998), Indeks keseragaman berkisar antara 0 - 1, dimana :
E > 0,6
: Keseragaman tinggi
0,4 ≤ E ≤0,6 : Keseragaman spesies sedang
E < 0,4
: Keseragaman spesies rendah
Indeks Dominansi (C)
Indeks dominansi digunakan untuk menggambarkan penguasaan atau
dominansi jenis tertentu di suatu lokasi. Dalam penelitian ini menggunakan rumus
Simpson (1949) dalam Odum (1983) :
Keterangan :
C : Indeks dominansi
Ni : Jumlah individu jenis ke-i
N : Jumlah total individu
Universitas Sumatera Utara
Kriteria indeks dominansi ialah sebagai berikut:
0 < C ≤ 0,5 : Tidak ada jenis yang mendominasi
0,5 < C ≤ 1 : Terdapat jenis yang mendominasi
Hubungan Kerapatan Mangrove dan C-Organik dengan Kepadatan
Kepiting Bakau
Analisis Regresi
Analisis regresi digunakan untuk menguji berapa besar variasi
variabel tak bebas dapat diterangkan oleh variable bebas dan menguji apakah
estimasi parameter tersebut signifikan atau tidak. Rumus yang digunakan Steel
dan Torrie (1980) adalah:
Y = a + bX
Keterangan :
Y
= Kepadatan Makrozoobenthos
X
= Kepadatan Mikroplastik
a
= Konstanta
b
= Slope
Uji Korelasi
Uji korelasi yang digunakan pada penelitian ini, merupakan uji
korelasi pearson (r). Nilai r, berkisar antara 0.0 (ada korelasi), sampai dengan 1.0
(korelasi yang sempurna). Selain berdasarkan angka korelasi, tanda juga
berpengaruh pada penafsiran hasil. Tanda – (negatif) pada output menunjukkan
adanya korelasi yang berlawanan arah, sedangkan tanda + (positif) menunjukkan
arah korelasi yang searah. Tingkat Hubungan Nilai Indeks Korelasi dapat dilihat
pada Tabel 2.
Universitas Sumatera Utara
No
1
2
3
4
5
Koefisien
0,00 - 0,199
0,20 - 0,399
0,40 - 0,599
0,60 - 0,799
0,80 - 1,000
Tingkat Hubungan
Sangat Rendah
Rendah
Sedang
Kuat
Sangat Kuat
Analisis Substrat
Berikut ini adalah langkah-langkah penentuan tekstur substrat yaitu :
1.
Menentukan komposisi dari masing-masing fraksi subsrat. Misalnya fraksi
pasir 45%, debu 30% dan liat 25%.
2.
Menarik garis lurus pada sisi presentase pasir dititik 45% sejajar dengan sisi
presentase debu, kemudian ditarik garis lurus pada sisi persentase debu di
titik 30% sejajar dengan presentase liat, dan tarik garis lurus pada sisi
presentase liat 25% sejajar dengan sisi presentase pasir.
3.
Titik perpotongan ketiga garis tersebut akan menentukan tipe substrat yang
dianalisis, misalnya hal ini adalah lempung. Untuk analisis substrat
menggunakan Segitiga The United States Department of Agriculture (USDA)
dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Segitiga The United States Department of Agriculture (USDA)
(Ritung dkk., 2007)
Universitas Sumatera Utara
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Jenis Kepiting Bakau (Scylla spp.) yang Ditemukan
Hasil penelitian yang telah dilakukan di perairan kawasan mangrove desa
Jaring Halus Kabupaten Langkat Sumatera Utara diperoleh 3 jenis kepiting bakau
yaitu:
1. Scylla serrata
Hasil pengamatan yang di peroleh dari penelitian bahwa tubuh kepiting
bakau species Scylla serrata mempunyai bentuk bundar dan tebal. Tubuhnya
berwarna coklat tua. Bentuk alur H pada karapas tidak begitu dalam, duri pada
dahi tinggi, tipis agak tumpul dengan tepian cenderung cekung dan membulat,
kedua bagian atas dan bawah capit berukuran sama besar dan mata tidak menonjol
keluar seperti terlihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Scylla serrata
2. Scylla oceanica
Kepiting bakau jenis spesies Scylla oceanica yang didapati dari penelitian
mempunyai bentuk bundar dan tebal. Tubuhnya berwarna coklat kehijau-hijauan.
