Sifat Fisik dan Kimia Daging Domba

I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kebutuhan akan konsumsi daging setiap tahun selalu meningkat sementara itu
pemenuhan akan kebutuhan selalu negatif, artinya jumlah permintaan lebih tinggi
daripada peningkatan produksi daging termasuk daging domba sebagai konsumsi.
Dengan semakin tingginya tingkat kesejahteraan dan tingkat pendidikan
masyarakat akan berpengaruh terhadap pola konsumsi yaitu dari pemenuhan
karbohidrat menjadi pemenuhan kebutuhan akan protein sehingga permintaan akan
protein asal hewani tentu akan terus meningkat, salah satu upaya dalam kebutuhan
tersebut adalah dengan meningkatkan produksi di sektor peternakan harus lebih
digalakkan.
Namun pada kenyataannya tingkat kesadaran akan gizi oleh masyarakat
Indonesia belum terlalu merata, padahal pentingnya mengetahui sifat fisik dan kimia
dari daging domba tersebut, karena mengetahui dari sifat tersebut akan
mempermudah masyarakat mengetahui kualitas daging yang baik di konsumsi bagi
masyarakat.
Oleh karena itu hal tersebut lah yang melatarbelakangi dibuatnya makalah ini,
agar pembaca khususnya masyarakat Indonesia selain menambah wawasan,
mendapatkan konsumsi yang baik gizinya pula.
1.2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka dapat dirumuskan
permasalahannya, yaitu :
1.

Apa yang dimaksud dengan daging ?

2.

Apa yang dimaksud dengan daging domba ?

3.

Bagaimana sifat fisik dari daging domba ?

4.

Bagaimana sifat kimia dari daging domba ?

1.3. Maksud dan Tujuan
Adapun maksud dan tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :

1.

Untuk mengetahui pengertian dari daging.

2.

Untuk mengetahui pengertian dari daging domba.

3.

Untuk mengetahui sifat fisik dari daging domba.

4.

Untuk mengetahui sifat kimia dari daging domba.

II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Daging
Pengertian daging menurut Nurwantoro et al dalam Soeparno (1994) adalah

semua jaringan hewan dan semua hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang
sesuai untuk dimakan, serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang
mengkonsumsinya. Jaringan yang termasuk dalam pengertian ini menurut Gustiani
(2009) adalah otot, otak, isi rongga dada dan isi rongga perut. Abustam (2009)
mendifinisikan daging lebih spesifik, yaitu kumpulan sejumlah otot yang berasal dari

ternak yang sudah

disembelih dan otot tersebut sudah mengalami perubahan

biokimia dan biofisik, sehingga otot yang semasa hidup ternak merupakan energi
mekanis berubah menjadi energi kimiawi.
Pengertian daging menurut Soeparno (1994) adalah semua jaringan hewan dan
semua hasil pengolahan jaringan – jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan, serta
tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang mengkonsumsinya. Jaringan yang
termasuk dalam pengertian ini menurut Gustiani (2009) adalah otot, otak, isi rongga
dada dan isi rongga perut. Abustam (2009) mendifinisikan daging lebih spesifik, yaitu
kumpulan sejumlah otot yang berasal dari ternak yang sudah disembelih dan otot
tersebut sudah mengalami perubahan biokimia dan biofisik, sehingga otot yang
semasa hidup ternak merupakan energi mekanis berubah menjadi energi kimiawi.

