Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower Dalam Sistem Peradilan Pidana Pada Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

(1)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Abdulsalam & DPM Sitompul, Sistem Peradilan Pidana, Restu Agung, Jakarta, 2007.

Alkostar, Artidjo, Korupsi Politik di Negara Modern, FH UII Press, Jakarta, 2008.

Atmasasmita, Romli, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana, Jakarta, 2010.

Chazawi, Adami, Hukum Pidana Materiil dan Formil: Korupsi di Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang Jawa Timur, 2005.

Danil, Elwi, Korupsi (Konsep,Tindak Pidana, dan Pemberantasannya), PT Raja Grafindo, Jakarta, 2014.

Dempster, Quentin, Whistleblowers, Sidney, ABC Books for the Australian Broadcasting Corporation, 2001. Diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Elsam, Para Pengungkap Fakta, ELSAM-Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta, 2006.

Dina, Zenitha, Mengenal Perlindungan Saksi Di Jerman, Indonesia Corruption Watch, Jakarta, 2006.

Ghufron, Nurul, Whistleblower Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pustaka Radja, Surabaya, 2014.

Hamzah, Andi, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan

Internasional, PT Rajagrafindo Persada , Jakarta, 2005.

Marpaung, Laden, Tindak Pidana Korupsi: Pencegahan dan Pemberantasan, Djambatan, Jakarta, 2009.


(2)

Mulyadi, Lilik, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia (Normatif, Teoritis, Praktik,

dan Masalahnya), PT Alumni, Bandung, 2007

Mulyadi, Lilik, Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower dan Justice

Collaborator dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime, PT

Alumni, Bandung, 2015.

Mulyadi, Mahmud, Kepolisisan Dalam Sistem Peradilan Pidana, USU Press, Medan, 2009.

Nasution, Bahder Johan, Metode Penelitian Hukum, CV Mandar Maju, Bandung, 2008.

Prodjohamidjojo, Martiman, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik

Korupsi (Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001), CV Mandar Maju,

Bandung, 2009.

Rohim, Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi, Pena Multi Media , Depok, 2008.

Santoso, Ibnu, Memburu Tikus-Tikus Otonom (Gerakan Moral Pemberantasan

Korupsi), Gava Media, Yogyakarta, 2010.

Semendawai, Abdul Haris, et.al, Memahami Whistleblower, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korba, Jakarta, 2011.

Soejono dan H. Abdurrahman, Metode Penelitian Hukum, PT Rineka Cipta , Jakarta, 2003.

Sunarso, Siswanto, Victimologo Dalam Sistem Peradilan Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2015.

Surachmin & Cahaya, Suhandi, Strategi dan Teknik Korupsi (Mengetahui Undtuk

Mencegah), Sinar Grafika, Jakarta, 2011.

Waluyo, Bambang, Victimologi Perlindungan Korban dan Saksi, Sinar Grafika, Jakarta, 2014.


(3)

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 jo UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 293, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5602)

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Convention

Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti

Korupsi, 2003). (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4620)

Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2011 tentang perlakuan bagi pelapor tindak pidana (Whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (Justice

Collaborator)

Kitab Undang-Undang Hukum Pudana (KUHAP)

KAMUS HUKUM:


(4)

TESIS, SKRIPSI, JURNAL DAN ARTIKEL ILMIAH:

Aditya Wisnu Mulyadi, Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower dan

Justice Collaborator dalam Tindak Pidana Korupsi, Tesis, Program Pasca

Sarjana Universitas Udayana Denpasar, 2015.

Bahri Yamin, Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower dalam Tindak

Pidana Korupsi, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Mataram , 2013.

Junimart Girsang, Seminar yang diselenggarakan oleh LPSK “Sinergitas Penanganan Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Pengungkapan Tindak Pidana” di Hotel Grand Aston Medan Sumatera Utara, Rabu 16 Maret 2016.

Mustofa, “Peran Whistleblower dalam Sistem Peradilan Pidana (Suatu Tinjauan Yuridis Normatif Ilmia, Terhadap Hak,Peran dan Kedudukan Pengungkap Tindak Pidana Korupsi)”, Artikel Penelitian Hukum, 5 Januari 2015.

Rani A, Perlindungan Hukum Bagi Saksi Pengungkap Fakta (Whistleblower)

Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Tesis, Pasca Sarjana Program Magister

Universitas Sumatera Utara, 2012.

Suradi Widyaiswara Madya, “Pro Kontra Peniup Peluit”, Artikel dari Balai Diklat Keuangan Palembang, Sumatera Selatan.

Teguh Soedarsono, “Forum Sosialisasi LPSK (Perlindungan Korban dan Saksi Meretaskan Kebenaran dan Keadilan dalam Proses Peradilan Pidana)”, Medan, Seminar, 10 Maret 2016

INTERNET


(5)

https://yserrey.wordpress.com/2011/02/10/kasus-skandal-akuntansi-pada-worldcom/ Diakses pada Tanggal 13 Februari 2016.

http://acch.kpk.go.id/statistik Diakses Pada Tanggal 25 Februari 2016.

http://nasional.tempo.co/read/news/2016/01/27/063739957/ini-daftar-peringkat-korupsi-dunia-indonesia-urutan-berapa Diakses pada Tanggal 1 Maret 2016.

https://hafikahadiyanti.wordpress.com/2013/09/10/sejarah-kasus-enron/. Diakses pada tanggal 10 Maret 2016.

http://economy.okezone.com/read/2012/10/25/320/709283/saksi-dan-korban-kejahatan-kini-terlindungi dikase tanggal 20 Maret 2016.

https://m.tempo.co/read/news/2013/06/22/116490429/edward-snowden-whistle-blower-atau-pengkhianat Diakses pada Tanggal 20 Maret 2016.

http://www.antikorupsi.org/id/content/korupsi-dari-dulu-hingga-kini Diakses pada Tanggal 28 Maret 2016.

http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/168-artikel-pengembangan-sdm/10977-peran-peniup-peluit-dalam-pemberantasan-korupsi Diakses pada tanggal 28 Maret 2016.


(6)

BAB III

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WHISTLEBLOWER TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI

INDONESIA

A. Pengaturan mengenai Whistleblower dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia

Imam Thurmudi berpendapat bahwa seseorang dapat dikatakan sebagai

Whistleblower pada dasarnya adalah orang yang melihat sendiri, mendengar

sendiri atau mengalami sendiri suatu tindak pidana atau pelanggaran, sehingga dengan itikad baik mengungkapkan kepada publik atau melaporkan kepada pejabat yang berwenang.111 Jadi seorang Whistleblower memiliki hak yang sama seperti yang diatur dalam KUHAP, bahwa Whistleblower adalah saksi seperti apa yang dimaksud dalam KUHAP. Jadi Whistleblower juga merupakan salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana di Indonesia.

Dalam bab sebelumnya sudah dipaparkan beberapa negara yang mengatur masalah Whistleblower dan hal tersebut dimuat dalam undang-undang tersendiri. Seperti di negara Amerika Serikat, Afrika Selatan, Jerman, Albania, Hong Kong, Italia, Kolumbia, Belanda, Kanada, Australia, dan Inggis, semua negara ini memiliki aturan khusus terhadap Whistleblower yang diatur dalam undang-undang. Namun berbeda halnya dengan Indonesia, sampai saat ini belum ada undang-undang khusus yang mengatur tentang Whistleblower secara khusus.

111


(7)

Namun ada beberapa aturan yang mengatur selintas saja mengenai Whistleblower tersebut.

Perlindungan hukum dan segala aspeknya merupakan hak korban dan saksi, dan itu juga merupakan hak seorang Whistleblower. Dan itu merupakan Hak Asasi Manusia seorang Whistleblower yang harus dijunjung tinggi oleh setiap orang. Jadi hal inilah menjadi urgensi pentingnya perlindungan tersebut, agar setiap Whistleblower bebas menyuarakan setiap hal yang menyimpang dan merupakan tindak pidana tanpa rasa takut atas ancaman dan serangan balik yang akan dialaminya.

Di Indonesia, pengaturan tentang Whistleblower termuat dalam beberapa aturan sebagai berikut:

1. Pengaturan Whistleblower atau Saksi dalam KUHP

Dalam KUHP istilah Whistleblower (pengungkap fakta) belum dikenal, karena istilah Whistleblower ini baru muncul sekitar tahun 1996 di dalam hukum pidana di Amerika Serikat. Sementara KUHP adalah warisan Belanda yang berlaku di Indonesia sudah sangat lama, tentu saja istilah tersebut belum dikenal. Namun, dari kedudukan dan posisinya jika disepadankan dalam satu sisi dapat dipersamakan dengan saksi. Saksi dalam KUHP dapat ditelusuri pengaturannya dalam Pasal 165, Pasal 166, Pasal 185, Pasal 186 dan Pasal 522.

2. Pengaturan Whistleblower atau Saksi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP)


(8)

Dalam KUHAP istilah Whistleblower juga belum dikenal, namun KUHAP hanya mengenal istilah saksi dan juga pelapor. Walaupun demikian dalam KUHAP pun pelapor sebagai subjek hukum yang melakukan laporan dugaan terjadinya tindak pidana tidak didefinisikan, KUHAP dalam Pasal 1 Angka 24 hanya mendefinisikan tentang laporan 112 . Dalam KUHAP menurut Lilik Mulyadi,113 Whistleblower berdasarkan perannya dapat dibedakan menjadi dua yaitu sebagai “pelapor” dan sebagai “saksi”.

