Faktor-faktor yang Memengaruhi Terjadinya TB MDR di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2013

10

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. TB MDR
2.1.1. Pengertian
TB MDR adalah kasus TB yang disebabkan oleh basil M. tuberculosis yang
telah resisten terhadap INH dan rifampisin secara bersamaan, dengan atau tanpa
resistensi terhadap OAT lini pertama lainnya.
Secara umum resistensi terhadap obat anti tuberkulosis dibagi menjadi :
a. Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat
pengobatan OAT atau telah mendapat pengobatan OAT kurang dari 1 bulan
b. Resistensi initial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasien sudah ada
riwayat pengobatan OAT sebelumnya atau belum pernah
c. Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah mempunyai riwayat pengobatan
OAT minimal 1 bulan.
2.1.2. Kategori TB-MDR
Terdapat 5 kategori resistensi terhadap obat anti TB, yaitu:
a. Monoresistan: resisten terhadap salah satu OAT, misalnya resistan isoniazid (H)
b. Poliresistan: resisten terhadap lebih dari satu OAT, selain kombinasi isoniazid

(H) dan rifampisin (R), misalnya resistan isoniazid dan ethambutol (HE),
rifampicin ethambutol (RE), isoniazid ethambutol dan streptomisin (HES),
rifampicin ethambutol dan streptomisin (RES).

10

11

c. Multi Drug Resistan (MDR): resistan terhadap isoniazid dan rifampisin, dengan
atau tanpa OAT lini pertama yang lain, misalnya resistan HR, HRE, HRES.
d. Ekstensif Drug Resistan (XDR): TB MDR disertai resistensi terhadap salah salah
satu obat golongan fluorokuinolon dan salah satu dari OAT injeksi lini kedua
(kapreomisin, kanamisin, dan amikasin).
e. Total Drug Resistan (Total DR). Resistensi terhadap semua OAT (lini pertama
dan lini kedua) yang sudah dipakai saat ini.
2.1.3. Faktor yang Memengaruhi terjadinya Tuberkulosis Resisten Obat
Lima sumber utama penyebab terjadinya TB MDR (“SPIGOTS”) :
a. Pemberian terapi TB yang tidak adekuat akan menyebabkan mutants resisten. Hal
ini amat ditakuti karena dapat terjadi resisten terhadap OAT lini pertama
b. Masa infeksius yang terlalu panjang akibat keterlambatan diagnosis akan

menyebabkan penyebaran galur resitensi obat. .Penyebaran ini tidak hanya pada
pasien di rumah sakit tetapi juga pada petugas rumah sakit, asrama, penjara dan
keluarga pasien
c. Pasien dengan TB MDR diterapi dengan OAT jangka pendek akan tidak sembuh
dan akan menyebarkan kuman. Pengobatan TB MDR sulit diobati serta
memerlukan pengobatan jangka panjang dengan biaya mahal
d. Pasien dengan OAT yang resisten terhadap kuman tuberkulosis yang mendapat
pengobatan jangka pendekdengan monoterapi akan menyebabkan bertambah
banyak OAT yang resisten (’’The amplifier effect”). Hal ini menyebabkan seleksi
mutasi resisten karena penambahan obat yang tidak multipel dan tidak efektif

12

e. HIV akan mempercepat terjadinya terinfeksi TB menjadi sakit TB dan akan
memperpanjang periode infeksius.
Berdasarkan Kemenkes RI 2013 faktor utama penyebab terjadinya resistensi
kuman terhadap OAT adalah ulah manusia sebagai akibat tata laksana pengobatan
pasien TB yang tidak dilaksanakan dengan baik. Penatalaksanaan pasien TB yang
tidak adekuat tersebut dapat ditinjau dari sisi :
1. Pemberi jasa/petugas kesehatan, yaitu karena :

a. Diagnosis tidak tepat,
b. Pengobatan tidak menggunakan paduan yang tepat,
c. Dosis, jenis, jumlah obat dan jangka waktu pengobatan tidak adekuat
Pemberian terapi TB yang tidak adekuat akan menyebabkan mutants resisten.
Hal ini amat ditakuti karena dapat terjadi resisten terhadap OAT lini pertama
d. Penyuluhan kepada pasien yang tidak adequat
2. Pasien, yaitu karena :
a. Tidak mematuhi anjuran dokter/ petugas kesehatan
b. Tidak teratur menelan paduan OAT,
c. Menghentikan pengobatan secara sepihak sebelum waktunya
d. Gangguan penyerapan obat
3. Program Pengendalian TB, yaitu karena :
a. Persediaan OAT yang kurang
b. Kualitas OAT yang disediakan rendah (Pharmaco-vigillance).
Mekanisme terjadinya resistensi:

13

Seorang pasien TB paru dengan kavitas yang berukuran sedang (diameter: 2,5
cm) biasanya mengandung basil TB >108, yang diantaranya sudah terdapat:

-

1 basil yang resisten terhadap rifampisin (R).

-

100 basil yang resisten terhadap INH (H).

-

100 basil yang resisten terhadap streptomisin (S).

-

100 basil yang resisten terhadap etambutol (E).

-

0 basil yang resisten terhadap H dan R.


-

0 basil yang resisten terhadap H dan R dan E.
Dengan demikian, sebelum mendapatkan/dimulainya pengobatan, populasi

basil dalam tubuh pasien sudah mengandung basil yang resisten.
Bila pasien yang bersangkutan diobati hanya dengan INH saja, maka dalam
beberapa bulan basil TB yang peka terhadap INH mati. Sedangkan basil yang resisten
terus berkembang sehingga terbentuk populasi baru dengan komposisi seperti
dibawah ini:
-

108 basil resisten terhadap INH.

-

1 basil resisten terhadap rifampisin (R).

-


100 basil resisten terhadap streptomisin (S).

-

100 basil resisten terhadap etambutol (E).
Bila selanjutnya pasien tersebut diobati dengan INH dan rifampisin saja, maka

dalam beberapa bulan akan terjadi semua basil TB yang peka terhadap INH dan
Rifampisin akan mati, sedangkan basil TB yang resisten akan terus berkembang.

