BAB I PENDAHULUAN - Serat Wedhasatmaka (Suatu Tinjauan Filologis)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Naskah lama merupakan salah satu sumber informasi kebudayaan daerah

  masa lampau yang sangat penting. Apabila ditinjau dari segi lahir atau wujud yang dapat dilihat atau diraba, naskah lama adalah benda budaya yang berupa hasil karangan dalam bentuk tulisan tangan, namun bukanlah tulisan tangan yang tanpa makna. Di dalamnya terkandung ide-ide, gagasan dan berbagai macam pengetahuan tentang alam semesta menurut persepsi masyarakat yang bersangkutan, ajaran-ajaran moral, filsafat, keagamaan dan unsur-unsur lain yang mengandung nilai-nalai luhur.

  Naskah lama tidak lepas dari tradisi salin-menyalin naskah. Tradisi ini terjadi karena penyalin ingin memiliki cerita dalam naskah tersebut atau karena naskah asli mengalami kerusakan. Sebagai peninggalan masa lalu yang telah melewati kurun waktu berpuluh-puluh bahkan ratusan tahun, naskah lama banyak mengalami kerusakan. Kerusakan tidak hanya terjadi pada hal fisik yang berupa bahan tulis atau tulisan itu sendiri, tetapi dapat juga dalam hal bahasa atau kandungan teksnya. Dua hal terakhir banyak disebabkan oleh pergeseran pemahaman penyalin naskah dalam proses penyalinannya. Adanya kesalahan-kesalahan yang menyimpang dari naskah asli atau adanya varian-varian naskah tersebut merupakan alasan perlunya penanganan naskah untuk penyelamatan naskah. Secara garis besar penanganan naskah meliputi: penyelamatan, pelestarian, penelitian, pemberdayagunaan, dan peyebarluasan. Kegiatan pemberdayaan dan penyebarlauasan merupakan usaha yang lebih prioritas, karena naskah merupakan sumber informasi dan pengetahuhan terhadap kebudayaan masa lampau. Bidang ilmu yang erat kaitannya dengan usaha penanganan naskah adalah filologi.

  Mengingat kandungan naskah lama yang penting dan bermanfaat bagi masyarakat, maka penelitian terhadap naskah lama sangat diperlukan. Pada umumnya naskah lama khususnya naskah Jawa sulit dipahami oleh masyarakat karena tulisan dan bahasa naskah jarang digunakan dalam kehidupan masa sekarang. Kondisi tersebut diperparah dengan keadaan naskah yang umumnya terbuat dari bahan-bahan yang mudah mengalami kerusakan. Kondisi tersebut merupakan alasan perlunya naskah-naskah lama segera mendapatkan penanganan secara serius untuk mencegah punahnya keberadaan naskah lama beserta isi yang terkandung di dalamnya.

  Penelitian filologi sangat diperlukan sebagai upaya untuk mendapatkan naskah yang bersih dari kesalahan dan tersusun kembali seperti semula atau mendekati aslinya, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan dijadikan sumber data penelitian lebih lanjut. Dengan kata lain cara kerja filologi diperlukan sebelum naskah didayagunakan dan disebarluaskan untuk berbagai kepentingan. Menurut Haryati Soebadio, bahwa tugas utama filolog adalah mendapatkan kembali naskah yang bersih dari kesalahan, yang memberi pengertian sebaik-baiknya dan yang bisa dipertanggungjawabkan pula sebagai naskah yang paling dekat dengan aslinya (dalam Edwar Djamaris,2002: 7). Hal ini berarti bahwa, sebelumnya naskah mengalami penyalinan untuk kesekian kalinya yang disesuaikan dengan kebudayaan yang melahirkannya. Keadaan ini menunjukkan bahwa naskah perlu dibersihkan dari tambahan yang diberikan dalam zaman-zaman kemudian, yang dilakukan pada waktu kegiatan penyalinan naskah. Hal ini penting, supaya isi naskah tidak diinterpretasikan secara salah.

  Jenis naskah berdasarkan segi bahasa, ada bermacam-macam antara lain, naskah Bali, Lombok, Bima, Aceh, Batak, Madura, Sunda, Melayu dan tidak terkecuali adalah naskah Jawa. Naskah Jawa, menurut Gerardet-Sutanto (1983: v–vi), dikelompokkan atas lima jenis, yaitu: a. Kronik, Legenda dan Mite. Di dalamnya termasuk naskah-naskah babad, pakem, wayang purwa, panji, pustaka raja dan silsilah.

  b. Agama, Filsafat dan Etika. Di dalamnya termasuk naskah-naskah yang mengandung unsur-unsur: Hinduisme, Budhisme, Islam, mistik Jawa, Kristen, magik dan ramalan, sastra wulang.

  c. Peristiwa kraton, hukum, peraturan-peraturan.

  d. Buku teks dan penuntun, kamus ensiklopedi tentang linguistik, obat- obatan, pertanian, antropologi, geografi, perjalanan, perdagangan, masak- memasak dan sebagainya.

  e. Seni dan pertunjukan seni. Di dalamnya termasuk tari Jawa, gamelan, tembang Jawa, buku seni, cerita, fabel dan legenda, ikhtisar, periodisasi, bunga rampai. Berdasarkan pengelompokan naskah di atas, peneliti tertarik untuk meneliti naskah yang masuk dalam kelompok b, dengan judul Sêrat Wédhasatmaka. Pemilihan jenis naskah tersebut karena naskah ini banyak tersebar di beberapa tempat penyimpanan naskah baik milik pemerintah maupun koleksi pribadi.

