Integrasi Pengelolaan Pertanahan dan Pen

INTEGRASI PENGELOLAAN PERTANAHAN DAN PENATAAN RUANG:
Strategi Pengendalian Penguasaan dan Pemilikan Tanah Pulau-Pulau Kecil
Oleh: Sutaryono
Pengajar Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN)
taryo_jogja@yahoo.com
www.manajemenpertanahan.blogspot.com
ABSTRAK
Permasalahan pengelolaan pulau-pulau kecil di Indonesia, semakin hari
semakin komplek dan belum mendapatkan alternatif strategi yang memadai.
Pengelolaan secara sentralistik dan ekonomistik tanpa mengakomodasi
kepentingan ekologis dan kepentingan-kepentingan daerah, masyarakat lokal
berikut ragam budaya dan etnisnya sudah menunjukkan dampaknya. Degradasi
lingkungan, konflik penguasaan dan pemilikan tanah, konflik penggunaan dan
pemanfaatan ruang atas wilayah pulau-pulau kecil, terusir-nya masyarakat dan
nelayan lokal serta isu penjualan pulau-pulau kecil adalah realitas yang perlu
mendapatkan alternatif penyelesaian.
Naskah ini mencoba memberikan alternatif penyelesaian permasalahan
penguasaan dan pemilikan tanah melalui integrasi pengelolaan pertanahan dan
penataan ruang. Content analisys dipilih sebagai metode yang tepat untuk
mengkaji kondisi eksisting dan kelembagaan terkait pengelolaan pulau-pulau
kecil, yang diorientasikan untuk mendapatkan strategi pengintegrasian

pengelolaan pertanahan dengan penataan ruang.
Hasilnya menunjukkan bahwa: (a) Pengendalian penguasaan dan
pemilikan tanah pada pulau-pulau kecil dapat dilakukan dengan strategi
pengintegrasian penyelenggaraan penataan ruang dengan pengelolaan
pertanahan; (b) perwujudan tertib ruang dan tertib penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah dilakukan melalui agenda-agenda
kelembagaan, penyusunan dan penguatan regulasi, penyediaan instrumen
pengendalian dan implementasi kebijakan pengendalian; (c) penyatuan agraria
dan tata ruang dalam satu kementerian bukanlah suatu hal yang a-historis, tetapi
justru memberikan peluang bagi terintegrasinya pengelolaan pertanahan dengan
penataan ruang;
A. PENDAHULUAN
1. Latarbelakang
“Tanah untuk Ruang Hidup yang Memakmurkan dan Menenteramkan”
merupakan tema Hari Agraria dan Tata Ruang Nasional 2015, yang tepat dan
sangat kontekstual untuk mengingatkan kembali secara refleksif pengelolaan
pertanahan dan penataan ruang di Indonesia. Terlebih berkenaan dengan upaya
memberikan perlindungan terhadap penguasaan dan pemilikan tanah pada
pulau-pulau kecil yang selama ini masih terabaikan. Sebagai negara kepulauan


1

(archipelago states), Indonesia telah

mendapatkan pengakuan dari Konvensi

Hukum Laut Internasional 1982 (United Nations Convention Law of the Sea –
UNCLOS), dimana memiliki hak berbeda dalam penarikan garis batas wilayah.
Perbedaan mendasar negara kepulauan dengan negara pantai biasa adalah
dalam penetapan titik dasar untuk penarikan batas perairan teritorial, zona
ekonomi eksklusif dan landasan kontinental. Negara kepulauan diperbolehkan
menarik titik dasar dari ujung pulau terluar hingga 200 mil, sedangkan negara
pantai hanya sampai 12 mil dari daratan.
Sebagai negara kepulauan (archipelago states),

Indonesia memiliki

sumberdaya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang sangat potensial untuk
dikembangkan. Data LAPAN yang direlease oleh www.wikipedia.org, Indonesia
memiliki panjang garis pantai mencapai 81.000 km dan memiliki sekitar 18.306

pulau. Dari keseluruhan jumlah pulau, pulau yang sudah bernama hanya
mencapai 6.489 pulau, selebihnya belum memiliki nama. Data Departemen
Dalam Negeri berdasarkan laporan dari para gubernur dan bupati/wali kota, pada
tahun 2004 menyatakan bahwa 7.870 pulau yang bernama, sedangkan 9.634
pulau tak bernama1. Kondisi ini menunjukkan bahwa dalam konteks wilayah,
bangsa kita belum memiliki strategi yang tepat untuk melakukan pengelolaan
wilayah laut, pesisir dan pulau-pulau kecil yang ada. Keberadaan data yang valid
dan aktual berkenaan dengan jumlah pulau saja masih bermasalah, maka
menjadi wajar apabila strategi pengelolaannyapun masih dipertanyakan. Namun
demikian dengan potensi dan kekayaan yang ada, terwujudnya welfare state
sudah di depan mata apabila pengelolaan terhadap sumberdaya laut, pesisir dan
pulau-pulau kecil secara nasional dilakukan dengan baik dan berkeadilan. Tetapi
perlu diingat pula bahwa potensi disintegrasi bangsa juga terdapat pada bangsa
ini, apabila pengelolaan sumberdaya yang ada dilakukan secara sentralistik dan
ekonomistik tanpa mengakomodasi kepentingan ekologis dan kepentingankepentingan daerah, masyarakat lokal berikut ragam budaya dan etnisnya.
Issu-issu mengenai penyewaan atau bahkan penjualan pulau-pulau kecil
terhadap swasta atau pihak asing, ancaman disintegrasi bangsa, degradasi dan
deteriorasi lingkungan, serta konflik penguasaan dan pemilikan tanah pada
pulau-pulau kecil merupakan persoalan serius yang perlu segera diantisipasi dan


1 Diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_pulau_di_Indonesia, 26 Oktober 2015

2

ditangani agar tidak mengalami ekskalasi ke arah chaos yang cenderung
kontraproduktif.
Isu-isu mengenai penyewaan pulau-pulau kecil terhadap swasta atau
pihak asing, muncul pada awal tahun 2006 yang mengungkap masalah
terjadinya ‘jual beli’ terhadap beberapa pulau kecil di wilayah Nusa Tenggara
Timur. Pada tahun 2012 muncul lagi isu penjualan pulau-pulau kecil, bahkan
pada akhir tahun 2014 lalu kita dikejutkan dengan adanya penawaran ‘penjualan’
terhadap beberapa pulau kecil di beberapa wilayah. Modus ‘penjualan’ pulau
dilakukan melalui pengiklanan di media online dan menyewakan kepada orang
asing selama 25-30 tahun. Beberapa pulau yang sudah pernah ‘dijual’ antara lain
P. Panjang dan Meriam Besar di NTB, P. Makaroni, Siloinak, Kandul, kemudian P.
Piluan di Lampung, P. Gambar di Lauta Jawa, P. Bidadari serta Pulau Sebayur
dan Kanawa (Koran Tempo, 5-9-2014). Kondisi tersebut memberikan penyadaran
kepada kita, bahwa potensi pulau-pulau kecil, termasuk wilayah pesisir di
dalamnya, merupakan modal besar bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
2. Permasalahan