Bentuk alur H pada karapas dalam, capit bagian atas lebih panjang dibandingkan
Universitas Sumatera Utara
capit bagian bawah, duri pada dahi tumpul dan mata agak menonjol keluar dapat
dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Scylla oceanica
3. Scylla tranquebarica
Kepiting bakau jenis spesies Scylla tranquebarica yang didapati dari
penelitian
mempunyai bentuk bundar dan tebal. Tubuhnya berwarna coklat
kehijau-hijauan dengan bentuk alur H pada karapas dalam, duri pada dahi tumpul
dan dikelilingi celah sempit dan mata agak menonjol keluar dapat dilihat pada
Gambar 10.
Gambar 10. Scylla tranquebarica
Kepadatan Kepiting Bakau (Scylla spp.)
Kepadatan tertinggi terdapat pada jenis Scylla serrata pada stasiun II yaitu
450 ind/ha dan yang terendah pada jenis Scylla oceanica pada stasiun III yaitu 60
ind/ha dapat dilihat pada Tabel 2.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2. Kepadatan Jenis (ind/ha) Kepiting Bakau (Scylla spp.) di perairan
kawasan mangrove desa Jaring Halus Kabupaten Langkat Sumatera
Utara
Nama Spesies
Stasiun I
Stasiun II
Stasiun III
Scylla serrata
230
450
130
Scylla oceanica
150
180
60
Scylla tranquebarica
130
240
210
Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E’) dan Dominansi (C)
Kepiting Bakau (Scylla spp.)
Hasil penelitian yang telah dilakukan pada masing-masing stasiun
penelitian memperlihatkan nilai indeks keanekaragaman (H’) tertinggi terdapat
pada stasiun I dengan nilai sebesar 1,06 dan nilai terendah sebesar 0,99 yaitu
terdapat pada stasiun III. Nilai indeks keseragaman (E’) tertinggi terdapat pada
stasiun I sebesar 0,97 dan nilai keseragaman terendah terdapat pada stasiun III
sebesar 0,90. Indeks dominansi (C) tertinggi terdapat pada stasiun III dengan nilai
sebesar 0,40 dan nilai terendah sebesar 0,35 yaitu terdapat pada stasiun I dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai Indeks Keanekaragaman (H’), Dominansi (C) Keseragaman (E’)
Kepiting Bakau (Scylla spp.) di perairan kawasan mangrove desa Jaring
Halus Kabupaten Langkat Sumatera Utara
Keterangan
Stasiun I
Stasiun II
Stasiun III
deks Keanekaragaman (H’)
1,06
1,02
0,99
deks Keseragaman (E’)
0,97
0,93
0,90
deks Dominansi (C)
0,35
0,38
0,40
Kerapatan Mangrove
Hasil analisis data vegetasi mangrove di desa Jaring Halus Kabupaten
Langkat Sumatera Utara dengan menggunakan metode transek garis pada 3
stasiun diperoleh data kerapatan mangrove dengan total identifikasi jenis
berjumlah 11 spesies mangrove.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 4. Jenis-Jenis dan Kerapatan Mangrove (ind/ha) Tingkat perairan kawasan
mangrove desa Jaring Halus Kabupaten Langkat Sumatera Utara
No.
Nama Spesies
Stasiun I
Stasiun II
Stasiun III
1.
Avicennia alba
1900
233
2.
Acanthus ilicifolius
167
3.
Bruguiera sexangula
267
4.
Excoecaria agallocha
233
500
267
5.
Nypa fruticans
333
333
6.
Rhizophora apiculata
1133
333
400
7.
Rhizophora stylosa
700
500
300
8.
Excoecaria agallocha
433
467
167
9.
Ceriops tagal
533
10.
Ceriops decandra
600
11.
