Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower Dalam Sistem Peradilan Pidana Pada Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

BAB II
PERAN WHISTLEBLOWER DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA
KORUPSI DI INDONESIA
A. Perkembangan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia
1. Sejarah Korupsi di Indonesia
Tidak bisa dipastikan bermulanya korupsi di Indonesia sejak kapan, akan
tetapi munculnya korupsi di Indonesia memberi pengaruh yang sangat besar
kepada masyarakat dan menjadi suatu gejala masyarakat yang menular dengan
begitu lancar dan cepat kepada masyarakat lain. Perkembangan ini kemudian
membuat suatu penyakit di masyarakat, sebagaimana penyakit di tubuh manusia
begitu juga korupsi kemudian menjadi penyakit yang mudah menular kemanamana.
Pada umumnya permasalahan korupsi terdapat hampir di semua negara di
dunia, yang pada dasarnya mempunyai maksud yang sama yaitu mengandung arti
yang kurang baik dan merugikan keuangan negara serta masyarakat. 46 Indonesia
juga mengalami masalah yang sama dan menjadi sangat meluas akibat kurangnya
kontrol sosial dan hukum dalam mencegahnya.
Hal ini sebenarnya sudah dimulai sejak masa sebelum kedatangan penjajah
Belanda di Indonesia, yaitu zaman kerajaan-kerajaan yang memerintah di
Indonesia. Dimana pada masa ini raja-raja dahulu sudah terjadi kasus korupsi
hanya saja bentuknya tidak sama dengan korupsi dinegara modern. Kemudian
pada masa penjajahan Belanda masuk ke Indonesia, pengaruh kekuasaan Belanda

46

Artidjo Alkostar, Korupsi Politik Di Negara Modern, FH UII Press, Jakarta, 2008, hal.61

Universitas Sumatera Utara

di Indonesia begitu rentan dan memberi pengaruh yang sangat sulit dikontrol
karena tidak ada kontrol politik dari legislatif. Korupsi pada masa ini semakin
berkembang dan semakin sulit diatasi. Kemudian semakin berkembang pada masa
orde lama, orde baru dan sampai sekarang.
Ditinjau dari sejarah perundang-undangan pidana korupsi, bagaimanapun
juga perlu dilihat jauh kebelakang yaitu kepada Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (Wetboek van Strafrecht) sebagai suatu kodifikasi dan unifikasi hukum
pidana yang berlaku bagi semua golongan di Indonesia sesuai dengan asas
konkordansi yang berlaku sejak 1 januari 1918. 47 Di masa ini, bentuk-bentuk
korupsi yang terjadi masih sangat sederhana, seperti terlihat dalam pasal-pasal
KUHP.48
Istilah korupsi kemudian hadir dalam khasanah hukum Indonesia dalam
Peraturan Penguasa Perang Nomor Prt/Perpu/013/1958 tentang Peraturan
Pemberantasan Korupsi. Tapi kehadiran korupsi di Indonesia itu sudah ada sejak

masa penjajahan kolonial Belanda di Indonesia. Kemudian, dimasukkan juga
dalam Undang-Undang Nomor 24/Prp/1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan
Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Dimana kemudian undang-undang ini
dicabut dan digantikan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang selanjutnya sejak tanggal 16
Agustus 1999 undang-undang ini digantikan oleh Undang-Undang Nomor 31

47

Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional, PT Rajagrafindo Persada , Jakarta, 2005, hal. 33
48
Dalam Pasal 415, Pasal 416, Pasal 418, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, dan Pasal 435
dapat kita lihat bentuk korupsi yang dirumuskan yaitu suap atau memaksa seseorang memberikan
sesuatu oleh pejabat/pegawai negeri.

Universitas Sumatera Utara

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan akan berlaku
efektif 2 tahun kemudian yaitu pada tanggal 16 Agustus 2001 dan kemudian

diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tanggal 21 November
2001. Peraturan-peraturan ini lahir sesuai dengan sejarah perkembangan korupsi
di Indonesia juga dikenal pada beberapa masa, seperti pada masa era orde lama, 49
orde baru dan era reformasi sampai sekarang. 50
Perkembangan korupsi yang semakin pesat menuntut juga adanya
permbaharuan hukum yang jauh lebih maju dan lebih bisa mengendalikan setiap
perbuatan-perbuatan korupsi tersebut. Sejak tahun 1997 Negara Republik
Indonesia mengalami krisis ekonomi yang disusul dengan krisis moneter.
Kemudian disadari bahwa Negara republik Indonesia mengalami krisis
multidemnsi sebagaimana dimuat dalam pertimbangan Ketetapan MPR (TAP)

49

Pada era orde lama, dibawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali dibentuk
Badan Pemberantasan Korupsi. Yang pertaman adalah Panitia Retooling Aparatur Negara
(PARAN) yang dipimpin oleh AH Nasution dan dibantu oleh Prof. Yamin dan Roeslan Abdulgani.
Salah satu tugas PARAN saat itu adalah agar para pejabat pemerintah diharuskan mengisi formulir
yang disediakan, istilah sekarang mungkin daftar kekayaan pejabat negara. Dalam
perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir tersebut mendapat reaksi keras
dari para pejabat. Mereka berdalih agar formulir itu tidak diserahkan kepada PARAN akan tetapi

langsung kepada presiden. Usaha PARAN akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan
pejabat berlindung di balik Presiden. Di sisi lain, karena pergolakan di daerah-daerah sedang
memanas sehingga tugas PARAN akhirnya diserahkan kembali pemerintah (Kabinet
Juanda).PARAN ini kemudian diganti menjadi Operasi Budhi melalui Keputusan Presiden Nomor
275 Tahun 1963, dimana tugasnya menjadi lebih berat, yaitu membawa dan meneruskan kasuskasus korupsi ke meja pengadilan. Kemudian PARAN dibubarkan dan diganti menjadi Komando
Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (KONTRAR), namun tidak berkembang pesat. Lihat pada
http://www.antikorupsi.org/id/content/korupsi-dari-dulu-hingga-kini Diakses pada Tanggal 28
Maret 2016.
50
Pada era orde baru, Soeharto selaku Presiden dalam pidato kenegaraannya menyatakan
ingin membasmi korupsi sampai keakar-akarnya, dimana niat ini diwujudkannya dengan
membentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK). Namun keberadaan komite ini hanya “macan
ompong” karena hasil temuannyatentang dugaan korupsi tidak berhasil. Pada era reformasi
dibahwah kepemimpinan BJ Habibie, ia membentuk badan atau lembaga baru seperti KPKPN,
KPPU atu Ombudsman. Kemudian peda masa kepemiminan Abdurraahman Wahid terbentuk Tim
Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Dan yang terakhir adalah lembaga
KPK. Lihat pada http://www.antikorupsi.org/id/content/korupsi-dari-dulu-hingga-kini Diakses
pada Tanggal 28 Maret 2016.