  Secara harfiah Sêrat Wédhasatmaka terdiri dari 3 kata yaitu: kata Sêrat, berarti buku yang memuat cerita(karya sastra), wédha berarti ajaran, satmaka berarti kehidupan(Poerwadarminta:1939:548-680) jadi Sêrat Wédhasatmaka memiliki arti karya sastra yang memuat ajaran kehidupan. Sesuai dengan judulnya Sêrat

  Wédhasatmaka

  ini berisi tentang piwulang awal terjadinya kehidupan, jiwa raga dan ilmu kesempurnaan ‘ngèlmu kasampurnan’.

  Langkah awal penelitian terhadap

  Sêrat

  Wédhasatmaka, yaitu melalui penelusuran terhadap berbagai katalog naskah di antaranya :

  1. Descriptive Catalogus of the Javanese Manuscripts and Printed Book in

  the Main Libraries of Surakarta and Yogyakarta

  karya Girardet Sutanto pada tahun 1983.

  2. Javanese Language Manuscrips of Surakarta Central Java A Preliminary

  Descriptive Catalogus Level I and II

  karya Nancy K. Florida pada tahun 1994

  3. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid I Museum Sonobudoyo Yogyakarta karya T.E. Behrend pada tahun 1990.

  4. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 3-B Fakultas Sastra Universitas Indonesia, karya Jennifer Lindstay, R.M. Soetanto, dan Alan Feinstein pada tahun 1998

  5. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 4 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia karya Jennifer Lindstay pada tahun 1994.

  6. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 2 Keraton Yogyakarta karya T.E. Behrend, dkk pada tahun 1994

  7. Katalog Naskah-Naskah Perpustakaan Pura Pakualaman Yogyakarta karya Hario Sena & Sri Ratna Sakti Mulya.

  8. Daftar Naskah Perpustakaan Museum Radyapustaka Surakarta, Daftar Naskah Perpustakaan Sasanapustaka Keraton Surakarta, Daftar Naskah Perpustakaan Pura Mangkunagaran Surakarta, Daftar Naskah Perpustakaan Pura Pakualaman Yogyakarta.

  Setelah dilakukan inventarisasi naskah, maka selanjutnya adalah mengecek dan mengambil data menurut informasi katalog-katalog di atas. Dari hasil inventarisasi naskah ditemukan 6 naskah carik dengan judul Sêrat Wédhasatmaka (selanjutnya disingkat SWS) yaitu sebagai berikut:

  1. SWS Piwulang dari Hindustan, koleksi perpustakaan Sonobudoyo, Yogyakarta dengan nomer katalog 64005 (SB 101) (Girardet-Sutanto, 1983).

  2. SWS Piwulang dari Hindustan dalam bendel naskah Sêrat Pakêmpalan Warni-

  warni

  koleksi perpustakaan Radya Pustaka Surakarta pada halaman 561-584 dengan nomor katalog 38553 (227) (Girardet-Sutanto, 1983).

  3. SWS Piwulang dari Hindustan dalam bendel naskah Kêmpalan Sêrat Warni-

  warni

  koleksi perpustakaan Pura Pakualam, Yogyakarta pada halaman 72-106 dengan nomor katalog Pi.12 (Hario Sena & Sri Ratna Sakti Mulya).

  4. SWS karangan Mpu Ciptasistawa, atas prakarsa Radèn Mas Arya Suganda dan Sitarja di Pasuruhan dalam bendel naskah Sêrat Pakêmpalan Warni-warni koleksi perpustakaan Radya Pustaka Surakarta pada halaman 585-623 dengan nomor katalog 38553 (227) (Girardet-Sutanto, 1983)

  5. SWS karangan Mpu Ciptasistawa, atas prakarsa Radèn Mas Arya Suganda dan Sitarja di Pasuruhan dalam bendel naskah Hidayat Jati koleksi perpustakaan Reksa Pustaka, Pura Mangkunegaran Surakarta pada halaman 251-268 dengan nomor katalog MN 319 D.9 A 196 SMP 204/1 (Nancy K. Florida, 1996).

  6. SWS karangan Mpu Ciptasistawa, atas prakarsa Radèn Mas Arya Suganda dan Sitarja di Pasuruhan koleksi pribadi

1.

  SWS

  merupakan naskah jamak, selain naskah-naskah tersebut di atas, ditemukan juga buku SWS cetak yang tersimpan di Museum Radya Pustaka Surakarta, di Perpustakaan Sasana Pustaka, Kraton Surakarta, dan di Perpustakaan Reksa Pustaka Pura Mangkunegaran. Buku cetak SWS ini juga berbentuk prosa atau gancaran.

