Perlindungan hukum terhadap konsumen dan
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DAN JUGA PELAKU USAHA
DALAM MELAKUKAN TRANSAKSI JUAL BELI SECARA ON LINE
Makalah
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah Regulasi dan Hukum ICT
Disusun Oleh:
Lilies Juliana Gultom (55416120018)
Dosen : DR Ir Iwan Krisnadi MBA
UNIVERSITAS MERCU BUANA
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI TEKNIK ELEKTRO
JAKARTA
2018
DAFTAR ISI
I.
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
2. Rumusan Masalah
3. Tujuan Penelitian
4. Manfaat Penelitian
II.
LANDASAN TEORI
1. Konsumen dan Pelaku Usaha
2. Hak dan kewajiban dari konsumen dan pelaku usaha
3. Jual beli on line e-commerce
III.
PEMBAHASAN
1. Hukum Perlindungan Konsumen
2. Kontrak Elektronik dan Perlindungan Konsumen berdasarkan UU ITE dan PP PSTE
3. Penyelesaian Sengketa
IV.
KESIMPULAN
V.
REFERENSI
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Penelitian
Jual beli (e-commerce) adalah sebuah kegiatan yang mungkin hampir setiap hari kita
temukan dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai macam transaksi jual beli pun dapat kita
jumpai dimana-mana bahkan sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kegiatan
manusia sebagai mahluk sosial dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Adapun pada
zaman dahulu praktek barter atau tukar menukar digunakan oleh masyarakat dalam
bertransaksi satu sama lain. Seiring dengan berjalannya waktu dewasa ini transaksi jual
beli pun sekarang menjadi sebuah transaksi yang dahulunya sangat sederhana sekarang
menjadi sebuah transaksi modern serta kompleks.
Di indonesia sendiri jual beli adalah sesuatu yang tak terpisahkan dari kehidupan
masyarakat. Seiring dengan perkembangan zaman jual belipun akhirnya menjadi sebuah
transaksi yang dirasa untuk perlu diberikan rambu-rambu. Sebagaimana kita ketahui
bersama berdasarkan Pasal 1 ayat (3) undang-undang dasar Negara Republik Indonesia
bahwa “ Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum” maka dari itu
hukum muncul untuk mengatur setiap aspek kehidupan masyarakat yang mana dimana
hukum itu diharapkann bisa mengakomodir kepentingan semua pihak sehingga semua
orang bisa menggunakan haknya tanpa melupakan kewajiban tentunya. Hal ini sangat
penting agar tidak terjadi kesewenang-wenangan sehingga jelas mengenai batasan-batasan
dalam bertingkah laku.
Kemunculan internet sebagai salah satu terobosan yang sangat maju telah membuka
cakrawala kita tentang adanya ruang,informasi dan komunikasi yang telah menembus
batas-batas antarnegara. Dengan kecanggihan yang membuat kemudahan bagi semua
orang akan tetapi di satu sisi internet tak luput dari pelaku kejahatan untuk menjadikannya
sarana untuk melakukan tindak kejahatan yang dinamakan cyber crime.
Kemunculan transaksi jual beli secara online tentunya perlu mendapatkan sebuah
regulasi yang berisikan rambu-rambu agar tercipta lalu lintas transaksi yang aman yang
mampu mengakomodir kepentingan para stake holder. Adapun dalam jual beli antara
penjual dan konsumen pada dasarnya mempunyai hak dan kewajiban yang sama dan oleh
karena itu kepentingan dari para pihak harus dilindungi oleh hukum dan mendapat
persamaan yang sama sebagaimana dalam Pasal 2 undang-undang Nomor 8 tahun 1999
tentang
perlindungan
konsumen
bahwa
perlindungan
konsumen
berdasarkan
manfaat,keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian
hukum. Meskipun ada undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen dan juga undang-undang nomor 11 Tahun 2008 tentang informasi transaksi
elektronik, tapi menurut hemat saya banyak aturan-atuaran yang tidak tercantum yang
kurang mampu untuk memayungi transaksi secara online.
2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar belakang yang telah dijabarkan diatas, maka kemudian isu hukum dan
permasalahan yang akan diteliti antara lain sebagai berikut :
1. Apakah prinsip tanggung jawab dalam Perlindungan Konsumen bagi pelaku usaha
mampu melindungi hak-hak konsumen terhadap barang yang tidak sesuai dengan yang
ada pada situs penyedia online shop ?
2. Apakah peraturan perundang-undangan yang ada dalam bidang perlindungan
konsumen mampu mengakomodir kepentingan, keamanan dan kepastian hukum
konsumen dan pelaku usaha dalam melakukan transaksi jual beli secara online (ecommerce) ?
3. Perlukah sebuah aturan khusus tersendiri yang mengatur lalu lintas transaksi jual beli
secara online (e-commerce) di Indonesia ?
3. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penelitian hukum ini adalah :
1. Untuk mengetahui dan Menganalisis peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan jual beli online terutama aspek perlindungan konsumen dan juga pelaku
usaha apakah mampu untuk mengakomodir hak-hak para pihak, menciptakan
transaksi yang aman, serta adanya status hukum yang jelas dari sebuah transaksi
yang dilakukan secara elektronik.
2. Menyusun suatu argumentasi hukum tentang perlindungan hak-hak konsumen juga
pelaku usaha sebagai upaya perlakuan yang sama antara konsumen dan pelaku
usaha sebagaimana asas keseimbangan dalam kaitannya dengan persamaan di
depan hukum.
4. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian hukum ini antara lain :
1. Manfaat praktis
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi dalam kesadaran akan
pentingnya hak hak konsumen dan pelaku usaha untuk diakomodir, adanya
tanggung jawab dari pelaku usaha berdasarkan prinsip tanggung jawab, sehingga
terciptanya lalu lintas transaksi elektronik yang aman, nyaman, dan adanya
kepastian hukum. Dan juga diharapkan konsumen melakukan transaksi online
berdasarkan prinsip kehati-hatian.