Pertama Whistleblower hanya berperan sebagai “Pelapor”, artinya dalam dimensi ini Whistleblower, tidak secara langsung mendengar, melihat ataupun mengetahui pelaksanaan tindak pidana. Tegasnya, Whistleblower hanya sebatas mengetahui informasi yang selanjutnya bermanfaat terhadap suatu pengungkapan fakta tindak pidana oleh penegak hukum. 114 Pelapor adalah seorang yang memberitahukan karena hak atau kewajiban yang ada padanya berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadi peristiwa pidana.115

Apabila Whistleblower diposisikan sebagai pelapor maka sebagai pelapor

Whistleblower merupakan manifestasi dari peran serta perorangan ataupun

masyarakat dalam membantu melakukan upaya optimalisasi penegakan hukum pidana dan pemberantasan tindak pidana. Selain dalam KUHAP, beberapa peraturan perundang-undnagan juga mengatur mengenai pelapor secara khusus

112 Menurut KUHAP “Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang

karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadi peristiwa pidana”.

113 Lilik Mulyadi, Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower.…, Op.cit, hal. 57 114

Ibid.

115


(9)

diantaranya, Pelapor Tindak Pidana Korupsi, Pelapor Tindak Pidana Pelanggaran HAM yang berat, Pelapor Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Pelapor Tindak Pidana Narkotika, Psikotropika, Terorisme, dan lain sebagainya.116

Undang Tindak Pidana Korupsi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 memberikan pengertian kepada Pelapor sebagai berikut:117 “yang dimaksud dengan pelapor adalah orang yang memberi suatu informasi kepada penegak hukum atau Komisi mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi”. Dalam Pasal 41 ayat (3), Pasal 42 Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juga mengatur tentang peran serta masyarakat untuk ssecara aktif memberikan laporan atau informasi atau pemberitahuan kepada aparat penegak hukum akan, sedang atau telah terjadinya suatu tindak pidana korupsi.

Masyarakat sebagai pelapor ditingkatkan perannya menjadikan pelaporan tersebut sebagai hak dan tanggung jawab dalam uapaya pemebrantasan tindak pidana korupsi. Sebagai apresiasi pemerintah terhadap pelapor adalah dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi diberikan penghargaan.118

Whistleblower sebagai pelapor memiliki peran yang sangat penting dalam

pemberantasan tindak pidana korupsi, begitu juga dalam tindak pidana lain. Laporan sebagaimana diatur dalam KUHAP dimaksud secara hukum statusnya

116 Lilik Mulyadi, Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower…., Op.cit, hal. 58 117

Ibid.

118


(10)

ada dua hal yaitu, hak dan kewajiban. Yang selanjutnya hal tersebut diatur dalam Pasal 103 KUHAP dan Pasal 108 KUHAP.

Selain menjadi Pelapor, KUHAP juga meberikan peran kepada

Whistleblower sebagai “saksi”. Dimensi ini berarti yang bersangkutan adalah

“pengungkap fakta yang melaporkan dan secara langsung mengetahui, melihat dan mengalami sendiri telah, sedang, atau akan terjadinya suatu tindak pidana yang secara aktif melaporkannya pada aparat penegak hukum yang berwenang”. Saksi Pelapor dapat diartikan sebagai pelapor yang juga berperan sebagai saksi. Saksi jenis ini pada asasnya berbeda dengan yang hanya berperan sebagai saksi tanpa berperan sebagai pelapor.

Kualifikasi Whistleblower yang merangkap sebagai saksi dan sebagai pelapor ini harus dipahami terlebih dahulu perbedaannya.119 Saksi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka 26 KUHAP dikatakan bahwa “saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri”.120

Dalam tindak pidana korupsi, mengenai saksi diatur dalam Pasal 35, 36 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang mengatur bahwa pada dasarnya setiap orang wajib memberikan keterangan sebagai saksi tindak pidana korupsi kecuali ayah, ibu, nenek, kakek, saudara kandung, istri atau suami, anak dan cucu dari terdakwa korupsi. Dan

119

Ibid. hlm 64-65

120


(11)

dalam undang-undang tersebut juga diatur tentang perlindungan hukum terhadap saksi.

Status hukum bagi saksi untuk memberikan keterangan saksi antara hak dan kewajiban dimaksud dalam perngertian dikatakan “Hak” dimaksud dalam hal laporan terhadap tindak pidana bersifat aduan, sehingga pelapornya berhak untuk melaporkan ataupun tidak. Sedangkan “Kewajiban” dimaksud dalam hal pelaporan terhadap tindak pidana biasa, kepada setiap orang yang mengetahui adanya suatu peristiwa tindak pidana secara hukum diwajibkan untuk melaporkan kepada pihak yang berwajib.121

Hal yang sedemikian rupa dalam KUHAP yang mengatur tentang “Pelapor” dan “Saksi”, namun hal tersebut bisa diartikan dan menjadi acuan perlindungan bagi seoarang Whistleblower, dimana seorang Whistleblower bisa diposisikan sebagai Pelapor dan juga sebagai saksi. Namun memang tidak menutup kemungkinan, bahwa sangat diperlukannya aturan yang memang khusus mengatur tentang Whistleblower itu sendiri. seperti yang terdapat dinegara-negara asing.

3. Pengaturan Whistleblower atau Saksi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

Dalam undang-undang ini setiap orang diwajibkan untuk memberikan keterangan sebagai saksi kecuali keluarga tersangka, namun apabila dikehendaki oleh saksi dan mendapat persetujuan terdakwa ia boleh menjadi saksi namun tidak

121


(12)

disumpah. Bahkan jabatan-jabatan khusus yang menurut peraturan perundang-undangan dilindungi untuk menyimpan rahasia, berdasarkan undang-undang tindak pidana korupsi ini diwajibkan. Kecuali dalam hal pemuka agama. Hal-hal ini ditegaskan dalam Pasal 35.

Dalam Pasal 36 dijelaskan bahwa kewajiban memberikan kesaksian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 berlaku juga terhadap mereka yang menurut pekerjaan, harkat dan martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, kecuali petugas agama menurut keyakinannya harus menyimpan rahasia.

Hal ini berarti setiap orang yang mengetahui, melihat, mendengar, sendiri dugaan tindak pidana korupsi berkewajiban untuk memberikan keterangan saksi. Namun yang menjadi masalah adalah dalam undang-undang ini tidak diatur secara jelas apakah saksi tersebut berarti berkewajiban untuk melaporkan, ataukah sekedar jika dipanggil untuk memberikan keteragan sebagai saksi. Karena secara tekstual dapat dipahami bahwa yang diwajibkan adalah untuk memberikan keterangan sebagai saksi,artinya setiap orang yang dipanggil untuk bersaksi wajib menghadiri panggilan tersebut.122

Dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi masyarakat juga diberi hak untuk berperan serta dalam membantu pencegahan dan pemberantasan korupsi. Peran serta masyarakat tersebut diatur dalam bab V Pasal 41. Peran serta tersebut yaitu berupa hak-hak yang diberikan kepada masyarakat, seperti hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan teah terjadi tindak pidana korupsi. Kemudian hak memperoleh pelayanan, dan

122


(13)

perlindungan dalam hal mencari, memperoleh, dan memberikan informasi. Ada juga hak menyampaikan saran dan pendapat kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi, dan hak memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum.123

Selain itu, dalam Pasal 42 dikatakan bahwa pemerintah juga memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat yang telah berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidana korupsi. Dan tentang penghargaan tersebut lebih lanjut diatur dalam PP 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam PP ini juga mengatur hak dan kewajiban penegak hukum setelah mendapat laporan atau informasi saran dan pendapat tentang dugaan tindak pidana korupsi dari masyarakat.124

4. Pengaturan Whistleblower atau Saksi dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Dalam undang-undang ini dapat dilihat diatur secara nyata perlindungan korban dan saksi, hal itu bisa dilihat pada Bab V, Pasal 34. Dalam Pasal 34 ini di jelaskan bahwa korban dan saksi dalam pelanggaran HAM berat berhak mendapatkan perlindungan fisik dan mental dari ancaman,, gangguan, teror dan kekerasan dari pihak manapun, dan perlindungan tersebut diperoleh dari aparat penegak hukum dan aparat keamanan secara cuma-cuma. Dan bentuk-bentuk perlindungan perlindungan lebih lanjut diatur dalam PP Nomor 2 Tahun 2002,

123Bambang Waluyo , Victimologi Perlindungan Korban dan Saksi, Sinar Grafika, Jakarta,

2014, hal. 62

124


(14)

dalam Pasal 4 PP ini dijabarkan tentang bentuk-bentuk perlindungan yaitu, sebagai berikut:125

a. Perlindungan atas keamanan pribadi korban atau saksi-saksi dari ancaman fisik dan mental;

b. Perahasiaan identitas korban dan saksi;

c. Pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka.

Dan atas setiap perlindungan tersebut, korban dan saksi tidak dikenakan biaya apapun.

5. Pengaturan Whistleblower atau Saksi dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

Dalam undang-undang tindak pidana pencucian uang terdapat istilah pihak pelapor dan pelapor, sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 angka 11 “Pihak Pelapor adalah setiap orang yang menurut undang-undang ini wajib menyampaikan laporan kepada PPATK”. Pihak pelapor yang dimaksud dalam undang-undang yaitu, dalam Pasal 17 dinyatakan sebagai berikut:126

a. Penyedia jasa keuangan meliputi: bank, perusahaan pembiayaan, perusahaan asuransi dan perusahaan pialang asuransi, dana pensiun lembaga keuangan, perusahaan efek, manajer investasi, kustodian, wali alamat, pegadaian, koperasi sinpan pinjam, dan lain sebagainya;

b. Penyedia barang dan/atau jasa lain, meliputi: perusahaan properti/ agen properti, pedagang kendaraan bermotor, pedagang permata dan perhiasan/ logam mulia, pedagang barang seni dan antik, atau balai lelang;

c. Dan pihak-pihak lain sebagaimana diatur dalam PP.