Universitas Sumatera Utara


MPR Nomor IV/MPR.1999. Krisis mencakup antara lain krisis krisis hukum,
krisis integritas bangsa, krisis mental termasuk krisis kejujuran. Gerakan
reformasi yang menumbangkan pemerintah Soeharto (orde baru) menuntut, antara
lain ditegakkan supremasi hukum dan pemberantasan korupsi di Indonesia.51
Saat ini yang terjadi adalah korupsi menjadi satu hal yang berkembang
semakin canggih. Perbuatan korupsi bukan makin surut dan berkurang, akan tetapi
semakin marak dan canggih serta menyebar kesegala lapisan penyelenggara
negara mulai dari kalangan elit sampai kepada pegawai terendah. Sesuatu yang
baru yang dahulu cukup langka yaitu korupsi selain dulakukan oleh eksekutif dan
yudikatif, sekarang sudah merambat ke pihak legislatif dengan parpolnya dan
auditif, sehingga menjadi konprehensif dan sempurna kejahatan korupsi di
Indonesia.52
Sampai sekarang, perbuatan korupsi sudah begitu meratanya di negara
Kesatuan Republik Indonesia ini, dan akibat yang bisa dilihat bersama saat ini
adalah begitu sulitnya bernegara dalam rangka menyejahterakan masyarakat
rakyat banyak betul-betul menjadi semakin keropos dan hanya tinggal tulang
belulang yang sudah sangat rapuh. Kehidupan masyarakat kebanyakan semakin
sulit dan kualitasnya menurun. Orang miskin betul menjadi berkurang, tetapi
dilain pihak orang sengsara semakin bertambah. Komisaris dan Dewan Direksi

Badan Usaha Milik Negara berlomba-lomba menaikkan gaji dan fasilitasnya
dengan dalih peningkatan kinerja. Hampir semua elit birokrat di pemerintah
memikirkan kesejahteraan dirinya sendiri dengan beberapa teknik canggih baik
51
52

Laden Marpaung, Op.cit, hal. 11
Surachmin dan Suhandi Cahaya, Op.cit, hal. 5

Universitas Sumatera Utara

secara legal yang illegal maupun illegal untuk menaikkan penghasilannya. Tidak
ketinggalan wakil-wakil yang terhormat diparlemen berlomba-lomba untuk
memperjuangkan menaikkan penghasilannya, yang pendapatannya 40 jutaan
rupiah tidak puas dan tidak risih untuk menuntut menjadi 80 jutaan.53
Melihat kondisi kesejahteraan rakyat Indonesia yang masih sangat
timpang, maka perlunya menyelesaikan masalah korupsi ini dengan segera.
Hukum dan masyarakat harus bekerja sama dengan baik, dimana hukum harus
mampu memberikan kepastian dan memahami setiap bentuk kejahatan korupsi
serta mengikuti perkembangannya sehingga secanggih dan sehebat apapun usaha

korupsi bisa ditindak dan diberantas. Sedangkan masyarakat juga harus
mengambil peran penting dalam mengkawal undang-undang serta para penegak
hukum dalam mengerjakan bagiannya. Selain itu, pendidikan moral juga perlu
ditinggkatkan, melihat kemajuan dan perkembangan korupsi dari zaman sebelum
Indonesia merdeka dan sampai sekarang yang semakin canggih.
2. Perkembangan Pengaturan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di
Indonesia
Upaya demi upaya dilakukan pemerintah untuk memberantas tindak
pidana Korupsi di Indonesia. Salah satunya dengan melahirkan hukum positif dan
ternyata upaya itu telah dilakukan sejak berlakunya Wetboek van Strafrecht
(KUHP) khususnya Pada Bab XXVIII delik-delik yang dilakukan oleh pejabat.
Namun sepertinya, pasal-pasal dalam KUHP tersebut tidak berdaya untuk
memberantas Korupsi pada masa itu. Upaya demi uapaya terus berkembang dan
53

Ibid, hal. 5

Universitas Sumatera Utara

sampai sekarang upaya terus dikembangkan bagaimana agar masalah ini bisa

diatasi dan diberantas dinegara Indonesia. Tapi hasil dari upaya yang dilakukan
sampai sekarang bukannya menjawab tetapi korupsi semakin merajalela saja di
Indonesia.
Perkembangan

pengaturan

perundang-undangan

pidana

dalam

pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, tidak dapat dilepaskan dari
perkembangan dan proses pembaharuan hukum pidana pada umumnya. Sementara
perkembangan dan proses pembaharuan hukum pidana itu sendiri, erat pula
kaitannya dengan sejarah perkembangan bangsa Indonesia, terutama sejak
proklamasi kemerdekaan sampai pada era pembangunan dan era reformasi saat
ini. Dalam hubungan itu dikehendaki, agar hukum pidana peka dan responsif
terhadap berbagai perubahan yang terjadi dalam masyarakat Indonesia.54 Lahirnya

produk-produk hukum dan dilakukannya pembaharuan hukum yang dilakukan
menunjukkan bahwa ternya korupsi itu berkembang sangat pesat. Bentukbentuknya juga semakin banyak dan canggih, kalau dahulu bentuk korupsi itu
masih sangat sederhana, sekarang perkembangan itu hampir diseluruh aspek
kehidupan masyarakat Indonesia terjadi korupsi.
Beberapa pengaturan dan dasar hukum masalah Tindak Pidana Korupsi di
Indonesia sudah begitu banyak, berikut beberapa peraturan perundang-undangan
yang mengatur masalah pemberantasan korupsi:55
a. TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;
54
55

Elwi Danil, Op.cit, hal. 17
Surachmin dan Suhandi Cahaya, Op.cit, hal. 11

Universitas Sumatera Utara

b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
c. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
d. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tanggal 29 Maret 1971 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (telah dicabut dan diganti dengan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999) khusus berlaku untuk kasuskasus lama sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999;
e. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara
yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme;
f. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tanggal 16 Agustus 1999, tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Selain landasan hukum tersebut, sebenarnya sudah banyak peraturanperaturan yang muncul sebelumnya, berikut juga dibahas satu persatu.
a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Sebenarnya dalam KUHP tidak ditemui adanya penggunaan terminologi
korupsi secara tegas dalam rumusan delik, namun terdapat beberapa ketentuan
yang dapat ditangkap dan dipahami esensinyha sebagai rumusan tindak pidana
korupsi. Artinya, didalam KUHP terdapat pasal-pasal tertentu, yang secara
substansial didalamnya terkandung pengertian korupsi. Ketentuan-ketentuan
KUHP tersebut, dalam pengertian sempit sebenarnya sudah cukup mampu
menampung dan mewadahi berbagai bentuk perilaku menyimpang yang didalam