2. Manfaat penyusunan aturan hukum
Hasil penelitian ini juga saya harap dapat memberikan sedikit kontribusi dalam hal
pembentukan aturan-aturan terkait perlindungan konsumen dan pelaku usaha dalam
era e-commerce. Yang mengakomodir kepentingan dari konsumen dan pelaku
usaha sehingga terjadi keseimbangan posisi antara keduanya sebagaimana asas
keseimbangan
BAB II
LANDASAN TEORI
1. Konsumen dan Pelaku Usaha
1. Konsumen dan Pelaku usaha
Istilah konsumen berasal dari kata consumer, secara harfiah arti kata consumer
adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang. Konsumen
secara sederhana digambarkan sebagai setiap orang yang menjadi pengguna barang
atau jasa. Kamus umum bahasa Indonesia sendiri mendefinisikan konsumen sebagai
lawan podusen, yakni barang-barang industri, bahan makanan, dan sebagainya. 1
Berdasarkan pengertian dari Pasal 1 ayat (2) undang-undang nomor 8 tahun 1999
tentang perlindungan konsumen “ konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan
jasa yang tersedia dalam masyrakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang
lain maupun mahluk hidup lainnya dan tidak untuk diperdagangkan”.
Dalam Black’s Law Dictionary mendefinisikan konsumen sebagai berikut : a
persson who buys goods or service for personal, family, or household use, with no
intention or resale; a natural person who use produects for personal rather than
business purpose.2
Berdasarkan dari beberapa pengertian konsumen yang telah dikemukakan
diatas, maka konsumen dapat dibedakan kepada tiga batasan, yaitu:
a) Konsumen komersial (commercial consumer), adalah setiap orang yang
mendapatkan barang dan/atau jasa yang digunakan untuk memproduksi barang/ dan
atau jasa lain dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan.
b) Konsumen antara(intermediate consumer), adalah setiap orang yang mendapatkan
barang dan/atau jasa yang digunakan untuk diperdagangkan kembali juga dengan
tujuan untuk memperoleh keuntungan.
c) Konsumen akhir (ultimate cosumer/ end user) adalah setiap orang yang
mendapatkan dan menggunakan barang dan/atau jasaa untuk tujuan memenuhi
kebutuhan pribadi, keluarga dan orang lain, dan mahluk hidup lainnya dan tidak
untuk diperdagangkan kembali dan/atau untuk mencari keuntungan.3
Pelaku usaha secara sederhana digambarkan sebagai setiap orang atau
kelompok yang melakukan suatu usaha yang dilakukan untuk suatu tujuan tertentu.
1
WJS. Poerwardaminta, kamus Umum Bahasa Indonesia, Gramedia . jakarta. 1995. Hlm. 521
Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary Eight edition , west Publishing, St. Paul, minnosta. Hlm. 335
3
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Kencana. Jakarta. 2013. Hlm. 17
2
Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) undang-undang nomor 8 tahun 1999 “ pelaku usaha adalah
setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badaan hukum
maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan
kegiatan dalam wilayag hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun
bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai
bidang ekonomi”.
2. Hak dan Kewajiban dari Konsumen dan Pelaku Usaha
2.1.Hak Konsumen
Secara internasional hak konsumen dapat dibedakan menjadi 4 (empat) hak utama
yang telah diakui secara global yaitu:4
a) hak untuk mendapatkan keamanan
b) hak untuk mendapatkan informasi
c) hak untuk memilih
d) hak untuk didengar
Dalam perkembangannya terdapat penambahan hak konsumen dalam International
Organization of Consumer Union (IOCU)5 yaitu hak mendapat pendidikan, hak
mendapatkan ganti rugi dan hak mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat.
Sedangkan dalam Pasal 4 UUPK terdapat beberapa hak konsumen yaitu:6
a) Hak atas kenyamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa
b) Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan
c) Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa
d) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan
e) Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut
f)
Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen
g) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif
4
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta,2011, hlm. 30-31.
Ibid
6
Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen,Grafindo, Jakarta, 2004. hlm. 38.
5
h) Hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian, apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinyaa
i)
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya
2.2.Kewajiban konsumen
Selain memiliki hak, konsumen juga memiliki kewajiban, hal ini bertujuan untuk
mengimbangi hak konsumen, sehinggga kewajiban ini diatur dalam Pasal 5 UUPK
yang mencantumkan 5 (lima) macam kewajiban konsumen, yaitu:7
a) Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b) Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c) Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d) Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara
patut.
2.3.Hak Pelaku Usaha
Menurut Pasal 6 UUPK tercantum 5 (lima) hak-hak dari (pelaku usaha) sebagai
berikut:8
a) Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai
kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan
b) Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang
beritikad tidak baik
c) Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum
sengketa konsumen
d) Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak berakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan
e) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya
2.4. kewajiban pelaku usaha
Menurut Pasal 7 UUPK kewajiban produsen (pelaku usaha) adalah:9
a) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya
7
Ibid, hlm. 47.
Ibid, hlm. 50.
9
Ibid, hlm. 51.
8
b) Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan,
dan pemeliharaan
c) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif
d) Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku
e) Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba
barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas
barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan
f)
Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan
g) Memberikan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
3. Jual beli on line E- commerce
Jual beli secara sederhana adalah suatu perjanjian yang dilakukan oleh dua pihak
dimana salah satu pihak sebagai penjual yang mempunyai sesuatu untuk dijual dan pihak
lainnya sebagai pembeli yang berniat untuk membeli sesuatu. Jual beli tidak anya terjadi
di pasar akan tetapi jual beli dapat dilakukan dimana saja kapan saja sehingga dikatakan
jual beli sebagai suatu perjanjian antara pihak yang mengikatkan dirinya dalam suatu
ikatan antara konsumen dan pelaku usaha. Sedangkan berdasarkan Pasal 1457 BW
bahwa “ jual-beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan
dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar
harga yang telah diperjanjikan. dalam jual beli biasanya yang mempunyai daya tawar
yang tinggi adalah penjual sehingga dalam praktinya seringkali pembeli (konsumen)
hanya mempunyai 2 pilihan yaitu take it or leave it (ambil atau tinggalkan) sehingga
jarang sekali pembeli mempunyai pilihan untuk mengambil hak hak sebagia konsumen.
E-commerce adalah segala transaksi perjanjian jual beli sewa menyewa dan lain lain
yang dilakukan melalu media internet. Jual beli secara elektronik atau E-commerce
seringkali menyulitkan dalam hal perlindungan keamanan transaksi dalam melindungi
hak-hak konsumen.