14

Hasil pemeriksaan mikroskopis dahak akan tetap BTA positif dan menjadi pasien TB
MDR.
Keadaan seperti ini biasa disebut sebagai fenomena “fall and rise”, yang
artinya pada beberapa minggu setelah pengobatan, hasil pemeriksaan mikroskopis
dahak telah berupa menjadi negatif, karena banyak basil TB yang masih peka
terhadap OAT telah mati. Namun beberapa saat kemudian hasil pemeriksaan
mikroskopis dahak akan menjadi positif kembali karena basil yang resiten
berkembang terus dan jumlahnya bertambah banyak.

Menurut Program Nasional, terdapat 9 kriteria pasien yang menjadi suspek
TB-MDR yaitu:
1.

Kasus TB kronik;

2.

Gagal pengobatan kategori 2;

3.

Pasien dengan riwayat OAT baik lini pertama maupun lini kedua
(fluorokuinolon, aminoglikosid misalnya kanamisin);

4.

Gagal pengobatan kategori 1;

5.


Pasien dengan BTA tetap positif setelah pengobatan sisipan;

6.

Pasien kambuh

7.

Pasien pengobatan ulang setelah lalai pengobatan (default);

8.

Pasien TB dan petugas yang kontak erat dengan pasien TB resistan OAT;

9.

Pasien ko-infeksi TB-HIV

15


2.1.4. Strategi Diagnosis TB MDR
Pemeriksaan laboratorium untuk uji kepekaan M.tuberculosis dilakukan
dengan metode standar yang tersedia di Indonesia:
a. Metode konvensional
Menggunakan media padat (Lowenstein Jensen/ LJ) atau media cair(MGIT).
b. Tes Cepat (Rapid Test).
Menggunakan cara Hain atau Gene Xpert.
Pemeriksaan uji kepekaan M.tuberculosis yang dilaksanakan adalah
pemeriksaan untuk obat lini pertama dan lini kedua.
2.1.5. Prosedur Dasar Diagnostik untuk Suspek TB MDR
a. Pemeriksaan biakan dan uji kepekaan M.tuberculosis untuk OAT lini kedua
bersamaan

dengan OAT lini pertama:



Kasus TB kronis




Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB Non DOTS
Suspek TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan kasus TBXDR
konfirmasi.

b. Pemeriksaan uji kepekaan M.tuberculosis untuk OAT lini kedua setelah terbukti
menderita TB MDR :


Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi



Pasien pengobatan kategori 1 yang gagal



Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tidak konversi setelah pemberian
sisipan


16



Pasien kambuh (relaps), kategori 1 dan kategori 2



Pasien yang berobat kembali setelah lalai berobat/default, kategori 1 dan
kategori 2



Suspek TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien TB MDR



Pasien koinfeksi TB-HIV yang tidak respon terhadap pemberian OAT

c. Pemeriksaan uji kepekaan M.tuberculosis untuk OAT lini kedua atas indikasi
khusus :


Setiap pasien yang hasil biakan tetap positif pada atau setelah bulan ke empat
pengobatan menggunakan paduan obat standar yang digunakan pada
pengobatan TB MDR.



Pasien yang mengalami rekonversi biakan menjadi positif kembali setelah
pengobatan TB MDR bulan ke empat.
Sambil menunggu hasil uji kepekaan M.tuberculosis di laboratorium rujukan

TB MDR, maka suspek TB MDR akan tetap meneruskan pengobatan sesuai dengan
pedoman penanggulangan TB Nasional ditempat asal rujukan, kecuali pada kasus
kronik, pengobatan sementara tidak diberikan. Suspek TB MDR tersebut akan
diberikan penyuluhan tentang pengendalian infeksi.

17

Gambar 2.1. Alur Penegakan Diagnosis TB Resistan Obat

18

Keterangan :
a. Pasien terduga TB resistan obat akan mengumpulkan 3 spesimen dahak, 1 dahak
untuk Gene Xpert (sewaktu pertama) dan 2 dahak (sewaktu-pagi/pagi-sewaktu) ke
Laboratorium rujukan TB MDR untuk dilakukan pemeriksaan sediaan apus
sputum BTA, pemeriksaan biakan dan identifikasi kuman.
b. Jika didapatkan hasil pemeriksaan biakan dan identifikasi positif Mycobacterium
tuberculosis, maka akan dilanjutkan dengan pemeriksaan uji kepekaan.
Hasil dari uji kepekaan ini dapat berupa MDR, mono-resisten, poli-resisten
atau sensitif seluruh lini pertama
2.1.6. Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien TB MDR
Klasifikasi Penyakit TB MDR (berdasarkan lokasi) :
a. Paru
Apabila kelainan ada di dalam parenkhim paru.
b. Ekstra Paru
Apabila kelainan ada di luar parenkhim paru.
Bila dijumpai kelainan di Paru dan juga di luar paru maka pasien akan
diregistrasi sebagai pasien TB MDR dengan klasifikasi TB MDR Paru.
Tipe pasien TB MDR diregistrasi sesuai dengan pengelompokkan riwayat
sebelumnya sebagai berikut :

19

Tabel 2.1. Tipe Pasien TB MDR Diregistrasi Sesuai dengan Pengelompokkan
Riwayat Sebelumnya
Tipe Pasien
a. Pasien Baru

b. Pengobatan Ulangan

c. Transfer in
d. Lain-lain

Keterangan
Pasien yang belum pernah mendapat pengobatan
dengan OAT atau pernah di obati menggunakan OAT
kurang dari 1 bulan
Pasien yang mendapatkan pengobatan ulang karena :
• Kasus Kambuh (relaps):
Yaitu pasien TB yang sebelumnya pernah
mendapatkan pengobatan TB lini pertama atau lini
kedua dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan
hasil pemeriksaan dahak mikroskopis dan biakan
positif.
• Pasien kembali setelah putus berobat (loss to
follow up)
Yaitu pasien yang kembali berobat setelah putus
berobat paling sedikit 2 bulan dengan pengobatan
TB lini pertama atau lini kedua serta hasil
pemeriksaan dahak menunjukkan BTA positif.
• Kasus Gagal Pengobatan Kategori 2:
Yaitu pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya
tetap positif atau kembali menjadi positif pada
pengobatan dengan OAT lini pertama kategori 2.
Hal ini ditunjang dengan rekam medis dan atau
riwayat pengobatan TB sebelumnya.
• Kasus Gagal Pengobatan Kategori 1 :
Yaitu pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya
tetap positif atau kembali menjadi positif pada
pengobatan dengan OAT lini pertama kategori 1.
Pasien TB Resistan Obat yang sudah diobati dan sudah
diregister di RS Rujukan/Sub Rujukan lain.
Pasien TB yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak
jelas atau tidak dapat dipastikan