Universitas Sumatera Utara


kepustakaan dipahami sebagai korupsi. Misalnya kejahatan dalam jabatan,
kejahatan penyuapan, penggelapan dan sebagainya, yang dalam perspektif
perundang-undangan pidana kemudian diambil alih pengaturannya, dan
dikualifikasikan sebagai jenis tindak pidana korupsi.56
Delik korupsi yang merupakan delik jabatan tercantum dalam Bab XXVIII
Buku II KUHP, sedangkan delik korupsi yang ada kaitannya dengan delik jabatan
seperti Pasal 209 dan 210 (orang yang menyup pegawai negeri atau lazim disebut
actieve omkopling), berada dalam bab yang lain, tetapi juga dalam Buku II KUHP
(tentang Kejahatan).57 Perincian delik-delik korupsi yang berasal dari KUHP telah
disebut dalam Bab I Pendahuluan. Semua merupakan kejahatan biasa, artinya
bukan kejahatan ringan atau pelanggaran sebagaimana dikenal dalam hukum
pidana.
Ketentuan-ketentuan tentang tindak pidana korupsi dalam KUHP ditemui
pengaturannya secara terpisah dibeberapa pasal pada tiga bab, yaitu: 58
1) Bab VIII menyangkut kejahatan terhadap penguasa umum, yakni pasal
209, 210 KUHP;
2) Bab XXI tentang perbuatan curang, yakni pada pasal 387 dan 388 KUHP;
3) Bab XXVIII tentang kejahatan jabatan, yakni pada Pasal 415, 416, 417,
418, 419, 420, 423, 425, dan pasal 435.
Rumusan tentang tindak pidanan korupsi dalam KUHP ini dapat
dikelompokkan kedalam menjadi empat kelompok delik, yaitu:

56

Elwi Danil, Op. cit, hal. 26
Ibid, hal. 38
58
Ibid, hal. 26
57

Universitas Sumatera Utara

1) Kelompok tindak pidana penyuapan; yang terdiri dari Pasal 209, 210, 418,
419, dan Pasal 420 KUHP;
2) Kelompok tindak pidana penggelapan; yang terdiri Pasal 415, 416, dan
Pasal 417 KUHP;
3) Kelompok tindak pidana kerakusan (knevelarij atau extortion); yang terdiri
dari Pasal 423 dan Pasal 425 KUHP;
4) Kelompok tindak pidana yang berkaitan dengan pemborongan, leveransir
dan rekanan; yangterdiri dari Pasal 387, 388 dan 435 KUHP.
Adakalanya perbuatan korupsi itu bersifat pasif dan adakalanya bersifat
aktif.59 Rumusan korupsi yang bersifat pasif dapat dilihat dalam Pasal 419 KUHP
yang berbunyi: “Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun, seorang
pejabat; (1) Yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui, bahwa itu
diberikan untuk menggerakkan dia supaya melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; (2) Yang
menerima hadiah, padahal diketahui bahwa itu diberikan sebagai akubat atau oleh
karena dia telah melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan
kewajibannya. Sedangkan rumusan dalam KUHP untuk korupsi yang bersifat
aktif dilihat dalam Pasal 418 KUHP yang berbunyi: “Seorang pejabat yang
menerima hadiah atau janji padahal diketahui dan sepatutnya harus diduga, bahwa
itu diberikan, karena kekuasaan dan kewenangan yang berhubungan dengan
jabatannya atau yang menurut pikiran orang yang memberi hadia atau janji-janji
itu ada hubungannya dengan jabatannya,…”

59

Artidjo Alkostar, Op.cit, hal. 75-76

Universitas Sumatera Utara

KUHP telah merumuskan bagaimana upaya dalam menangani beberapa
masalah korupsi. Namun, seiring dengan perkembangan waktu, bentuk korupsi
yang awalnya dirumuskan dengan masih sangat sederhana tersebut kemudian
semakin berkembang bentuk-bentuknya dan perlu diatur kembali. Kemudian hal
yang pelu dilakukan adalah bagaimana menanganinya, dan hal itu terlihat dengan
munculnya peraturan-peraturan baru untuk memberantas kasus-kasus korupsi
yang semakin berkembang tersebut.
b. Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat (Angkatan Darat dan
Laut)
Pada Tahun 1958 dikeluarkan Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala
Staf Angkatan Laut Nomor Prt/Peperpu/C 13/1958. Peraturan ini merupakan
peraturan khusus yang dicanangkan oleh Penguasa Perang Pusat Kepala Staf
Angkatan Darat yaitu Jenderal A.H. Nasution untuk memberantas tindak pidana
korupsi di Indonesia dimana gejalanya sudah tampak pada tahun 1958. Peraturan
ini berlaku mulai tanggal 16 April 1958 dan kemudian diikuti lahirnya peraturan
pelaksananya yaitu Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut
Nomor Prt/Z.1./1/7 tanggal 17 April 1958.60
Menurut S.M. Amin dalam bukunya “Hukum dan Keadilan”, menyatakan
bahwa perkembangan masyarakat dalam usaha mengisi kemerdekaan, telah
memperlihatkan gejala-gejala kearah penyelewengan yang merupakan perbuatan
60

Salah satu pertimbangan ditetapkannya peraturan tersebut adalah bahwa: “Berhubung
tidak adanya kelancaran dalam usaha-usaha memberantas perbuatan-perbuatan yang merugikan
keuangan negara dan perekonomian negara yang oleh khalayak dinamakan korupsi perlu segera
menetapkan suatu tata kerja untuk dapat menerobos kemacetan dalam usaha memberantas
korupsi”.

Universitas Sumatera Utara

yang merugikan kekayaan perekonomian negara. Gejala seperti ini pada awalnya
jelas kelihatan pada masa perjuangan fisik untuk mempertahankan republik yang
baru diproklamasikan. Pada masa itu istilah korupsi menjadi sangat terkenal
dalam masyarakat, dan terasa sangat mencemaskan. Sementara itu ketentuanketentuan yang terdapat dalam KUHP tidak dapat berbuat banyak untuk
memberantas gejala baru yang dinamakan masyarakat korupsi. Dengan
mengandalkan pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KUHP saja untuk
menanggulangi masalah korupsi, ternyata dirasakan kurang efektif. Akibatnya
banyak pelaku penyelewengan keuangan dan perekonomian negara yang tidak
dapat diajukan ke pengadilan karena perbuatannya tidak memenuhi rumusan yang
ada di dalam KUHP.61
Bertolak dari kenyataan tersebut di atas, diperlukan adanya keleluasaan
bagi penguasa untuk bertindak terhadap para pelaku korupsi . kemudian atas dasar
itulah, pada tanggal 9 April 1957, Kepala Staff Angkatan Darat, selaku penguasa
militer pada waktu itu, mengeluarkan Peraturan Nomor Prt/PM-06/1957. Pada
bagian konsideran Peraturan Penguasa Militer itu tergambar adanya kebutuhan
mendesak untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi yang
mengalami kemacetan. 62 Hal yang terpenting yang perlu disoroti bahwa istilah
korupsi pertama kali dipergunakan dalam peraturan ini sebagai istilah hukum. Dan
kemudian memberikan pengertian seperti termuat dalam konsideran peraturan ini