Rhizophora mucronata
800
200
Jumlah
5166
4066
1567
Parameter Lingkungan
Pengukuran parameter lingkungan perairan di perairan kawasan mangrove
desa Jaring Halus Kabupaten Langkat Sumatera Utara meliputi pengukuran suhu,
salinitas, pH dan DO (Dissolved Oxygen). Hasil pengukuran parameter
lingkungan perairan dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 7. Hasil Pengukuran Parameter Lingkungan di perairan kawasan mangrove
desa Jaring Halus Kabupaten Langkat Sumatera Utara
Parameter
Suhu Air (oC)
Salinitas (ppt)
pH Air
DO (mg/L)
Stasiun
Stasiun I
28,66
9,16
6,96
6,26
Stasiun II
28
11,66
7,03
6,43
Stasiun III
28,66
15,66
7,16
6,3
Karakteristik Substrat
Tabel 8. Karakteristik Substrat di perairan kawasan mangrove desa Jaring Halus
Kabupaten Langkat Sumatera Utara
Parameter
Tekstur (Hydrometer)
Stasiun
C- Organik
(%) Fraksi
(%)
Pasir
Debu
Liat
Tekstur
Stasiun I
4,3
55
26
21
Llip
Stasiun II
4,2
51
28
21
L
Stasiun III
4,0
70
16
14
Lp
Universitas Sumatera Utara
Keterangan : L = Lempung ; Llip = Lempung liat berpasir ; Lp = Lempung
berpasir
Kerapatan Mangrove Terhadap Kepadatan Kepiting Bakau
Hasil analisis menggunakan korelasi Pearson menunjukkan hubungan
antara kerapatan mangrove dengan kepadatan kepiting bakau sebesar 0,432
dengan tingkat hubungan sedang. Nilai korelasi kerapatan mangrove dengan
kepadatan kepiting bakau dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Nilai Korelasi Pearson Kerapatan Mangrove Terhadap Kepadatan
Kepiting Bakau
Kepadatan Kepiting Bakau
Parameter
Kerapatan Mangrove 0,432
C- Organik Terhadap Kepadatan Kepiting Bakau
Hasil analisis menggunakan korelasi Pearson menunjukkan hubungan
antara C-Organik dengan kepadatan kepiting bakau sebesar 0,404 dengan tingkat
hubungan sedang. Nilai korelasi C-Oraganik dengan kepadatan kepiting bakau
dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Nilai Korelasi Pearson C-Organik Terhadap Kepadatan Kepiting Bakau
Kepadatan Kepiting Bakau
Parameter
C-Organik
0,404
Universitas Sumatera Utara
Pembahasan
Jenis Kepiting Bakau
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di perairan kawasan
mangrove desa Jaring Halus Kabupaten Langkat Sumatera Utara ditemukan 3
spesies
kepiting
bakau
yaitu
Scylla
serrata,
Scylla
oceanica,
dan
Scylla tranquebarica. Menurut Nurdin Armando (2010), di Indonesia terdapat
empat jenis kepiting bakau, yaitu Scylla serrata, Scylla oceanica, Scylla
tranquebarica dan Scylla paramamosain.
Namun pada penelitian ini hanya
dijumpai 3 spesies yaitu Scylla serrata, Scylla oceanica dan
Scylla
tranquebarica. Hasil ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh
Mulya (2000) di suaka margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut
Provinsi Sumatera Utara dan juga beberapa penelitian yang pernah dilakukan oleh
Rachmawati (2009) di Indonesia pada 14 lokasi penelitian ditemukan tiga jenis
spesies kepiting bakau yaitu
Scylla serrata, Scylla tranquebarica, dan
Scylla oceanica. Ketiga jenis ini menyebar luas di perairan Indonesia, meliputi
perairan di Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.
Dalam penelitian ini tidak dijumpai jenis Scylla paramomosain karena
penyebarannya terbatas dan hidup didaerah perairan yang terendam sepanjang
tahun dan mempunyai salinitas yang rendah. Pendapat ini diperkuat oleh
Keenan (1998) yang menyatakan bahwa habitat Scylla paramamosain berasosiasi
dengan hutan mangrove dan garis pantai yang terendam dengan salinitas air laut
lebih rendah dari air laut hampir sepanjang tahun.
Bentuk badan kepiting bakau secara umum adalah badan yang pendek
dengan abdomen yang tereduksi. Ukuran lebar karapas kepiting bakau yang
Universitas Sumatera Utara
tertangkap bevariasi yaitu Scylla serrata 46 mm sampai 96 mm, Scylla oceanica
41 mm sampai 75 mm dan Scylla tranquebarica 41 mm sampai 67 mm.
Kepadatan Kepiting Bakau (Scylla spp.)
