Qualified Majority Voting QMV dan Supran

Qualified Majority Voting (QMV) dan Supranasionalitas Council of Ministers:

Langkah Menuju Integrasi Uni Eropa
Dimas Fauzi (10/299695/SP/24197)
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Abstraksi

Integrasi Uni Eropa merupakan sebuah proses yang panjang serta mengalami
berbagai dinamika. Dengan membentuk berbagai institusi supranasional –beberapa
masih bersifat intergovernmental— Uni Eropa berusaha untuk mengintegrasikan
negara-negara anggotanya. Berdasarkan pandangan dari beberapa akademisi, integrasi
dapat diartikan sebagai upaya penyerahan seluruh fungsi negara kepada organisasi
supranasional. Adanya penggunaan Qualified Majority Voting (QMV) kemudian
dianggap sebagai sebuah upaya untuk membuat Council of Ministers –organ penting
dalam legislatif UE yang masih berbentuk intergovernmental— menjadi institusi
supranasional. Dengan adanya QMV, negara-negara anggota tidak lagi bisa secara
leluasa menolak kebijakan yang tengah dibicarakan, sesuatu yang sangat mungkin
dilakukan dalam mekanisme unanimity yang sebelumnya diterapkan. Setelah Treaty
of Lisbon 2009 diimplementasikan, pengambilan kebijakan di Council of Ministers

akan menggunakan mekanisme double majority yang mulai berlaku pada 1 November

2014 mendatang. Pada dasarnya, double majority merupakan pengembangan dari
mekanisme QMV dengan menambahkan kriteria tertentu dalam menentukan
mayoritas suara. Melalui mekanisme double majority, terdapat tiga kriteria mayoritas
yang harus dipenuhi, yaitu kriteria populasi, kriteria negara anggota yang mendukung,
dan kriteria blocking. Sebagai implikasinya, sebuah negara akan sulit untuk
menentang secara sepihak kebijakan yang tengah dibahas dalam Council of Ministers.
Berkurangnya kekuatan negara dalam proses pembuatan kebijakan ini menunjukkan
bahwa Council of Ministers terus mengalami perkembangan ke arah institusi
supranasional. Berdasarkan beberapa fakta tersebut penulis berargumen bahwa
supranasionalitas Council of Ministers yang tengah berkembang melalui penggunaan
mekanisme QMV akan memberikan dampak positif pada integrasi Uni Eropa secara
keseluruhan.

Keywords: Qualified Majority Voting (QMV), supranational, intergovernmental,
European integration, Council of Ministers.
Dipresentasikan saat the 3rd Convention of the European Studies in Indonesia , 21-23 Mei 2014 di Universitas
Gadjah Mada, Indonesia. Publikasi cetak tersedia dalam bentuk Conference Proceeding.

1


A. LATAR BELAKANG
Intergrasi Uni Eropa (UE) merupakan sebuah fenomena dalam hubungan
internasional yang menunjukkan bagaimana negara-negara (Eropa) secara bertahap
menyerahkan sebagian kedaulatannya kepada Uni Eropa. Proses integrasi Uni Eropa
yang dicirikan dengan pembentukan institusi-institusi supranasional selalu mengalami
perkembangan dan dinamika yang cukup panjang. Sebagai salah satu institusi utama
Uni Eropa, Council of the European Union atau yang biasa disebut sebagai Council of
Ministers merupakan institusi yang masih berbentuk intergovernmental. 1 Konsepsi

intergovernmentalis yang melekat pada Council of Ministers dikarenakan oleh
beberapa faktor, seperti keanggotaannya yang berupa perwakilan negara serta
mekanisme pengambilan kebijakan penting yang masih menggunakan unanimity
(Sieberson 926).
Pada perkembangannya, Council of Ministers menunjukkan kecenderungan
yang mengarah pada institusi supranasional, yaitu dengan diterapkannya Qualified
Majority Voting (QMV) sebagai basis pengambilan kebijakan, terutama sejak

diberlakukannya Single European Act (SEA) tahun 1987. Pada perkembangannya,
QMV selalu menjadi bagian penting dalam proses negosiasi UE. Hal ini dapat dilihat
dari beberapa perjanjian serta kompromi yang membahas mengenai mekanisme QMV,

seperti Maastricht treaty 1992, Amsterdam Treaty 1999, Treaty of Nice 2000, Lisbon
Treaty, dan Ioannina Compromise 1994. Penggunaan QMV dalam pengambilan

kebijakan di Council of Ministers akan menggeser mekanisme unanimity yang telah
digunakan sebelumnya sehingga peran negara juga akan semakin kecil. Terlebih
dengan adanya Lisbon Treaty yang berlaku sejak 2009 membuat peran negara dalam
proses legislasi semakin kecil. Selain itu, Council of Ministers tidak lagi menjadi
aktor dominan dalam proses pembuatan kebijakan karena adanya penerapan
codecision sebagai ordinary legislative procedure dan double majority.

Beberapa perkembangan terkait dengan Council of Ministers tersebut
kemudian memunculkan pertanyaan mengenai pengaruh penggunaan Qualified
Majority Voting dalam pembuatan kebijakan di Council of Ministers terhadap

integrasi Uni Eropa secara keseluruhan. Penulis memandang bahwa Council of
Ministers menjadi salah satu institusi Uni Eropa yang mengarah pada institusi

supranasional di mana peran dan pengaruh negara dalam pembuatan kebijakan di

1


Dalam tulisan ini, penulis akan menggunakan istilah Council of Ministers.

Dipresentasikan saat the 3rd Convention of the European Studies in Indonesia , 21-23 Mei 2014 di Universitas
Gadjah Mada, Indonesia. Publikasi cetak tersedia dalam bentuk Conference Proceeding.