20

Tantangan dalam pengelolaan pasien TB MDR lebih besar dari pada pasien
TB yang bukan MDR. Oleh karena itu semua komponen DOTS harus dilaksanakan
dengan lebih cermat, agar faktor risiko untuk terjadinya TB MDR tidak muncul.

Faktor risiko TB MDR seperti:
1. Riwayat Pengobatan TB sebelumnya yang tidak berhasil:
a. Kambuh
b. Gagal
c. Kronik
2. Kontak erat dengan pasien TB MDR
3. Bertempat tinggal/lahir di tempat dengan prevalensi TB MDR tinggi
4. Gagal konversi pada pengobatan dengan OAT lini pertama,
5. Infeksi HIV
6. Pencegahan dan pengendalian infeksi yang tidak adekuat.
2.1.7. Strategi Pengobatan Pasien TB MDR
Pada dasarnya strategi pengobatan pasien TB MDR mengacu kepada strategi
DOTS.
a. Semua pasien yang sudah terbukti sebagai TB MDR dipastikan dapat mengakses
pengobatan TB MDR yang baku dan bermutu.
b. Paduan OAT untuk pasien TB MDR adalah paduan standar yang mengandung
OAT lini kedua. Paduan OAT tersebut dapat disesuaikan bila terjadi perubahan
hasil uji kepekaan M.tuberculosis dengan paduan baru yang ditetapkan oleh TAK

21

(tim ahli klinis).Bila diagnosis TB MDR telah ditegakkan, maka sebelum memulai
pengobatan harus dilakukan persiapan awal. Pada persiapan awal yang dilakukan
adalah melakukan pemeriksaan penunjang yang bertujuan untuk mengetahui data
awal berbagai fungsi organ (ginjal, hati, jantung) dan elekrolit. Jenis pemeriksaan
penunjang yang dilakukan adalah sama dengan jenis pemeriksaan untuk
pemantauan efek samping obat.
2.1.8. PMO (Pengawas Menelan Obat)
Pasien TB Resistan Obat memerlukan pemantauan secara ketat dan rutin
untuk melihat reaksi terhadap pengobatan yang telah diberikan dan untuk mengetahui
efek samping dari pengobatan. Oleh karena diperlukan kepatuhan yang tinggi dalam
pengobatan, maka diperlukan seorang Pengawas Menelan Obat (PMO) untuk
memantau pengobatan dan mengingatkan pemeriksaan yang perlu dilakukan.
PMO adalah petugas kesehatan yang membantu mengawasi pasien TB
Resistan Obat selama masa pengobatan hingga sembuh. Peran PMO dalam
pengobatan adalah:
1) Memastikan pasien menelan obat sesuai aturan sejak awal pengobatan sampai
sembuh, yaitu:
- Membuat kesepakatan antara PMO dan pasien mengenai lokasi dan waktu
menelan obat .
-

PMO dan pasien harus menepati kesepakatan yang sudah dibuat.

-

Pasien menelan obat dengan disaksikan oleh PMO.

22

2) Memberikan dukungan moral kepada pasien agar dapat menjalani pengobatan
secara lengkap dan teratur, yaitu:
-

Meyakinkan kepada pasien bahwa TB MDR bisa disembuhkan dengan
minum obat secara lengkap dan teratur.

-

Memotivasi pasien untuk tetap minum obatnya saat mulai bosan.

-

Mendengarkan setiap keluhan pasien, menghiburnya dan menumbuhkan rasa
percaya diri.

-

Menjelaskan manfaat bila pasien menyelesaikan pengobatan agar pasien
tidak putus berobat.

3) Mengingatkan pasien TB Resistan Obat datang ke Fasyankes untuk mendapatkan
obat dan periksa ulang dahak sesuai jadwal, yaitu:
-

Mengingatkan pasien datang ke Fasyankes untuk mendapatkan obat
berdasarkan jadwal pada kartu identitas pasien (TB.02 MDR).

-

Memastikan bahwa pasien sudah mengambil obat.

-

Mengingatkan pasien jadwal periksa ulang dahak berdasarkan yang tertera
pada kartu identitas pasien (TB.02 MDR).

-

Memastikan bahwa pasien sudah melakukan periksa ulang dahak.

4) Menemukan dan mengenali gejala-gejala efek samping OAT dan menghubungi
Fasyankes
-

Menanyakan apakah pasien mengalami keluhan setelah menelan OAT.

-

Mendampingi pasien ke Fasyankes bila mengalami efek samping obat.

-

Menenangkan pasien bahwa keluhan yang dialami bisa ditangani.

23

5)

Memberikan penyuluhan tentang TB MDR kepada keluarga pasien atau orang
yang tinggal serumah, yaitu tentang:
-

TB MDR adalah penyakit menular, cara penularan TB MDR, gejala-gejala
TB MDR dan cara pencegahannya,

-

TB MDR disebabkan oleh kuman, tidak disebabkan oleh guna-guna atau
kutukan dan bukan penyakit keturunan,

-

TB MDR dapat terjadi karena pasien TB tidak minum obat tuberkulosis
secara teratur,

-

TB MDR dapat disembuhkan dengan berobat lengkap dan teratur,

-

Pengobatan diberikan dalam 2 tahap, yaitu: tahap awal dan lanjutan, yang
lamanya berkisar19-24 bulan,

-

Obat TB MDR harus diminum sekaligus pada waktu yang sama setiap
harinya,

-

Tidak ada obat lain untuk mengobati TB MDR,

-

Pentingnya pengawasan agar pasien berobat secara lengkap dan teratur,

-

Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta
pertolongan ke Fasyankes.

