Isu dan Dilema Dalam Bioetika

Isu dan Dilema Dalam Bioetika

Qomariyah Sachrowardi
Ferryal Basbeth

Penyunting:
Juneman

Penerbit:
Asosiasi Ilmu Forensik Indonesia
bekerjasama dengan
Universitas YARSI

ISU DAN DILEMA DALAM BIOETIKA
ISBN 978-602-14208-1-2
Penulis:
Qomariyah Sachrowardi
Ferryal Basbeth
Penyunting:
Juneman
Perwajahan sampul: Tommy Hendrawan & Juneman

Hak cipta dilindungi oleh Undang Undang.
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penulis dan Penerbit.

Cetakan Pertama, Juli, 2013
xv + 190 halaman
14,8 x 21 cm
Penerbit:
Asosiasi Ilmu Forensik Indonesia (AIFI)
bekerjasama dengan Universitas YARSI
d.a. Menara YARSI
Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
Fakultas Kedokteran Universitas YARSI
Jl. Letjen Suprapto, Cempaka Putih, DKI Jakarta 10510
Telp: (021) 4213065; Fax: (021) 4213065
Situs web: http://www.aifi.or.id; E-mail: info@aifi.or.id

Pengantar Penyunting
Bioetika secara luas diartikan sebagai etika yang diterapkan
dalam ilmu-ilmu kehidupan (life sciences) dan dalam praktik

pemeliharaan kesehatan. Kajian bioetika sesungguhnya
mencakup bioetika medis, bioetika lingkungan, bioetika klinis,
bioetika keperawatan (Reich, 1995), bahkan bioetika hukum.
Buku yang ada di hadapan Anda menyajikan isu dan dilema
bioetis pada transplantasi ginjal, resusitasi jantung paru,
surrogacy, dan kanker. Buku ini melengkapi dirinya dengan
uraian tentang etika riset dan paten dalam ilmu kedokteran.
Sejarah sampai dengan perkembangan kontemporer dari isu dan
dilema pada masing-masing bidang bahasan diuraikan secara
cukup terperinci oleh para penulis. Oleh karena itu, di samping
berguna sebagai referensi mahasiswa ilmu kedokteran dan ilmu
kesehatan lainnya dalam perkuliahan dan penyusunan tugas
akhir, buku ini diharapkan memberikan penyegaran bagi para
aktor di dunia kedokteran dan kesehatan, khususnya yang
sempat terhenti dalam gelutnya di dunia tersebut.
Dalam kesempatan ini, saya hendak mengisi relung yang
masih kosong yang belum banyak tersentuh oleh kedua penulis.
Saya akan memberikan uraian ringkas tentang persoalan
interkoneksi antara kultur, termasuk agama dan teknologi,
dengan bioetika. Uraian saya berikut ini harus dipandang lebih

sebagai stimulan dan tantangan bagi gerakan riset dan praktik
yang lebih peka terhadap kultur dalam bidang bioetika di
Indonesia yang kaya akan keragaman etnis, budaya, dan agama.
Saya ingin mulai dengan analisis Jafarey dan Moazam (2010)
yang menegaskan kritik lama bahwa terdapat gejala yang cukup
serius dalam bioetika, yakni “miopia atau rabun jauh kultural”.
Yang dimaksud dengan istilah tersebut adalah dominasi model
dan paradigma bioetika Amerikanis yang berfokus pada
universalisme dan pengabaian atas pengaruh kultural lokal dan
religius yang vital bagi pemahaman terhadap kehidupan moral di
banyak masyarakat. Padahal menurutnya, sejarah, kebudayaan,
sistem nilai, dan situasi-situasi sosio-ekonomi banyak masyarakat
iii
Isu dan Dilema Dalam Bioetika
Pengantar Penyunting

berbeda secara signifikan dengan Amerika Serikat. Mereka
mendengungkan kembali konsep “indigenisasi (pengulayatan)
bioetika”. Selanjutnya, menurut mereka, “internasionalisasi
bioetika” hanya mungkin terjadi apabila dikotomisasi antara hak

