Politik dan Pemerintahan Islam doc

HAK ASASI MANUSIA DAN GOLONGAN
MINORITAS DALAM NEGARA ISLAM
KELOMPOK XIV

ANGGOTA
1.
2.
3.
4.
5.

DEKRIS PRATAMA (1301120520)
AYU ALIYAH (1301114157)
NOVIA AZMI (1301110562)
TRI WIJAYA NINGSIH (1301110039)
YUSFA AFRINA (1301110039)

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2014

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan nikmat kesehatan dan kesempatan kepada penulis, sehingga
penulisan makalah yang berjudul “ HAK ASASI MANUSIA DAN GOLONGAN
MINORITAS DALAM NEGARA ISLAM ”

ini terselesaikan tepat pada

waktunya.
Shalawat serta salam semoga tetap tecurahkan kepada Nabi Muhammad
SAW serta Keluarga beliau, para sahabat dan para pengikut beliau sampai akhir
zaman, amin ya Rabbal Alamin.
Penulis menyadari, bahwa

penulisan makalah ini masih jauh


dari

sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran sangat penulis harapkan dari berbagai
pihak yang sifatnya membangun dan untuk perbaikan makalah yang akan datang.
Semoga makalah ini memberikan manfaat khususnya bagi penulis dan pembaca
pada umumnya, Amin.

Pekanbaru, 25

September 2014

Penulis

ii

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR……………………………………………………..


i

DAFTAR
ISI……………………………………………………………......................

ii

BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang…………………………………………........................

4

1.2. Rumusan Masalah ………………………………………………..........

5

1.3. Tujuan ……………………………………………................................

5


BAB II. PEMBAHASAN
2 1. Pengertian HAM …………………………………................................

6

2.2. Sejarah HAM……………………………………………………..........

6

2.3. Perbedaan Pandangan antara Islam dan Barat Tentang HAM…............

7

2.4. HAM menurut Islam……………………………………………..........

8

2.5. Pengaturan HAM dalam Hukum Islam…………………………..........

9


2.6. Hukum Islam dan HAM………………………………………….........

10

2.7. Kaum Minoritas di Negara Islam ……...................................................

13

2.8. Perlindungan Hukum Islam Terhadap Kaum Minoritas ........................

14

BAB III. PENUTUP
3.1. KESIMPULAN……………………………………………………......

20

DAFTAR PUSTAKA


iii

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Untuk dapat menjalankan tugas dan fungsi manusia sebagai pemimpin,
setiap manusia harus mengerti terlebih dahulu hak-hak dasar yang melekat pada
dirinya seperti kebebasan, persamaan, perlindungan dan sebagainya. Hak-hak
tersebut bukan merupakan pembererian seseorang, organisasi, atau Negara, tapi
adalah anugrah Allah yang sudan dibawanya sejak lahir kea lam dunia. Hak-hak
itulah yang kemudian disebut dengan Hak Asasi Manusia. Tanpa memahami hakhak tersebut adalah mustahil ia dapat menjalankan tugas serta kewajibannya
sebagai khalifah Tuhan. Namun persoalannya kemudian, apakah setiap manusia
dan setiap muslim sudah menyadari hak-hak tersebut? Jawabannya, mungkin
belum setiap orang, termasuk umat islam menyadarinya. Hal ini mungkin akibat
rendahnya pendidikan atau sistem social politik dan budaya di suatu tempat yang
tidak kondusif untuk anak dapat berkembang dengan sempurna (Ahmad Kosasih,
HAM dalam Perspektif Islam 2003:5).
Dalam sudut pandang Islam Hak Asasi Manusia sudah diatur berdasarkan
atau berpedoman pada Al-Qur’an dan Hadist. Karena Al-Qur’an dan Hadist
merupakan pedoman hidup bagi seluruh manusia yang ada di bumi ini pada

umumnya dan bagi umat islam pada khususnya. Oleh karena itu umat munusia
pada umumnya dan umat islam pada khususnya apabila tidak ingin hak-haknnya
diramapas oleh orang lain, maka hendaknya ia harus mengetahui hak-haknya dan
selalu memperjuangkannya selama tidak mengambil atau melampui batas dari
hak-hak orang lain.
Pada perkembangan selanjutnya hukum Islam menjadi salah satu bidang
kajian ilmiah di antara bidang-bidang kajian dalam Islam. Sebagai kajian
ilmiah, hukum Islam telah dipelajari secara ilmiah tidak hanya oleh umat
Islam, tetapi juga oleh orang-orang non-Muslim atau yang lebih dikenal
dengan sebutan kaum orientalis. Tentu saja, tujuan yang ingin dicapai dalam
mempelajari hukum Islam akan berbeda bagi kalangan umat Islam dan bagi
kalangan non-Muslim.
1.2. Rumusan Masalah

4

Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
A. Apakah yang dimaksud dengan Hak Asasi Manusia?
B. Bagaimanakah sejarah lahirnya Hak Asasi Manusia?
C. Bagaimanakah perbedaan pandangan antara Islam dan Barat tentang HAM?

