Pendidikan Untuk Individu dan Masyarakat (1)

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pendidikan, Individu dan Masyarakat
1. Pendidikan
Istilah pendidikan menurut Sudirman yang dikutip oleh Ramayulis dan
Samsul Nizar berasal dari kata “didik” dengan memberinya awalan “pe” dan
akhiran “an” yang mengandung arti “perbuatan” (hal, cara dan sebagainya).1
Dalam perkembangannya, istilah pendidikan menurut Langeveld adalah
mempengaruhi anak dalam usaha membimbingnya supaya menjadi dewasa. 2
Dalam perkembangan selanjutnya, pendidikan berarti usaha yang dijalankan
oleh seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi seseorang atau
sekelompok orang agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup dan
penghidupan yang lebih tinggi (mental).3 Dengan demikian pendidikan berarti
segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk
memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan. Dalam
konteks ini, orang dewasa yang dimaksud bukan berarti pada kedewasaan
fisik belaka, akan tetapi bisa pula dipahami apabila pada kedewasaan psikis.
Menurut Freeman Butt, dalam bukunya yang terkenal Cultural History of
Western Education,4 bahwa:
a. Pendidikan adalah kegiatan menerima dan memberikan pengetahuan

sehingga kebudayaan dapat diteruskan dari generasi ke generasi.
b. Pendidikan adalah suatu proses. Melalui proses ini, individu diajarkan
kesetiaan dan kesediaan untuk mengikuti aturan. Melalui cara ini, pikiran
manusia dilatih dan dikembangkan.

1
Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan
Pemikiran Para Tokohnya, Jakarta: Kalam Mulia, 2009, hlm. 83.
2
Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, Cet. II, Jakarta: Rineka Cipta, 2003, hlm.
69.
3
Ramayulis dan Samsul Nizar, Loc. Cit.
4
Jalaluddin dan H. Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan Pendidikan,
Ed. Revisi, Cet. 3, Jakarta: Rajawali Pers, 2013, hlm. 158.

3

4


c. Pendidikan adalah suatu proses pertumbuhan. Dalam proses ini, individu
dibantu pengembangan bakat, kekuatan, kesanggupan, dan minatnya.
Dari pandangan filsuf tentang pendidikan diatas, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa pendidikan itu menentukan cara hidup seseorang, karena
terjadinya modifikasi dalam pandangan hidup seseorang yang disebabkan
oleh terjadinya pengaruh interaksi antara kecerdasan, perhatian dan
pengalaman, dan sebaginya yang dinyatakan dalam perilaku, kebiasaan,
paham sosial atau susila.
2. Individu
Dalam konsep sosiologis, individu menunjuk pada subjek yang
melakukan sesuatu, memiliki pikiran, mempunyai kehendak, memiliki
kebebasan, memberi arti pada sesuatu, mampu menilai tindakan dan hasil
tindakannya.5 Intinya, individu adalah subjek yang bertindak (actor).
Jika ada konsep subjek, pasti diiringi pula konsep objek. Pengertian
subjek dalam pengertian ini menunjuk pada semua keadaan yang
berhubungan dengan dunia internal manusia, sedangkan objek menunjuk pada
dunia eksternal manusia atau di luar individu. 6 Bagi yang mempergunakan
pernyataan objektif dapat memberikan contoh, misalnya seseorang dibesarkan
dengan peraturan-peraturan, tetapi setelah ia meninggal, peraturan itu masih

tetap ada. Adapun yang mempergunakan pernyataan subjektif bahwa boleh
ada macam-macam peraturan, tetapi kalau individu tidak memberikan arti,
lalu peraturan dan kebiasaan itu tidak berarti sama sekali. Kedua argumen ini
sama benarnya, tetapi kemudian ada argumen ketiga, yaitu bahwa kedua
kenyataan ini saling berhubungan.
Menurut Muntasir yang dikutip oleh Jalaluddin, manusia adalah pribadi
atau individu yang berkeluarga, selalu bersilaturahmi dan pengabdi Tuhan.
5
Janu Murdiyatmoko, Sosiologi: Memahami dan Mengkaji Masyarakat untuk SMA/MA
Kelas X, Beti Dwi Septiningsih (Editor) , Jil. 1, Ed. 1, Cet. 1, Bandung: Grafindo Media Pratama,
2007, hlm. 20.
6
Ibid.