  Dari hasil inventarisasi naskah, baik melalui informasi katalog ataupun informasi dari luar katalog yang berkaitan dengan keberadaan naskah SWS ini, peneliti berhasil mengumpulkan naskah SWS yang disebutkan di atas. Setelah naskah dideskripsikan, dan dilakukan pemilihan, maka didapat beberapa informasi yaitu:

  SWS

  merupakan naskah jamak dengan dua versi, ditulis dengan aksara Jawa, dan wujudnya adalah carik (tulisan tangan), bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa

1 Naskah milik Ibu Ken Widyawati,

  Jalan Soekarno-Hatta no. 1 Salatiga ragam krama, dan berbentuk prosa, tetapi dari naskah yang ditemukan terdapat dua katagori pengelompokan SWS berdasarkan bentuknya. Pengelompokan bentuk tersebut sebagai berikut:

  Tabel 1 Perbedaan bentuk diantara dua versi naskah SWS SWS Piwulang dari Hindustan (SB.101, SMP-RP 366, Pi.12)

  SWS

  karangan Mpu Ciptasistawa Atas prakarsa Radèn Mas Arya Suganda dan

  Sitarja di Pasuruhan

  (38553, MN 319 D.9 A 196 SMP 204/1, koleksi pribadi) Bagian Kutipan Naskah dan Terjemahan Bagian Kutipan Naskah dan Terjemahan

  A W A L

  Wondéning pinangkanipun sêrat Wéddhasatmaka wau mijil sangking gêgêbenganipun para nimpuna ing tanah HIndustan, ginêlarakên dhatêng para pujangga ing tanah Eropah tuwin tanah Amerikah ingkang sami dados liding pakumpulan téyosofi .

  Terjemahan : Asal serat wedhasatmaka tadi,

  A W A L

  Punika Sêrat Wédhasatmaka , têgêsipun wédha, pêpakêm ngèlmi, utawi wulang; têgêsipun satmaka, gêsang. Dados pikajêngipun têmbung wédhasatmaka wau, inggih punika pêpakêming ngèlmi, utawi wulang tumraping agêsang, ginita ing êmpu ciptasistawa, sing agnya sang Subadha ing kitha Pasuruan. Radèn Mas Arya Sugônda lan Sitarja pinaringakên

  ing para putra tuwin wandawa,

  tercipta dari pemikiran para cendekiawan dari Hindustan, kinarya sarana pambukaning

  tékad ingkang dados

  disampaiakan kepada pujangga

  pambèngkasing sangsaya,

  di tanah Eropa dan Amerika

  satêmah wignya widada,

  yang menjadikan tujuan

  kotamanirèng dumadi, ing dalêm perkumpulan Theosofi. kadadéanira. Purwanya amangun warana wahya sangking carita, catur basa pralampita.

  Terjemahan : Ini adalah Sêrat Wedhasatmaka.

  Wedha

  berarti pedoman ilmu atau ajaran; Satmaka berarti hidup.

  Jadi arti kata Wedhasatmaka adalah pedoman hidup atau ajaran dalam menjalani hidup, disampaikan oleh guru yang saleh dan baik, bernama Sang Subadha di Kota Pasuruan. Radèn Mas Arya Sugônda dan Sitarja memberikan kepada para putra serta saudara, dipakai sebagai pembuka tekad agar terlepas dari kesusahan, dan akhirnya selamat, keutamaan yang menjadi takdirnya. Awalnya membangun tirai, diambil dari cerita empat bahasa perlambang.

  Tiyang gêsang punika kêdah

Bab 1 maspaos dhatêng gêsangipun. Pandangon. Aturan. Sampun ngantos kalintu sêrêp Nawung kridha.

  tuwin pamanggih, nyumêrêpana Aja pisan kajêron béla tampa , bédaning roh kaliyan badan. wus sawêntara ingsun datan Roh punika badan alus ingkang anêmbrama, karana pinanduk sipat gêsang ingkang gadhah lêngênging driya, wit andulu

  Bab roh Bab kaliyan èngêtan tuwin pikajêngan. susilaning solahira, kadi bocah

  1 badan Wondèning badan inggih wêton sangking praja, rinakêt raganing manusa ingkang sang Mahèswara, téja-téja maujudaging punika. Wasana sulêksana, téjané bocah kang lagi roh wau lajêng manjing ing tigas kawuryan , prapta ing badan dados ingkang ngarsaningsun,

  dipunwastani tiyangipun sajati

  1. Sapa sinambat ing wangi , punika roh (jisim).

  2. Lan ing ngêndi dunungira,

  3. Saka ing ngêndi asalira,

  4. Arsa marang ngêndi

  Terjemahan : sedyanira. Orang hidup itu harus mengerti

  Mardi Basa

  terhadap hidupnya jangan

  Mênawi Panduka arsa uninga

  sampai keliru dalam mengerti

  nama tuwin kawijilan kula amung

  dan pemikiranya, mengertilah

  manut lan miturut suraosipun

  bedanya roh dan badan. Roh

  wasita ingkang badhe

  adalah badan halus yang bersifat

  kagiyarakên asêsilih:

  hidup yang memiliki ingatan

  1. Si Marêm, ingkang botên

  dan tujuan. Sedangkan badan

  luwé,

  yaitu raga manusia yang terlihat

  2. Ingkang kula dunungi ing don

  itu, akhirnya roh tadi lalu

  kasugihan, inggih sugih raja

  bertempat di badan, jadi yang

  bêrana,

  disebut tiyang sajati adalah roh (

  3. Déné asal kula sangking jisim ). katulusan, sêgêr, waras ingkang botên sakit,

  4. Sêdyaning manah kula badhé dhatêng kawasa wilujêng gêsang kang kalawan langgêng.

  Terjemahan : Pandangan. Aturan.

  Nawung kridha

  Jangan terlalu dimasukkan ke dalam hati, sementara saya tidak membagi keselamatan, sebab yang menyenang-kan hati, sejak melihat tingkah lakumu yang baik, seperti anak yang lahir dari kerajaan, dekat dengan Sang Mahèswara, anak yang tampan wajahnya, cahaya anak yang memperoleh kemuliaan ada di hadapanku,

  1. Siapa namamu?

  2. Dan di mana tinggalmu?

  3. Dari mana asalmu?

  4. Akan di bawa ke mana niatmu?

  

Mardi Basa

  Jika Anda hendak mendengar nama dan kelahirannya, saya hanya patuh dan menurut isi nasihat yang akan diterangkan dengan nama:

  1. Si Marêm yang tidak merasa lapar,

  2. Yang saya tempati dalam kekayaan adalah kaya akan harta benda (berupa intan, emas, berlian),

  3. Sedangkan saya berasal dari keselamatan; sehat, segar- bugar; dan tidak sakit,

  4. Niat dalam hati saya kepada yang kuasa untuk keselamatan hidup yang abadi. Berdasarkan informasi di atas, dilihat kondisi naskah yang terdiri dari dua versi dan masing-masing versi memiliki perbedaan yang sangat jelas, tidak dimungkinkan untuk diteliti secara bersamaan berdasarkan cara kerja filologi, maka peneliti akan memfokuskan penelitian pada naskah dengan judul Sêrat

  Wédhasatmaka

  yang menggunakan aksara Jawa carik dengan pokok bahasan ajaran dari Hindustan. Untuk itu naskah yang tidak termasuk dalam fokus penelitian, tidak dijadikan sebagai obyek penelitian. Berdasarkan uraian di atas maka didapat naskah SWS sebagai data primer dalam penelitian ini adalah:

  1. SWS koleksi perpustakaan Sonobudoyo, Yogyakarta dengan nomer katalog 64005 (SB 101) yang selanjutnya disebut dengan naskah A.

  2. SWS dalam bendel naskah Sêrat Pakêmpalan Warni-warni koleksi perpustakaan Radya Pustaka Surakarta pada halaman 561-584 dengan nomor katalog 38553 (227) yang selanjutnya disebut dengan naskah B.

  3. SWS dalam bendel naskah Kêmpalan Sêrat Warni-warni koleksi perpustakaan Pura Pakualam, Yogyakarta pada halaman 72-106 dengan

  2 nomor katalog Pi.12 yang selanjutnya disebut dengan naskah C .

  SWS

  merupakan naskah piwulang yang berbentuk prosa atau gancaran. Judul

  SWS ini ada yang tertera di cover depan, di cover dalam, maupun di dalam teks.

  1. Sêrat Wédhasatmaka, terdapat pada cover dalam naskah A Judul SWS pada cover dalam

  

Gambar 1

Naskah A Berbunyi: “ Sêrat Wédasatmaka Jilid I

  Judul SWS yang tertera pada teks

2 Naskah disalin dari naskah cetak.

  

Gambar 2, naskah A

Berbunyi: “Punika sêrat Wéddhasatmaka têgêsipun wéddha ngilmi pakêm, satmaka gêsang,

pikajêngipun papakêming ngagêsang”.

  

(hal. Pengantar)

Terjemahan : “ini serat Wedhasatmaka, Wedha berarti ilmu ajaran , Satmaka hidup.

Harapannya menjadi pedoman kehidupan” 2. Pada Naskah B judul tertera dalam teks, menyebutkan Sêrat Wédhasatmaka.

  

Gambar 3

Naskah B Berbunyi: “Sêrat Wéddhasatmaka

Bab Kadhiri

Sêrat piwulang têmbung Walandi lantaran têmbung Jawi”

  (hal.561) Terjemahan: “ Serat Wedhasatmaka bab Kediri, serat ajaran dengan bahasa Belanda dengan

perantara bahasa Jawa” Judul SWS yang tertera pada teks

  

Gambar 4

Naskah B Berbunyi: “Punika Sêrat Wéddhasatmaka têgêsipun wéddha : ngèlmi, pakêm :

Satmaka :gêsang, pikajêngipun papakeming agêsang…”

(hal.561)

  Terjemahan: Ini adalah Serat Wedhasatmaka, wedha berarti ilmu, satmaka berarti hidup, harapanya menjadi pedoman hidup..