6)

Mengidentifikasi adanya kontak erat dengan pasien TB Resisten Obat dan apa
yang harus dilakukan terhadap kontak erat tersebut.

2.1.9. Pencegahan terhadap Terjadinya Resistensi OAT
1. Standarisasi pemberian regimen yang efektif
2. Penerapan strategi DOTS dan pemakaian obat FDC

24

3. Penyediaan suatu pedoman terapi terhadap TB
4. Dasar pengobatan TB oleh klinisi berdasarkan pedoman terpai sesuai “evidence
based”.
5. Tes kepekaan bakteri Mycobacterium Tuberculosis
6. Pengelompokkan kasus TB secara tepat
7. Regimen obat yang adekuat untuk semua kategori pasien
8. Identifikasi dini dan pengobatan yang adekuat untuk kasus TB resisten
9. Integrasi program DOTS dengan pengobatan resisten TB akan bekerja sinergis
untuk menghilangkan sumber penularan.
10. Pengendalian infeksi
2.1.10. Manajemen Program TB Resistan Obat
Manajemen program TB resistan Obat (Programmatic Management of Drug
Resistant Tuberculosis) atau MTPTRO (Manajemen Terpadu Pengendalian TB
Resisten Obat) merupakan program yang sistematis, komprehensif dan terpadu sesuai
kerangka kerja DOTS dalam mengendalikan perkembangan TB kebal obat agar tidak
menjadi masalah kesehatan masyarakat, dengan kegiatan utama :
a. Pencegahan terjadinya TB resistan obat
b. Penemuan secara dini
c. Tatalaksana kasus TB resistan obat yang bermutu mengacu kepada strategi DOTS
dan ISTC (International Standard for TB Care)
d. Pengurangan risiko penularan dan
e. Pencegahan timbulnya TB resistan obat ekstensif (extensively drugs resistant/XDR)

25

Komponen dalam program Manajemen Terpadu Pengendalian TB Resistan
Obat adalah :
1. Komitmen politik yang berkesinambungan
Komitmen politis yang berkesinambungan sangat penting untukmenerapkan dan
mempertahankan komponen DOTS lainnya.Dibutuhkan investasi dan komitmen
yang berkesinambungan untuk menjamin kondisi yang mendukung terintegrasinya
manajemen kasusTB Resistan Obat ke dalam program TB nasional. Kondisi yang
mendukung

tersebut

diantaranya

adalah

pengembangan

infrastruktur,

pengembangan Sumber Daya Manusia, kerja sama lintas program dan lintas
sektor, dukungan dari kebijakan-kebijakan pengendalian TB untuk pelaksanaan
program secara rasional, termasuk tersedianya OAT lini kedua dan sarana
pendukung lainnya.Selain itu, Program Pengendalian TB Nasional harus diperkuat
untuk mencegah meningkatnya kejadian TB MDR dan timbulnya TB XDR.
2. Strategi penemuan pasien TB Resistan Obat yang rasional melalui pemeriksaan
biakan dan uji kepekaan.
Diagnosis yang akurat dan tepat waktu adalah landasan utama dalam Program
Pengendalian TB Nasional, termasuk mempertimbangkan perkembangan teknologi
yang sudah ada maupun baru. Resistansi obat harus didiagnosis secara tepat
sebelum dapat diobati secara efektif. Proses penegakan diagnosis TB Resistan
Obat adalah pemeriksaan apusan dahak secara mikroskopis, biakan, dan uji
kepekaan yang dilakukan di laboratorium rujukan yang sudah tersertifikasi oleh
laboratorium supra nasional.

26

3. Pengelolaan pasien TB Resistan Obat yang baik menggunakan strategi pengobatan
yang tepat dengan OAT lini kedua.Untuk mengobati pasien TB Resistan Obat,
diperlukan paduan OAT lini kedua dan lini satu yang masih sensitif dan
berkualitas dengan panduan pengobatan yang tepat. OAT lini kedua lebih rumit
dalam pengelolaannya antara lain penentuan paduan obat, dosis, cara pemberian,
lama pemberian, perhitungan kebutuhan, penyimpanan dan sebagainya. Selain itu,
harga OAT lini dua jauh lebih mahal, potensi yang dimiliki lebih rendah, efek
samping lebih banyak dan lebih berat daripada OAT lini pertama. Strategi
pengobatan yang tepat adalah pemakaian OAT secara rasional, pengobatan
didampingi pengawas menelan obat yang terlatih yaitu petugas kesehatan.
Pengobatan didukung oleh pelayanan TB MDR dengan keberpihakan kepada
pasien, serta adanya prosedur tetap untuk mengawasi dan mengatasi kejadian efek
samping obat.
4. Jaminan ketersediaan OAT lini kedua berkualitas yang tidak terputus.
Pengelolaan OAT lini kedua lebih rumit daripada OAT lini pertama. Hal ini
disebabkan oleh beberapa hal, antara lain : waktu kadaluarsa yang lebih singkat,
cara penghitungan kebutuhan pemakaian yang berdasar kebutuhan per individual
pasien, jangka waktu pemberian yang berbeda sesuai respons pengobatan,
beberapa obat memerlukan cara penyimpanan khusus yang tidak memungkinkan
untuk dikemas dalam sistem paket. Kerumitan tersebut memerlukan upaya
tambahan dari petugas farmasi/ petugas kesehatan yang terlibat dalam pengelolaan