5

Manusia juga pemelihara alam sekitar, wakil Allah swt. diatas muka bumi
ini.7 Manusia juga diciptakan memiliki akal dan indra agar dipergunakan
untuk memahami mana kebenaran yang sesungguhnya dan mana kebenaran
yang dibenarkan, atau dianggap benar.8

Menurut Muhaimin, eksistensi manusia yang padat itulah yang perlu (dan
seharusnya) dimengerti dan dipikirkan. Karena pada dasarnya manusia adalah
makhluk religius, yang dengan pernyataan itu mewajibkan manusia
memperlakukan agama sebagai suatu kebenaran yang harus dipatuhi dan
diyakini.9 Untuk itu, sangat penting membangun manusia yang sanggup
melakukan pembangunan duniawi, yang mempunyai arti bagi hidup pribadi
di akhirat kelak. Dengan kata lain, usaha pembinaan manusia ideal tersebut
merupakan program utama dalam pendidikan modern pada masa-masa
sekarang ini.
3. Masyarakat
Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah sekelompok orang
yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana
sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam
kelompok tersebut. Kata “masyarakat” sendiri berakar dari kata dalam bahasa
Arab, yaitu musyarak. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu
jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas. Yakni ia adalah sebuah
komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya,
istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup
bersama dalam satu komunitas yang teratur. Kemudian menurut Syaikh
Taqyuddin An-Nabhani, sekelompok manusia dapat dikatakan sebagai sebuah

masyarakat apabila memiliki pemikiran, perasaan, serta sistem/aturan yang
sama. Dengan kesamaan-kesamaan tersebut, manusia kemudian berinteraksi
sesama mereka berdasarkan kemaslahatan.

7
8
9

Jalaluddin dan H. Abdullah Idi, Op. Cit., hlm. 131-132.
Ibid.
Ibid.

6

B. Pendidikan untuk Individu dan Masyarakat
1. Sistem Nilai Dalam Kehidupan Manusia
Sistem merupakan suatu himpunan gagasan atau prinsip-prinsip yang
saling bertautan, yang bergabung menjadi satu keseluruhan. Terkait dengan
itu, nilai yang merupakan suatu norma tertentu mengatur ketertiban
kehidupan sosial. Karena manusia sebagai makhluk budaya dan makhluk

sosial, selalu membutukan bantuan orang lain dalam memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Maka, manusia dalam proses interaksinya harus berpedoman pada
nilai-nilai kehidupan sosial yang terbina dengan baik dan selaras.
Manusia merupakan subjek pendidikan dan sebagai objek pendidikan,
karena itu manusia memiliki sikap untuk dididik dan siap untuk mendidik.
Namun demikian, berhasil atau tidaknya usaha tersebut banyak tergantung
pada jelas tidaknya tujuan. Karena itu, pendidikan di Indonesia mempunyai
tujuan pendidikan yang berlandaskan pada filsafat hidup bangsa Indonesia,
yaitu Pancasila, yang menjadi pokok dalam pendidikan, melalui usaha-usaha
pendidikan, dalam keluarga, masyarakat, sekolah, dan perguruan tinggi.10
Telah disebutkan bahwa manusia merupakan makhluk sosial dan juga
makhluk budaya. Sebagai makhluk sosial, tentunya manusia selalu hidup
bersama dalam interaksi dan interdependensi dengan sesamanya. Oleh karena
itu, manusia tidaklah mungkin dapat memenuhi kebutuhannya tanpa adanya
bantuan orang lain. Karena pada dasarnya manusia akan membutuhkan
sesuatu dari orang lain, baik itu berupa jasmaniah (segi-segi ekonomis)
maupun rohaniah (spiritual). Menurut Ahmadi yang dikutip oleh Jalaluddin,
dalam rangka mengembangkan sifat sosialnya tersebut, manusia selalu
menghadapi masalah-masalah sosial yang berkaitan dekat dengan nilai-nilai.11
Nilai-nilai itu merupakan faktor internal dengan hubungan antarsosial

tersebut, sebagaimana dikatakan Celcius, ubi societas, ibiius, di mana ada
suatu masyarakat, di sana pasti ada hukum. Dengan kata lain, menurut
Muhammad Noor Syam yang dikutip oleh Jalaluddin bahwa nilai itu timbul
10
11

Ibid, hlm. 134.
Ibid, hlm. 135.

