Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower Dalam Sistem Peradilan Pidana Pada Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tindak pidana korupsi merupakan extra ordinary crime, yaitu merupakan
tindak pidana yang termasuk dalam kategori kejahatan luar biasa dikarenakan
adanya implikasi buruk multidimensi kerugian ekonomi dan keuangan negara.
Korupsi saat ini sudah menjadi masalah global antar Negara yang tergolong
kejahatan transnasional dan merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai
dimana-mana. Suatu fenomena sosial yang dinamakan korupsi merupakan realitas
perilaku manusia dalam interaksi sosial yang dianggap menyimpang, serta
membahayakan masyarakat dan negara. Oleh karena itu, perilaku tersebut dalam
segala bentuk dicela oleh masyarakat, bahkan termasuk oleh para koruptor itu
sendiri.1
Sejarah membuktikan bahwa hampir tiap negara diperhadapkan dengan
masalah korupsi. Begitu juga dengan negara Indonesia, sebagai negara yang besar
Indonesia juga diperhadapkan dengan masalah korupsi yang tiada berujung.
Menurut Lembaga Transparency International (TI) yang merilis data indeks
persepsi korupsi (Corruption Perception Indeks) pada tahun 2015, dilaporkan
bahwa dari 168 Negara yang diamati lembaga tersebut adapun Indonesia

1


Elwi Danil, Korupsi: (Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya), PT Raja
Grafindo, Jakarta, 2014, hal. 1

Universitas Sumatera Utara

menempati peringkat ke 88 dan telah naik dari tahun sebelumnya yaitu tahun 2014
dimana Indonesia berada pada peringkat 107 sebagai negara terkorup didunia.2
Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa negara Indonesia masih dalam
kondisi yang memprihatinkan. Karena tingkat korupsi yang tinggi akan sangat
berpengaruh kepada kehidupan dan kondisi perekonomian masyarakat Indonesia
serta tingkat kesejahteraan sosial masyarakat juga akan sangat memprihatinkan.
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
menyatakan bahwa “Untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesehateraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia
itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia…”.


Berdasarkan

rumusan tersebut maka Pemerintah Negara Indonesia mempunyai misi:3
1.
2.
3.
4.
5.

Melindungi segenap bangsa Indonesia;
Melindungi seluruh tumpah darah Indonesia;
Memajukan kesejahteraan umum;
Mencerdaskan kehidupan bangsa;
Ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Pengertian kata “melindungi” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia

antara lain, sebagai berikut:4
1.

Menutupi supaya tidak tampak, tidak ada panas, angin, atau udara dingin

dan sebagainya;
2

http://nasional.tempo.co/read/news/2016/01/27/063739957/ini-daftar-peringkat-korupsidunia-indonesia-urutan-berapa Diakses pada Tanggal 1 Maret 2016
3
Laden Marpaung, Tindak Pidana Korupsi: Pencegahan dan Pemberantasan, Djambatan,
Jakarta, 2009, hlm. 1
4
Ibid, hal. 2

Universitas Sumatera Utara

2.
3.

Merawat, memelihara;
Menyelamatkan (memberi pertolongan, dan sebagainya supaya terhindar
dari mara bahaya).

Pengertian “kesejahteraan” diartikan, antara lain “keamanan, keselamatan,

ketentraman, kesenangan hidup, kemakmuran”. 5
Visi pemerintahan negara Indonesia sangat mulia, namun dalam
pencapaian visi tersebut terjadi kecurangan dan ketidakjujuran orang-orang yang
serakah akan harta kekayaan, jabatan dan tahta. Sehingga untuk mencapai misi
negara Indonesia terkhusus dalam melindungi dan memberikan kesejahteraan
akan sulit dicapai karena kasus-kasus korupsi yang terjadi.
Tindak pidana korupsi memang merupakan tindak pidana yang tidak asing
lagi bagi lingkungan masyarakat Indonesia. Pemberitaan tentang kasus-kasus
korupsi bahkan telah menjadi konsumsi sehari-hari masyarakat Indonesia. Tapi
yang menjadi permasalahan adalah bagaimana cara menangani permasalahan ini.
Hal ini belum terpecahkan sampai sekarang dan lahirnya sebenarnya lembaga
KPK sangat membantu penanganan masalah ini, tetapi tetap saja tingkat korupsi
di Indonesia tidak mendapatkan hasil yang maksimal. Dan ternyata hukuman yang
berat yang dimuat dalam undang-undang juga tidak membuat para koruptor ini
merasa takut, akan tetapi respon mereka dihadapan wartawan ketika tertangkap
dan menjadi tersangka korupsi terlihat bahwa mereka tidak takut. Dan dari
beberapa putusan pengadilan terhadap kasus korupsi juga membuat mereka tidak
jera karena hukuman itu sepertinya terlalu ringan. Bahkan semakin hari semakin

5


Ibid.

Universitas Sumatera Utara

marak saja kasus-kasus korupsi ini, termasuk dilingkungan pejabat-pejabat
negara.
Dari sisi hukum, rumusan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan negara
dan rumusan tindak pidana korupsi yang telah diatur dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan
kemudian telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sudah cukup luas dan memadai untuk menjerat berbagai
tindak pidana korupsi di Indonesia. Yang menjadi permasalahan adalah rusaknya
moral bangsa Indonesia dan lemahnya pengungkapan dan pemrosesannya oleh
institusi penegak hukum yang dimulai dari pemeriksa/pengawas, kepolisian,
kejaksaan, dan para hakim.6
Sanksi dan ancaman hukum yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan kemudian telah
diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi tersebut sudah sangat berat, mulai dari penjara, denda dan ganti rugi,
bahkan hukuman mati. Akan tetapi, kehadiran undang-undang ini bahkan amanat
besar undang-undang ini yang mana perlu dibentuknya lembaga khusus yang
mempunyai kewenangan dan kekuasaan yang besar untuk mencegah dan
memberantas korupsi yaitu Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
yang telah dilegalisasi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
6

Surachmin dan Suhandi Cahaya, Strategi dan Teknik
Mencegah), Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal. 3

Korupsi (Mengetahui Untuk

Universitas Sumatera Utara

tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, ternyata masalah korupsi bukan makin
surut dan berkurang, tetapi semakin marak dan canggih serta menyebar ke segala
lapisan penyelenggaraan negara mulai dari kalangan elit sampai dengan pegawai
terendah.7