D. Bagaimanakah Hak Asasi Manusia Menurut Islam?
E. Bagaimanakah pengaturan Hak Asasi Manusia dalam Hukum Islam?
F. Bagaimanakah hubungan antara Hukum Islam dan HAM?
G. Bagaimanakah kaum minoritas dalam sebuah negara Islam?
1.3. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini, antara lain:
1) Untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh Dosen kepada Mahasiswa
semester III; Ilmu Hubungan Internasional pada Mata Kuliah Pemikiran
2) Untuk mengetahui bagaimana pandangan Islam tentang HAM dan Minoritas
dalam Islam

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian HAM
Berikut ini beberapa pengertian tentang hak asasi manusia, antara lain:
a.

Secara etimolgi hak merupakan unsur normative yang berfungsi sebagai

pedoman prilaku melindumgi kebebasan, kekebalan serta menjamin adanya

peluang bagi manusia dalam menjadi harkat dan martabatnya. Sedangkan asasi
berarti yang bersifat paling mendasar yang dimiliki manusia sebagai fitrah,
sehingga tak satupun makhluk mengintervensinya apalagi mencabutnya.

5

b.

Menurut pendapat Jan Materson (dari komisi HAM PBB), dalam Teaching

Human Rights, United Nations sebagaimana dikutip Baharuddin Lopa
menegaskan bahwa HAM adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang
tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.
c.
John Locke menyatakan bahwa HAM adalah hak-hak yang diberikan
langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati.
d.
Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM
disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada
hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan

merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi
oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia.
2.2. Sejarah HAM
Negara yang sering disebut sebagai negara pertama di dunia yang
memperjuangkan hak asasi manusia adalah Inggris. Tonggak pertama bagi
kemenangan hak-hak asasi terjadi di Inggris. Perjuangan tersebut tampak dengan
adanya berbagai dokumen kenegaraan yang berhasil disusun dan disahkan.
Dokumen-dokumen tersebut adalah Magna Charta. Tindakan sewenang-wenang
Raja Inggris mengakibatkan rasa tidak puas dari para bangsawan yang akhirnya
berhasil mengajak Raja Inggris untuk membuat suatu perjanjian yang disebut
Magna Charta atau Piagam Agung. Magna Charta dicetuskan pada 15 Juni 1215
yang prinsip dasarnya memuat pembatasan kekuasaan raja dan hak asasi manusia
lebih penting daripada kedaulatan raja. Tak seorang pun dari warga negara
merdeka dapat ditahan atau dirampas harta kekayaannya atau diasingkan atau
dengan cara apapun dirampas hak-haknya, kecuali berdasarkan pertimbangan
hukum. Piagam Magna Charta itu menandakan kemenangan telah diraih sebab
hak-hak tertentu yang prinsip telah diakui dan dijamin oleh pemerintah. Piagam
tersebut menjadi lambang munculnya perlindungan terhadap hak-hak asasi karena
ia mengajarkan bahwa hukum dan undang-undang derajatnya lebih tinggi

daripada kekuasaan raja.
Perjuangan di negara Inggris memicu perjuangan-perjuangan di banyak
negara untuk Hak Asasi Manusia. Seperit misalnya Amerika Serikat dengan
Presiden Flanklin D. Roosevelt tentang “empat kebebasan” yang diucapkannya di

6

depan Kongres Amerika Serikat tanggal 6 Januari 1941 antara lain kebebasan
untuk berbicara dan melahirkan pikiran (freedom of speech and expression),
kebebasan memilih agama sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya
(freedom of religion), kebebasan dari rasa takut (freedom from fear), kebebasan
dari kekurangan dan kelaparan (freedom from want).
Setelah perang dunia kedua, mulai tahun 1946, disusunlah rancangan
piagam hak-hak asasi manusia oleh organisasi kerja sama untuk sosial ekonomi
Perserikatan Bangsa-Bangsa yang terdiri dari 18 anggota. PBB membentuk
komisi hak asasi manusia (commission of human right). Sidangnya dimulai pada
bulan januari 1947 di bawah pimpinan Ny. Eleanor Rossevelt. Baru 2 tahun
kemudian, tanggal 10 Desember 1948 Sidang Umum PBB yang diselenggarakan
di Istana Chaillot, Paris menerima baik hasil kerja panitia tersebut. Karya itu
berupa Universal Declaration Of Human Rights atau Pernyataan Sedunia tentang
Hak – Hak Asasi Manusia, yang terdiri dari 30 pasal. Dari 58 Negara yang
terwakil dalam sidang umum tersebut, 48 negara menyatakan persetujuannya, 8
negara abstain, dan 2 negara lainnya absen. Oleh karena itu, setiap tanggal 10
Desember diperingati sebagai hari Hak Asasi Manusia.
2.3. Perbedaan Pandangan antara Islam dan Barat Tentang HAM
Terdapat perbedaan-perbedaan yang mendasar antara konsep HAM dalam
Islam dan HAM dalam konsep Barat sebagaimana yang diterima oleh perangkatperangkat internasional. HAM dalam Islam didasarkan pada premis bahwa
aktivitas manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi. Sedangkan dunia Barat,
bagaimanapun, percaya bahwa pola tingkah laku hanya ditentukan oleh hukumhukum negara atau sejumlah otoritas yang mencukupi untuk tercapainya aturanaturan publik yang aman dan perdamaian semesta.
Selain itu, perbedaan yang mendasar juga terlihat dari cara memandang
terhadap HAM itu sendiri. Di Barat, perhatian kepada individu-individu timbul
dari pandangan-pandangan yang besifat anthroposentris, dimana manusia
merupakan ukuran terhadap gejala tertentu. Sedangkan Islam, menganut
pandangan yang bersifat theosentris, yaitu Tuhan Yang Maha Tinggi dan manusia
hanya untuk mengabdi kepada-Nya. Berdasarkan atas pandangan yang bersifat
anthroposentris tersebut, maka nilai-nilai utama dari kebudayaan Barat seperti
demokrasi, institusi sosial dan kesejahteraan ekonomi sebagai perangkat yang