Stasiun I kepadatan jenis kepiting bakau yang tertinggi adalah jenis
Scylla
serrata
yaitu
230
ind/ha
sedangkan
yang
terendah
adalah
Scylla tranquebarica yaitu 130 ind/ha. Stasiun II kepadatan jenis kepiting bakau
yang tertinggi adalah jenis
Scylla serrata yaitu 450 ind/ha sedangkan yang
terendah adalah Scylla oceanica yaitu 180 ind/ha. Stasiun III kepadatan jenis
kepiting bakau yang tertinggi adalah jenis
Scylla tranquebarica 210 ind/ha
sedangkan yang terendah adalah Scylla oceanica yaitu 60 ind/ha.
Dari ketiga jenis kepiting bakau yang tertangkap di tiga stasiun
pengamatan kepadatan jenis spesies kepiting bakau yang tertinggi yaitu jenis
spesies
Scylla
serrata
dan
yang
terendah
adalah
jenis
spesies
Scylla tranquebarica. Hal ini karena Scylla serrata penyebarannya lebih luas dan
lebih toleran terhadap perubahan lingkungan terutama perubahan salinitas.
Hill (1978) menyatakan bahwa Scylla serrata mampu mentolerir perairan dengan
salinitas hingga 60 ppt.
Kepadatan kepiting bakau yang tertinggi terdapat pada stasiun II terendah
terdapat pada stasiun III. Hal ini karena stasiun II merupakan daerah penangkapan
kepiting bakau oleh nelayan yang berdekatan dengan paluh-paluh sungai, selain
itu pada stasaiun ini kepadatan jenis Scylla serrata paling padat ditemukan yaitu
450 ind/ha. Hal ini karena paluh-paluh sungai sangat cocok bagi habitat
Scylla serrata di mana Scylla serrata biasanya berada di perairan hutan mangrove
Universitas Sumatera Utara
dengan cara meliang. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Mulya (2000) yang
menemukan Scylla serrata yang berukuran kecil sampai sedang di daerah depan
dan tengah hutan mangrove yang berdekatan dengan paluh-paluh sungai.
Stasiun III terdapat kepadatan kepiting bakau paling rendah apabila
dibandingkan dengan stasiun I dan II karena stasiun III berdekatan dengan
pemukiman masyarakat dan sering dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mencari
kayu bakar. Selain itu stasiun III mempunyai kerapatan mangrove paling rendah
apabila dibandingkan dengan stasiun I dan II. Dalam penelitian yang dilakukan
oleh Sirait (1997), kepadatan kepiting bakau sangat dipengaruhi oleh kerapatan
mangrove, dimana semakin tinggi kerapatan mangrove maka guguran daun
mangrove yang jatuh juga semakin banyak dan keberadaan kepiting bakau
semakin banyak, karena kerapatan mangrove akan mempengaruhi jumlah bobot
serasah yang dalam hal ini sebagai makanan alami dari kepiting bakau.
Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E’) dan Dominansi (C)
Kepiting Bakau (Scylla spp.)
Keanekaragaman kepiting bakau di perairan kawasan
mangrove desa
Jaring Halus Kabupaten Langkat Sumatera Uratara dihitung dengan menggunakan
indeks keanekaragaman Shannon Weiner (H’). Indeks keanekaragaman kepiting
bakau
pada
ketiga
stasiun
pengamatan
dengan
rerata
sebesar
1,02
(keanekaragaman sedang). Tinggi rendahnya keanekaragaman jenis dapat dilihat
dari jumlah jenis yang ditemukan serta kelimpahan di alam. Keanekaragaman
cenderung akan rendah apabila adanya beberapa kelompok jenis-jenis kepiting
bakau yang memiliki populasi rendah. Hal ini sesuai dengan Soegianto (1994)
menyatakan bahwa suatu komunitas tidak akan memiliki nilai indeks
Universitas Sumatera Utara
keanekaragaman yang tinggi apabila di dalam komunitas tersebut terdapat satu
atau lebih jenis yang dominansinya mencolok jauh di atas sebagian besar jenis
lainnya.
