Analisa Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Konversi Pasien Tb Mdr Di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2013 - 2014

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh bakteri
TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar bakteri TB menyerang paru, tetapi
dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Sumber penularan adalah pasien TB BTA
positif. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan bakteri ke udara dalam
bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Daya penularan seorang pasien ditentukan
oleh banyaknya bakteri yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat
kepositipan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. Faktor yang
memungkinkan seseorang terpajan bakteri TB ditentukan oleh konsentrasi percikan
dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. Risiko tertular tergantung dari
tingkat pajanan dengan percikan dahak.

Risiko penularan setiap tahunnya di

tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi
penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti

10 (sepuluh) orang diantara 1.000 penduduk terinfeksi setiap tahun (Kemenkes RI,
2011).
Laporan WHO (2013) mendeskripsikan bahwa untuk wilayah regional Asia
Tenggara merupakan regional dengan kasus TB paru tertinggi yaitu sebesar 40%,
diikuti regional Afrika 26%, Pasifik Barat 19%, dan terendah pada regional Eropa
3%. Pada regional Asia Tenggara, negara tertinggi prevalensi TB Paru adalah
1

2

Myanmar yaitu 525 per 100.000 penduduk, diikuti Bangladesh sebesar 411 per
100.000 penduduk dan Indonesia dengan prevalensi sebesar 289 per 100.000
penduduk (WHO, 2013).
Indonesia sekarang berada pada ranking keempat negara dengan beban TB
tertinggi di dunia setelah India, Cina dan Afrika Selatan. Estimasi prevalensi TB
semua kasus adalah sebesar 660.000 dan estimasi insidensi berjumlah 370.000 540.000 kasus baru per tahun. Angka insidens TB saat ini adalah 185/100.000
penduduk menurun sekitar 10% dari 206/100.000 penduduk (1990), sedangkan angka
prevalensi TB adalah 297/100.000 penduduk turun sebesar 33% dari baseline sebesar
442/100.000 dan angka mortalitas TB adalah 27/100.000 penduduk atau turun sebesar
49% dari 53/100.000 (WHO, 2013).

WHO (1996) telah merekomendasikan strategi (Directly Observed Treatment
Short-course) DOTS sebagai strategi dalam penanggulangan TB. Bank Dunia
menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu intervensi

kesehatan yang paling

efektif. Integrasi strategi DOTS ke dalam pelayanan kesehatan dasar sangat
dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya. Satu studi cost benefit yang dilakukan
oleh WHO di Indonesia menggambarkan bahwa dengan menggunakan strategi
DOTS, setiap dolar yang digunakan untuk membiayai program penanggulangan TB,
akan menghemat sebesar US$ 55 selama 20 tahun (Kemenkes RI, 2011).
Pada awal tahun 1990-an WHO dan (International Union Against
Tuberculosis And Lung Disease) IUATLD telah mengembangkan strategi
penanggulangan TB yang dikenal sebagai strategi DOTS dan telah terbukti sebagai

3

strategi penanggulangan yang secara ekonomis paling efektif (cost-efective). Strategi
ini dikembangkan dari berbagi studi, clinical trials, best practices dan hasil
implementasi program penanggulangan TB selama lebih dari dua dekade. Penerapan

strategi DOTS secara baik disamping secara cepat merubah kasus menular menjadi
tidak menular juga mencegah berkembangnya TB MDR.
Resistansi M.tuberculosis terhadap OAT (TB MDR) adalah keadaan
dimana OAT (isoniazid dan rifampisin, dengan atau tanpa OAT lini pertama) sudah
resisten terhadap bakteri tersebut. TB resistan OAT pada dasarnya adalah suatu
fenomena buatan manusia sebagai akibat dari pengobatan pasien TB yang tidak
adekuat maupun penularan dari pasien TB resistan OAT. Penatalaksanaan TB resistan
OAT lebih rumit dan memerlukan perhatian yang lebih banyak dari pada
penatalaksanaan

TB

yang

tidak

resistan.