2

dalamnya secara bertahap mengalami penurunan. Penggunaan QMV dan double
majority serta codecision sebagai ordinary legislative procedure Uni Eropa diyakini

menjadi faktor pendorong integrasi Uni Eropa secara keseluruhan. Dari segi struktur,
tulisan ini akan disusun secara sistematis yaitu dengan menempatkan pembahasan
mengenai konsepsi integrasi dan supranasional di bagian awal. Setelah itu, penjelasan
sekaligus analisis terkait QMV, Council of Ministers, dan perkembangan serta
perubahan yang terjadi dalam beberapa perjanjian akan menempati pembahasan
selanjutnya.

B. KONSEP INTEGRASI DAN SUPRANASIONALISME
Uni Eropa (UE) merupakan sebuah institusi internasional yang masih dalam

proses integrasi. Proses integrasi UE dicirikan dengan pembentukan institusi yang
sifatnya supranasional. Dalam hal ini, Sweet dan Sandhlotz (299), yang dipengaruhi
oleh pemikiran neofungsionalis, memandang integrasi sebagai sebuah proses di mana
European Community (EC) –sekarang Uni Eropa— secara bertahap menggantikan

semua peran negara. Hal ini sesuai dengan pandangan Haas yang menjelaskan
integrasi sebagai proses di mana aktor politik secara bertahap memberikan ”national
loyalties, expectations, and political activities to a new and larger center ”

(International Integration: the European and the Universal Process 367). Lebih lanjut,
dengan melihat beberapa pendapat, dapat dipahami bahwa proses integrasi dimulai
dari adanya peningkatan interaksi antarnegara serta antarmasyarakat (social
exchange)

(K.

Deutsch;

Deutsch,


Sidney

dan

Kann)

yang

menciptakan

interdependensi atau saling ketergantungan (Haas, International Integration: the
European and the Universal Process; Haas, The Uniting of Europe: Political, Social
and Economic Forces, 1950-1957) hingga pada akhirnya terbentuk institusi yang
tersentralisir (K. Deutsch; Deutsch, Sidney dan Kann; Haas, International Integration:
the European and the Universal Process). Institusi yang tersentralisir ini merupakan
institusi supranasional yang memiliki peran di atas negara dan merupakan hasil dari
proses integrasi yang terjadi.2
Dalam kaitannya dengan Uni Eropa, proses integrasi yang terjadi tidaklah
dapat dilepaskan dari kerjasama intergovernmental yang lebih dulu diinisiasi, yaitu
2


Sweet&Sandholtz menjelaskan bahwa penggunaan supranasionalisme dalam memahami European
Community (sekarang European Union ) adalah relevan dibanding dengan menggunakan konsep
federalisme (303). Hal ini dikarenakan oleh bentuk UE yang berupa institusi internasional, bukan
negara.

Dipresentasikan saat the 3rd Convention of the European Studies in Indonesia , 21-23 Mei 2014 di Universitas
Gadjah Mada, Indonesia. Publikasi cetak tersedia dalam bentuk Conference Proceeding.

3

melalui European Coal and Steel Community (ECSC) pada era 1950an. Kerjasama
yang sifatnya intergovernmentalis ini kemudian meningkatan interdependensi
antarnegara Eropa (Barat), terutama karena adanya politik containment terhadap blok
Komunis di Eropa Timur. Secara bertahap, ECSC berkembang menjadi European
Economic Community (EEC), European Community (EC) hingga kemudian berubah

menjadi Uni Eropa pada tahun 1993 melalui Maastricth Treaty. Perkembangan
integrasi Uni Eropa ini tentunya dibarengi dengan pembentukan institusi-institusi
pendukung yang sifatnya supranasional maupun intergovernmental, seperti Council of

Ministers dan European Parliament. Lebih lanjut, Sweet&Sandholtz menambahkan

bahwa terdapat tiga dimensi perubahan sebuah institusi (UE) dari intergovernmentalis
menjadi supranasional, yaitu 1) EU rules atau peraturan yang membuat aktor politik
berperilaku sesuai dengan ketentuan, 2) EU organizations atau organisasi pada level
Eropa yang merancang, menjalankan, dan mengawasi pelaksanaan suatu kebijakan,
dan 3) transnational society atau aktor transnasional seperti NGO dan masyarakat
sipil yang mampu memengaruhi pembuatan kebijakan dalam level Eropa (304). 3
Dengan demikian, integrasi Uni Eropa dapat dipahami sebagai proses yang
berlangsung secara vertikal (antar aktor politik) dan secara horizontal (pada tataran
masyarakat) (Sweet&Sandholtz 304).
Pada era kontemporer, proses integrasi Uni Eropa telah menciptakan bentuk
baru institusi internasional yang mampu menggantikan beberapa fungsi negara, yaitu
dalam hal pembuatan beberapa kebijakan. Hal ini dapat dilihat dari Pemerintahan Uni
Eropa atau biasa disebut sebagai European governance yang menerapkan trias
politica selayakna negara modern, yaitu dengan memisahkan kekuasaan ke dalam

tiga cabang: legislatif, eksekutif, dan yudikatif (Tsebelis dan Garrett 357). Pemisahan
kekuasaan Uni Eropa tersebut dapat dilihat dari institusi-institusi yang dimilikinya,
yaitu 1) Council of the European Union atau Council of Ministers dan European

Parliament sebagai lembaga legislatif, 2) European Commission sebagai eksekutif,

dan 3) European Court of Justice sebagai yudikatif. Dari keempat institusi UE
tersebut, tiga diantaranya merupakan institusi yang sifatnya supranasional karena
negara tidaklah memiliki akses yang kuat terhadap proses pembuatan kebijakan di
3

Sweet&Sandholtz melihat dimensi perubahan dari intergovernmentalis menjadi supranasional pada
proses integrasi Eropa berada pada bentuk European Community (EC) dan hingga EC berubah menjadi
Uni Eropa, ketiga dimensi tersebut masih relevan untuk digunakan dalam memahami Uni Eropa. Oleh
karena itu, dalam tulisan ini, penulis akan menggunakan EU (European Union ) untuk menggantikan
EC.
Dipresentasikan saat the 3rd Convention of the European Studies in Indonesia , 21-23 Mei 2014 di Universitas
Gadjah Mada, Indonesia. Publikasi cetak tersedia dalam bentuk Conference Proceeding.