BAB III
PEMBAHASAN
1. Hukum Perlindungan Konsumen
Sebelum masuk dalam substansi terkait ketentuan UUPK, ada baiknya kita mengenali
dulu terkait beberepa istilah yang tidak asing dari konsumen. Konsumen yang
diperbincangkan dalam hal ini ialah setiap pengguna barang atau jasa untuk kebutuhan diri
sendiri, keluarga atau rumah tangga, dan tidak untuk memproduksi barang/jasa lain atau
memperdagangkannya kembali, adanya transaksi konsumen yang mana maksudnya ialah
proses terjadinya peralihan pemilikan atau penikmatan barang atau jasa dari penyedia
barang atau penyelenggara jasa kepada konsumen.
Pasal 4 UUPK menyebutkan bahwa hak konsumen diantaranya; hak untuk memilih
barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai
tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak atas informasi yang benar, jelas, dan
jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; hak untuk mendapatkan
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima
tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dll.
Di sisi lain, kewajiban bagi pelaku usaha sesuai Pasal 7 UUPK diantaranya;
memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa
serta
memberi
memberi kompensasi, ganti
rugi
penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
dan/atau
penggantian apabila barang dan/atau jasa
yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian, dll.
Lebih tegas lagi Pasal 8 UUPK melarang pelaku usaha untuk memperdagangkan
barang/jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan,
iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut. Berdasarkan pasal tersebut,
ketidaksesuaian spesifikasi barang yang Anda terima dengan barang tertera dalam
iklan/foto penawaran barang merupakan bentuk pelanggaran/larangan bagi pelaku usaha
dalam memperdagangkan barang.
Maka konsumen sesuai Pasal 4 huruf h UUPK berhak mendapatkan kompensasi,
ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai
dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Sedangkan, pelaku usaha itu sendiri
sesuai Pasal 7 huruf g UU PK berkewajiban memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai
dengan perjanjian.
Apabila
pelaku
usaha tidak melaksanakan kewajibannya, pelaku
usaha dapat dipidana berdasarkan Pasal 62 UUPK, yang berbunyi: “Pelaku usaha yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat
(2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling
banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
2. Kontrak Elektronik dan Perlindungan Konsumen berdasarkan UU ITE dan PP PSTE.
Transaksi jual beli, meskipun dilakukan secara online, berdasarkan UU ITE dan PP
PSTE tetap diakui sebagai transaksi elektronik yang dapat dipertanggungjawabkan.
Kontrak Elektronik itu sendiri menurut Pasal 48 ayat (3) PP PSTE setidaknya harus memuat
hal-hal sebagai berikut; data identitas para pihak; objek dan spesifikasi; persyaratan
Transaksi Elektronik; harga dan biaya; prosedur dalam hal terdapat pembatalan oleh para
pihak; ketentuan yang memberikan hak kepada pihak
mengembalikan
barang dan/atau
meminta
yang dirugikan untuk dapat
penggantian produk jika terdapat cacat
tersembunyi; dan pilihan hukum penyelesaian Transaksi Elektronik.
Dengan demikian, pada transaksi elektronik yang terjadi dikasus dapat menggunakan
instrumen UU ITE dan/atau PP PSTE sebagai dasar hukum dalam menyelesaikan
permasalahannya.
Terkait dengan perlindungan konsumen, Pasal 49 ayat (1) PP PSTE menegaskan
bahwa Pelaku Usaha yang menawarkan produk melalui Sistem
Elektronik
wajib
menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen,
dan produk yang ditawarkan. Pada ayat berikutnya lebih ditegaskan lagi bahwa Pelaku
Usaha wajib memberikan kejelasan informasi tentang penawaran kontrak atau iklan. Lalu
muncul pertanyaan bahwa bagaimana jika barang bagi pihak konsumen tidak sesuai dengan
yang diperjanjikan?
Pasal 49 ayat (3) PP PSTE mengatur khusus tentang hal tersebut, yakni Pelaku Usaha
wajib memberikan batas waktu kepada konsumen untuk mengembalikan barang yang
dikirim apabila tidak sesuai dengan perjanjian atau terdapat cacat tersembunyi. Selain
kedua ketentuan tersebut di atas, apabila ternyata barang yang diterima tidak sesuai dengan
foto pada iklan toko online tersebut (sebagai bentuk penawaran), kita juga dapat menggugat
Pelaku Usaha (dalam hal ini adalah penjual) secara perdata dengan dalih terjadinya
wanpretasi atas transaksi jual beli yang Anda lakukan dengan penjual.
Menurut Prof. R. Subekti, S.H. dalam bukunya tentang “Hukum Perjanjian”,
wanprestasi adalah kelalaian atau kealpaan yang dapat berupa 4 macam kondisi yaitu:
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya
b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
c. Melakukan apa yang dijanjikannya, tetapi terlambat;
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Jika salah satu dari 4 macam kondisi tersebut terjadi, maka Anda secara perdata dapat
menggugat penjual online dengan dalih terjadi wanprestasi (misalnya, barang yang Anda
terima tidak sesuai dengan spesifikasi barang yang dimuat dalam tampilan beranda suatu
laman online).
3. Penyelesaian Sengketa
Penyelesaian sengketa E- Commerce internasional dimungkinkan untuk diselesaikan
terutama yang meliputi sengketa bernilai kecil dalam forum yang tepat, yaitu dengan Online
Dispute Resolution (ODR), atau APS online yang menjadi cara praktis
untuk memberi
para pelanggan remedy yang tepat, murah dan efektif serta mengurangi penentuan perkara
di negara asing. Ada beberapa keuntungan bagi pembeli dan pelaku usaha trnsaksi ECommerce dalam penyelesaian sengketa melalui ODR antara lain:
1. Pertama, penghematan waktu dan uang. Keuntungan ini karena para pihak tidak perlu
membayar biaya yang harus dikeluarkan untuk menghadiri persidangan dan biayabiaya yang berkaitan dengan hal itu. Kecepatan ODR adalah salah satu keuntungan
dasarnya,
pihak-pihak dan pihak netral tidak perlu melakukan perjalanan untuk
bertemu, mereka tidak perlu ada di waktu yang sama, jangka waktu antara
penyerahan dapat singkat, penyelesaian dapat berdasarkan dokumen saja.