  3. Pada naskah C judul terdapat pada teks disebutkan Sêrat Wédhasatmaka

  

Gambar 5, naskah C

Berbunyi: “Punika sêrat Wédhasatmaka, utawi pêpakêming agêsang. Têgêsipun wédha :

ngèlmi, pakêm, satmaka : gêsang…”.

  (hal.72)

Terjemahan: “Ini serat wedhasatmaka atau pedoman kehidupan. Wedha berarti ilmu, ajaran,

pedoman; satmaka berarti kehidupan” Alasan yang melatarbelakangi SWS dijadikan objek penelitian adalah pertama, karena perlu adanya upaya penyelamatan naskah, mengingat semakin lama keadaan naskah akan semakin rusak, sehingga amat disayangkan apabila tidak ada upaya penyelamatan naskah. Kedua, dalam pandangan filologis di dalam

  SWS

  ini terdapat banyak varian. Oleh karena itu perlu adanya kajian filologis guna mendapatkan suntingan teks yang bersih dari kesalahan. Di dalam teks SWS ini ditemui banyak sekali permasalahan-permasalahan filologis, mulai dari ejaannya, gaya menulis pengarang, dan lain – lain. Berikut varian yang terdapat pada SWS:

  Terdapat perbedaan jumlah jilid naskah, yaitu SWS B hanya terdapat satu jilid naskah dan SWS A dan C terdapat dua jilid naskah.

  

Gambar 6, naskah A

Berbunyi : “ Sêrat Wéddhasatmaka jilid 2, ing jilid kapisan sampun kagêlarakên

piwulangipun para nimpuna..”

( hal. 1 Jilid 2 )

  

Terjemahan: “ serat wedhasatmaka jilid 2, pada jilid pertama sudah dijelaskan dari ajaran

para cendekiawan…

  

Gambar 7, naskah C

Berbunyi : “ candhakipun jilid 2. Péling manawi badhé sagêd nampi piwulang ingkang

ginancaraken ing jilid 2, para maos kita rêmbagi, supados pikajênging piwulang ingkang

3 kapratélakakên ing jilid punika, kamanah kalayan saèstu, sagêda amanjing ing manahipun.

( hal. 36)

Terjemahan: “dilanjutkan jilid 2. Diingatkan jika dapat menerima ajaran yang dijelaskan

pada jilid 2, pembaca harus ingat, supaya tujuan ajaran yang dijelaskan pada jilid ini bisa

masuk dalam hatinya”

  a. Terdapat kolofon pada SWS B yang dapat dikatagorikan naskah disalin dari naskah cetak.

  

Gambar 8, naskah C

3 Jilid 2 pada naskah C hanyalah uraian pembuka, melainkan tidak terdapat uraian isi naskah.

  

Berbunyi : “Punika sêrat Wédhasatmaka, Utawi pêpakêming agêsang

Jilid 1 rêgi 75 sèn

Kaêcap ing gasmotor déning tuwan P. Apan

Asêrên Pandher példhê, Semarang, Taun 1903

  

( hal. 1 )

Terjemahan: “ini serat wedhasatmaka atau pedoman kehidupan, jilid 1 harga 75 sen.

Diterbitkan di gasmotor oleh Tuwan Pe Apan Aseren Pandher Paldhe, semarang, tahun 1903”

Keterangan kolofon pada SWS cetak yang sama dengan SWS C.

  

Gambar 9, SWS Cetak

Berbunyi: Sêrat Wédhasatmaka, Utawi pêpakêming tiyang agêsang

Jilid 1 rêgi 75 sèn

Kaêcap ing gasmotor déning tuwan P. Apan

  

Asêrên Pandher példhê, Semarang, Taun 1903

( cover depan )

Terjemahan: “ini serat wedhasatmaka atau pedoman kehidupan, jilid 1 harga 75 sen.

Diterbitkan di gasmotor oleh Tuwan Pe Apan Aseren Pandher Paldhe, semarang, tahun 1903” b. Terdapat pergantian judul baru, sedangkan SWS belum selesai ditulis.

  

Gambar 10, naskah C

Berbunyi : “Punika primbon bab lintang kumukus…”(hal.36)

Terjemahan: “ini primbon bab lintang kemukus…”

  c. Ketidakkonsistenan penyalinan atau penulisan Ketidakkonsistenan dalam menulis kata saking dalam teks SWS

  

Gambar 11, naskah B

Berbunyi : “… sêrat wéddhasatmaka wau mijil saking gêgêbênganipun para nimpuna

  ing tanah Indhustan…” ( hal. 561 )

  Terjemahan: “serat wedhasatmaka muncul dari pemikiran para cendekiawan di tanah Industan”

  

Gambar 12, naskah B

Berbunyi : “…Upami pêksi mêsat sangking sêngkêranipun. …”

( hal. 563 )

Terjemahan:”….seumpama burung keluar dari sangkarnya…” Ketidakkonsistenan dalam menuliskan kata manungsa dalam teks SWS

  

Gambar 13, naskah B

Berbunyi : “…badan inggih raganing manusa …”.