Pengungkap fakta yang hendak ditelusuri perlindungannya dalam undang-undang ini adalah mereka yang adalah karena kesadarannya mengungkapkan fakta

125

Bambang Waluyo , Op.cit, hal. 65

126


(15)

dugaan tindak pidana, dalam konteks tindak pidana pencucian tersebut hanyalah pelapor. Keberadaan pelapor dalam tindak pidana pencucian uang tidak didefinisikan secara tegas, namun dalam beberapa ketentuan pelapor ini dilindungin keberadaannya. Perlindungan tersebut diantaranya:127

a. Perahasiaan identitas

Hal ini diatur dalam Pasal 83 ditegaskan bahwa Pejabat dan pegawai PPATK, Penyidik, Penuntut Umum, atau hakim wajib merahasiakan Pihak Pelapor dan Pelapor. Kemudian Pasal 85 juga ditegaskan bahwa di sidang pengadilan, saksi, penuntut umum, hakim dan orang lain yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang yang sedang dalam pemeriksaan dilarang menyebutkan nama atau alamat pelapor atau hal-hal lain yang memungkinkan mengungkapkan identitas pelapor.

b. Perlindungan dari ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, termasuk keluarganya. Perlindungan ini diatur dalam pasal 84, yang menegaskan bahwa setiap orang melaporkan terjadinya dugaan tindak pidana pencucian uang wajib diberi perlindungan khusus oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, termasuk keluarganya. Dan Pasal 86 juga menyatakan bahwa setiap orang yang memberikan kesaksian melaporkan terjadinya dugaan tindak pidana pencucian uang wajib diberi perlindungan khusus oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, termasuk keluarganya. Dan Pasal 87 dinyatakan pelapor dan/atau saksi tidak

127


(16)

dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, atas laporan dan/atau kesaksian yang diberikan oleh yang bersangkutan.

Dalam undang-undang ini perlindungan bagi pelapor dan saksi diatur dalam Pasal 39-Pasal 41. Dalam pasal-pasal ini mengatur jenis dan bentuk perlindungan serta siapa yang wajib memberikan perlindungan. Pada intinya, perlindungan yang dimaksud adalah sebagai berikut:128

a. PPATK, Penyidik, Penuntut Umum, ataun Hakim wajib merahasiakan identitas pelapor. Jika dilanggar, maka pelapor atau ahli warisnya mempunyai hak untuk menuntut ganti kerugian;

b. Setiap orang yang melaporkan terjadinya dugaan tindak pidana pencucian uang, wajib diberi perlindungan khusus oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya termasuk keluarganya;

c. Di sidang pengadilan, saksi, penuntut umum, hakim, dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana pencucian uang yang sedang dalam pemeriksaan dilarang menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memungkinkan dapat terungkapnyaidentitas pelapor;

d. Setiap orang yang memberi kesaksian dalam pemeriksaan tindak pidana korupsi, wajib diberi perlindungan khusus oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya termasuk keluarganya;

e. Pelapor dan/atau saksi tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana atas pelapor dan/atau kesaksian yang diberikan oleh yang bersangkutan.

6. Pengaturan Whistleblower atau Saksi dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, perlindungan terhadap saksi dan korban baru diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlidungan saksi dan korban. Dalam undang-undang ini saksi didefinisikan masih

128


(17)

relatif sama dengan yang diatur dalam KUHAP yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1, “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri”. Definisi saksi yang demikian tidak mengalami perubahan dan sama halnya yang diatur dalam KUHAP.

Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan perlindungan adalah segala upaya pemebuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan undang-undang.

Dalam undang-undang ini kepada saksi dan korban diberikan perlindungan secara langsung atau konkret dan secara tidak langsung atau abstrak. Perlindungan konkret atau langsung dalam Pasal 5 ayat (1), diantaranya:129

a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenan dengan kesaksian yang sedang, akan atau telah diberikannya;

b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;

c. Memberikan keterangan tanpa tekanan; d. Mendapat penerjemah;

e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat;

f. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus; g. Mendapatkan informasi nengenai putusan pengadilan; h. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;

i. Mendapat identitas baru;

j. Mendapat tempat kediaman baru;

k. Mendapat penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; l. Mendapat nasihat hukum;

m. Mendapat bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir;

129


(18)

n. Mendapat bantuan medis dan rehabilitasi psiko-sosial dalam pelanggaran HAM berat;

o. Melalui LPSK berhak mengajukan pengadilan berupa hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran HAM berat dan hak atas restitusi/ ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana (Pasal 7)

p. Dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung dipengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa kemudian dapat memberikan kesaksiannya secara tertulis yang disampaikan dihadapan pejabat yang berwenang dan membutuhkan tanda tangannya pada berita acara yang memuat tentang kesaksian tersebut serta dapat pula didengar kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik (pasal 9).

Hal yang sangat diapresiasi dan merupakan implementasi dari undang-undang ini adalah dengan terbentuknya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahu 2006 dan Pasal 1 angka 6 PP Nomor 44 Tahun 2008 dijelaskan bahwa LPSK adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada saksi dan/atau korban. Penjelasan singkatnya sebagai berikut:130

a. LPSK merupakan lembaga mandiri, berkedudukan di ibu kota negara RI dan dapat mempunyai perwakilan-perwakilan di daerah sesuai keperluan. b. LPSK bertanggung jawab menangani pemberian perlindungan dan bantuan

kepada saksi dan korban, LPSK bertanggung jawab kepada Presiden, LPSK membuat laporan secara berkala tentang pelaksanaan tugasnya kepada DPR paling sedikit sekali dalam setahun.

c. Keanggotaan terdiri dari 7 (tujuh) orang yang berasal dari unsur profesional yang mempunyai pengalaman di bidang hukum, HAM, Akademisi dan sebagainya, masa jabatan anggota LPSK 5 tahun, dimana anggotanya diangkat oleh persiden dengan persetujuan DPR, dan dapat diajukan kembali hanya 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. LPSK terdiri dari Pimpinan (Ketua dan Wakil Ketua merangkap anggota) dan anggota.

d. Sekretariat, yang membantu LPSK dalam pelaksanaan tugasnya.

Dalam undang-undang ini sebenarnya sedikit banyak sudah mengatur tentang Whistleblower, namun istilah Whistleblower atau padanan kata yang sesuai dengan Whistleblower dalam bahasa Indonesia juga belum diatur secara

130


(19)

spesifik. Namun dengan lahirnya undang-undang ini dianggap mewakili suara-suara mereka yang menajdi seorang pengungkap fakta, meskipun masih belum begitu efektif.

7. Pengaturan Whistleblower atau Saksi dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 076/KMA/SK/VI/2009 tentang Hak-hak Pelapor dan Terlapor

Dalam Surat Keputusan Mahkamah Agung ini yang langsung berisi beberapa poin penting tentang hak pelapor dan terlapor yaitu, sebagai berikut:131 a. Hak Pelapor, meliputi:

1) Mendapatkan perlindungan kkerahasiaan identitas;

2) Mendapatkan kesempatan untuk memberikan keterangan secara bebas tanpa paksaan dari pihak manapun;

3) Mendapatkan informasi mengenai tahapan laporan pengaduan yang didaftarkan;

4) Mendapatkan perlakuan yang sama dan setara dengan terlapor dalam pemeriksaan.

b. Hak-hak Terlapor, meliputi:

1) Membuktikan bahwa ia tidak bersalah dengan mengajukan saksi dan alat bukti lain;

2) Meminta berita acara pemeriksaan (BAP) dirinya.

8. Pengaturan Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Nota Kesepahaman serta Peraturan Bersama

131


(20)

a. Nota Kesepahaman antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dengan Kejaksaan RI

Pengaturan Nota Kesepahaman antara Lembaga Lembaga Perlindungan

Saksi dan Korban dengan Kejaksaan RI Nomor

NK-003/1.6/LPSK/IV/2011, Nomor Kep-069/A/JA/04/2011 tanggal 20 April 2011 tentang perlindungan saksi dan korban. Adapun tujuan nota kesepahaman ini adalah untuk mewujudkan terlaksananya aktivitas perlindungan, yaitu segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban dalam peradilan pidana serta penyelesaian bersama permasalahan hukum dibidang perdata dan tata usaha negara.132

b. Nota Kesepahaman antara Komisi Pemberantasan Korupsi RI dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

Pengaturan Nota Kesepahaman antara Komisi Pemberantasan Korupsi RI (KPK) dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Nomor: SPJ-12/01/08/2010, Nomor: Kep-066/1.6/LPSK/08/2010 tanggal 09 Agustus 2010 tentang Kerjasama dalam Pelaksanaan Perlindunga Saksi atau Pelapor. Adapun tujuan nota kesepahaman ini adalah agar para pihak (KPK dan LPSK) dapat bekerjasama dan berkoordinasi dalam memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor sebagai kewenangan yang ditentukan kewenangan undang-undang.133

132

Lilik Mulyadi, Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower.…, Op.cit, hal. 86

133


(21)

c. Nota Kesepahaman antara Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

Pengaturan Nota Kesepahaman antara Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Nomor: NK-46/1.02/PPATK/04/2011, Nomor: NK 002/1.6/LPSK/IV/2011 tanggal 18 April 2011 tentang Kerjasama Pemberian Perlindungan kepada Pelapor, Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Pencucian Uang. Adapun maksud dan tujuan nota kesepahaman ini sebagai kerangka kerja sama dalam ragka pemberian perlindungan serta untuk menyiapkan, mensinkronisasikan, dan memberdayakan kemampuan guna melakukan pemberian perlindungan bagi pelapor, saksi dan/atau Korban tindak pidana pencucian uang.

d. Nota Kesepahaman antara Badan Narkotika Nasional dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

Pengaturan Nota Kesepahaman antara Badan Narkotika Nasional (BNN) dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Nomor: NK-18/VIII/2010/BNN, Nomor: Kep-067/1.6/LPSK/08/2010 tanggal 09 Agustus 2010 tentang Perlindungan Saksi, Korban dan/atau Pelapor Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Adapun maksud nota kesepahaman ini adalah sebagai landasan kerjasama yang lebih intensif antara BNN dan LPSK dalam memberikan perlindungan terhadap saksi, korban dan/atau pelapor. Sedangkan tujuannya adalah terjalinnya komunikasi dan kerjasama


(22)

antara BNN dan LPSK dalam mewujudkan perlindungan kepada saksi, korban dan/atau pelapor secara konsisten guna memberikan rasa aman kepada saksi, korban dan/atau pelapor pada setiap tahap pada proses peradilan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika.

e. Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM RI, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian RI, Komisi Pemberantasan Korupsi RI, dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor: M.HH-11.HM.03.02.th. 2011 Nomor: PER-045/A/JA/12/2011, Nomor: 1 Tahun 2011, Nomor: KEPB-02/01-55/12/2011 Nomro: 4 Tahun 2011 Tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama.

B. Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia

Hukum dibangun dan diciptakan oleh manusia atau negara dalam masyarakat, pasti mempunyai tujuan tertentu sebagai dasar filosofis pembentukannya. Begitu juga dengan hukum untuk melindungi Whistleblower, sebenarnya begitu banyak dasar filosofis dan juga mengingat begitu banyak hal yang menuntut pembentukan undang-undang untuk memberikan perlindungan bagi Whistleblower.

Urgensi Whistleblower untuk menuntut keberhasilah dalam suatu proses peradilan pidana sangat bergantung pada alat bukti yang berhasil diungkapkan atau ditemukan. Dalam proses persidangan terutama yang berkenaan dengan


(23)

saksi, banyak kasus yang tidak terungkap akibat akibat tidak adanya saksi yang mendukung tugas penegak hukum. Padahal adanya saksi dan korban merupakan unsur yang sangat menentukan dalam proses peradilan pidana. Kasus-kasus yang tidak terungkap dan tidak terselesaikan banyak disebabkan oleh saksi an korban yang takut memnerikan kesaksisan kepada penegak hukum karena mendapat ancaman dari pihak tertentu.134

Dalam banyak kasus, pelapor tidak dapat diketagorikan sebagai saksi (mendengar dan mengalami sendiri) namun laporannya sangat bermanfaat untuk mengungkap kejahatan. Dalam konteks mafia dalam sistem peradilan (Mafia in

the judiciary system) atau mafia hukum pengungkapan suatu kejahatan yang

terorganisir atau kejahatan yang dilakukan oleh “orang dalam” yang turut serta dalam kejahatan tersebut.135

Dan terkhusus untuk Whistleblower yang melaporkan tindak pidana korupsi, dimana dapat diketahui bersama bahwa yang terlibat dalam kasus-kasus korupsi adalah mereka orang-orang besar. Dan apabila ada yang melaporkan perbuatan pidana mereka, maka bagi sang pelapor akan sangat besar resikonya. Sehingga memang benar-benar diperlukan kekebalan dan dukungan hukum bagi para pengungkap fakta ini terkhususnya kasus-kasus karupsi. Dan seperti kasus yang sudah pernah terjadi pada Susno Duaji, niat baiknya untuk melaporkan kecurangan dan tindak pidana suap di Kepolisian RI, malah dibalas dengan

134 Dikutip Siswanto Sunarso dari pendapat Ahcmad Santoso, “Perlindungan Pemukul

Kentongan (Whistleblower), Urgensi Perubahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006” pada FGD dan Kolsultasi Daerah, Revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Makasar, 28 September 2010.

135

Siswanto Sunarso, Viktimologi dalam Sistem Peradilan Pidana, Sinar Grafika, Jakarta Timur, 2012, hal. 221


(24)

menjadikan dia sebagai tersangka pada kasus lain. Dan akhirnya, bukan menyelesaikan laporannya, malah ia yang terlebih dahuli yang diproses.Contoh diatas menunjukkan adanya hal yang besar yang harus dihadapi oleh pengungkap fakta yaitu menghadapi ketidakpastian dan resiko dari pengungkapan informasi tentang dugaan kejahatan.

Hal dasar yang harus dipahami bersama adalah mengapa para pengungkap fakta ini perlu diberi perlindungan136, tentunya karena ada ancaman137. Dan perlindungan seperti apa yang diberikan oleh hukum dan siapa yang memberikan perlindungan tersebut. Perlindungan terhadap saksi dan/atau korban menurut Undang-Undang LPSK diberikan kepada saksi dan/atau korban dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan, untuk melindungi atas segala ancaman baik fisik maupun psikis.138 Berdasarkan aturan ini, maka perlindungan tersebut dilaksanakan pada tahap penyelidikan dan penyidikan oleh kepolisian RI, tahap penuntutan oleh Kejaksaan, dan tahap pemeriksaan sidang pengadilan oleh hakim. Peranan LPSK dalam memberikan perlindungan kepada saksi dan korban dilakukan dalam semua tahap proses peradilan pidana.139

Dan untuk para pengungkap fakta terkhususnya mereka yang mengungkap kasus korupsi harus mendapat perhatian khusus. Karena melihat kasus-kasus di

136 Dalam Pasal 1 angka 8 dijelaskan bahwa Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan

hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan undang-undang.

137 Pengertian Ancaman diatur dalam Pasal 1 angka 6 yang menjelaskan bahwa Ancaman

adalah segala bentuk perbuatan yang menimbulkan akibat, baik langsung maupun tidak langsung sehingga Saksi dan/atau korban merasa takut atau dipaksa untuk melakukan sesuatu hal yang berkenaan dengan pemberian kesaksiannya dalam suatu proses peradilan pidana.

138 Dan dalam Pasal 8 Undang-Undang LPSK dikatakan bahwa perlindungan terhadap saksi

dan/atau korban diberikan sejak tahap penyelidikan dimulai dan berakhir. Dan dalam keadaan tertentu perlindungan dapat diberikan sesaat setelah permohonan diajukan kepada LPSK.

139


(25)

Indonesia bisa sama-sama disaksikan bagaimana serangan balik dan ancaman yang diterima para pengungkap fakta tersebut.

Perlindungan hukum dapat diartikan sebagai setiap bentuk perlindungan yang diatur dan didasarkan oleh peraturan perundang-undangan berdasarkan kepastian hukum.secara umum makna atau pengertian perlindungan hukum dalam beberapa peraturan perundang-undangan diatur secara berbeda, diantaranya: menurut Pasal 1 PP Nomor 2 Tahun 2002 menyatakan bahwa,140“perlindungan adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik secara fisik maupun mental, yang diberikan pada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan, teror dan kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan/atau pemeriksaan di sidang pengadilan”. Sedangkan dalam Pasal 1 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 2003 menyebutkan bahwa,141 “perlindungan adalah jaminan rasa aman yang diberikan oleh negara kepada Saksi, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dari kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam perkara tindak pidana terorisme”.

Perlindungan hukum terhadap Whistleblower secara komprehensif seharusnya berlaku baik pada semua tahap peradilan (mulai dari tahap pelaporan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di persidangan) maupun setelah proses peradilan selesai. Hal ini disebabkan terkadang dalam kondisi tertentu pada suatu tindak pidana tertentu, ancaman dan teror bagi Whistleblower akan tetap mengikuti setelah proses peradilan pidana selesai. Munculnya dendam

140

Lilik Mulyadi, Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower.…, Op.cit, hal. 99

141


(26)

kesumat terdakwa atau terpidana yang telah dilaporkan tindak pidananya, relatif dimungkinkan memunculkan ketidaknyamanan dan membuat bahaya bagi kehidupan Whistleblower yang terkait. Selain itu perlindungan hukum juga perlu diberikan tidak hanya kepada Whistleblower akan tetapi juga diberikan kepada keluarganya, karena keamanan dan kenyamanan keluarga mereka juga akan berpengaruh langsung bagi ketenangan dalam menjalankan fungsinya sebagai pengungkap fakta.

Dalam Pasal 8 Undang Nomor 13 Tahun 2006 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban ditegaskan bahwa: “perlindungan terhadap saksi dan/atau korban diberikan sejak tahap penyelidikan dimulai sampai berakhir.” Dimana dalam pasal ini diberikan ketegasan bahwa setiap aparat penegak hukum berkewajiban untuk memberikan perlindungan kepada saksi dan/atau korban.

Dalam implementasi di lapangan khususnya dalam kegiatan penyidikan dan penyelidikan, menunjukkan kendala tertentu, yakni penegak hukum dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana sering mengalami kesulitan karena tidak dapat menghadirkan saksi dan/atau korban, disebabkan adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu.142 Berdasarkan hal ini juga penting adanya undang-undang yang memberikan perlindungan bagi saksi dan korban di dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.

142


(27)

Jaminan perlindungan kepada saksi (baik sebagai saksi sebagai korban maupun saksi bukan sebagai korban) sebagai bagian dari warga negara waji b diberikan oleh negara dalam proses penegakan hukum. Pasal 9 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik tahun 1966 mengajukan hak atas kebebasan dan keamanan seseorang. Hak ini diperkuat oleh pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (bersama dengan hak atas hidup) pasal 5 Konvensi Eropa dan pasal 7 Konvensi Amerika.

