Analisis Implementasi Program Eliminasi Filariasis Di Kabupaten Bengkalis Tahun 2013

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Kesehatan merupakan salah satu indikator dalam Indeks Pembangunan

Manusia (IPM) yang dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat di
suatu negara. Konsep kesehatan tidak hanya diartikan sebagai ketiadaan suatu
penyakit

atau

kecacatan,

namun

memperhatikan

segala


aspek

mencakup

keseimbangan fisik, mental, sosial dan spiritual, sehingga seseorang menjadi
produktif dan mampu meningkatkan kualitas hidupnya. Kesehatan Masyarakat
sebagai ilmu dan seni hadir dan semakin berkembang dalam rangka memenuhi
kebutuhan kesehatan masyarakat yang dapat menjelaskan bagaimana suatu penyakit
dapat terjadi, sehingga dapat dilakukan intervensi yang tepat dalam menangani
berbagai masalah kesehatan.
Indonesia saat ini masih menghadapi permasalahan pengendalian penyakit
menular (emerging infection diseases) dengan munculnya kembali penyakit menular
lama (re-emerging disease) dan penyakit menular baru (new emerging infection
diseases), serta adanya kecenderungan meningkatnya penyakit tidak menular
(degeneratif) yang disebabkan karena gaya hidup. Hal tersebut menunjukkan
terjadinya transisi epidemiologi penyakit, sehingga Indonesia menghadapi beberapa
beban (multiple burden) pada waktu yang bersamaan. Salah satu penyakit menular
yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia adalah penyakit
filariasis atau kaki gajah.


1

Universitas Sumatera Utara

2

Filariasis adalah penyakit menular yang disebabkan infeksi cacing filaria yang
ditularkan melalui gigitan berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini tersebar luas di
pedesaan dan perkotaan serta dapat menyerang semua golongan tanpa mengenal usia
dan jenis kelamin. Kasus filariasis menyerang sekitar sepertiga penduduk dunia atau
1,3 milyar penduduk di 83 negara berisiko terinfeksi filariasis, terutama di daerah
tropis dan beberapa daerah subtropis seperti Asia, Afrika, dan Pasifik Barat. Dari 1,3
milyar penduduk tersebut, 851 juta di antaranya terdapat di Asia Tenggara dan
Indonesia menjadi negara dengan kasus filariasis yang paling tinggi (Juriastuti dkk,
2010).
Pada tahun 2009 dilaporkan sebanyak 31 provinsi dan 337 kabupaten/kota di
Indonesia endemis filariasis dengan adanya 11.914 kasus kronis dan rata-rata
prevalensi mikrofilaria sebesar 19%. Jika hal ini tidak ditangani maka diperkirakan
yang terinfeksi filariasis sebanyak 44.650.000 orang akan menjadi kasus kronis.
Dengan mempertimbangkan jumlah penduduk yang berisiko di daerah endemis

filariasis saja (± 130.000.000 orang) maka jumlah kasus asimptomatis adalah
23.750.000 orang (Kemenkes RI, 2010).
Filariasis dapat menimbulkan kecacatan seumur hidup serta stigma sosial
berupa pengucilan, kegiatan sosial terganggu, tidak bisa menikmati waktu rekreasi
dan rasa tidak nyaman bagi penderita dan keluarganya bila telah menimbulkan
pembengkakan pada tangan, kaki, payudara, dan skrotum. Keadaan ini juga
membawa dampak beban ekonomi yaitu untuk biaya berobat, hari produktif yang

Universitas Sumatera Utara

3

hilang karena sakit dan hari produktif anggota rumah tangga lain yang hilang karena
harus merawat orang yang sakit (Kemenkes RI, 2010).
Dalam penelitian Ascobat Gani dkk tahun 2000 ditemukan bahwa kerugian
ekonomi akibat filariasis baik karena kehilangan jam kerja maupun biaya-biaya yang
ditanggung selama pengobatan, besarnya adalah Rp. 735.380,- per kasus per tahun
atau setara dengan 17,8 % dari seluruh pengeluaran keluarga atau 32,3 % dari biaya
makan. Untuk seluruh Indonesia diperkirakan kerugian sebesar Rp. 4,6 triliun per
tahun (Tuti dkk, 2009).