Secanggih apapun sistem yang diberlakukan disebuah Negara, jika tidak
diimbangi dengan penguatan moral dan mental sumber daya manusianya, adalah
sia-sia belaka. Kalimat tersebut terbukti dengan situasi dan kondisi yang sedang
melanda negara Indonesia. Berbagai bentuk Undang-Undang sebagai ramburambu yang diproduk tak mampu lagi menjadi pembatas kebrutalan para penjajah
uang negara yang adalah merupakan uang milik rakyat. Perilaku korup yang
membabi buta telah menerjang segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara
hingga tak tahu lagi harus berbuat apa.8
Data dari situs KPK menunjukkan bahwa kasus-kasus korupsi bukannya
berkurang akan tetapi semakin meningkat dari tahun ke tahun. Berikut data dari
Anti-Corupption Clearing House (ACCH-KPK) dari tahun 2004-2015 yang sudah
ditindak oleh lembaga KPK. 9 Yang menunjukkan bagaimana upaya-upaya yang
coba dilakukan oleh negara Indonesia untuk memberantas korupsi. Dari data
tersebut menunjukkan bagaimana upaya yang telah dilakukan oleh lembaga
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

7

Ibid, hal. 4
Ibnu Santoso, Memburu Tikus-Tikus Otonom (Gerakan Moral Pemberantasan Korupsi),
Gava Media, Yogyakarta, 2010, hal. xv

9
http://acch.kpk.go.id/statistik Diakses Pada Tanggal 25 Februari 2016
8

Universitas Sumatera Utara

Penindakan yang dilakukan oleh KPK per 31 Desember 2015, di tahun
2015 KPK melakukan penyelidikan 87 perkara, penyidikan 57 perkara,
penuntutan 62 perkara, inkracht 37 perkara, dan eksekusi 38 perkara. Dan dengan
demikian, maka total penanganan perkara tindak pidana korupsi dari tahun 20042015 adalah penyelidikan 752 perkara, penyidikan 468 perkara, penuntutan 389
perkara, inkracht 320 perkara, dan eksekusi 333 perkara.
Usaha memberantas korupsi dengan upaya menggunakan hukum asing
juga telah dilakukan, yaitu dengan diratifikasinya Konvensi Perserikatan BangsaBangsa Anti Korupsi (KAK) 2003 yang kemudian diratifikasi Indonesia melalui
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations
Convention Against Corruption,2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti
Korupsi, 2003. 10 Tetapi upaya ini juga belum berbuah banyak, karna korupsi
masih tetap menjadi masalah utama di Indonesia yang sulit untuk dipecahkan.
Pemberantasan korupsi seolah-olah jalan ditempat, tidak sesuai dengan
harapan masyarakat sehingga para pakar memikirkan bagaimana agar korupsi
dapat diberantas. Menurut Taten Masduki, Koordinator Badan Pekerja Indonesian


10

Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia (Normatif, Teoritis, Praktik, dan
Masalahnya), PT Alumni, Bandung, 2007, hal.

Universitas Sumatera Utara

Corruption Wacth, berpendapat bahwa korupsi hanya dapat diberantas kalau
sebagian besar masyarakat Indonesia dilibatkan.

11

Artinya, masyarakat

mempunyai akses untuk mendapatkan informasi dan mengadukan pejabat negara
yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Dan bagian negara adalah
melindungi masyarakat yang melaporkan tersebut.
Workshop “Creating Publik Private Partnership Against Corruption”
yang diadakan di Manila (Pilipina) oleh


Management System Internasional

Development (USAID), yang diikuti oleh Indonesia Filipina dan Thailand
(Oktober 1999), berkesimpulan bahwa “paling tidak ada 3 (tiga) pilar dalam
masyarakat yang harus dilibatkan dalam gerakan anti korupsi yakni: civil society,
kalangan bisnis, media massa”.12 Dengan adanya kerja sama diantara ketiga pilar
masyarakat ini maka pemberantasan korupsi akan berlangsung dengan baik.
Kalangan bisnis, masyarakat sipil dan media massa harus menyadari bahwa
korupsi akan sangat merugikan baik jangka pendek maupun jangga panjang
kehidupan perekonomian negara Indonesia.
Belakangan ini, istilah Whistleblower mulai hangat terdengar ditelinga
masyarakat Indonesia. Satu per satu kasus korupsi mulai dikuak oleh orang-orang
yang sebenarnya sangat dekat dengan kejahatan tersebut. Dengan alasan tertentu,
saksi-saksi pelapor atau yang sering disebut dengan Whistleblower ini mulai
membuka kasus-kasus korupsi. Bahwa ada sebuah fakta adanya indikasi tindak
pidana korupsi yang dilakukan oleh birokrasi pemerintah maupun pihak swasta
dan fakta ini berusaha diungkapkan ke publik oleh birokrat itu sendiri. Para
11
12


Laden Marpaung, Op.cit, hal. 6
Ibid, hal. 7

Universitas Sumatera Utara

pengungkap fakta ini biasa disebut dengan istilah whistleblower.13 Fenomena ini
memberikan sebuah angin segar dalam proses penegakan hukum untuk
memerangi korupsi yang telah akut dan berkembang menjadi sebuah kebiasaan di
dalam birokrasi pemerintah dan swasta.
Beberapa tahun terakhir, istilah Whistleblower banyak diberitakan baik di
media cetak maupun televisi. Secara harfiah memiliki arti “peniup peluit”, dalam
konteks pencarian informasi dalam penegakan hukum, memiliki arti orang yang
membuka semua kasus yang dia ketahui. Tapi definisi subtantifnya, whistleblower
memiliki arti orang yang mengungkap suatu kasus dimana dia terlibat didalamnya.
Whistleblower adalah seseorang yang memberikan informasi mengenai suatu
tindak pidana yang terjadi dalam suatu instansi, badan pemerintah atau perusahaan
swasta.14
Meniup peluit dapat didefinisikan membocorkan informasi yang dilakukan
oleh anggota organisasi karena adanya bukti pelanggaran dan/atau tindakan yang
tidak bermoral yang terjadi dalam organisasi atau adanya penyimpangan dalam
organisasi yang merugikan kepentingan masyarakat. Berdasarkan definisi tersebut
dapat kita kemukakan beberapa hal yang menyangkut definisi meniup peluit:15
a) Meniup peluit adalah suatu tindakan yang hanya dapat dilakukan oleh
anggota dari suatu organisasi. Bukan merupakan meniup peluit ketika
suatu kesaksian terhadap suatu kejahatan diberikan oleh polisi atau
memberikan kesaksian di pengadilan. Juga bukan merupakan meniup
peluit ketika seorang reporter yang membongkar adanya praktek-praktek
Mustofa, “Peran Whistleblower dalam Sistem Peradilan Pidana (Suatu Tinjauan Yuridis
Normatif Ilmiah, Terhadap Hak,Peran dan Kedudukan Pengungkap Tindak Pidana Korupsi)”,
Artikel Penelitian Hukum, 5 Januari 2015.
14
Ibid.
15
Suradi Widyaiswara Madya, “Pro Kontra Peniup Peluit”, Artikel dari Balai Diklat
Keuangan Palembang, Sumatera Selatan.
13