Istilah “hak atas kebebasan” yang dalam kata-kata lain seperti “kebebasan untuk kebebasan”, terdengar seperti slogan abstrak. Tetapi istilah ini mengimplikasikan kebebasan fisik dan meliputi kebebasan yang benar-benar konkret dan khusus dari penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang, hak yang sama kritisnya dengan sesuatu yang biasa dipermalukan di zaman sekarang. Setiap masyarakat menggunakan hukum dan lembaga-lembaga pidana untuk

mempertahankan ketertiban dan keadilan maupun untuk melindungi hak dari gangguan orang lain.

Prosedur dan sanksi proses pidana, meski demikian,

memperkokoh kebebasan individu yang dituduh dan dihukum karena melaku kan kejahatan. Invasi terhadap kebebasan semacam itu dibenarkan bila diperlukan untuk melindungi masyarakat tetapi hanya bila dan pada taraf yang sunguh-sungguh diperlukan. Bagaimanapun, proses pidana merupakan ancaman paling besar terhadap hak asasi manusia, khususnya hak atas hidup dan kebebasan.


(28)

Kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan salah satu tonggak dari hak asasi manusia dan memiliki posisi penting bagi berbagai jenis hak dan kebebasan lainnya. Untuk hal itulah Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB)

mengesahkan sebuah

Kovenan khusus mengenai ini dalam Konfrensi Kebebasan Informasi di Jen ewa 1948. Pembuatan formulasi dari pasal yang memuat kebebasan berpendapat dan berekspresi dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia itu melibatkan proses pengumpulan semua formulasi yang ada dalam konstitusi-konstitusi nasional seperti layaknya rancangan-rancangan yang dipersiapkan oleh asosiasi-asosiasi dan organisasi-organisasi umum, privat dan ilmiah; abstraksi dari semua elemen-elemen itu tidak hanya terlihat penting dalam sebuah instrument dunia tetapi kelihatannya juga dapat diterima secara menyeluruh.143

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa pelapor dalam tindak pidana korupsi berbeda dengan pelapor dalam tindak pidana umum.144 Untuk tindak pidana korupsi diberikan kewenangan satu badan yang menerima informasi secara khusus yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dalam Pasal 41 ayat (3) diatur mengenai peran serta masyarakat untuk secara aktif memberkan laporan atau informasi atau pemberitahuan kepada

143

Rani A, “Perlindungan Hukum Bagi Saksi Pengungkap Fakta (Whistleblower) Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban”, Tesis, Pasca Sarjana Program Magister Universitas Sumatera Utara, 2012.

144 Pasal 3 ayat (1) PP Nomor 71 Tahun 2000 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan

pelapor adalah orang yang memberi suatu informasi kepada penegak hukum atau KPK mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi, bukan pelapor sebagaimanan dimaksud dalam Pasal 1 angka 24 KUHAP.


(29)

aparat penegak hukum akan, sedang atau telah terjadinya suatu tindak pidana korupsi. Secara fungsional masyarakat ditingkatkan perannya guna didistribusikan hak dan tanggung jawab dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Sebagai apresiasi pemerintah terhadap pelibatan masyarakat yang berperan sebagai pelapor dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupi diberi penghargaan. Pelibatan masyarakat sebagai pelapor ini,secara normatif diatur secara terperinci dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang menyebutkan bahwa:145

(1) Masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi;

(2) Peran serta dapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwujudkan dalam bentuk:

a. Hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi;

b. Hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, mempeoleh dan memberikan informasi adanya dugaann telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;

c. Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum yang mengani perkara tindak pidana korupsi; d. Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya

yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari;

e. Hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal:

1) Melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a,b, dan c;

2) Diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 3) Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai

tanggung jaab dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi;

4) Hak dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam dalam ayat (2) dan (3) dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas

145


(30)

atau ketentuan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dengan menaati norma agama dan norma lainnya;

5) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan peran serta masyarkat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Selain dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Pelapor tindak pidana korupsi juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak pidana Korupsi, sebagaimana dalam Pasal 15 huruf (a) yang berbunyi: “memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi”.146

1. Syarat Whistleblower Tindak Pidana Korupsi untuk Mendapat Perlindungan Hukum

Membahas mengenai syarat seorang Whistleblower (saksi pelapor/saksi pengungkap fakta) mendapat Perlindungan maka perlu dibahas kembali apa yang dimaksud Whistleblower. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014, mendefinisikan Whistleblower yaitu, orang yang memberikan informasi kepada penegak hukum mengenai terjadinya suatu tindak pidana (lihat penjelasan pasal 10 ayat 1). Sedangkan menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),

Whistleblower adalah seseorang yang melaporkan perbuatan yang berindikasi

tindak pidana korupsi yang terjadi didalam organisasi tempat ia bekerja bekerja,

146 Dalam penjelasan Pasal ini disebutkan bahwa yang dimaksud dengan memberikan

perlindungan, dalam ketentuan ini melingkupi juga pemberian jaminan keamanan dengan meminta bantuan kepolisian atau penggantian identitas pelapor ataun melakukan evakuasi termasuk perlindungan hukum.


(31)

dan ia memiliki akses informasi yang memadai atas terjadinya indikasi tindak pidana korupsi tersebut.

Dari pengertian maka dapat disimpulkan bahwa apa yang dilakukan oleh orang yang berperan sebagai Whistleblower bukanlah merupakan suatu tindakan yang membocorkan rahasia jabatan tapi murni untuk menyelamatkan perekonomian Negara dari perilaku-perilaku koruptif. Lihat ketentuan pasal 322 KUHP yang berbunyi, barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib

disimpannya karena jabatan atau pencariannya, baik yang sekarang maupun yang terdahulu diancam dengan pidana penjaran paling lama 9 bulan. Bila

dikaitkan dengan tugas Polri maka tujuan dilarangnya membocorkan rahasia jabatan agar operasi yang mereka lakukan dapat berjalan sesuai target sebagaimana ketentuan pasal 6 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota POLRI menyebutkan dalam pelaksanaan tugas dilarang membocorkan operasi kepolisian.147

Sepadan dengan itu mengenai profesi dokter dimana dokter dilarang membocorkan rahasia jabatan tujuan yaitu berkaitan dengan hak-hak pasien sebagaimana diatur dalam pasal 53 ayat 2 Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan dimana dijelaskan bahwa dokter dan perawat dalam melaksanakan tugasnya harus menghormati hak pasien yaitu hak informasi, hak untuk memberikan persetujuan, hak atas rahasia dokter.

147

Bahri Yamin, “Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower dalam Tindak Pidana Korups”, Skripsi , Fakultas Hukum Universitas Mataram, 2013.


(32)

Maka letak perbedaannya adalah kalau orang yang berperan sebagai

Whistleblower murni untuk membongkar mafia, perilaku koruptif dan pelanggaran

hukum, oleh karenanya apa yang dilakukan Whistleblower bukanlah merupakan tindakan membocorkan rahasia jabatan, karena rahasia jabatan merupakan perlindungan hak-hak yang dilindungi oleh Negara bukan melindungi kejahatan. Jadi intinya apa yang dilakukan oleh sang Whistleblower selama itu dalam rangkan membongkar mafia, melakukan pelanggaran hukum maka itu bukan merupakan tindakan membocorkan rahasia jabatan. Agar apa yang dilaporkan oleh sang Whistleblower tidak menjadi boomerang buatnya maka apabila ada ancaman terhadap dirinya yang maha dahsyat maka segera memohon perlindungan kepada lembaga perlindungan saksi dan korban.

Bila Whistleblower dalam ancaman yang sangat besar baik terhadap diri, keluarga maupun harta bendanya maka yang bersangkutan segara mungkin melaporkan kepada LPSK sebagai lembaga yang betugas dan memiliki kewenangan untuk memberikan perlindungan kepada saksi maupun korban dengan tata cara sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 29 Undang-Undang PSK yang berbunyi:148

1) Saksi dan/atau korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan permohonan secara tertulis kepada LPSK;

2) LPSK segera melakukan pemeriksaan terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a;

3) Keputusan LPSK diberikan secara tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari sejak permohonan perlindungan diajukan

148

Lihat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban


(33)

Setelah permohonan sampai ke LPSK, maka LPSK akan segera melakukan beberapa hal antara lain:

1) Menelaah dokumen;

2) Hasil penelaahan akan diputuskan dalam rapat paripurna lpsk yang dihadiri oleh seluruh anggota lpsk;

3) Apabila dinyatakan diterima, maka permohonan perlindungan akan ditindaklanjuti oleh bidang perlindungan atau bidang bantuan, kompensasi dan restitusi LPSK;

4) Sebelum mendapatkan pelayanan perlindungan, pemohon diminta untuk menandatangani surat penyataan kesediaan dan perjanjian perlindungan. Sementara untuk mendapatkan layanan tersebut, pemohon harus mengikuti syarat-syarat yang sudah ditentunkan oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, syarat-syarat itu antara lain:149

1) Menandatangani pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan saksi dan Korban;

2) Kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk memberikan kesaksian dalam proses peradilan;

3) Kesediaan saksi dan/atau korban untuk menaati aturan yang berkenaan dengan keselamatannya;

149


(34)

4) Kesediaan saksi dan/atau Korban untuk tidak berhubungan dengan cara apapun dengan orang lain selain atas persetujuan LPSK, selama ia berada dalam perlindungan LPSK;

5) Kewajiban saksi dan/atau korban untuk tidak memberitahukan kepada siapa pun mengenai keberadaannya di bawah perlindungan LPSK;

6) dan hal-hal lain yang dianggap perlu oleh LPSK.