Nilai indeks keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun I dengan
nilai sebesar 1,06 (keanekaragaman sedang) dan nilai terendah terdapat pada
stasiun III yaitu sebesar 0,99 (keanakaragaman rendah). Hal ini karena stasiun I
memiliki kerapatan mangrove yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan
stasiun II dan III sehingga banyak menghasilkan serasah atau luruhan daun
mangrove yang merupakan asupan terpenting bagi kepiting bakau. Hal ini sesuai
dengan pendapat Soviana (2004) yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang
berpengaruh terhadap keanekaragaman kepiting bakau adalah ketersediaan
makanan alami yang berasal dari mangrove dan adanya luruhan daun mangrove.
Nilai indeks keseragaman tertinggi terdapat pada stasiun I sebesar 0,97 dan
nilai keseragaman terendah terdapat pada stasiun III sebesar 0,90. Hal ini karena
Stasiun I merupakan kondisi mangrove dalam keadaan alami, sehingga memiliki
keanekaragaman dan keseragaman tertinggi dibandingkan dua stasiun lainnya
yang merupakan lokasi mangrove yang dimanfaatkan untuk penangkapan ikan
dan dekat dengan pemukiman masyarakat. Berdasarkan aktivitas yang terjadi pada
setiap stasiun akan mempengaruhi biota yang hidup di ekosistem mangrove. Hal
ini sesuai dengan Hartoni dan Agussalin (2013) yang menyatakan bahwa biota
pada ekosistem mangrove sangat dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi pada
ekosistem tersebut, karena sifat hidupnya yang cenderung menetap akan
menyebabkan biota yang hidup di dalamnya menerima setiap perubahan
Universitas Sumatera Utara
lingkungan ataupun perubahan dari hutan mangrove, misalnya perubahan fungsi
lahan mangrove menjadi areal pemukiman ataupun lahan tambak.
Pada saat pengamatan, ketiga jenis kepiting bakau selalu ditemukan pada
setiap stasiun dengan jumlah yang hampir sama sehingga tidak ada spesies yang
mendominasi. Nilai indeks dominansi pada satasiun I sebesar 0,35 stasiun II
sebesar 0,38 dan stasiun III sebesar 0,40 ini artinya pada semua stasiun tidak
terdapat spesies yang mendominasi spesies lainnya. Kepiting bakau yang ada di
kawasan penelitian ini memiliki adaptasi yang baik terhadap kondisi lingkungan.
Kerapatan Mangrove
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pada seluruh stasiun
pengamatan, kerapatan mangrove di perairan kawasan mangrove desa Jaring
Halus Kabupaten Langkat Sumatera Utara masih tergolong baik. Nilai kerapatan
tertinggi pada tingkat semai terdapat pada stasiun I sebesar 79166 ind/ha dan yang
terendah pada stasiun III sebesar 45000 ind/ha. Nilai kerapatan tertinggi pada
tingkat pancang terdapat pada stasiun I sebesar 9334 ind/ha dan yang terendah
pada stasiun III sebesar 5734 ind/ha. Nilai kerapatan tertinggi pada tingkat pohon
terdapat pada stasiun I sebesar 5166 ind/ha dan yang terendah pada stasiun III
sebesar 1567 ind/ha. Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 201
Tahun 2004 bahwa kondisi mangrove dengan kerapatan >1500 ind/ha
dikategorikan masih dalam keadaan baik dengan kriteria sangat padat.
Kerapatan mangrove dan kepadatan kepiting bakau di setiap stasiun
pengamatan berbeda-beda. Kerapatan mangrove pada tingkat semai, panjang dan
pohon terdapat pada stasiun I. Hal ini karena Stasiun I kondisi ekosistem
Universitas Sumatera Utara
mangrovenya masih alami, tetapi kepadatan kepiting bakau tertinggi terdapat pada
stasiun II. Hal ini karena stasiun II merupakan daerah penangkapan yang dekat
dengan paluh-paluh sungai sebagai habitat yang cocok bagi kepiting bakau. Hal
ini sesuai dengan Mulya (2000) yang menemukan kepiting bakau dengan ukuran
kecil sampai besar pada ekosistem mangrove yang dekat dengan paluh-paluh
sungai.
Kerapatan mangrove dan kepadatan kepiting bakau terendah terdapat pada
stasiun III, karena stasiun III dekat dengan pemukiman masyarakat dan
dimanfaatkan oleh masyarakat sehingga kepadatan kepiting bakau paling rendah
dibandingkan dengan stasiun yang lain. Hill (1982) menyatakan bahwa perairan
disekitar hutan mangrove yang baik sangat cocok untuk kehidupan kepiting
bakau, karena sumber makananya seperti bentos dan serasah cukup tersedia.