61

Elwi danil, Op.cit, hal. 28
Konsideran Peraturan Penguasa militer itu pada bagian menimbang, menegaskan bahwa
dengan tidak adanya kelancaran dalam usaha-usaha memberantas perbuatan-perbuatan yang
merugikan keuangan negara dan perekonomian negara yang oleh khalayak ramai dinamakan
korupsi, perlu segera menetapkan suatu tata kerja untukdapat menerobos kemacetan dalam usaha
memberantas korupsi.
62

Universitas Sumatera Utara

bahwa “korupsi adalah perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan nagara dan
perekonomian negara”.
Peraturan penguasa militer ini kemudian dirasa belum cukup efektif dalam
menangani masalah korupsi, sehingga kemudian perlu dilengkapi dengan
peraturan lain tentang penilikan harta benda. Keinginan ini lebih lanjut dituangkan
dalam Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM-08/1957 tanggal 22 Mei 1957.
Peraturan ini dimaksudkan untuk memperoleh hasil yang sebesar-besarnya bagi
kepentingan negara pada usahanya memberantas korupsi. Dengan peraturan ini,
penguasa militer berwenang mengadakan penilikan terhadap harta benda setiap
orang atau benda dalam daerahnya, yang kekayaannnya diperoleh secara
mendadak dan sangat mencurigakan. 63 Jika dalam proses penilikan tersebut
ditemukan adanya harta benda yang mencurigakan asal-usulnya, dimana apabila
asal mulanya diperoleh dengan cara melakukan tindak pidana, maka penguasa
memandang perlu melakukan penyitaan. Tapi yang menjadi masalah berikutnya
adalah dalam melakukan penyitaan belum ada dasar hukum yang mendasari
perbuatan penyitaan tersebut, sehingga kemudian dibentuklah Peraturan Penguasa
Militer Nomor Prt/PM 011/1957.
Kemudian, disamping berlakunya ketiga Peraturan Penguasa Militer
tersebut, memunculkan lahirnya Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 tentang
Keadaan Bahaya pada tanggal 17 April 1958. Hal itu mengakibatkan ketiga
Peraturan Penguasa Militer tersebut diganti dengan Peraturan Penguasa Perang

63

Elwi danil, Op.cit, hal. 29-30

Universitas Sumatera Utara

Angkatan Darat Nomor Prt/Peperpu/013/1958 tentang Pengusutan, Penubtutan
dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi Pidana dan Penilikan Harta Benda.64
Kemudian yang menjadi fokus dari peraturan ini ialah bentuk khusus dari
perbuatan korupsi, yaitu yang menyangkut keuangan negara atau daerah atau
badan hukum lain yang mempergunakan modal dan/atau kelonggarankelonggaran lain dari masyarakat. Hal ini terjadi karna masa pembentukan
peraturan ini (1957-1958) adalah masa ramai pengambilalihan dan pengurusan
perusahaan-perusahaan milik Belanda menjadi Perusahaan Negara. Selain
diberlakukan di Angkatan Darat, kemudianperaturan tersebut pun diberlakukan di
wilayah hukum Angkatan Laut dengan surat keputusan Kepala Staf Angkatan
Laut Nomor Z/1/1/7, tanggal 17 April 1958.65
Dalam peraturan ini dibedakan antara perbuatan korupsi pidana dengan
pebuatan korupsi lainnya. Adapun yang dimaksud perbuatan korupsi pidana
adalah sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 2 Peraturan Penguasa Perang
Angkatan Darat Tahun 1958, yaitu:66
a) Perbuatan seseorang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau
pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan
ynag secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau
perekonomian negara atau daerah, atau merugikan suatu badan yang

Dalam konsideran peraturan ini, khusunya pada butir a, dikatakan sebagai beriku: “bahwa
untuk perkara-perkara pidana yang menggunakan modal dan atau kelonggaran-kelonggaran
lainnya dari masyarakat misalnya, bank, koperasi, wakaf, dan lain-lain atau yang bersangkutan
dengan kedudukan sipembuat pidana, perlu diadakan tambahan beberapa aturan pidana
pengusustan, penuntutan dan pemeriksaan yang dapat memberantas perbuatan-perbuatan yang
disebut korupsi.” Dengan dasar pertimbangan ini dapat kita lihat bahwa masih adanya bentuk dan
usaha serta upaya hukum untuk menambah peraturan dan mencoba memperbaiki agar lebih efektif
lagi dalam memberantas korupsi.
65
Andi Hamzah, Op.cit, hal. 43
66
Elwi danil, Op.cit, hal. 30-31
64

Universitas Sumatera Utara

menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, atau badan hukum
lain yang mempergunakan kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat;
b) Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan
atau pelanggaran, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
badan dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau
kedudukan;
c) Kejahatan-kejahatan tercantm dalam Pasal 41 sampai Pasal 50 Peraturan
Penguasa Perang ini dan dalam Pasal 209, 210, 418, 419, dan 420 KUHP.
Sedangkan yang dimaksud dengan perbuatan korupsi lainnya dirumuskan
dalam Pasal 3 Peraturan Penguasa Perang Angkatan Darat Tahun 1958, yaitu:67
a) Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan
melawan hukum memperkaya diri sendiri atau atau orang lain atau suatu
badan ynag secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau
perekonomian negara atau daerah, atau merugikan suatu badan yang
menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, atau badan hukum
lain yang mempergunakan kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat;
b) Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan
melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan,
dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan dan kedudukan.
Selain pengertian korupsi, dalam peraturan ini juga dibahas tentang
bagaimana cara-cara penyitaan oleh Penilik Harta Benda, Harta Benda bagaimana
yang akan disita, kemudian dalam hal ketentutan-ketentuan yang harus dilakukan
dalam Pengusutan dan Penuntutan Perbuatan Korupsi Pidana serta pengaturanpengaturan lainnya. Semua di upayakan untuk menjawab pemberantasan tindak
pidana korupsi tersebut.
c. Undang-Undang Nomor 24 (PRP) Tahun 1960 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
Karena

dalam

keadaan

mendesak

dan

memaksa,

serta

tidak

memungkinnya dibentuk undang-undang, maka dibentuklah sebuah Peraturan
67

Ibid, hlm.31

Universitas Sumatera Utara

Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), yaitu Perpu Nomor 24 Tahun
1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi,
Lembaran Negara Nomor 72 Tahun 1960. Dan melalui Perpu inilah, kemudian
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan
Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.
Pengertian korupsi menurut undang-undang ini adalah:68
1) Tindakan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan
atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan
yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau
perekonomian negaraatau daerah atau merugikan keuangan suatu badan
yang menerima bantuan dari keuangan negara atau badan hukum lain yang
mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari negara atau
masyarakat;
2) Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan
atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau badan dan
yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan;
3) Kejahatan-kejahatan yang tercantum dalam Pasal 17 sampai 21 peraturan
ini dan dalam Pasal 209, 210, 415, 516, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan
435 KUHP.
Sampai dengan berlakunya undang-undang ini, sebenarnya sudah
tergambar betapa hukum pidana Indonesia telah mengalami perkembangan
sedemikian rupa. Dan hal itu merupakan bentuk tanggapan hukum atas
perkembangan perilaku manusia

tersebut. Menurut Bambang Purnomo,

pembaharuan yang diadakan dalam substansi Undang-Undang Nomor 24 Prp
Tahun 1960 telah memberikan petunjuk tentang betapa rumitnya pemberantasan
kejahatan korupsi yang mempunyai pola perilaku terselubung, dan mempunyai
sasaran di bidang politik, ekonomi, keuangan, dan sosial budaya.