Upaya-upaya yang dilakukan oleh Whistleblower patut diacungkan jempol dan pantas mendapat penghargaan (reward) dan mendapat perlindungan secara hokum, hal ini dilakukan untuk membangkitkan semangat masyarkat agar mau dan tidak takut untuk membongkar kejahatan-kejahatn.Upaya yang dilakukan

Whistleblower bisa dijadikan alasan untuk meringankan hukuman sebagaimana

ketentuan pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 yang berbunyi, seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.

Pasal inilah yang meringankan hukuman bagi mantan Komjen Susno Duajdi. Kemudian dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuaan Bagi Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku yang bekerjasama didalam perkara tindak pidana tertentu point 8 menyebutkan apabila pelapor tindak pidana dilaporkan pula oleh terlapor, maka penanganan perkara atas laporan yang


(35)

disampaikan oleh pelapor didahulukan disbanding laporan dari terlapor. Itulah bentuk perlindungan hukum bagi Whistleblower.

2. Perlindungan Whistleblower dalam Sistem Peradilan Pidana

Dalam Pasal 2 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dikatakan bahwa, undang-undang ini memberikan perlindungan kepada saksi dan korban pada setiap tahap proses peradilan pidana. Hal ini berarti bahwa setiap korban wajib dilindungi oleh setiap Aparat Penegak Hukum mulai dari tahap penyidikan oleh Kepolisian maupun Penyidik lainnya, kemudian pada tahap Penuntutan oleh Kejasaan ataupun Penuntut Umum dan pada tahap peradilan oleh Pengadilan. Dan selain itu, saksi dan korban juga berhak dilindungi setelah putusan pengadilan.

Dan dalam pasal 4 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dijelaskan bahwa yang menjadi tujuan pemberian Perlindungan Saksi dan Korban bertujuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan. Dan kembali lagi ditegaskan bahwa perlindungan itu wajib pada setiap proses peradilan pidana.150 Menurut Prof. Teguh wakil ketua LPSK mengatakan bahwa konsep Sistem Peradilan Pidana di Indonesia adalah sebagai berikut:151

a) Tujuan hukum pidana adalah untuk memberikan pengayoman dan kesejahteraan bagi masyarakatnya, sehingga pertanggungjawaban pidana

150 Siswanto Sunarso, Op.cit, hal. 255

151Teguh Soedarsono, Forum Sosialisasi LPSK (Perlindungan Korban dan Saksi

Meretaskan Kebenaran dan Keadilan dalam Proses Peradilan Pidana)”, Medan, Seminar, 10 Maret


(36)

selain melakukan penjatuhan sanksi hukuman yang relavan kepada pelaku kejahatan, juga memberikan perlindungan dan mengembalikan kondisi korban akibat tindak pidana yang terjadi;

b) Politik pemidanaan pada dasarnya selalu bertolak pada upaya perlindungan terhadap masyarakat dan individu, dalam hal ini perlindungan tertuju kepada korban kejahatan yang bersifat actual maupun potensial beserta keluarganya; dan

c) Oleh karena itu, proses peradilan pidana hendaknya selalu ditujukan pada upaya mencegah faktor kriminogen dan aspek viktimogen yang terjadi, serta upaya dan aktivitas untuk memberikan perlindungan serta reparasi dan/atau rehabilitasi kepada korban maupun lingkungannya.

Dari konsep yang disampaikan oleh Prof. Teguh tersebut menunjukkan bahwa peran Sistem Peradilan Pidana dalam mencapai suatu keadilan sangat penting. Dan terkhusus dalam memberikan perlindungan kepada Whistleblower perlu adanya keterpaduan kinerja dalam setiap proses.

Dan menurut Junimart Girsang ia juga memberikan tanggapan bagaimana seharusnya keterpaduan antara penegak hukum dalam membrikan perlindungan kepada Whistleblower dan Justice Collaborator, menurut beliau:152

152 Junimart Girsang, Seminar yang diselenggarakan oleh LPSK “Sinergitas Penanganan

Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Pengungkapan Tindak Pidana” di Hotel Grand


(37)

a) Terlepas istilah yang dipakai, keterpaduan antaraparat penegak hukum itu kunci penting dalam penegakan hukum, termasuk dalam penanganan whistleblower dan justice collaborator.

b) Keterpaduan aparat penegak hukum roh criminal justice system atau Sistem Peradilan Pidana yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan/pemasyarakatan dan KPK untuk perkara korupsi.

c) Kepolisian memiliki tugas dan kewenangan dalam penyidikan, Kejaksaan melakukan penuntutan, KPK melakukan penyidikan-penuntutan, berlanjut di pengadilan, berakhir di lembaga pemasyarakatan.

Dan menurut Pasal 8 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 ini dinyatakan bahwa perlindungan dan hak saksi dan korban diberikan sejak tahap penyidikan dimulai dan berakhir sesuai dengan ketentuan sebagaimana dalam undang-undang ini.

3. Bentuk-Bentuk Perlindungan Hukum terhadap Whistleblower

Berikut adalah Bentuk-Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Whistleblower tindak pidana korupsi dalam sistem peradilan pidana:

a. Perlindungan Terhadap Fisik dan Psikis

Merupakan sebuah keniscayaan bahwa setiap orang yang memberikan dirinya sebagai seorang Whistleblower akan menghadapi berbagai ancaman, bahkan kekerarasan terhadap diri, jiwa, psikis dan harta serta keluarga. Keputusan untuk menjadi seorang Whistleblower merupakan keputusan tersulit bagi hidup


(38)

mereka, karena segala kenyamanan dan keamanan diri dan keluarganya akan menjadi taruhannya. Apalagi jika tindak pidana yang diungkapkannya adalah tindak pidana yang tergolong sebagai tindak pidana berat dan merupakan kejahatan terorganisir, yang notabenenya para aktornya utama dan intelektualnya adalah orang-orang berpengaruh dan memiliki massa atau pengikut yang besar serta memiliki kedudukan atau jabatan yang strategis di pemerintahan, sehingga sudah tentu intimidasi tidak hanya berasal dari pelaku maupun orang-orang yang tidak terima akan tindakan pengungkapan fakta oleh para Whistleblower.153

Oleh karena itu, merupakan sebuah koneksi logis bahwa pengorbanan para

Whistleblower harus diapresiasi oleh hukum melalui kebijakan formulasi

perlindungan terhadap rasa aman bagi mereka. Selain itu, mengingat pembongkaran fakta tentang tindak pidanan yang dilaporkan mereka akan menjadi sarana efektif bagi penegak hukum untuk menangani tindak pidana tersebut, terkhususnya kasus korupsi yang mengungkapkannnya begitu sulit. Dengan demikian komitmen penegak hukum untuk menangani dalam hal memberikan perlindungan terhadap rasa aman bagi para Whistleblower akan berdampak bagi efektifitas dan efesiensinya proses penyelesaian perkara pidana.

Perlidungan terhadap rasa aman yang dapat diberikan kepada

Whistleblower dapat berupa perindungan terhadap fisik, dan psikis mereka.

Perlindungan fisik dan psikis tersebut tidak hanya diberlakukan untuk keamanan pribadi berupa perlindungan dari segala macam teror, ancaman, kekerasan, tekanan, gangguan terhadap diri, jiwa, dan harta mereka dari pihak manapun,

153


(39)

tetapi juga harus meliputi jaminan perlindunan fisik dan psikis bagi keluarga mereka. Tegasnya, Whistleblower dapat lebih aman, tenang, nyaman serta tanpa beban/tekanan selama proses penyampaian laporan, informasi, kesaksian pada semua tahapan pemeriksaan peradilan. Dalam konteks perlindungan terhadap rasa aman, secara teknis diperlukan perlindungan fisik dan psikis Whistleblower serta keluarganya sedapat mungkin dapat disesuaikan dengan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 jo Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 yang menegaskan bahwa seorang saksi dan korban berhak:

1) Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenan dengan kesaksian yang sedang, akan atau telah diberikannya;

2) Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;

3) Memberikan keterangan tanpa tekanan; 4) Mendapat penerjemah;

5) Bebas dari pertanyaan yang menjerat;

6) Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus; 7) Mendapatkan informasi nengenai putusan pengadilan; 8) Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;

9) Dirahasiakan identitasnya; 10) Mendapat identitas baru;

11) Mendapat tempat kediaman baru;

12) Mendapat penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; 13) Mendapat nasihat hukum;

14) Mendapat bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir;

15) Mendapat bantuan medis dan rehabilitasi psiko-sosial dalam pelanggaran HAM berat;

16) Melalui LPSK berhak mengajukan pengadilan berupa hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran HAM berat dan hak atas restitusi/ ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana154;

154 Dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 dijelaskan

bahwa yang dimaksud dengan “tindak pidana” disini yaitu antara lain Tindak pidana Pelanggaran

HAM Berat, Tindak Pidana Korupsi, Tindak Pidana Terorisme, Tindak Pidana Perdagangan Orang, Tindak Pidana Narkotika, Tindak Pidana Psikotropika, Tindak Pidana Seksual Terhadap Anak, dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi saksi atau korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya.


(40)

17) Dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung dipengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa kemudian dapat memberikan kesaksiannya secara tertulis yang disampaikan dihadapan pejabat yang berwenang dan membutuhkan tanda tangannya pada berita acara yang memuat tentang kesaksian tersebut serta dapat pula didengar kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik.

b. Penangan Khusus

Selain diberikan fasilitas perlindungan terhadap fisik dan psikis sebagaimana telah dijelaskan diatas, untuk mendukung upaya pemberian rasa aman terhadap Whistleblower yang memberikan kesaksian dipersidangan dimungkinkan diberikan penanganan khusus sebagaimana ketentuan Pasal 10 dan Pasal 10A Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.155

Ketentuan Pasal 10 Undang Nomor 13 Tahun 2006 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 menyatakan bahwa:

1) Saksi, korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;

2) Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia tertanyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam rangka meringankan pidana yang akan dijatuhkan;

3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap sakksi, korban, dan pelapor yang memberikan keterangan tidak dengan itikad baik;156

155

Lilik Mulyadi, Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower.…, Op.cit, hal. 102-103

156Dalam penjelasan Pasal 10, yang dimaksud dengan “itikad baik” adalah keterangan yang


(41)

Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Pasal 31 ayat (1) menyatakan bahwa dalam penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana korupsi dilarang menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahui identitas pelapor.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, dalam Pasal 15 menentukan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi berkewajiban memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi.

