Filsafat Manusia Dan Ilmu Tentang Manusi
MAKALAH FILSAFAT MANUSIA
“ FILSAFAT MANUSIA DAN ILMU – ILMU TENTANG
MANUSIA ”
OLEH
KELOMPOK II
1. UTARI RAHMI
2. VALERIA PRAMITA
3. AHMAD HADI
: 512 . 009
: 512 . 107
: 512 . 135
DOSEN PEMBIMBING
: ELFI TAJUDDIN, S.Ag, M.Hum.
JURUSAN PSIKOLOGI ISLAM (PI-B)
FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM BONJOL PADANG
1435 H / 2014 M
1
FILSAFAT MANUSIA DAN ILMU – ILMU TENTANG
MANUSIA
LATAR BELAKANG
Filsafat manusia atau antropologi filsafat adalah bagian integral (menyatu,
terpadu, dan melekat ) dari sistem filsafat, yang secara spesifik menyoroti hakikat atau
esensi manusia. Filsafat manusia mempunyai kedudukan yang kurang lebih setara
dengan cabang-cabang filsafat lainnya, seperti etika, kosmologi, dan epistemologi,.
Tetapi secara ontologis berdasarkan pada objek kajiannya, ia mempunyai kedudukan
yang relatif lebih penting, karena semua cabang filsafat tersebut pada prinsipnya
bermuara pada persoalan asasi mengenai esensi manusia, yang tidak lain merupakan
persoalan yang secara spesifik menjadi objek kajian filsafat manusia.
Dibandingkan dengan ilmu-ilmu tentang manusia (human studies), filsafat
manusia mempunyai kedudukan yang kurang lebih “sejajar” juga, terutama kalau
dilihat dari objek materialnya. Objek material filsafat manusia dan ilmu-ilmu tentang
manusia (misalnya saja psikologi dan antropologi) adalah gejala manusia. Filsafat
manusia maupun ilmu-ilmu tentang manusia pada dasarnya bertujuan untuk
menyelidiki, menginterpretasi (menafsirkan), dan memahami gejala-gejala atau
ekspresi manusia1.
Akan tetapi, ditinjau dari objek formal atau metodenya, kedua jenis “ilmu”
tersebut memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Secara umum dapat dikatakan
bahwa setiap cabang ilmu-ilmu tentang manusia mendasarkan penyelidikannya
pada gejala empiris yang bersifat “objektif” dan bisa diukur kemudian diselidiki
dengan menggunakan
metode yang bersifat observasional atau eksperimental.
Sebaliknya filsafat manusia tidak membatasi diri pada gejala empiris. Bentuk
atau jenis gejala apapun tentang manusia, sejauh bisa dipikirkan, dan memungkinkan
untuk dipikirkan secara rasional, bisa menjadi bahan kajian filsafat manusia.
1 http://id.wikipedia.org/wiki/Interpretasi diakses pada tanggal 13 Maret 2014, Pukul 21.13 Wib.
2
Karena luas dan tidak terbatasnya gejala manusiawi yang diselidiki oleh
filsafat manusia, maka tidak mungkin ia menggunakan metode yang bersifat
observasional atau eksperimental. Dan karena apa yang bisa dipikirkan jauh lebih
luas daripada apa yang bisa diamati secara empiris, maka pengetahuan atau informasi
tentang gejala manusia didalam filsafat manusia, pada akhirnya jauh lebih ekstensif
(menyeluruh) dan intensif (mendalam) daripada informasi atau teori yang didapatkan
oleh ilmu-ilmu tentang manusia2.
Dalam makalah ini, penulis menguraian tentang pengertian filsafat dan ilmu
– ilmu tentang manusia, persamaan dari filsafat manusia dengan ilmu – ilmu tentang
manusia, serta perbedaan antara filsafat manusia dengan ilmu – ilmu tentang manusia.
2 Zainal Abidin, Filsafat Manusia : Memahami Manusia Melalui Filsafat (Bandung, PT.Remaja Rosdakarya,
2009), Hal : 3-4.
3
PEMBAHASAN
A. Pengertian.
1. Pengertian Filsafat
Menurut etimologi, filsafat berasal dari kata Yunani filosofia. Kata
tersebut dibagi atas phylo dan sophia. Phylo artinya mencintai, cinta,
bersungguh – sungguh, dan Sophia berarti kebijaksanaan, kebenaran, dan
kearifan. Sedangkan Menurut Istilah, Filsafat artinya ilmu yang
mempelajari cara bersungguh – sungguh untuk mencari kebenaran hidup3.
2. Pengertian Manusia
Manusia adalah sesuatu yang dengan mengasingkan dirinya sendiri,
dari dirinya sendiri, menemukan dirinya sendiri, dalam dirinya sendiri4.
Berbicara tentang manusia maka yang tergambar dalam fikiran adalah
berbagai macam perfektif. Ada yang mengatakan manusia adalah hewan
rasional (animal rasional) dan pendapat ini diyakini oleh para filosof.
Sedangkan yang lain menilai manusia sebagai animal simbolik, pernyataan
tersebut dikarenakan manusia mengkomunikasikan bahasa melalui simbolsimbol dan manusia menafsirkan simbol-simbol tersebut. Ada yang lain
menilai tentang manusia adalah sebagai homo feber dimana manusia
adalah hewan yang melakukan pekerjaan dan dapat gila terhadap kerja.