  

( hal. 562 )

Terjemahan: “….badan yaitu raga manusia…”

Gambar 14, naskah B

Berbunyi : “…Manungsanipun sajati kaliyan raganing manusa punika béda…”

  

( hal. 562 )

Terjemahan: “…manusia sejati dengan raga manusia itu berbeda…”

  d. Teks pada SWS terdapat catatan tangan ketiga untuk membenaran kesalahan suku kata dan kata.

  

Gambar 15 Naskah A terdapat catatan ketiga yaitu kata malih diganti dengan kata déné dan kata raga, yang awalnya hanya ditulis ra, kemudian ditambahkan aksara ga ( g ) Berbunyi: “……malih déné……… raga….” (hal.3)

  e. Terdapat perbedaan dalam pemilihan kata.

  Gambar 16, naskah A Berbunyi : “Tiyang gêsang punika kêdah maspaos dhatêng gêsangipun sampun ngantos kalintu sêrêp tuwin pamanggih, nyumêrêpana bédaning roh kaliyan badan…”.

  ( hal. 20 ) Terjemahan: “manusia hidup itu harus mengerti terhadap hidupnya, jangan sampai

  keliru pemahaman dan pemikiran, mengertilah perbedaan roh dengan badan…”

  Gambar 17, naskah B Berbunyi : “Tiyang gêsang punika kêdah waspaos dhatêng gêsangipun, sampun ngantos kalintu sêrêp tuwin pamanggih nyumêrêpana bédaning roh kaliyan…”.

  ( hal. 561 ) Terjemahan: “manusia hidup itu harus mengerti terhadap hidupnya, jangan sampai keliru pemahaman dan pemikiran, mengertilah perbedaan roh dengan badan…” Gambar 18, naskah C Berbunyi : “ Tiyang gêsang punika kêdah waspaos dhatêng gêsangipun sampun ngantos kaliru sêrêp uwin pamanggih, nyumêrêpana bédaning roh kaliyan badan…”.

  ( hal. 72 ) Terjemahan: “manusia hidup itu harus mengerti terhadap hidupnya, jangan sampai keliru pemahaman dan pemikiran, mengertilah perbedaan roh dengan badan…”

  f. Terdapat lakuna yaitu bagian yang terlampaui atau kelewatan, baik huruf, suku kata, kata, kelompok kata ataupun kalimat. v Lakuna suku kata

  

Gambar 19

Naskah A, berbunyi: “….sarta wijang-wijanging jiwa raga…” (hal.pengantar)

Terjemahan: “….serata bagian-bagian jiwa raga…”

Gambar 20

  

Naskah B, berbunyi: “…sarta wijang-wijanging jiwa raga…”

(hal.1)

Terjemahan: “….serata bagian-bagian jiwa raga…”

  

Gambar 21

Naskah C, berbunyi: “…sarta wijang-wijanging waraga…”

(hal.1)

Terjemahan: “….serata bagian-bagian raga…”

  g. Terdapat Saut du meme au meme yaitu penghilangan suatu kata atau kalimat karena kelupaan/terlampaui karena ada dua kata yang hampir sama.

  Gambar 22 Berbunyi: “……Manawi panggraita ingkang awon sêkêdhik ingkang awon sêkêdhik kémawon

kabucala sanalika…”

Terjemahan:…..jika angan-angan yang buruk sedikit saja sedikit saja dibuanglah segera..”

  Alasan kedua perlunya SWS diteliti adalah isi dari SWS. SWS merupakan jenis naskah piwulang. SWS menjelaskan awal mula kehidupan serta nasehat-nasehat untuk jiwa dan raga yang seharusnya dimengerti oleh orang-orang yang mencari kehidupan yang benar, Sêrat Wédhasatmaka tercipta dari pemikiraan para cendekiawan dari Hindustan, yang disampaikan kepada sastrawan di tanah Eropa dan Amerika, yang dijadikan sebagai pedoman perkumpulan penganut teosofi.

  SWS

  terdiri dari dua jilid naskah, jilid pertama menceritakan enam macam roh yang ada dalam tubuh manusia. Setiap roh memiliki warna dan fungsi yang berbeda, selain itu penjenisan roh-roh diurutkan sesuai dengan tingkat kehalusan yaitu dari kasar, sedikit halus sampai yang paling halus. Penamaan istilah-istilah roh disebutkan dalam tiga bahasa, yaitu sansekerta, belanda, dan arab. Roh sejati yang merupakan unsur kebaikan dari Tuhan disebutkan menjadi pusat diantara enam roh. Manusia yang berperilaku baik maupun buruk akan digambarkan pada masing-masing roh.

  Jika manusia berperilaku baik, maka akan sempurna hidupnya dan menempati nirwana, sedangkan jilid kedua menceritakan pembagian manusia dalam dua katagori bagian yaitu bagian luhur dan bagian bawah ‘andhap’ serta menjelaskan watak dasar pada manusia, disebutkan ada tiga yaitu; atma, budi, pramana atau manas. Penjelasan di atas dapat memberi gambaran bahwa SWS ini memuat ajaran-ajaran moral terhadap manusia untuk selalu berbudi baik, berilmu, dan berprasangka baik. Berikut kutipan di dalam SWS.