Kerapatan jenis mangrove yang berbeda-beda dan memiliki jenis yang
bervariasi pada setiap stasiun, salah satunya dipengaruhi oleh faktor lingkungan
yang ada pada lokasi stasiun masing-masing dan pemanfaatan di setiap stasiun
yang ditentukan. Hal ini sesuai dengan Talib (2008) yang menyatakan bahwa
kondisi-kondisi lingkungan luar yang terdapat di kawasan mangrove cenderung
bervariasi di sepanjang gradien dari laut ke darat. Banyak spesies yang telah
beradaptasi terhadap gradien ini, sehingga di dalam suatu kawasan suatu spesies
mungkin tumbuh lebih efisien daripada spesies lain.
Parameter Lingkungan
Hasil pengukuran suhu perairan pada ketiga stasiun pengamatan hampir sama
yaitu berkisar antara 28–28,66oC (Tabel 7). Suhu merupakan salah satu faktor
Universitas Sumatera Utara
yang mempengaruhi distribusi suatu organisme. Kisaran suhu yang terdapat pada
setiap stasiun pengamatan merupakan kisaran suhu yang mampu mendukung
kehidupan kepiting bakau. Menurut Baliao dkk (1983) kepiting bakau dapat
tumbuh cepat pada perairan dengan kisaran suhu 23-32oC, sedangkan
Wahyuni dan Ismail (1987) melaporkan di perairan hutan mangrove Tanjung
Pasir, Tangerang kepiting bakau didapatkan pada perairan dengan suhu rata-rata
28,8oC.
Kisaran salinitas pada stasiun I, II dan III berkisar antara 9,16-15,66 ppt.
Beberapa faktor yang mempengaruhi salinitas suatu perairan adalah pola sirkulasi
air, penguapan, curah hujan, dan aliran air tawar dari sungai. Lokasi penelitian ini
berdekatan dengan muara sungai, hal ini diduga yang menyebabkan kisaran
salinitas yang rendah yang berpengaruh terhadap kehidupan kepiting bakau,
sehingga keanekaragaman kepiting bakau rendah hingga sedang. Secara umum
kisaran salinitas yang dapat ditolerir oleh kepiting bakau cukup luas. Kasry (1996)
melaporkan bahwa kepiting bakau dapat hidup pada pada kisaran salinitas
30 ppt. Dalam penelitian Sirait (1997) juga menemukan kepiting bakau
pada salinitas terendah 8,9 ppt. Namun beberapa penelitian juga melaporkan
menemukan kepiting bakau pada kisaran salinitas yang lebih tinggi. Hutabarat
(1983) menemukan kepiting bakau di perairan Ujung Alang, Cilacap pada kisaran
salinitas 25-28 ppt. Sudiarta (1988) menemukan kepiting bakau di perairan
Laguna Talanca Cikaso, Sukabumi pada kisaran salinitas 26,5-32,4 ppt.
Derajad keasaman (pH) memiliki peran penting karena perubahan yang
terjadi di air tidak saja berasal dari masukan bahan-bahan asam atau basa ke
perairan, tetapi juga perubahan secara tidak langsung dari aktivitas metabolik
Universitas Sumatera Utara
biota perairan. Nilai derajat keasaman (pH) perairan yang terukur pada ketiga
stasiun pengamatan selama penelitian berkisar antara 6,96-7,16. Setiap jenis biota
atau organisme perairan lainnya mempunyai toleransi yang berbeda-beda terhadap
nilai pH. Namun pada umumnya biota air dapat hidup layak pada kisaran 5-9.
Barus (2001) menyatakan bahwa nilai pH ideal untuk organisme di perairan
adalah antara 7-8,5. Menurut Wahyuni dan Ismai (1987) kepiting bakau dapat
hidup pada kondisi perairan asam, yaitu pada daerah bersubstrat lumpur dengan
pH rata-rata 6,5. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa pada
ketiga stasiun penelitian mempunyai derajat keasaman (pH) yang cukup baik bagi
kehidupan organisme.