Manusia memang sebagai makhluk yang aneh dikarenakan disatu pihak ia
merupakan “makhluk alami”, seperti binatang ia memerlukan alam untuk
hidup. Dipihak lain ia berhadapan dengan alam sebagai sesuatu yang asing
ia harus menyesuaikan alam sesuai dengan kebutuh-kebutuhannya.
Manusia dapat disebut sebagai homo sapiens, manusia arif memiliki akal
3 Asmoro Ahmadi, Filsafat Umum (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2005), Hal 1-2.
4 Drs. Burhanuddin Salam, Filsafat Manusia (Jakarta, Antropologi Metafisika, 1988), Hal 2.
4
budi dan mengungguli makhluk yang lain. Manusia juga dikatakan sebagai
homo faber hal tersebut dikarenakan manusia tukang yang menggunakan
alat-alat dan menciptakannya. Salah satu bagian yang lain manusia juga
disebut sebagai homo ludens (makhluk yang senang bermain). Dalam
bermain manusia memiliki ciri khasnya dalam suatu kebudayaan bersifat
fun. Fun disini merupakan kombinasi lucu dan menyenangkan5.
3. Pengertian Filsafat Manusia
Filsafat manusia adalah cabang filsafat yang hendak secara khusus
merefleksikan hakekat atau esensi dari manusia.
B. Hubungan antara Filsafat Manusia dengan Ilmu – Ilmu tentang Manusia
Ilmu – ilmu tentang
manusia bersifat positivistik, dan ilmu tersebut
melakukan penelitian serta penjelasan menggunakan model metodologi ilmu –
ilmu alam fisik. Metode yang digunakan dalam meneliti dan menjelaskan ilmu –
ilmu tentang manusia bersifat observasional dan/atau eksperimental. Suatu ilmu
yang membatasi diri pada penyelidikan terhadap gejala empiris dan pengunaan
metode yang bersifat observasional dan/atau eksperimental, bisa dipastikan
mempunyai konsekuensi-konsekuensi teoritis yang positif dan negatif sekaligus.
Sisi negatif dari ilmu – ilmu tentang manusia, pertama – tama tampak dari ruang
lingkupnya yang serba terbatas. Ilmu – ilmu tentang manusia bersangkut paut
hanya dengan aspek - aspek atau dimensi – dimensi tertentu dari manusia, yakni
sejauh yang tampak secara empiris dan dapat diselidiki secara observasional
dan/atau eksperimental. Aspek atau dimensi di luar pengalaman indrawi, yang
tidak dapat diobservasi dan di eksperimentalkan, tidak mendapat tempat di dalam
ilmu. Oleh sebab itu, ilmu – ilmu tentang manusia tidak mampu menjawab
pertanyaan – pertanyaan mendasar tentang manusia, seperti :
(-) Apakah esensi atau hakikat mnanusia itu bersifat material atau spiritual ?
(-) Siapakah sesungguhnya manusia itu ?
5 Alexis Carrel, Misteri Manusia, (Bandung, CV. Remadja Karya, 1987), Hal 1 - 2
5
(-) Bagaimana kedudukan manusia di dalam semesta raya yang luas ini ?
(-) Apakah arti, nilai, atau makna hidup manusia itu ?
(-) Apakah ada kebebasan pada manusia ?
Kedua, cara kerja ilmu pun (terpaksa) menjadi fragmentaris. Keterbatasan
metode observasi dan eksperimental tidak memungkinkan ilmu – ilmu tentang
manusia untuk melihat gejala manusia secara utuh dan menyeluruh. Hanya aspek
– aspek atau bagian - bagian tertentu dari manusia, yang bisa disentuh oleh ilmu
– ilmu terseburt.
Psikologi sebagai suatu ilmu, misalnya lebih menekankan kepada aspek psikis
dan fisiologis manusia sebagai suatu organisme, dan enggan bersentuhan dengan
pengalaman – pengalaman subjektif, spiritual, dan eksistensial. Antropologi dan
Sosial lebih memfokuskan diri pada gejala budaya dan pranata sosial manusia dan
enggan bersentuhan dengan pengalaman dan gejala individual. Bahkan di dalam
satu cabang ilmu itu sendiri bisa terjadi spesialis – spesialis dalam menelaah sub
– sub aspek gejala manusia. Di dalam ilmu psikologi, seperti psikologi klinis,
psikologi perkembangan, psikologi sosial, psikologi komunitas, psikologi industri
dan organisasi dan sebagainya. Di samping itu, terdapat pendekatan – pendekatan
psikologi,
seperti
pendekatan
kognitif,
behavioristik,
psikoanalitik,
dan
seterusnya. Pendekatan – pendekatan tersebut menyoroti aspek – aspek tertentu
dari manusia, seperti aspek kognisi, emosi dan psikomotorik.
Sejumlah filsuf modern mengecam keras gejala fragmentarisme. Menurut
mereka, munculnya ilmu baru tentang manusia dan tumbuh pesatnya spesialisasi
di dalam ilmu – ilmu tentang manusia, tidak dengan sendirinya membantu
memahami
manusia
secara
utuh
dan
menyeluruh,
melainkan
justru
mengaburkan dan mencerai beraikan pemahaman tentang manusia.