68

Artidjo Alkostar, Op.cit, hal. 64

Universitas Sumatera Utara

Meski telah beberapa kali diadakan pergantian peraturan perundangundangan tentang tindak pidana korupsi, namun selama kurun waktu antara tahun
1960-1970 perkembangan dan peningkatan potensi tindak pidana korupsi
dirasakan terus berlangsung dengan hebat. Artinya selama kurun waktu tersebut
sistem peradilan pidana tidak dapat berbuat banyak untuk menghadapkan para
koruptor ke pengadilan.
d. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
Jika ditinjau dari Yurisprudensi selama kurun waktu antara tahun 19601970, sangat sedikit delik korupsi yang dapat ditemukan. Namun berbeda halnya
dengan kurun waktu 1971-1981, dimana ditemukan perkara korupsi dari yang
terkecil sampai yang terbesar. Dalam Yurisprudensi tercatat perkara-perkara besar
seperti kasus Robby Tjahjadi, Abu Kiswo, Letjen. Siswadji, Budiadji, Liem King
Eng, dan Endang Widjaya, kemudian dua orang hakim senior, masing-masing
JLZ, yang diadili di Pengadilan Negeri Surabaya, dan HG di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat.69
Sebenarnya, dalam upaya pemberantasan korupsi telah dilakukan
perluasan rumusan tindak pidana korupsi itu sendiri. Dan untuk mempermudah
pembuktian dan mempercepat proses penyelesaian perkara-perkara korupsi ini
juga agar semua berjalan lebih efektif dan efisien, maka perlu kembali dilakukan
pembahuran hukum. Dan atas dasar tuntutan rakyat serta berkembangnya korupsi
itu sendiri, kemudian presiden mengajukan rancangan undang-undang kepada
69

Andi Hamzah, Op.cit, hal. 63

Universitas Sumatera Utara

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dan melalui lembaga inilah kemudian lahir
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1971 Nomor 19. Tepatnya
pada tanggal 29 Maret 1971 undang-undang ini disahkan oleh Presiden Soeharto.
Aturan ini menerapkan pidana penjara maksimum seumur hidup serta
denda maksimum Rp 30 juta bagi semua delik yang dikategorikan korupsi. Dalam
undang-undang ini juga diformulasikan tindak pidana korupsi dalam satu pasal,
yaitu Pasal 1 yang terdiri dari 2 ayat dan 5 sub ayat. Pada Pasal 1 dirumuskan
tindak pidana korupsi sebagai berikut:70
a) Barangsiapa melawan hukum dengan melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain, atau suatu badan yang secara langsung atau
tidak langsung merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
b) Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau
suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang
ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau
tidak langsung merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
c) Barang siapa melakukan kejahatan tercantum dalam pasal-pasal 209, 210,
387, 388, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 435 KUHP;
d) Barang siapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti
dimaksud dalam Pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau sesuatu
wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya, atau oleh si
pemberi hadiah atau kedudukan itu;
e) Barangsiapa tanpa alasan yang wajar, dalam waktu yang sesingkatsingkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan
kepadanya seperti yang tersebut dalam Pasal-pasal 418, 419, dan 420
KUHP tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang
berwajib.

70

Elwi danil, Op.cit, hal. 37-38

Universitas Sumatera Utara

Sedangkan dalam Pasal 1 ayat (2) dirumuskan, barangsiapa melakukan
percobaan atau permufakatan untuk melakukan tindak pidana-tindak pidanan
tersebut dalam ayat (1) a, b, c, d, dan e pasal ini.
Melengkapi undang-undang tersebut, dokumen negara Garis-garis Besar
Besar Haluan Negara (GBHN) yang berisi salah satunya adalah kemauan rakyat
untuk memberantas korupsi. Namun pelaksanaan GBHN ini bocor karena
pengelolaan negara diwarnai banyak kecurangan dan kebocoran anggaran negara
di semua sektor tanpa ada kontrol sama sekali.71
Konsideran dalam undang-undang ini menegaskan latar belakang
pemikiran pembuat undang-undang ini memposisikan undang-undang tersebut
sebagai instrumen hukum pidana dalam penanggulangan masalah korupsi.
Pembuat undang-undang menegaskan bahwa perbuatan korupsi sangat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan
nasional, sementara undang-undang yang ada kurang mencukupi sebagai sarana
untuk memberantas tindak pidana korupsi. Oleh sebab itu, diperlukan adanya
langkah pembaharuan perundang-undangan pidana, sehingga dengan demikian
dapat diketahui betapa pentingnya keberadaan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1971 dalam upaya penanggulangan masalah korupsi tersebut.72

71

http://acch.kpk.go.id/tema/-/blogs/sejarah-panjang-pemberantasan-korupsi-diindonesia?p_p_auth=k7zJmMbz Diakses pada Tanggal 28 Maret 2016.
72
Andi Hamzah, Op.cit, hal. 39

Universitas Sumatera Utara

e. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
Pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 ini terjadi pada masa
pemerintahan

Habibie,

dimana

setelah

kurang

dari

dua

tahun

masa

pemerintahannya berjalan mereka sudah mampu menciptakan undang-undang
yang akan dijadikan sebagai pengganti undang-undang sebelumnya. Desakan
pembentukan undang-undang ini terjadi karena dulu masyarakat masih berpikir
bahwa banyaknya korupsi yang terjadi karena hukumnya yang kurang baik, tetapi
hal itu bisa juga dipengaruhi oleh sistem dan moral dari masyarakat yang
mengerjakan sistem itu sendiri.
Pembentukan undang-undang ini dibentuklah Panitia Khusus (Pansus)
untuk menyusun dan mempersiapkan undang-undang ini dengan matang. Hal
yang menjadi perumusan utama didalam undang-undang ini adalah mengenai
sanksi yang akan diberikan kepada pelaku (koruptor). Pada waktu itu, Tim yang
dibentuk yang beranggotakan Barda Nawawi Arief, Loebby Loqman dan Andi
Hamzah, Haryono dan Wahid. 73 Mereka menciptakan minimum khusus, yang
meliputi baik pidana penjara maupun pidana denda, pembedaan ancaman pidana
bagi setiap delik sesuai dengan bobot delik itu serta kualifikasinya, dan juga
penambahan peranan masyarakat.
Setelah itu, sekitar bulan Juli 1999 dibahaslah Rancangan Undang-Undang
ini di DPR. Dan dalam pembahasannya kemudian ditambahkan tentang pidana
mati khusus untuk delik yang tercantum dalam Pasal 2 dalam “keadaan tertentu”

73

Ibid, hal. 74

Universitas Sumatera Utara

yang kemudian dijelaskan dalam penjelasan undang-undang ini yang dimaksud
dengan “keadaan tertentu” itu adalah seperti bencana alam nasional, keadaan
bahaya dan krisis moneter dan ekonomi. Selain itu, ditambahkan pula tentang
akan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi dalam waktu dua tahun setelah
undang-undang

tersebut

diundangkan.