4

dalamnya. Sedangkan hanya satu dari empat institusi utama UE yang masih bersifat
intergovernmental, yaitu Council of Ministers (Tsebelis dan Garrett 357). Hal ini
dikarenakan Council of Ministers merupakan tempat di mana negara anggota masih

memiliki akses untuk mengontrol pembuatan kebijakan yang menggunakan
mekanisme Qualified Majority Voting (QMV). Meskipun demikian, dalam
perkembangannya, Council of Ministers mengalami beberapa penyesuaian yang
membuatnya semakin mengarah pada supranasionalisme, terutama terkait dengan
proses pengambilan keputusan di dalamnya.

C. COUNCIL OF MINISTERS DAN PROSEDUR LEGISLATIF DI UNI
EROPA
Council of the European Union atau Council of Ministers merupakan salah

satu organ vital dalam Uni Eropa yang memegang peran sebagai pelaksana fungsi
legislatif Uni Eropa. Council of Minisrters memiliki anggota yang terdiri dari
perwakilan dari masing-masing negara anggota Uni Eropa, biasanya setingkat menteri.
Council of Ministers memiliki sepuluh bidang yang menjadi cakupan kerjanya, seperti

ekonomi, lingkungan, kebijakan luar negeri, agrikultur, dll. Setiap bidang kebijakan
tersebut diwakili oleh perwakilan negara seperti menteri dari bidang yang sesuai
dengan agenda kebijakan. Council of Ministers setidaknya memiliki lima tugas
uatama (The European Council and the Council: Two Institutions Acting for Europe
7), yaitu: 1) mengadopsi kebijakan yang kebanyakan menggunakan mekanisme

codecision bersama dengan Parlemen Eropa, 2) mengkoordinasikan kebijakan negara-

negara anggota, 3) mengembangkan Common Foreign and Security Policy dengan
berbasis pada ketentuan dari European Council, 4) menyetujui perjanjian
internasional atas nama Uni Eropa, dan 5) mengadopsi anggaran Uni Eropa bersama
dengan Parlemen Eropa. Meskipun demikian, pengambilan kebijakan terkait dengan
keamanan dan kebijakan luar negeri (Common Security and Foreign Policy)
dilakukan dengan menggunakan mekanisme unanimity atau konsensus (Mix 6).
Dari segi pembuatan kebijakan, terdapat tiga pilihan untuk mengusulkan
proposal kebijakan, yaitu 1) dari European Commission, 2) usulan dari Council of
Ministers kepada European Commision, dan 3) inisiatif dari masyarakat melalui petisi

yang ditandatangani oleh minimal satu juta penduduk Uni Eropa. Pada prakteknya,
sebagian besar kebijakan berasal dari usulan European Commission sedangkan
inisiatif masyarakat baru berlaku setelah disepakatinya Lisbon Treaty. Mekanisme
Dipresentasikan saat the 3rd Convention of the European Studies in Indonesia , 21-23 Mei 2014 di Universitas
Gadjah Mada, Indonesia. Publikasi cetak tersedia dalam bentuk Conference Proceeding.

5

kepemimpinan atau presidency di Council of Ministers dijalankan secara bergilir di
mana setiap negara anggota akan memiliki kesempatan untuk menempati posisi
tersebut. Periode kepresidenan di Council of Ministers berlangsung cukup singkat,
yaitu hanya enam bulan. Meskipun demikian, untuk menjaga agar kepentingan dan
agenda Council of Ministers tetap berjalan sesuai rencana, tiga negara yang
menempati posisi kepemimpinan di tiga periode berbeda akan bekerjasama untuk
merancang program selama tiga masa kepemimpinan tersebut (The European Council
and the Council: Two Institutions Acting for Europe 9). Dengan demikian,
pelaksanaan fungsi legislatif di dalam Council of Ministers akan tetap mampu berjalan
dengan baik.
Uni Eropa menerapkan sistem bikameral atau sistem “dua kamar” legislatif.
Dalam hal ini, Council of Ministers tidaklah menjadi satu-satunya institusi legislatif
Uni Eropa, melainkan terdapat Parlemen Eropa (European Parliament) yang juga
menjadi pelaksana fungsi legislatif.

Bersama dengan Palemen Eropa (European

Parliament), sebuah kebijakan pada skala Uni Eropa akan dibahas dan dilegalkan.
Council of Ministers dan Parlemen Eropa memiliki kedudukan yang setara sebagai

pelaksana fungsi legislatif Uni Eropa. Wewenang tersebut diatur dalam co-decision
procedure yang memungkinkan pembuatan kebijakan untuk dilakukan melalui

persetujuan di kedua institusi legislatif tersebut. Codecision procedure mulai
diterapkan sejak disetujuinya Maastrict Treaty atau Treaty of the European Union
(TEU) pada awal 1990an. Sebelum diberlakuakannya codecision procedure, Uni
Eropa menerapkan sistem yang berbeda, yaitu consultation procedure dan
cooperation procedure

(Hosli 352). Baik consultation maupun cooperation

procedures, keduanya menempatkan Parlemen Eropa di posisi yang tidak setara

dengan Council of Ministers dalam ranah legislatif. Sebagai implikasinya, Council of
Minister memiliki kewenangan lebih tinggi dibanding parlemen yang hanya menjadi

lembaga konsultatif tanpa kewenangan legislatif yang kuat. 4 Meskipun demikian,
sejak diberlakuakannya codecision procedure, kebijakan yang akan diambil oleh Uni
Eropa haruslah mendapat persetujuan dari kedua kamar legislatif tersebut.5

4

Dalam hal ini, keputusan akhir mengenai apakah sebuah kebijakan akan diimplementasikan oleh Uni
Eropa bergantung pada keputusan dari Council of Ministers yang diambil baik melalui mekanisme
unanimity maupun Qualified Majority Voting .
5
Penjelasan lebih lanjut mengenai codecision procedure dapat dilihat pada Artikel 294 Treaty on the
Functioning of the European Union (TFEU) atau lihat Dehousse, Costa dan Trakalovà (7).