Salah satu kritik terhadap Fragmentarisme ilmu, misalnya :
“Tidak ada periode lain dalam pengetahuan manusiawi, di mana manusia
semakin menjadi problematis, seperti pada periode ini, kita tidak lagi memiliki
6
gambaran yang jelas dan konsisten terhadap manusia. Semakin banyak ilmu –
ilmu khusus, yang terjun mempelajari manusia, tidak semakin menjernihkan
konsepsi kita tentang manusia; sebaliknya, malah semakin membingungkan dan
mengaburkannya”6.
Aspek positif yang dapat dipetik dari hasil penelitian ilmu tentang manusia,
ditinjau dari kegunaan dan aplikasi praktik dari ilmu tersebut. Misalnya gejala –
gejala psikis atau psikoogi manusia dapat dibahas secara rinci oleh ilmu Psikologi.
Perbedaan penjelasan antara ilmu – ilmu tentang manusia dengan Filsafat
manusia terletak pada metode yang digunakan dalam membahas manusia, dimana
filsafat manusia menggunakan metode sintesis dan reflektif. Dan mempunyai ciri
– ciri diantaranya ekstensif, intensif, dan kritis.
Metode Sintesis dalam filsafat manusia, artinya mensintesiskan pengalaman
dan pengetahuan ke dalam satu visi, misalnya dari sistem besar filsafat Bergson
tentang “daya penggerak hidup” (elan vital) : Filsafat Schopenhauer tentang
“Kehendak”, dan lain lain. Dengan metode sintesis maka tercapailah visi
menyeluruh dan rasional tentang (hakikat) manusia. Oleh sebab itu, ketimbang
hanya berkisar tentang salah satu dari aspek tertentu saja dari manusia, Filsafat
Manusia justru berkenaan dengan totalitas dan keragaman aspek yang terdapat
pada manusia secara universal. Berdasarkan pengalaman dan berbagai
pengetahuan tersebut ke dalam satu atau dua kategori realitas paling mendasar,
yang diandaikan sebagai hakekat dari semua umat manusia7.
Contohnya Filsafat Schopenhauer. Pemikiran filsafat filsuf Jerman ini pada
prinsipnya merupakan hasil sintesis dari berbagai peristiwa historis dalam sejarah
manusia dan temuan – temuan
ilmiah dalam ilmu biologi. Menurut
Schopenhauer, kejadian – kejadian besar di dalam sejarah manusia (misalnya
dalam bentuk peperangan dan revolusi besar) pada dasarnya digerakkan bukan
6 Zainal Abidin, Filsafat Manusia : Memahami Manusia Melalui Filsafat (Bandung, PT.Remaja Rosdakarya,
2009), Hal : 5 -6
7 Zainal Abidin, Opict, Hal : 8
7
oleh pikiran – pikiran rasional, melainkan merupakan ungkapan – ungkapan
emosional para pelaku sejarahnya8.
Penggunaan metode Refleksi dalam Filsafat Manusia tampak dari pemikiran
– pemikiran filsafati besar seperti yang dikembangkan misalnya oleh Descartes,
Kant, Edmund Husserl, Karl Jaspers, dan Jean Paul Sartre. Refleksi (ditulis oleh
filsuf Paul Ricoeur), merupakan metode yang tidak bisa dipisahkan dari filsafat,
termasuk filsafat manusia. Maksud dari Refleksi adalah : (1) pada pertanyaan
tentang esensi sesuatu hal (misalnya : apakah esensi keindahan itu ?)
(2) proses pemahaman diri (Self Understanding) berdasarkan pada totalitas gejala
dan kejadian manusia yang sedang direnungkannya.
Ada yang khas pada filsafat manusia, dan tidak terdapat pada ilmu – ilmu
tentang manusia. Kalau ilmu adalah netral dan bebas nilai serta berkenaan
dengan Das Sein (kenyataan sebagaimana adanya). Nilai darimanapun asalnya,
dan apapun bentuknya, diupayakan untuk tidak dilibatkan dalam kegiatan
keilmuan. Nilai dipandang sebagai suatu yang “subjektif” dan “tidak bisa diukur”
sehingga keberadaanya bisa dianggap tidak bisa dipertanggungjawabkan secara
ilmiah.
Sebaliknya, di dalam Filsafat Manusia, bukan hanya Das Sein yang
dipertimbangkan, tapi juga Das Sollen (kenyataan yang seharusnya). Ini berarti
bahwa nilai, yang selain dipandang subjektif tetapi juga ideal, mewarnai kegiatan
filsafat manusia. Nilai – nilai apakah itu personal, sosial, moral, religius ataupun
kemanusiaan, bukan barang haram atau terlarang di dalam Filsafat Manusia. Itulah
sebabnya kita tidak perlu heran kalau Karl Marx menganjurkan kepada para filsuf
bahwa tugas mereka sekarang bukan lagi menerangkan dunia (Das Sein), tetapi
mengubah dunia (Das Sollen). Kita pun tidak perlu heran kalau Nietzsche
mengajak kita untuk mendobrak kebudayaan yang lembek, mapan, bodoh dan
cepat puas diri (yang menurut penilaiannya berasal dari “moral budak”) dan
menggantinya dengan kebudayaan yang adikuasa, megah, kompetitif, perkasa,
hebat, dan berani (yang berasal dari “Moral Tuhan”)9.
