Kementerian baru Lingkungan Hidup dan K

Bahan Opini Warta Tenure Edisi ke-13
Oding Affandi, S.Hut., M.P (Dosen Fahutan Universitas Sumatera
Utara, Medan)
“Kementerian ‘baru’ Lingkungan Hidup dan Kehutanan: Harapan
atas Permasalahan Tenurial di Indonesia?”.
Permasalahan tenurial secara umum disebabkan karena adanya
ketidakpastian penguasaan lahan (tenure security) serta benturan atas
konsep kepemilikan lahan (tenure right) antara yang bersifat de jure1 dan de
facto2. Kondisi de facto ini penting untuk diketahui karena kehidupan seharihari suatu masyarakat berlangsung dalam kondisi de facto ini, yang jika
diabaikan oleh negara maupun oleh mereka yang memegang hak de jure,
dapat memunculkan konflik. Namun demikian jika kita lihat lebih jauh,
sesungguhnya akar permasalahan tenure tersebut berasal dari ekses sistem
kapitalisme yang melegalkan kebebasan kepemilikan. Dalam sistem ini
berlaku prinsip survival of the fittest atau the might is right (siapa yang kuat,
dia yang bertahan dan siapa yang kuat dialah yang benar). Pada akhirnya
bangunan sosial masyarakat seperti tradisi, norma, kearifan lokal ,
pengetahuan lokal, dipaksa berhadapan dengan budaya kapitalisme “hutan”,
“kebun”, maupun “tambang” yang didukung oleh struktur negara
(penguasa) yang pro pengusaha konglomerat. Dan tidak jarang, agar terlihat
elegan dan konstitusional, tidak segan-segan mereka membuat peraturan
(de jure), seperti terkait izin usaha pemanfaatan hasil hutan, kebun, maupun

tambang, yang melegalkan tujuan mereka.
Dengan adanya Perpres No. 16/2015, Pemerintah melebur Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK). Di dalam struktur kelembagaan Kementerian yang baru ini, isu
tenurial di kawasan hutan menjadi salah satu arus utama. Hal ini secara tersurat
tertuang dalam Perpres ini, dimana dalam Pasal 30 dan 31 menguraikan bahwa
KLHK melalui Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan
mempunyai tupoksi terkait “penyelenggaraan penanganan konflik
pengelolaan hutan, pemolaan kawasan perhutanan sosial, peningkatan
kapasitas masyarakat dalam pengelolaan hutan, penanganan tenurial dan
hutan adat, serta komunikasi publik dan peran serta masyarakat dalam
perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup”. Selain itu, Pemerintah melalui Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan pada bulan yang sama juga membentuk Tim Penanganan Pengaduan
Kasus-Kasus Lingkungan Hidup dan Kehutanan (TP2KLHK). Tim yang melibatkan
organisasi masyarakat sipil ini bertugas untuk menampung dan menganalisis kasuskasus lingkungan hidup dan kehutanan yang disampaikan oleh masyarakat dan
menyiapkan langkah-langkah penanganannya.
1 Istilah de jure digunakan untuk menunjukkan kepemilikan formal yang berdasarkan hukum
atau peraturan yang dianggap sah oleh negara atau pemerintah yang berkuasa.
2Istilah de facto mengacu pada cara-cara kepemilikan, penguasaan, atau pemanfaatan yang

dipercayai, digunakan, dikenal dan berlaku, berdasarkan hukum atau aturan yang telah
dipraktekkan oleh masyarakat selama ini (Contoh kepemilikan lahan berdasarkan praktekpraktek adat setempat).

Dengan adanya Perpres No. 16/2015 tersebut kita berharap
pemerintahan Jokowi, melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(LHK) dan lembaga/kementerian terkait, segera merealisasikan program
kerjanya sebagaimana tertuang dalam Nawacita yang terkait dengan bidang
LHK, dan khususnya yang terkait tenurial, sehingga permasalahan tenurial
bisa segera terselesaikan. Peluang itu sangat besar karena setidaknya
terdapat 2 Nawacita yang terkait dengan tenurial yaitu: pertama,
membangun Indonesia dari pinggiran. Penetapan wilayah adat merupakan
mandat konstitusi yang telah tertuang dalam putusan Mahkamah Konstitusi
No. 35/PUU-X/ 2012 menyangkut hutan adat. Demikian juga penetapan
wilayah kelola rakyat lainnya seperti HKm, HD, HTR, dan HR harus betulbetul menjadi komitmen politik pemerintah Jokowi melalui Nawacita yang
menghendaki membangun sendi perekonomian nasional dari pinggiran.
Kedua, memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem
dan penegakan hukum. Terkait dengan point pertama, pemeritah baik pusat
maupun daerah harus segera merealisaikan kepastian hukum hak
kepemilikan atas tanah. Target pemerintah untuk mewujudkan pengelolaan
12,7 juta hektar kepada masyarakat adat dan komunitas lokal sangat

