Keunggulan dan Kelemahan Implemetasi MBS

1

Keunggulan dan Kelemahan Implemetasi MBS
Oleh: Herdayati, S.Pd dan Syahrial, S.Th.I
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi MBS dari sudut pandang
keunggulan dan kelemahannya. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif
dengan

melakukan

kajian

pustaka,

bahwa

kelas

akselerasi


dalam

pelaksanaannya sangat membantu bagi siswa yang mempunyai kemampuan,
kecerdasan istimewa perlu mendapatkan pelayanan khusus sesuai dengan
kecepatan belajarnya. Secara umum sejak tahun 1974 pemerintah sudah
mengupayakan pelayanan yang terbaik bagi siswa-siswa yang demikian, terbukti
dengan diterbitkannya undang-undang, pasal, permendiknas tentang pelayanan
tersebut. Tetapi kelas akselerasi disamping bermanfaat yang membantu siswa
berbakat, ada juga kelemahannya.
Kata Kunci: Implementasi MBS, Keunggulan dan Kelemahannya.
A. Pendahuluan
Tatanan kehidupan masyarakat yang tidak beraturan merupakan
dampak atau akibat dari lemahnya sistem perekonomian yang menjadikan
krisis yang berkepanjangan. Krisis itu terjadi dalam berbagai bidang karena
rendahnya kualitas, dan kemampuan masyarakatnya. Peningkatan kualitas
dalam

masyarakat

merupakan


syarat

mutlak

untuk

mencapai

tujuan

pembangunan.
Pendidikan merupakan suatu upaya sadar untuk menciptakan
manusia yang seutuhnya yang dapat berperan aktif dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Pendidikan berguna untuk membentuk pribadi
yang berkarakter tangguh, berbudi pekerti, mandiri, dan berpengetahuan yang
dilakukan secara terus-menerus dan berlangsung seumur hidup (long life
learner).
Pendidikan


juga

merupakan

suatu

cara

strategis

untuk

meningkatkan kualitas suatu bangsa, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa

2

kemajuan suatu bangsa dapat ditandai dan diukur dari kemajuan pendidikannya
(Moch. Idochi Anwar, 2004 : 40-41). Kemajuan beberapa negara didunia tidak
terlepas dari kemajuan yang dimulai dan dicapai dari pendidikannya.
Saat ini mutu pendidikan di Indonesia kurang memuaskan banyak

pihak, sehingga perlu adanya upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Pengembangan mutu pendidikan terletak pada efektifitas belajar-mengajar dan
sumber daya pendidik seperti guru yag bermutu, dana yang memadai, serta
fasilitas dan infrastruktur yang memadai pula.
Pada pertengahan tahun 1998 telah terjadi reformasi di negara
Indonesia,

yang

pada

dasarnya

bersifat

untuk

mengejar

kebebasan.


Demonstrasi-demonstrasi sering terjadi untuk menuntut hak dan keadilan.
Reformasi ini pun turut berdampak pada sistem pendidikan, yang didahului oleh
perubahan

Undang-Undang

Pendidikan

yang

menghendaki

paradigma

sentralistik bergeser menjadi paradigma desentralistik pada sistem pendidikan
(Zainuddin, 2008 : 60-62).
Pendidikan merupakan salah satu bidang yang disentralisasikan
yang berkaitan erat dengan filosofi otonomi daerah. Secara esensial filosofis
otonomi daerah adalah pemberdayaan dan kemandirian daerah menuju

kematangan dan kualitas masyarakat yang dicita-citakan. Melalui pendidikan
diharapkan pemberdayaan, kematangan dan kemandirian serta mutu bangsa
secara menyeluruh dapat terwujud. Upaya peningkatan kualitas pendidikan
dapat dilakukan dengan melakukan reformasi pendidikan, untuk memperbaiki
sistem pendidikan persekolahan agar dapat menjawab tantangan nasional,
regional, dan global yang berada dihadapan kita.
Salah satu pendekatan yang dipilah di era desentralisasi sebagai
alternatif peningkatan kualitas pendidikan persekolahan adalah pemberian
otonomi yang luas di tingkat sekolah serta partisipasi masyarakat yang tinggi
dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Pendekatan tersebut dikenal
dengan Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah (MPBS) atau School Basic
Management. MBS adalah salah satu bentuk restrukturisasi sekolah dengan
merubah sistem sekolah dalam melakukan kegiatannya. Untuk memberdayakan

3

peranan

sekolah


dan

masyarakat

dalam

mendukung

pengelolaan

dan

penyelenggaraan pendidikan di sekolah (Zainuddin, 2008 : 60-62).
MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) merupakan wujud perubahan
sistem (reformasi) pendidikan. Istilah reformasi sendiri dipersamakan dengan
revolusi dalam hal perubahan secara besar-besaran. Hal ini merupakan
perombakan dan sistem pembangunan pendidikan yang lebih didominasi oleh
pemerintah. Dimana pembangunan pendidikan oleh pemerintah memang harus
dirombak, karena terbukti kurang efektif, efisien dan produktif. Dengan demikian
dapat dinyatakan bahwa beberapa karakteristik reformasi dalam bidang tertentu,

yaitu adanya keadaan yang tidak memuaskan pada masa lalu, keinginan untuk
memperbaikinya.
Sehubungan dengan hal itu, keberhasilan implementasi MBS
(Manajemen Berbasis Sekolah) dalam desentralisasi pendidikan sedikitnya
dilihat dari tiga dimensi yaitu efektivitas, efisiensi, dan produktivitas. Ketiga
dimensi tersebut saling terkait dan saling mempengaruhi.
Efektivitas, efisiensi, dan produktivitas MBS (Manajemen Berbasis
Sekolah) dan selanjutnya akan ditulis MBS saja, harus sejak awal ditetapkan
agar dapat diketahui dampaknya sejak awal terhadap pencapaian pendidikan.
Dengan demikian, sejak awal dapat diketahui kelemahan-kelemahan atau
kekurangan-kekurangan

sementara

kelebihan

dan

kekuatannya


dapat

dipertahankan.
B. Pembahasan

1. Definisi Operasional Implementasi MBS
1.1 Secara Etimologi
Pengertian implementasi MBS, terdiri dari dua kata implementasi
dan MBS, secara terpisah kata implementasi dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Depdikbud, !990 : 327), diartikan sebagai pelaksanaan; penerapan.
Dua kata tersebut pelaksanaan dan penerapan mengandung arti, pelaksanaan
adalah proses, cara, perbuatan melaksanakan (rancangan, keputusan, dan
sebagainya). Sedangkan penerapan sebagai berikut : 1) proses, cara, perbuatan