8 Zainal Abidin, Opict, Hal : 9
9 Ibid, Hal 9 – 10.
8
C. Persamaan Dan Perbedaan Ilmu Tentang Manusia Dengan Filsafat Manusia
ILMU
NO
TENTANG
FILSAFAT
PERSAMAAN
PERBEDAAN
MANUSIA
MANUSIA
OBJEK
KAJIAN SAMA
1.
PSIKOLOGI
SAMA
MENELAAH
TENTANG
MANUSIA
OBJEK
KAJIAN SAMA
2.
SOSIOLOGI
SAMA
MENELAAH
TENTANG
MANUSIA
OBJEK
KAJIAN SAMA
3. ANTROPOLOG
I
SAMA
MENELAAH
TENTANG
MANUSIA
lebih
Mempelajari manusia
menekankan
baik dari sifat luar
kepada aspek
manusia
psikis dan
dan
fisiologis
dalam
manusia sebagai
(bathin/rohani)
juga dari sifat
manusia
suatu organisme10.
Mempelajari manusia
mempelajari
dari sifat luar manusia
aspek-aspek
(perilaku) dan
yang
berhubungan
dengan manusia
dan lingkungan
sosialnya11
budaya
masyarakat
suatu
dengan lingkungannya
serta dari sifat dalam
manusia
Mempelajari manusia
mempelajari
tentang
hubungan manusia
(bathin/rohani)
etnis
tertentu12
10 Ibid, Hal 5 – 6.
11 http://id.wikipedia.org/wiki/Ilmu_sosial diakses pada tanggal 16 Maret 2014, Pukul 18.07
12 http://id.wikipedia.org/wiki/Antropologi, diakses pada tanggal 16 Maret 2014, Pukul 18.02
9
(perilaku)
baik dari sifat luar
manusia (budaya) dan
juga dari sifat dalam
manusia
(bathin/rohani)
OBJEK
4.
GEOGRAFI
Lebih menelaah
Mempelajari manusia
dan
baik dari sifat luar
memfokuskan
manusia (bagaimana
KAJIAN SAMA manusia pada
manusia hidup dalam
SAMA
aspek letak
sebuah letak
MENELAAH
geografisnya atau
geografis) dan juga
TENTANG
aspek dimana
dari sifat dalam
MANUSIA
manusia itu akan
manusia
melangsungkan
(bathin/rohani)
kehidupannya13
13 http://id.wikipedia.org/wiki/Geografi, diakses pada tanggal 16 Maret 2014, Pukul 18.05
10
PENUTUP
KESIMPULAN
Dalam makalah tentang Filsafat Manusia dan Ilmu – Ilmu yang mempelajari
tentang manusia ini, pemakalah dapat menyimpulkan bahwa perbedaan yang
mencolok antara Filsafat Manusia dengan Ilmu yang mempelajari tentang manusia
ini terdapat pada meotode pengajaran yang digunakan dari masing – masing ilmu.
Dimana dalam Filsafat Manusia, menelaah manusia secara empiris dan nom empiris,
dalam artian kata, manusia dalam filsafat manusia tidak hanya di telaah dari luarnya
saja (fisik) tetapi juga unsur dalam yang dimiliki dari manusia itu sendiri (batin).
Contohnya, bagaimana hakekat dari manusia, dan bagaimana manusia berhubungan
dengan spiritualitasnya, dibahas lebih mendalam dalam Filsafat Manusia, sedangkan
ilmu lain hanya membahas dan menelaah manusia tampak dari luarnya saja.
Contohnya Ilmu Psikologi yang membahas manusia bedasarkan gejala fisik dan psikis
yang terdapat pada diri manusia itu sendiri, dan Ilmu Sosial yang membahas tentang
manusia dan lingkungan sosialnya saja serta Ilmu Antropologi yang membahas
manusia dengan kebudayaannya.
11
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abidin Zainal, Filsafat Manusia : Memahami
PT.Remaja Rosdakarya), 2009.
Manusia Melalui Filsafat, (Bandung,
Ahmad Asmoro, Filsafat Umum, (Jakarta, Raja Grafindo Persada), 2005.
Salam Drs. Burhanuddin, Filsafat Manusia, (Jakarta, Antropologi Metafisika), 1988.
Carrel Alexis, Misteri Manusia, (Bandung, CV. Remadja Karya), 1987.
http://artikata.com/arti-96791-integral.html diakses pada tanggal 13 Maret 2014, Pukul 21.10
Wib.
http://id.wikipedia.org/wiki/Interpretasi diakses pada tanggal 13 Maret 2014, Pukul 21.13
Wib.
http://id.wikipedia.org/wiki/Ilmu_sosial diakses pada tanggal 16 Maret 2014, Pukul 18.07
http://id.wikipedia.org/wiki/Antropologi, diakses pada tanggal 16 Maret 2014, Pukul 18.02
http://id.wikipedia.org/wiki/Geografi, diakses pada tanggal 16 Maret 2014, Pukul 18.05
12
“ FILSAFAT MANUSIA DAN ILMU – ILMU TENTANG
MANUSIA ”
OLEH
KELOMPOK II
1. UTARI RAHMI
2. VALERIA PRAMITA
3. AHMAD HADI
: 512 . 009
: 512 . 107
: 512 . 135
DOSEN PEMBIMBING
: ELFI TAJUDDIN, S.Ag, M.Hum.