Realitas di atas menunjukkan bahwa argumentasi pentingnya pengelolaan
pulau-pulau kecil mendapatkan konteksnya. Hadirnya UU 27/2007 jo UU 1/2014
tentang Perubahan atas UU Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil belum menjamin adanya pengelolaan wilayah
pulau-pulau kecil yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Perlu
strategi yang mengkhususkan pada pengendalian penguasaan dan pemilikan
tanah pada pulau-pulau kecil agar pengelolaan pertanahan di wilayah pulaupulau kecil lebih berkeadilan dan mensejahterakan. Strategi pengendalian
penguasaan dan pemilikan tanah pada pulau-pulau kecil secara terencana,
terintegrasi,

rasional,

optimal,

bertanggungjawab

dengan

mengutamakan


sebesar-besar kemakmuran rakyat serta memperhatikan kelestarian fungsi dan
keseimbangan lingkungan bagi pembangunan berkelanjutan harus dilakukan
melalui integrasi pengelolaan pertanahan dan penataan ruang. Pertanyaan yang
kemudian mengedepan adalah:
a. Bagaimana strategi pengendalian penguasaan dan pemilikan tanah pada
pulau-pulau kecil di Indonesia?

3

b. Bagaimana upaya mewujudkan tertib ruang dan tertib penguasaan &
pemilikan pada pulau-pulau kecil?
c. Bagaimana peluang kelembagaan

dalam

integrasinya

pengelolaan

pertanahan dengan penataan ruang?

3. Tujuan Penulisan
a. Memformulasikan strategi pengendalian penguasaan dan pemilikan tanah
pada pulau-pulau kecil melalui pengintegrasian pengelolaan pertanahan
dan penataan ruang;
b. Menyusun agenda untuk mewujudkan tertib ruang dan tertib penguasaan &
pemilikan tanah pada pulau-pulau kecil;
c. Mengidentifikasi peluang kelembagaan dalam integrasi pengelolaan
pertanahan dan penataan ruang.
4. Manfaat
a. Memberikan umpan dan masukan kepada Kementerian Agraria dan Tata
Ruang/Badan Pertanahan Nasional dalam pengelolaan pertanahan pada
pulau-pulau kecil;
b. Sebagai dorongan bagi pemerintah daerah untuk melakukan inisiatif
dalam

pengintegrasian

urusan

pertanahan


dan

penataan

ruang,

utamanya terkait penguasaan dan pemilikan tanah dengan penggunaan
dan pemanfaatannya;
c. Secara akademik, membuka diskursus baru berkenaan dengan integrasi
pengelolaan pertanahan (land management) dengan penataan ruang
(spatial planning).
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Penguasaan dan Pemilikan Tanah dalam Perspektif Land Management
Penguasaan dan pemilikan tanah dalam konteks yang lebih luas
merupakan bagian dari pengelolaan pertanahan (land management). Dalam
hal ini, land management sering dirancukan dengan land administration.
Williamson2 mengemukakan bahwa “Land Administration Systems (LAS)
provide


the

infrastructure

for

implementing

land

policies

and

land

management strategies in support of sustainable development”. Dalam hal ini
Sistem Administrasi Pertanahan yang menyediakan berbagai infrastruktur
2 Williamson, et all, 2010. Land Administration for Sustainable Development. ESRI Pres
Academic


4

untuk menerapkan kebijakan pertanahan dan strategi pengelolaannya dalam
mendukung pembangunan berkelanjutan, mutlak diperlukan dalam rangka
memastikan terwujudnya tanah bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. LAS
terdiri atas land tenure (penguasaan dan pemilikan tanah), land use
(peruntukan dan penggunaan tanah), land value (penilaian tanah), dan land
development.

Hal

ini

senada

dengan

yang


tertuang

dalam

Land

Administration Guidelines yang diterbitkan oleh PBB3. Pada naskah ini
disebutkan bahwa land management is the process by which the resources of
land are put into good effect. Untuk mendapatkan pengelolaan yang
berdampak positif, salah satunya melalui administrasi pertanahan, yang
meliputi land rights, land use, land valuation and taxation. Dalam konteks
pengelolaan pertanahan

di Indonesiaan, konsep apapun yang dipilih baik

land management maupun land administration, kesemuanya diorientasikan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Berkenaan dengan kajian dan penataan pulau-pulau di Indonesia
dapat dilakukan dengan pendekatan-pendekatan geografis yang meliputi
spatial approach, ecological approach dan regional complex approach.
Namun demikian, pendekatan-pendekatan tersebut perlu dilengkapi secara
khusus dengan pendekatan yuridis, terutama berkaitan dengan penguasaan
dan pemilikan tanah, mengingat berbagai persoalan yang berkembang dan
menimbulkan konflik baik vertikal maupun horisontal pada saat ini salah
satunya adalah persoalan penguasaan dan pemilikan tanah. Di samping itu
telah terbukti bahwa penguasaan dan pemilikan tanah mempunyai korelasi
positif dengan penggunaan dan pemanfaatan tanah, sepanjang mekanisme
dan aturan main dalam mendapatkan tanah telah terpenuhi. Hal ini
menunjukkan bahwa penataan penguasaan dan pemilikan tanah merupakan
basis

dalam

pengelolaan

pengelolaan
sebuah

pertanahan.

wilayah

apabila

Artinya,
tidak

bagaimanapun

dilandasi

oleh

wujud

penataan

penguasaan dan pemilikan tanah yang baik dan berkeadilan, akan
memunculkan persoalan-persoalan baru yang semakin komplek.
Pada dasarnya kebijaksanaan pertanahan secara nasional telah diatur
dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria yang lebih dikenal dengan UUPA (Undang-Undang
3 United Nations, 1996. Land Administration Guidelines, New York and Geneva.

5

Pokok Agraria). Telah ditegaskan dalam UUPA bahwa bumi, air dan ruang
angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada
tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan
penjelmaan seluruh rakyat. Untuk selanjutnya kekuasaan tersebut lebih
dikenal dengan Hak Menguasai dari Negara (HMN). Ada tiga kewenangan
negara: (a) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa; (b) menentukan
dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi,
air dan ruang angkasa; (c) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan
hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai
bumi, air dan ruang angkasa. Sebagaimana telah diatur dalam UUPA tersebut,
kewenangan negara untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan tanah dapat dilimpahkan kepada
Pemerintah Daerah.
Penataan penguasaan dan pemilikan tanah merupakan agenda
strategis dan digalakkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang saat ini
terintegrasi ke dalam Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan
Nasional. Hal ini dilakukan mengingat pelayanan legalisasi aset di KantorKantor Pertanahan Kabupaten/Kota, dalam pelaksanaannya masih dijumpai
adanya hambatan dan kendala yang disebabkan rendahnya aksesibilitas
masyarakat terutama di daerah-daerah dengan insfrastruktur minim. Dalam
hal ini termasuk wilayah pada pulau-pulau kecil, dimana kondisi penguasaan
dan pemilikan tanahnya justru lebih rentan menimbulkan konflik.
Legalisasi aset menjadi salah satu jawaban atas pertanyaan tentang
keamanan tenurial, kepastian hak, dan sarana bagi penanggulangan
kemiskinan saat sertipikat hasil dari legalisasi aset itu dapat diagunkan ke
bank guna mendapat kredit. Apabila legalisasi aset diletakkan pada kerangka
itu, maka legalisasi aset merupakan sebuah keharusan. Bahkan lebih dari
sekedar keamanan tenurial, kepastian hak dan sarana mendapatkan kredit,
tetapi dapat dipastikan bahwa legalisasi aset mampu menjadi satu strategi
yang ampuh dalam mereduksi dan mengantisipasi konflik pertanahan.
Legalisasi aset juga dapat berarti menguatkan klaim atas tanah dan
pemusatan tanah pada segelintir orang atau negara, apabila tidak dilakukan
secara tertib dan berkeadilan.