2. Kedua, biasanya biaya layanan penyelesaian sengketa perdata adalah gabungan dari
biaya institusi penyelesaian sengketa, fee, dan biaya pihak netral, biaya para pihak,
ongkos hukum. Dalam ODR beberapa biaya ini
tidak
ada
atau
berkurang
signifikan.
3. Ketiga, pihak yang menggunakan akses internet lebih yakin dalam menghadapi
proses yang akan dijalaninya, sebab mereka dapat dengan mudah mengontrol dan
merespon apa yang terjadi dalam proses.
4. Keempat, jika para pihak enggan melakukan tatap muka, dapat menghindari
pertemuan dengan pihak lawannya. Para pihak dapat menghindarkan diri perasaan
takut akan diintimidasi dalam proses. Hal ini merupakan persoalan psikologis.
Berdasarkan pada penyelesaian sengketa alternatif secara offline atau tradisional, maka
dapat dibagi juga bentuk penyelesaian sengketa dengan cara online (ODR)
yang dapat
dilakukan melalui Arbitrase Online. Perkembangan teknologi yang memungkinkan
terjadinya perdagangan secara elektronik, telah mengilhami dilakukan penyelesaian
sengketa secara elektronik pula. Di tengah kegalauan sistem hukum yang tidak mengikuti
perkembangan zaman dan cepatnya kemajuan tekhnologi, tekhnologi telah menggoreskan
gagasan tentang penyelesaian sengketa secara online, dalam bentuk arbitrase onlien (EArbitration).
Arbitrase online menjadi suatu pilihan menarik dalam penyelesaian sengketa ECommerce. Karaktersitik transaksi di internet merupakan transaksi lintas batas geografis
yang menghubungkan antara konsumen dengan pelaku usaha dari berbagai negara yang
dapat melahirkan sengketa. Dimana sengketa tersebut nilai nominalnya sebahagian sangat
kecil, tetapi membutuhkan penyelesaian yang cepat, dan dengan biaya yang tidak terlalu
mahal. Berbagai upaya yang telah dilakukan diantaranya dengan menyediakan Alternatif
Penyelesaian Sengketa secara online, seperti arbitrase online. Penyelesaian sengketa secara
online mulai dilakukan pada tahun 1995 dengan didirikannya Virtual Magistrate pada
Vilanova Center For Law & Technology.
Tujuannya adalah untuk menjadi penyedia jasa penyelesaian sengketa, khusus untuk
sengketa- sengketa secara online. Kasus pertama ditangani pada tahun 1996. Dalam kasus
tersebut seorang telah mengajukan gugatan karena telah menerima iklan-iklan tidak diminta
melalui email yang dikirimkan dengan menggunakan alamat dari American Online (AOL).
AOL setuju untuk menanggapi gugatan ini dan virtual magistrate yang menangani perkara
tadi mengabulkan gugatan penggugat dan memerintahkan kepada AOL untuk tidak lagi
mengirim email yang berisi iklan.
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa lainnya secara online tidak jauh berbeda
dengan arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa secara tradisional. Perbedaan
hanyalah
mengenai
cara yang digunakan yaitu penggunaan sarana-sarana elektronik
dengan penyelenggaraannya. Dalam arbitrase online, pendaftaran perkara, pemilihan
arbiter, penyerahan dokumen-dokumen, permusyawaratan para arbiter dalm hal tribunal
arbitrase lebih dari seorang arbiter, pembuatan putusan, serta pemeberitahuan akan adanya
putuan dilakukan secara online.
BAB IV
KESIMPULAN
Transaksi jual-beli melalui E- Commerce saat ini dan terutama di wilayah hukum
negara
Indonesia telah berkembang dengan pesat. Indonesia telah memiliki landasan
hukumnya mengenai perlindungan konsumen yakni Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen disamping masih adanya peraturan perundang- undangan
lainnya mengatur hal yang sama.
Konsumen dalam hal ini harus diberikan berbagai perlindungan khusus yang mana
sangat rentan dengan berbagai kemungkinan yang akan merugikan pihak konsumen itu
sendiri dari para pelaku usaha yang tidak beritikad baik dalam melakukan transaksi jual-beli
secara online. Transaksi secara online bagi pihak para pelaku usaha maupun konsumen
masing-masing harus memiliki iktikad baik dari awal.
Jika para pihak konsumen maupun para pelaku usaha dalam melakukan transaksi jual
beli terdapat permasalahan maka dapat menggunakan sarana UUPK yang mana sebagai
pedoman bagi konsumen terutama untuk memperjuangkan hak-haknya untuk melindungi
kepentingannya. Tidak menutup kemungkinan bagi para pelaku usaha jika mendapatkan
pembeli yang tidak memiliki iktikad baik dapat menyelesaikan hal melalui proses yang
serupa.
Pada intinya, tidak cukup sampai disini peraturan terkait perlindungan konsumen
menjadi wadah maupun sarana hokum bagi pihak konsumen maupun para pelaku usaha.
Masih ada beberapa perbaikan dan tambahan substansi peraturan yang perlu ditambah untuk
melindungi berbagai pihak Mengingat perkembangan ilmu pengetahuan semakin pesat
maka kita selayaknya juga harus mewaspadai berbagai kemungkinan yang akan merugikan
kepentingan kita
REFERENSI
Djoni S.Gazali dan Rachmadi Usman,
Hukum Perbankan, Ctk.kedua, Sinar Grafika, Jakarta; 2012
Richardus Eko Indrajit, E-Commerce: Kiat dan Strategi Bisnis Di Dunia Maya, PT. Elex
Media Komputindo, Jakarta, 2001
Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo, Bisnis E-Commerce: Studi Sistem Keamanan
dan Hukum di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005
Az
Nasution,
“Konsumen
dan Hukum”, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995
Subekti, R, Prof, S.H., “Hukum Perjanjian”, Cetakan ke-VIII, PT Intermasa, Jakarta, 2000
Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Nomor 8 Tahun
1999
tentang
Perlindungan
Konsumen.
Undang-undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik.