4

menerapkan;

2)


pemasangan;

(3)

pemanfaatan;

perihal

mempraktikkan

(Depdikbud, 1990 : 488, 935).
Sama halnya dalam Kamus Indonesia Inggris, implementation
berarti implementasi (John M. Echols & Hassan Shadily, 2007 : 221), sementara
dalam Kamus Oxford, kata implementasi mengandung makna kata sifat
(adjectives), kata kerja (verb), dan kata benda (noun), sebagai berikut :
a. Adjectives : 1) effevtive, successful; 2) full; 3) large-scale, widespread; 4)
detailed; 5) smooth; 6) actual, practical; 7) early, immediate; 8) gradual; 9)
policy.
b. Verb : 1) achieve, ensure; 2) accelerate, expedite, facilitate, simplify; 3)
delay, hinder; 4) monitor, oversee, supervise; 5) consider, discuss.

c. Noun : 1) plan, strategy; 2) process; 3) phase; 4) problem (Colin
Mclntosh, 2012 : 417).
(terjemahan, a. Kata sifat : 1) efektif, sukses; 2) penuh; 3) skala besar, luas;
4) terperinci; 5) halus; 6) yang sebenarnya, praktis; 7) awal, segera; 8)
bertahap; 9) kebijakan. b. Kata kerja : 1) mencapai, memastikan; 2)
mempercepat, mempermudah, menyederhanakan; 3) delay, menghalangi; 4)
memantau, mengawasai, 5) mempertimbangkan, membahas. c. Kata benda :
1) rencana, strategi; 2) proses; 3) fase; 4 ) masalah.)
Sedangkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) secara leksikal
berasal dari tiga kata, yaitu manajemen, berbasis, dan sekolah. Manajemen
adalah proses menggunakan sumber daya secara efektif untuk mencapai
sasaran. Berbasis memiliki kata dasar basis yang berari dasar atau asas.
Sekolah adalah lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan
memberikan pelajaran Depdikbud, 1990 : 553, 83, 796).

1.2 Secara terminologi
Menurut para ahli yang mendefinisikan implementasi, Menurut
Nurdin Usman dalam bukunya yang berjudul Konteks Implementasi Berbasis
Kurikulum mengemukakan pendapatnya, yaitu “Implementasi adalah bermuara
pada aktivitas, aksi, tindakan, atau adanya mekanisme suatu sistem.

5

Implementasi bukan sekedar aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana dan
untuk mencapai tujuan kegiatan”(Nurdin Usman, 2002 : 70).
Pengertian

implementasi

yang

dikemukakan

di

atas,

dapat

dikatakan bahwa implementasi adalah bukan sekedar aktivitas, tetapi suatu
kegiatan yang terencana (sistematis) dan dilakukan secara sungguh-sungguh
berdasarkan acuan norma tertentu untuk mencapai tujuan kegiatan. Oleh karena
itu implementasi tidak berdiri sendiri tetapi dipengaruhi oleh objek berikutnya.
Menurut

Guntur

Setiawan

dalam

bukunya

yang

berjudul

Implementasi Dalam Birokrasi Pembangunan mengemukakan pendapatnya,
yaitu : “Implementasi adalah perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan
proses interaksi antara tujuan dan tindakan untuk mencapainya serta
memerlukan jaringan pelaksana, birokrasi yang efektif”(Guntur Setiawan, 2004 :
39).
Pengertian

implementasi

yang

dikemukakan

di

atas,

dapat

dikatakan bahwa implementasi yaitu merupakan proses untuk melaksanakan ide,
proses atau seperangkat aktivitas baru dengan harapan orang lain dapat
menerima dan melakukan penyesuaian dalam tubuh birokrasi demi terciptanya
suatu tujuan yang bisa tercapai dengan jaringan pelaksana yang bisa dipercaya.
Menurut

Hanifah

Harsono

dalam

bukunya

yang

berjudul

Implementasi Kebijakan dan Politik mengemukakan pendapatnya, yaitu :
“Implementasi adalah suatu proses untuk melaksanakan kebijakan menjadi
tindakan kebijakan dari politik ke dalam administrasi. Pengembangan kebijakan
dalam rangka penyempurnaan suatu program”(Hanifah Harsono, 2002 : 67).
Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah ( MBS) sangat terkait
dengan istilah manajemen, sedangkan pengertian manajemen menurut Kartono
sebagai penyelenggaraan usaha penyusunan dan pencapaian hasil yang
diinginkan, dengan mengggunakan upaya kelompok, terdiri atas penggunaan
bakat-bakat dan sumber daya manusia (Kartini Kartono,1994:148).
Dengan manajemen memungkinkan terjadinya usaha dan kegiatan
yang mengarah pada tujuan organisasi. Menurut pendapat Hasibuan merupakan
ilmu dan seni mengatur

proses pemanfaatan sumber daya manusia dan

6

sumber-sumber lainnya

secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan

tertentu (Malayu Hasibuan. 1995: 3).
Dengan manajemen yang baik maka tujuan yang akan dicapai
dapat diukur. Manajemen di perlukan untuk merumuskan tujuan organisasi,
menetapkan

apa

yang

harus

dilakukan

untuk

mencapai

tujuan

itu,

mengkomunikasikan kepada orang-orang yang akan mengerjakan pekerjaan
yang dikerjakan untuk mencapai tujuan dan menetapkan bagaimana mengukur
keberhasilan pencapaian tujuan tersebut. Jadi dapat dilihat bahwa manajemen
itu diperlukan untuk pencapaian tujuan tertentu secara efektif dan efisien.
Dari pengertian manajemen tersebut diatas, maka bila dihubungkan
dengan Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) hal ini sangat
berdekatan, karena antara pengelolaan sebuah sekolah sudah barang tentu
menyangkut segala perencanaan dan pelaksanaan sekolah.
Beberapa ahli memberi batasan tentang pengertian MBS sesuai
dengan sudut pandangan masing-masing sehingga telah terjadi perbedaan,
namun intinya terdapat kesamaan. Pendapat

E. Mulyasa (2004 : 24) MBS

merupakan salah satu wujud dari reformasi pendidikan yang menawarkan
kepada sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan memadai
bagi para peserta didik. Hal ini mengisaratkan, bahwa otonomi dalam
manajemen merupakan potensi bagi sekolah untuk meningkatkan kinerja para
staff, menawarkan partisipasi langsung kelompok-kelompok yang terkait, dan
meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pendidikan.
Pendapat Nanang Fatah (2003 : 8), MBS merupakan pendekatan
politik yang bertujuan untuk mendesain ulang pengelolaan sekolah dengan
memberikan kekuasaan kepada kepala sekolah dan meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah yang mencakup guru, siswa,
komite sekolah, orang tua siswa dan masyarakat.
Lebih jauh Bedjo sudjanto (2004 : 25), menitik-beratkan dari sudut
pandang keterkaitan kebijakan MBS dengan unsur masyarakat; MBS merupakan
model manajemen pendidikan yang memberikan otonomi lebih besar kepada
sekolah. Disamping itu, MBS juga mendorong pengambilan keputusan partisipatif