Penerapan


Manajemen

Terpadu

Pengendalian TB Resistan Obat menggunakan kerangka kerja yang sama dengan
strategi DOTS dengan beberapa penekanan pada setiap komponennya.
Pada tahun 2011, Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization)
memperkirakan di dunia terdapat sekitar 500.000 kasus TB yang resistan terhadap
INH dan Rifampisin (TB MDR) setiap tahunnya dengan angka kematian sekitar
150.000. Dari jumlah tersebut baru sekitar 10 % yang telah ditemukan dan diobati.
The Green Light Committe (GLC) memperkenalkan manajemen penanganan pasien
TB Resistan Obat yang disebut sebagai Programmatic Management Drug Resistan
TB (PMDT). Dalam Rencana Global Pengendalian TB (The Global Plan to Stop TB)
2006-2015 yang telah direvisi, secara global direncanakan untuk mengobati sekitar

4

1,6 juta pasien TB MDR di dunia pada tahun 2006 sampai 2015. Jumlah tersebut
merupakan 61% dari beban kasus TB MDR yang ada di negara-negara dengan beban
TB tinggi (WHO, 2013).

Prevalensi TB MDR di dunia diperkirakan 2-3 kali lipat lebih tinggi dari
insidens. Pada tahun 2008 diperkirakan terdapat 390.000 - 510.000 kasus TB MDR di
seluruh dunia. Insidensi kasus TB Resisten Obat Ganda diseluruh dunia adalah sekitar
440.000 kasus. Global TB report dari WHO tahun 2011 mengenai hasil surveilans
resistansi OAT di beberapa negara menunjukkan terdapatnya negara atau wilayah
yang memiliki angka resistansi terhadap OAT yang sangat tinggi dan bahkan di
beberapa wilayah seperti di negara-negara pecahan Uni Soviet telah menghadapi
ancaman endemi dan epidemi TB MDR.
Indonesia

telah

melakukan

beberapa

survei

resistansi


OAT

untuk

mendapatkan data resistansi OAT. Survei tersebut diantaranya dilakukan di
Kabupaten Timika Papua pada tahun 2004, menunjukkan data kasus TB MDR
diantara kasus baru TB adalah sebesar 2 %; di Provinsi Jawa Tengah pada tahun
2006, data kasus TB MDR di antara kasus baru TB adalah 1,9 % dan kasus TB MDR
pada TB yang pernah diobati sebelumnya adalah 17,1 %; di Kota Makasar pada tahun
2007, data kasus TB MDR diantara kasus baru TB adalah sebesar 4,1 % dan pada TB
yang pernah diobati sebelumnya adalah 19,2 %. Hasil Survei terbaru yang dilakukan
di Provinsi Jawa Timur pada tahun 2010 menunjukkan angka 2 % untuk kasus baru
dan 9,7% untuk kasus pengobatan ulang. Secara global, WHO pada tahun 2011

5

menggunakan angka 2 % untuk kasus baru dan 12 % untuk kasus pengobatan ulang
untuk memperkirakan jumlah kasus TB MDR di Indonesia (Kemenkes RI, 2013).
Di Sumatera Utara kasus TB MDR sebanyak 13 Orang (2012), 62 Orang
(2013) dan 125 Orang (2014). Pada Tahun 2014 terdapat 22 kabupaten/kota di