Peraturan
Pemerintah
Republik
Indonesia Nomor 82 Tahun
2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.
DALAM MELAKUKAN TRANSAKSI JUAL BELI SECARA ON LINE
Makalah
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah Regulasi dan Hukum ICT
Disusun Oleh:
Lilies Juliana Gultom (55416120018)
Dosen : DR Ir Iwan Krisnadi MBA
UNIVERSITAS MERCU BUANA
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI TEKNIK ELEKTRO
JAKARTA
2018
DAFTAR ISI
I.
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
2. Rumusan Masalah
3. Tujuan Penelitian
4. Manfaat Penelitian
II.
LANDASAN TEORI
1. Konsumen dan Pelaku Usaha
2. Hak dan kewajiban dari konsumen dan pelaku usaha
3. Jual beli on line e-commerce
III.
PEMBAHASAN
1. Hukum Perlindungan Konsumen
2. Kontrak Elektronik dan Perlindungan Konsumen berdasarkan UU ITE dan PP PSTE
3. Penyelesaian Sengketa
IV.
KESIMPULAN
V.
REFERENSI
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Penelitian
Jual beli (e-commerce) adalah sebuah kegiatan yang mungkin hampir setiap hari kita
temukan dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai macam transaksi jual beli pun dapat kita
jumpai dimana-mana bahkan sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kegiatan
manusia sebagai mahluk sosial dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Adapun pada
zaman dahulu praktek barter atau tukar menukar digunakan oleh masyarakat dalam
bertransaksi satu sama lain. Seiring dengan berjalannya waktu dewasa ini transaksi jual
beli pun sekarang menjadi sebuah transaksi yang dahulunya sangat sederhana sekarang
menjadi sebuah transaksi modern serta kompleks.
Di indonesia sendiri jual beli adalah sesuatu yang tak terpisahkan dari kehidupan
masyarakat. Seiring dengan perkembangan zaman jual belipun akhirnya menjadi sebuah
transaksi yang dirasa untuk perlu diberikan rambu-rambu. Sebagaimana kita ketahui
bersama berdasarkan Pasal 1 ayat (3) undang-undang dasar Negara Republik Indonesia
bahwa “ Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum” maka dari itu
hukum muncul untuk mengatur setiap aspek kehidupan masyarakat yang mana dimana
hukum itu diharapkann bisa mengakomodir kepentingan semua pihak sehingga semua
orang bisa menggunakan haknya tanpa melupakan kewajiban tentunya. Hal ini sangat
penting agar tidak terjadi kesewenang-wenangan sehingga jelas mengenai batasan-batasan
dalam bertingkah laku.
Kemunculan internet sebagai salah satu terobosan yang sangat maju telah membuka
cakrawala kita tentang adanya ruang,informasi dan komunikasi yang telah menembus
batas-batas antarnegara. Dengan kecanggihan yang membuat kemudahan bagi semua
orang akan tetapi di satu sisi internet tak luput dari pelaku kejahatan untuk menjadikannya
sarana untuk melakukan tindak kejahatan yang dinamakan cyber crime.
Kemunculan transaksi jual beli secara online tentunya perlu mendapatkan sebuah
regulasi yang berisikan rambu-rambu agar tercipta lalu lintas transaksi yang aman yang
mampu mengakomodir kepentingan para stake holder. Adapun dalam jual beli antara
penjual dan konsumen pada dasarnya mempunyai hak dan kewajiban yang sama dan oleh
karena itu kepentingan dari para pihak harus dilindungi oleh hukum dan mendapat
persamaan yang sama sebagaimana dalam Pasal 2 undang-undang Nomor 8 tahun 1999
tentang
perlindungan
konsumen
bahwa
perlindungan
konsumen
berdasarkan
manfaat,keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian
hukum. Meskipun ada undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen dan juga undang-undang nomor 11 Tahun 2008 tentang informasi transaksi
elektronik, tapi menurut hemat saya banyak aturan-atuaran yang tidak tercantum yang
kurang mampu untuk memayungi transaksi secara online.
2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar belakang yang telah dijabarkan diatas, maka kemudian isu hukum dan
permasalahan yang akan diteliti antara lain sebagai berikut :
1. Apakah prinsip tanggung jawab dalam Perlindungan Konsumen bagi pelaku usaha
mampu melindungi hak-hak konsumen terhadap barang yang tidak sesuai dengan yang
ada pada situs penyedia online shop ?
2. Apakah peraturan perundang-undangan yang ada dalam bidang perlindungan
konsumen mampu mengakomodir kepentingan, keamanan dan kepastian hukum
konsumen dan pelaku usaha dalam melakukan transaksi jual beli secara online (ecommerce) ?
3. Perlukah sebuah aturan khusus tersendiri yang mengatur lalu lintas transaksi jual beli
secara online (e-commerce) di Indonesia ?
3. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penelitian hukum ini adalah :
1. Untuk mengetahui dan Menganalisis peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan jual beli online terutama aspek perlindungan konsumen dan juga pelaku
usaha apakah mampu untuk mengakomodir hak-hak para pihak, menciptakan
transaksi yang aman, serta adanya status hukum yang jelas dari sebuah transaksi
yang dilakukan secara elektronik.
2. Menyusun suatu argumentasi hukum tentang perlindungan hak-hak konsumen juga
pelaku usaha sebagai upaya perlakuan yang sama antara konsumen dan pelaku
usaha sebagaimana asas keseimbangan dalam kaitannya dengan persamaan di
depan hukum.
4. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian hukum ini antara lain :
1. Manfaat praktis
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi dalam kesadaran akan
pentingnya hak hak konsumen dan pelaku usaha untuk diakomodir, adanya
tanggung jawab dari pelaku usaha berdasarkan prinsip tanggung jawab, sehingga
terciptanya lalu lintas transaksi elektronik yang aman, nyaman, dan adanya
kepastian hukum. Dan juga diharapkan konsumen melakukan transaksi online
berdasarkan prinsip kehati-hatian.