7

yang melibatkan langsung semua warga sekolah yang dilayani dengan tetap
selaras pada kebijakan nasional pendidikan.
Manajemen berbasis sekolah merupakan istilah yang berasal dari
tiga kata yaitu : manajemen, berbasis, dan sekolah. Masing-masing mepunyai
arti pertama, manajemen adalah “pengkoordinasian dan penyerasian sumber
daya melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan atau untuk
memenuhi kebutuhan pelanggan, kedua, berbasis adalah berdasarkan pada atau
berfokus pada, ketiga, sekolah adalah suatu organisasi terbawah dalam jajaran
Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas)

yang bertugas memberikan

‘bekal kemampuan dasar’ kepada peserta didik atas dasar ketentuan-ketentuan
yang bersifat legalistik (makro, meso, mikro) dan profesionalistik (Slamet PH,
2000 : 609).
MBS adalah “pengkoordinasian dan penyerasian sumber daya yang
dilakukan secara otomatis (mandiri) oleh sekolah melalui sejumlah input
manajemen untuk mencapai tujuan sekolah dalam kerangka pendidikan
nasional, dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan
sekolah

secara

langsung

dalam

proses

pengambilan

keputusan”

(Taufiqurrahman, 2002 : 14).
2. Ruang Lingkup Implementasi MBS
Secara yuridis ketetapan lahirnya MBS di Indonesia bergulir sejak
era reformasi. Hal ini telah ditetapkan dalam peraturan perundangan tentang UU
Otonomi Daerah, UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah, dan UU
No. 25 tentang perimbangan kekuatan keuangan antara Pusat dan Daerah (kini
disempurnakan menjadi UU No. 32 tahun 2004 dan UU No. 33 tahun 2004),
yang telah mengubah segala peraturan dari yang bersifat sentralistik (top down)
menjadi desentralisasi. Pemerintah pusat telah memberikan kewenangan bagi
masing-masing daerah untuk mengatur atau mengurus segalah urusan rumah
tangga daerahnya masing-masing termasuk dalm hal pendidikan (Hasbullah,
2007 : 66).
Secara historis, MBS telah diterapkan lebih dahulu di negara-negara
maju pada tahun 1960-1970an. Dalam prosesnya ada beberapa hal yang

8

melatar belakangi penetapan manajemen berbasis sekolah sebagai bagaian dari
revolusi pendidikan, di antaranya:
a. Penerapan manajemen berbasis sekolah merupakan adopsi dari semakin
majunya manajemen moderen dalam bidang industri dan organisasi
konvensional (Nurkholis, 2006 : 16-19). Secara praksis manajemen
dalam bidang industri memang sesuai untuk diterapkan dalam dunia
pendidikan. Di mana manajemen ini menuntut pihak pengelola dan stake
holder, serta masyarakat untuk saling berperan aktif.
b. Gerakan reformasi sekolah efektif, sekolah mandiri, pengembangan
kurikulum berbasis sekolah, pengembangan staff sekolah dan lain-lain.
c. Masyarakat

mulai

mempertanyakan

relevansi

dan

korelasi

hasil

pendidikan dengan kebutuhan masyarakat, ini seperti yang terjadi di
Amerika.
d. Adanya ketimpangan kekuasaan dan kewenangan yang terlalu terpusat
pada atasan dan cenderung mengesampingkan bawahan.
e. Kinerja pendidikan yang cenderung menurun.
f.

Kesadaran

birokrat

dan

desakan

pecinta

pendidikan

uintuk

merestrukturisasi pengelola pendidikan.
g. Sentralisasi pendidikan yang otoriter.
Berikut ini disebutkan beberapa contoh negara-negara maju yang
menerapkan model MBS dengan istilah yang berlainan, namun pada prinsipnya
sama, dalam makalah online Syamsuddin yang dirangkum dari para penulis.
1.

Model MBS di Hongkong
Di Hongkong, MBS disebut The School Management Initiatif
(SMI) atau sekolah manajemen sekolah
inisiatif. Latar
belakang munculnya MBS di Hongkong adalah karena kondisi
pendidikan yang kurang baik sehingga perlu adanya perbaikan.
Struktur dan manajemen yang tidak memadai, peran dan
tanggung jawab masing-masing pihak kurang dijabarkan
secara jelas, kurang memadainya alat pengukuran prestasi,
saat itu masih dipentingkan kontrol secara ketat namun
kurangnya kerangka kerja tanggung jawab dan akuntabilitas,
dan lebih mementingkan kontrol pembiayaan daripada
efektivitas pembiayaan.
Prinsip-prinsip MBS di Hongkong yang diusulkan adalah
perlunya telaah ulang secara terus menerus terhadap

9

pembelanjaan anggaran pemerintah, perlunya evaluasi secara
sistematis terhadap hasil, hubungan yang erat antara tanggung
jawab sumber daya dan tanggung jawab manajemen, perlu
adanya organisasi dan kerangka kerja yang sesuai, hubungan
yang jelas antara pembuat kebijakan dengan agen-agen
pelaksana.
2.

Model MBS di Kanada
Model MBS di Kanada adalah School-site Decision Making
(SSDM) atau pengambilan keputusan diserahkan pada tingkat
sekolah. Di mulai pada tahun 1970 dengan tujuh sekolah
sebagai pecobaan . desentralisasi yang diberikan kepada
sekolah adalah alokasi sumber daya bagi staff pengajar dan
administrasi, peralatan dan pelayanan. Pada tahun 1980-1981
di adopsi secara besar-besaran ke berbagai sekolah dengan
pendekatan manajemen mandiri.
ciri-ciri MBS di Kanada sebagai berikut : penentuan alokasi
sumber daya ditentukan sekolah, anggaran pendidikan
diberikan secara lumpsum, alokasi anggaran pendidikan
tersebut dimasukkan ke dalam anggaran sekolah, adanya
program efektivitas guru dan adanya program profesionalisme
tenaga kerja.
Penekanan model MBS di kanada ini dalam hal pengambilan
keputusan diserahkan kepada masing-masing sekolah secara
langsung. Akan tetapi terbatas pada beberapa hal saja, yaitu
yang menyangkut pengangkatan, promosi, penghargaan dan
penghentian tenaga guru dan administrasi, pengadaan perlatan
sekolah, pelayanan kepada pelangganan sekolah.
Sebelum diterapkan MBS tiga bidang yang ditentukan oleh
pemerintah pusat. Pertama, pengadaan pegawai sekolah
semuanya diangkat dari pusat. Kedua, pengadaan peralatan
seperti buku, alat tulis dan bahan
praktik laboratorium
semuanya didrop dari pusat. Ketiga, pelayanan pendidikan
kepada pelanggan semuanya telah distandarkan dari pusat
mulai ditinggalkan.