Sumatera Utara yang sudah memiliki pasien TB MDR diantaranya Kota Medan 40
pasien (32%), Deli Serdang 14 pasien (11,2%), Pematang Siantar 7 pasien (5,6%),
Tapanuli Utara 5 pasien (4%), Kabupaten Karo dan Kota Sibolga 4 pasien (3,2%)
(Dinkes Propsu, 2015).
Kegiatan PMDT atau yang kemudian dialihbahasakan menjadi Manajemen
Terpadu Pengendalian TB Resistan Obat (MTPTRO) sebagai upaya tatalaksana
pasien TB resistan obat mulai dilaksanakan di Indonesia sejak pertengahan tahun
2009 dengan suatu kegiatan uji pendahuluan di dua wilayah yaitu Kota Jakarta Timur
dan Kota Surabaya. Uji pendahuluan tersebut bertujuan untuk mencari dan menguji
sistem manajemen yang paling tepat untuk digunakan dalam pelaksanaan manajemen
penatalaksanaan pasien TB MDR di Indonesia, termasuk diantaranya adalah untuk
menilai jejaring internal maupun eksternal, aspek manajemen klinis serta manajemen
program yang terkait dengan pelaksanaannya serta hal-hal yang lainnya.
Pengobatan pasien TB MDR dimulai bila sudah terkonfirmasi berdasarkan
hasil uji kepekaan M.tuberculosis. Selama menjalani pengobatan, pasien harus
dipantau secara ketat untuk menilai respons pengobatan dan identifikasi efek samping
sejak dini. Gejala TB pada umumnya (batuk, berdahak, demam dan BB menurun)
pada umumnya membaik dalam beberapa bulan pertama pengobatan. Konversi dahak

6


dan biakan merupakan indikator pemantauan pengobatan dimana dilakukan
pemeriksaan biakan 2 kali berurutan dengan jarak pemeriksaan 30 hari menunjukkan
hasil negatif. Pemeriksaan dahak dan biakan dilakukan setiap bulan sampai terjadi
konversi biakan dan setiap 2 bulan sekali setelah terjadi konversi biakan (Kemenkes
RI, 2013).
Pada tahun 2013 dari Laporan MDR TB-11 angka konversi secara nasional
sebesar 40,68%. Angka konversi dibeberapa Propinsi di Indonesia menunjukkan
angka yang masih rendah seperti Propinsi Jawa Timur 90 orang (44,32%), Propinsi
DKI Jakarta 118 orang (53,88%), Propinsi Sulawesi Selatan 20 orang (25,31%),
Propinsi Jawa Barat 58 orang (46,4%), Propinsi DIY 1 orang (7,14%) dan Propinsi
Sumatera Utara 25 orang (40,32%) (Dinkes Propsu, 2015).
Mengacu kepada uraian diatas maka akan dilakukan Analisa faktor yang
berpengaruh terhadap konversi pasien TB MDR di Propinsi Sumatera Utara Tahun
2013 – 2014 karena konversi sangat penting untuk mencegah penularan TB MDR dan
mengurangi biaya yang berkaitan dengan lama pengobatan dengan langkah-langkah
pengendalian infeksi.

1.2 Permasalahan
Masih rendahnya angka konversi TB MDR di Propinsi Sumatera Utara

sehingga perlu dilakukan suatu studi yang dapat memberikan informasi tentang
Analisa faktor yang berpengaruh terhadap konversi pasien TB MDR di Propinsi
Sumatera Utara Tahun 2013 - 2014.

7

1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap konversi pasien TB MDR di Propinsi Sumatera Utara Tahun 2013 - 2014.

1.4 Hipotesis
1. Ada pengaruh faktor intrinsik (pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, efek samping
obat, tipe pasien, keteraturan berobat, kepuasan pasien ) dengan konversi pasien
TB MDR di Propinsi Sumatera Utara Tahun 2013 - 2014.
2. Ada pengaruh faktor ekstrinsik (pendapatan, perilaku petugas kesehatan, peran
aktif PMO, jarak ke fasilitas kesehatan) dengan konversi pasien TB MDR di
Propinsi Sumatera Utara Tahun 2013 - 2014.

1.5 Manfaat Penelitian
1. Masukan bagi pengelolah program dan Pemerintah Propinsi Sumatera Utara

dalam rangka mengurangi biaya yang berkaitan dengan lama pengobatan dengan
langkah-langkah pengendalian infeksi di Provinsi Sumatera Utara.
2. Bagi peneliti dapat digunakan sebagai acuan untuk penelitian lebih lanjut.