Dipresentasikan saat the 3rd Convention of the European Studies in Indonesia , 21-23 Mei 2014 di Universitas
Gadjah Mada, Indonesia. Publikasi cetak tersedia dalam bentuk Conference Proceeding.

6

D. PERKEMBANGAN QUALIFIED MAJORITY VOTING (QMV) DALAM
COUNCIL OF MINISTERS

Pada bab ini akan dipaparkan mengenai perkembangan Qualified Majority
Voting (QMV) dari awal pembentukannya hingga perubahan yang terjadi pada Lisbon
Treaty tahun 2009. Bab ini dibagi ke dalam dua bagian sebagai berikut:

a. Perkembangan Awal Qualified Majority Voting (QMV)
Qualified Majority Voting (QMV) merupakan mekanisme pengambilan

kebijakan dalam Council of Ministers melalui pemungutan suara atau voting. Melalui
mekanisme QMV, setiap negara akan memiliki jumlah suara yang berbeda, yaitu
berdasarkan jumlah populasi penduduknya (weighted vote). Oleh karena itu, jumlah
suara dalam QMV selalu mengalami perubahan setiap ada perluasan anggota
(enlargement). Sejak diberlakukannya Treaty of Nice tahun 2000 hingga tahun 2013,
jumlah suara yang dibutuhkan untuk mencapai keputusan adalah 255 suara dari total
345 suara. Masuknya Kroasia sebagai anggota ke-28 Uni Eropa pada awal tahun 2014
mengharuskan Council of Ministers untuk menyesuaikan jumlah suara yang dimiliki
oleh sebuah negara. Saat ini jumlah suara di Council of Ministers adalah 352 dengan
jumlah minimal suara untuk meloloskan kebijakan 260 dan Kroasia memperoleh 7
suara. Selain itu, keputusan yang diambil haruslah mewakili 62% dari total populasi
dan mayoritas negara UE (Kurpas, Crum dan Schoutheete 59). Sedanglan blocking
minority 6 dapat dicapai jika setidaknya terdapat 91 suara yang menolak sebuah

rancangan kebijakan. Penggunaan QMV dalam pengambilan kebijakan di Council of
Ministers dimulai saat disetujuinya Single European Act (SEA) tahun 1987. 7

Penggunaan QMV ini menggantikan mekanisme pengambilan keputusan yang
sebelumnya diterapkan, yaitu unanimity atau konsensus. Adapun beberapa isu yang
dibahas menggunakan QMV misalnya isu tentang pertanian, perikanan, single market,
kebijakan industri, dan isu lingkungan (Novak 10). Sedangkan beberapa isu sensitif
lainnya, seperti kebijakan pertahanan dan competition policy, masih menggunakan
mekanisme unanimity.
Setelah Uni Eropa terbentuk tahun 1993, Council of Ministers menjadi
diwajibkan untuk melakukan transparansi terhadap kebijakan yang diambil dengan
6

Blocking minority merupakan istilah yang digunakan untuk merujuk pada negara-negara yang
menolak rancangan sebuah kebijakan.
7
QMV pertama kali diperkenalkan dalam Treaty of Rome yang membentuk European Economic
Community tahun 1958, namun dalam prakteknya QMV sangat jarang digunakan hingga disetujuinya
SEA tahun 1987.
Dipresentasikan saat the 3rd Convention of the European Studies in Indonesia , 21-23 Mei 2014 di Universitas
Gadjah Mada, Indonesia. Publikasi cetak tersedia dalam bentuk Conference Proceeding.

7

menggunakan QMV. Tercatat sejak 1993, sekitar 80% dari total kebijakan yang
disetujui oleh Council of Ministers diambil menggunakan mekanisme QMV (Novak
3-4). Penggunaan QMV dalam pengambilan kebijakan di Council of Ministers
menunjukkan bahwa sebuah negara tidak lagi memiliki kekuatan yang besar untuk
melakukan penolakan atas rancangan kebijakan yang tengah dinegosiasikan.8 Dengan
kata lain, penggunaan QMV membatasi kemampuan negara untuk menunda proses
negosiasi terhadap sebuah kebijakan yang tengah dirundingkan (Nuget 477). Oleh
karena itu, dapat dikatakan bahwa melalui penggunaan QMV, Council of Ministers
mulai bergeser menjadi institusi supranasional, meskipun tidak dapat dipungkiri
bahwa secara de facto Council of Ministers merupakan institusi intergovernmental.
Meskipun demikian, penggunaan mekanisme QMV dalam pembuatan
kebijakan di Council of Ministers masih menuai beberapa kritik, terutama karena
adanya alokasi suara yang berbeda. Nuget menyebutkan bahwa pemerintah suatu
negara masih dapat mempengaruhi kebijakan yang tengan dirundingkan dalam
Council of Ministers sehingga kepentingan nasional masih sangat mewarnai