3.

Model MBS di Amerika Serikat
Penerapan MBS secara serius di Amerika Serikat terjadi pada
saat adanya gelombang reformasi pendidikan tahap kedua,
yaitu pada tahun 1980an. Era itu merupakn kelanjutan
reformasi yang terjadi pada tahun 1970an pada saat sekolahsekolah di dsitrik menerapkan Side-Based Management.
Sistem pendidikan di Amerika Serikat, mula-mula secara
konstitusional, pemerintah pusat (State) bertanggung jawab
terhadap pelaksanaan pendidikan dan pemerintah daerah
(district) hanya sebagai unit pembuatan kebijakan dan
administrasi. Pemerintah Federal memiliki peran terbatas

10

bahkan semakin berkurang perannya. Terutama pada area
khusus, yaitu dukungan pendanaan.
Saat itu muncul berbagai rekomendasi baik dari individu
maupun organisasi yang berpengaruh untuk mengadopsi
MBS. Dukungan datang dari Asosiasi Gubernur Nasional
(National Governor’s Association), persatuan guru terbesar di
Amerika Serikat, yaitu The National Education Asssociation dan
asosiasi kepala sekolah menengah pertama (The National
Association of secondary school Principal). Mereka
menyarankan bahwa sebagai syarat penting untuk
meningkatkan kualitas pendidikan maka otoritas pengambilan
keputusan harus berada pada tingkat sekolah melihat sejarah
kemunculannya seperti tersebut itu maka model MBS di
Amerika Serikat disebut dengan Site-Based Management.
4.

Model MBS di Inggris
Kebijakan pemerintahan Thatcher (1986) memberi bukti yang
paling nyata dalam reformasi pendidikan di Inggris. Saat itu, si
tangan besi tersebut mengemukakan bahwa keseimbangan
otonomi, kekuasaan dan akuntabilitas pendidikan sedang
dilakukan definisi ulang. Beberapa
inisiatif reformasi
pendidikan kemudian dimasukkan ke dalam Undang-Undang
Pendidikan (Education Act) tahun 1988, antara lain berisi
adanya kurikulum inti nasional, adanya ujian nasional, serta
pelaporan nasional.
Kontrol terhadap anggaran sekolah diberikan kepada lembaga
pengelola/pengawas beserta para kepala sekolah menengah
atas (secondary school) dan sebgaian sekolah dasar (primary
school) dalam waktu lima tahun. Sementara itu, bantuan dana
pendidikan dari pemerintah pusat diberikan langsung kepada
masing-masing sekolah. Itulah kiranya mengapa model MBS di
Inggris disebut Grant Maintained School (GMS) atau
manajemen dana swakelola pada tingkat lokal.
Awal dari pelaksanaan model MBS di Inggris adalah dalam hal
pengelolan pembiayaan pendidikan yang semula diatur ketat
oleh pemerintah kemudian diserahkan pengelolaannya kepada
masing-masing sekolah. Pengelolaan anggaran dimulai dari
penentuan kebutuhan oleh masing-masing sekolah hingga
pada pengalokasian dananya berdasarkan prioritas.
Dari kemunculan Undang-Undang Pendidikan yang didahului
dengan pelaksanaan MBS ini, terlihat jelas arahnya Bahwa
UU itu dimaksudkan untuk melindungi inisiatif masyarakat
dalam pengelolan pendidikan dan bukan untuk menggerakan
masyarakat.

11

5.

Model MBS di Australia
Di Australia lebih dari seratus tahun hingga waktu 1970an,
pengelolaan pendidikan ditangani secara langsung oleh
pemerintah pusat, sekolah menengah pertama, dan sekolah
menengah
atas
(primary
and
secondary
school)
diadministrsikan oleh masing-masing negara bagian (state) di
bawah pengelolaan sentralistik yang kuat oleh Departemen
Pendidikan.
Namun, sejak awal 1970an telah terjadi perubahan yang
dramatis dalam pengelolaan pendidikan di negara Kangguru
itu. Perubahan yang nyata adalah pemerintah federal mulai
memiliki keterlibatan peran yang amat penting dalam
pengelolaan
pendidikan mulai Australian Commonwealh
School Commision yang dibentuk tahun 1973. Oleh karena itu,
peran Departemen Pendidikan pusat semakin kompleks yang
akhirnya mendorong untuk melimpahkan pengambilan
keputusan pada tingkat sekolah yang berkaitan dengan hal-hal
terpenting dalam pengelolaan dana, misalnya yang terjadi di
negara bagian Tasmania.
Karakteristik dari MBS di Australia dapat dilihat dari aspek
kewenangan sekolah yang meliputi, pertama, menyusun dan
mengembangkan kurikulum dan proses pembelajaran untuk
meningkatkan hasil belajar siswa. Kedua, melakukan
pengelolaan sekolah yang dapat dipilih di antara tiga
kemungkinan, yaitu Standard Flexibility Option (SO), Enhanced
Flexibility Option-1 (EO1), dan Enhanced Flexibility Option-2
(EO2). Ketiga, membuat perencanaan, melaksanakan dan
mempertanggungjawabkannya. Kempat, adanya akuntabilitas
dalam
pelaksanaan
MBS.
Kelima,
menjamin
dan
mengusahakan sumber daya manusia dan sumber daya
keuangan. Keenam, adanya fleksibilitas dalam penggunaan
sumber daya sekolah.

6.