Pengukuran oksigen terlarut (DO) pada ketiga stasiun berkisar antara
6,3-6,43 mg/L. Perubahan kandungan oksigen sangat berpengaruh terhadap
kelangsungan hidup bagi biota air. Semakin tinggi kadar oksigen di perairan maka
semakin banyak organisme yang bisa bertahan hidup. Menurut Effendi (2003),
hampir semua organisme akuatik menyukai kondisi dengan kelarutan oksigen
>5 mg/L. Menurut Susanto dan Muwarni (2006) kebutuhan oksigen untuk
kehidupan
kepiting
bakau
adalah
>4
mg/L,
sedangkan
menurut
Shelleyand Lovatelli (2011), kebutuhan oksigen untuk pertumbuhan kepiting
bakau adalah >5 mg/L, namun juga dinyatakan bahwa kepiting bakau memiliki
toleransi terhadap konsentrasi oksigen terlarut yang rendah atau lebih kecil dari
angka tersebut. Kandungan oksigen terlarut hasil pengukuran dilokasi penelitian
masih memenuhi kriteria untuk kehidupan kepiting bakau.
Universitas Sumatera Utara
Karakteristik Substrat
Karakteristik substrat yang diamati meliputi kadar C-Organik dan fraksi
substrat. Hasil analisis rata-rata kadar C-Oganik pada setiap stasiun berkisar 3,96 4,3 %. Hasil rata-rata kadar C-Organik tertinggi ditemukan pada stasiun I sebesar
4,3%. Tinggi rendahnya kandungan bahan organik diduga berkaitan dengan
aktivitas yang terjadi atau kondisi lingkungan yang berada disekitarnya. Kondisi
lingkungan yang dipengaruhi langsung oleh ombak cenderung mempunyai bahan
organik yang relatif rendah. Rustam (2003) menyatakan bahwa ombak akan
menghanyutkan sedimen dan menghanyutkan bahan organik.
Hasil penelitian yang dilakukan pada ketiga stasiun memiliki subtrat yang
berbeda. Stasiun I dan II berupa lempung liat berpasir dan lempung, dan stasiun
III lumpur berpasir. Stasiun I dan II mempunyai kepadatan kepiting bakau yang
lebih tinggi apabila dibandingkan dengan stasiun III, ini menunjukkan bahwa
kepiting bakau lebih suka hidup di subtrat lempung liat berpasir dan lempung. Hal
ini sesuai dengan Chairunnisa (2004) yang menyatakan bahwa kepiting bakau
menyenangi habitat yang bertanah lumpur dan liat, kedua jenis tanah tersebut
merupakan habitat alami bagi kepiting bakau.
Semakin tinggi kandungan bahan organik pada substrat maka semakin
baik substrat tersebut untuk pertumbuhan vegetasi mangrove. Kandungan
C-Organik yang tinggi juga menandakan banyaknya serasah daun mangrove yang
terdekomposisi sehingga dapat diduga persediaan makanan alami kepiting bakau
juga cukup tersedia banyak. Salah satu faktor yang mempengaruhi tinggi
rendahnya bahan organik di substrat adalah tekstur, tanah berpasir memungkinkan
oksidasi yang menghabiskan tanah organik dengan cepat sehingga fraksi pasir
Universitas Sumatera Utara
cukup tinggi maka nilai kandungan C-Organiknya relatif lebuh rendah, seperti
pada stasiun III memiliki kandungan C-Organik, kelimpahan kepiting bakau dan
kerapatan mangrove yang lebih rendah apabila dibandingkan dengan stasiun I dan
II.
Substrat yang halus di ekosistem mangrove banyak mengandung serasah
dan bahan organik yang dihasilkan dari daun-daun mangrove yang jatuh ke
lumpur sekitar pohon mangrove yang terdekomposisi oleh bakteri sehingga
banyak ditemukan makanan bagi organisme. Menurut Kasry (1996) tekstur
substrat dasar yang baik bagi kehidupan kepiting bakau terdiri dari lempung
berpasir atau tanah lempung berdebu dan tidak bocor (porous) yang berfungsi
untuk menahan air. Sejalan dengan pendapat Setiawan dan Triyanto (2012),
tekstur substrat yang sangat halus seperti lempung berdebu disukai oleh kepiting
bakau sebagai habitatnya. Selain itu kepiting bakau juga tedapat pada habitat yang
memiliki tekstur sedang, namun tidak menyukai habitat yang bersubstrat kasar.