6

2. Kontestasi Ruang Hidup
Kontestasi ruang hidup, dalam hal ini dimaknai sebagai kontestasi
penguasaan dan pemilikan tanah sebagai ruang hidup dan penghidupan
masyarakat. Kontestasi ini sangat erat hubungannya dengan pembangunan
wilayah. Proses kontestasi dalam pembangunan wilayah tidak terlepas dari
kebijakan

pengelolaan

pertanahan.

Dalam

hal

ini

pihak-pihak

yang

berkepentingan terhadap tanah/ruang ditarik ke dalam proses kontestasi
(Haughton & Counsel, 2004)4. Keterlibatan berbagai pihak dalam kontestasi
penguasaan dan pemilikan tanah sebagai ruang hidup tidak terlepas dengan
pemaknaan terhadap tanah sebagai ruang interaksi dan objek pembangunan.
Ruang interaksi dan objek pembangunan dalam konteks ini tidak
hanya dipahami pada ruang fisik semata, tetapi juga ruang sosial yang
dikonstruksi oleh masyarakat yang merupakan respon terhadap perubahan.
Lefebvre dalam The Production of Space mengkonstruksikan space sebagai
field (tanah) yang terdiri dari: (1) physical (natural) space; (2) mental space;
dan (3) social space (Lefebvre, 1991). Berdasarkan pendapat Haughton &
Counsel (2004) dan Lefebvre (1991) terlihat bahwa proses kontestasi
penguasaan dan pemilikan tanah merujuk pada keterlibatan pihak yang
berkepentingan terhadap tanah ataupun ruang secara luas dalam proses
pembangunan wilayah. Hal ini sejalan dengan pendapat Ronaldo Munck,
dalam naskahnya Globalization and Contestation (Munck, 2007) yang
menyebutkan bahwa kontestasi dimaknai sebagai sebuah persaingan atau
proses pertukaran yang sama kuatnya, dengan pasar sebagai media
pertukaran. Dalam hal ini pasar sebagai media pertukaran berupa munculnya
berbagai transaksi dan berbagai kepentingan yang berhubungan dengan
penguasaan dan pemilikan tanah.
Berkenaan dengan hal di atas, dalam perspektif ekonomi menunjukkan
bahwa

semua

subjek

hak

atas

tanah

yang

berkepentingan

dalam

pembangunan wilayah berada pada persaingan sempurna. Persaingan yang
sempurna terjadi apabila pihak-pihak yang terlibat dalam perebutan
penguasaan dan pemilikan tanah mempunyai posisi tawar yang sama dan

4 lihat dalam Haughton & Counsell, 2004. Region, Spatial Strategies and Sustainable
Development. Routledge. London.

7

masing-masing tidak dapat menentukan harga secara sepihak. Kontestasi
penguasaan dan pemilikan lahan merupakan sebuah keniscayaan, ketika
kebutuhan tanah semakin meningkat seiring dengan tuntutan perkembangan
peradaban. Dalam perspektif geografis, peralihan hak dan alih fungsi tanah
merupakan konsekuensi perkembangan wilayah.
Proses-proses peralihan hak atas tanah dan alih fungsi tanah,
termasuk di dalamnya adalah bidang-bidang tanah pada pulau-pulau kecil,
apabila tidak dikendalikan, perlahan tetapi pasti akan dikuasai oleh pemilik
modal. Dikuasainya akses terhadap tanah oleh pemilik modal, berarti pula
mempersempit akses masyarakat terhadap bidang-bidang tanah sebagai
sumber

penghidupannya.

semangat

‘tanah

untuk

Dalam
ruang

konteks
hidup

ini,
yang

kontraproduktif

dengan

memakmurkan

dan

5

menenteramkan’ .
Proses peralihan hak atas tanah dan alih fungsi tanah yang berujuang
pada marjinalisasi masyarakat lokal, secara konseptual digambarkan dalam
teori Land Contestation Triangle Model (Sutaryono, 2013). Kontestasi ruang
fisik, ruang mental dan ruang sosial ini membentuk segitiga yang saling
mempengaruhi (Gambar 1). Physical space contestation ditandai oleh variabel
konversi penggunaan lahan (land use conversion) dan konversi penguasaan
lahan (land tenure conversion). Kedua variabel tersebut mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh mental space contestation, yang di dalamnya terdapat pola
pikir (mind set) dan tradisi stake holder (tradition). Pola pikir dan tradisi stake
holder ini mempengaruhi dan dipengaruhi oleh social space contestation yang
di dalamnya terdapat tindakan (action) dan interaksi sosial (social interaction).

5 Tema Hari Agraria dan Tata Ruang Nasional, 2015.

8

Gambar 1. Diagram Land Contestation Triangle Model (Sutaryono, 2013)
Model pada gambar di atas menunjukkan adanya kontestasi ruang
hidup yang berproses menuju terjadinya marjinalisasi pada masyarakat lokal.
Teori ini tidak hanya berlaku pada masyarakat pinggiran kota, tetapi juga
sangat relevan dengan kontestasi ruang hidup pada masyarakat di pulaupulau kecil. Tekanan terhadap penguasaan dan pemilikan bidang-bidang
tanah masyarakat lokal oleh pemilik modal akan terus terjadi. Apabila tidak
mendapatkan pengendalian maka masyarakat lokal akan termarjinalkan.
3. Pengendalian Penguasaan dan Pemilikan Tanah Serta Pengendalian
Pemanfaatan Ruang
Pengendalian penguasaan dan pemilikan tanah dalam perspektif land
management belum menjadi sebuah mainstream (arus utama), karena selalu
terpinggirkan oleh arus besar pendaftaran tanah. Bahkan terminologi
pengendalian pertanahan termanifestasi ke dalam kelembagaan pertanahan
(level eselon I) baru pada tahun 2006 melalui Perpres 10/2006 tentang Badan
Pertanahan Nasional. Inipun menyisakan beberapa persoalan yang belum
terselesaikan.
Terminologi pengendalian pertanahan dan pemberdayaan masyarakat
seolah-olah dimaknai sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Pemaknaan ini didasarkan pada logika sederhana yang menyatakan bahwa

9

pihak-pihak

yang

mempunyai

akses

berlebih

terhadap

tanah

perlu

dikendalikan dan pihak-pihak yang miskin atau tidak punya akses terhadap
tanah

perlu

diberdayakan.