Sementara

itu,

rumusan

tentang

pembalikan beban pembuktian ditolak, karena dipandang melanggar asas
legalitas. 74 Kemudian pada tanggal 16 Agustus 1999 diundangkanlah UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971. Dan menurut Andi
Hamzah, bahwa undang-undang yang diberlakukan di Indonesia ini merupakan
undang-undang yang paling keras dan berat di ASEAN.

f. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun

1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi
Sekitar bulan Maret, kembali dibentuk Tim yang khusus untuk kembali
membahas dan merumuskan undang-undang yang lebih baik untuk menangani
masalah korupsi di Indonesia. Salah satu rumusan dalam tim ini adalah untuk
merealisasikan masalah pembalikan beban pembuktian. Andi Hamzah sebagai
salah satu Tim, merumuskan pembalikan beban pembuktian menjadi dua jenis,
yaitu menyangkut pemberian (gratification) dalam jumlah satu juta rupiah ke atas,
harus dilaporkan jika tidak dianggap suap sampai dibuktikan sebaliknya. Ini

74

Ibid, hal. 74-75

Universitas Sumatera Utara

berarti Penuntut Umum hanya membuktikan satu bagian inti delik, yaitu adanya
pemberian kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara. Bagian lain, seperti
berhubungan

dengan

jabatannya

dan

berlawanan

dengan

kewajibannya

dibebankan kepada terdakwa.75
Perubahan lain yang dicantumkan dalam undang-undang ini ialah tentang
minimum khusus yang hanya berlaku bagi delik korupsi yang nilainya lima juta
atau lebih. Dan penjelasan “keadaan tertentu” untuk menjatuhkan pidana mati
juga berubah menjadi yaitu bukan “waktu” yang menentukan namun
“peruntukan” uang untuk keadaan tertentu itu yang dikorupsi.
Demikianlah perubahan demi perubahan yang dilakukan untuk mencapai
kepastian hukum yang terbaik. Namun, disamping hukum yang baik juga perlu
adanya sistem yang baik dan moral para pelaku sistem yang baik pula. Karena
yang terjadi saat ini adalah bukan berbicara apakah hukum sudah mampu
mewakili setiap keadaan yang terjadi dalam korups, namun masalah utamanya
adalah para pelakunya adalah orang yang seharusnya menegakkan hukum
tersebut. Sehingga yang terjadi dalam masyarakat Indonesia adalah sulitnya
mendapati kemajuan di negara ini, karena masyarakat miskin akan semakin
miskin, dan yang kaya akan smakin kaya. Terjadilah kesenjangan sosial,
perbedaan strata yang membuat sulitnya bangsa ini maju kedepan.

75

Ibid, hal. 76

Universitas Sumatera Utara

B. Peran Whistleblower dalam Mengungkap Kasus Korupsi di berbagai
Negara
1. Lahirnya Whistleblower di Berbagai Negara
Sejarah awal 1990-an banyak negara di dunia telah membuat peraturan
perundang-undangan yang yang melindungi pegawai yang “mengungkapkan”
untuk kepentingan publik maupun privat. Peraturan perundangan-undangan yang
melindungi Whistleblower ini telah diatur dalam Undang-Undang Korporasi,
Undang-Undang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Konsumen dan Keuangan.
Negara-negara ini antara lain Australia, Kanada, Perancis, India, Jepang, Selandia
Baru, Inggris, dan Amerika Serikat.76
Lahirnya Whistleblower diberbagai negara seperti Amerika Serikat,
Australia, Kanada, Jepang, dan negara-negara lainnya sebagain besar terjadi
karena adanya krisis moral dan terjadinya skandal-skandal besar diberbagai
perusahaan-perusahaan besar. Dimana skandal tersebut telah merugikan negara
dan juga membuat bangkrut perusahaan-perusahaan besar tersebut yang tentunya
sangat mengancam kelangsungan hidup pegawai-pegawainya.
Di Amerika misalnya, skandal-skandal yang terjadi di perusahaanperusahaan besar seperti skandal Enron, Tyco International, Adelphia, Citigroup,
Global Crossing, dan skandal-skandal lainya membuat kepanikan luar biasa di
kalangan dunia usaha, karena akibat dari skandal tersebut adalah kerugianmiliaran
dolar bagi para investor dan juga mengancam pertumbuhan ekonomi di Amerika
Serikat pada masa itu.
76

Abdul Haris Semendawai, et.al, Op.cit, hal. 42

Universitas Sumatera Utara

Kemudian pada masa kampanye-kampanye pemilihan presiden Amerika
Serikat, dimana salah satu calon presiden yaitu Jimmy Carter berjanji untuk
mendorong undang-undang yang melindungi Whistleblower yang berasal dari
kalangan-kalangan pegawai pemerintahan federal dari tindakan balasan.
Sedangkan di Australia, lahirnya Whistleblower tidak dapat dipisahkan
dari merebaknya penyelidikan terhadap kasus-kasus korupsi dan perang terhadap
kartel-kartel yang melibatkan perusahaan multinasional. Terutama pada tahun
1990-an, hukum nasional Australia tidak memberikan ruang bagi pegawai untuk
mengungkapkan informasi mengenai situasi dan kondisi di tempat kerja.77
Berdasarkan hal itulah sehingga lahirlah Whistleblower untuk menjawab
setiap permasalahan tersebut. Serta menuntut juga adanya perlindungan khusus
yang diberikan negara kepada para pengungkap fakta tersebut, agar dapat
mengungkap tapi dengan rasa nyaman dalam dirinya.

2. Peran Whistleblower dalam Mengungkap Kasus Korupsi di Berbagai
Negara
a.

Whistleblower di Amerika Serikat
Peraturan

tentang

Whistleblower

mulai

diperkenalkan

dengan

dikeluarkannya Undang-Undang Reformasi Pegawai Negeri 1978 (Civil Service
Reform Act of 1978). Undang-undang ini merupakan bagian utama dari undangundang yang melindungi pegawai federal yang mengungkap informasi

77

Ibid, hal. 44

Universitas Sumatera Utara

(whistleblowing)

terhadap

kesalahan

yang

dilakukan

oleh

Pemerintah.