2. Manfaat penyusunan aturan hukum
Hasil penelitian ini juga saya harap dapat memberikan sedikit kontribusi dalam hal
pembentukan aturan-aturan terkait perlindungan konsumen dan pelaku usaha dalam
era e-commerce. Yang mengakomodir kepentingan dari konsumen dan pelaku
usaha sehingga terjadi keseimbangan posisi antara keduanya sebagaimana asas
keseimbangan
BAB II
LANDASAN TEORI
1. Konsumen dan Pelaku Usaha
1. Konsumen dan Pelaku usaha
Istilah konsumen berasal dari kata consumer, secara harfiah arti kata consumer
adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang. Konsumen
secara sederhana digambarkan sebagai setiap orang yang menjadi pengguna barang
atau jasa. Kamus umum bahasa Indonesia sendiri mendefinisikan konsumen sebagai
lawan podusen, yakni barang-barang industri, bahan makanan, dan sebagainya. 1
Berdasarkan pengertian dari Pasal 1 ayat (2) undang-undang nomor 8 tahun 1999
tentang perlindungan konsumen “ konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan
jasa yang tersedia dalam masyrakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang
lain maupun mahluk hidup lainnya dan tidak untuk diperdagangkan”.
Dalam Black’s Law Dictionary mendefinisikan konsumen sebagai berikut : a
persson who buys goods or service for personal, family, or household use, with no
intention or resale; a natural person who use produects for personal rather than
business purpose.2
Berdasarkan dari beberapa pengertian konsumen yang telah dikemukakan
diatas, maka konsumen dapat dibedakan kepada tiga batasan, yaitu:
a) Konsumen komersial (commercial consumer), adalah setiap orang yang
mendapatkan barang dan/atau jasa yang digunakan untuk memproduksi barang/ dan
atau jasa lain dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan.
b) Konsumen antara(intermediate consumer), adalah setiap orang yang mendapatkan
barang dan/atau jasa yang digunakan untuk diperdagangkan kembali juga dengan
tujuan untuk memperoleh keuntungan.
c) Konsumen akhir (ultimate cosumer/ end user) adalah setiap orang yang
mendapatkan dan menggunakan barang dan/atau jasaa untuk tujuan memenuhi
kebutuhan pribadi, keluarga dan orang lain, dan mahluk hidup lainnya dan tidak
untuk diperdagangkan kembali dan/atau untuk mencari keuntungan.3
Pelaku usaha secara sederhana digambarkan sebagai setiap orang atau
kelompok yang melakukan suatu usaha yang dilakukan untuk suatu tujuan tertentu.
1
WJS. Poerwardaminta, kamus Umum Bahasa Indonesia, Gramedia . jakarta. 1995. Hlm. 521
Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary Eight edition , west Publishing, St. Paul, minnosta. Hlm. 335
3
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Kencana. Jakarta. 2013. Hlm. 17
2
Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) undang-undang nomor 8 tahun 1999 “ pelaku usaha adalah
setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badaan hukum
maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan
kegiatan dalam wilayag hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun
bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai
bidang ekonomi”.
2. Hak dan Kewajiban dari Konsumen dan Pelaku Usaha
2.1.Hak Konsumen
Secara internasional hak konsumen dapat dibedakan menjadi 4 (empat) hak utama
yang telah diakui secara global yaitu:4
a) hak untuk mendapatkan keamanan
b) hak untuk mendapatkan informasi
c) hak untuk memilih
d) hak untuk didengar
Dalam perkembangannya terdapat penambahan hak konsumen dalam International
Organization of Consumer Union (IOCU)5 yaitu hak mendapat pendidikan, hak
mendapatkan ganti rugi dan hak mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat.
Sedangkan dalam Pasal 4 UUPK terdapat beberapa hak konsumen yaitu:6
a) Hak atas kenyamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa
b) Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan
c) Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa
d) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan
e) Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut
f)
Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen
g) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif
4
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta,2011, hlm. 30-31.
Ibid
6
Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen,Grafindo, Jakarta, 2004. hlm. 38.
5
h) Hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian, apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinyaa
i)
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya
2.2.Kewajiban konsumen
Selain memiliki hak, konsumen juga memiliki kewajiban, hal ini bertujuan untuk
mengimbangi hak konsumen, sehinggga kewajiban ini diatur dalam Pasal 5 UUPK
yang mencantumkan 5 (lima) macam kewajiban konsumen, yaitu:7
a) Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b) Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c) Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d) Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara
patut.
2.3.Hak Pelaku Usaha
Menurut Pasal 6 UUPK tercantum 5 (lima) hak-hak dari (pelaku usaha) sebagai
berikut:8
a) Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai
kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan
b) Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang
beritikad tidak baik
c) Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum
sengketa konsumen
d) Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak berakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan
e) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya
2.4. kewajiban pelaku usaha
Menurut Pasal 7 UUPK kewajiban produsen (pelaku usaha) adalah:9
a) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya
7
Ibid, hlm. 47.
Ibid, hlm. 50.
9
Ibid, hlm. 51.
8
b) Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan,
dan pemeliharaan
c) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif
d) Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku
e) Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba
barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas
barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan
f)
Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan
g) Memberikan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
3. Jual beli on line E- commerce
Jual beli secara sederhana adalah suatu perjanjian yang dilakukan oleh dua pihak
dimana salah satu pihak sebagai penjual yang mempunyai sesuatu untuk dijual dan pihak
lainnya sebagai pembeli yang berniat untuk membeli sesuatu. Jual beli tidak anya terjadi
di pasar akan tetapi jual beli dapat dilakukan dimana saja kapan saja sehingga dikatakan
jual beli sebagai suatu perjanjian antara pihak yang mengikatkan dirinya dalam suatu
ikatan antara konsumen dan pelaku usaha. Sedangkan berdasarkan Pasal 1457 BW
bahwa “ jual-beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan
dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar
harga yang telah diperjanjikan. dalam jual beli biasanya yang mempunyai daya tawar
yang tinggi adalah penjual sehingga dalam praktinya seringkali pembeli (konsumen)
hanya mempunyai 2 pilihan yaitu take it or leave it (ambil atau tinggalkan) sehingga
jarang sekali pembeli mempunyai pilihan untuk mengambil hak hak sebagia konsumen.
E-commerce adalah segala transaksi perjanjian jual beli sewa menyewa dan lain lain
yang dilakukan melalu media internet. Jual beli secara elektronik atau E-commerce
seringkali menyulitkan dalam hal perlindungan keamanan transaksi dalam melindungi
hak-hak konsumen.