penting untuk penghormatan dan perlidungan hak, dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Pemerintah Daerah memegang peran sangat
penting dalam hal ini untuk menginisiasi dan membentuk peraturan daerah,
mengorganisir dan memberikan pembinaan kepada masyarakat adat dan
komunitas lokal dalam pengelolaan sumberdaya hutan secara berkelanjutan,
disertai dengan program kerja dan pendanaan yang memadai. Implementasi
program ini harus terintegrasi dengan sistem pendaftaran tanah di BPN.
Agar target itu tercapai, pemerintah harus segera membuat regulasi
(beserta operasionalnya) serta membuat roadmap tentang distribusi 12,7
juta hektar wilayah kelola rakyat tersebut. Salah satu cara yang bisa
ditempuh adalah pemerintah membuat regulasi terkait dengan “kepemilikan
lahan dan kewajiban adanya pengelolaan atas lahan yang dimilikinya”.
Mengacu pada Al Maliki (2009)3 disebutkan bahwa dalam kontek solusi
masalah lahan sangat terkait dengan produksi, kontinuitas produksi, dan
peningkatan produsi. Dengan kata lain kepemilikan lahan itu juga
disyaratkan adanya pengelolaan seperti membuat batas, menanaminya
(kegiatan pertanian, perkebunan, kehutananan), membersihkan lahannya,
membangun bangunan di atasnya seperti rumah, kantor, peternakan, dan
lain-lain. Oleh karena itu dalam regulasinya pemerintah harus menekankan
kepada empat hal yaitu: Pertama, kebijakan menghidupkan tanah mati

(tanah terlantar atau tidak produktif). Pemerintah mengizinkan siapa saja
yang memiliki kemampuan untuk menghidupkan tanah yang tidak produktif
dengan cara mengelola/menggarapnya, yakni dengan menanaminya. Setiap
tanah yang mati, jika dihidupkan/digarap oleh orang, adalah milik orang
yang bersangkutan. Ketentuan ini didasarkan pada sabda Nabi saw. berikut:
“Siapa saja yang menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu
3 Abdurrahman Al Maliki. 2009. Politik Ekonomi Islam. Al Azhar Press. Bogor

menjadi miliknya (HR al-Bukhari). Kedua, kebijakan membatasi masa
berlaku legalitas kepemilikan tanah (tanah produktif) yang ditelantarkan oleh
pemiliknya selama 3 (tiga) tahun. Artinya adanya kewajiban bagi pemilik
lahan untuk mengelola tanah mereka agar produktif. Bahwa kepemilikan
identik dengan produktivitas dan prinsipnya, memiliki berarti berproduksi
(man yamliku yuntiju). Maka dari itu, tidak membenarkan orang yang
memiliki lahan tetapi lahannya tidak produktif. Dalam politik ekonomi Islam
ditetapkan bahwa “siapa saja yang menelantarkan (tidak ada kegiatan
pengelolaan) lahan miliknya selama 3 (tiga) tahun berturut-turut, maka hak
kepemilikannya gugur dan negara berhak mengalihkan kepemilikannya
kepada orang lain yang sanggup mengelolanya”. Pada suatu saat Khalifah
Umar bin al-Khaththab ra. berbicara di atas mimbar: “Siapa saja yang

menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya. Orang yang
memagari (baca memiliki) tanah tidak mempunyai hak lagi atas tanahnya
setelah (menelantarkannya) selama tiga tahun”. Ketiga, kebijakan Negara
memberikan tanah secara cuma-cuma kepada masyarakat. Hal ini
didasarkan pada apa yang dilakukan Rasulullah saw., sebagaimana yang
pernah Beliau lakukan ketika berada di Madinah. Hal yang sama juga pernah
dilakukan oleh Khulafaur Rasyidin sepeninggal Beliau. Adapun pemberian
tanah secara cuma-cuma oleh negara terkait dengan tanah yang pernah
dimikili/dikelola oleh seseorang sebelumnya yang—karena alasan-alasan
tertentu; seperti penelantaran oleh pemiliknya—diambilalih oleh negara, lalu
diberikan kepada siapa saja yang membutuhkannya. Keempat, kebijakan
subsidi Negara. Setiap orang yang telah memiliki/menguasai tanah
diwajibkan oleh negara untuk mengelola/menggarap tanahnya, tidak boleh
membiarkannya. Jika mereka tidak punya modal untuk
mengelola/menggarapnya, maka negara akan memberikan subsidi kepada
mereka. Kebijakan ini pernah ditempuh oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab
ra. Beliau pernah memberikan dana dari Kas Negara secara cuma-cuma
kepada petani Irak, yang memungkinkan mereka bisa menggarap tanah
pertanian serta memenuhi kebutuhan dasar mereka.
((000))