Istilah otot dipergunakan pada waktu ternak masih hidup dan setelah ternak
disembelih berubah menjadi daging.
2.2. Daging Domba
Daging domba/kambing adalah urat daging yang melekat pada kerangka
kecuali urat daging bagian bibir, hidung dan telinga yang berasal dari kambing/domba
yang sehat sewaktu dipotong (Dewan Standarisasi Nasional, 1995). Lawrie (2003)
menambahkan bahwa daging adalah organ-organ seperti hati, ginjal, otot dan jaringan
lain yang dapat dimakan disamping urat daging. Otot hewan berubah menjadi daging
setelah pemotongan, yang disebabkan perubahan fungsi fisiologisnya. Otot
merupakan komponen utama penyusun daging dan sebagai jaringan yang mempunyai
struktur dan fungsi utama sebagai penggerak. Perbedaan kandungan gizi daging dapat
dipengaruhi oleh jenis kelamin, pakan, umur, jenis ternak serta letak dan fungsi
bagian tubuh ternak tersebut (Aberle et al., 2001).
Daging domba dapat dibedakan berdasarkan berat, umur domba, jenis kelamin,
dan tingkat perlemakan. Daging domba memiliki bobot jaringan muskuler atau urat
daging yang berkisar 46% - 65% dari bobot karkas (Lawrie, 2003). Daging domba
yang berkualitas baik memiliki ciri-ciri antara lain berwarna merah segar dengan serat

yang halus, lemak berwarna kuning dan dagingnya keras (elastis). Tingkat
keempukan daging domba dapat dipengaruhi oleh waktu pelayuan daging,

pembekuan dan metode pemasakan (Sahidi, 1998).
Berdasarkan umur, jenis kelamin, dan kondisi seksual daging domba atau Sheep
dapat berasal dari: Lamb, yaitu daging yang berasal dari domba yang berumur hingga
satu tahun, Yearling yaitu daging yang berasal dari domba bermur satu tahun, Mutton
yaitu daging yang berasal dari domba berumur lebih dari satu tahun. Mutton itu
sendiri dapat berasal dari: Wether yaitu domba yang dikastrasi pada umur muda, Ewe
yaitu domba betina dewasa, Ram yaitu domba jantan dewasa, Stag yaitu domba yang
dikastrasi setelah mencapai umur dewasa kelamin (Lawrie, 2003).
2.3. Sifat Fisik Daging Domba
Sifat fisik memegang peranan penting dalam proses pengolahan dikarenakan
sifat fisik menentukan kualitas serta jenis olahan yang akan dibuat. Sifat fisik sangat
dipengaruhi oleh factor - faktor sebelum pemotongan dan setelah pemotongan. Faktor
penting sebelum pemotongan adalah perlakuan istirahat yang dapat menentukan
tingkat cekaman (stress) pada ternak. Menurut Aberle et al. (2001), ternak yang tidak
diistirahatkan akan menghasilkan daging yang berwarna gelap, bertekstur keras,
kering, memiliki nilai pH tinggi dan daya mengikat air tinggi. Faktor penting setelah
pemotongan yang berpengaruh pada kualitas daging adalah pelayuan. Pelayuan
daging akan berpengaruh pada keempukan, flavor dan daya mengikat air. Faktorfaktor tersebut sangat berkaitan dengan waktu postmortem atau waktu setelah
pemotongan.
Proses glikolisis setelah ternak dipotong berpengaruh pada nilai pH. Semakin

lama waktu postmortem akan terjadi penurunan pH yang semakin rendah akibat
proses konversi otot menjadi daging pada jarak waktu postmortem tertentu. Nilai pH
ultimat daging yang normal berkisar antara 5,4-5,8 pada 6 jam postmortem dan warna
daging akan menjadi merah cerah (Aberle et al., 2001).

Kualitas fisik daging menjadi penilaian awal dalam memilih daging. Warna
daging memberikan informasi kualitas daging pertamakali, ketika melihat daging
(Vipond, 2004). Soeparno (2005) menambahkan bahwa parameter spesifik kualitas
daging pada umumnya adalah warna daging, daya mengikat air oleh protein, pH
daging, susut masak serta keempukan.
1.