Model MBS di Perancis
Perancis adalah negara maju yang agak lambat dalam
mereformasi pendidikan. Negara-negara lain seperti Amerika
Serikat, Kanada, dan Australia sudah memulainya sejak awal
tahun 1970-an,
namun Perancis baru melakukan
desentralisasi pendidikan secara sunguh-sungguh mulai tahun
1980-an.
Sistem pendidikan di Perancis dikenal sebagai sentralistis
yang tradisional. Sekolah dasar diarahkan oleh inspektorat
administratif dan pedagogik. Kepala sekolah diambil dari guru
dengan tanggung jawab fungsional khusus seperti
mengkoordinasi, mengorganisasi, dan berhubungan dengan
orang-orang tua dan pihak keamanan. Kepala sekolah
dibebaskan dari tugas mengajar berdasarkan besar kecilnya

12

sekolah yang dipimpinnya. Disini terdapat hubungan
keterkaitan antara inspektorat/pengawas daerah dengan para
guru.
Sebenarnya
upaya desentralisasi pendidikan di Perancis
sudah di mulai sejak tahun 1969 sebagai respon huru-hara
pada tahun 1968. Namun, pada saat itu sekolah menengah
atas (secondary school) masih dilihat sebgai sekolah tradisoinal
sentralistis (Traditionally school centered) dimana pelaksanaan
desentralisasi masih dibayang-bayangi oleh sentralisasi
pendidikan.
Kemajuan yang sangat berarti terjadi untuk hampir setiap
sekolah pada tahun 1982-1984 di mana otoritas lokal memiliki
tanggung jawab terhadap dukungan finansial. Kekuasaan
badan pengelola sekolah menengah atas diperluas ke
beberapa area. Sementara itu, pengangkatan dan pemilihan
guru masih dilakukan oleh pusat dengan ketat. Masing-masing
sekolah menerima anggaran secara lumpsum terhadap jam
mengajar guru. Kepala sekolah menentukan jenis staff yang
dibutuhkan untuk program-program khusus yang dilaksanakan
sekolah.
Upaya untuk mendesentralisasikan keputusan yang berkaitan
dengan kurikulum dan pengajaran terjadi pada tahun 1984
pada saat diluncurkan rencana lima tahunan pada lingkup
terbatas untuk tingkat pendidikan tinggi (college level), yaitu
untuk siswa berusia 11-15 tahun.
7.

Model MBS di Nikaragua
Masih dalam perdebatan akan dimulainya desentralisasi
pemerintahan di Nikaragua. Namun, salah satu pertanda yang
terjadi pada tahun 1982 adalah pemerintah Sandinista
berusaha meningkatkan partisipasi dan pengelolaan berbagai
pelayanan yang dipindahkan dari pemerintah pusat ke enam
pemerintahan regional.
Dalam bidang pendidikan sebuah uji coba terjadi di
pemerintahan
Chamorro
di
tahun
1993
untuk
mentransformasikan pendelegasian wewenang ke dewan
sekolah di dua puluh sekolah menengah. Selanjutnya, pada
tahun 1994 sebanyak 33 sekolah menengah setuju untuk
menjadi sekolah otonom. Pada akhir 1995 terdapat
penambahan sebanyak 350 sekolah dasar dan menengah ikut
berpartisipasi dalam reformasi pendidikan.
Pada tahun 1995 dikeluarkan panduan dari kementerian
(Ministry’s Direction General de Descentralization) yang berisi
kebijakan tentang bagaimana sekolah yang menyetujui
desentralisasi harus berubah. Disitulah dikeluarkan normanorma pengadministrasian sekolah otonom (Norms for
Administering Autonomous Schools) atau dalam bahasa

13

Sepanyol disebut Normativa de Funcionnamiento de Centros
Autonomos.
Model MBS Nikaragua difokuskan pada mendesentralisasikan
pengelolaan
sekolah
dan
anggaran
sekolah
yang
keputusannya diserahkan kepada dewan sekolah (consenjos
directivos). Teori kebijakan berpendapat bahwa bila aktor
ditingkat sekolah mencakup orang tua, guru, dan pimpinan
sekolah memiliki kontrol dalam politik dan keuangan sekolah,
sekolah akan memiliki akuntabilitas dan sumber daya sekolah
akan
dipergunakan
secara
rasional
dalam
rangka
meningkatkan prestasi siswa.
MBS sebagai bentuk desentralisasi pendidikan di Nikaragua
menyangkut empat tahapan penting yaitu desentralisasi
kebijakan, perubahan organisasi sekolah, kondisi lokal dan
sejarah organisasi, serta hasil yang diharapkan.
Dewan sekolah di Nikaragua juga memiliki otoritas legal yang
luas mencakup kekuasaan untuk mengangkat dan
memberhentikan
staff
sekolah,
mengangkat
dan
memberhentikan piminan sekolah, menyesuaikan insentif dan
gaji guru, memantapkan dan menarik sumbangan pendidikan
dari siswa, pemilihan buku pelajaran dan melakukan evaluasi
terhadap para guru sekolah. Dalam teorinya dewan sekolah
tersebut juga memiliki kewenangan untuk mengalokasikan
dana untuk pengajaran, mengelola pendapatan sekolah,
program pelatihan, dan dalam hal kurikulum yang di anggap
sesuai.
8.

Model MBS di Selandia Baru
Di Selandia Baru, perhatian masyarakat luas untuk terlibat
dalam pendidikan sudah tampak sejak tahun 1970an dengan
adanya konferensi Pengembangan Pendidikan (Education
Development Conference) yang melibatkan 60.000 orang
dalam 4.000 kelompok diskusi.
Salah satu
hal yang mempermudah pelaksanaan
implementasi MBS di Selandia Baru adalah keterbukaan
pemerintah untuk menerima rekomendasi laporan Picot.
Laporan Picot menyimpulkan bahwa saat itu struktur
administrasi pendidikan di Selandia Baru terlalu sentralistis dan
terlalu kompleks dengan adanya titik-titik pengambilan
keputusan yang terlalu banyak. Ia meyakini bahwa sistem
administrasi yang efektif harus sesederhana mungkin dan
keputusan harus dibuat sedekat mungkin dengan tempat
pelaksanaan pendidikan.
Tahun 1989, pemerintah
Selandia Baru mengeluarkan
Undang-Undang Pendidikan (Education act). Setelah itu pada
tahun 1990, sistem pendidikan di sana dijalankan secra
desentralistik. Benar bahwa saat itulah sistem pendidikan

14

mengalami reformasi besar-besaran. Berbagai bentuk
perubahan dalam pengelolaan pendidikan di Selandia Baru
didasarkan pada laporan Picot yang berjudul “ Administering for
Excellence; Effective Administration in Education” yang memuat
lima kritik terhadap sistem pendidikan di Selandia baru, yaitu
pengambilan keputusan yang terlalu sentralistik, kompleksitas
titik-titik pengambilan keputusan kurangnya informasi dan
pilihan, kurangnya efektifitas praktik menajemen, dan perasaan
ketidakberdayaan.”
Sebagian sekolah menengah atas (secondary school) dikontrol
dan dikelola oleh dewan gubernur yang keanggotaannya
kebanyakan dari orang tua siswa dan anggota masyakat
lainnya.
Kerangka kerja kurikulum nasional masih akan berlaku, namun
masing-masing sekolah mengembangkan pendidikan khusus
kepada siswanya. Dukungan pendanaan pendidikan di sekolah
dijalankan dengan sistem quasi-free market di mana sekolah
akan membuat perencanaan dan keleluasaan pengelolaan
dana sekolah.
9.