7

mendukung tegaknya HAM itu berorientasi kepada penghargaan terhadap
manusia. Dengan kata lain manusia menjadi akhir dari pelaksanaan HAM
tersebut.
Berbeda keadaanya pada dunia Timur(Islam) yang bersifat theosentris,
larangan dan perintah lebih didasarkan pada ajaran Islam yang bersumber dari AlQur’an dan Hadist. Al-Qur’an menjadi transformasi dari kualitas kesadaran
manusia. Manusia disuruh untuk hidup dan bekerja diatas dunia ini dengan
kesadaran penuh bahwa ia harus menunjukkan kepatuhannya kepada kehendak
Allah swt. Mengakui hak-hak dari manusia adalah sebuah kewajiban dalam
rangka kepatuhan kepada-Nya.
2.4. HAM Menurut Islam
Hak asasi manusia dalam Islam tertuang secara jelas untuk kepentingan
manusia, lewat syari’ah Islam yang diturunkan melalui wahyu. Menurut syari’ah,
manusia adalah makhluk bebas yang mempunyai tugas dan tanggung jawab, dan
karenanya ia juga mempunyai hak dan kebebasan. Dasarnya adalah keadilan yang
ditegakkan atas dasar persamaan atau egaliter, tanpa pandang bulu. Artinya, tugas
yang diemban tidak akan terwujud tanpa adanya kebebasan, sementara kebebasan
secara eksistensial tidak terwujud tanpa adanya tanggung jawab itu sendiri. Sistem
HAM Islam mengandung prinsip-prinsip dasar tentang persamaan, kebebasan dan
penghormatan terhadap sesama manusia. Persamaan, artinya Islam memandang
semua manusia sama dan mempunyai kedudukan yang sama, satu-satunya
keunggulan yang dinikmati seorang manusia atas manusia lainya hanya ditentukan
oleh tingkat ketakwaannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat AlHujarat ayat 13, yang artinya sebagai berikut : “Hai manusia, sesungguhnya
Kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya
yang paling mulia di antara kaum adalah yang paling takwa.”
Pada dasarnya HAM dalam Islam terpusat pada lima hal pokok yang
terangkum dalam al-dloruriyat al-khomsah atau yang disebut juga al-huquq alinsaniyah fi al-islam (hak-hak asasi manusia dalam Islam). Konsep ini
mengandung lima hal pokok yang harus dijaga oleh setiap individu, yaitu hifdzu
al-din (penghormatan atas kebebasan beragama), hifdzu al-mal (penghormatan
atas harta benda), hifdzu al-nafs wa al-‘ird (penghormatan atas jiwa, hak hidup

8

dan kehormatan individu) hifdzu al-‘aql (penghormatan atas kebebasan berpikir)
dan hifdzu al-nasl (keharusan untuk menjaga keturunan). Kelima hal pokok inilah
yang harus dijaga oleh setiap umat Islam supaya menghasilkan tatanan kehidupan
yang lebih manusiawi, berdasarkan atas penghormatan individu atas individu,
individu dengan masyarakat, masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan
negara dan komunitas agama dengan komunitas agama lainnya.
2.5. Pengaturan Hak Asasi Manusia dalam Hukum Islam
Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber hukum dalam Islam memberikan
penghargaan yang tinggi terhadap hak asasi manusia. Al-Qur’an sebagai sumber
hukum pertama bagi umat Islam telah meletakkan dasar-dasar HAM serta
kebenaran dan keadilan, jauh sebelum timbul pemikiran mengenai hal tersebut
pada masyarakat dunia. Ini dapat dilihat pada ketentuan-ketentuan yang terdapat
dalam Al-Qur’an, antara lain : 1.) Dalam Al-Qur’an terdapat sekitar 80 ayat
tentang hidup, pemeliharaan hidup dan penyediaan sarana kehidupan, misalnya
dalam Surat Al-Maidah ayat 32. Di samping itu, Al-Qur’an juga berbicara tentang
kehormatan dalam 20 ayat. 2.) Al-Qur’an juga menjelaskan dalam sekitas 150
ayat tentang ciptaan dan makhluk-makhluk, serta tentang persamaan dalam
penciptaan, misalnya dalam Surat Al-Hujarat ayat 13. 3.) Al-Qur’an telah
mengetengahkan sikap menentang kezaliman dan orang-orang yang berbuat zalim
dalam sekitar 320 ayat, dan memerintahkan berbuat adil dalam 50 ayat yang
diungkapkan dengan kata-kata : ‘adl, qisth dan qishash. 4.) Dalam Al-Qur’an
terdapat sekitar 10 ayat yang berbicara mengenai larangan memaksa untuk
menjamin kebebasan berpikir, berkeyakinan dan mengutarakan aspirasi. Misalnya
yang dikemukakan oleh Surat Al-Kahfi ayat 29.
Begitu juga halnya dengan Sunnah Nabi. Nabi Muhammad saw telah
memberikan tuntunan dan contoh dalam penegakkan dan perlindungan terhadap
HAM. Hal ini misalnya terlihat dalam perintah Nabi yang menyuruh untuk
memelihara hak-hak manusia dan hak-hak kemuliaan, walaupun terhadap orang
yang berbeda agama, melalui sabda beliau : “Barang siapa yang menzalimi
seseorang mu’ahid (seorang yang telah dilindungi oleh perjanjian damai) atau
mengurangi haknya atau membebaninya di luar batas kesanggupannya atau
mengambil sesuatu dari padanya dengan tidak rela hatinya, maka aku lawannya di
hari kiamat.”
9