Daya Mengikat Air (DMA)
Daya mengikat air merupakan salah satu faktor yang menentukan kelezatan dan

daya terima daging oleh konsumen. Pengukuran banyaknya air yang hilang dan drip
merupakan hal yang penting dalam penentuan rantai harga karena mempengrauhi
bobot daging. Menurut Alvarado and McKee (2007) daya ikat air dipengaruhi oleh
pH daging dimana air yang tertahan didalam otot meningkat sejalan dengan naiknya
pH, walaupun kenaikannya kecil. Perbedaan daya ikat air disebabkan oleh perbedaan

jumlah asam laktat yang dihasilkan, sehingga pH didalam otot berbeda. Laju
penurunan pH otot yang cepat akan mengakibatkan daya ikat air menjadi rendah
(Soeparno, 2009). Nilai pH yang menurun mengakibatkan daya ikat air yang rendah
(Sunarlim dan Usmiati, 2009), hal ini disebabkan karena rendahnya nilai pH daging
mengakibatkan struktur daging terbuka sehingga menurunkan daya ikat air dan
tingginya nilai pH daging mengakibatkan struktur daging tertutup sehingga daya ikat
air tinggi.
2.

Keempukan
Keempukan merupakan salah satu faktor paling penting memikat konsumen

dalam pembelian produk daging. Menurut Lawrie (2003), daya terima konsumen
terhadap daging dipengaruhi oleh ke-empukan, juiciness, dan selera. Keempukan
merupakan salah satu indikator dan faktor utama pertimbangan bagi konsumen dalam
memilih daging yang berkualitas baik (Bredahl dan Poulsen, 2002).

Berdasarkan penelitian domba yang dilakukan Permatasari (1992), nilai shear
force daging domba pada otot Longissimus dorsi adalah sebesar 2,00 pada domba
lokal. Menurut Lawrie (2003), spesies mempengaruhi keempukan daging. Daging

sapi mempunyai perototan yang besar dan teksturnya lebih kasar dibandingkan
dengan daging domba. Ternak yang beraktivitas banyak akan menghasilkan otot yang
lebih kasar dibandingkan dengan ternak yang kurang banyak beraktivitas karena
adanya kontraksi otot pada bagian yang beraktivitas.
Menurut Fiems et al. (2000), nilai keempukan daging sangat dipengaruhi oleh
faktor penanganan ternak sebelum pemotongan, pakan ternak, pH dan perlemakan.
Aberle et al. (2001) menambahkan bahwa komponen utama yang mempengaruhi keempukan adalah kelompok jaringan ikat, kelompok serat daging, dan kelompok
lemak yang ber-hubungan dengan otot. Keempukan daging yang berbeda juga dapat
disebabkan oleh pengaruh gen kalpastatin dan kalpain pada ternak. Kalpain
merupakan enzim proteolitik yang berfungsi untuk mendegradasi protein sel-sel otot
(miofibril) di dalam jaringan otot (Morgan et al., 1993).
3.

Nilai pH
Aberle et al. (2001) menyatakan nilai pH daging yang berbeda pada umumnya

dipengaruhi oleh penanganan daging setelah pemotongan. Pengukuran pH daging
domba dilakukan pada 24 jam postmortem untuk mengetahui nilai pH yang tercapai
setelah glikogen otot habis. Penurunan pH disebabkan adanya konversi otot menjadi
daging akan berlangsung proses glikolisis dalam keadaan anaerob. Proses ini

menyebabkan glikogen dikonversi menjadi asam laktat sampai pH mencapai suatu
titik sampai enzim pemecah tidak aktif. Enzim - enzim pemecah (glikolitik) pada
daging mamalia yang spesifik akan berhenti pada pH 5,4 - 5,5 dan kondisi ini
glikogen tidak ditemukan lagi pada daging (Lawrie, 2003). Soeparno (2005) juga
menyatakan bahwa variasi pH daging dapat disebabkan stres sebelum pemotongan,
pemberian injeksi hormon atau obat-obatan kimia tertentu, individu ternak, jenis otot,

stimulasi listrik. Lawrie (2003) juga menegaskan bahwa tingkat penurunan pH
pascamati dipengaruhi karena faktor instrinsik seperti spesies, tipe urat daging,
variabilitas antara urat hewan serta faktor luar seperti pemberian obat-obatan sebelum
dipotong dan suhu lingkungan.
4.