Universitas Sumatera Utara

b)

c)

d)

e)
f)

ilegal dalam suatu organisasi dan membeberkannya dalam bentuk tulisan.
Meniup peluit merupakan suatu tindakan dimana tempatnya berada di
dalam suatu organisasi.
Harus ada informasi. Meniup peluit merupakan tindakan membocorkan
informasi yang sebenarnya tidak diketahui publik (nonpublic information).
Sisella Bok menyatakan bahwa, peniup peluit berasumsi bahwa pesan
yang mereka sampaikan akan mengingatkan kepada para pendengarnya
tentang sesuatu yang tidak mereka ketahui, atau sangat penting dimana
tidak setiap orang dapat mengetahuinya karena informasi tersebut sangat
dirahasiakan.
Informasi yang disampaikan biasanya merupakan bukti adanya
penyimpangan yang sangat vital yang terjadi dalam suatu organisasi atau
yang dilakukan oleh sekelompok orang yang berada dalam organisasi
tersebut.
Informasi harus disampaikan melalui saluran komunikasi yang tidak
normal (nonnormal). Pada sebagian besar organisasi, karyawan
diperintahkan untuk melaporkan jika terjadi tindakan ilegal atau adanya
kegiatan yang menyimpang kepada para supervisornya. Selain itu
perusahaan juga memiliki kebijakan yang mendorong para karyawan
untuk menyampaikan secara tertulis kepada pihak manajemen jika
disinyalir terjadi kecurangan. Laporan tersebut dijamin kerahasiannya, dan
bahkan ada perusahaan yang membentuk unit organisasi untuk menangani
berbagai pengaduan yang disebut “Ombudsman”. Karyawan yang
mengikuti prosedur yang telah ditetapkan untuk melaporkan adanya suatu
penyimpangan tidak dapat dikategorikan sebagai peniup peluit.
Penyampaian informasi harus dilakukan secara suka rela dan dibenarkan
secara hukum.
Meniup peluit harus merupakan kegiatan sebagai protes moral; dan
motivasinya harus merupakan suatu koreksi dari suatu tindakan yang salah
dan tidak untuk balas dendam (revenge) atau untuk mendapatkan
keuntungan pribadi.
Whistleblower bukanlah sesuatu hal yang baru, melainkan sesuatu yang

sudah lama ada. Whistleblower menjadi sangat populer di Indonesia karena akhirakhir ini sangat marak pemberitaan tentang pengungkapan beberapa kasus-kasus
besar yang terjadi dikalangan orang-orang besar, sehingga keberadaan
Whistleblower

itu

sangat

bergema

di

masyarakat.

Dengan

kehadiran

Whistleblower ini sebenarnya merupakan angin segar bagi hukum Indonesia.
Dimana kehadiran Whistleblower akan sangat membantu para penegak hukum

Universitas Sumatera Utara

untuk mengungkap kasus-kasus kejahatan besar, termasuk juga kasus-kasus yang
terorganisir.
Kasus korupsi merupakan salah satu sasaran baik dengan adanya
Whistleblower ini, dimana dengan adanya pengakuan dari orang-orang yang
mengetahui secara langsung kasus korupsi tersebut, maka akan semakin
memudahkan untuk memberantas korupsi di Indonesia. Tetapi yang menjadi
permasalahan sekarang adalah kemudahan itu kemudian menjadi tantangan besar
bagi sistem hukum di Indonesia. Hal ini dikarenakan perlindungan hukum
terhadap Whistleblower itu sendiri menuntut adanya kepastian hukum yang baik
yang mampu menjamin perlindungan penuh kepada Whistleblower itu sendiri.
Perlindungan terhadap whistleblower sendiri sebenarnya diatur secara
tegas dalam Pasal 33 United nations Convention Againts Corruption (UNCAC).
Konvensi ini telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2006. Perlindungan Whistleblower juga secara tegas diatur secara khusus di dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
yang telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014. Dan secara
khusus pelaksanaannya diatur dalam PP Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan Dan Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Selain itu pengaturan tentang Whistleblower ini juga
diatur dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011.
Meskipun ada peraturan perundang-undangan yang secara tegas mengatur,
masih ada hal yang menjadi ganjalan dari Whistleblower dalam mengungkap
fakta. Hal demikian yang perlu dicari jalan keluar agar Whistleblower dapat

Universitas Sumatera Utara

bekerjasama dengan para aparat penegak hukum dalam memerangi korupsi.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh ACFE (Association of Certified Fraud
Examiners) menunjukkkan bahwa hampir 50% kecurangan yang terjadi pada pada
tahun 2008 dapat diungkap melalui tips dan keluhan dari pegawai, pelanggan,
pemasok dan sumber lainnya, termasuk Whistleblower sebesar 46,2% dan pada
tahun 2006 peran Whistleblower sebesar 34,2% .16
Permasalahan saat ini adalah Whistleblower mendapat berbagai ancaman
bahkan serangan balik dari pihak yang menjadi lawannya. Jaminan perlindungan
kepada Whistelblower tidak maksimal sehingga membuat para Whistleblower
tidak berani bahkan memilih untuk menutup mulut. Padahal keuntungan dengan
adanya Whistelblower dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sangat
diperlukan dan kemungkinan akan sangat membantu pihak-pihak yang berwajib
untuk memberantas masalah ini.
Peran Whistelblower sebenarnya sangat diperlukan dalam melakukan
pemberantasan korupsi mulai dari penyidikan, penuntutan dan bahkan
dipengadilan. Tetapi yang harus diperhatikan adalah hal-hal yang berkaitan
dengan perlindungan terhadap Whistelblower, bagaimana agar mereka tidak takut
dalam mengungkap kasus-kasus yang mereka ketahui. Hal inilah yang berkaitan
dengan perlindungan yang diberikan kepada Whistelblower. Undang-undang
harus dengan tegas memberikan bagaimana perlindungan yang seharusnya yang
diberikan kepada Whistelblower.