27

OAT lini kedua di setiap jenjang, dimulai dari perhitungan kebutuhan,
penyimpanan, sampai persiapan pemberian OAT kepada pasien.
Untuk menjamin tidak terputusnya pemberian OAT, maka stok OAT harus
tersedia dalam jumlah cukup untuk minimal 6 bulan sebelum obat diperkirakan
habis. OAT lini kedua yang digunakan harus berkualitas dan sesuai standar WHO.
5. Pencatatan dan pelaporan secara baku
Prosedur penegakan diagnosis TB Resistan Obat memerlukan waktu yang
bervariasi (tergantung metode yang dipakai), masa pengobatan yang panjang dan
tidak sama lamanya, banyaknya jumlah OAT yang ditelan, efek samping yang
mungkin ditimbulkan, merupakan hal-hal yang menyebabkan perbedaan antara
pencatatan pelaporan program. Hasil pencatatan dan pelaporan diperlukan untuk
analisis kohort, untuk menghitung indikator antara dan laporan hasil pengobatan.
Sejak tahun 2012 RSUP H.Adam Malik telah menjadi Rumah Sakit rujukan
TB MDR dan telah menemukan suspek sebanyak 556 orang dan 79 penderita TB
MDR. Namun dalam masa pengobatan banyak pasien yang droup out, gagal dan
meninggal. Dan saat ini yang sedang menjalani pengobatan sebanyak 52 orang.
Pasien tersebut berasal dari beberapa kabupaten/kota yang ada di Sumatera Utara.

2.2. Perilaku
2.2.1. Konsep Perilaku
Perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus
(rangsangan dari luar).Perilaku juga dapat dikatakan sebagai totalitas penghayatan

28

dan aktivitas seseorang yang merupakan hasil bersama antara beberapa faktor.
Sebagian besar perilaku manusia adalah operant response yang berarti respons yang
timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus tertentu yang disebut
reinforcing stimulation atau dengan adanya stimulasi akan memperkuat respons. Oleh
karena itu untuk membentuk perilaku perlu adanya suatu kondisi tertentu yang dapat
memperkuat pembentukan perilaku.
Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme
(makhluk hidup) yang bersangkutan.Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis
semua makhluk hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang sampai dengan
manusia itu berperilaku, karena mempunyai aktivitas masing-masing. Sehingga yang
dimaksud dengan perilaku manusia, pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas
dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas, antara lain:
berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan
sebagainya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku
(manusia) adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati
langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2003).
Menurut Skiner dalam Notoatmodjo (2003), bahwa perilaku merupakan
respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan. Dilihat dari bentuk
respon terhadap stimulus ini maka perilaku dapat dibedakan menjadi 2 (dua) :
1. Perilaku Tertutup (Covert Behavior)

29

Respon atau reaksi terhadap stimulus ini terbatas pada perhatian, persepsi,
pengetahuan atau kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima
stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.
2. Perilaku Terbuka (Overt Behavior)
Respons terhadap stimulus ini sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek
(practice), yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain
(Notoatmodjo, 2003).
2.2.2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Perilaku
Notoatmodjo (2003), menyatakan bahwa faktor-faktor yang membedakan
respons terhadap stimulus yang berbeda disebut juga determinan perilaku, yang dapat
dibedakan menjadi dua yakni :
a) Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik individu yang bersangkutan
yang bersifat bawaan, misalnya : tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis
kelamin, dan lain-lain.
b) Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan fisik, sosial, budaya,
ekonomi, politik. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan
yang mewarnai perilaku seseorang.
Menurut WHO (World Health Organisation) dalam Notoatmodjo (2005),
alasan seseorang berperilaku tertentu adalah karena pengetahuan, persepsi, sikap,
kepercayaan-kepercayaan, dan penilaian seseorang terhadap objek.
2.2.3. Aspek-aspek Perilaku
Aspek-aspek perilaku terdiri dari tiga bagian, sebagai berikut:

30

a. Pengetahuan, adalah aspek perilaku yang merupakan hasil tahu, dimana ini terjadi
bila seseorang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu.
Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku
yang tidak didasari oleh pengetahuan. Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (2003),
dari hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi
perilaku baru, dalam dirinya orang tersebut terjadi proses berurutan, yaitu:
a. Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti
mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (obyek).
b. Interest, dimana orang mulai tertarik kepada stimulus.
c. Evaluation, orang sudah mulai menimbang-nimbang terhadap baik tidaknya
stimulus tersebut bagi dirinya.
d. Trial, dimana orang telah mulai mencoba perilaku baru.
e. Adoption, dimana subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,
kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.
b. Sikap, merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap
stimulus atau objek. Sikap belum merupakan tindakan atau aktivitas, tetapi
merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku.Sikap ini terdiri dari berbagai
tingkatan seperti menerima, merespon, menghargai dan bertanggungjawab.
Menurut Fishbein dan Ajzen dalam Dayakisni dan Hudaniah (2003), sikap sebagai
predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara konsisten dalam cara tertentu
berkenaan dengan objek tertentu. Sherif & Sherif dalam Dayakisni & Hudaniah
(2003) menyatakan bahwa sikap menentukan keadaan dan kekhasan perilaku

31

seseorang dalam hubungannya dengan stimulus manusia atau kejadian-kejadian
tertentu. Sikap merupakan suatu keadaan yang memungkinkan timbulnya suatu
perbuatan atau tingkah laku.
Azwar (2007), menggolongkan definisi sikap dalam tiga kerangka pemikiran:
a. Kerangka pemikiran yang diwakili oleh para ahli psikologi seperti Louis
Thurstone, Rensis Likert dan Charles Osgood dalam Azwar (2007). Menurut
mereka sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap
seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak
(favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak
(unfavorable) pada objek tersebut.
b. Kerangka pemikiran ini diwakili oleh ahli seperti Chave, Bogardus, LaPierre,
Mead dan Gordon Allport dalam Azwar (2007),. Menurut kelompok pemikiran
ini sikap merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek
dengan cara-cara tertentu. Kesiapan yang dimaksud merupakan kecenderungan
yang potensial untuk bereaksi dengan cara tertentu apabila individu dihadapkan
pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respon.
c. Kelompok pemikiran ini adalah kelompok yang berorientasi pada skema triadik
(triadic schema). Menurut pemikiran ini suatu sikap merupakan konstelasi
komponen kognitif, afektif dan konatif yang saling berinteraksi di dalam
memahami, merasakan dan berperilaku terhadap suatu objek.
Sikap dapat bersifat positif dan dapat pula bersifat negatif, (1) sikap positif
adalah apabila timbul persepsi yang positif terhadap stimulus yang diberikan dapat