Susut masak
Susut masak merupakan persentase berat daging yang hilang akibat pemasakan

dan merupakan fungsi dari waktu dan suhu pemasakan. Daging dengan susut masak
yang rendah mempunyai kualitas yang relatif lebih baik daripada daging dengan
persentase susut masak yang tinggi, hal ini karena kehilangan nutrisi selama proses
pemasakan akan lebih sedikit. Susut masak merupakan fungsi dari temperatur dan

lama pemanasan yang menjadi indikator nilai nutrisi daging yang berhubungan
dengan juiciness daging. Hasil pengujian secara statistik menunjukkan bahwa
perlakuan bangsa tidak memberikan pengaruh nyata terhadap susut masak.
Suryantoro (2010) menyatakan persentase susut masak daging domba muda
rata-rata 39,59% ± 4,86%. Nilai susut masak daging domba muda setelah rigormortis
pada pemasakan 70 oC adalah 19,4% dan susut masak mencapai 35,2% dengan
pemanasan pada suhu 100 oC (Geesink, 2011). Soeparno (2005) juga menambahkan
bahwa susut masak daging bervariasi antara 1,5% - 54,5% dengan kisaran normal
15% - 40%.
Daging yang memiliki susut masak yang lebih rendah mempunyai kualitas yang
relatif lebih baik daripada daging dengan susut masak yang lebih besar, karena
kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit. Susut masak dipengaruhi
oleh pH, panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut otot, status
kontraksi miofibril, ukuran dan berat sampel dan penampang lintang daging. Panjang
serabut otot yang lebih pendek dapat meningkatkan susut masak (Soeparno, 2005).
Aberle et al. (2001) menambahkan bahwa perbedaan bangsa ternak dapat juga

menyebabkan perbedaan susut masak. Pemasakan yang relatif lama akan menurunkan
pengaruh panjang serabut otot terhadap susut masak.
5.


Warna Daging
DeMan (1997) menyatakan bahwa warna merupakan faktor penting dalam

menentukan kualitas daging. Soeparno (2005) menyatakan warna daging dipengaruhi
oleh pakan, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, stres (aktivitas dan tipe otot), pH
serta oksigen dan faktor utama yang menentukan warna daging adalah konsentrasi
pigmen daging mioglobin, tipe molekul dan status kimia mioglobin. Bertambahnya
umur ternak akan diikuti peningkatan konsentrasi mioglobin. Lawrie (2003)
menambahkan bahwa bentuk kimia yang paling penting pada daging yang belum
dimasak adalah oksimioglobin yang menggambarkan pigmen warna merah pada
daging.
2.4. Sifat Kimia Daging Domba
Sifat kimiawi daging meliputi analisis proksimat (kadar air, kadar abu, protein
kasar, lemak kasar), dan analisis kolestrol. Komposisi kimia daging tergantung dari
spesies hewan, kondisi hewan, jenis daging karkas, proses pengawetan, penyimpanan
dan metoda pengepakan serta kandungan lemak daging tersebut. Daging tanpa lemak
mengandung 70% air, 9% lemak serta 1% abu (Winarno dan Rahayu, 1994).
Komposisi kimia daging bervariasi di antara spesies, bangsa, dan individu
ternak. Komposisi kimia daging dipengaruhi oleh faktor genetika dan lingkungan
termasuk di dalamnya faktor nutrisi. Pada Tabel 1 dapat dilihat komposisi kimia
daging dari ternak sapi, ayam, domba, dan babi.

Tabel 1. Komposisi Kimia Daging dari berbagai Spesies Ternak
1.

Kadar Air
Air merupakan bahan yang penting untuk kehidupan manusia. Selain itu, air

juga merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat
mempengaruhi penampilan, tekstur, dan citarasa dari makanan yang kita makan.
Kadar air dalam makanan juga ikut menentukan daya terima konsumen, kesegaran,
dan daya tahan dari suatu bahan pangan (Winarno, 1997). Kandungan air dalam
bahan pangan akan mempengaruhi daya tahan terhadap serangan mikroba yang
dinyatakan dengan water activity (Winarno, 1995).
Daging dengan kadar air tinggi akan terlihat pucat, berair dan tekstur yang
lembek karena banyak air yang terikat keluar dari daging. Tingginya kandungan air
dalam daging mengakibatkan protein yang larut dalam air sedikit sehingga daya ikat
air oleh protein daging akan menurun. Menurut Soeparno (2009) kadar air daging
dipengaruhi oleh jenis ternak, umur, kelamin, pakan serta lokasi dan fungsi bagianbagian otot dalam tubuh. Kadar air yang tinggi disebabkan umur ternak yang muda,
karena pembentukan protein dan lemak daging belum sempurna (Rosyidi, Ardhana
dan Santoso, 2000).