Model MBS di El Salvador
Dilatarbelakangi oleh keadaan pasca perang pada tahun 1991,
menteri Pendidikan El Salvador menciptakan model MBS baru
untuk melayani siswa-siswa pendidikan prasekolah dan siswa
sekolah dasar di daerah-daerah pedesaan dan daerah
terpencil. Setelah penerapan MBS di daerah pedesaan dan
terpencil ini dianggap berhasil, maka pada tahun 1997
diterapkan pada sekolah-sekolah tradisional di daerah
perkotaan.
Model MBS di El Salvador disebut dengan Community
Managed Schools Program yang kemudian dikenal dengan
akronim bahasa Sepanyol, EDUCO (Education con
Participacion de la Comunided). Maksud dari model ini untuk
mendesaentralisasikan pengelolaan sekolah negeri dengan
cara meningkatkan keterlibatan orang tua di dalam tanggung
jawab menjalankan sekolah.
Program EDUCO memiliki tiga tujuan utama, yaitu
meningkatkan penyediaan layanan pendidikan di dalam
komunitas masyarakat termiskin, mendorong partisipasi
anggota komunitas lokal di dalam pendidikan anak-anaknya,
dan meningkatkan kualitas pendidikan prasekolah dan
pendidikan dasar.
Akhirnya dibentuklah ACE (Asiciation Comunal para la
Education) atau dalam bahasa Inggrisnya disebut (Comunity
Education Association). Anggotanya dipilih dari orang tua
siswa. ACE secara legal bertanggung jawab untuk menjalankan
sekola-sekolah EDUCO termasuk masalah anggaran dana dan

15

personilnya. ACE dapat mengangkat dan memberhentikan guru
serta bertanggung jawab untuk mensupervisi kinerja dan
kehadiran para guru.
Model MBS tersebut menjadi program nasional untuk
pendidikan di El Salvador. Sasaran utama pendidikan disana
adalah mencapai sasaran pada tahun 2005, sedikitnya 90%
anak-anak di El Salvador harus menyelesaikan pendidikan
dasar, yaitu dari kelas satu hingga kelas sembilan.
10. Model MBS di Madagaskar
Model MBS di Madagaskar difokuskan pada pelibatan
masyarakat pada pengontrolan pendidikan dasar sejak tahun
1994. Dengan dukungan Bank Dunia maka Kementerian
Pendidikan telah mengembangkan dan mempraktikkan prinsipprinsip, strategi dan prosedur yang mengarah pada tujuan
MBS. Implementasi MBS diarahkan di dalam kerangka kerja
dengan melibatkan masyarakat desa tidak hanya untuk
merehabilitasi, membangun dan memelihara sekolah-sekolah
dasar, tetapi juga dilibatkan dalam pengelolaan dan supervisi
sekolah dasar.
Model MBS di Madagaskar tidak terlepas dari latar belakang
sejarah yang kurang baik. Sejak awal tahun 1990an,
pendaftaran ke sekolah Madagaskar merosot sebagai akibat
dari kurangnya investasi, memburuknya kualitas pendidikan,
dan merosotnya moral para orang tua dan guru. Setelah
adanya kajian dari sector pendidikan dan adanya dukungan
dai Bank Dunia maka dibentuklah sebuah tim pengambilan
keputusan inovatif di tahun 1994, yaitu program rintisan yang
dipusatkan pada pendekatan sekolah berbasis masyarakat.
Program itu dimulai di dua lokasi distrik di suatu provinsi,
jumlah provinsi di sana sebanyak enam provinsi dengan total
distrik sebanyak 111 buah. Kemudian, program itu diperluas ke
20 distrik. Kesuksesan implementasi pada tahap awal itu
mendorong
pemerintah untuk menerapkannya di seluruh
sekolah pada seluruh tingkat pada tahun 1997, dan telah
menjadi rencana nasional pengembangan pendidikan. Sejak
tahun 1998, berbagai donor mengalir dan hingga tahun 2001
lalu program ini telah diterapkan lebih dari separuh distrik yang
ada.
Peran utama pemerintah adalah mengurangi ketidak-adilan
pendidikan, mendefinisikan standar dan mengembangkan
kerangka kerja kebijakan dan penelitian pendidikan. Dalam hal
ini kebijakan sektoral untuk pendidikan dasa,r ada tiga tugas
pokok yaitu, (a) pentingnya meningkatkan akses semua siswa
untuk masuk pendidikan dasar, (b) perlunya meningkatkan
kualitas pembelajaran, pengajaran, dan pelatihan pada semua
tingkatan, dan (c) perlunya memobilisasi partner dengan orang

16

tua siswa dan masyarakat, ahli waris, dan sektor swasta.
Sarana untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan
program sekolah berbasis masyarakat. Maksudnya adalah
melibatkan masyarakat di dalam tugas-tugas pendidikan.
Tugas-tugas pendidikan
tersebut di antaranya dengan
memberi kemungkinan kepada semua siswa untuk memiliki
keterampilan dasar membaca, menulis, berbicara, memahami,
dan menghitung dalam rangka mengintegrasikan masyarakat
dan mengembangkan kemampuan untuk melanjutkan
pendidikan.
Beberapa fenomena di atas pun telah membumi di negara kita yang
sampai sejauh ini belum terlihat adanya keterpaduan sebuah sistem pendidikan
yang utuh. Salah satu yang paling menonjol dari keadaan ini adalah perubahan
kurikulum yang sudah sering berganti di negara ini. Setidaknya beberapa kali
mengalami pergantian,

mulai

dari kurikulum

1994,

Kurikulum

Berbasis

Kompetensi dan yang terakhir adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
Pergantian yang terus terjadi karena belum adanya sistem kurikulum pendidikan
yang sistematis. Tentunya ini sangat berdampak pada output pendidikan yang
selalu didambakan baik oleh orang tua didik, institusi pendidikan dan juga
pemerintah secara umum. Di samping itu, kebijakan-kebijakan pendidikan selalu
bergantung pada kabinet pemerintahan yang menangani, di mana dalam
penetatapannya selalu dilandasi kepentingan politis. Ini memungkinkan sekali
terjadinya mis-konsepsi dari sistem yang telah diberlakukan sebelumnya.
Padahal, idealnya sebuah sistem kurikulum haruslah progresif dan berkembang
secara berkelanjutan dengan saling melengkapi kekurangan yang ada.
Upaya desentralisasi atau otonomi pendidikan pada dasarnya telah
lama

diperjuangkan

oleh

masyarakat

pendidikan.