JURUSAN PSIKOLOGI ISLAM (PI-B)
FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM BONJOL PADANG
1435 H / 2014 M
1
FILSAFAT MANUSIA DAN ILMU – ILMU TENTANG
MANUSIA
LATAR BELAKANG
Filsafat manusia atau antropologi filsafat adalah bagian integral (menyatu,
terpadu, dan melekat ) dari sistem filsafat, yang secara spesifik menyoroti hakikat atau
esensi manusia. Filsafat manusia mempunyai kedudukan yang kurang lebih setara
dengan cabang-cabang filsafat lainnya, seperti etika, kosmologi, dan epistemologi,.
Tetapi secara ontologis berdasarkan pada objek kajiannya, ia mempunyai kedudukan
yang relatif lebih penting, karena semua cabang filsafat tersebut pada prinsipnya
bermuara pada persoalan asasi mengenai esensi manusia, yang tidak lain merupakan
persoalan yang secara spesifik menjadi objek kajian filsafat manusia.
Dibandingkan dengan ilmu-ilmu tentang manusia (human studies), filsafat
manusia mempunyai kedudukan yang kurang lebih “sejajar” juga, terutama kalau
dilihat dari objek materialnya. Objek material filsafat manusia dan ilmu-ilmu tentang
manusia (misalnya saja psikologi dan antropologi) adalah gejala manusia. Filsafat
manusia maupun ilmu-ilmu tentang manusia pada dasarnya bertujuan untuk
menyelidiki, menginterpretasi (menafsirkan), dan memahami gejala-gejala atau
ekspresi manusia1.
Akan tetapi, ditinjau dari objek formal atau metodenya, kedua jenis “ilmu”
tersebut memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Secara umum dapat dikatakan
bahwa setiap cabang ilmu-ilmu tentang manusia mendasarkan penyelidikannya
pada gejala empiris yang bersifat “objektif” dan bisa diukur kemudian diselidiki
dengan menggunakan
metode yang bersifat observasional atau eksperimental.
Sebaliknya filsafat manusia tidak membatasi diri pada gejala empiris. Bentuk
atau jenis gejala apapun tentang manusia, sejauh bisa dipikirkan, dan memungkinkan
untuk dipikirkan secara rasional, bisa menjadi bahan kajian filsafat manusia.
1 http://id.wikipedia.org/wiki/Interpretasi diakses pada tanggal 13 Maret 2014, Pukul 21.13 Wib.
2
Karena luas dan tidak terbatasnya gejala manusiawi yang diselidiki oleh
filsafat manusia, maka tidak mungkin ia menggunakan metode yang bersifat
observasional atau eksperimental. Dan karena apa yang bisa dipikirkan jauh lebih
luas daripada apa yang bisa diamati secara empiris, maka pengetahuan atau informasi
tentang gejala manusia didalam filsafat manusia, pada akhirnya jauh lebih ekstensif
(menyeluruh) dan intensif (mendalam) daripada informasi atau teori yang didapatkan
oleh ilmu-ilmu tentang manusia2.
Dalam makalah ini, penulis menguraian tentang pengertian filsafat dan ilmu
– ilmu tentang manusia, persamaan dari filsafat manusia dengan ilmu – ilmu tentang
manusia, serta perbedaan antara filsafat manusia dengan ilmu – ilmu tentang manusia.
2 Zainal Abidin, Filsafat Manusia : Memahami Manusia Melalui Filsafat (Bandung, PT.Remaja Rosdakarya,
2009), Hal : 3-4.
3
PEMBAHASAN
A. Pengertian.
1. Pengertian Filsafat
Menurut etimologi, filsafat berasal dari kata Yunani filosofia. Kata
tersebut dibagi atas phylo dan sophia. Phylo artinya mencintai, cinta,
bersungguh – sungguh, dan Sophia berarti kebijaksanaan, kebenaran, dan
kearifan. Sedangkan Menurut Istilah, Filsafat artinya ilmu yang
mempelajari cara bersungguh – sungguh untuk mencari kebenaran hidup3.
2. Pengertian Manusia
Manusia adalah sesuatu yang dengan mengasingkan dirinya sendiri,
dari dirinya sendiri, menemukan dirinya sendiri, dalam dirinya sendiri4.
Berbicara tentang manusia maka yang tergambar dalam fikiran adalah
berbagai macam perfektif. Ada yang mengatakan manusia adalah hewan
rasional (animal rasional) dan pendapat ini diyakini oleh para filosof.
Sedangkan yang lain menilai manusia sebagai animal simbolik, pernyataan
tersebut dikarenakan manusia mengkomunikasikan bahasa melalui simbolsimbol dan manusia menafsirkan simbol-simbol tersebut. Ada yang lain
menilai tentang manusia adalah sebagai homo feber dimana manusia
adalah hewan yang melakukan pekerjaan dan dapat gila terhadap kerja.