7

dengan sendirinya, tetapi ada faktor-faktor lain dari masyarakat saat nilai itu
timbul.12
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa nilai akan selalu
muncul apabila manusia mengadakan hubungan sosial atau bermasyarakat
dengan manusia lain.
2. Pengertian Nilai
Secara umum, cakupan pengertian nilai itu tak terbatas. Maksudnya,
segala sesuatu yang ada dalam alam raya ini bernilai, uyang dalam filsafat
pendidikan dikenal dengan istilah aksiologi. Dalam Ensiklopedia Britanica

yang dikutip oleh Jalaluddin, disebutkan bahwa nilai itu merupakan suatu
penerapan atau suatu kualitas suatu objek yang menyangkut suatu jenis
apreasiasi. Pitagoras menyebutkan bahwa nilai bersifat relative tergantung
pada waktu. Sedangkan menurut idealism, nilai itu bersifat normative dan
objektif serta berlaku umum saat mempunyai hubungan dengan kualitas baik
dan buruk.13
Dari beberapa pendapat diatas, dapat diambil suatu pengertian bahwa
nilai itu merupakan hasil dari kreativitas manusia dalam rangka melakukan
kegiatan sosial, baik itu berupa cinta, simpati, dan lain-lain.14 Sebagaimana
pengertian ini maka nilai merupakan sesuatu yang ada hubungannya dengan
subjek manusia. sesuatu yang dianggap bernilai jika pribadi itu merasa
sesuatu itu bernilai. Dengan demikian, terlepas dari perbedaan nilai baik
objektif maupun subjektif, tujuan adanya nilai ialah untuk menuju kebaikan
dan keluhuran manusia.
3. Bentuk dan Tingkat-Tingkat Nilai
Menurut Burbecher, nilai itu dibedakan dalam dua bagian, yaitu nilai
instrinsik dan nilai instrumental. Nilai instrumental adalah nilai yang
dianggap baik karena bernilai untuk yang lain. Selanjutnya, nilai instrinsik
12
13

14

Ibid.
Ibid.
Ibid, hlm, 137.

8

adalah yang dianggap baik, tidak untuk sesuatu yang lain, melainkan di dalam
dirinya sendiri.
Sementara menurut aliran realisme, kualitas nilai tidak dapat ditentukan
secara konseptual terlebih dahulu, melainkan tergantung dari apa atau
bagaimana keadaannya bila dihayati oleh subjek tertentu dan bagaimana sikap
subjek tersebut. Namun, ada juga yang membedakan bentuk nilai itu
berdasarkan pada bidang apa itu efektif dan berfungsi seperti nilai moral, nilai
ekonomi, dan sebagainya.
Adapun tingkat perkembangan nilai, menurut Auguste Comte, itu terbagi
menjadi tiga, yaitu tingkat teologis, tingkat metafisik, dan tingkat positif.
Tingkat teologis adalah tingkat pertama, selanjutnya tingkat metafisik dan
sebagai tingkat yang paling atas adalah apabila manusia telah menguasai

pengetahuan eksakta yang berarti manusia itu telah mencapai tingkat positif.
Pada umumnya masyarakat menganut pendapat bahwa hierarki tingkattingkat kebenaran, sebab kebenaran ialah nilai itu sendiri.
4. Nilai-nilai Pendidikan dan Tujuan Pendidikan
Menurut Jalaluddin dan Abdullah Idi dengan mengutip pendapat
Muhammad Noor Syam, pendidikan secara praktis tak dapat dipisahkan
dengan nilai-nilai, terutama yang meliputi kualitas kecerdasan, nilai ilmiah,
nilai moral, dan nilai agama yang kesemuanya tersimpul dalam tujuan
pendidikan, yakni membina kepribadian ideal.15
Tujuan pendidikan, baik itu pada isinya ataupun rumusannya, tidak akan
mungkin dapat kita tetapkan tanpa pengertian dan pengetahuan yang tepat
tentang nilai-nilai. Membahas tentang nilai-nilai pendidikan, tentu akan lebih
jelas kalau dilihat melalui rumusan dan uraian tentang tujuan pendidikan yang
tersimpul dalam nilai-nilai pendidikan yang hendak diwujudkan di dalam
pribadi individu.