  ……manawi roh rokhaninipun tiyang ingkang sampurna, sampun kandha badaning manungsa, punika anandhakakên bilih sampun rinakêtan ing kamulyan, kagunan tuwin kabudayan. Kawasa wicaksana dhatêng saliring kang sinêja, sabab roh rohani wau mratandhani manawi tiyang langkung wicaksana roh rokhaninipun inggih mindhak sampurna jangkêp wijangi sarira, tur cayanipun wêning gumilang maya-maya.

  Terjemahan: …..Jika roh rokhani (lapisan badan ketiga) manusia yang sempurna/selalu berbudi baik, menandakan bahwa manusia dekat dengan kemuliaan, kepandaian, dan kesejahteraan, serta dapat bijaksana kepada semua orang. Sebab roh rokhani menandakan jika manusia bertambah bijaksana juga akan mempengaruhi roh rokhani tersebut dan akan berwarna bening menyilaukan.

  Badan yang ketiga ini memberikan penjelasan agar manusia selalu berbuat baik, karena dengan selalu berbudi baik akan membawa manusia pada kemuliaan, kepandaian dan kesejahteraan serta dapat bijaksana kepada semua orang. Manusia saat ini selalu mencari ketiga hal tersebut dengan cara apapun. Misalnya manusia yang ingin mencari kemuliaan dengan cara-cara yang tidak baik, mencari kesejahteraan dengan melakukan pencurian, dsb. Hal ini tidak akan terjadi jika manusia mau berbuat dan berbudi baik, karena semua itu didapat dari balasan Tuhan kepada makhluknya. Siapa yang berbuat baik akan mendapatkan kebaikan, dan yang berbuat buruk akan mendapatkan keburukan.

  Manawi tiyang pinuju tilêm roh rokhaninipun mêdal sangking raga, déné manawi tiyang ingkang tilêm wau taksih bodho tanpa kasagêdan. Roh rokhaninipun inggih botên gadhah daya punapa-punapa, tansah lémbak- lémbak (migêl-migêl) kados mana katêmpuh ing angin, warninipun abrit utawi ijêm, buthêk tanpa cahya, saha botên sagêt pisah têbih kaliyan raga wadhagipun. Amargi botên kulina pisah têbih kados déné roh rokaninipun tiyang ingkang langkung pintêr, manawi tiyang ingkang tilêm wau sampun kathah nalar tuwin kawigyanipun, saèstu roh rokhaninipun inggih sagêt pisah têbih tinimbang tiyang bodho.

  Terjemahan: Jika manusia dalam keadaan tidur, roh rokhaninya keluar dari raga. Jika manusia yang tidur tidak berilmu atau bodoh roh rokhaninya juga tidak memiliki daya apa-apa, akan kesana-kemari tertiup angin dan berwarna merah atau hijau dan gelap tanpa cahaya serta tidak akan bisa lepas dari raganya. Hal ini disebabkan karena tidak terbiasa terpisah jauh, sedangkan roh rokhani orang yang berilmu atau pintar saat tertidur akan dapat pisah jauh daripada orang yang tidak berilmu. Penjelasan di atas memberikan gambaran yang jelas bahwa manusia hidup di dunia harus mamiliki ilmu. Manusia yang tidak berilmu diibaratkan akan mudah tertiup angin, yaitu akan mudah mengalami kebingungan dalam menjalani hidupnya, dan manusia yang berilmu atau pintar pastilah dapat teguh menjalani hidupnya.

  Pramila para sujana kêdah èngêt, sampun ngantos kalêbêtan manah awon saking tiyang sanès, lêbêt wêdaling rêmbag, kaping kalihé ingkang prayogi sarta ingkang utami manawi manggih èngêtan ingkang saé dipunandhêman, ingkang awon nuntên kabucala, sampun ngantos manggèn. Manawi sampun lantih utawi kulina dhatêng manah saé, andadosakên santosaning roh rahmani, saya lami sangsaya botên puru

  n tampi rêmbag awon. Terjemahan: untuk itu bagi orang yang pandai haruslah waspada, jangan sampai memiliki prasangka buruk kepada orang lain, semua yang diucapkan sebaiknya ucapan yang baik dan yang buruk segeralah dihilangkan. Jika manusia selalu berprasangka baik akan menjadikan ketentraman roh rahmani(lapisan badan yang keempat), dan semakin lama tidak akan melakukan ucapan dan perilaku yang buruk. Berprasangka baik adalah kunci kententraman hidup. Seprti pada kutipan di atas bahwa manusia yang hidup di dunia ini haruslah memiliki prasangka yang baik kepada siapapun dan dilarang mempunyai hati yang buruk. Jika manusia memiliki prasangka yang buruk segeralah dibuang demi menciptakan keharmonisan di dalam hidupnya. Manusia yang terbiasa berprasangka baik dalam kehidupanya pastilah tidak akan terpengaruh dengan hal-hal yang buruk.