pembuatan kebijakan di dalam Council of Ministers (473). Salah satu kritiknya terkait
dengan QMV adalah mengenai jumlah suara yang dibebankan terhadap sebuah negara.
Menurutnya, negara-negara besar seperti Jerman, Inggris, Perancis, dan Italia mampu
mendominasi pembuatan kebijakan oleh karena jumlah suara yang mereka miliki
(Nuget 473). Lebih lanjut, mekanisme QMV juga memungkinkan negara-negra kecil
seperti Cyprus dan Malta untuk memiliki jumlah suara yang terlalu banyak atau
overrepresented. Adanya kritikan semacam ini membuat UE melakukan beberapa

penyesuaian terhadap mekanisme QMV, terutama dengan memperbarui alokasi suara,
bukan dengan merombak mekanisme QMV yang ada. Terhitung sejak pertama kali
digunakan pada tahun 1987, secara teknis, QMV tidak mengalami perubahan, yang
ada hanya penyesuaian alokasi suara seiring dengan perluasan anggota dan juga
perluasan cakupan isu. Terlepas dari adanya kemungkinan dominasi negara besar
maupun jumlah suara negara kecil yang terlalu banyak, QMV dirasa mampu untuk
mengurangi pengaruh negara dalam proses pembuatan kebijakan di Council of
Ministers.

8

Pada prakteknya, aktifitas politik dalam proses perundingan sebuah kebijakan dalam Council of
Ministers masih mewarnai proses pengambilan keputusan (Lihat misalnya Novak). Terlepas dari
praktik politis tersebut, paper ini akan lebih menekankan pada konteks pengaruh QMV secara umum
terhadap penurunan peran negara dalam pembuatan kebijakan pada level Uni Eropa.
Dipresentasikan saat the 3rd Convention of the European Studies in Indonesia , 21-23 Mei 2014 di Universitas
Gadjah Mada, Indonesia. Publikasi cetak tersedia dalam bentuk Conference Proceeding.

8

b. Lisbon Treaty 2009: Langkah Baru Menuju Supranasionalisme Council of
Ministers

Lisbon Treaty yang telah disetujui oleh seluruh negara anggota UE pada tahun

2009 merupakan sebuah hasil dari proses negosiasi alot yang terjadi sejak tahun 2002.
Beberapa pendapat menyatakan bahwa Lisbon Treaty merupakan rancangan konstitusi
Uni Eropa yang kemudian akan menyempurnakan proses integrasi yang telah
berlangsung sejak lama. Setidaknya terdapat dua ketentuan dalam Lisbon Treaty yang
memiliki keterkaitan dengan Council of Ministers, yaitu 1) penerapan mekanisme
ordinary legislative procedure (prosedur ini masih disebut sebagai codecision) dan 2)

perubahan mekanisme voting menjadi double majority. Sebelum disepakatinya Lisbon
Treaty, penerapan codecision procedure masih menuai kritik, terutama terkait dengan

masih lemahnya kewenangn Parlemen Eropa dalam proses legislasi (Nuget 365 – 374).
Setelah Lisbon Treaty disepakati, codecision procedure mengalami perkembangan,
yaitu dari segi cakupan isu dan diakuinya prosedur ini sebagai ordinary legislative
procedure (Dehousse, Costa dan Trakalovà 6). Dengan kata lain, setelah Lisbon
Treaty, codecision procedure telah menjadi mekanisme standar bagi proses legislatif

di Uni Eropa. Adanya ordinary legislative procedure menjadikan Parlemen Eropa
memiliki peran yang lebih besar dalam proses legislatif dibanding sebelumnya (lihat
Guide to Codecision and Conciliation under the Treaty of Lisbon). Untuk meloloskan
sebuah kebijakan, diperlukan persetujuan dari kedua kamar legislatif, yaitu melalui
mekanisme QMV di Council of Minister dan absolute majority di Parlemen Eropa.
Sebagai implikasinya, kemampuan negara anggota untuk mempengaruhi proses
pembuatan kebijakan melalui Council of Ministers semakin mengecil karena adanya
peran Parlemen Eropa yang semakin kuat.
Selain itu, Lisbon Treaty juga membawa peraturan baru terkait dengan
pembuatan kebijakan di Council of Ministers, yaitu adanya perluasan isu yang dibahas
dengan menggunakan mekanisme QMV dan penggunaan double majority yang
menggantikan QMV (Christiansen 27).

9

Dengan mekanisme double majority,

keputusan yang diambil oleh Council of Ministers harus memenuhi tiga kriteria, yaitu
1) kriteria populasi 65%, 2) kriteria negara anggota yang mendukung 55%, dan 3)
kriteria blocking yang terdiri dari minimal 4 negara anggota dan mewakili lebih dari
35% jumlah populasi (Kurpas, Crum dan Schoutheete 63). Aturan mengenai blocking
9
Aturan mengenai double majority pada dasarnya merupakan pengembangan dari mekanisme QMV
yang hanya ditambah satu kriteria tambahan.

Dipresentasikan saat the 3rd Convention of the European Studies in Indonesia , 21-23 Mei 2014 di Universitas
Gadjah Mada, Indonesia. Publikasi cetak tersedia dalam bentuk Conference Proceeding.