15

Ibid, hlm. 138.

9


Menurut Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir dalam merumuskan
komponen tujuan pendidikan secara teoritis,16 yaitu:
1. Tujuan normatif. Tujuan yang ingin dicapai berdasarkan norma-norma
yang mampu mengkristalkan nilai-nilai yang hendak diinternalisasikan,
misalnya: (a) tujuan formatif, bersifat memberi persiapan dasar; (b) tujuan
selektif, bersifat memberikan kemampuan untuk membedakan hal-hal
yang benar dan yang salah; (c) tujuan determinatif, bersifat memberi
kemampuan untuk mengarahkan diri pada sasaran-sasaran yang sejajar
dengan proses kependidikan; (d) tujuan integratif, bersifat memberi
kemampuan untuk memadukan fungsi psikis (pikiran, perasaan, kemauan,
ingatan, dan nafsu) ke arah tujuan akhir: (e) tujuan aplikatif, bersifat
memberikan kemampuan penerapan segala pengetahuan yang telah
diperoleh dalam pengalaman pendidikan.
2. Tujuan fungsional. Tujuan yang sasarannya diarahkan pada kemampuan
individu untuk memfungsikan daya kognisi, afeksi, dan psikomotorik dari
hasil pendidikan yang diperoleh, sesuai yang ditetapkan yang meliputi: (a)
tujuan individual, yang sasarannya pada pemberian kemampuan
individual untuk mengamalkan nilai-nilai yang telah diinternalisasikan ke
dalam pribadi berupa moral intelektual dan skill; (b) tujuan sosial, yang
sasarannya pada pemberian kemampuan pengamalan nilai-nilai ke dalam
kehidupan sosial, interpersonal, dan interaksional dengan orang lain
dalam masyarakat; (c) tujuan moral, yang sasarannya pada pemberian
kemampuan untuk berperilaku sesuai dengan tuntutan moral atas
dorongan motivasi yang bersumber pada agama (teogenetis), dorongan
sosial (sosiogenetis), dorongan psikologis (psikogenetis), dan dorongan
biologis (biogenetis); (d) tujuan profesional, yang sasarannya pada
pemberian kemampuan untuk mengamalkan keahliannya, sesuai dengan
kompetensi yang dimiliki.

16
Abdul Mujib dan Ahmad Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, Ed. 1, Cet. 2, Jakarta:
Kencana, 2008, hlm. 75-77.