Persoalannya,

sistem

sentralisasi dirasa masih tidak relevan dengan konteks indonesia yang plural,
budaya beragam, masyarakat yang heterogen dan kompleks (Hasbullah, 2007 :
66). Secara tidak langsung, ini juga tentunya akan berpengaruh dalam proses
penerapan MBS di seluruh wilayah nusantara. Negara Indonesia ini terdiri dari
kepulauan yang dilengkapi dengan berbagai macam background etnis, budaya
dan bahasa, tanpa juga mengurangi kemajuan dan ketertinggalan yang telah
dicapai oleh masing-masing daerah.

17

Bank Dunia merekomendasikan perlunya diberikan otonomi yang
lebih besar kepada sekolah disertai manajemen sekolah yang bertanggung
jawab. Dalam hal in terkait dengan pemberlakuan Kurikulum Berbasis Sekolah.
Artinya pemberian otonomi yang lebih besar harus diberikan kepada sekolah
dalam pemanfaatan sumber daya dan pengembangan strategi-strategi berbasis
sekolah sesuai dengan kondisi setempat. Langkah ini juga harus diikuti dengan
pemilihan kepala sekolah yang lebih baik, yang memiliki keterampilan dan
karakteristik yang diperlukan untuk mengelola sekolah dengan nuansa otonom,
memberikan penghargaan bagi kepala sekolah yang baik dan mengganti mereka
yang kurang, dan juga memberikan pelatihan pengembangan keterampilan
manajemen sekolah dan program training modular (E. Mulyasa, 2004 : 12).
Dengan cara ini walaupun otonomi pendidikan sepenuhnya menjadi hak
pengelolaan masing-masing daerah, institusi pendidikan khususnya, namun
pemerintah tetap andil dalam penyelenggaraan sistem pendidikan yang baik dan
terarah. Ini tentunya akan memberikan nuansa pendidikan yang harmoni dan
dinamis di masing-masing institusi pendidikan walaupun dengan penuh aneka
keragaman dan kompleksitas sosio-budayanya.
Implementasi MBS dalam sistem pemerintahan yang masih
cenderung terpusat tentulah akan banyak pengaruhnya. Perlu diingatkan bahwa
penerapan MBS akan sangat sulit jika para pejabat pusat dan daerah masih
bertahan

untuk

menggenggam

sendiri

kewenangan

yang

seharusnya

didelegasikan ke sekolah. Bagi para pejabat yang haus kekuasaan seperti itu,
MBS adalah ancaman besar.
Dengan maraknya perintisan sekolah-sekolah

unggulan dan

terpadu merupakan salah satu bentuk aktualisasi implementasi MBS. Terlebih
sekolah unggulan dan terpadu ini menampilkan sajian kurikulum yang menarik,
efektif, efisien, dan sangat produktif dalam menunjang proses belajar bagi
peserta didik. Dengan penerapan full day schooling, para siswa diberikan fasilitas
yang lebih dari biasanya diberikan di sekolah-sekolah negeri/konvensional.
Dengan demikian perkembangan sekolah-sekolah Islam terpadu/unggulan dapat
menjadi salah satu contoh sekolah yang telah menggunakan manajemen

18

berbasis

sekolah

yang

baik

sesuai

dengan

kurikulum

sendiri

yang

dipadupadankan dengan kurikulum Nasional.
Secara terperinci, ruang lingkup implementasi MBS, menurut E. Mulyasa
(2004 : 82), adalah efektivitas, efisiensi, dan produktivas MBS. Efektivitas adalah
adanya kesesuaian antara orang yang melaksanakan tugas dengan sasaran
yang dituju. Efektivitas bagaimana suatu organisasi berhasil mendapatkan dan
memanfaatkan sumber daya dalam usaha mewujudkan tujuan operasional.
Efektivitas MBS berarti bagaimana MBS berhasil melaksanakan semua tugas
pokok

sekolah,

menjalin

partisipasi

masyarakat,

mendapatkan

serta

memanfaatkan sumber daya, sumber dana, dan sumber belajar utnuk
mewujudkan tujuan sekolah. Efektivitas MBS ini dapat dilihat berdasarkan teori
sistem dan dimensi waktu.
Berdasarkan teori sistem, kriteria efektivitas harus mencerminkan
keseluruhan siklus input-output

yaitu harus mencerminkan hubungan timbal

balik antara manajemen berbasis sekolah dan lingkungan sekitarnya. Sedangkan
yang berdasarkan dimensi

waktu, efektivitas MBS dapat diamati dalam

beberapa jangkauan yaitu: 1) efisiensi jangka pendek yang berfungsi untuk
menunjukkan hasil kegiatan dalam kurun waktu sekitar satu tahun dengan
kriteria kepuasan, efisisensi, dan produksi; 2) efisiensi jangka menengah dalam
waktu sekitar lima tahun, dengan kriteria perkembangan serta kemampuan
beradaptasi dengan lingkungan dan perusahaan; dan 3) efisiensi jangka panjang
adalah untuk menilai waktu yang akan datang di atas lima tahun digunakan
kriteria kemampuan untuk melangsungkan hidup dan kemampuan membuat
perencanaan strategis bagi kegiatan di masa depan.
3. Keunggulan dan Kelemahan Implementasi MBS
3.1 Keunggulan Implementasi MBS
Dengan adanya implementasi MBS di sekolah yang dipandang
memiliki tingkat efektivitas tinggi akan memberikan beberapa keuntungan
(Keunggulan), yaitu :
1.

Kebijaksanaan dan kewengan sekolah membawa pengaruh
langsung kepada peserta didik, orang tua, dan guru;

19

2.
3.
4.

Bertujuan bagaimana memanfatkan budaya local;
Efektif dalam melakukan pembinaan peeserta didik seperti
kehadiran, hasil belajar, tingkat pengulangan, tingkat putus
sekolah, dan iklim sekolah;
Adanya perhatian bersama untuk mengambil keputusan,
memberdayakan guru, manajemen sekolah, rancang ulang
sekolah dan perubahan perencanaan (Nanang Fatah dalam E.
Mulyasa, 2004 : 24-25).

Sedangkan keuntungan (keunggulan) dari adanya penerapan model
MBS menurut Nurkholis (2006 : 107), adalah :
1.
2.
3.
4.

5.
6.