Manusia memang sebagai makhluk yang aneh dikarenakan disatu pihak ia
merupakan “makhluk alami”, seperti binatang ia memerlukan alam untuk
hidup. Dipihak lain ia berhadapan dengan alam sebagai sesuatu yang asing
ia harus menyesuaikan alam sesuai dengan kebutuh-kebutuhannya.
Manusia dapat disebut sebagai homo sapiens, manusia arif memiliki akal
3 Asmoro Ahmadi, Filsafat Umum (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2005), Hal 1-2.
4 Drs. Burhanuddin Salam, Filsafat Manusia (Jakarta, Antropologi Metafisika, 1988), Hal 2.
4
budi dan mengungguli makhluk yang lain. Manusia juga dikatakan sebagai
homo faber hal tersebut dikarenakan manusia tukang yang menggunakan
alat-alat dan menciptakannya. Salah satu bagian yang lain manusia juga
disebut sebagai homo ludens (makhluk yang senang bermain). Dalam
bermain manusia memiliki ciri khasnya dalam suatu kebudayaan bersifat
fun. Fun disini merupakan kombinasi lucu dan menyenangkan5.
3. Pengertian Filsafat Manusia
Filsafat manusia adalah cabang filsafat yang hendak secara khusus
merefleksikan hakekat atau esensi dari manusia.
B. Hubungan antara Filsafat Manusia dengan Ilmu – Ilmu tentang Manusia
Ilmu – ilmu tentang
manusia bersifat positivistik, dan ilmu tersebut
melakukan penelitian serta penjelasan menggunakan model metodologi ilmu –
ilmu alam fisik. Metode yang digunakan dalam meneliti dan menjelaskan ilmu –
ilmu tentang manusia bersifat observasional dan/atau eksperimental. Suatu ilmu
yang membatasi diri pada penyelidikan terhadap gejala empiris dan pengunaan
metode yang bersifat observasional dan/atau eksperimental, bisa dipastikan
mempunyai konsekuensi-konsekuensi teoritis yang positif dan negatif sekaligus.
Sisi negatif dari ilmu – ilmu tentang manusia, pertama – tama tampak dari ruang
lingkupnya yang serba terbatas. Ilmu – ilmu tentang manusia bersangkut paut
hanya dengan aspek - aspek atau dimensi – dimensi tertentu dari manusia, yakni
sejauh yang tampak secara empiris dan dapat diselidiki secara observasional
dan/atau eksperimental. Aspek atau dimensi di luar pengalaman indrawi, yang
tidak dapat diobservasi dan di eksperimentalkan, tidak mendapat tempat di dalam
ilmu. Oleh sebab itu, ilmu – ilmu tentang manusia tidak mampu menjawab
pertanyaan – pertanyaan mendasar tentang manusia, seperti :
(-) Apakah esensi atau hakikat mnanusia itu bersifat material atau spiritual ?
(-) Siapakah sesungguhnya manusia itu ?
5 Alexis Carrel, Misteri Manusia, (Bandung, CV. Remadja Karya, 1987), Hal 1 - 2
5
(-) Bagaimana kedudukan manusia di dalam semesta raya yang luas ini ?
(-) Apakah arti, nilai, atau makna hidup manusia itu ?
(-) Apakah ada kebebasan pada manusia ?
Kedua, cara kerja ilmu pun (terpaksa) menjadi fragmentaris. Keterbatasan
metode observasi dan eksperimental tidak memungkinkan ilmu – ilmu tentang
manusia untuk melihat gejala manusia secara utuh dan menyeluruh. Hanya aspek
– aspek atau bagian - bagian tertentu dari manusia, yang bisa disentuh oleh ilmu
– ilmu terseburt.
Psikologi sebagai suatu ilmu, misalnya lebih menekankan kepada aspek psikis
dan fisiologis manusia sebagai suatu organisme, dan enggan bersentuhan dengan
pengalaman – pengalaman subjektif, spiritual, dan eksistensial. Antropologi dan
Sosial lebih memfokuskan diri pada gejala budaya dan pranata sosial manusia dan
enggan bersentuhan dengan pengalaman dan gejala individual. Bahkan di dalam
satu cabang ilmu itu sendiri bisa terjadi spesialis – spesialis dalam menelaah sub
– sub aspek gejala manusia. Di dalam ilmu psikologi, seperti psikologi klinis,
psikologi perkembangan, psikologi sosial, psikologi komunitas, psikologi industri
dan organisasi dan sebagainya. Di samping itu, terdapat pendekatan – pendekatan
psikologi,
seperti
pendekatan
kognitif,
behavioristik,
psikoanalitik,
dan
seterusnya. Pendekatan – pendekatan tersebut menyoroti aspek – aspek tertentu
dari manusia, seperti aspek kognisi, emosi dan psikomotorik.
Sejumlah filsuf modern mengecam keras gejala fragmentarisme. Menurut
mereka, munculnya ilmu baru tentang manusia dan tumbuh pesatnya spesialisasi
di dalam ilmu – ilmu tentang manusia, tidak dengan sendirinya membantu
memahami
manusia
secara
utuh
dan
menyeluruh,
melainkan
justru
mengaburkan dan mencerai beraikan pemahaman tentang manusia.