Substrat lempung berdebu tersebut dalam kategori mudah digali oleh kepiting
bakau untuk membuat liang atau lubang yang digunakan untuk membenamkan
diri, bersembunyi, mempertahankan diri agar tetap dingin selama air surut dan
melindungi diri dari predator.
Kerapatan Mangrove Terhadap Kepadatan Kepiting Bakau
Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan hubungan antara kerapatan mangrove
dengan kepadatan kepiting bakau sebesar 0,432 dengan tingkat hubungan sedang. Hal ini
menunjukkan bahwa kerapatan mangrove mempengaruhi kepadatan Kepiting bakau.
Namun Menurut Tis’in (2008) tidak semua makrozoobenthos memiliki asosiasi
atau hubungan yang erat dengan vegetasi mangrove. Kerapatan mangrove terkait
Universitas Sumatera Utara
erat dengan ketersediaan bahan organik yang terdapat pada lingkungan yang
mendukung pertumbuhan dekomposer untuk melakukan penguraian bahan
organik, seperti oksigen terlarut (DO), salinitas dan substrat. Hal ini juga
dibuktikan dalam penelitian ini yang menemukan kepadatan kepiting bakau
tertinggi pada stasiun II dengan kerapatan mangrove yang lebih rendah apabila
dibandingkan dengan stasiun I. Hal ini disebabkan karena stasiun II merupakan
stasiun yang dekat dengan paluh-paluh sungai dan apabila terjadi surut stasiun ini
masih tetap tergenang air. Hal ini sesuai dengan pendapat Mulya (2000) yang
menemukan Scylla serrata melimpah berukuran kecil sampai sedang di daerah
depan dan tengah hutan mangrove yang berdekatan dengan paluh-paluh sungai.
C- Organik Terhadap Kepadatan Kepiting Bakau
Hasil korelasi Pearson menunjukkan hubungan antara c-organik terhadap
kepadatan kepiting bakau sebesar 0,404 dengan tingkat hubungan sedang.
Hal ini
menunjukkan bahwa kepadatan kepiting bakau di perairan kawasan mangrove Desa
Jaring Halus di pengaruhi oleh kandungan c-organik. Kandungan c-organik berbanding
lurus dengan kepadatan kepiting bakau. Pamuji dkk (2015) menyatakan kepadatan
makrozoobenthos disebabkan karena material-material padatan yang terbawa arus
dan mengendap mengandung tekstur yang cocok bagi organisme benthos, selain
karena tekstur yang cocok faktor lain adalah karena material yang mengendap
yang mengandung kadar bahan organik yang tinggi sebagai pendukung kehidupan
hewan makrozoobenthos.
Supriyadi (2008) menyatakan bahwa bahan organik cenderung meningkat
dengan meningkatnya kandungan lempung dan liat. Putri dkk. (2016) menyatakan bahwa
pengaruh pasir terhadap bahan organik sangatlah kecil dibandingkan dengan fraksi yang
Universitas Sumatera Utara
lain. Semakin besar jumlah persentase lempung dalam substrat, maka semakin besar pula
kandungan bahan organiknya. Namun, semakin kecil persentase fraksi lempung, semakin
sedikit pula kandungan bahan organiknya
Universitas Sumatera Utara
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan diketahui bahwa
nilai indeks
keanekaragaman kepiting bakau di perairan kawasan mangrove desa Jaring
Halus Kabupaten Langkat Sumatera Utara pada stasiun I sebesar H’= 1,06
(kategori sedang) stasiun II sebesar 1,02 (kategori sedang) dan stasiun III
sebesar 0,99 (kategori rendah).
2.
Hasil penelitian dan perhitungan yang dilakukan diketahui bahwa kerapatan
mangrove di perairan kawasan mangrove desa Jaring Halus Kabupaten
Langkat Sumatera Utara termasuk dalam kategori kerapatan yang sangat
padat, dan kondisi lingkungan masih mendukung kehidupan kepiting bakau.
Saran
Saran yang dapat diberikan ialah meningkatkan manajemen pengelolaan
kawasan hutan mangrove di Desa Jaring Halus dengan memberikan penyuluhan
dan meningkatkan kesadaran serta peran masyarakat setempat demi pengelolaan
dan pelestarian yang berkelanjutan.
Universitas Sumatera Utara