Perlindungan yang diberikan dalam undang-undang ini kemudian semakin
menguat dengan diundangkannya Whistleblower Protection Act pada 1989 atau
yang dikenal dengan WPA. Dimana dalam Undang-Undang WPA ini melarang
adanya pembalasan terhadap pegawai federal yang mengungkap terjadinya
pelanggaran hukum dan perundang-undangan, mismanajemen, pemborosan
anggaran, penyalahgunaan kekuasaan, atau bahaya khusus dan substansial bagi
kesehatan publik.
Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Whistleblower, pengungkapan
fakta dapat dilakukan terhadap pihak manapun. Proses pengungkapan akan
dilindungi, apabila pengungkapan tersebut “tidak secara khusus dilarang oleh
hukum, dan informasi tersebut secara khusus diperintahkan untuk dirahasiakan
demi kepentingan pertahanan nasional atau pelaksanaan urusan luar negeri”. 78
Dan dengan diundangkannya Undang-undang perlindungan ini meningkatkan
perlindungan terhadap Whistleblower. Terutama bagi Whistleblower yang
mengalami pembalasan dari pihak yang dilaporkan, ia dapat melaporkan kepada
lembaga yang bertugas untuk melaksanakan perlindungan terhadap Whistleblower
yaitu Kantor Penasihat Khusus (Office of the Special Counsel). Dan mereka juga
berhak mendapatkan pemulihan, termasuk pembayaran kembali dan ganti
kerugian atas kerusakan yang timbul setelah dilakukannya pengungkapan.
Selain Undang-Undang Perlindungan Whistleblower tersebut, juga
terdapat peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang Whistleblower, seperti
78

Ibid, hal. 45

Universitas Sumatera Utara

Undang-Undang Sarbanes-Oxley, dimana dalam undang-undang ini diatur satu
macam tentang Whistleblower yakni melindungi pegawai perusahaan publik yang
memberikan bukti adanya kecurangan. Dan dalam undang-undang ini juga diatur
mengenai serangan balik kepada Whistleblower dan menyatakan serangan balik
itu adalah perbuatan melawan hukum (bagian 1107). Kemudian The Federal Civil
False Claim Act (FCFCA) yang merupakan payung hukum bagi Whistleblower
tingkat federal (pusat) pada tahun 1986. Kemudian ada lagi ketentuan Qui Tam
yang merupakan bagian dari Undang-Undang Federal Civil False Claim Act,
dimana dalam undang-undang ini diatur bahwa masyarakat/pihak swasta diijinkan
berbicara atas nama pemerintah terkait dengan adanya kecurangan, biasanya
kecurangan yang dilakukan oleh kontraktor-kontraaktor pemerintah atau orang
yang mendapatkan dana dari pemerintah untuk suatu proyek. 79
Lembaga perlindungan saksi di Amerika Serikat yang disebut Witness
Security (WITSEC), pertama kali dibentuk oleh seorang jaksa yang bernama
Gerald Shur. Berikutnya Amerika Serikat membentuk program perlindungan saksi
dengan regulasi Undang-Undang Reformasi Kemanan Saksi Tahun 1984 (Witnes
Protection Act 1984). Pada regulasi ini Amerika Serikat memberikan
perlindungan terhadap perlindungan fisik saksi dan yang berada dalam risiko
melalui penempatan tempat tinggal baru dan rahasia dengan perubahan nama dan
perincian identitas baru.80

79

Nurul Ghufron, Whistleblower Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pustaka Radja,
Surabaya, 2014, hal. 106
80
Lilik Mulyadi, Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower…, Op.cit, hal. 141

Universitas Sumatera Utara

Beberapa peran Whistleblower dalam mengungkap kasus-kasus korupsi di
Amerika Serikat sebagai berikut:
1) Sherron Watskin sang Pengungkap Skandal Enron (dikutip dari Sejarah
Kasus Enron, yang ditulis oleh Hafika Hadiyanti dalam sebuah website
wordpress.com)81
Enron adalah sebuah perusahaan “Houston Natural Gas” yang dibentuk
pada tahun 1985 oleh yang bergerak dibidang “InterNorth” (penyalur gas alam
melalui pipa) dan juga melalui “Enron Online” (EOL) yaitu memasarkan produk
energi secara online, dimana EOL berhasil melaksanakan transaksi senilai $335
milyar pada tahun 2000. Enron adalah perusahaan yag cukup besar dengan
pendapatan dari $2 milyar menjadi $7 milyar dengan karyawan yang juga tumbuh
dari 200 orang menjadi 2.000 orang.
Kasus Enron menarik perhatian masyarakat Amerika Serikat pada akhir tahun
2001 ketika terungkap bahwa dalam laporan keuangan yang dilaporkan terdapat
penipuan akuntansi yang sistematis, terstruktur, dan direncanakan secara matang.
Kasus ini juga melibatkan kantor akuntan publik internasional, yaitu Arthur
Anderson. Arthur Anderson yang berperan sebagai auditor terkenal dan konsultan
manajemen Enron gagal untuk mendeteksi dan/atau mengungkapakan transaksitransaksi keuangan Enron yang dilakukan dengan cara mengalihkan aset-aset
perusahaan kepada entitas bertujuan khusus (special purpose entity), sehingga
menyebabkan nilai perusahaan tampak lebih besar daripada yang seharusnya.

81

https://hafikahadiyanti.wordpress.com/2013/09/10/sejarah-kasus-enron/. Diakses pada
tanggal 10 Maret 2016.

Universitas Sumatera Utara

Manipulasi ini telah berlangsung bertahun-tahun, sampai Sherron Watskin,
salah satu eksekutif Enron yang tak tahan lagi terlibat dalam manipulasi itu
mengungkap skandal korporasi yang terjadi di Enron kepada publik. Sherron
Watkins menjadi seorang Whistleblower dan Keberanian Watskin inilah yang
membuat

semuanya

menggelembungkan

menjadi
(mark

up)

terbuka.

Manajemen

pendapatannya

US$

Enron
600

juta,

telah
dan

menyembunyikan utangnya sejumlah US$ 1,2 milliar.
Proses pengusutan juga atas kasus ini membuahkan suatu penemuan yang
menarik, yaitu kisah pemusnahan ribuan surat elektronik dan dokumen lainnya
yang berhubungan dengan audit Enron oleh petinggi di firma audit Arthur
Andersen. Pada tanggal 12 Oktober 2001 Arthur Andersen menerima perintah dari
para pengacara Enron untuk memusnahkan seluruh materi audit, kecuali berkasberkas yang paling dasar.
Komplikasi skandal ini bertambah, karena belakangan diketahui banyak
sekali pejabat tinggi gedung putih dan politisi di Senat Amerika Serikat yang
pernah menerima kucuran dana politik dari perusahaan ini. Sementara itu, tercatat
35 pejabat penting pemerintahan George W. Bush merupakan pemegang saham
Enron yang telah lama merupakan perusahaan publik dimana belakangan ini uga
diketahui adanya aliran dana kampanye Bush yang berasal dari pemegang saham
tersebut. Dengan menjadi Whistleblower, Sharon Watkins telah berhasil membuka
skandal yang begitu besar yang juga melibatkan petinggi-petinggi di Amerika
Serikat pada waktu itu.