2.6. Hukum Islam dan HAM
Hukum Islam telah mengatur dan melindungi hak-hak asasi manusia. Antar
lain sebagai berikut :
1. Hak hidup dan memperoleh perlindungan
Hak hidup adalah hak asasi yang paling utama bagi manusia, yang
merupakan karunia dari Allah bagi setiap manusia. Perlindungan hukum islam
terhadap hak hidup manusia dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan syari’ah yang
melinudngi dan menjunjung tinggi darah dan nyawa manusia, melalui larangan
membunuh, ketentuan qishash dan larangan bunuh diri. Membunuh adalah salah
satu dosa besar yang diancam dengan balasan neraka, sebagaimana firman Allah
dalam Surat Al-Nisa’ ayat 93 yang artinya sebagai berikut : “Dan barang siapa
membunuh seorang muslim dengan sengaja maka balasannya adalah jahannam,
kekal dia di dalamnya dan Allah murka atasnya dan melaknatnya serta
menyediakan baginya azab yang berat.”
2. Hak kebebasan beragama
Dalam Islam, kebebasan dan kemerdekaan merupakan HAM, termasuk di
dalmnya kebebasan menganut agama sesuai dengan keyakinannya. Oleh karena
itu, Islam melarang keras adanya pemaksaan keyakinan agama kepada orang yang
telah menganut agama lain. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat AL-Baqarah
ayat 256, yang artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama Islam,
sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dan jalan yang salah.”
3. Hak atas keadilan.
Keadilan adalah dasar dari cita-cita Islam dan merupakan disiplin mutlak
untuk menegakkan kehormatan manusia. Dalam hal ini banyak ayat-ayat AlQur’an maupun Sunnah ang mengajak untuk menegakkan keadilan, di antaranya
terlihat dalam Surat Al-Nahl ayat 90, yang artinya : “Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji , kemungkaran dan permusuhan.”
4. Hak persamaan
Islam tidak hanya mengakui prinsip kesamaan derajat mutlak di antara
manusia tanpa memndang warna kulit, ras atau kebangsaan, melainkan
10

menjadikannya realitas yang penting. Ini berarti bahwa pembagian umat manusia
ke dalam bangsa-bangsa, ras-ras, kelompok-kelompok dan suku-suku adalah demi
untuk adanya pembedaan, sehingga rakyat dari satu ras atau suku dapat bertemu
dan berkenalan dengan rakyat yang berasal dari ras atau suku lain.
Al-Qur’an menjelaskan idealisasinya tentang persamaan manusia dalam
Surat Al-Hujarat ayat 13, yang artinya : ”Hai manusia, sesungguhnya Kami
ciptakan kamu laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsabangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling
mulia di antara kamu adalah yang paling takwa.”
5. Hak mendapatkan pendidikan
Setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran.
Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan sesuai dengan kesanggupan
alaminya. Dalam Islam, mendapatkan pendidikan bukan hanya merupakan hak,
tapi juga merupakan kewajiban bagi setiap manusia, sebagaimana yang
dinyatakan oleh hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Bukhari : “Menuntut
ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim.”
Di samping itu, Allah juga memberikan penghargaan terhadap orang yang
berilmu, di mana dalam Surat Al-Mujadilah ayat 11 dinyatakan bahwa Allah
meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berilmu.
6. Hak kebebasan berpendapat
Setiap orang mempunyai hak untuk berpendapat dan menyatakan
pendapatnya dalam batas-batas yang ditentukan hukum dan norma-norma lainnya.
Artinya tidak seorangpun diperbolehkan menyebarkan fitnah dan berita-berita
yang mengganggu ketertiban umum dan mencemarkan nama baik orang lain.
Dalam mengemukakan pendapat hendaklah mengemukakan ide atau gagasan
yang dapat menciptakan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Kebebasan
berpendapat dan mengeluarkan pendapat juga dijamin dengan lembaga syura,
lembaga musyawarah dengan rakyat, yang dijelaskan Allah dalam Surat AsySyura ayat 38, yang artinya :

“Dan urusan mereka diputuskan dengan

musyawarah di antara mereka.”
7. Hak kepemilikan

11

Islam menjamin hak kepemilikan yang sah dan mengharamkan
penggunaan cara apa pun untuk mendapatkan harta orang lain yang bukan haknya,
sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 188, yang artinya : “Dan
janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu
dengan jalan bathil dan janganlah kamu bawa urusan harta itu kepada hakim
agar kamu dapat memakan harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa
padahal kamu mengetahuinya.”
8. Hak mendapatkan pekerjaan dan Memperoleh Imbalan
Islam tidak hanya menempatkan bekerja sebagai hak, tetapi juga
sebagai kewajiban. Bekerja merupakan kehormatan yang perlu dijamin,
sebagaimana sabda Nabi saw : “Tidak ada makanan yang lebih baik yang
dimakan seseorang dari pada makanan yang dihasilkan dari tangannya sendiri.”
(HR. Bukhari)
Sehubungan dengan hak bekerja dan memperoleh upah dari suatu
pekerjaan dijelaskan dalam beberapa ayat dalam Al-Qur’an menyatakan sebagai
berikut:
a.

”Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami
berikan kepada mereka ganjaran dengan pahala yang lebih baik dari apa
yang telah mereka kerjakan”(Q.s.An-Nahl/16:97) .

b. Dialah yang menajadikan bumi ini mudah bagi kamu, maka berjalanlah
disegala penjurunya dan makanlah sebagian dari rizki Nya. Dan hanya
kepada Nya lah kamu kembali (Q.S.Al-Mulk/67:15).
c.

Katakanlah, tiap-tiap orang berbuat menurut keadaan(keahlian) nya.
(Q.S.Al-Israa’/17:84).

Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa Islam memberikan kesempatan
kepada manusia untuk bekerja dan berusaha serta memperoleh imbalan berupa
upah dari apa yang dikerjakannya untuk mendapatkan penghidupan yang layak
bagi dirinnya. Pekerjaan atau usaha yang dilakukan oleh seseorang hendaklah
yang sesuai dengan bidang keahliannya. Allah SWT juga mengakui adanya jenisjenis pekerjaan yang beraneka ragamnya, dan oleh karena itu, seseorang yang

12

akan bekerja itu harus ditempatkan sesuai dengan bidang keahliannya supaya ia
bertanggung jawab dengan pekerjaannya tersebut. Sebab, seseorang yang
mengerjakan suatu pekerjaan yang bukan bidang keahliannya bukan saja tidak
bisa dipertanggungjawabkannya bahkan dapat mendatangkan bencana bagi orang
lain.
2.7 Kaum Minoritas di Negara Islam
Masyarakat Islam adalah masyarakat yang bertumpu pada aqidah Islam
dan ideologi yang khas yang merupakan sumber peraturan dan hukum serta
etika dan akhlaknya. Masyarakat Islam menjadikan Islam sebagai konsep
hidupnya, konstitusi

pemerintahannya, sumber hukumnya, dan penentu

arahnya dalam semua urusan kehidupan dan hubungan-hubungannya secara
individual dan komunal, material dan

spiritual,

serta

nasional

dan

internasional. Hal ini tidak berarti bahwa masyarakat Islam memvonis mati
segala unsur lain di dalamnya yang kebetulan memeluk agama selain Islam
(Qardhawi, 1994: 15).
Hubungan antara sesama warga negara, yang Muslim dan yang nonMuslim, sepenuhnya ditegakkan atas asas-asas toleransi, keadilan, kebajikan,
dan kasih

sayang. Namun, sampai sekarang asas-asas ini masih dalam

dambaan dan harapan semua masyarakat modern untuk mewujudkannya. Di
tengah hiruk pikuk perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
peradaban

manusia,

asas-asas

ini

terus

diupayakan,

keseimbangan dalam kehidupan umat manusia.
konflik

masih

terus

terjadi

di

berbagai

demi

menjaga

Kenyataannya, berbagai

daerah

dan

negara

yang

menggambarkan betapa toleransi dan masalah keadilan merupakan dua hal yang
banyak memunculkan problematika.
Setiap Muslim dituntut agar memperlakukan semua manusia dengan
kebajikan dan keadilan, walaupun mereka itu tidak mengakui agama Islam,
selama mereka tidak

menghalangi penyebarannya, tidak memerangi para

penyerunya, dan tidak menindas para pemeluknya. Ketentuan ini berlaku di
negara Islam (Darul Islam) maupun di luar negara Islam. Khusus di negara
Islam, para penganut agama selain Islam (non- Muslim) biasa disebut

13

dengan Ahludz Dzimmah. Kata dzimmah berarti perjanjian, jaminan, dan
keamanan. Mereka dinamakan demikian karena mereka memiliki jaminan
perjanjian Allah dan Rasul-Nya serta semua kaum Muslim untuk hidup
dengan aman dan tenteram di bawah perlindungan Islam dan dalam lingkungan
masyarakat Islam. Dengan demikian, negara Islam memberikan kepada orangorang non-Muslim suatu hak yang di masa sekarang mirip dengan apa yang
disebut sebagai kewarganegaraan politik (hak politik) yang diberikan oleh
negara kepada rakyatnya. Dengan ini pula kaum non-Muslim memperoleh dan
terikat pada hak-hak dan kewajiban-kewajiban semua warga negara (Qardhawi,
1994: 19).
Akad dzimmah berlaku untuk selamanya dan mengandung ketentuan
membiarkan orang-orang non-Muslim tetap dalam agama mereka di samping
hak menikmati perlindungan dan perhatian jama’ah kaum Muslim, dengan
syarat mereka membayar jizyah serta berpegang pada hukum Islam dalam halhal yang berhubungan langsung dengan masalah-masalah agama. Dengan ini
mereka menjadi bagian dari Darul Islam.
2.8 Perlindungan Hukum Islam terhadap Kaum Minoritas
Adanya akad dzimmah menumbuhkan hak-hak yang bersama-sama berlaku
di antara kedua belah pihak, yakni kaum Muslim dan kaum non-Muslim
(Ahludz