Kadar air berbanding terbalik dengan kadar lemak. Semakin tinggi kadar
lemak, maka kadar airnya semakin rendah. Apabila kadar lemak rendah, maka kadar
airnya akan tinggi (Gaman dan Sherrington, 1981). Kadar air dalam pangan akan
berubah-ubah sesuai dengan lingkungannya dan sangat erat kaitannya dengan daya
awet bahan pangan tersebut (Lawrie, 2003).
Menurut Purbowati dkk (2006), kadar air daging menurun dengan
bertambahnya umur ternak, sebaliknya kadar lemak cenderung meningkat sampai
stadium kedewasaan tercapai. Pada ternak muda kadar air terdapat lebih tinggi dari
ternak tua, kadar air tubuh berbanding terbalik dengan kadar lemak tubuh. Fennema
(1985) menyatakan bahwa kadar air dalam daging domba adalah sebesar 73%.
Sedangkan menurut Frandson (1992), kadar air dalam daging domba adalah 59,8%.
Pada pustaka lain, Ramada (2009) menyatakan bahwa kandungan air dalam daging
domba adalah 66,3%, sedangkan USDA (2007) menyatakan kandungan air dalam
daging domba adalah 75,84%.
2.

Protein
Protein merupakan bahan pembentuk jaringan dan juga mempertahankan

jaringan tubuh yang telah ada. Protein juga dapat digunakan sebagai penghasil energi
apabila kebutuhan energi tubuh belum terpenuhi oleh karbohidrat dan lemak.
Kekurangan protein dalam jangka panjang dapat mengganggu berbagai proses dalam
tubuh dan menurunkan daya tahan tubuh yang menyebabkan penyakit (Nasoetion,
1995).
Protein merupakan suatu zat makanan yang sangat penting bagi tubuh karena
disamping berfungsi sebagai bahan bakar, protein juga berfungsi sebagai pembangun
dan pengikat (Winarno, 1997). Protein adalah sumber asam amino yang mengandung
C, H, O, dan N. Selain itu juga mengandung fosfor dan belerang seperti besi dan
tembaga. Protein merupakan bahan pembentuk jaringan dan juga mempertahankan
jaringan tubuh yang telah ada. Protein juga dapat digunakan sebagai penghasil energi

apabila kebutuhan energi tubuh belum terpenuhi oleh karohidrat dan lemak.
Kekurangan protein dalam jangka panjang dapat mengganggu berbagai proses dalam
tubuh dan menurunkan daya tahan tubuh yang menyebabkan penyakit (Nasoetion,
1995).
Protein daging berperan dalam pengikatan air daging, kadar protein daging
yang tinggi menyebabkan meningkatnya kemampuan menahan air daging sehingga
menurunkan kandungan air bebas, dan begitu pula sebaliknya (Lawrie, 2003).
Kemampuan menahan air daging tinggi akan menghasilkan tekstur daging yang
empuk.
Fennema (1985) menyatakan bahwa kadar protein dalam daging domba adalah
sebesar 20%. Sedangkan menurut Frandson (1992), kadar protein dalam daging 12
domba adalah 16,7%. Pada pustaka lain, Ramada (2009) menyatakan bahwa
kandungan protein dalam daging domba adalah 17,1%, sedangkan USDA (2007)
menyatakan kandungan protein dalam daging domba adalah 20,60%.

3.