Universitas Sumatera Utara

2) Chintya Cooper sang Pengungkap Kasus Worldcom (dikutip dari “Kasus
Skandal Akuntansi Pada Worldcom”)82
Chintya Cooper, seorang internal audit yang mendapat pujian dan dieluelukan oleh masyarakat ketika ia mengungkap kasus Worldcom. Chintya ooper
telah menjadi agent of change yang sukses, dimana ia berhasil melaporkan
praktik-praktik yang tidak etis yang dilakukan oleh Worldcom ketika perusahaan
tersebut gagal mencapai laba ekspektasian.

Worldcom telah melakukan manipulasi untuk beban jaringan sebagai
pengeluaran modal tujuannya untuk memperoleh pendapatan lebih. Beben
jaringan adalah beban yang dibayar oleh Worldcom kepada perusahaan lain untuk
jaringan telekomunikasi, seperti biaya akses dan biaya pengiriman pesan bagi
Worldcom. Dengan memindahkan akun beban kepada akun modal, Worldcom
mampu menaikkan pendapatan atau laba. Worldcom mampu menaikan laba
karena akun beban dicatat lebih rendah, sedangkan akun aset dicatat lebih tinggi
karena beban kapitalisasi disajikan sebagai beban investasi.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penyajian beban jaringan sebagai
pengeluaran modal ditemukan oleh internal auditor Cynthia Cooper. Mei 2002
Auditor Cynthia Cooper mendiskusikan masalah tersebut kepada kepala keuangan
Worldcom Scott D. Sullivan dan controller perusahaan saat itu David F. Myers.
Cooper melaporkan masalah tersebut pada kepala komite audit Max Bobbitt,

82

https://yserrey.wordpress.com/2011/02/10/kasus-skandal-akuntansi-pada-

worldcom/ Diakses pada Tanggal 13 Maret 2016.

Universitas Sumatera Utara

sekitar 12 Juni. Yang kemudian Max Bobbitt meminta kepada KPMG selaku
eksternal auditor saat itu untuk melakukan investigasi.

Kepala keuangan worldcom diminta untuk mengkoreksi salah saji/salah
pengklasifikasiannya. Setelah berdiskusi lebih lanjut Scott D. Sullivan dipecat
pada saat Worldcom mengadakan pengumuman. Pada hari yang sama David F.
Myers

mengundurkan

diri.

Dilaporkan

bahwa

Sullivan

tidak

pernah

mengkonsultasikan penyajian tersebut kepada Artuhr Anderson selaku auditor
eksernal pada tahun 2001, dan Arthur Anderson pun menyatakan bahwa Sullivan
tidak pernah berkonsultasi dengannya.

Pertanyaan yang lebih berat dilyangkan kepada KAP Arthur Anderson,
beberapa pengamat menyatakan bahwa Arthur Anderson tahu mengenai salah saji
yang dilakukan pihak Worldcom. Karena seharusnya Arthur Anderson bertugas
untuk mengaudit kesalah semacam itu, apalagi kesalah ini sangat material.
Beberapa pengamat juga menyatakan bahwa Arthur Anderson seharusnya lebih
peka terhadap kondisi keuangan Worldcom, yang dapat mengakibatkan
manajemen perusahaan melakukan hal diluar kewajaran praktek akuntansi.
Selain Sherren Watkins dan Chintya Cooper, daftar Whistleblower di
Amerika Serikat lainnya adalah Jeffrey Wigand. Dia merupakan salah satu
Whistleblower yang sangat terkenal di Amerika Serikat sebagai pengungkap
skandal dalam kasus penambahan bahan karsinogenik (bahan yang dapat
menimbulkan kanker) yang ditambahkan pada rokok untuk menambah kadar

Universitas Sumatera Utara

kecanduan pada pengguna. 83 Meskipun bukan pengungkap kasus korupsi, namun
kehadiran Jeffrey Wigand perlu diperhitungkan sebagai salah satu sejarah
Whistleblower di Amerika Serikat, dimana manipulasi kadar nikotin yang
dilakukan oleh perusahaan ini bisa merugikan banyak pihak.
Selain itu masih banyak tokoh-tokoh lainnya dalam kasus yang berbedabeda, seperti yang baru-baru ini berkembang Edward Snowden. 84 Dimana ia
sedang diburu oleh kepolisian Amerika Serikat karena membocorkan dua program
rahasia bandan intelijen Amerika Serikat, National Security Agency (NSA). Dua
program tersebut merupakan program pengumpulan rekaman telepon pelanggan
Verizon dan penyadapan data ke server perusahaan raksasa internet Amerika
Serikat seperti Google, Facebook, Microsoft, Apple dan sebagainya. Dua program
ini adalah program yang mengancam privasi warga negara Amerika Serikat.
Kemudian ada juga Coleen Rowley of the FBI 85 yang merupakan agen
khusus dengan FBI. Dia mengungkapkan kelambanan dan kesalahan FBI yang
mungkin menyebabkan terjadinya serangan teroris pada 11 September 2001 di
World Trade Center dan Pentagon. Selain mereka masih banyak lagi tokoh-tokoh
Whistleblower di Amerika Serikat yang sangat membantu bahkan ada juga yang
membuka aib pada lembaga tertentu.

83

Abdul Haris Semendawai, et.al, Op.cit, hal. xiii
https://m.tempo.co/read/news/2013/06/22/116490429/edward-snowden-whistle-bloweratau-pengkhianat Diakses pada Tanggal 20 Maret 2016.
85
Abdul Haris Semendawai, et.al, Op.cit, hal. 103
84

Universitas Sumatera Utara

b.

Whistleblower di Australia
Perlindungan terhadap Whistleblower berkembang pada awal 1980-an,

ketika dilakukan penyelidikan besar-besaran terhadap kasus-kasus korupsi di
Australia. Pada waktu itu sangat sulit melindungi Whistleblower, dikarenakan
belum ada undang-undang yang mengatur tentang perlindungan terhadap
Whistleblower.
Dikaji dari perspektif sejarahnya, di Australia komisi kerajaan pada tahun
1983 telah memanfaatkan eksistensi informan untuk melawan kejahatan
terorganisir. Pada saat itu, pemberian perlindungan saksi dilakukan dengan model
perlindungan secara penuh seharian (24 Jam), pemberian identitas baru, dan lain
sebagainya. Pada tahun 1988, sebuah komi