9

minority ini dinilai mampu mengurangi kemungkinan negara-negara dengan jumlah

populasi serta jumlah suara yang besar untuk menghambat sebuah rancangan
kebijakan yang tidak sesuai dengan preferensi kebijakan nasionalnya (Mayoral 6).
Ketentuan double majority ini akan secara bertahap diberlakukan pada 1 November
2014 dan mulai 1 April 2017, double majority akan secara penuh diterapkan. Sejak
tahun 2009 hingga 2014 mendatang, mekanisme QMV yang telah berlaku sejak
perluasan anggota tahun 2004 tetap diterapkan dan sejak 2014 samapai 2017 disebut
sebagai masa transisi (Kurpas, Crum dan Schoutheete 60 – 62). Selain mekanisme
double majority, Lisbon Treaty juga mengatur mengenai perluasan isu yang dibahas

menggunakan mekanisme QMV. Oleh karena itu, penggunaan unanimity dalam
pengambilan keputusan di Council of Ministers akan semakin jarang dilakukan
sehingga sebuah negara akan semakin sulit untuk menghambat negosiasi yang ada.
Dengan melihat beberapa penyesuaian yang ada dalam Lisbon Treaty, dapat
dipahami bahwa Council of Ministers semakin diarahkan untuk menjadi sebuah
intitusi supranasional seperti institusi UE lainnya. Dalam hal ini, kewenangan
individu negara untuk mempertahankan kepentingan nasionalnya semakin lemah.
Adanya perluasan isu yang dibahas, sebagai contoh, membuat negara anggota harus
mematuhi peraturan yang dibuat dalam skala Uni Eropa. Selain itu, Lisbon Treaty
juga memungkinkan kedua kamar legislatif (Council of Ministers dan European
Parliament) untuk meningkatkan akuntabilitas. Hal ini dikarenakan oleh adanya

peningkatan peran EP dalam proses legislasi yang sejajar dengan Council of Ministers
setelah disepakatinya Lisbon Treaty. Dengan demikian, Council of Ministers tidak
lagi memiliki kekuatan yang lebih besar dalam proses legislasi setelah diterapkannya
codecision procedure sebagai ordinary legislative procedure.

E. SUPRANASIONALITAS COUNCIL OF MINISTERS DAN INTEGRASI
UNI EROPA
Seperti yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, Sweet dan Sandhlotz
memandang bahwa sebuah institusi supranasional memiliki tiga dimensi atau
karakteristik utama, yaitu EU rules, EU organizations, dan aktor transnasional (304).
Dimensi atau kriteria tersebut tentunya masih memiliki relevansi untuk melihat
pergeseran Council of Ministers dari institusi intergovernmental menjadi institusi
supranasional. Dari segi organisasi, sebuah institusi supranasional seharusnya
memiliki otonomi untuk bisa menghasilkan kebijakan sendiri tanpa pengaruh dari
Dipresentasikan saat the 3rd Convention of the European Studies in Indonesia , 21-23 Mei 2014 di Universitas
Gadjah Mada, Indonesia. Publikasi cetak tersedia dalam bentuk Conference Proceeding.

10

konflik kepentingan antarnegara (Sweet dan Sandhlotz 305). Penggunaan QMV
sebagai basis pembuatan kebijakan di Council of Ministers kemudian dapat dipahami
sebagai salah satu upaya untuk mengurangi konflik kepentingan antarnegara. Ketika
pengambilan kebijakan menggunakan mekanisme unanimity, sebuah negara memiliki
hak veto mengingat kebijakan hanya bisa diambil atas dasar konsensus atau
persetujuan dari semua negara anggota. Penggunaan metode unanimity setidaknya
mampu menjadi indikator bahwa sebuah institusi belum menjadi institusi
supranasional (Rossi) karena masih besarnya pengaruh kepentingan sebuah negara di
dalam proses pengambilan kebijakan. Hal ini menjadi berbeda ketika QMV dan
double majority diterapkan. Melalui mekanisme QMV maupun double majority,

sebuah negara tidak mampu untuk secara sepihak menolak sebuah rancangan
kebijakan karena adanya kriteria populasi dan juga jumlah negara untuk meloloskan
maupun menolak sebuah rancangan kebijakan.
Lebih lanjut, melemahnya pengaruh negara dalam Council of Ministers
didukung oleh diberlakukannya mekanisme codecision procedure sebagai ordinary
legislative procedure. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, penggunaan prosedur

ini menempatkan Council of Ministers dan Parlemen Eropa pada posisi yang sejajar
dalam proses legislatif Uni Eropa. Jika merujuk pada prosedur pengambilan kebijakan
yang sebelumnya diterapkan (consultation dan cooperation), Council of Ministers
memiliki posisi legislatif yang lebih tinggi dari pada Parlemen Eropa. Hal ini
dikarenakan Parlemen Eropa hanya menjadi badan konsultasi kebijakan tanpa
memiliki kekuatan legislatif yang jelas. Kondisi tersebut membuat pengaruh negara
dalam pembuatan kebijakan dalam ranah Uni Eropa menjadi sangat besar, terutama
ketika QMV belum banyak digunakan. Sweet dan Sandhlotz menambahkan bahwa
aturan yang dibuat oleh sebuah institusi supranasional mampu untuk menstabilkan
posisi tawar tiap negara, menggurangi potensi sebuah negara untuk keluar dari
perjanjian, dan memiliki standar yang mengikat (305). Meskipun demikian, Sweet
dan Sandhlotz tidak membatasi aturan sebagai sebuah hukum atau perjanjian formal,
melainkan juga norma dan jurisprudensi. Dalam kaitannya dengan proses integrasi
Uni Eropa, setelah Lisbon Treaty diberlakukan sejak tahun 2009, codecision
procedure dan double majority menjadi memiliki basis legal sebagai prosedur

pengambilan kebijakan yang diakui. Hal ini diyakini mampu memenuhi kriteriakriteria yang dijabarkan oleh Sweet dan Sandhlotz di atas. Dengan kata lain, Councl
of Ministers mampu menjalankan fungsi legislatifnya tanpa terlalu dikendalikan oleh
Dipresentasikan saat the 3rd Convention of the European Studies in Indonesia , 21-23 Mei 2014 di Universitas
Gadjah Mada, Indonesia. Publikasi cetak tersedia dalam bentuk Conference Proceeding.