Lemak
Lemak merupakan zat gizi yang penting untuk menjaga kesehatan tubuh

manusia. Lemak merupakan sumber energi yang efisien karena menghasilkan kalori
lebih tinggi dibanding protein dan karbohidrat. Selain itu, lemak juga berfungsi untuk
memberi rasa gurih, pelarut vitamin A, D, E, dan K serta memperbaiki tekstur dan
citarasa bahan pangan (Nasoetion, 1995).
Lemak merupakan senyawa yang terbentuk dari asam lemak dan gliserol yang
tersusun oleh unsure C, H, dan O (Nasoetion, 1995). Lemak dalam tubuh berfungsi
sebagai sumber energi bagi sel, sedangkan lemak di dalam baha pangan merupakan
unsure pokok yang mampu meningkatkan keempukan pangan, memperbaiki tekstur,
dan citarasa dalam pangan (Aberle et al., 2001).
Kandungan lemak daging berkolerasi negatif dengan kadar air daging, semakin

tinggi kandungan lemaknya maka semakin rendah kadar air daging. Bangsa, umur,
spesies, lokasi otot dan pakan merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
kadar lemak daging (Soeparno, 2009).
Fennema (1985) menyatakan bahwa kadar lemak dalam daging domba adalah
sebesar 5 – 6 %. Sedangkan menurut Frandson (1992), kadar lemak dalam daging
domba adalah 22,4%. Pada pustaka lain, Ramada (2009) menyatakan bahwa
kandungan lemak dalam daging domba adalah 14,8%, sedangkan USDA (2007)
menyatakan kandungan lemak dalam daging domba adalah 2,31%.

4.

Abu
Kadar abu dalam daging pada umumnya terdiri atas kalsium, fosfor, sulfur,

sodium, klorin, magnesium, dan besi (Price dan Schweigert, 1971). Kadar abu dalam
daging umumnya bervariasi yang dipengaruhi oleh kandungan protein dan lemak
(Aberle et al., 2001). Menurut Gaman dan Sherrington (1981), kadar abu dalam
daging domba adalah 0,7%. Daging olahan mengandung lebih banyak mineral yang
disebabkan karena penambahan bumbu-bumbu, garam, dan pengaruh dari metode
pemasakan (Soeparno, 2005). Tingginya kadar abu dapat disebabkan oleh adanya
pemberian rempah-rempah, garam, bahan pencampur, dan kesalahan pada saat
pengolahan (Sudarmadji et al., 1989).
5.

Karbohidrat
Karbohidrat merupakan sumber energi utama bagi hampir seluruh penduduk

dunia. Karbohidrat terdiri dari unsur-unsur C, H, dan O yang pada umumnya 13
mempunyai rumus kimia Cn(H2O)n. Kurang lebih 80% energi yang diperoleh tubuh
manusia berasal dari karbohidrat (Nasoetion et al., 1995). Karbohidrat pada daging
umumnya terdapat dalam bentuk glikogen dengan jumlah yang sangat kecil dan

biasanya terdiri dari kompleks polisakarida serta banyak diantaranya yang berkaitan
dengan protein (Price dan Schweigert, 1971).

III
KESIMPULAN
Pengertian dagimg menurut Nurwantoro dkk dalam Soeparno (1994) adalah
semua jaringan hewan dan semua hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang
sesuai untuk dimakan, serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang
mengkonsumsinya. Daging domba adalah urat daging yang melekat pada kerangka
kecuali urat daging bagian bibir, hidung dan telinga yang berasal dari domba yang
sehat sewaktu dipotong. Sifat fisik daging di bangun oleh beberapa faktor, yaitu daya
mengikat air, keempukan, nilai pH, susut masak, dan warna daging. Sedangkan sifat
kimia daging domba, yaitu kadar air, protein, lemak, abu, dan karbohidrat.