32

berkembang sebaik-baiknya karena orang tersebut memiliki pandangan yang
positif terhadap stimulus yang telah diberikan. (2) sikap negatif apabila terbentuk
persepsi negatif terhadap stimulus yang telah diberikan. Struktur sikap menurut
Kothandapani (dalam Azwar, 2007) dibagi menjadi 3 komponen yang saling
menunjang. Ketiga komponen tersebut pembentukan sikap, yaitu sebagai
komponen kognitif (kepercayaan), emosional (perasaan) dan komponen konatif
(tindakan).
c. Tindakan, adalah sesuatu yang dilakukan. Suatu sikap belum otomatis terwujud
dalam suatu tindakan (overt behaviour). Untuk terwujudnya sikap agar menjadi
perbuatan yang nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang
memungkinkan antara lain adalah fasilitas. Tindakan ini juga memiliki beberapa
tingkatan yaitu : persepsi (perception), respon terpimpin (guided respons),
mekanisme (mecanism), adaptasi (adaptation). Pengukuran perilaku dapat
dilakukan secara tidak langsung, yakni dengan wawancara terhadap kegiatankegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau buan yang lalu (recall).
Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung yakni dengan mengobservasi
tindakan atau kegiatan responden.
Perilaku manusia merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan, seperti
keinginan, minat, kehendak, pengetahuan, emosi, berpikir, sifat, motivasi, reaksi dan
sebagainya, namun demikian sulit dibedakan refleksi dan gejala kejiwaan yang mana
seseorang itu berperilaku tertentu. Apabila kita telusuri lebih lanjut, gejala kejiwaan

33

yang tercermin dalam perilaku manusia itu adalah pengalaman, keyakinan, sarana
fisik, sosio masyarakat dan sebagainya (Notoatmodjo, 2005).
2.2.4. Perilaku Kesehatan
Dalam hal perilaku kesehatan, respons atau reaksi manusia yang bersifat
pasif, yaitu meliputi pengetahuan, persepsi dan sikap dan yang bersifat aktif adalah
tindakan yang nyata atau practice. Sedangkan aspek stimulusnya meliputi 4 unsur
pokok, yaitu

sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan dan lingkungan

(Notoatmodjo, 2003).
Becker,(1979) mengklarifikasikan perilaku yang berhubungan dengan
kesehatan (health related behaviour)sebagai berikut :
-

Perilaku kesehatan (health behaviour), yaitu hal-hal yang berkaitan dengan
tindakan atau kegiatan seseorang dalam memelihara dan meningkatkan
kesehatannya.

-

Perilaku sakit (the sick role behaviour) yaitu segala tindakan atau kegiatan yang
dilakukan seseorang yang merasa sakit, untuk merasakan dan mengenal keadaan
kesehatannya atau rasa sakit, termasuk kemampuan atau pengetahuan individu
untuk mengidentifikasi penyakit, penyebab penyakit, serta usaha-usaha mencegah
penyakit tersebut.
Green (1980) mengindentifikasi bahwa perilaku kesehatan dipengaruhi oleh

tiga faktor sebagai berikut :
-

Faktor presdisposisi (Presdisposing factors), yaitu : pengetahuan, sikap, nilai dan
persepsi

34

-

Faktor kemungkinan (Enabling factors), yaitu : ketersediaan sumber daya,
keterjangkauan, keterampilan petugas.

-

Faktor penguat (Reinforcing factors), yaitu : sikap dan perilaku petugas
kesehatan, dan petugas lain (keluarga), teman sebaya/sejawat, orang tua dan lainlain.
Dari teori Green di atas dapat diperkirakan bahwa salah satu cara untuk

merubah perilaku adalah dengan melakukan intervensi terhadap faktor predisposisi,
yaitu dengan merubah pengetahuan, sikap, nilai dan persepsi terhadap masalah
kesehatan melalui kegiatan pendidikan kesehatan.

2.3. Faktor Intrinsik dan Ekstrinsik yang Memengaruhi terjadinya TB MDR
Kajian epidemiologi untuk masalah kesehatan memusatkan perhatian dalam
tiga hal yaitu penyakit atau efek suatu kejadian, faktor resiko dan agent penyakit
(Murti,1995). Faktor risiko adalah faktor-faktor atau keadaan yang memengaruhi
perkembangan suatu penyakit

atau status kesehatan. Istilah memengaruhi disini

adalah menimbulkan resiko lebih besar pada individu untuk terjadi suatu status
kesehatan/penyakit pada masyarakat. Menurut paratiknya (2003) faktor risiko pada
tingkat individu dikenal dua macam, yaitu :
a. Faktor risiko yang berasal dari dalam organisme (faktor risiko intrinsik).
b. Faktor resiko yang berasal dari luar/lingkungan (faktor risiko ekstrinsik)
Skema berikut dapat menjelaskan hubungan faktor risiko dengan organisme
dan efek.

35

Gambar 2.2. Skema Faktor Risiko pada Individu
Faktor risiko intrinsik adalah tingkat kepekaan individu terhadap suatu
penyakit atau kepekaan/respon individu terhadap perubahan perilaku, seperti
perilaku berobat penderita TB dapat mencakup pengetahuan, sikap dan persepsinya
terhadap sakit dan penyakit TB tersebut. Faktor risiko ekstrinsik adalah faktor –
faktor lingkungan yang memudahkan individu terjangkit suatu penyakit atau
perubahan perilaku.
Dari uraian di atas memungkinkan pengelompokkan faktor – faktor yang
dapat menyebabkan seseorang untuk berperilaku tertentu di masyarakat. Begitu juga
halnya dengan faktor yang memengaruhi perilaku penderita TB menjadi resisten
terhadap isoniazid dan rifampicin yaitu :
2.3.1. Faktor Risiko Intrinsik
Beberapa faktor yang diduga dapat memengaruhi kepatuhan penderita
tuberkulosis di dalam menjalani pengobatan bahkan menghentikan pengobatan
sebelum waktunya antara lain:

36

a. Umur
Di Negara berkembang, mayoritas yang terinfeksi TB adalah golongan usia
dibawah 50 tahun, namun dinegara maju prevalensi justru tinggi pada usia yang lebih
tua. Pada usia tua, TB mempunyai gejala dan tanda yang tidak spesifik sehingga sulit
terdiagnosis, sering terjadi reaktivasi fokus dorman, selain itu berkaitan dengan
perkembangan faktor komorbid yang dihubungkan dengan penurunan cell mediated
immunity seperti pada keganasan, penggunaan obat immunosupresif dan faktor
ketuaan. Umur merupakan faktor predisposisi terjadinya perubahan perilaku yang
dikaitkan dengan kematangan fisik dan psikis dari penderita TB paru. Pada usia tua
angka ketidakteraturan berobat lebih tinggi disebabkan karena lupa dan kepasrahan
mereka terhadap sakit yang diderita (Ratnawati, 2000). Akibat dari ketidakteraturan
berobat inilah yang menjadi pemicu terjadinya resistan terhadap obat TB.
b. Jenis Kelamin
Secara epidemiologi dibuktikan terdapat perbedaan antara laki-laki dan
perempuan dalam hal prevalensi infeksi, progresivity penyakit, insidens dan kematian
akibat TB, perkembangan penyakit juga mempunyai perbedaan antara laki-laki dan
perempuan yaitu perempuan mempunyai penyakit yang lebih berat pada saat datang
ke rumah sakit, perempuan lebih sering datang terlambat datang ke pelayanan
kesehatan, hal ini mungkin berhubungan dengan aib dan rasa malu lebih dirasakan
pada perempuan dibanding laki-laki. Selain itu dalam hal pengobatan laki-laki
cenderung teratur berobat dibanding dengan wanita, ini mungkin didasari rasa
tanggung jawab terhadap keluarga sehingga dia dapat menyelesaikan pengobatannya.

37

c. Pendidikan
Pendidikan berkaitan dengan pengetahuan penderita. Pendidikan rendah
mengakibatkan pengetahuan rendah. Rendahnya pendidikan seorang penderita TB
dapat memengaruhi seseorang untuk mencari pelayanan kesehatan. Masih banyak
penderita TB berhenti berobat karena keluhan sakit sudah hilang, padahal
penyakitnya belum sembuh. Ini terjadi karena kurangnya pemahaman tentang apa
yang telah disampaikan oleh petugas kesehatan sehingga mengakibatkan kuman TB
resisten terhadap obat TB. Faktor pendidikan erat kaitannya dengan kepatuhan
penderita TB berobat dan minum obat secara teratur (Wirdani, 2000).
d. Pekerjaan
Jenis pekerjaan tertentu berpengaruh terhadap ketidakteraturan berobat
penderita TB. Hal ini disebabkan oleh kesibukan dan keadaan ekonomi dan lebih
diperparah oleh pekerjaan diluar kota (jauh) sehingga penderita tidak sempat untuk
mengambil OAT ke fasilitan pelayanan kesehatan yang mengakibatkan penderita
tidak teratur menelan OAT sehingga mengakibatkan kuman TB kebal terhadap OAT.
e. Pengetahuan
Akibat dari rendahnya pengetahuan pasien TB yang disebabkan oleh
pendidikan rendah atau bila berpendidikan tinggi mungkin disebabkan oleh
pengetahuan penderita tentang tuberkulosis masih kurang sehingga sering seorang
penderita tuberkulosis menghentikan pengobatannya karena merasa penyakitnya
sudah sembuh karena sudah tidak ada batuk, nafsu makan meningkat serta berat
badan sudah bertambah sehingga penderita menghentikan pengobatannya sebelum

38

sampai waktunya. Pengetahuan masyarakat tentang TB yang masih rendah ini tentu
saja diperlukan upaya promosi dan advokasi yang lebih intens untuk meningkatkan
pengetahuan, sikap dan praktek masyarakat terhadapat TB (Litbangkes SPTBC
2004).
f. Sikap
Lamanya waktu pengobatan TB dapat menimbulkan perasaan bosan,
kecemasan, depresi, terisolasi, penolakan dan perasaan tidak berguna karena
kehilangan pekerjaan serta tidak dapat aktif lagi secara sosial, merasa dikucilkan hal
ini dapat mengakibatkan penderita TB tidak teratur menelan OAT, tidak mematuhi
anjuran dokter bahkan menghentikan pengobatan secara sepihak hal ini juga dapat
menyebabkan terjadinya TB MDR
g. Efek Samping Obat
Sebagian besar penderita TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek
samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping ringan dan berat.
(Depkes, 2011). Penderita TB yang mengeluhkan efek samping obat dari OAT
cendrung untuk tidak patuh dalam rangkaian pengobatannya yaitu tiga kali lipat bila
dibanding dengan mereka yang tidak mengeluhkan efek samping, (Syaumaryadi,
2000). Akibat efek samping tersebut penderita TB menghentikan pengobatannya
secara sepihak.

39

2.3.2. Faktor Risiko Ekstrinsik
a. Pengawas Menelan Obat ( PMO).
Menurut Depkes RI (2006) agar kesembuhan penderita dapat dicapai dengan
baik, perlu dilakukan pengawasan langsung menelan obat, terutama pada pengobatan
tahap awal (intensif). Untuk melakukan pengawasan tersebut perlu ditunjuk PMO
bagi setiap penderita. Penunjukan PMO ini perlu didiskusikan dengan penderita
dengan penjelasan bahwa PMO itu penting. Penunjukan PMO harus dengan
persetujuan penderita agar pelaksanaan pengawasan menelan obat dapat berjalan
sesuai dengan yang diharapkan. Bagi PMO yang menjalankan perannya dengan baik
akan membuat penderita menjadi teratur dalam pengobatan dan sebaliknya jika PMO
tidak menjalankan perannya dengan baik penderita menjadi tidak teratur dalam
pengobatannya.
Tugas PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban penderita mengambil obat
ke fasilitas pelayanan kesehatan tetapi peran PMO mencakup :
1)