Pemaknaan

ini

terlihat

sebagai

upaya

mensimplifikasi makna sebenarnya. Apabila dikelompokkan, paling tidak
terdapat dua hal penting yang perlu didiskusikan ulang.
Pertama, terkait dengan substansi dan penggunaan terminologi
pengendalian pertanahan dan pemberdayaan masyarakat. Dari sisi substansi
ada

kecenderungan

pemberdayaan

mensimplifikasi

masyarakat.

Pada

aspek
sisi

pengendalian

penggunaan

dan

makna

terminologi

yang

berhubungan dengan substansi masih sering muncul kerancuan, misalnya
antara ”pengendalian pertanahan dan pemberdayaan masyarakat” dan
”pengendalian dan pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan”. Kedua,
terminologi tersebut dari sisi bahasa jelas terdapat perbedaan makna,
sehingga tidak pada tempatnya menyebutkan pengendalian pertanahan dan
pemberdayaan pada satu terminologi. Terminologi pemberdayaan masyarakat
memiliki dasar filosofis yang jauh berbeda dengan pengendalian pertanahan.
Dalam konteks yang lebih luas, pemberdayaan masyarakat adalah prasyarat
penting bagi terwujudnya civil society, di samping keadilan sosial dan
kemakmuran.
Kondisi ini hampir sama dengan pengendalian pemanfaatan ruang
dalam penataan ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang selalu tertinggal
dibanding perencanaan dan pemanfaatan ruang, bahkan agenda-agenda
pengendalian pemanfaatan ruang jarang ditemukan dalam implementasi
kebijakan penataan ruang. Dalam hal ini, pengendalian pemanfaatan ruang
terdiri dari peraturan zonasi, perijinan, insentif dan disinsentif dan sanksi.
Pengendalian pemanfaatan ruang adalah suatu proses kegiatan yang
secara

berkesinambungan

mengikuti,

mengamati,

dan

menempatkan

pelaksanaan rencana-rencana pemanfaatan ruang yang disusun oleh
berbagai instansi sektoral, pemerintah daerah, swasta dan masyarakat secara
berdaya guna dan berhasil guna agar dapat mewujudkan Rencana Tata
Ruang (RTR) yang telah ditetapkan. Tujuan dari pengendalian pemanfaatan
ruang antara lain untuk:
1)

Menjamin pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang,
peraturan zonasi, dan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang.

10

2)

Mencegah dampak negatif pemanfaatan ruang.

3)

Melindungi kepentingan umum dan masyarakat luas.

4)

Mengakomodasikan kebutuhan ruang yang dinamis dari berbagai
kegiatan, baik oleh pemerintah, swasta, maupun masyarakat secara
optimal dan betkelanjutan,

5)

Menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan ruang baik antara kawasan
lindung dengan kawasan budidaya maupun antar kawasan budidaya
yang dapat menimbulkan tumpang-tindih dan konflik.

6)

Pengendalian pemanfaatan ruang pada hakekatnya terdiri dari tiga
kegiatan yang satu sama lain terkait erat, yaitu kegiatan pemantauan,
kegiatan pengawasan, dan kegiatan penertiban pemanfaatan ruang.
Dalam pelaksanaan pembangunan, pengendalian memiliki dua fungsi

yaitu: (1) fungsi untuk memperbaiki suatu kegiatan yang telah berlangsung
namun keberadaanya tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang ada; dan
(2) fungsi untuk mencegah terjadinya pembangunan yang tidak sesuai dengan
acuan yang telah disusun.
Persoalan penataan ruang pada dasarnya berakar pada bagaimana
pelaksanaan pembangunan dilakukan. Dalam pelaksanaan pembangunan
suatu kawasan seringkali tidak sejalan dengan rencana tata ruang yang telah
disusun dan menjadikan keduanya sebagai suatu hal yang bertentangan.
Seringkali rencana tata ruang yang telah disusun akan tetap menjadi suatu
dokumen sedangkan pelaksanaan pembangunan tetap berjalan berdasarkan
permintaan pasar. Ketidaksesuaian antara rencana tata ruang yang telah
disusun dengan pelaksanaan pembangunan ini membutuhkan apa yang
disebut dengan pengendalian. Dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang dijelaskan bahwa pengendalian merupakan bagian dari
proses penyelenggaraan penataan ruang yang berupaya untuk mewujudkan
tertib tata ruang. Kegiatan ini dilakukan dalam rangka memastikan bahwa
proses pemanfaatan ruang telah sesuai dengan rencana tata ruang yang
berlaku.
Mengingat pengendalian pertanahan dan pengendalian pemanfaatan
ruang belum menjadi sebuah mainstream, maka agenda pengendalian
penguasaan dan pemilikan tanah juga belum optimal. Bahkan ada
kecenderungan pengendalian penguasaan dan pemilikan tanah tersisihkan

11

oleh perijinan pemanfaatan tanah/ruang yang mendukung tumbuhnya
investasi. Akibatnya, muncullah konflik penguasaan dan pemilikan tanah serta
konflik pemanfaatan ruang, serta ancaman degradasi lingkungan dan
tersubordinasinya masyarakat lokal dari ruang hidupnya.
C. METODOLOGI
Naskah ini disusun melalui desk study terhadap beberapa regulasi dan
beberapa pengalaman empirik berkenaan dengan kondisi kekinian wilayah
pulau-pulau kecil. Deskriptif kualitatif digunakan untuk mengartikulasikan
realitas dan gagasan pentingnya pengendalian penguasaan dan pemilikan
tanah melalui integrasi urusan pertanahan dan penataan ruang.
Content analysis dilakukan untuk mengkaji kondisi eksisting
berkenaan

dengan

problematikanya

pulau-pulau

serta

peluang

kecil,

kebijakan

dimunculkannya

pengelolaan

strategi

dan

pengendalian

penguasaan dan pemilikan tanahnya. Hal ini dilakukan agar gagasan
pengendalian penguasaan dan pemilikan tanah pada pulau-pulau kecil dapat
dilakukan dengan taat asas dan sinkron dengan kebijakan pemanfaatan ruang
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Analisis

terhadap

Ruang/Badan

kelembagaan

Pertanahan

Nasional,

Kementerian
yang

Agraria

dan

mengintegrasikan

Tata

urusan

pemerintahan di bidang pertanahan dan tata ruang, menjadi peluang dan titik
masuk dalam penyusunan alternatif strategi pengendalian penguasaan dan
pemilikan tanah pada pulau-pulau kecil di Indonesia.
D. PROBLEMATIKA PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL DI INDONESIA
Pengertian
operasionalnya

pulau-pulau

maupun

luasan

kecil

sangat

wilayahnya.

beragam,
Rokhmin

baik

definisi

Dahuri

(1998)

mendefinisikan pulau kecil adalah pulau yang berukuran kecil yang secara
ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland) dan memiliki batas yang pasti
dan terisolasi dari habitat lain, dengan luas kurang dari 10.000 km2. Ada juga
yang mendefinisikan pulau-pulau kecil adalah pulau dengan luas kurang dari
2000 km2 (Patittingi, 2012). Secara normatif, berdasarkan UU 27/2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Pulau Kecil adalah pulau
dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km² (duaribu kilometer persegi)