DAFTAR PUSTAKA
Aberle, E. D., J. C. Forrest, D. E. Gerrad, E. W. Mills, H. B. Hendrick, M. D. Judge &
R. A. Merkel. 2001. Principles of Meat Science. 4th Ed. Kendall/Hunt
Publishing Company, Iowa.
Abustam. 2009. Karakteristik kualitas daging. [Available at] : www.kualitasdaging.html. Diakes tanggal 21 September 2016.
Alvarado, C. Z. and S. McKee. 2007. Marination to improve functional properties
and safety of poultry meat. J. Appl. Poult. Res. 16:113- 120.
Bredahl, L and C. S. Poulsen. 2002. Perception of pork and modern pig breeding
among Danish consumers. Project Paper No.01/02. ISSN 09072101. The
Aarhus School of Business (MAPP). New York.
Deman, J.M., 1997, Kimia Makanan, Bandung : Penerbit ITB.
DSN (Dewan Standarisasi Nasional). (1995) SNI 06-3735-1995.” Mutu dan Cara Uji
Gelatin’, Jakarta.
Fennema, O. R. 1985. Food Chemistry. 2nd edition. Marcell Dekker Inc, New York.
Fiems, L.O., S. de Campeneere, S. de Smet, G. van de Voorde, J.M. Vanaker and
Ch.V. Boucque. 2000. Relationship between fat depots in carcasses of beef
bulls and effect on meat colour and tenderness. Meat Sci. 56:41- 47.
Frandson, R. D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. 4th Ed. Terjemahan: B.
Srigandono dan Koen Praseno. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Gaman, P. M. & K. B. Sherrington. 1981. Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi, dan
Mikrobiologi. Edisi Kedua. Terjemahan Gardjito, S. Naruki, A. Murdiati, dan
Sarjono. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
Gustiani, Erni. 2009. Pengendalian Cemaran Mikroba pada Bahan Pangan Asal
Ternak (Daging dan Susu) Mulai Dari Perternakan Sampai Dihidangkan.
Lembang; Balai pengkajianTeknologi Pertanian
Lawrie, R. A. 2003. Ilmu Daging. Terjemahan Aminuddin Parakkasi. Universitas
Indonesia
Press,
Jakarta.

Nasoetion, A., H. Riyadi, & E. S. Mudjajanto. 1995. Dasar-Dasar Ilmu Gizi.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.
Peterson, Christensen, dan Nelson, 1978. Working in Animal Science. McGraw-Hill.
USA.
Price, J. F. & B. S. Schweigert. 1971. The Science of Meat and Meat Products 3rd
Edition. W. H. Freeman and Company, San Fransisco.
Ramada, A. S., 2009. Daging Kambing atau Daging Domba. [Available at]:
http://www.saungdomba.com/artikel-domba-garut/101-daging-kambing-ataudaging-domba. Akses 20 September 2016.
Rosyidi, D., Ardhana, M dan Santoso, R.D.2000. Kualitas Daging Kambing Ekor
Gemuk Betina Dengan Perlakuan Docking dan Tingkat Pemberian Konsentrat
Ditinjau dari Kadar Air, Kadar Lemak dan Kadar Protein. Jurnal Ilmu-Ilmu
Peternakan. 7(2);106-110
Sahidi, F. (1998). Process-Induced Chemical Changes in Food. Plenum Press. New
York.
Sudarmadji, S, et al. 1989. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Edisi I. Cetakan
Pertama. Yogyakarta: Liberty.
Sunarlim, R., dan S. Usmiati. 2009. Karakteristik Daging Kambing dengan
Perendaman Enzim Papain. Proceding Siminar Nasional Teknologi dan
Veteriner 2009. Balai Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian
Bogor.
Soeparno. 1994. Tekhnologi Pengawasan Daging. Gadjah Mada University Press
Yogyakarta. 11-12
Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging, Cetakan III. Gadjah Mada
Press. Yogyakarta.

University

Soeparno. 2009. Ilmu Daging Dan Teknologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Sudarmadji, S., H. Bambang, & Sukardi. 1989. Analisa Bahan Makanan dalam
Pertanian. Liberty, Yogyakarta.

USDA (United States Department of Agriculture). 2007. USDA National Nutrient
Database for Standard Reference. http://www.elkusa.com/Goat_meat_nutrition.html. Akses 20 September 2016
Winarno, F.G., 1995. Enzim Pangan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia, Jakarta.
Winarno, F.G. dan T.S. Rahayu, 1994. Bahan Makanan Tambahan untuk Makanan
dan Kontaminan. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

LAMPIRAN TABEL
Tabel 1. Komposisi Kimia Daging dari Berbagai Spesies Ternak