16

http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/168-artikel-pengembangansdm/10977-peran-peniup-peluit-dalam-pemberantasan-korupsi Diakses pada tanggal 28 Maret
2016.

Universitas Sumatera Utara

Keberadaan Whistelblower perlu dilindungi dan harus benar-benar
menjamin keamanan dan kenyamanan mereka dan hal itu harus dituangkan secara
jelas didalam undang-undang, sehingga mereka tidak takut dan berani untuk
mengungkap fakta. Melihat betapa urgent hal tersebut sehingga penulis merasa
perlu dibahas untuk melihat bagaimana jaminan yang diberikan oleh undangundang tersebut kepada para pengungkap fakta dan sejauh mana undang-undang
memberikan perlindungan kepada Whistelblower tersebut.
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut:
1.

Bagaimana peran Whistelblower dalam penyelesaian tindak pidana korupsi di
Indonesia?

2.

Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap Whistelblower tindak pidana
korupsi dalam sistem peradilan pidana di Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk memberikan
jawaban dan arah atas permasalahan yang ada, yaitu sebagai berikut:
1.

Untuk mengetahui peran Whistelblower dalam mengungkap tindak pidana
korupsi terkhususnya di

Indonesia

serta bagaimana peran penting

Whistelblower tersebut dalam menyelesaikan tindak pidana korupsi.

Universitas Sumatera Utara

2.

Untuk mengetahui perlindungan hukum yang diberikan oleh negara terhadap
Whistelblower yang mengungkap tindak pidana korupsi di dalam sistem
peradilan pidana di Indonesia.
Selain tujuan, bobot penulisan skripsi ini juga terlihat dari manfaatnya.

Penulis dalam menulis Skripsi ini mengharapkan diperoleh manfaat dan kegunaan
sebagai berikut:
1.

Manfaat Teoritis
a. Secara teoritis, hasil penulisan skripsi ini diharapkan dapat menambah
ilmu pengetahuan dibidang ilmu hukum pidana, dan bisa menjadi landasan
bagi ilmu pengetahuan pada umumnya. Secara khusus, penulisan skripsi
ini diharapkan dapat menjadi landasan dalam kajian mengenai bagaimana
mengatasi masalah tindak pidana korupsi dan penyelesaiannnya melalui
peran Whistleblower.
b. Hasil penulisan skripsi ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangsih
pemikiran dan menjadi literatur untuk penulisan selanjutnya, khususnya
mengenai bagaimana mengatasi masalah tindak pidana korupsi dan
penyelesaiannnya melalui peran Whistleblower.

2.

Manfaat Praktis
Hasil penulisan skripsi ini diharapkan mampu memberi sumbangsih
pemikiran terhadap setiap pihak yang terkait dalam menangani masalah
tindak pidana korupsi, terkhusus dalam penyelesaian masalah melalui peran
Whistleblower dan juga bagaimana setiap pihak tersebut memberikan

Universitas Sumatera Utara

perlindungan kepada Whistleblower agar mereka tidak takut mengungkapkan
korupsi yang mereka ketahui.
D. Keaslian Penulisan
Dalam proses pembuatan skripsi ini, penulis memulainya dengan
mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan korupsi, kemudian bahanbahan yang berkaitan dengan Whistleblower. Dan setelah itu penulis merangkai
sendiri menjadi sebuah karya ilmiah yang disebut dengan skripsi. Kemudian dari
hasil penelusuran pada kepustakaan Universitas Sumatera Utara dan informasi
yang tersedia ialah skripsi dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap
Whistleblower dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Pada Pemebrantasan
Tindak Pidana Korupsi” belum pernah ditulis dalam bentuk skripsi sebelumnya.
Oleh karena itu, penulis berkeyakinan bahwa skripsi ini murni dibuat
sendiri oleh penulis dan dapat dipertanggungjawabkan.
E. Tinjauan Pustaka
1. Pengertian dan Ruang Lingkup Tindak Pidana Korupsi
Istilah korupsi berasal dari satu kata dalam bahasa Latin yakni corruptio
atau corruptus yang disalin dalam bahasa Inggris menjadi corruption atau corrupt
dalam bahasa Prancis menjadi corruption dan salam bahasa Belanda disalin
menjadi istilah coruptie (korruptie). Secara harfiah istilah tersebut berarti segala
macam perbuatan yang tidak baik, seperti yang dikatakan Andi Hamzah sebagai
kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral,
penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau

Universitas Sumatera Utara

menfitnah.17 Berbagai kamus Bahasa Indonesia mengisyaratkan korupsi dengan
sangat sederhana, yakni tindakan atau perbuatan penyelewengan yang dilakukan
oleh oknum hukum dan atau aparat negara untuk kepentingan pribadi dengan
memperkaya diri sendiri sehingga menyebabkan kerugian pada negara.18
Disamping itu istilah korupsi dibeberapa negara, dipakai juga untuk
menunjukkan keadaan dan perbuatan yang busuk. Korupsi banyak dikaitkan
dengan ketidakjujuran seseorang dibidang keuangan. Banyak istilah dibeberapa
negara, “gin moung” (Muangthai), yang berarti “makan bangsa”, “tanwu” (Cina)
yang berarti “keserakahan bernoda”, “oshoku” (Jepang), yang berarti “kerja
kotor”.19
Dalam Webster’s New American Dictionary, kata “corruption” diartikan
sebagai “decay” (lapuk); “contamination” (kemasukan sesuatu yang merusak);
dan “impurity” (tidak murni). Sedangkan kata corrupt dijelaskan sebagai “to
become rotten or putrid” (menjadi busuk, lapuk atau buruk), juga “to induce
decay in something originally clean and sound” (memasukkan sesuatu yang
busuk, atau yang lapuk kedalam sesuatu yang semula bersih dan bagus). 20
Sementara itu, menurut Kamus Hukum, kata Korupsi diartikan sebagai
penyelewengan atau penggelapan uanng negara atau perusahaan sebagai tempat
seseorang bekerja untuk keuntungan pribadi atau orang lain.21