12

beserta kesatuan Ekosistemnya. Definisi ini juga sama dengan definisi yang
diatur dalam Pedoman Umum Pengelolaan Pulau-pulau Kecil yang Berkelanjutan
dan Berbasis Masyarakat6. Adapun karakteristik pulau-pulau kecil adalah: (a)
pulau yang ukuran luasnya kurang atau sama dengan 2000 km2 dengan jumlah
penduduk kurang atau sama dengan 200.000 orang; (b) secara ekologis terpisah
dari induknya, memiliki batas fisik yang jelas dan terpencil; (c) mempunyai
sejumlah besar endemik dan keanekaragaman yang tipikal dan bernilai tinggi; (d)
memiliki catchment area yang kecil; (e) bersifat khas dari segi sosial, ekonomi
dan budaya masyarakat.
Perlunya pengelolaan pulau-pulau kecil disadari karena pulau-pulau kecil
mempunyai arti penting untuk pertahanan keamanan, kepentingan ekonomi dan
untuk kepentingan ekologis. Namun demikian, dalam pengelolaan pulau-pulau
kecil ditemukan beberapa persoalan, seperti (Patittingi, 2012): (a) belum jelasnya
definisi operasional pulau-pulau kecil; (b) kurangnya data dan informasi; (c)
kurang berpihaknya pemerintah dalam pengelolaan; (d) belum optimalnya fungsi
pertahanan dan keamanan; (e) masih tingginya disparitas pembangunan antar
pulau; (f) terbatasnya sarana dan prasarana dasar; (g) tingginya konflik
kepentingan; (h) terjadinya degradasi lingkungan.
Menurut Direktur Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal, Bappenas
(2010), berbagai permasalahan menyangkut pulau-pulau kecil antara lain: (a)
tingkat kesejahteraan masyarakat yang menghuni pulau-pulau kecil sangat
rendah umumnya tingkat pendidikannya sangat rendah dan masih banyak yang
buta huruf; (b) sebagian terbesar penduduk di pulau kecil sangat bergantung
pada sektor pertanian (termasuk perikanan, peternakan dan kehutanan); (c)
beberapa pulau di wilayah perbatasan Indonesia dengan negara-negara
tetangga rawan terhadap infiltrasi asing, sehingga perlu pengelolaan yang
spesifik; (d) lokasi yang terisolir, menyebabkan kurangnya akses terhaap
teknologi dan investasi yang menyebabkan produktivitas pengelolaan SDA
sangat rendah; (e) sebagian pulau-pulau kecil telah rusak akibat dari eksploitasi;
(f) ketersediaan infrastruktur dan prasarana perhubungan sangat terbatas,
sehingga biaya transportasi menjadi mahal; (g) kegiatan ekonomi dilakukan
berdasarkan

pendekatan

sektoral

maka

pengelolaan

pulau-pulau

kecil

cenderung bersifat eksploitatif, dan merusak lingkungan; (h) perencanaan
6 Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 41 Tahun 2000

13

pembangunan oleh Pemerintah dan

Pemda belum banyak menyentuh

pembangunan pulau kecil/ terluar.
Permasalahan lain yang tidak kalah pentingnya berkaitan dengan aspek
land management, antara lain: (a) belum jelasnya pengaturan penguasaan dan
pemilikan tanahnya, sehingga menimbulkan konflik penguasaan dan pemilikan;
(b)

belum

terpetakannya

bidang-bidang

tanah

secara

keseluruhan;

(c)

munculnya konflik penggunaan dan pemanfaatan tanahnya; (d) adanya
kerancuan kelembagaan antar kementerian/lembaga maupun pemerintah
daerah; (e) belum sinkronnya mekanisme perijinan pemanfaatan ruang/tanah
dengan proses-proses pemberian hak atas tanahnya.
Berkenaan dengan penguasaan tanahnya, secara empirik penguasaan
tanah di pulau-pulau kecil terbagi menjadi dua, yaitu dikuasai oleh masyarakat
lokal dan dikuasai oleh swasta. Patittingi (2012) menemukan bahwa pulau-pulau
kecil yang dikuasai oleh masyarakat lokal dikategorikan menjadi dua, yaitu:
1. Penguasaan pulau oleh perorangan, yakni satu pulau secara keseluruhan
dikuasai oleh satu subjek hukum yang diperoleh secara turun-temurun.
Contohnya adalah Pulau Dutungeng dan Pulau Bakki dk Kabupaten Barru,
Sulawesi Selatan;
2. Penguasaan tanah dari bagian pulau oleh perorangan, yakni penguasaan
tanah di pulau-pulau kecil dengan status hak milik perorangan, yang diperoleh
dengan proses pengakuan hak, pemberian hak ataupun penguasaan dengan
HGB.
Penguasaan tanah pulau kecil oleh swasta (investor), terbagi menjadi dua
yaitu penguasaan dengan HGB dan penguasaan tanah yang didasarkan pada
perijinan dan perjanjian kerjasama. Penguasaan tanah dalam bentuk terakhir
merupakan penguasaan tanah berdasarkan surat ijin, rekomendasi atau
kebijaksanaan dalam bentuk lain (kerjasama) dari pemerintah daerah atau
instansi terkait untuk menggunakan tanahnya. Realitas menunjukkan bahwa
meskipun hanya berdasarkan pada surat perijinan, tetapi pemegang ijin telah
menguasai tanah dan melaksanakan aktivitas seperti layaknya pemegang hak
atas tanah (Patittingi, 2012). Kondisi seperti inilah yang berpotensi memunculkan
konflik, baik konflik penguasaan maupun penggunaan tanahnya.
Berkenaan dengan hal di atas, maka penataan penguasaan dan
pemilikan tanah pada pulau-pulau kecil menjadi prioritas utama dalam

14

pengelolaan, mengingat hubungan hukum antara subjek dan objek hak atas
tanah adalah faktor paling mendasar di wilayah ini. Apabila penataan
penguasaan tanah di pulau-pulau kecil sudah dilakukan, maka baru dapat
disusun strategi pengelolaan yang mencakup aspek keterpaduan, kewenangan
kelembagaan dan partisipasi masyarakat, agar pulau-pulau kecil dapat
bermanfaat secara optimal dengan tetap terjaga kelestariannya.
E. STRATEGI PENGENDALIAN PENGUASAAN DAN PEMILIKAN TANAH
PADA PULAU-PULAU KECIL
Penataan Penguasaan dan Pemilikan Tanah pada pulau-pulau kecil harus
dilakukan secara khusus, tidak sekedar menjadi bagian dari

legalisasi aset

ataupun pendaftaran tanah sebagaimana lazimnya. Ini penting dilakukan agar
segala aktivitas penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah,
kemungkinan-kemungkinan pengembangannya dapat dilakukan, dimonitor dan
dievaluasi secara khusus dan berkelanjutan.
Penataan penguasaan dan pemilikan tanah pada pulau-pulau kecil harus
mengedepankan agenda pengendalian, agar penguasaan dan pemilikan
tanahnya dapat lebih berkeadilan dan berkelanjutan. Berkenaan dengan hal
tersebut, beberapa strategi pengendalian yang dapat diajukan adalah:
1. Strategi Kelembagaan
Terbentuknya Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan
Nasional (ATR/BPN) merupakan peluang terwujudnya integrasi kelembagaan
pertanahan dan penataan ruang. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 17
Tahun 2015 tentang Kementerian Agraria dan Tata Ruang, urusan penataan
ruang berkembang dari satu ditjend menjadi dua ditjend, yakni Ditjend Tata
Ruang dan Ditjend Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan Penguasaan
Tanah.
Integrasi kelembagaan secara eksplisit termaktub pada Direktorat
Jenderal Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan Penguasaan Tanah yang
mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan
di bidang pengendalian pemanfaatan ruang dan penguasaan tanah serta
penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar, serta menyelenggarakan
fungsi:

15

a. perumusan kebijakan di bidang pengendalian pemanfaatan ruang dan
penguasaan tanah serta penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar;
b. pelaksanaan kebijakan di bidang pengendalian pemanfaatan ruang dan
penguasaan tanah serta penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar;
c. penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pengendalian
pemanfaatan ruang dan penguasaan tanah serta penertiban dan
pendayagunaan tanah terlantar;
d. pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang pengendalian
pemanfaatan ruang dan penguasaan tanah serta penertiban dan
pendayagunaan tanah terlantar;
e. pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang pengendalian pemanfaatan
ruang dan penguasaan tanah serta penertiban dan pendayagunaan tanah
terlantar;
f. pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Pengendalian Pemanfaatan
Ruang dan Penguasaan Tanah; dan
g. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Menteri.
Munculnya kelembagaan pengendalian pemanfaatan
penguasaan

tanah

pada

level

ditjend

menunjukkan

ruang

bahwa

dan
aspek

pengendalian adalah aspek yang sangat strategis dan perlu mendapatkan
perhatian. Hal ini sejalan dengan dicanangkannya Program Peningkatan
Pengawasan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang (P5R) oleh Ditjend
Penataan Ruang, Kementerian PU pada tahun 2014 lalu. Program ini
dikedepankan,

mengingat

sudah

saatnya

mengalihkan

fokus

utama

pelaksanaan penataan ruang dan perencanaan tata ruang ke pengendalian
pemanfaatan ruang (Hadimoeljono, B. 2013).
Program P5R ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas
pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang di pusat dan di daerah
dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan penataan ruang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan serta menciptakan tertib tata
ruang. Untuk mencapai tujuan tersebut, sasaran yang hendak dicapai
program ini adalah:
a. Terwujudnya tata kelola dan kelembagaan pengawasan dan pengendalian
pemanfaatan ruang yang efektif dan efisien;
b. Peningkatan peran serta masyarakat atau komunitas dalam pengawasan
dan pengendalian pemanfaatan ruang;

16

c. Tersedianya mekanisme/tata cara dalam manajemen

pengawasan dan

pengendalian pemanfaatan ruang;
d. Tersedianya Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) pengawasan
dan pengendalian pemanfaatan ruang;
e. Terciptanya aparatur atau Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas
dalam pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Meskipun
kelembagaan,

belum
tetapi

operasional

program

ini

karena

sejalan

adanya

dengan

restrukturisasi

menguatnya

rejim

pengendalian pemanfaatan ruang sekaligus dengan terbentuknya ditjend
pengendalian

pemanfaatan

ruang

dan

pertanahan.

Bahkan

content

pengendalian pemanfaatan ruang dan penguasaan tanah serta penertiban
dan pendayagunaan tanah terlantar yang berada dalam satu ditjend
merupakan langkah produktif dan sangat tepat dalam rangka pengendalian
pemanfaatan ruang dan penguasaan tanah. Kata pentingnya adalah
penyatuan

pengendalian

pemanfaatan

ruang

dengan

pengendalian

penguasaan tanah, yang selama ini masih sektoral dan belum terhubung satu
sama lain.
Pembentukan

dan

pengembangan

kelembagaan

pengendalian

pemanfaatan ruang dan penguasaan tanah merupakan strategi yang harus
dijalankan dan dioperasionalkan, baik untuk kelembagaan pada level pusat
maupun daerah. Adapun kelembagaan pengendalian penguasaan dan
pemilikan tanah pada pulau-pulau kecil menjadi bagian penting dari
kelembagaan ini.
2. Strategi Regulasi
Untuk mengharmonikan berbagai regulasi yang mengatur tentang
agraria, ruang dan tanah maka strategi penataan regulasi menjadi hal yang
urgent sekaligus emergence dalam rangka pengendalian penguasaan dan
pemilikan tanah pada pulau-pulau kecil. Beberapa regulasi yang saling terkait
dalam pengaturan pulau-pulau kecil adalah UU 5/1960, UU 26/2007, UU
27/2007 dan UU 23/2014.
Makna yang sama antara ‘agraria’ dalam UUPA dan ‘ruang’ dalam
UUPR merupakan entry point dalam harmonisasi pengaturan penguasaan
tanah (land tenure) dan sumber-sumber agraria lainnya dengan penggunaan

17

dan pemanfaatan ruangnya. Kelembagaan pengendalian pemanfaatan ruang
dan penguasaan tanah dalam Kementerian ATR/BPN harus mampu
melakukan harmonisasi ini, mengingat kelembagaan tersebut sudah berada
dalam satu kementerian.
Di samping itu, harmonisasi juga perlu dilakukan dengan UU 27/2007
dan UU 23/2014, mengingat saat ini masih muncul kerancuan kewenangan
dalam pengaturan ruang pada pulau-pulau kecil. Kewenangan dalam hal
penguasaan dan pemilikan tanah sudah jelas menjadi otoritas Kementerian
ATR/BPN.
3. Strategi Instrumen Pengendalian
Pengendalian penguasaan dan pemilikan tanah pada pulau-pulau kecil
mensyaratkan adanya instrumen pengendalian yang dapat dioperasionalkan.
Strategi penyusunan instrumen pengendalian menjadi hal yang pokok untuk
segera dilakukan. Instrumen pengendalian ini perlu dikembangkan dan
diintegrasikan dengan instrumen pengendalian pemanfaatan ruang (peraturan
zonasi, perijinan, insentif-disinsentif dan sanksi).
Instrumen pengendalian ini juga harus secara nyata ada di daerah
sesuai dengan kewenangan pemerintah daerah. Instrumen dalam bentuk
RDTR perlu dikombinasikan dengan instrumen Neraca Penatagunaan Tanah
yang merupakan kegiatan penetapan perimbangan antara ketersediaan dan
kebutuhan penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah menurut fungsi
kawasan (PP 16/2004).
4. Strategi Implementasi Kebijakan
Strategi implementasi dalam pengendalian penguasaan dan pemilikan
tanah perlu dilakukan melalui beberapa hal, yakni: (a) Menempatkan
penyelenggaraan

penataan

ruang

(perencanaan,

pemanfaatan

dan

pengendalian pemanfaatan) dalam bingkai land management. Dalam hal ini,
penguasaan dan pemilikan tanah merupakan satu kesatuan dengan
penggunaan dan pemanfaatan ruang; (b) Secara substantif dan administratif,
proses pemberian hak atas tanah harus terintegrasi dengan pemanfaatan
ruangnya.