Dalam beberapa ketentuan yang disebutkan diatas, belum memadai mengatur bagaimana mekanisme pemberian perlindungan kepada pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerja sama karena Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sendiri tidak dapat menjangkau penegak hukum yang lain seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan serta Lembaga Pemasyarakatan.

Untuk itu, kaitannya dengan perlindungan hak pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerja sama, seperti yang disebutkan diatas telah dikeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 2011 tentang perlakuan bagi pelapor tindak pidana (whistleblower) dan saksi Pelaku (justice collaborator) pada point 7 bebunyi bahwa jika menemukan tentang adanya orang-orang yang dapat dikategorikan sebagai pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerja


(42)

sama dapat memberikan perlakuan khusus dengan antara lain memberikan keringanan pidana dan/atau bentuk perlindungannya lainnya.157

Whistleblower dapat berperan besar besar dalam mengungkap

praktik-praktik koruptif lembaga publik, pemerintah maupun swasta. Oleh karena itu, implikasinya tanpa adanya sistem pelaporan dan perlindungan Whistleblower, partisipasi publik untuk membongkar dugaan tindak pidana menjadi rendah sehingga praktik penyimpangan, pelanggaran, atau kejahatan pun semakin meningkat. Akan tetapi, sebenarnya dimensi Whistleblower tidak hanya berorientasi sesuai konteks di atas.

Aspek ini lebih luas dapat dikatakan Whistleblower dari perspektif formulasi serta praktik menimbulkan dilema yaitu dalam posisi bagaiman seseorang ditempatkan sebagai Whistleblower. Hal ini berarti, dari perspektif sistem peradilan pidana Indonesia pada posisi dimanakah eksistensi seseorang dapat disebutkan sebagai Whistleblower apakah parsial ditingkat penyidikan, penuntutan, peradilan, ataukah kolaboratif pada semua tingkat tersebut dimungkinkan. Selain itu, dalam tataran kebijakan formulatif dan aplikatif pada masa kini (ius constitutum) terdapat adanya kekurangjelasan, kekurangtegasan, dan kekurangsempurnaan perlindungan hukum terhadap Whistleblower, pengaturan dibeberapa negara baik mengenai lembaga yang mengatur

Whistleblower, pengaturan legislasi, mekanisme, dan lain sebagainya. Sehingga,

konsekuensi logis dimensi demikian untuk masa mendatang (ius constituendum) diperlukan adanya sebuah konsep ideal perlindungan hukum terhadap

157


(43)

Whistleblower dalam rangka menanggulangi tindak pidana korupsi di

Indonesia.158

c. Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum yang dimaksud dalam sub bab ini adalah perlindungan terhadap “status hukum”, sebagaimana yang dimaksud dalam PP Nomor 71 Tahun 2000. Adapun bentuk perlindungan terhadap status hukum ini secara teknis diantaranya adalah tidak dilanjutkannya terlebih dahulu laporan pencemaran nama baik oleh tersangka tindak pidana korupsi terhadap saksi pelapor sebelum ada proses hukum terhadap kasus korupsi itu selesai terlebih dahulu.

Tegasnya, dengan kata lain proses hukum kasus korupsi harus didahulukan daripada tuntutan pencemaran nama baik oleh tersangka terhadap saksi pelapor tindak pidana korupsi. Namun perlindungan terhadap “status hukum” tersebut dibatalkan apabila dari hasil penyelidikan dan penyidikan terdapat bukti cukup yang memperkuat keterlibatan saksi pelapor dalam tindak pidana korupsi yang dilaporkan dan disaksikannya tersebut. Dalam hal ini terhadap saksi pelapor yang demikian hanya diberikan perlindungan terhadap rasa aman selama proses pemeriksaan peradilan pidana korupsi.159

Pengaturan perlindungan terhadap status hukumyang diatur dalam PP Nomor 71 Tahun 2000 senada dengan pengaturan yang ada dalam Pasal 10 ayat

158

Lilik Mulyadi, Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower.…, Op.cit, hal. 107

159


(44)

(1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014, yang menyebutkan bahwa: “Saksi, korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya”. Menurut Iman Thurmudi, Pasal ini menerapkan konsep protection of cooperating yang merupakan kebijakan hukum pidana (penal policy) yang sudah sangat tepat mengingat untuk pembuktian suatu tindak pidana yang dilakukan modus operandi yang sistematis dan terorganisir. Tugas yang dirasa berat oleh penuntut umum atau polisi jikalau dalam suatu tindak pidana sangat sulit untuk mengumpulkan alat bukti berupa saksi yang melihat sendiri, mendengar sendiri, dan mengalami sendiri suatu tindak pidana bahwa pelaku melakukan perbuatannya dengan rapi dan terorganisir. Selain itu, sering kai terjadi serangan balik dari pelaku utama suatu tindak pidana ketika mereka dilaporkan oleh Whistleblower dengan jalan melaporkan tindak pidana pencemaran maupun tindak pidana kurang menyenangkan, bahkan ada juga yang dilaporkan baik secara pidana maupun perdata.

Terhadap fenomena tersebut, ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 dapat menjadi angin segar bagi para Whistleblower untuk tetap fokus mengungkapkan fakta terjadinya tindak pidana tanpa terbebani oleh kasus hukum yang dilaporkan oleh terlapor. Apalagi ketentuan tersebut dipertegas lagi oleh Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 mengatur tentang bahwa bilamana pelapor tindak pidana dilaporkan pula oleh terlapor maka penanganan perkara atas laporan atas


(45)

laporan yang disampaikan oleh pelapor tindak pidana didahulukan dibanding laporan dari terlapor.

Didalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 telah memberikan mandat kepada LPSK untuk memastikan perlindungan terhadap Whistleblower agar kesaksian dan laporannya tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata. Akan tetapi, dalam praktiknya rumusan pasal ini belum memberikan pengertian jelas, baik persyaratannya maupun implementasinya. Selama ini beberapa persoalan yang biasa muncul antara lain, sering muncul pertanyaan, dalam hal ini apa saja saksi pelapor tidak dapat dituntut secara hukum pidana maupun perdata atas laporan yang telah diberikannya? Pengertian soal persyaratan seorang pelapor yang dilindungi atau dalam pengungkapan atau pelaporan, atau persyaratan menyangkut kriteria kasus dan mengenai kontribusi dari pelapor tersebut, juga belum jelas diatur.

d. Penghargaan

Perlindungan dalam bentuk penghargaan Whistleblower sangat penting, keberadaannya bagi upaya menciptakan iklim kondusif bagi pengungkap kasus korupsi dalam konteks melibatkan masyarakat. Penghargaan layak diberikan sebagai penegasan bahwa yang bersangkutan telah berjasa bagi bagi upaya penegakan hukum, implikasinya bilamana terdapat penghargaan terhadap mereka masyarakat yang lain dapat berani juga mengungkapkan suatu tindak pidana kepada penegak hukum. Bagi Whistleblower yang tidak tersangkut sebagai


(46)

pelaku, penghargaan terhadap mereka yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, salah satunya dalam PP Nomor 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Pasal 42 disebutkan bahwa:160

1) Pemerintah memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat yang telah berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidana korupsi.

2) Ketentuan mengenai penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal ini menjelaskan bagaimana berharganya seorang Whistleblower dan patut diberikan penghargaan atas apa yang telah mereka lakukan.

Hakikat Whistleblower di Indonesia terdapat dalam PP Nomor 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan sebagai orang yang memberi informasi kepada penegak hukum atau komisi mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi dan bukan pelapor. Quentin Dempster menyebut Whistleblower sebagai orang yang mengungkapkan fakta kepada publik mengenai sebuah skandal, bahaya malpraktik, atau korupsi.161 Penghargaan yang diberikan terhadap Whistleblower telah sesuai sebagaimana yang diamanatkan Pasal 10 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13

160

Nurul Ghufron, Op.cit, hal. 75

161


(47)

Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang dilaksanakan oleh LPSK, walaupun masih belum sesuai dengan harapan banyak pihak, yang menginginkan bahwa seorang Whistleblower dibebaskan dari segala tuntutan pidana atau divonis dengan seringan-ringannya sebagai wujud penghargaan atas pengorbanan yang telah dilakukan dengan mengungkapkan adanya tindak pidana ke publik atau kepada pihak yang berwenang (penegak hukum).162

162


(48)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Kesimpulan yang diperoleh dari skripsi ini dan pembahasan terhadap 2 (dua) masalah pokok tersebut di atas adalah sebagai berikut:

1. Adapun peran Whistleblower dalam memberantas tindak pidana baik di Indonesia maupun di luar negeri, memang sangat berperan penting. Di Indonesia sendiri, banyak kasus-kasus yang terungkap dengan kehadiran seorang Whistleblower yang membantu aparat penegak hukum dalam memberantas tindak pidana korupsi tersebut. Seperti Whistleblower Susno Duaji, Vincentius, dan lain-lain. Sedangkan peran Whistleblower di luar negeri bisa dilihat peran dari Whistleblower di Amerika Serikat ada Pengungkap Skandal Enron yaitu Sherron Watskin dan di Australia ada John McLennan sang Pengungkap Fakta Surat-surat Westpac Banking Corporation Australia, dan masih banyak tokoh-tokoh lainnya yang berhasil membongkar kejahatan-kejahatan besar dan juga melibatkan orag-orang penting.