BAB III
PEMBAHASAN
1. Hukum Perlindungan Konsumen
Sebelum masuk dalam substansi terkait ketentuan UUPK, ada baiknya kita mengenali
dulu terkait beberepa istilah yang tidak asing dari konsumen. Konsumen yang
diperbincangkan dalam hal ini ialah setiap pengguna barang atau jasa untuk kebutuhan diri
sendiri, keluarga atau rumah tangga, dan tidak untuk memproduksi barang/jasa lain atau
memperdagangkannya kembali, adanya transaksi konsumen yang mana maksudnya ialah
proses terjadinya peralihan pemilikan atau penikmatan barang atau jasa dari penyedia
barang atau penyelenggara jasa kepada konsumen.
Pasal 4 UUPK menyebutkan bahwa hak konsumen diantaranya; hak untuk memilih
barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai
tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak atas informasi yang benar, jelas, dan
jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; hak untuk mendapatkan
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima
tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dll.
Di sisi lain, kewajiban bagi pelaku usaha sesuai Pasal 7 UUPK diantaranya;
memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa
serta
memberi
memberi kompensasi, ganti
rugi
penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
dan/atau
penggantian apabila barang dan/atau jasa
yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian, dll.
Lebih tegas lagi Pasal 8 UUPK melarang pelaku usaha untuk memperdagangkan
barang/jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan,
iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut. Berdasarkan pasal tersebut,
ketidaksesuaian spesifikasi barang yang Anda terima dengan barang tertera dalam
iklan/foto penawaran barang merupakan bentuk pelanggaran/larangan bagi pelaku usaha
dalam memperdagangkan barang.
Maka konsumen sesuai Pasal 4 huruf h UUPK berhak mendapatkan kompensasi,
ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai
dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Sedangkan, pelaku usaha itu sendiri
sesuai Pasal 7 huruf g UU PK berkewajiban memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai
dengan perjanjian.
Apabila
pelaku
usaha tidak melaksanakan kewajibannya, pelaku
usaha dapat dipidana berdasarkan Pasal 62 UUPK, yang berbunyi: “Pelaku usaha yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat
(2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling
banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
2. Kontrak Elektronik dan Perlindungan Konsumen berdasarkan UU ITE dan PP PSTE.
Transaksi jual beli, meskipun dilakukan secara online, berdasarkan UU ITE dan PP
PSTE tetap diakui sebagai transaksi elektronik yang dapat dipertanggungjawabkan.
Kontrak Elektronik itu sendiri menurut Pasal 48 ayat (3) PP PSTE setidaknya harus memuat
hal-hal sebagai berikut; data identitas para pihak; objek dan spesifikasi; persyaratan
Transaksi Elektronik; harga dan biaya; prosedur dalam hal terdapat pembatalan oleh para
pihak; ketentuan yang memberikan hak kepada pihak
mengembalikan
barang dan/atau
meminta
yang dirugikan untuk dapat
penggantian produk jika terdapat cacat
tersembunyi; dan pilihan hukum penyelesaian Transaksi Elektronik.
Dengan demikian, pada transaksi elektronik yang terjadi dikasus dapat menggunakan
instrumen UU ITE dan/atau PP PSTE sebagai dasar hukum dalam menyelesaikan
permasalahannya.
Terkait dengan perlindungan konsumen, Pasal 49 ayat (1) PP PSTE menegaskan
bahwa Pelaku Usaha yang menawarkan produk melalui Sistem
Elektronik
wajib
menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen,
dan produk yang ditawarkan. Pada ayat berikutnya lebih ditegaskan lagi bahwa Pelaku
Usaha wajib memberikan kejelasan informasi tentang penawaran kontrak atau iklan. Lalu
muncul pertanyaan bahwa bagaimana jika barang bagi pihak konsumen tidak sesuai dengan
yang diperjanjikan?
Pasal 49 ayat (3) PP PSTE mengatur khusus tentang hal tersebut, yakni Pelaku Usaha
wajib memberikan batas waktu kepada konsumen untuk mengembalikan barang yang
dikirim apabila tidak sesuai dengan perjanjian atau terdapat cacat tersembunyi. Selain
kedua ketentuan tersebut di atas, apabila ternyata barang yang diterima tidak sesuai dengan
foto pada iklan toko online tersebut (sebagai bentuk penawaran), kita juga dapat menggugat
Pelaku Usaha (dalam hal ini adalah penjual) secara perdata dengan dalih terjadinya
wanpretasi atas transaksi jual beli yang Anda lakukan dengan penjual.
Menurut Prof. R. Subekti, S.H. dalam bukunya tentang “Hukum Perjanjian”,
wanprestasi adalah kelalaian atau kealpaan yang dapat berupa 4 macam kondisi yaitu:
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya
b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
c. Melakukan apa yang dijanjikannya, tetapi terlambat;
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Jika salah satu dari 4 macam kondisi tersebut terjadi, maka Anda secara perdata dapat
menggugat penjual online dengan dalih terjadi wanprestasi (misalnya, barang yang Anda
terima tidak sesuai dengan spesifikasi barang yang dimuat dalam tampilan beranda suatu
laman online).
3. Penyelesaian Sengketa
Penyelesaian sengketa E- Commerce internasional dimungkinkan untuk diselesaikan
terutama yang meliputi sengketa bernilai kecil dalam forum yang tepat, yaitu dengan Online
Dispute Resolution (ODR), atau APS online yang menjadi cara praktis
untuk memberi
para pelanggan remedy yang tepat, murah dan efektif serta mengurangi penentuan perkara
di negara asing. Ada beberapa keuntungan bagi pembeli dan pelaku usaha trnsaksi ECommerce dalam penyelesaian sengketa melalui ODR antara lain:
1. Pertama, penghematan waktu dan uang. Keuntungan ini karena para pihak tidak perlu
membayar biaya yang harus dikeluarkan untuk menghadiri persidangan dan biayabiaya yang berkaitan dengan hal itu. Kecepatan ODR adalah salah satu keuntungan
dasarnya,
pihak-pihak dan pihak netral tidak perlu melakukan perjalanan untuk
bertemu, mereka tidak perlu ada di waktu yang sama, jangka waktu antara
penyerahan dapat singkat, penyelesaian dapat berdasarkan dokumen saja.