18

LPKS
eaep
mnea
bdmt
eMba
rUTaal
isenaP
aenal
nugna
reAn
HemTn
aeRi
knBn
tPg
N

l

g

/

Gambar 2. Skema Integrasi Pemberian Hak dan Penataan Ruang
F.

AGENDA MEWUJUDKAN TERTIB RUANG DAN TERTIB PENGUASAAN
& PEMILIKAN TANAH PADA PULAU-PULAU KECIL
Strategi pengendalian penguasaan dan pemilikan tanah pada pulau-pulau

kecil perlu dijabarkan ke dalam agenda yang berorientasi pada terwujudnya tertib
ruang dan tertib penguasaan dan pemilikan tanah. Agenda tersebut harus
mengikuti berbagai tahapan yang taat azas agar hasilnya dapat memberikan
arahan dalam pengendalian penguasaan dan pemilikan tanah sekaligus
pengendalian pemanfaatan ruang dengan tetap mengakomodasi semua stake
holder yang mempunyai kepentingan terhadap keberlanjutan wilayah di pulaupulau kecil.
1. Agenda Kelembagaan
a. Pembentukan kelembagaan pengendalian penguasaan tanah di pulaupulau kecil di bawah koordinasi Ditjend Pengendalian Pemanfaatan Ruang
dan Penguasaan Tanah;
b. Penguatan Kelembagaan Pertanahan dan Penataan Ruang di Daerah,
melalui pemberian kewenangan dalam pengendalian penguasaan dan
pemilikan tanah serta pemanfaatan ruang pada pulau-pulau kecil;
c. Identifikasi subjek dan objek hak yang secara eksisting sudah menguasai
sebagian wilayah pulau-pulau kecil. Kegiatan ini dikenal dengan
Identifikasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah
(IP4T) yang menjadi domain BPN.
d. Legalisasi aset tanah pada pulau-pulau kecil secara sistematik;

19

e. Pembangunan Sistem Informasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan
f.

dan Pemanfaatan Tanah (P4T) di pulau-pulau kecil;
Mempercepat proses penyusunan Rencana Rinci Tata Ruang dalam

bentuk Rencana Tata Ruang Pulau;
g. Mendorong tumbuhnya partisipasi masyarakat dalam pengendalian
penguasaan tanah dan pemanfaatan ruang pada pulau-pulau kecil;
h. Meningkatkan koordinasi dengan institusi terkait (Kementerian Kelautan
dan Perikanan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan, Kementerian Desa dan Transmigrasi serta
Pemerintah Daerah) dalam pengelolaan pertanahan pulau-pulau kecil,
utamanya terkait pengendalian penguasaan dan pemilikan tanah serta
pengendalian pemanfaatan ruang.
2. Agenda Regulasi
a. Harmonisasi regulasi, melalui pembentukan peraturan perundangan yang
mendasarkan pada UUPA, UU Penataan Ruang & UU Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan PPK, berkenaan dengan pengelolaan pulau-pulau
kecil;
b. Melakukan kajian berkenaan dengan integrasi pengelolaan pertanahan
(land management) dengan penataan ruang, baik secara substansial
maupun secara administratif;
c. Merumuskan definisi dan kriteria pulau-pulau kecil berikut batasan-batasan
dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanahnya.
3.

Agenda Penyediaan Instrumen Pengendalian
a. Mewujudkan ketersediaan instrumen pengendalian penguasaan dan
pemilikan tanah;
b. Melakukan kajian, penyusunan naskah akademik hingga penyusunan dan
penetapan instrumen pengendalian penguasaan dan pemilikan tanah pada
pulau-pulau kecil;
c. Memfasilitasi percepatan penyusunan Rencana Tata Ruang Pulau, untuk
pulau-pulau kecil di seluruh Indonesia.

4. Agenda dalam Implementasi Kebijakan Pengendalian

20

a. Mengimplementasikan seluruh kebijakan pengendalian penguasaan dan
pemilikan tanah pada pulau-pulau kecil secara terencana, terintegrasi dan
berkelanjutan;
b. Mengintegrasikan perijinan penggunaan dan pemanfaatan ruang/tanah
dengan proses pemberian hak atas tanah;
c. Melakukan pengawasan, monitoring dan evaluasi dalam pemberian
perijinan penggunaan dan pemanfaatan ruang/tanah;
d. Melakukan pengawasan, monitoring dan evaluasi dalam pemberian hak
atas tanah;
e. Mensinkronkan berbagai kewenangan dan kepentingan antar stake holder
yang berkepentingan terhadap pengelolaan pulau-pulau kecil.
Agenda-agenda di atas perlu dilakukan secara simultan, berdasarkan
strategi yang telah ditetapkan melalui kelembagaan baru yang mengintegrasikan
urusan pemerintahan di bidang pertanahan dan penataan ruang. Dalam hal ini,
apabila bidang-bidang tanah di wilayah pulau-pulau kecil sudah jelas subjek dan
objek haknya, maka semua aktivitas pembangunan, baik yang diinisiasi oleh
masyarakat, kalangan swasta maupun pemerintah tinggal menyesuaikan dengan
kebutuhan dan mendasarkan pada arahan pembangunan dan zonasi yang telah
ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Pulau. Kondisi ini akan menjadi bagian
pokok dalam upaya perwujudan pengendalian penguasaan dan pemilikan tanah
pada pulau-pulau kecil.
G. PELUANG KELEMBAGAAN DALAM INTEGRASI
PERTANAHAN DAN PENATAAN RUANG.

PENGELOLAAN

Berdasarkan UUPA, negara mempunyai hak dan kewenangan dalam
pengelolaan keagrariaan dan sumberdaya alam, termasuk pertanahan, yang
disebut

dengan

Hak

menguasai

dari

Negara.

Hak

tersebut

memberi

kewewenangan pada negara untuk: (a) mengatur dan menyelenggarakan
peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang
angkasa tersebut; (b) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; (c) menentukan dan
mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatanperbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Dalam konteks

21

penataan ruang, berdasarkan UU Penataan Ruang, negara mempunyai
kewajiban dalam menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besar
kemakmuran

rakyat,

yang

pelaksanaan

tugasnya

kewenangan penyelenggaraan penataan ruang

negara

memberikan

kepada pemerintah

dan

pemerintah daerah.
Berdasarkan hal di atas, ternyata kedua regulasi berorientasi pada
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Bahkan konsep ‘agraria’ pada UUPA dan
konsep ‘ruang’ pada UU Penataaan Ruang memiliki makna yang sama dan
sesuai dengan konstitusi, utamanya Pasal 33 (3) UUD 1945.
Dalam konteks kekinian, Perpres Nomor 165 Tahun 2014 tentang
Penataan Tugas dan Fungsi Kabinet Kerja, telah dibentuk Kementeriaan Agraria
dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Perpres ini telah ditindaklanjuti
dengan Perpres Nomor 17 Tahun 2015 tentang Kementerian Agraria dan Tata
Ruang dan Perpres Nomor 20 Tahun 2015 tentang Badan Pertanahan Nasional.
Kedua perpres ini mengganti Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang
Badan Pertanahan Nasional (BPN), yang diubah dengan Perpres 85 Tahun 2012
dan terakhir dengan Perpres 63 Tahun 2013 tentang Badan Pertanahan
Nasional.
Pada dasarnya perubahan nomenklatur kementerian tidak hanya sekedar
berkenaan dengan tugas dan fungsi kementerian berikut struktur organisasinya
yang

berubah,

tetapi

juga

‘ruh’,

semangat

bahkan

ideologi

dalam

penyelenggaraan pemerintahan juga berubah. Dalam hal ini penyatuan agraria,
tata ruang dan pertanahan dalam satu kementerian mempunyai landasan
filosofis dan yuridis yang dapat dipertanggungjawabkan. Pasal 33 ayat 3 UUD
1945 menyatakan bahwa "Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat".