17

Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil, Korupsi di Indonesia, Bayumedia
Publishing, Malang Jawa Timur, 2005, hal.
18
Ibnu Santoso, Op.cit, hal.
19
Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi
(Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001), CV Mandar Maju, Bandung, 2009, hal. 6-7
20
Elwi Daniel, Op.cit, hal. 3-4
21
Sudarsono, Kamus hukum, PT Asdi Mahasatya, Jakarta, 2007, hal. 231

Universitas Sumatera Utara

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dirumuskan bahwa Korupsi yaitu setiap orang yang secara
melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara. 22
Penelusuran terhadap makna korupsi dengan ungkapan ciri-ciri koupsi itu
sendiri seperti yang ditulis oleh Syed Hussein Alatas dalam bukunya “Sosiologi
Korupsi: Sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer” adalah sebagai
berikut:23
a.
b.

Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang;
Korupsi pada umumnya melibatkan keserbarahasiaan, kecuali ia telah
begitu merajalela, dan begitu mendalam berurat berakar, sehingga
individu-individu yang berkuasa, atau meraka yang berada dalam
lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatan mereka;
Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik;
Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk
menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran
hukum;

c.
d.

22

Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, menjelaskan bahwa “Yang berarti bahwa tindak pidana korupsi itu sangat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional,
selain itu juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut
efesiensi tinggi. Keuangan negara yang dimaksud adalah adalah seluruh kekayaan negara dalam
bentuk apapun, yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian
kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena berada dalam penguasaan,
pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di
daerah. Dan berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik
Negara/ Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan
modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian
dengan Negara. Sedangkan yang dimaksud dengan Perekonomian Negara adalah kehidupan
perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha
masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik ditingkat pusat
maupun daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan
rakyat”.
23
Elwi Danil, Op. cit, hal. 7-8

Universitas Sumatera Utara

e.

Mereka yang terlibat korupsi adalah mereka yang menginginkan
keputusan-keputusan yang tegas, dan mereka yang mampu untuk
memengaruhi keputusan-keputusan itu;
Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan;
Setiap bentuk korupsi adalah suatu penghianatan kepercayaan;
Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari
mereka yang melakukan tindakan itu;
Suatu perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan
pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat.

f.
g.
h.
i.

Sebenarnya pengertian korupsi beraneka ragam, tapi satu hal yang harus
dipahami bersama bahwa korupsi itu adalah perbuatan buruk yang akan sangat
berdampak kepada ribuan nyawa dan kelangsungan hidup masyarakat didalam
negara itu. Korupsi juga akan mengakibatkan terhambatnya perkembangan
Negara, pembangunan di dalam negara dan juga kemajuan negara tersebut.
Dalam negara Indonesia, korupsi itu telah merajalela dan telah melanggar
norma-norma serta misi negara Indonesia itu sendiri seperti yang tercantum dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Tidak ada lagi letak
perlindungan serta kesejahteraan yang akan dirasakan rakyat Indonesia, sebab
para koruptor telah mengambil uang rakyat untuk tujuan pribadi dan golongan
tertentu.
Saat ini, lingkup terjadinya korupsi lebih dekat dengan orang-orang besar
yang erat kaitannya dengan kekuasaan. Korupsi yang terjadi dalam lingkungan
kekuasaan tergambar dalam adagium yang diungkapkan oleh Lord Acton yakni
kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan mutlak korup secara mutlak.24 Andi
Hamzah kemudian mengulas sebab terjadinya perbuatan korupsi dalam ruang

24

Rohim, Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi, Pena Multi Media , Depok, 2008,

hal.5

Universitas Sumatera Utara

lingkup yang berkaitan dengan kekuasaan dan wewenang ataupun kedudukan,
yaitu:25
1. Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibandingkan dengan
kebutuhan yang makin hari makin meningkat;
2. Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber
atau sebab meluasnya korupsi. Beberapa pasal yang ada dalam KUHP
dipandang kurang memadai untuk masyarakat Indonesia yang pejabatpejabatnya cenderung melakukan penyalahgunaan kekuasaan untuk
keuntungan diri sendiri;
3. Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan efesian
sering dipandang sebbagai penyebab korupsi, sering dikatakan makin besar
anggaran pembangunan maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya
kebocoran.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dimaksud dengan tindak
pidana korupsi dapat dikelompokkan dalam beberapa bentuk sebagai berikut: 26
a.

Tindak Pidana Korupsi yang dikaitkan dengan Merugikan Keuangan Negara
atau Perekonomian negara
1) Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yaitu melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara;
2) Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 menguntungkan diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunkan

25
26

Ibid, hal. 5
Surachmin dan Suhandi Cahaya, Op.cit, hal. 17-30

Universitas Sumatera Utara

kewenangan, kesempatan atau saranna yang ada padanya karena jabatan
atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.
b.

Tindak Pidana Korupsi Terkait Suap-menyuap
1) Pasal 5 Ayat (1) huruf a: menyuap pegawai negeri dengan memberikan
janji-janji karena jabatannya;
2) Pasal 5 Ayat (1) huruf b: menyuap pegawai negeri dengan memberikan
hadiah karena jabatannya;
3) Pasal 5 Ayat (2): pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji;
4) Pasal 6 Ayat (1) huruf a: memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada
Hakim;
5) Pasal 6 Ayat (1) huruf b: memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada
Advokat;
6) Pasal 6 Ayat (2): bagi Hakim dan Advokat yang menerima hadiah atau
janji.

c.