Dzimmah), di samping kewajiban-kewajiban mereka. Hak yang

diperoleh oleh kaum

non-Muslim (kaum minoritas), seperti yang juga

diperoleh kaum Muslim, adalah perlindungan dan jaminan dalam berbagai hal.
Di antara perlindungan yang diberikan kepada mereka adalah sebagai berikut:
1. Perlindungan terhadap pelanggaran dari luar negeri
Sudah merupakan kewajiban seorang imam atau penguasa dari negara
Islam untuk melakukan penyelenggaraan perlindungan seperti ini dengan
kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh syariah (hukum Islam) serta
kekuasaan militer yang berada di bawah wewenangnya. Seorang imam wajib
menjaga keselamatan kaum minoritas

dan mencegah siapa saja yang

mengganggu mereka, melepaskan mereka dari tindakan

penawanan dan

14

menolak kejahatan siapa saja yang mengarah kepada mereka (Qardhawi,
1994: 22).
Imam Qarrafi (dalam Qardhawi, 1994: 23) mengatakan, apabila orangorang kafir datang ke negeri Islam karena hendak mengganggu orang-orang
yang berada dalam perlindungan akad dzimmah, maka wajib bagi umat
Islam menghadang dan memerangi mereka dengan segala kekuatan dan
senjata, bahkan umat Islam harus siap

mati untuk itu demi menjaga

keselamatan orang yang berada dalam dzimmah Allah Swt. dan dzimmah
Rasulullah Saw. Menyerahkan kepada mereka tanpa upaya-upaya tersebut
dianggap menyia-nyiakan akad dzimmah.
2. Perlindungan terhadap kezaliman di dalam negeri
Perlindungan terhadap kezaliman yang berasal dari dalam negeri adalah
suatu

yang diwajibkan oleh Islam, bahkan sangat diwajibkan. Islam

memperingatkan kaum Muslimin agar jangan sekali-kali mengganggu dan
melanggar hak Ahludz Dzimmah, baik dengan tindakan ataupun ucapan. Allah
tidak menyukai orang-orang zalim dan tidak pula memberi mereka petunjuk.
Sebaliknya Allah akan menyegerakan azab atas mereka atau menangguhkan
hukuman atas mereka di akhirat dengan berlipat ganda (Qardhawi, 1994: 25).
Dalam perjanjian Nabi Muhammad Saw. dengan penduduk Najran (yang
beragama

Nasrani)

disebutkan

antara

lain:

“Tidak

diperkenankan

menghukum seseorang dari mereka karena kesalahan seorang lainnya.” Umar
bin Khaththab sering menanyai orang-orang yang datang dari daerah-daerah
tentang keadaan Ahludz Dzimmah karena khawatir ada di antara kaum
Muslimin yang menimbulkan suatu gangguan terhadap mereka. Para fuqaha’
(ahli-ahli hukum Islam) dari seluruh mazhab menegaskan bahwa kaum
Muslimin wajib mencegah kezaliman apa pun yang menimpa Ahludz
Dzimmah. Bahkan sebagian dari fuqaha’ itu menegaskan bahwa kezaliman
terhadap Ahludz Dzimmah lebih besar dosanya daripada kezaliman terhadap
sesama Muslim (Qardhawi, 1994: 27).
3. Perlindungan nyawa, badan, harta, dan kehormatan.

15

Hak perlindungan yang ditetapkan bagi Ahludz Dzimmah mencakup
perlindungan keselamatan darah (nyawa) dan badan mereka sebagaimana
mencakup pula harta dan kehormatan mereka. Darah dan nyawa mereka
sepenuhnya dijamin keselamatannya dengan kesepakatan kaum Muslim.
Menurut pendapat para ulama, membunuh mereka haram hukumnya. Nabi
Saw. bersabda: “Barang siapa membunuh seorang mu’ahad (yakni yang
terikat perjanjian keselamatan dengan kaum Muslim) tidak akan mencium
bau harum surga, sedangkan harumnya dapat tercium dari jarak perjalanan
empat puluh tahun (HR. Ahmad dan al-Bukhari). Dari hadits ini, sebagian
ulama berpendapat bahwa seorang Muslim yang membunuh seorang Ahludz
Dzimmah dapat dihukum mati dan sebagian yang lain tidak dapat dihukum
mati. Hal seperti ini juga terjadi pada masa sahabat (Qaedhawi, 1994: 28-30).
Dalam hal perlindungan harta benda, para ulama dari semua mazhab
bersepakat untuk melindungi harta benda kaum minoritas non-Muslim
(Ahludz Dzimmah). Terkait dengan hal ini Umar bin Khaththab berpesan
kepada Abu Ubaidah: “Cegahlah kaum Muslim dari bertindak zhalim
terhadap mereka (yakni Ahludz Dzimmah), mengganggu ataupun memakan
harta mereka kecuali dengan cara- cara yang menghalalkannya.” (Qardhawi,
1994: 35). Siapa pun yang mencuri harta milik seorang Dzimmi

akan

dipotong tangannya, siapa yang merampasnya akan dihukum dan harta itu pun
akan dikembalikan kepada pemiliknya.
Perlindungan yang sama yang diberikan kepada Ahludz Dzimmah juga
terjadi dalam hal kehormatan. Islam juga memberikan perlindungan kepada
Ahludz Dzimmah sama seperti yang diberikan kepada kaum Muslim. Siapa
pun tidak boleh mencaci seorang Dzimmi ataupun menujukan tuduhan
palsu

terhadapnya,

memperguncingkannya

menjelekkannya
dengan

suatu

dengan
ucapan

suatu

yang

kebohongan,

tidak

disukainya

(Qardhawi, 19914: 37).
Itulah beberapa yang diberikan oleh Islam kepada kaum minoritas nonMuslim yang berada dalam naungan kekuasaan Islam. Adapun jaminanjaminan yang diberikan kepada mereka di antaranya seperti berikut:

16

1. Jaminan hari tua dan kemiskinan
Islam memberikan jaminan kehidupan yang layak bagi orang-orang nonMuslim yang berdiam di daerah kekuasaan kaum Muslim serta keluarga yang
menjadi tanggungan mereka. Bagi mereka yang sudah berusia tua dan sudah
tidak lagi mampu bekerja atau sakit sehingga tidak lagi dapat mencukupi
kebutuhan hidup mereka, maka mereka dibebaskan dari kewajiban jizyah,
dan bahkan mereka berserta keluarganya kemudian menjadi tanggungan
Baitul Mal (kas negara). Demikianlah yang dilakukan oleh Khalifah Abu
Bakar dalam memperlakukan kaum minoritas (Qardhawi, 1994: 39). Jadi,
para Ahludz Dzimmah yang benar-benar jatuh dalam kemiskinan harus
mendapat perhatian khusus dari penguasa Islam untuk diberikan santunan
atau bantuan untuk kehidupan mereka. Dengan ini maka berlangusunglah
jaminan sosial dalam Islam sebagai suatu konsep umum yang meliputi seluruh
anggota masyarakat, Muslim atau non-Muslim.
2. Jaminan atas kebebasan beragama
Kebebasan beragama dan beribadah dijamin dalam Islam, baik bagi
kaum Muslim maupun non-Muslim. Tidak diperbolehkan melakukan tekanan
dan ancaman agar mereka memeluk agama Islam (QS. al-Baqarah (2): 256
dan QS. Yunus (10): 99). Dalam sejarah tidak pernah dikenal suatu bangsa
Muslim memaksa Ahludz Dzimmah (non-Muslim) untuk memeluk Islam.
Begitu juga Islam telah menjaga dengan baik rumah-rumah ibadah milik
kaum non-Muslim serta menghargai kesucian upacara-upacara ritual mereka
(Qardhawi, 1994: 45). Hingga sekarang pun tidak dijumpai negara-negara
Islam yang memaksakan kepada penduduknya yang non- Muslim memeluk
Islam. Yang terjadi justeru sebaliknya, banyak kaum Muslim di negaranegara yang mayoritas penduduknya non-Muslim mendapat tekanan dan
ketidakadilan, sehingga kaum Muslim tidak dapat menjalankan agamanya
dengan leluasa.
Kebebasan beragama dijamin oleh Islam sejak zaman Nabi Muhammad
Saw. Nabi tidak pernah memaksa rakyat Madinah yang tidak memeluk Islam
untuk mengubah agamanya. Nabi Saw. hanyalah mendakwahkan Islam kepada

17

mereka. Soal konversi ke agama Islam tergantung kepada kesadaran mereka.
Hal ini berbeda dengan yang terjadi di Bizantium. Negara ini memaksakan
agama

tertentu

kepada

seluruh

rakyat

yang

berada

di

bawah

pemerintahannya. Rakyat tidak memiliki hak kebebasan untuk menganut
suatu agama. Karena itulah, banyak rakyat yang tidak merasa senang dengan
penguasa Bizantium (Harun Nasution, 1985: 60).
3. Jaminan atas kebebasan bekerja dan berusaha
Kaum minoritas non-Muslim memiliki kebebasan untuk bekerja dan
berusaha, memilih pekerjaan-pekerjaan bebas yang mereka inginkan, dan
mengelola berbagai macam kegiatan ekonomi sama seperti kebebasan yang
dimiliki oleh kaum Muslim. Selain hal ini, mereka juga dapat menikmati
kebebasan penuh dalam perdagangan, industri, dan keterampilan (Qardhawi,
1994: 51). Dalam kenyataannya sekarang di negara-negara Islam sektor
ekonomi banyak yang dikuasai oleh kaum non-Muslim, sehingga dalam
masalah ini mereka menjadi pengendalinya. Hal ini terjadi juga karena
adanya dukungan dari negara-negara maju yang kuat ekonominya, seperti
Amerika Serikan dan negara-negara Eropa Barat.
4. Jaminan jabatan dalam pemerintahan
Ahludz Dzimmah juga memiliki hak untuk menduduki jabatan-jabatan
dalam pemerintahan seperti halnya kaum Muslim, kecuali jabatan-jabatan
keagamaan, seperti imam, pemimpin tertinggi negara, panglima tentara, hakim
untuk kaum Muslim, penanggung jawab urusan zakat dan sedekah, dan yang
sejenisnya. Jabatan- jabatan seperti ini sangat terkait dengan agama Islam dan
ajaran-ajaran yang ada di dalamnya yang harus benar-benar dijaga dan
dipelihara oleh kaum Muslim (Qardhawi, 1994: 53). Tugas-tugas di luar
bidang keagamaan itu boleh diserahkan kepada Ahludz Dzimmah bila mereka
memiliki persyaratan khusus, seperti kecakapan, kejujuran, dan kesetiaan
kepada negara. Hal ini menunjukkan betapa tingginya toleransi Islam terhadap
penganut agama lain. Namun toleransi ini tidak sampai melewati batas
yang dapat membahayakan aqidah kaum Muslim serta kelangsungan dan