Frase ‘dikuasai negara’, dalam hal ini negara tidak

memiliki tetapi menguasai dengan ‘Hak Menguasai oleh Negara’ (HMN), yang
mempunyai wewenang mengatur, mengelola, dan menyelenggarakan agar
tanah-air

Indonesia

digunakan

dan

dimanfaatkan

untuk

sebesar-besar

kemakmuran rakyat. Sedangkan frasa ‘untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat’,
mempunyai makna bahwa pemanfaatan sumberdaya alam bukan untuk

22

kepentingan negara atau pemerintah, tetapi untuk kesejahteraan rakyat
Indonesia.
Amanat pengelolaan bumi, air dan kekayaan alam untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat, yang menurut Yance Arizona (2014) sebagai konstitusi
agraria, menjadi landasan yang kuat untuk mewujudkan agenda kesejahteraan
rakyat melalui pengelolaan agraria, ruang dan pertanahan secara terintegrasi.
Disisi lain, Nawacita yang dicita-citakan oleh Jokowi–JK, paling tidak memuat tiga
agenda yang bertautan sangat kuat dengan persoalan agraria, tata ruang dan
pertanahan, yakni: (1) memberikan jaminan kepastian hukum hak kepemilikan
atas tanah, penyelesaian sengketa tanah dan menentang kriminalisasi
penuntutan kembali hak tanah masyarakat; (2) peningkatan kesejahteraan
masyarakat dengan mendorong landreform dan program kepemilikan tanah
seluas 9 juta hektar; serta (3) mewujudkan kedaulatan pangan melalui perbaikan
jaringan irigasi dan pembukaan 1 juta hektar sawah baru.
Meskipun belum operasional karena adanya restrukturisasi kelembagaan,
tetapi program ini sejalan dengan menguatnya rejim pengendalian pemanfaatan
ruang sekaligus dengan terbentuknya Ditjend Pengendalian Pemanfaatan Ruang
dan Penguasaan Tanah. Bahkan content pengendalian pemanfaatan ruang dan
penguasaan tanah serta penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar yang
berada dalam satu ditjend merupakan langkah produktif dan sangat tepat dalam
rangka pengendalian pemanfaatan ruang dan penguasaan tanah.
Dalam konteks pengendalian penguasaan dan pemilikan tanah pada
pulau-pulau kecil, kata kuncinya adalah penyatuan pengendalian pemanfaatan
ruang dengan pengendalian penguasaan tanah, yang selama ini masih sektoral
dan belum terhubung satu sama lain. Padahal institusi di Bappenas sudah cukup
lama terbentuk Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, yang mengkoordinasikan
perencanaan bidang tugas kementerian/lembaga yang mengurusi tata ruang dan
pertanahan. Hal ini menunjukkan bahwa, secara substansial dan secara
kelembagaan

pengintegrasian

pengelolaan

pertanahan

dengan

penyelenggaraan penataan ruang adalah hal yang tepat. Dengan demikian,
maka peluang kelembagaan dalam integrasi pengelolaan pertanahan dan

23

penataan

ruang

harus berkontribusi

positif

dalam

upaya

pengendalian

penguasaan dan pemilikan tanah pada pulau-pulau kecil di Indonesia.
Berdasarkan peluang tersebut, maka beberapa hal yang harus segera
mendapatkan perhatian dan respon secara memadai berhubungan dengan
pengendalian penguasaan dan pemilikan tanah pada pulau-pulau kecil adalah:
a. Integrasi Kelembagaan Tata Ruang Daerah. Selama ini kelembagaan tata
ruang di daerah berada di pemerintah daerah, baik di Bappeda maupun di
SKPD lainnya. Bahkan ada pemda yang memiliki beberapa struktur institusi
yang mengurusi tata ruang, misal: di Bappeda ada Bidang Tata ruang, di
Dinas PU juga ada Bidang Tata Ruang dan di Sekretariat Daerah juga ada
Bagian Tata Ruang. Sinkronisasi dilakukan oleh BKPRD yang diketuai oleh
Sekretaris Daerah. Dalam hal adanya beberapa struktur institusi tata ruang
yang berbeda-beda, maka perlu dilakukan integrasi menjadi satu SKPD teknis
yang berupa dinas, agar kelembagaan tata ruang daerah dapat berjalan
dengan efektif dan efisien.
b. Sinkronisasi kelembagaan dilakukan oleh Kementerian ATR/BPN.

Hal ini

dilakukan mengingat pengelolaan agraria dan pertanahan dilakukan oleh
Kanwil BPN dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota sebagai institusi vertikal
di bawah BPN. Dalam hal ini, Kementerian ATR/BPN mempunyai ‘dua kaki’ di
daerah, yakni Pemda dan BPN Daerah (Kanwil dan Kantah).
c. Pengaturan hubungan antara kelembagaan tata ruang daerah dengan Kanwil
BPN dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Pengaturan hubungan ini
penting dalam rangka integrasi pemberian hak atas tanah (oleh BPN) dengan
penggunaan dan pemanfaatan ruang (oleh Pemda) yang keduanya berada di
bawah koordinasi Kementerian ATR/BPN.
d. Penyelenggaraan perijinan penggunaan dan pemanfaatan ruang pada wilayah
pulau-pulau kecil harus seiring dengan proses pemberian hak atas tanah.
Hal-hal di atas hanya dapat dilakukan apabila penataan penguasaan dan
pemilikan tanah sebagai basis penataan ruang wilayah pada pulau-pulau kecil
sudah direalisasikan secara baik dan berkeadilan. Untuk memastikan itu, maka
upaya pengendalian penguasaan dan pemilikan tanah pada pulau-pulau kecil di

24

Indonesia dilakukan melalui pengintegrasian pengelolaan pertanahan dengan
penyelenggaraan penataan ruang.
H. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
a. Pengendalian penguasaan dan pemilikan tanah pada wilayah pulau-pulau
kecil dapat dilakukan dengan pengintegrasian pengelolaan pertanahan
dan penataan ruang melalui bingkai land management;
b. Strategi pengintegrasian pengelolaan pertanahan dan penataan ruang
dalam

pengendalian

penguasaan

dan

pemilikan

tanah

dioperasionalisasikan melalui agenda penguatan kelembagaa