Saat ini penyakit filariasis telah menjadi salah satu penyakit yang
diprioritaskan untuk dieliminasi, diperkuat dengan keputusan WHO tahun 2000
mendeklarasikan “The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a
Public Health Problem by the Year 2020”. Indonesia sepakat untuk melakukan
Program Eliminasi Filariasis yang dilaksanakan secara bertahap dimulai tahun 2002.
Adapun pedoman dalam pengendalian filariasis terdapat dalam Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1582/MENKES/SK/XI/2005 (Kemenkes RI,
2010).
Satuan pelaksanaan (Unit Implementation) dari program eliminasi filariasis
adalah kabupaten/kota endemis filariasis dengan Microfilaria rate (Mf rate) > 1%.
Strategi yang digunakan yaitu dengan Pemberian Obat Massal Pencegahan (POMP)
filariasis dan penatalaksanaan kasus klinis filariasis. Regimen yang dianjurkan WHO
untuk POMP filariasis adalah kombinasi DEC / Diethylcarbamazine Citrate dan
Albendazole (Kemenkes RI, 2010).

Universitas Sumatera Utara

4

Manifestasi klinis filariasis membutuhkan waktu yang lama sehingga

pengobatan massal filariasis dilakukan sekali setahun selama 5 tahun berturut-turut
agar penyebab filariasis dapat diberantas dan tidak terjadi reinfeksi filariasis. Adapun
tujuan program eliminasi filariasis adalah menurunkan Mf rate menjadi < 1% di
setiap kabupaten/kota dan mencegah serta membatasi kecacatan karena filariasis
(Kemenkes RI, 2010).
Tantangan dari program ini adalah dukungan dari kepala daerah karena
sebagian besar daerah belum menjadikan filariasis sebagai prioritas. Sampai tahun
2013 tercatat hanya 145 kabupaten/kota yang sudah melaksanakan program eliminasi
filariasis dari 337 kabupaten/kota yang endemis filariasis. Bila hal ini terus terjadi
maka eliminasi filariasis global tahun 2020 akan sulit tercapai (Kemenkes RI, 2013).
Berdasarkan laporan Ditjen PP & PL Depkes RI tahun 2009, tiga provinsi di
Indonesia dengan jumlah kasus terbanyak filariasis adalah Provinsi Aceh sebanyak
2.359 orang, Nusa Tenggara Timur sebanyak 1.730 orang dan Papua sebanyak 1.158
orang, sedangkan tiga provinsi dengan kasus terendah adalah Bali yaitu 18 orang,
Maluku Utara sebanyak 27 orang, dan Sulawesi Utara sebanyak 30 orang. Provinsi
Riau menempati urutan kelima dengan jumlah kasus filariasis terbanyak yaitu 512
orang (Kemenkes RI, 2010).
Penyakit filariasis sudah menyebar merata hampir ke seluruh kabupaten/kota
di Provinsi Riau dengan jumlah kasus filariasis yang semakin bertambah dari tahun
ke tahun. Menurut data Profil Kesehatan Provinsi Riau Tahun 2011, angka kesakitan

filariasis kronis yang ada di Provinsi Riau terbesar di Kabupaten Kepulauan Meranti

Universitas Sumatera Utara

5

(9 per 100.000 penduduk) disusul Kabupaten Kuansing, Kabupaten Siak dan
Kabupaten Indragiri Hilir (8 per 100.000 penduduk), kemudian Kabupaten Indragiri
Hulu, Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Rokan Hilir (3 per 100.000 penduduk)
serta Kabupaten Rokan Hulu dan Kabupaten Bengkalis (2 per 100.000 penduduk).
Untuk Kota Dumai tidak ada kasus, sedangkan Kota Pekanbaru 2 kasus (0,2 per
100.000 penduduk). Adapun kabupaten/kota dengan jumlah kasus terendah tersebut
belum tentu menggambarkan situasi yang sebenarnya karena adanya kesulitan dalam
pendiagnosaan filariasis tahap awal serta adanya kasus yang belum dilaporkan
sehingga perlu ditingkatkan penemuan kasus klinis filariasis di masyarakat.
Dari 10 kabupaten dan 2 kota yang terdapat di Provinsi Riau, baru Kota
Dumai dan Kabupaten Pelalawan yang sudah berhasil melaksanakan POMP filariasis
selama 5 tahun berturut-turut dan berhasil menurunkan Mf rate menjadi < 1%
sehingga akan segera disertifikasi. Untuk kabupaten lainnya, ketidaktersediaan dana
yang dialokasikan untuk pengobatan kaki gajah menyebabkan kegiatan tersebut tidak

dapat dilaksanakan secara berkesinambungan, padahal pengobatan filariasis harus
dilaksanakan selama 5 tahun berturut-turut. Beberapa kabupaten masih menggunakan
dana APBD I dalam pelaksanaan POMP filariasis seperti Kabupaten Indragiri Hulu
dan Indragiri Hilir. Kabupaten lain yang sudah melaksanakan pengobatan massal
filariasis melalui dana APBD II yaitu Bengkalis dan Siak (Profil Kesehatan Provinsi
Riau 2009).
Pada pemetaan endemisitas filariasis di Indonesia yang telah dilakukan sejak
tahun 2002, Kabupaten Bengkalis memiliki angka Mf rate tertinggi dibandingkan