  Perkembangan manusia bersifat dinamis, baik peradaban ataupun budaya. berkembang dapat dikatakan sebagai prestasi, di samping itu juga kemunduran pada sisi tertentu. Sebuah realita masyarakat menggambarkan bahwa prestasi manusia diukur dari berkembangnya teknologi. Tetapi di samping sebuah prestasi juga dikatakan sebagai sebuah kemunduran, yaitu kemunduran nilai-nilai dalam hidup manusia. Akibatnya kebahagiaan sebagai tujuan akhir manusia hanya dicapai dari fisik atau materi. Sedangkan kebahagiaan batiniah yaitu ketentraman hidup menjadi semakin jauh. SWS dengan penghayatannya mencoba menyeimbangkan dalam mengatasi persoalan tersebut, yaitu dengan ajaran-ajaran yang dikandungnya.

  Paparan di atas merupakan salah satu bagian kecil dari isi SWS, masih banyak ajaran-ajaran lain tentang pendidikan moral, agama, spiritual dan sikap dalam hidup.

  Piwulang dalam SWS masih relevan digunakan pada masa sekarang sebagai solusi mengatasi permasalahan kehidupan, jika dihayati dan dilakukan sepenuhnya maka yang menjadi cita-cita manusia, yaitu mencapai kebahagiaan ragawi dan suksmawi akan bisa dicapai.

  Perkembangan manusia yang cepat, menciptakan banyak permasalahan- permasalahan baru yang akhirnya menutup spiritualitas manusia itu sendiri. Oleh karena itu etika dan moral manusia yang seutuhnya menjadi hal yang sangat penting.

  SWS

  dalam ajarannya mencoba menawarkan solusi untuk memulihkan kembali tujuan hidup manusia. Keadaan masyarakat sekarang ini, manusia membutuhkan ajaran- ajaran spiritual untuk ketenangan hidupnya.

  Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada naskah SWS baik secara filologis maupun isi. Kajian filologis digunakan untuk membahas permasalahan-permasalahan filologis yang ada di dalam naskah SWS, sedangkan kajian isi digunakan untuk mengupas kandungan isi dan ajaran teks SWS.

  B.

  

Batasan Masalah

  Adanya berbagai bentuk permasalahan dalam SWS memungkinan naskah tersebut untuk diteliti dari berbagai sudut pandang baik secara filologis, sastra, filsafat ataupun moral. Oleh karena itu diperlukan pembatasan masalah untuk mencegah semakin melebarnya pembahasan. Batasan masalah tersebut lebih ditekankan pada dua kajian utama, yakni kajian filologis dan kajian isi. Kajian filologis digunakan untuk mengupas permasalahan yakni uraian-uraian di dalam naskah melalui cara kerja filologis, sedangkan kajian isi digunakan untuk mendeskripsikan ajaran moral yang terdapat pada SWS.

  C.

  

Rumusan Masalah

  Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian teks SWS adalah sebagai berikut :

  1. Bagaimana suntingan teks SWS yang asli atau dekat dengan aslinya serta teks yang bersih dari kesalahan?

  2. Ajara moral apa saja yang terdapat di dalam SWS ? D.

  

Tujuan Penelitian

  Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian adalah sebagai berikut :

  1. Menyajikan suntingan teks SWS yang asli atau dekat dengan aslinya serta teks yang bersih dari kesalahan.

  2. Mendeskripsikan ajaran moral yang terdapat dalam SWS.

  E.

  

Manfaat Penelitian

  Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua, yakni manfaat praktis dan teoretis, sebagai berikut :

1. Manfaat Praktis

  a. Menyelamatkan data dalam naskah SWS dari kerusakan dan hilangnya data dalam naskah. b. Mempermudah pemahaman isi teks SWS, sekaligus memberikan informasi kepada masyarakat tentang isi yang terdapat di dalamnya.

2. Manfaat Teoritis a. Memperkaya penerapan teori filologi terhadap naskah.

  b. Membantu peneliti lain yang relevan untuk mengkaji lebih lanjut naskah

  SWS

  khususnya dan naskah Jawa pada umumnya dari berbagai disiplin ilmu.

  c. Menambah kajian terhadap naskah Jawa yang masih banyak dan belum terungkap isinya.

  F.

  

Sistematika Penulisan

I. Pendahuluan

  Bab ini merupakan uraian tentang latar belakang masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

II. Kajian Teori

  Bab ini menguraikan pengertian filologi, objek penelitian filologi dan cara kerja filologi, Sejarah Theosofi di Indonesia, pengertian piwulang: Etika dan Pandangan Hidup Orang Jawa.

III. Metode Penelitian

  Bab ini menguraikan bentuk dan jenis penelitian, sumber data dan data, teknik pengumpulan data dan teknik analisis data.

IV. Pembahasan

  Pembahasan diawali dengan pembahasan kajian filologi kemudian dilanjutkan pembahasan kajian isi.

V. Penutup

  Berisi kesimpulan dan saran, pada bagian akhir dicantumkan daftar pustaka, lampiran-lampiran dalam naskah SWS.