2. Kedua, biasanya biaya layanan penyelesaian sengketa perdata adalah gabungan dari
biaya institusi penyelesaian sengketa, fee, dan biaya pihak netral, biaya para pihak,
ongkos hukum. Dalam ODR beberapa biaya ini
tidak
ada
atau
berkurang
signifikan.
3. Ketiga, pihak yang menggunakan akses internet lebih yakin dalam menghadapi
proses yang akan dijalaninya, sebab mereka dapat dengan mudah mengontrol dan
merespon apa yang terjadi dalam proses.
4. Keempat, jika para pihak enggan melakukan tatap muka, dapat menghindari
pertemuan dengan pihak lawannya. Para pihak dapat menghindarkan diri perasaan
takut akan diintimidasi dalam proses. Hal ini merupakan persoalan psikologis.
Berdasarkan pada penyelesaian sengketa alternatif secara offline atau tradisional, maka
dapat dibagi juga bentuk penyelesaian sengketa dengan cara online (ODR)
yang dapat
dilakukan melalui Arbitrase Online. Perkembangan teknologi yang memungkinkan
terjadinya perdagangan secara elektronik, telah mengilhami dilakukan penyelesaian
sengketa secara elektronik pula. Di tengah kegalauan sistem hukum yang tidak mengikuti
perkembangan zaman dan cepatnya kemajuan tekhnologi, tekhnologi telah menggoreskan
gagasan tentang penyelesaian sengketa secara online, dalam bentuk arbitrase onlien (EArbitration).
Arbitrase online menjadi suatu pilihan menarik dalam penyelesaian sengketa ECommerce. Karaktersitik transaksi di internet merupakan transaksi lintas batas geografis
yang menghubungkan antara konsumen dengan pelaku usaha dari berbagai negara yang
dapat melahirkan sengketa. Dimana sengketa tersebut nilai nominalnya sebahagian sangat
kecil, tetapi membutuhkan penyelesaian yang cepat, dan dengan biaya yang tidak terlalu
mahal. Berbagai upaya yang telah dilakukan diantaranya dengan menyediakan Alternatif
Penyelesaian Sengketa secara online, seperti arbitrase online. Penyelesaian sengketa secara
online mulai dilakukan pada tahun 1995 dengan didirikannya Virtual Magistrate pada
Vilanova Center For Law & Technology.
Tujuannya adalah untuk menjadi penyedia jasa penyelesaian sengketa, khusus untuk
sengketa- sengketa secara online. Kasus pertama ditangani pada tahun 1996. Dalam kasus
tersebut seorang telah mengajukan gugatan karena telah menerima iklan-iklan tidak diminta
melalui email yang dikirimkan dengan menggunakan alamat dari American Online (AOL).
AOL setuju untuk menanggapi gugatan ini dan virtual magistrate yang menangani perkara
tadi mengabulkan gugatan penggugat dan memerintahkan kepada AOL untuk tidak lagi
mengirim email yang berisi iklan.
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa lainnya secara online tidak jauh berbeda
dengan arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa secara tradisional. Perbedaan
hanyalah
mengenai
cara yang digunakan yaitu penggunaan sarana-sarana elektronik
dengan penyelenggaraannya. Dalam arbitrase online, pendaftaran perkara, pemilihan
arbiter, penyerahan dokumen-dokumen, permusyawaratan para arbiter dalm hal tribunal
arbitrase lebih dari seorang arbiter, pembuatan putusan, serta pemeberitahuan akan adanya
putuan dilakukan secara online.
BAB IV
KESIMPULAN
Transaksi jual-beli melalui E- Commerce saat ini dan terutama di wilayah hukum
negara
Indonesia telah berkembang dengan pesat. Indonesia telah memiliki landasan
hukumnya mengenai perlindungan konsumen yakni Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen disamping masih adanya peraturan perundang- undangan
lainnya mengatur hal yang sama.
Konsumen dalam hal ini harus diberikan berbagai perlindungan khusus yang mana
sangat rentan dengan berbagai kemungkinan yang akan merugikan pihak konsumen itu
sendiri dari para pelaku usaha yang tidak beritikad baik dalam melakukan transaksi jual-beli
secara online. Transaksi secara online bagi pihak para pelaku usaha maupun konsumen
masing-masing harus memiliki iktikad baik dari awal.
Jika para pihak konsumen maupun para pelaku usaha dalam melakukan transaksi jual
beli terdapat permasalahan maka dapat menggunakan sarana UUPK yang mana sebagai
pedoman bagi konsumen terutama untuk memperjuangkan hak-haknya untuk melindungi
kepentingannya. Tidak menutup kemungkinan bagi para pelaku usaha jika mendapatkan
pembeli yang tidak memiliki iktikad baik dapat menyelesaikan hal melalui proses yang
serupa.
Pada intinya, tidak cukup sampai disini peraturan terkait perlindungan konsumen
menjadi wadah maupun sarana hokum bagi pihak konsumen maupun para pelaku usaha.
Masih ada beberapa perbaikan dan tambahan substansi peraturan yang perlu ditambah untuk
melindungi berbagai pihak Mengingat perkembangan ilmu pengetahuan semakin pesat
maka kita selayaknya juga harus mewaspadai berbagai kemungkinan yang akan merugikan
kepentingan kita
REFERENSI
Djoni S.Gazali dan Rachmadi Usman,
Hukum Perbankan, Ctk.kedua, Sinar Grafika, Jakarta; 2012
Richardus Eko Indrajit, E-Commerce: Kiat dan Strategi Bisnis Di Dunia Maya, PT. Elex
Media Komputindo, Jakarta, 2001
Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo, Bisnis E-Commerce: Studi Sistem Keamanan
dan Hukum di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005
Az
Nasution,
“Konsumen
dan Hukum”, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995
Subekti, R, Prof, S.H., “Hukum Perjanjian”, Cetakan ke-VIII, PT Intermasa, Jakarta, 2000
Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Nomor 8 Tahun
1999
tentang
Perlindungan
Konsumen.
Undang-undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik.
Peraturan
Pemerintah
Republik
Indonesia Nomor 82 Tahun
2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.