11

kepentingan negara, terutama setelah diberlakukannya QMV secara efektif dan
ketentuan-ketentuan lainnya dalam Lisbon Treaty.
Menariknya, setelah Lisbon Treaty efektif diterapkan sejak tahun 2009,
masyarakat sipil memiliki kemungkinan untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan
di Uni Eropa secara langsung. Hal ini dapat dilakukan melalui penandatanganan petisi
oleh minimal satu juta penduduk Uni Eropa. Adanya kemungkinan untuk mengajukan
proposal kebijakan oleh masyarakat sipil ini mampu memenuhi kriteria institusi
supranasional yang diajukan oleh Sweet dan Sandhlotz, yaitu aktor transnasional.
Oleh karena itu, kewenangan untuk mengajukan kebijakan tidak hanya dimiliki oleh
European Commission maupun Council of Ministers, tetapi juga oleh aktor lain

seperti masyrakat sipil maupun institusi nonpemerintah selama proposal kebijakan
yang berbentuk petisi tersebut didukung oleh minimal satu juta penduduk Uni Eropa.
Berkurangnya pengaruh negara anggota dalam proses pembuatan kebijakan di
dalam Council of Ministers tentunya menunjukkan proses pergeseran insitusi Uni
Eropa ini dari intergovernmentalist menjadi supranasional. Resistensi dari beberapa
negara terkait dengan penggunaan QMV yang terjadi pada awal perkembangan
mekanisme tersebut, seperti Luxembourg Compromise tahun 1966 dan Ioannina
Compromis tahun 1994, telah mampu untuk diatasi. Pada konteks tersebut, negara-

negara Uni Eropa secara bertahap memberikan beberapa kewenangan atau
kedaulatannya kepada Council of Ministers seiring dengan kesanggupan negaranegara anggota untuk menyetujui QMV sebagai basis pengambilan kebijakan. Dengan
kata lain, penggunaan QMV dinilai sebagai bentuk melemahnya pengaruh negara
dalam proses pembuatan kebijakan di level Uni Eropa (Miller 8). Kondisi ini sejalan
dengan pandangan Haas yang memandang bahwa pemberian sebagian kedaulatan
negara kepada sebuah institusi pusat menjadi salah satu karakter integrasi (The
Uniting of Europe: Political, Social and Economic Forces, 1950-1957). Council of
Ministers kemudian dapat dinilai sebagai institusi pusat yang dimaksud tersebut. Hal

ini didasarkan pada posisi Council of Ministers yang mampu mengurangi
kecenderungan terjadinya konflik kepentingan dalam proses pembuatan kebijakan
melalui mekanisme QMV. Oleh karena itu, Council of Ministers kemudian menjadi
institusi yang mampu melaksanakan fungsi pembuatan kebijakan kolektif pada level
Uni Eropa. Artinya kebijakan yang diloloskan maupun ditolak oleh Council of
Ministers,

khususnya

yang

menggunakan

mekanisme

QMV,

tidak

Dipresentasikan saat the 3rd Convention of the European Studies in Indonesia , 21-23 Mei 2014 di Universitas
Gadjah Mada, Indonesia. Publikasi cetak tersedia dalam bentuk Conference Proceeding.

lagi

12

merepresentasikan kepentingan suatu negara, tetapi kepentingan Uni Eropa secara
keseluruhan sebagai sebuah institusi regional.
Sebagai tambahan, ketika ketentuan dalam Lisbon Treaty secara penuh telah
terlaksana, terutama yang berkaitan dengan proses legislatif, maka pemerintahan Uni
Eropa akan mampu berjalan dengan baik. Konsep mengenai trias politica yang
menjadi basis bagi pelaksanaan sistem demokrasi nampaknya akan mampu diterapkan
oleh Uni Eropa. Dengan menggunakan mekanisme QMV –yang kemudian
disempurnakan oleh mekanisme double majority— dan juga codecision procedure –
yang telah menjadi ordinary legislative procedure—, pelaksanaan fungsi legislatif
bikameral akan berjalan dengan baik. Permasalahan akuntabilitas yang selama ini
menjadi kritikan terhadap cabang legislatif pemerintahan Uni Eropa akan mampu
diselesaikan, terutama dengan adanya mekanisme check and balances antara Council
of Ministers dan Parlemen Eropa melalui codecision procedure atau ordinary
legislative procedure.

F. KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan pada beberapa bab sebelumnya, dapat dilihat bahwa
Uni Eropa merupakan sebuah institusi yang tengah berada dalam proses integrasi.
Adanya pembentukan institusi-institusi yang sifatnya supranasional kemudian
menjadi salah satu ciri dari proses integrasi tersebut. Dalam hal ini, Uni Eropa
membentuk beberapa institusi selayaknya negara modern yang memisahkan
kekuasaan pemerintahan ke dalam tiga cabang, yaitu legislatif, eksekutif, dan
yudikatif. Ketiga cabang pemerintahan Uni Eropa tersebut dikendalikan oleh empat
institusi utama, yaitu European Commission (eksekutif), Council of Ministers dan
European Parliament (legislatif), serta European Court of Justice (yudikatif). Sebagai

institusi yang masih bersifat intergovernmentalis, Council of Ministers secara
bertahap diarahkan untuk menjadi institusi supranasional. Hal ini dapat dilihat dari
penggunaan Qualified Majority Voting (QMV) sebagai basis pengambilan keputusan
yang secara bertahap menggantikan mekanisme unanimity. Penggunaan QMV dalam
pengambilan kebijakan di Council of Ministers kemudian mengalami peningkatan,
terutama setelah disepakatinya Lisbon Treaty sejak tahun 2009 silam. Beberapa
perubahan terkait proses legislasi mempersempit peran negara dalam mempengaruhi
kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan nasionalnya. Lebih lanjut, ordinary
legislative procedure serta double majority diyakini mampu memperkuat posisi
Dipresentasikan saat the 3rd Convention of the European Studies in Indonesia , 21-23 Mei 2014 di Universitas
Gadjah Mada, Indonesia. Publikasi cetak tersedia dalam bentuk Conference Proceeding.