Universitas Sumatera Utara

6

kota/kabupaten lain di Provinsi Riau yaitu sebesar 3,6% (Dinkes Provinsi Riau,
2008). Dengan tingkat endemisitas yang tinggi maka Kabupaten Bengkalis sangat
berisiko terhadap bahaya penularan filariasis sehingga POMP filariasis sangat penting
untuk dilaksanakan.
Tabel 1.1 Mf rate Kabupaten/Kota di Provinsi Riau
No.
TAHUN SURVEI

KAB/KOTA
1
Pekanbaru
2
Kampar
2005
3
Rokan Hulu
4
Pelalawan
2005
5
Kuansing
2003
6
Indragiri Hulu
2004
7
Indragiri Hilir
2005

8
Siak
2004
9
Dumai
2002
10
Bengkalis
2005
11
Rokan Hilir
2003
Sumber : Dinkes Provinsi Riau, 2008

MF RATE (%)
2.3
2,3
3.3
1.3
1.5

1.2
1.3
3.6
2.1

Kabupaten Bengkalis telah melaksanakan pengobatan massal filariasis pada
tahun 2007, namun dilaksanakan secara selektif hanya di beberapa kecamatan (Profil
Kesehatan Provinsi Riau Tahun 2007). Hal tersebut tidak efektif karena POMP
filariasis seharusnya dilaksanakan di seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten
Bengkalis. Akibatnya pada tahun 2012 sampai dengan tahun 2013, Dinas Kesehatan
Kabupaten Bengkalis bersama BTKL-PPM Batam menemukan lagi 4 kasus filariasis
kronis yang tersebar di Kabupaten Bengkalis yaitu di Desa Wonosari Kecamatan
Bengkalis, Desa Bantan Tua Kecamatan Bantan, Kelurahan Tanjung Kapal
Kecamatan Rupat dan Kecamatan Mandau (Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkalis,
2013).

Universitas Sumatera Utara

7


Adanya penemuan kasus filariasis di tahun 2012 dan 2013 serta ditetapkannya
Kabupaten Bengkalis sebagai daerah endemis filariasis pada tahun 2012 oleh
Kementerian Kesehatan RI menunjukkan bahwa filariasis masih menjadi masalah
kesehatan masyarakat di Kabupaten Bengkalis. Oleh karena itu, Pemerintah
Kabupaten Bengkalis mencanangkan program eliminasi filariasis tahun 2013 di Desa
Sebauk Kecamatan Bengkalis (riauaksi.com, 2013).
Pemerintah Kabupaten Bengkalis telah melaksanakan POMP filariasis
dimulai pada tahun 2013 dan akan dilanjutkan selama lima tahun berturut-turut,
bekerja sama dengan pemerintah pusat dengan harapan tercapai Kabupaten Bengkalis
zero filariasis pada tahun 2017. Namun, dalam pelaksanaannya tentu masih banyak
hambatan yang ditemukan.
Pelaksanaan program eliminasi filariasis membutuhkan koordinasi yang
strategis serta kerjasama yang baik dari berbagai pihak agar tujuan eliminasi filariasis
dapat tercapai. Oleh karena itu, peneliti ingin melakukan penelitian untuk mengetahui
bagaimana pelaksanaan program eliminasi filariasis tahun 2013 di Kabupaten
Bengkalis.
1.2

Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam

penelitian ini adalah bagaimana pelaksanaan program eliminasi filariasis di
Kabupaten Bengkalis tahun 2013.

Universitas Sumatera Utara

8

1.3

Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan pelaksanaan program

eliminasi filariasis di Kabupaten Bengkalis tahun 2013.
1.4

Manfaat Penelitian

1.

Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Kabupaten Bengkalis, Dinas
Kesehatan Kabupaten Bengkalis dan pihak lainnya yang terkait dengan
pelaksanaan program eliminasi filariasis di Kabupaten Bengkalis tahun 2013

2.

Sebagai informasi tambahan yang akan memperkaya kajian dalam ilmu
Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

3.

Sebagai bahan informasi dan referensi bagi penelitian selanjutnya

Universitas Sumatera Utara