Salah satu kritik terhadap Fragmentarisme ilmu, misalnya :
“Tidak ada periode lain dalam pengetahuan manusiawi, di mana manusia
semakin menjadi problematis, seperti pada periode ini, kita tidak lagi memiliki
6
gambaran yang jelas dan konsisten terhadap manusia. Semakin banyak ilmu –
ilmu khusus, yang terjun mempelajari manusia, tidak semakin menjernihkan
konsepsi kita tentang manusia; sebaliknya, malah semakin membingungkan dan
mengaburkannya”6.
Aspek positif yang dapat dipetik dari hasil penelitian ilmu tentang manusia,
ditinjau dari kegunaan dan aplikasi praktik dari ilmu tersebut. Misalnya gejala –
gejala psikis atau psikoogi manusia dapat dibahas secara rinci oleh ilmu Psikologi.
Perbedaan penjelasan antara ilmu – ilmu tentang manusia dengan Filsafat
manusia terletak pada metode yang digunakan dalam membahas manusia, dimana
filsafat manusia menggunakan metode sintesis dan reflektif. Dan mempunyai ciri
– ciri diantaranya ekstensif, intensif, dan kritis.
Metode Sintesis dalam filsafat manusia, artinya mensintesiskan pengalaman
dan pengetahuan ke dalam satu visi, misalnya dari sistem besar filsafat Bergson
tentang “daya penggerak hidup” (elan vital) : Filsafat Schopenhauer tentang
“Kehendak”, dan lain lain. Dengan metode sintesis maka tercapailah visi
menyeluruh dan rasional tentang (hakikat) manusia. Oleh sebab itu, ketimbang
hanya berkisar tentang salah satu dari aspek tertentu saja dari manusia, Filsafat
Manusia justru berkenaan dengan totalitas dan keragaman aspek yang terdapat
pada manusia secara universal. Berdasarkan pengalaman dan berbagai
pengetahuan tersebut ke dalam satu atau dua kategori realitas paling mendasar,
yang diandaikan sebagai hakekat dari semua umat manusia7.
Contohnya Filsafat Schopenhauer. Pemikiran filsafat filsuf Jerman ini pada
prinsipnya merupakan hasil sintesis dari berbagai peristiwa historis dalam sejarah
manusia dan temuan – temuan
ilmiah dalam ilmu biologi. Menurut
Schopenhauer, kejadian – kejadian besar di dalam sejarah manusia (misalnya
dalam bentuk peperangan dan revolusi besar) pada dasarnya digerakkan bukan
6 Zainal Abidin, Filsafat Manusia : Memahami Manusia Melalui Filsafat (Bandung, PT.Remaja Rosdakarya,
2009), Hal : 5 -6
7 Zainal Abidin, Opict, Hal : 8
7
oleh pikiran – pikiran rasional, melainkan merupakan ungkapan – ungkapan
emosional para pelaku sejarahnya8.
Penggunaan metode Refleksi dalam Filsafat Manusia tampak dari pemikiran
– pemikiran filsafati besar seperti yang dikembangkan misalnya oleh Descartes,
Kant, Edmund Husserl, Karl Jaspers, dan Jean Paul Sartre. Refleksi (ditulis oleh
filsuf Paul Ricoeur), merupakan metode yang tidak bisa dipisahkan dari filsafat,
termasuk filsafat manusia. Maksud dari Refleksi adalah : (1) pada pertanyaan
tentang esensi sesuatu hal (misalnya : apakah esensi keindahan itu ?)
(2) proses pemahaman diri (Self Understanding) berdasarkan pada totalitas gejala
dan kejadian manusia yang sedang direnungkannya.
Ada yang khas pada filsafat manusia, dan tidak terdapat pada ilmu – ilmu
tentang manusia. Kalau ilmu adalah netral dan bebas nilai serta berkenaan
dengan Das Sein (kenyataan sebagaimana adanya). Nilai darimanapun asalnya,
dan apapun bentuknya, diupayakan untuk tidak dilibatkan dalam kegiatan
keilmuan. Nilai dipandang sebagai suatu yang “subjektif” dan “tidak bisa diukur”
sehingga keberadaanya bisa dianggap tidak bisa dipertanggungjawabkan secara
ilmiah.
Sebaliknya, di dalam Filsafat Manusia, bukan hanya Das Sein yang
dipertimbangkan, tapi juga Das Sollen (kenyataan yang seharusnya). Ini berarti
bahwa nilai, yang selain dipandang subjektif tetapi juga ideal, mewarnai kegiatan
filsafat manusia. Nilai – nilai apakah itu personal, sosial, moral, religius ataupun
kemanusiaan, bukan barang haram atau terlarang di dalam Filsafat Manusia. Itulah
sebabnya kita tidak perlu heran kalau Karl Marx menganjurkan kepada para filsuf
bahwa tugas mereka sekarang bukan lagi menerangkan dunia (Das Sein), tetapi
mengubah dunia (Das Sollen). Kita pun tidak perlu heran kalau Nietzsche
mengajak kita untuk mendobrak kebudayaan yang lembek, mapan, bodoh dan
cepat puas diri (yang menurut penilaiannya berasal dari “moral budak”) dan
menggantinya dengan kebudayaan yang adikuasa, megah, kompetitif, perkasa,
hebat, dan berani (yang berasal dari “Moral Tuhan”)9.