Tindak Pidana Korupsi yang Beraitan dengan Pembangunan, Leveransir, dan
Rekanan
1) Pasal 7 Ayat (1) huruf a: pemborong, ahli bangunan yang melakukan
perbuatan curang;
2) Pasal 7 Ayat (1) huruf b: setiap orang yang bertugas mengawasi
pembangunan atau penyerahan bangunan yang membiarkan perbuatab
curang;

Universitas Sumatera Utara

3) Pasal 7 Ayat (1) huruf c: seorang yang pada waktu menyerahkan barang
keperluan TNI dan/atau Kepolisian RI melakukan perbuatan curang;
4) Pasal 7 Ayat (1) huruf d: setiap orang yang bertugas mengawasi
pembangunan atau penyerahan barang keperluan TNI dan/atau
Kepolisian RI membiarkan perbuatan curang;
5) Pasal 7 Ayat (2): orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau
orang yang menerima penyerahan barang keperluan TNI dan/atau
Kepolisian RI membiarkan perbuatan curang.
d.

Tindak Pidana Korupsi Penggelapan
1) Pasal 8: pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang
ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau
sementara waktu menggelapkan uang atau membiarkan penggelapan;
2) Pasal 9: pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang
ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau
sementara waktu memalsukan buku-buku atau daftar-daftar administrasi;
3) Pasal 10 huruf a: pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang
ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau
sementara waktu menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau
membuat tidak dapat dipakai barang bukti;
4) Pasal 10 huruf b: pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang
ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau
sementara

waktu

membiarkan

orang

lain

menghilangkan,

Universitas Sumatera Utara

menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang
bukti;
5) Pasal 10 huruf c: pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang
ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau
sementara waktu membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan,
merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang bukti;
6) Pasal 11: pegawai negeri tau penyelenggara negara yang menerima
hadiah atau janji yang berhubungan dengan jabatannya;
7) Pasal 12 huruf a: pegawai negeri tau penyelenggara negara yang
menerima hadiah atau janji yang untuk melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan jabatannya;
8) Pasal 12 huruf b: pegawai negeri tau penyelenggara negara yang
menerima hadiah atau janji karena telah melakukan sesuatu perbuatan
dalam jabatannya;
9) Pasal 12 huruf c: hakim yang menerima hadiah atau janji;
10) Pasal 12 huruf d: advokat menerima hadiah atau janji.
e.

Tindak Pidana Korupsi Kerakusan (Knevelarij)
1) Pasal 12 huruf e: pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan
maksud

untuk

menguntungkan

diri

sendiri

menyalahgunakan

kewenangannya memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu,
membayar, atau menerima

pembayaran dengan potongan, atau

mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;

Universitas Sumatera Utara

2) Pasal 12 huruf f: pegawai negeri atau penyelenggara negara menerima,
meminta, atau memotong pembayaran ;
3) Pasal 12 huruf g: pegawai negeri atau penyelenggara negara meminta,
menerima pekerjaan, atau penyerahan barang;
4) Pasal 12 huruf h: pegawai negeri atau penyelenggara negara
menggunakan tanah negara yang diatasnya terdapat hak pakai, telah
merugikan orang yang berkah;
5) Pasal 12 huruf i: pegawai negeri atau penyelenggara negara turut serta
dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan.
f.

Tindak Pidana Korupsi tentang Gratifikasi27
1) Pasal 12B: gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara;
2) Pasal 12C: penerima wajib melaporkan gratifikasi yang diterimanya
kepada KPK.

g.

Tindak Pidana Korupsi Pemberian Hadiah
Pasal 13: setiap orang yang memberikan hadiah atau janji kepada pegawai
negeri.
Apabila dilihat dari pasal-pasal dalam Undang-Undang Pemberantasan

tindak pidana korupsi, pengertian tindak pidana korupsi dan ruang lingkupnya
sangat luas. Dan hal tersebut sebenarnya terjadi dan begitu meratanya perbuatan
korupsi tersebut di Indonesia. Dan apabila tidak dicegah dan diberatas secara

27

Yang dimaksud dengan Gratifikasi menurut penjelasan didalam Undang-Undang Nomor
31 tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 adalah “pemberian secara luas”, yang
meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan,
fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan Cuma-Cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi
tersebut baik yang diterima didalam negeri maupun diluar negeri dan yang dilakuka dengan
menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Universitas Sumatera Utara

revolusioner dalam koridor peraturan perundang-undangan, kesulitan bernegara
dalam rangka menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia akan menjadi semakin
keropos dan hanya tinggal tulang belulang yang sudah yang sudah sangat rapuh.
2. Pengertian Whistleblower
Whistleblower atau kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia disebut
dengan “Peniup Peluit”, munculnya istilah ini berawal dari pemikiran dalam
pertandingan sepakbola atau dalam pertandingan-pertandingan lainnya, dimana
ketika wasit melihat pelanggaran yang dilakukan pemain dia akan segera meniup
pluit nya. Dari pemikiran inilah kemudian keluar istilah Whistleblower dalam arti
fungsi wasit dalam pertandingan sama dengan seorang Whistleblower ketika
melaporkan suatu pelanggaran yang dilakukan oleh orang disekitarnya atau yang
ada dalam lingkungannya.
Whistleblower biasanya ditujukan kepada seseorang yang pertama kali
mengungkapkan atau melaporkan suatu tindak pidana atau tindakan yang
dianggap ilegal di tempatnya bekerja atau orang lain berada, kepada otoritas
internal organisasi atau kepada publik seperti media massa atau lembaga
pemantau publik. Pengungkapan tersebut tidak selalu didasari itikad baik sang
pelapor, tetapi tujuannya untuk mengungkap kejahatan atau penyelewengan yang
diketahuinya. Dalam Pendahuluan Buku Memahami Whistleblower yang
dikeluarkan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan bahwa
seorang Whistleblower merupakan seorang martir. Dimana dia adalah sang

Universitas Sumatera Utara

pemicu pengungkapan skandal kejahatan yang kerap melibatkan atasan maupun
koleganya sendiri. 28
Istilah Whistleblower pertama kali muncul di Inggris, dimana peda masa
praktik petugas Inggris yang meniup peluit ketika mereka melihat kejahatan,
peluit juga akan memberitahu aparat penegak hukum lainnya dan masyarakat
umum dari bahaya. 29 Dan di Indonesia memiliki arti yang bermacam-macam.
Dikaji dari perspektif terminologis, Whistleblower diartikan sebagai “peniup
peluit”, ada juga yang menyebutnya “saksi pelapor”, “pengadu”, “pemukul
kentongan”, “cooperative whistleblower”, dan “participant whistleblower”. 30
Sampai sekarang belum ada padanan kata yang pas dalam kosakata Bahasa
Indonesia. Namun apabila diartikan secara harfiah istilah Whistleblower diartikan
sebagai “peniup peluit”.31
Menurut Quentin Dempster menyebut bahwa Whistleblower sebagai orang
yang mengungkapkan fakta kepada publik mengenai sebuah skandal, bahaya
malpraktik, atau korupsi. 32 Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban, mendefinisikan Whistleblower yaitu
orang yang memberikan informasi kepada penegak hukum mengenai terjadinya
suatu tindak pidana.33 Sedangkan menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