2. Perlindungan hukum yang diberikan terhadap Whistleblower dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia terdapat dalam:

a. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban;

b. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001;


(49)

c. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi;

d. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang;

e. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuaan Bagi Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku;

f. Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 076/KMA/SK/VI/2009 tentang Hak-hak Pelapor dan Terlapor;

g. Nota Kesepahaman serta Peraturan Bersama, yaitu:

1) Nota Kesepahaman antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dengan Kejaksaan RI;

2) Nota Kesepahaman antara Komisi Pemberantasan Korupsi RI dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban;

3) Nota Kesepahaman antara Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban;

4) Nota Kesepahaman antara Badan Narkotika Nasional dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban;

5) Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM RI, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian RI, Komisi Pemberantasan Korupsi RI, dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor: M.HH-11.HM.03.02.th. 2011 Nomor: PER-045/A/JA/12/2011, Nomor: 1 Tahun 2011, Nomor: KEPB-02/01-55/12/2011 Nomro: 4 Tahun 2011


(50)

Tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama.

B. Saran

Adapun saran dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Perlu mengatur dengan tegas Selain apa yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban untuk memberikan perlindungan terhadap saksi pelapor (Whistleblower) tindak pidana korupsi, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juga perlu mengatur dengan tegas dalam pasal tersendiri mengenai eksistensi perlindungan hukum terhadap Whistleblower tindak pidana Korupsi;

2. Perlu adanya kerjasama yang baik dalam sistem peradilan pidana di Indonesia bisa bekerja sama untuk memberikan perlindungan terbaik kepada para pengungkap fakta tindak pidana korupsi pada khususnya dan dalam rangka penegakan hukum pada umumnya.


(1)

semangat, cinta kasih, dan perhatian kepada penulis selama hidup dan menjadi alasan penulis untuk tetap berjuang dan akan selalu berjuang menjadi lebih baik. Terimakasih Pak, Mak, sangat mengasihi kalian. 7. Abang-abang pahlawanku beserta istri, yang menjaga dan mendidikku

seperti sekarang juga, Jonggi Kaloko dan Edak Louis Siburian, Gumarang Kaloko, Marudut Kaloko dan Edak Jelita Nainggolan, terkhusus abang terkasihku Sutrisno Kaloko yang menjadi semangatku, dan alasanku berjuang sampai saat ini, mencoba mengobati luka dihatinya dan mencoba untuk membuktikan sesuatu yang terasa mustahil baginya. Dan kakakku yang menjadi lawan dan kawanku Sartika Kaloko yang juga menjadi semangatku.

8. Permata hatiku, keponakan-keponakan tersayangku, Agnes Kaloko, Nabila Kaloko, Cintya Kaloko, Pangeranta Kaloko, dan Rey Kaloko, yang selalu kurindukan setiap waktu. Terimakasih untuk tawa kalian yang selalu menjadi semangatku.

9. Semua keluarga, Nanangku, Oppung, Bapa Uda dan Inanguda, Amangboru dan Namboru, Tulang dan Nantulang dan semua keluarga serta kampung ku Simartugan yang juga alasanku tetap semangat sampai hari ini.

10.Keluarga Kecilku “Onetatias”, Myke Rumapea, Veronika Ginting, Erwin Ndruru, dan Eka Panggabean, yang menjadi tempat berkeluh kesah, teman suka dan duka dan tempat menangis bersama, yang senantiasa mendengar ocehanku dan tidak berhenti mendukungku dalam


(2)

segala hal. Orang-orang yang setia mendoakanku dan menjadi kekuatanku serta mengajarkanku untuk tetap bertahan sampai saat ini. 11.Adik-adikku yang kukasihi “Fidzora”, Evi, Indri, Abram, Jordy, Ernisa,

Samrah, dan Ririn. Yang membuat hidupku berarti dan mengubah banyak hal dalam hidupku. Adakah artiku tanpa kalian? Sangat mengasihi kalian.

12.Keluarga Besarku Disney Camp, Kak Dina, Tapiyanty, Nuryati, Icha, Yohana, Martin, dan Putra. Yang memberi semangat lewat kata-kata sederhana dan tentunya yang selalu setia mendoakanku.

13.Koordinasi 27 KMKS 24 orang-orang hebat, Eka, Lanny, Grace, Roma, Mutiara, Emfrida, Martin, Nuryati, Pahot, Astrid, Wahyu, Basri, Gracia, Sandy, Christin, Fery, Erwin, Icha, Melika, Anggi, Marlaba, dan terkhusus satu komisi ku yang jugul-jugul Ayu dan Tapiyanty, terimakasih untuk kalian semua dan untuk doa-doa yang tidak jemu-jemu kalian berikan kepadaku. Teman Perpus dan teman galau penulis Gracia dan Roma, sahabat doa penulis Sandy, dan yang selalu menyediakan printer Wahyu. Terimakasih K-27 kebanggaanku dan seluruh elemen KMKS.

14.Tim Regenerasi K28, Bg Seni, Bg Lungguk, Bg Sabar, Bg Jeffry, Lanny, Gracia, Roma, Eka. Terima kasih untuk doa-doanya dan dukungan setia kalian.

15.Sahabatku “GEMBEL”, tempat dimana penulis banyak belajar dan tempat dimana penulis menemukan warna hidup. Terkhusus G-12


(3)

“Bocor Halus”, Rumondang, Indah, Paskah, Olin, Rohana, Ivonne, Betric, Samuel, Ritcat, Befri, dan Wilfrid. Terimakasih untuk dukungan dan kebaikan kalian yang selalu ada di saat kehilanganku sekalipun. 16.Komunitas Peradilan Semu (KPS), tempat dimana penulis banyak

belajar dan mendapat pengalaman berlomba, teman-teman delegasi Piala MA dan semua anggota KPS terimakasih.

17.Kelompok Klinis “SAMAPA” (Sayang Mama Papa), Lara, Jones, Betti, Esther, Iwan, Andreas, Sahata, Ady, Ritcat yang menjadi teman berjuang di klinis semester 6 dan sampai sekarang, terimakasih.

18.Teman-teman seperjuangan, Ria, Yohana, Jere, Esther, Betti, Jones, Lara, dan semua teman-teman seperjuangan lainnya. Terkhusus ibu Lara yang menjadi tempat mencurahkan isi hati, teman curhat dan teman jalan kaki kekampus, terimakasih buk.

Skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, namun semoga berguna bagi kalangan akademik yang membutuhkannya. Akhir kata, penulis mengucapkan terimakasih.

Medan, April 2016 Penulis,


(4)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vii

ABSTRAKSI... x

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang ... 1

B.Perumusan Masalah ... 12

C.Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 12

D.Keaslian Penulisan ... 14

E.Tinjauan Pustaka ... 14

1. Pengertian dan Ruang Lingkup Korupsi ... 14

2. Pengertian Whistleblower ... 23

3. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia ... 28

F. Metode Penelitian ... 31

G.Sistematika Penulisan ... 35

BAB II PERAN WHISTLEBLOWER DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA A.Perkembangan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia ... 37


(5)

B.Peran Whistleblower dalam mengungkap Kasus Korupsi di

berbagai Negara ... 58 C.Peran Whistleblower dalam mengungkap Kasus Korupsi di

Indonesia ... 76

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WHISTLEBLOWER

TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM SISTEM

PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

A.Pengaturan mengenai Whistleblower dalam Peraturan

Perundang-undangan di Indonesia ... 86 B.Perlindungan Hukum terhadap Whistleblower Tindak Pidana

Korupsi dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia ... 102

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 128 B. Saran ... 130


(6)

ABSTRAKSI Riska Rina R. Kaloko*

Syafruddin Kalo** Rafiqoh Lubis***

Kehadiran Whistleblower merupakan angin segar dalam sistem peradilan pidana di Indonesia terkhusus dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia saat ini. Kehadiran para pengungkap fakta ini akan sangat membantu aparat penegak hukum dalam mengungkap kejahatan korupsi yang sudah berakar di Indonesia dan terkhususnya dikalangan pejabat-pejabat tinggi. Namun, yang menjadi saat ini adalah banyak orang tidak berani mengungkap fakta yang mereka lihat, dan pelaporan itu menjadi ketakutan besar bagi para pengungkap fakta karena seringkali adanya ancaman ataupun serangan balik dari pihak terlapor Perlindungan terhadap Whistleblower terkhusus Whistleblower tindak pidana korupsi masih belum diatur secara khusus dan menyeluruh.

Yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimanakah peran Whistleblower dalam menyelesaikan tindak pidana korupsi di Indonesia dan bagaimanakah perlindungan hukum terhadap Whistleblower tindak pidana korupsi dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap asas-asas hukum dengan mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, dimana pengumpulan data dilakukan dengan metode kepustakaan (library research).

Di Indonesia, banyak kasus-kasus yang terungkap dengan kehadiran seorang Whistleblower yang membantu aparat penegak hukum dalam memberantas tindak pidana korupsi tersebut. Seperti Whistleblower Susno Duaji, Vincentius, dan lain-lain. Dan diharapkan dengan memberikan perlindungan hukum yang maksimal dalam perundang-undangan di Indonesia saat ini dapat pada akhirnya menjawab masalah korupsi yang sudah sangat lama merajalela di negara tercinta.

* Penulis

** Dosen Pembimbing I *** Dosen Pembimbing II