8 Zainal Abidin, Opict, Hal : 9
9 Ibid, Hal 9 – 10.
8
C. Persamaan Dan Perbedaan Ilmu Tentang Manusia Dengan Filsafat Manusia
ILMU
NO
TENTANG
FILSAFAT
PERSAMAAN
PERBEDAAN
MANUSIA
MANUSIA
OBJEK
KAJIAN SAMA
1.
PSIKOLOGI
SAMA
MENELAAH
TENTANG
MANUSIA
OBJEK
KAJIAN SAMA
2.
SOSIOLOGI
SAMA
MENELAAH
TENTANG
MANUSIA
OBJEK
KAJIAN SAMA
3. ANTROPOLOG
I
SAMA
MENELAAH
TENTANG
MANUSIA
lebih
Mempelajari manusia
menekankan
baik dari sifat luar
kepada aspek
manusia
psikis dan
dan
fisiologis
dalam
manusia sebagai
(bathin/rohani)
juga dari sifat
manusia
suatu organisme10.
Mempelajari manusia
mempelajari
dari sifat luar manusia
aspek-aspek
(perilaku) dan
yang
berhubungan
dengan manusia
dan lingkungan
sosialnya11
budaya
masyarakat
suatu
dengan lingkungannya
serta dari sifat dalam
manusia
Mempelajari manusia
mempelajari
tentang
hubungan manusia
(bathin/rohani)
etnis
tertentu12
10 Ibid, Hal 5 – 6.
11 http://id.wikipedia.org/wiki/Ilmu_sosial diakses pada tanggal 16 Maret 2014, Pukul 18.07
12 http://id.wikipedia.org/wiki/Antropologi, diakses pada tanggal 16 Maret 2014, Pukul 18.02
9
(perilaku)
baik dari sifat luar
manusia (budaya) dan
juga dari sifat dalam
manusia
(bathin/rohani)
OBJEK
4.
GEOGRAFI
Lebih menelaah
Mempelajari manusia
dan
baik dari sifat luar
memfokuskan
manusia (bagaimana
KAJIAN SAMA manusia pada
manusia hidup dalam
SAMA
aspek letak
sebuah letak
MENELAAH
geografisnya atau
geografis) dan juga
TENTANG
aspek dimana
dari sifat dalam
MANUSIA
manusia itu akan
manusia
melangsungkan
(bathin/rohani)
kehidupannya13
13 http://id.wikipedia.org/wiki/Geografi, diakses pada tanggal 16 Maret 2014, Pukul 18.05
10
PENUTUP
KESIMPULAN
Dalam makalah tentang Filsafat Manusia dan Ilmu – Ilmu yang mempelajari
tentang manusia ini, pemakalah dapat menyimpulkan bahwa perbedaan yang
mencolok antara Filsafat Manusia dengan Ilmu yang mempelajari tentang manusia
ini terdapat pada meotode pengajaran yang digunakan dari masing – masing ilmu.
Dimana dalam Filsafat Manusia, menelaah manusia secara empiris dan nom empiris,
dalam artian kata, manusia dalam filsafat manusia tidak hanya di telaah dari luarnya
saja (fisik) tetapi juga unsur dalam yang dimiliki dari manusia itu sendiri (batin).
Contohnya, bagaimana hakekat dari manusia, dan bagaimana manusia berhubungan
dengan spiritualitasnya, dibahas lebih mendalam dalam Filsafat Manusia, sedangkan
ilmu lain hanya membahas dan menelaah manusia tampak dari luarnya saja.
Contohnya Ilmu Psikologi yang membahas manusia bedasarkan gejala fisik dan psikis
yang terdapat pada diri manusia itu sendiri, dan Ilmu Sosial yang membahas tentang
manusia dan lingkungan sosialnya saja serta Ilmu Antropologi yang membahas
manusia dengan kebudayaannya.
11
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abidin Zainal, Filsafat Manusia : Memahami
PT.Remaja Rosdakarya), 2009.
Manusia Melalui Filsafat, (Bandung,
Ahmad Asmoro, Filsafat Umum, (Jakarta, Raja Grafindo Persada), 2005.
Salam Drs. Burhanuddin, Filsafat Manusia, (Jakarta, Antropologi Metafisika), 1988.
Carrel Alexis, Misteri Manusia, (Bandung, CV. Remadja Karya), 1987.
http://artikata.com/arti-96791-integral.html diakses pada tanggal 13 Maret 2014, Pukul 21.10
Wib.
http://id.wikipedia.org/wiki/Interpretasi diakses pada tanggal 13 Maret 2014, Pukul 21.13
Wib.
http://id.wikipedia.org/wiki/Ilmu_sosial diakses pada tanggal 16 Maret 2014, Pukul 18.07
http://id.wikipedia.org/wiki/Antropologi, diakses pada tanggal 16 Maret 2014, Pukul 18.02
http://id.wikipedia.org/wiki/Geografi, diakses pada tanggal 16 Maret 2014, Pukul 18.05
12