13

Parlemen Eropa dalam proses legislasi yang sebelumnya cenderung menempatkan
Council of Ministers sebagai kamar legislatif yang lebih kuat. Adanya penguatan

peran Parlemen Eropa melalui ordinary legislative procedure ini akan mampu
menciptakan kebijakan-kebijakan yang relatif minim akan pengaruh kepentingan
negara tertentu karena Council of Ministers tidak lagi memiliki kekuatan legislatif
yang lebih kuat dibanding Parlemen Eropa.
Adanya perubahan secara gradual yang dilakukan oleh UE melalui perjanjianperjanjian yang disepakati menunjukkan bahwa proses integrasi UE masih
berlangsung. Salah satu ciri dari integrasi adalah adanya pemberian sebagian
kedaulatan negara kepada organisasi sentral (K. Deutsch; Deutsch, Sidney dan Kann;
Haas, International Integration: the European and the Universal Process) atau
supranasional. Dengan melihat pendapat tersebut, maka Uni Eropa dapat dinilai
sebagai organisasi sentral yang memiliki berbagai kerangka institusi yang sifatnya
supranasional, meskipun beberapa masih intergovernmental. Proses integrasi Uni
Eropa masih memerlukan berbagai inisiatif dari masing-masing individu negara yang
pada akhirnya akan memberikan keseluruhan fungsinya kepada Uni Eropa sebagai
institusi supranasional. Perkembangan proses pembuatan kebijakan dalam Council of
Ministers memperkecil peran negara dalam mempengaruhi proses pembuatan

kebijakan. Mekanisme QMV dan double majority kemudian merupakan faktor yang
mampu mendorong Council of Ministers untuk menjadi institusi supranasional.

Dipresentasikan saat the 3rd Convention of the European Studies in Indonesia , 21-23 Mei 2014 di Universitas
Gadjah Mada, Indonesia. Publikasi cetak tersedia dalam bentuk Conference Proceeding.

14

DAFTAR PUSTAKA

Christiansen, Thomas. "The EU reform process: from the European Constitution to
the Lisbon Treaty." Carbone, Maurizio. National Politics and European
Integration From the Constitution to the Lisbon Treaty. Cheltenham: Edward
Elgar Publishing Limited, 2010. 16-33.
Dehousse, Renaud, Olivier Costa and Aneta Trakalovà. "Co-decision and 'Early
Agreements’: an Improvement or a Subversion of the Legislative Procedure?"
Notre Europe, November 2011.
Deutsch, Karl W., Nationalism and Social Communication. Cambridge: MIT Press,
1953.
Deutsch, Karl W., et al. Political Community and the North Atlantic Area. Princeton:
Princeton University Press, 1957.
"Guide to Codecision and Conciliation under the Treaty of Lisbon." European
Parliament, 2012.
Haas, Ernst. "International Integration: the European and the Universal Process."
International Organization (1961): 366-392.
—. The Uniting of Europe: Political, Social and Economic Forces, 1950-1957.
Stanford: Stanford University Press, 1958.
Hosli, Madeleine O. "The Balance between Small and Large: Effects of a DoubleMajority System on Voting Power in the European Union." International
Studies Quarterly (1995): 351-370.
Kurpas, Sebastian, et al. "The Treaty of Lisbon: Implementing the Institutional
Innovations." Joint Study. 2007.
Mayoral, Juan. Democratic improvements in the European Union under the Lisbon
Treaty: Institutional changes regarding democratic government in the EU. San
Domenico di Fiesole: European Union Democracy Observatory (EUDO), 2011.
Miller, Vaughne. "The Extension of Qualified Majority Voting from the Treaty of
Rome to the European Constitution." Research Paper 04/54. 2004.
Mix, Derek E. "The European Union: Foreign and Security Policy." CRS Report for
Congress. 2013.

Dipresentasikan saat the 3rd Convention of the European Studies in Indonesia , 21-23 Mei 2014 di Universitas
Gadjah Mada, Indonesia. Publikasi cetak tersedia dalam bentuk Conference Proceeding.

15

Novak, Stephanie. "Qualified Majority Voting from the Single European Act to the
Present Day: an unexpected Permanence." Notre Europe, November 2011.
Nuget, N. The Government and Politics of the European Union. London: Macmillan
Press, 1999.
Rossi, Lucia Serena. "A New Inter-institutional Balance: Supranational vs.
Intergovernmental Method After the Lisbon Treaty." Global Jean MonnetECSA WORLD Conference The European Union after the Treaty of
LisbonGlobal Jean Monnet- ECSA WORLD Conference The European Union
after the Treaty of Lisbon. Brussels, 2010.
Sieberson, S. C. "Inching Toward EU Supranationalism? Qualified Majority Voting
and Unanimity Under the TTreaty of Lisbon." Virginia Journal of International
Law (2010): 919-995.
Sweet, A. S. and H. Sandhlotz. "European Integration and Supranational
Governance." Journal of European Public Policy (1997): 297-317.
The European Council and the Council: Two Institutions Acting for Europe. Brochure.
Brussels: General Secretariat of the Council, 2010.
Tsebelis, G. and G. Garrett. "The Institutional Foundations of Intergovernmentalism
and Supranationalism in the European Union." International Organization
(2001): 357-390.

Dipresentasikan saat the 3rd Convention of the European Studies in Indonesia , 21-23 Mei 2014 di Universitas
Gadjah Mada, Indonesia. Publikasi cetak tersedia dalam bentuk Conference Proceeding.

16