28

Abdul Haris Semendawai, et.al, Memahami Whistleblower, Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban, Jakarta, 2011, hal. ix
29
Lilik Mulyadi, Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator
dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime, PT Alumni, Bandung, 2015, hal. 40
30
Aditya Wisnu Mulyadi, “Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower dan Justice
Collaborator dalam Tindak Pidana Korupsi”, Tesis, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana
Denpasar, 2015, hal. 2
31
Ibid, hal. 3
32
Ibid.
33
Penjelasan Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006

Universitas Sumatera Utara

Whistleblower adalah seseorang yang melaporkan perbuatan yang berindikasi
tindak pidana korupsi yang terjadi didalam organisasi tempat ia bekerja, dan ia
memiliki akses informasi yang memadai atas terjadinya indikasi tindak pidana
korupsi tersebut.34
Floriano C. Roa, menyebutkan bahwa Whistleblower (Peniup Peluit)
adalah seseorang dalam suatu organisasi yang menyaksikan perilaku anggota
organisasi yang dapat bertentangan dengan tujuan organisasi atau perilakunya
merupakan ancaman terhadap kepentingan umum dan peniup peluit memutuskan
untuk menyampaikan hal-hal tersebut. Dan Mulyana Wirakusumah menyebutkan
Whistleblower sebenarnya bukan hanya dikenal dalam sistem peradilan pidana,
namun juga dalam lingkungan lain, seperti perusahaan sebagai upaya
mewujudkan good cerporate governance.35
Sementara dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun
2011 2010 tentang Perlakuan terhadap Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower)
dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (Justice collaborator), istilah Whistleblower
diartikan sebagai pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu
dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya. Namun
demikian dalam praktiknya kadang Whistleblower juga terlibat dan memiliki
peran yang kecil dalam kejahatan tersebut.
Saat ini praktik-praktik sistem pelaporan dan perlindungan Whistleblower
di Indonesia belum sepenuhnya dilaksanakan secara luas di lembaga-lembaga

34
35

https://kws.kpk.go.id/ di akses Tanggal 28 Maret 2016
Lilik Mulyadi, Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower …, Op.cit, hal. 41

Universitas Sumatera Utara

pemerintahan atau lembaga negara, institusi-institusi publik ata sektor swasta.
Negara Indonesia sangat jauh tertinggal dari negara-negara lain, seperti Amerika
Serikat (AS), Australia, dan beberapa negara di Eropa yang sudah lama
menerapkan sistem pelaporan dan perlindungan terhadap Whistleblower.
Sebenarnya, sampai sekarang belum ada peraturan rerundang-undangan
yang secara khusus mengatur tentang Whistleblower di Indonesia. Pengaturannya
secara implisit termaktub dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban serta kemudia diikuti dengan Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2011 tentang Perlakuan terhadap Pelapor
Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (Justice
collaborator).
Surat Edaran Mahkamah Agung RI tersebut diterbitkan dengan
mendasarkan pengaturan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung ini hal
yang perlu diperhatikan adalah adanya perlakuan khusus kepada Whistleblower
dan justice collaborator tersebut, namun hal itu hanya untuk kasus-kasus tindak
pidana tertentu saja yang bersifat serius seperti tindak pidana korupsi, tindak
pidana terorisme, narkotika, pencucian uang perdagangan orang, serta tindak
pidana lainnya yang menimbulkan masalah dan ancaman yang luas. 36
Selain peraturan tersebut, saat ini lembaga-lembaga yang telah mulai
mengembangkan sistem pelaporan, yaitu Komisi Pemebrantasan Korupsi (KPK),
Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Ombudsman, Komisi
36

Abdul Haris Semendawai, Op.cit, hal. 37

Universitas Sumatera Utara

Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Yudisial (KY), Komisi
Kepolisian Nasional (Kompolnas), Komisi Kejaksaan, Kementerian Keuangan,
dan lembaga negara lainnya. Selain itu beberapa perusahaan swasta dan BUMN
sudah membangun dan menerapkan sistem whistleblowing tersebut, seperti
Pertamina, United Tractors, Sinar Mas, dan sebagainya. 37 Floriano C. Roa,
menyebutkan beberapa jenis Whistleblower, yaitu:38
a. Peniup peluit internal dilakukan dalam organisasi
Pelaporan tersebut disampaikan kepada atasan langsung yang bertugas
sebagai supervisor agar kesalahan tersebut dapat diinformasikan kepada
manajemen atasannya.
b. Peniup peluit eksternal dilakukan di luar organisasi
Peniup peluit membuka kegiatan illegal atau kegiatan immoral dalam suatu
organisasi yang disampaikan kepada individu atau kelompok diluar
organisasi tersebut, badan pengawas di luar organisasi atau lembaga
swadaya masyarakat
c. Anggota organisasi yang meniup peluit terhadap manajer organisasinya
d. Alumni yang meniup peluit terhadap mantan manajernya
e. Peniup peluit sendiri yang membuka identitasnya
f. Peniup peluit yang menutup identitasnya.

