Media Massa dan Demokratisasi ppt4

MEDIA MASSA dan DEMOKRATISASI
Ira Naulita - 1464290 019

MEDIA MASSA dan DEMOKRASI

Pilar Keempat
Demokrasi
Eksekutif, Legislatif, Yudikatif

Manakala dalam suatu negara,
media massa mampu menjadi
salah satu instrumen bagi
adanya kebebasan berekspresi
dan berpendapat, hal ini
mengindikasikan bahwa negara
tersebut bercorak demokratis,
demikian pula sebaliknya.

Kenneth Newton dan Jan W. van Deth ( 2005 : 196-7), mengemukakan
empat teori untuk menjelaskan ada tidaknya pengaruh media massa.


Empat Sistem Pers Menurut Peterson
dan Schramm (1963)

Dua Posisi Media Menurut Katrin Voltmer
(2006: 2)

DEMOKRATISASI DAN MEDIA MASSA
PASCA ORDE BARU




Di Indonesia terlihat jelas bahwa keberadaan media massa tidak lepas dari
karakteristik sistem politik. Terdapat perbedaan posisi dan peran media
ketika Indonesia berada di dalam pemerintahan Orde Baru yang otoriter
dengan ketika pasca-Orde Baru yang relatif demokratis. Pada masa Orde
Baru, terdapat keinginan kuat membangun pemerintahan yang stabil dan
efektif. Upaya ini dilakukan melalui bangunan negara yang kuat dengan
relasi terhadap kekuatan-kekuatan yang ada di masyarakat secara terbatas
atau state corporatisme.

Di dalam negara yang seperti itu, kekuatan yang ada di luar negara,
termasuk media, diorganisasi dikendalikan dan dibatasi ruang geraknya. Hal
itu dilakukan dengan penunggalan organisasi wartawan dan serikat surat
kabar. Langkah ini memungkinkan adanya kontrol yang lebih langsung dan
terarah kepada wartawan dan pemilik penerbitan.

BREDEL TEMPO, DETIK dan EDITOR
Ketika media berseberangan dengan
konstruksi semacam ini, media massa
yang mencoba memberi informasi
berlawanan dengan kebijakan
pemerintah diberi sanksi berat yaitu
pembreidelan. Majalah TEMPO dan
Tabloid Detik merupakan contoh media
yang dianggap berseberangan dengan
pemerintah dan karena itu harus
dikeluarkan dari konstuksi negara
korporatis itu. Majalah Tempo yang
terbit 7 Juni 1994 mengkritik pembelian
39 kapal perang bekas dari Jerman

Timur dari USD 12,7 juta menjadi USD
1,1 miliar.

Sepekan sebelumnya, majalah Tempo
mengungkapkan pembengkakan harga kapal bekas
sebesar 62 kali lipat. Pada 9 Juni 1994, Soeharto
marah besar. Dia memerintahkan menindak tegas
majalah Tempo, tabloid DeTik, dan majalah Editor,
(www.merdeka.com). Pada saat itu media massa
tidak lagi dapat memosisikan diri sebagai watchdog
pemerintah. Bahkan tidak lagi dapat memfungsikan
diri sebagai refleksi dari apa yang terjadi di dalam
masyarakat. Kalaupun ada refleksi, itu merupakan
refleksi penguasa, bukan masyarakat.

KEBEBASAN PERS PASCA ORDE BARU
Jatuhnya pemerintahan Soeharto
membuat pertumbuhan media menjadi
tidak terkontrol. Sebelumnya, untuk
memperoleh SIUPP (Surat Izin Umum

Penerbitan Pers) tidak mudah. Pasca
runtuhnya Orde Baru, menteri
penerangan Yunus Yosfiah mencabut
ketentukan mengenai SIUPP dan
memperbaikinya. Implikasinya banyak
orang mendirikan surat kabar dan
majalah. Termasuk efeknya adalah
menjamurnya koran-koran kuning bahkan
cabul di tengah masyarakat, yang menjadi
penumpang gelap kebebasan pers

REGULASI PERS PASCA ORDE BARU
Media massa di dalam pemerintahan pasca Orde Baru, telah
merefleksikan dinamika, termasuk dinamika politik yg ada di
dalam masyarakat. Media massa secara cepat dan luas juga
menyiarkan peristiwa yang ada di dalam masyarakat tanpa
sensor yang cukup sebagaimana di dalam pemerintahan
Orde Baru. Memang media massa tidak lepas dari
pengaturan-pengaturan, yang diatur dalam Undang-Undang
No 40 tahun 1999 tentang Pers dan Undang-Undang nomor

32 tahun 2002 tentang penyiaran, yang menyebutkan
pembentukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). KPI yang
dibentuk dengan beranggotakan orang-orang independen ini
dimaksudkan untuk mengurangi kontrol pemerintah di bidang
penyiaran. Tetapi, pengaturan-pengaturan itu tidak lebih
sebagai rule of the game agar media massa juga tetap dalam
kerangka penghormatan terhadap hak-hak orang dan
kelompok di dalam negara demokratis.