10

3. Tujuan operasional. Tujuan yang mempunyai sasaran teknis manejerial.
Menurut Langeveld terbagi menjadi enam macam, yaitu: (a) tujuan
umum, menurut Kohnstan dan Guning, tujuan ini mengupayakan bentuk
manusia kamil, yaitu manusia yang dapat menunjukkan keselarasan dan
keharmonisan antara jasmani dan rohani, baik dalam segi kejiwaan,
kehidupan individu, maupun untuk kehidupan bersama yang menjadikan
integritas ketiga inti hakikat manusia; (b) tujuan khusus. Tujuan ini
sebagai indikasi tercapainya tujuan umum, yaitu tujuan pendidikan yang
disesuaikan dengan keadaan tertentu, baik berkaitan dengan cita-cita
pengembangan suatu bangsa, tugas dari suatu badan atau lembaga
pendidikan, bakat kemampuan peserta didik, seperti memberikan
pengetahuan dan keterampilan kepada peserta didik untuk bekal hidupnya
setelah ia tamat, dan sekaligus merupakan dasar persiapan untuk
melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya; (c) tujuan tak lengkap.
Tujuan ini berkaitan dengan kepribadian manusia dari suatu aspek saja,
yang berhubungan dengan nilai-nilai hidup tertentu, misalnya kesusilaan,
keagamaan, keindahan, kemasyarakatan, pengetahuan, dan sebagainya.
Setiap aspek ini mendapat giliran penanganan (prioritas) dalam usaha
pendidikan atau maju bersama-sama secara terpisah; (d) tujuan insidentil
(tujuan seketika). Tujuan ini timbul karena kebetulan, bersifat mendadak,
dan bersifat sesaat, misalnya mengadakan shalat jenazah ketika ada orang
yang meninggal; (e) tujuan sementara. Tujuan yang ingin dicapai pada
fase-fase tertentu dari tujuan umum, seperti fase anak yang tujuan
belajarnya adalah membaca dan menulis, fase manula yang tujuan
belajarnya adalah membekali diri untuk menghadap ilahi, dan sebagainya;
(f) tujuan intermedier. Tujuan yang berkaitan dengan penguasaan suatu
pengetahuan dan keterampilan demi tercapainya tujuan sementara,
misalnya anak belajar membaca menulis, berhitung, dan sebagainya.
Sementara menurut Jalaluddin dan Abdullah Idi, untuk menetapkan
tujuan pendidikan dasar, harus melalui beberapa pendekatan seperti: (1)

11

pendekatan melalui analisis historis lembaga-lembaga sosial; (2) pendekatan
melalusi analisis ilmiah tentang realita kehidupan aktual; (3) pendekatan
melalui nilai-nilai filsafat yang normatif (normative philosophy). Sedangkan
menurut Aristoteles, tujuan pendidikan hendaknya dirumuskan sesuai dengan
tujuan didirikannya suatu Negara.17 Dengan demikian, dapat diambil suatu
pengertian bahwa nilai pendidikan bisa dilihat dari tujuan pendidikan yang
ada.
Menurut Plato, memang keadaan masyarakat dapat diukur melalui
pendidikan. Karena itu, kebobrokan masyarakat tak akan diperbaiki dengan
cara apa pun kecuali dengan pendidikan. Tujuan pendidikan Indonesia
tercantum dalam Undang-Undang nomor 2 tahun 1989 Bab II Pasal 4 tentang
Sistem Pendidikan Nasional adalah bertujuan mencerdaskan kehidupan
bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia
yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi
pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan
rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan.
Dari uraian di atas, apa yang ditawarkan oleh beberapa ahli tersebut
kiranya dapat terlihat dari tujuan pendidikan terutama di Indonesia.
Selanjutnya mengenai fungsi dan tanggung jawab mendidik dalam
masyarakat merupakan kewajiban setiap warga masyarakat. Setiap warga
masyarakat sadar akan nilai dan peranan pendidikan bagi generasi muda,
khususnya anak-anak dalam lingkungan keluarga sendiri. Secara kodrati, apa
pun namanya, tiap orang tua merasa berkepentingan dan berharap supaya
anak-anaknya menjadi manusia yang mampu berdiri sendiri. Oleh karena itu,
kewajiban mendidik ini merupakan panggilan sebagai moral tiap manusia.
Yang jelas, kaum profesional ialah mereka yang telah menempuh
pendidikan relatif cukup lama dan mengalami latihan-latihan khusus. Oleh

17

Jalaluddin dan Abdullah Idi, Loc. Cit.

12

karena itulah, dalam pendidikan seorang guru harus mempunyai asas-asas
umum yang universal yang dapat dipandang sebagai prinsip umum,18 seperti:
a. Melaksanakan kewajiban dasar good will atau iktikad baik, dengan
kesadaran pengabdian.
b. Memperlakukan siapa pun, anak didik sebagai satu pribadi yang sama
dengan pribadinya sendiri.
c. Menghormati perasaan orang lain.
d. Selalu berusaha menyumbang ide-ide, konsepsi-konsepsi, dan karyakarya ilmiah demi kemajuan bidang kewajibannya.
e. Akan menerima haknya semata-mata sebagai satu kehormatan.

18

Ibid, hlm. 139-140.