Memastikan pasien menelan obat sesuai aturan sejak awal pengobatan sampai
sembuh

2)

Mendampingi pasien pada saat kunjungan konsultasi ke fasyankes dan
memberikan dukungan moral kepada pasien agar dapat menjalani pengobatan
secara lengkap dan teratur

3)

Mengingatkan pasien TB datang ke fasyankes untuk mendapatkan obat dan
periksa ulang dahak sesuai jadwal

40

4)

Menemukan dan mengenali gejala-gejala efek samping OAT dan menghubungi
fasyankes

5)

Memberikan penyuluhan tentang TB kepada keluarga pasien atau orang yang
tinggal serumah

6)

Mengidentifikasi adanya kontak erat dengan pasien TB dan apa yang harus
dilakukan terhadap kontak erat tersebut

b. Kualitas OAT
Kualitas dan mutu OAT yang baik akan memperoleh efek yang baik terhadap
hasil pengobatan dibanding dengan mutu yang kurang baik. OAT diberikan dalam
bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam jumlahcukup dan dosis tepat selama 6 –
8 bulan sesuai dengan kategori pengobatan dan hindari penggunaan monoterapi
sehingga menurunkan resiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi
kesalahan penulisan resep. Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket dengan
tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin ketersediaan obat sampai
pengobatan selesai. WHO dan International Union Against Tuberculosis and Lung
Disease ( IUATLD) merekomendasikan OAT standar dalam strategi DOTS dimana
diharuskan adanya komponen kesinambungan persedian OAT jangka pendek dengan
mutu yang terjamin ( Kemenkes RI,2011).
c. Keterlambatan Diagnosis
Elemen penting dalam program penanggulangan tuberkulosis (TB) adalah
diagnosis dini dan pemberian terapi yang cepat dan tepat. Hal ini terutama penting
pada kasus-kasus dengan basil tahan asam (BTA) positif, karena bila terlambat

41

mendiagnosis dan memberi terapi, dapat menjadi sumber penularan dan
meningkatkan periode penularan dalam masyarakat. Disamping itu, dapat
menyebabkan penyakit lebih berat, komplikasi lebih banyak dan angka kematian
meningkat.Masa infeksius yang terlalu panjang akibat keterlambatan diagnosis juga
akan menyebabkan penyebaran galur resistensi obat. Penyebaran ini tidak hanya pada
pasien di rumah sakit tetapi juga pada petugas rumah sakit, asrama, penjara dan
keluarga pasien
d. Perilaku Petugas Kesehatan
Kegiatan petugas kesehatan dalam program TB meliputi mulai penemuanm
penderita, pemeriksaan laboratorium, pengobatan

dan pencatatan & pelaporan

(Kemenkes RI, 2011). Apabila perilaku petugas itu dijalankan dengan penuh rasa
tanggung jawab, ramah tamah, penderita segera diobati tanpa menunggu berlamalama, diperiksa oleh dokter, penderita merasa dihargai, penderita diberi
penyelasan/penyuluhan pentingnya berobat teratur dan aktif dalam berbagai masalah
yang mungkin timbul dalam masa pengobatan penderita, maka penderita merasa puas
sehingga memungkinkan penderita untuk berobat teratur. Sikab bersahabat petugas
kesehatan akan cenderung membuat pasien merasa nyaman untuk datang kembali
sehingga penderita tetap melanjutkan pengobatan sampai selesai.
e. Jarak ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Jarak rumah penderita yang jauh dengan fasilitas pelayanan kesehatan sering
menjadi masalah kelangsungan keteraturan pengobatan, juga kemampuan orang
untuk berjalan menuju ke tempat pelayanan. Jarak tempat tinggal yang jauh dengan

42

fasilitas pelayanan kesehatan berhubungan dengan biaya yang dikeluarkan untuk
ongkos dan waktu yang digunakan, hal ini akan mempengaruhi ketidak teraturan
berobat penderita, (Armaidi Darmawan, 2002).
f. Pendapatan
Walaupun sarana kesehatan yang disediakan pemerintah biayanya relatih
murah, namun masih banyak diantara penduduk Indonesia terutama yang bermukim
di pedesaan tidak dapat menjangkau biaya tersebut. Biasanya mereka akan pergi ke
rumah sakit atau puskesmas kalau sudah dalam keadaan gawat. Mereka yang berobat
ke rumah sakit ini tidak jarang terjadi ketidaksanggupan menembus obat karena
ketiadaan dana (Gani, 1999).
g. Ketersediaan OAT
Ketersediaan OAT yang bermutu sangat diperlukan untuk menjamin penderita
dapat menyelesaikan pengobatan sampai selesai. “satu paket untuk satu pasien dalam
satu masa pengobatan”. Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang-kadang berhenti
pengirimannya sampai berbulan-bulan akan menyebabkan terjadinya resistensi
kuman TB.
h. Ketidakteraturan Berobat
Ketidakteraturan berobat merupakan penyebab utama kegagalan pengobatan,
kekambuhan dan resistensi obat. Untuk memastikan kepatuhan penderita terhadap
paket pengobatan dan untuk menekan risiko efek samping strategi DOTS perlu
dilaksanakan pada semua penderita TB.

43

2.4. Landasan Teori
Berdasarkan kemenkes RI dan Priyanti Z Soepandi faktor yang memengaruhi
terjadinya TB MDR adalah :

Gambar 2.3. Kerangka Teori

44

2.5. Kerangka Konsep
Variabel Bebas
Faktor intrinsik :
-

Pendidikan
Pekerjaan
Pengetahuan
Sikap
Efek Samping Obat

Variabel Terikat
TB MDR

Faktor ekstrinsik :
-

PMO
Kualitas OAT
Keterlambatan diagnosis
Perilaku Petugas Kesehatan
Jarak ke Fasyankes
Pendapatan
Ketersediaan OAT
Ketidakteraturan berobat

Gambar 2.4. Kerangka Konsep Penelitian