MEDIA: MENGONTROL dan DIKONTROL
Peran politik media massa di dalam negara demokratis dapat dilihat dari dua
peristiwa. Pertama adalah pada proses seleksi kepemimpinan politik (di dalam
pemilu atau pemilihan pejabat publik dan di dalam proses pemilihan pemimpin
di dalam organisasi-organisasi politik). Di dalam pemilu, media massa dapat
memublikasikan berbagai isu, termasuk program yang ditawarkan oleh calon
atau partai. Media massa juga bisa mengkritisi isu-isu tersebut. Dalam situasi
ini, media massa dapat menguntungkan atau merugikan calon dan partai
tertentu atas publikasinya. Selain itu, media massa juga dapat menjadi saluran
khusus bagi calon atau partai untuk mempromosikan dirinya. Kecenderungan
terakhir ini semakin menguat setelah mendapati realitas menguntungkan calon

atau partai. Melalui citra yang positif di media, memperkuat pilihan seseorang
atau bahkan mengubah pilihan seseorang dari politisi atau partai yang satu ke
yang lain.

PENINGKATAN BELANJA IKLAN


Semakin kuatnya minat para politisi menggunakan media massa
sebagai instrumen membangun relasi dengan masyarakat guna
memperoleh dan mempertahankan dukungan itu terlihat dari
meningkatnya belanja iklan politik dalam tahun-tahun menjelang
pemilu. Pengaruh iklan politik terhadap perilaku sejauh ini masih
diperdebatkan apakah cukup berarti atau tidak, (Kaid, 1999; 2004).
Tetapi mengingat penggunaan media sebagai institusi untuk
memperoleh informasi mengenai calon atau partai semakin
meningkat, dapat diberi makna bahwa iklan politik melalui media
telah menjadi salah satu sumber pokok bagi pemilih yang rasional di
dalam mempertimbangkan pilihan politiknya.

IKLAN POLITIK menurut Durren Lilleker


MEDIA: MENGONTROL dan DIKONTROL
Kedua adalah pascapemilu, berkaitan
dengan
perjalanan
pemerintahan
sehari-hari. Media massa setiap harinya
memublikasikan berbagai peristiwa
yang terjadi dan berkembang. Di bidang
politik, selain menyiarkan berbagai
kegiatan
aktor-aktor
politik
yang
dipandang memiliki pengaruh terhadap
kehidupan masyarakat berikut interaksi
para aktor itu antara yang satu dengan
yang lain, media juga menyiarkan
kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh
para elite.


Disini posisi media massa akan terlibat:
memberi dukungan, bersikap netral saja,
atau memberikan perlawanan.

MEDIA dan KEPENTINGAN PEMILIK

MEDIA dan KEPENTINGAN PEMILIK
Realitas semacam ini juga
terjadi pada kehidupan media
massa pasca-pemerintahan
Orde Baru. Meskipun iklim
demokrasi memungkinkan
banyak orang mendirikan
media, tetapi yg mampu terus
hidup dan berkembang hanya
sebagian kecil saja. Saat ini,
bisnis media massa hanya
terkonsentrasi pada kelompokkelompok tertentu. Hal ini
berlaku baik di media cetak

ataupun elektronik.

Kecenderungan ini pula yang
membuat Edwin Baker sampai
pada pandangan bahwa
kehidupan demokrasi saat ini
berada di persimpangan jalan,
ketika dikaitkan dengan eksistensi
media massa.

Media massa di satu sisi diharapkan dapat berfungsi sebagai saluran dari
berbagai kelompok yang ada di dalam masyarakat, tetapi di sisi yang lain,
pengaruh pemilik modal terhadap eksistensi media juga tidak kecil. Robert
Hackett dan William Carrol (2006) berpendapat, pengaruh pemilik media
mungkin saja tidak dipakai. Tetapi ketika pemilik itu berkepentingan di dalam
memengaruhi isu-isu tertentu, tidak mudah untuk dikendalikan.

Ketika pemilik media
memiliki perhatian untuk
memperjuangkan nilainilai demokrasi, tidaklah

masalah. Tetapi ketika
pemiliknya itu memiliki
kepentingan berlawanan
dengan nilai-nilai
demokrasi dan
kepentingan publik, hal itu
akan menjadi ancaman
serius bagi demokrasi.

PARADOKS MEDIA






Pasca-pemerintahan Orde Baru telah memberi ruang kebebasan yang cukup besar kepada media
massa, mulai dari kebebasan untuk berdiri sampai kebebasan untuk memberitakan berbagai
peristiwa yang terjadi. Isu-isu yang pada masa pemerintahan Orde Baru dianggap tabu untuk
diberitakan, saat ini bisa leluasa disebarkan. Liputan meda massa juga telah melahirkan tekanantekanan dari publik kepada pemerintah atau pejabat publik yang dianggap bermasalah. Salah satu

contohnya ketika ada perselisihan antara Kepolisian-Kejaksaan-KPK, soal kriminalisasi Chanda
Hamzah dan Bibit Samad Riyanto.
Dalam kasus tersebut, media massa telah menjadi bagian dari institusi untuk menjaga
keberlangsungan demokrasi pasca-pemerintahan Orde Baru. Manakala ditengarai terjadi
penyalahgunaan kekuasaan di dalam ruang publik, media, dalam kasus ini telah berfungsi sebagai
instrumen dan aktor untuk mengontrol. Media massa telah berada pada pihak publik yang berusa
mencari keadilan dan kebenaran.
Tetapi peran media semacam ini berlainan atau paradoks dengan fakta tadi, ketika media massa
berada dalam kendali pemilik. Sehingga siaran tidak lepas dari bingkai kepentingan pemilik modal
yang mengendalikan media. Berkaitan dengan kepentingan modal ini, pertanyaannya adalah,
apakah ketika media massa menyiarkan berbagai isu yang berkaitan dengan publik itu berarti media
massa telah melakukan pemihakan kepada publik ataukah demi keberlangsungan media itu sendiri?