37
38

Ibid, hal. xii
Lilik Mulyadi, Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower…., Op.cit, hal. 43

Universitas Sumatera Utara

3. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
Sistem

peradilan

pidana

merupakan

salah

satu

sarana

dalam

menanggulangi kejahatan, termasuk juga tindak pidana korupsi. Adapun tujuan
pembentukan sistem peradilan pidana ini menurut Mardjono Reksodiputro
adalah:39
a. Mencegah masyarakat menjadi korban;
b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga mesyarakat puas
bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana;
c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
mengulangi lagi kejahatannya.
Selain tujuan, sistem peradilan pidana juga mempunyai manfaat bila
diterapkan secara konsisten, konsekuen dan terpadu antara sub sistem, yaitu: 40
a. Menghasilkan data statistik kriminal secara terpusat melalui satu pintu yaitu
polisi. Dengan data statistik kriminil tersebut dapat dimanfaatkan sebagai
sarana dalam penyusunan kebijakan kriminil secara terpadu untuk
penganggulangan kejahatan;
b. Mengetahui keberhasilan dan kegagalan sub sistem secara terpadu dalam
penanggulangan kejahatan;
c. Dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam kebijakan
sosial yang dituangkan dalam rencana pembanguna jangka pendek, jangka
menengah, dan jangka panjang untuk mewujudkan tujuan nasional;

39

Abdussalam dan DPM Sitompul, Sistem Peradilan Pidana, Restu Agung, Jakarta, 2007,

hal. 3-4
40

Ibid. hal. 4

Universitas Sumatera Utara

d. Memberikan jaminan kepastian hukum baik kepada individu maupun
masyarakat.
Manfaat ini akan memberikan masukan dalam hal-hal praktik kepada
setiap sub sistem, dan menjadi hal-hal yang harus dicari jalan keluarnya secara
bersama-sama oleh sub sistem. Sehingga kejahatan itu bisa ditanggulangi
bersama, dan dengan sistem tersebut apabila dilakukan secara harmonis maka
akan sangat membantu perundang-undangan yang sudah ada. Sehingga kejahatan
termasuk juga korupsi bisa ditanggulangi bersama-sama.
Salah satu upaya dalam menangani masalah kejahatan adalah dengan
adanya keharmonisan kerjasama diantara instansi penegak hukum yang ada,
seperti instansi Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan
dengan baik. Selama ini upaya-upaya yang telah dilakukan melalui pembentukan
peraturan perundang-undangan, dan upaya-upaya lainnya juga belum maksimal
dilakukan. Sehingga hal yang terjadi, polisi semakin kewalahan dalam
menanggulangi kejahatan, dan lembaga pemasyarakatan juga sudah melebihi daya
tampung para tahanan maupun narapidana dari jumlah yang telah ditetapkan.
Istilah Criminal Justice System atau Sistem Peradilan Pidana (SPP) kini
telah menjadi suatu istilah yang menunjukkan mekanisme kerja dalam
penanggulangan kejahatan dengan menggunakan dasar pendekatan sistem.
Menurut Remington dan Ohlin mengemukakan bahwa Criminal Justice System
dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme
administrasi peradilan pidana pidana, dan peradilan pidana sebagai suatu sistem

Universitas Sumatera Utara

merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik
administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial.41
Istilah Sistem Peradilan Pidana menurut Chamelin/Fox/Whisenand, bahwa
criminal justice system sebagai suatu sistem dan masyarakat dalam proses
menentukan konsep sistem merupakan aparatur peradilan pidana yang diikat
bersama dalam hubungan antara sub sistem polisi, pengadilan dan lembaga
(penjara).42
Menurut Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana (Criminal
Justice System) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi
masalah kejahatan, dimana ada komponen-komponen yang bekerjasama dalam
sistem ini yaitu kepolisisan, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan
membentu suatu “integrated criminal justice administration”. Sedangkan menurut
Muladi ia menerjemahkan bahwa

sistem peradilan pidana (criminal justice

system) sebagau suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum
pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana formil, hukum pidana
materiil, maupun hukum pelaksanaan pidana.43
Sistem Peradilan Pidana ini mengandung gerak sistemik dari komponenkomponen pendukungnya, yaitu kepolisisan, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga
pemasyarakatan. Gerak sistemik ini secara keseluruhan dan totalitas berusaha
mentransformasikan masukan (input) menjadi (output) yang menjadi sasaran kerja
sistem peradilan pidana ini, yaitu sasaran jangka pendek adalah resolisiasi pelaku
41

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana, Jakarta , 2010,

hal. 2
42

Abdussalam dan DPM Sitompul, Op.cit, hal. 5-6
Mahmud Mulyadi, Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana. USU Press, Medan,
2009, hal. 29
43

Universitas Sumatera Utara

kejahatan, sasaran jangka menengah adalah pencegahan kejahatan, serta tujuan
jangka panjang sebagai tujuan akhir adalah kesejahteraan masyarakat.44
Dari pengertian-pengertian yang diberikan oleh para ahli tersebut, keempat
sub sistem yang merupakan sistem peradilan pidana adalah bagian yang tidak
terpisahkan. Dan sistem peradilan pidana adalah bagaian yang juga tidak bisa
terpisahkan dari sistem hukum yang terdiri dari substansi hukum, struktur hukum,
dan budaya hukum. Dimana norma-norma yang telah dibentuk dalam peraturan
perundang-undangan yang disusun sebagai substansi hukum, kemudian harus
ditegakkan serta dipertahankan melalui aparat penegak hukum yaitu komponenkomponen atau pun sub sistem dari sistem peradilan pidana tersebut. Serta adanya
kesadaran masyarakat akan hukum yang berlaku sebagai wujud dukungan
masyarakat terhadap hukum tersebut.
Sistem hukum dan sistem peradilan pidana adalah sejalan, apabila
keduanya berkoordinasi dengan baik maka negara Indonesia akan semakin baik
terkhusus dalam menangani korupsi. Termasuk ketika setiap komponen sebagai
bagian dari struktur hukum dalam sistem peradilan pidana menjalankan sistem
hukum dengan baik maka tidak mustahil untuk membersihkan indonesia dari
korupsi.

F. Metode Penelitian
Menurut Van Peursen, Metode mengandung pengertian bahwa suatu
penyelidikan berlangsung menurut suatu rencana tertentu. 45 Dari pengertian

44

Ibid, hal. 39

Universitas Sumatera Utara

tersebut Van Peurson mendefinisikan metode sebagai suatu kegiatan yang
dilakukan menurut cara tertentu dengan urutan-urutan yang terarah dan sistematis.
Metode dapat juga diartikan cara dan jalan yang harus ditempuh untuk
memperoleh suatu tujuan tertentu.
1. Penelitian
Penelitian Skripsi ini merupakan penelitian hukum normatif (Juridis
normative) dengan pertimbangan bahwa titik tolak penelitian analisis terhadap
peraturan perundang-undangan dalam kerangka hukum nasional Indonesia sendiri.
Maka tipe penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif, yakni
penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau normanorma dalam hukum positif mengenai perlindungan whistleblower dalam
mengungkap kasus-kasus korupsi d