18

kejayaan pemerintahan Islam.
Perlu ditegaskan di sini, bahwa adanya perlindungan dan jaminan
terhadap kaum non-Muslim seperti di atas bukan merupakan pemberian gratis
dari Islam. Islam memberikan hak-hak semacam itu sebagai imbangan dari
kewajiban-kewajiban yang

mereka lakukan. Artinya perlindungan dan

jaminan itu akan diberikan kepada kaum non-Muslim jika mereka benar-benar
melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai warga negara.
Jika kewajiban-kewajiban itu tidak mereka penuhi, maka perlindungan
dan jaminan itu juga tidak bisa mereka peroleh. Kewajiban-kewajiban yang
harus dipenuhi kaum Muslim Ahludz Dzimmah) adalah: 1) kewajiban
keuangan seperti membayar jizyah, kharaj, dan pajak perdagangan, 2)
mengikat diri dengan hokum - hukum konstitusi Islam dalam muamalah,
transaksi-transaksi di sektor sipil dan sebagainya, dan 3) menghormati syi’arsyi’ar Islam serta menjaga perasaan muslimin.

19

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari pembahasan mengenai Hak Asasi Manusia di atas dapatlah kita tarik
kesimpulan bahwa Islam itu adalah agama yang asy-syumul (lengkap). Ajaran
Islam meliputi seluruh aspek dan sisi kehidupan manusia. Islam memberikan
pengaturan dan tuntunan pada manusia, mulai dari urusan yang paling kecil hingga
urusan manusia yang berskala besar.Dan tentu saja telah tercakup di dalamnya
aturan dan penghargaan yang tinggi terhadap HAM. Memang tidak dalam suatu
dokumen yang terstruktur, tetapi tersebar dalam ayat suci Al-Qur’an dan Sunnah
Nabi SAW.
Hak Asasi Manusia telah di atur dalam Al-Qur’an dan Hadist dan umat islam
harus

benar-benar mengetahui

hak-hak

yang diberikan

kepadanya

dan

menggunakan haknya tersebut sebaik-baiknya selama tidak bertentangan dan
melanggar hak orang lain.
Dari pembahasan tentang jaminan dan perlindungan yang diberikan
Islam kepada kaum minoritas non-Muslim, dapat ditegskan kembali bahwa
Islam benar-

benar agama rahmatan lil’alamin, agama yang benar-benar

memberikan rahmat bagi semua umat manusia di muka bumi ini yang tidak
terbatas pada umat Islam saja. Hukum Islam, yang merupakan bagian dari
Islam, membawa misi utama untuk terciptanya kemaslahatan manusia tersebut.
Karena itulah maka keberadaan umat lain di negara-negara Islam tetap akan
mendapatkan hak-haknya secara luas sebagaimana

umat Islam, selama

kewajiban-kewajiban yang diberikan kepada mereka dapat dipenuhi secara
baik.
Berbagai kejadian yang menimpa umat Islam di negara-negara nonIslam sekarang membuktikan bahwa kerahmatan Islam itu tidak dimiliki oleh
agama lain. Kaum non-Muslim dengan leluasa menekan dan mengintimidasi
umat Islam yang menjadi kaum minoritas di negara mereka. Kekuatan Islam
sekarang yang jauh di bawah kekuatan umat lain tidak dapat memberikan
tekanan yang berarti kepada negara-negara tersebut untul lebih memperlakukan
kaum Muslim secara adil. Hal ini jauh berbeda dengan yang menimpa kaum
minoritas non-Muslim di negara-negara Islam. Mereka ini dengan leluasa dapat
20

melakukan semua aktivitas mereka, baik yang terkait dengan kehidupan
keagamaan mereka maupun yang terkait dengan kehidupan keduniaan mereka.

21

DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran al-Karim
Asaf A.A. Fyzee. (1974).

Outlines of Muhammadan Law (Forth Edition).

Delhi- Bombay-Calcuta-Madras: Oxford University Press.
Fathurrahman Djamil. (1997). Filsafat Hukum Islam (Bagian Pertama).
Jakarta: Logos. Cet. Pertama.
Kosasih, Ahmad. 2003. HAM Dalam Perspektif Islam. Jakarta : Salemba
Diniyah
Muhammad Abu Zahrah. (1958). Ushul al-Fiqh. Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabiy.
Cet. Pertama.
Mas’ud, Muhammad Khalid. (1995). Filsafat Hukum Islam dan Perubahan
Sosial. Terj. oleh Yudian W. Asmin. Surabaya: Al Ikhlas. Cet. Pertama.
Muhammad Yusuf Musa. (1988). Islam: Suatu Kajian Komprehensif. Terj. A.
Malik Madany dan Hamim Ilyas. Jakarta: Rajawali Pers. Cet. Pertama
Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman. (1993). Dasar-dasar Pembinaan Hukum
Fiqh Islami. Bandung: Al-Ma’arif. Cet. Ke-3.
Nasution, Harun. (1985). Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI
Press. Cet. Ke-5.
Qardhawi, Yusuf. (1994). Minoritas Non-Muslim di dalam Masyarakat
Islam. Diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir. Bandung: Karisma. Cet.
Ke-3.

22