Secara formal MBS dapat memahami keahlian dan kemampuan
orang-orang yang bekerja di sekolah.
Meningkatkan moral, moral guru harus meningkatkan karena
adanya komitmen dan tanggung jawab dalam setiap
pengambilan keputusan di sekolah.
Keputusan yang diambil oleh sekolah memiliki akuntabilitas. Hal
ini terjadi karena kostituen sekolah memiliki andil yang cukup
dalam setiap pengambilan keputusan
Menyesuaikan sumber daya keuangan terhadap tujuan
instruksional yang dikembangkan di sekolah. Keputusan yang di
ambil pada tingkat sekolah yang akan lebih rasional karena
mereka tahu kekuatan sendiri, terutama kekuatan keunganan.
Menstimulasi munculnya pemimpin baru di sekolah.
Pengambilan keputusan ini tidak akan berjalan dengan baik
tanpa adanya peran seorang pemimpi.
Meningkatkan kualitas, kuantitas, dan fleksibelitas komunikasi
sekolah dalam rangka mencapai kebutuhan sekolah.
Kebersamaan dalam pemecahan masalah di sekolah telah
memperlancar alur komunikasi di antar warga sekolah.

3.2 Kelemahan Implementasi MBS
Di samping itu ada beberapa kelemahan (hambatan) yang sering
ditemui dalam penerapan MBS ini yang disimpulkan Sriudin (makalah online) di
antaranya adalah sebagai berikut:
1. Tidak Berminat Untuk Terlibat; Sebagian orang tidak
menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang
mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam
kegiatan yang menurut mereka hanya menambah beban.
Anggota dewan sekolah harus lebih banyak menggunakan
waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan
anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki
banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek
lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan berminat

20

dalam proses penyusunan anggaran
menyediakan waktunya untuk urusan itu.

atau

tidak

ingin

2. Tidak Efisien; Pengambilan keputusan yang dilakukan secara
partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan seringkali
lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis.
Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan
memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di
luar itu.
3. Pikiran Kelompok: Setelah beberapa saat bersama, para
anggota dewan sekolah kemungkinan besar akan semakin
kohesif. Di satu sisi, hal ini berdampak positif karena mereka
akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas
itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak
merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada
saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit “pikiran kelompok.”
Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan
besar tidak lagi realistis.
4. Memerlukan Pelatihan; Pihak-pihak yang berkepentingan
kemungkinan besar sama sekali tidak atau belum
berpengalaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif
ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan
keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana
cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan
sebagainya.
5. Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru; Pihakpihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi
dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan
MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang
berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan
besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sehingga
mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan
keputusan.
6. Kesulitan Koordinasi; Setiap penerapan model yang rumit dan
mencakup kegiatan yang beragam mengharuskan adanya
koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang
beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang
kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah.
Apabila pihak-pihak yang berkepentingan telah dilibatkan sejak
awal, mereka dapat memastikan bahwa setiap hambatan telah
ditangani sebelum penerapan MBS. Dua unsur penting adalah
pelatihan yang cukup tentang MBS, dan klarifikasi peran dan
tanggung jawab serta hasil yang diharapkan kepada semua pihak

21

yang berkepentingan. Selain itu, semua yang terlibat harus
memahami apa saja tanggung jawab pengambilan keputusan
yang dapat dibagi, oleh siapa, dan pada level mana dalam
organisasi.
Anggota masyarakat sekolah harus menyadari
bahwa adakalanya harapan yang dibebankan kepada sekolah
terlalu tinggi. Pengalaman penerapannya di tempat lain
menunjukkan bahwa daerah yang paling berhasil menerapkan
MBS telah memfokuskan harapan mereka pada dua maslahat:
meningkatkan keterlibatan dalam pengambilan keputusan dan
menghasilkan keputusan lebih baik.
C. Penutup
Tulisan ini berjudul “Keunggulan dan Kelemahan Implementasi
MBS”, dapat disimpulkan sebagai berikut :
a. Implementasi

MBS

adalah

pelaksanaan

dan

penerapan

Manajemen Berbasis Sekolah (BS), supaya sekolah menjadi
efektif, efisien dan produktivitas;
b. Ruang lingkup implementasi MBS adalah efektivitas, efisienitas,
dan produktivitas sekolah;
c. Implementasi MBS mempunyai keunggulan (kelebihan), dan juga
mempunyai kelemahan (hambatan).

22

DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Moch. Idochi, Administrasi Pendidikan dan Manajemen Biaya Pendidikan
(Teori, Konsep, dan Isu), Alfabeta, Bandung, 2004
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990
Echols, John M., dan Hassan Shadily, Kamus Indonesia Inggris, Gramedia,
Jakarta, 2007
Fatah, Nanang, Konsep Manajemen Berbasis Sekolah dan Dewan Sekolah,
Pustaka Bani Quraisy, Bandung, 2003
Harsono, Hanifah, Implementasi Kebijakan dan Politik, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2002
Hasbullah, Otonomi Pendidikan (Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya
Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan), Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2007
Hasibuan, Malayu, Manajemen Dasar (Pengertian dan Masalah), Gunung Agung,
Jakarta, 1995
Kartono, Kartini, Manajemen Umum Sebuah Pengantar, BPFE, Yogyakarta, 1994
Mclntoch, Colin, Oxford Collocations Dictionary for Students of English, Oxford
University Press, New York, 2012
Nurkholis, Manajemen Berbasis Sekolah (Teori, Model, dan Aplikasi), Gramedia
Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2006
PH, Slamet, Manajemen Berbasis Sekolah, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan,
Balitbang Depdiknas, Jakarta, November 2000
Setiawan, Guntur, Implementasi Dalam Birokrasi Pembangunan, Alfabeta,
Bandung, 2004
Sriudin,

http://s1pgsd.blogspot.com/2010/09/penerapan-manajemen-berbasissekolah.html, diakses tanggal 9 September 2016

Sudjanto, Bedjo, Mensiasati Manajemen Berbasis Sekolah di Era Krisis yang
Berkepanjangan, ICW, Jakarta, 2004
Syamsuddin,
http://syamsuddincoy.blogspot.co.id/2012/02/implementasi-danmanajemen-berbasis.html, diakses tanggal 9 September 2016

23

Taufiqurrahman, Manajemen Berbasis Sekolah, Jurnal Studi Keislaman, STAIN
Pamekasan, Februari 2002
Usman, Nurdin, Konteks Implementasi Berbasis Kurikulum, Alfabeta, Bandung,
2002
Zainuddin, Reformasi Pendidikan (Kritik Kurikulum dan Manajemen Berbasis
Sekolah), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008