dan tanggung jawab, antara yang rasional dan yang non-rasional,
dan antara yang etis dan yang religius diluluhkan. Senada
dengan mereka, Turner (2003) melalui kajian bioetika
komparatif memberikan contoh bahwa dalam sejumlah tradisi
religius, pengalaman akan sakit dan penderitaan individu terletak
pada horizon pemaknaan yang lebih luas. Penderitaan dibuat
dapat dimengerti (intelligible) melalui narasi tentang nasib,
takdir, dan pelanggaran moral. Dengan demikian, ameliorisasi
penderitaan tidaklah wajib secara moral, sebab penderitaan
justru dapat dipandang sebagai hal yang dapat diterima dan
merupakan dimensi yang berharga dalam pengalaman manusia.
Debat yang ditujukan kepada “bioetika kultural” tersebut
datang dari Bracanovic (2011). Ia menyatakan bahwa walaupun
keragaman kultural harus dipahami oleh para pengambil
keputusan dalam konteks bioetis (dokter, perawat, anggota
komite bioetika, pembuat kebijakan publik, dan sebagainya),
namun diversitas kebudayaan bukanlah pilar sentral dari
bioetika, sebab (h. 236):
“… not only because such respect is faced with serious
empirical and conceptual constraints in both theory and

practice, but also because it jeopardizes the normative role
of bioethics and thus undermines its very foundations and
raison d’être.”
Bracanovic mempersoalkan secara serius hal apa yang
dimaksudkan dengan “kultur” oleh para penulis dan peneliti
bioetika. Apabila bioetika wajib menaruh respek terhadap latar
belakang kultural seseorang, pertanyaannya adalah: Unsur kultur
yang manakah yang harus diandaikan sebagai signifikan dan
berbobot dalam berkontribusi terhadap pandangan moral orang
tersebut? Kompleksitas kultural memang merupakan sumber dari
banyak dilema bioetis, namun juga kurang jelas sejauh mana
Isu dan Dilema Dalam Bioetika

iv

Pengantar Penyunting

pengetahuan tentang kompleksitas itu membantu untuk
memperoleh penyelesaian atas dilema etis. Dalam bahasa yang
lain (Kerry, 2004, h. 668):

“Acknowledging cultural differences without understanding
their depth, breadth, and meaning will not work and will
only lead to moral estrangement in complex, diverse,
multicultural societies such as those in which bioethics
exists.”
Belum lagi bila kita mempertimbangkan kenyataan bahwa
pada saat yang sama orang menjadi anggota sub-sub kelompok
kultural yang berbeda (keagamaan, etnisitas, dan sebagainya)
dan memiliki berlapis-lapis identitas kultural, yang di dalamnya
juga terdapat kontradiksi-kontradiksi baik intra- maupun
interkultural. Pertanyaannya: Keanggotaan kultural manakah
yang dapat membantu kita merumuskan keputusan bioetis, dan
mengapa? Di samping itu, nyata bahwa banyak kebudayaan itu
senantiasa bergerak secara dinamis (“living culture”). Pertanyaan
selanjutnya: Bagaimanakah sesuatu yang tidak stabil, atau
berubah secara adaptif terus-menerus, dijadikan sebagai
sandaran bagi pengambilan keputusan bioetis? Jelas di sini
bahwa relativisme kultural tidaklah mengimplikasikan
relativisme etika. Dalam hal ini, kita patut mempertimbangkan
secara cermat peringatan Bertens (2001, h. 15):

“Mustahillah bila setiap kebudayaan mempunyai etikanya
sendiri. Etika melampaui keterbatasan kebudayaan dan
mengikat kita semua sebagai manusia. Etika menuju ke
universalisme. Justru karena itu kita bisa berdiskusi tentang
masalah-masalah etis dan mengkritik perilaku moral di
tempat lain.”
Pertanyaan kritis terhadap proposisi Bertens di atas adalah,
“Apakah ‘bioetika global’ itu memang mungkin ada? Apakah
bioetika global merupakan antitesis terhadap bioetika kultural?”
Bioetika global, menurut salah satu definisi, adalah serangkaian
Isu dan Dilema Dalam Bioetika

v

Pengantar Penyunting

standar, norma, atau prinsip yang diharapkan dapat memperoleh
pengakuan global (Zeiler, 2009). Menurut Zelier, bioetika global
mungkin ada, bahkan diharapkan ada, sejauh bioetika ini
mengakui dan menghormati yang lain (the other) itu sebagai

yang sama (same) sekaligus yang berbeda (different) dari diri
(self) kita. Hermeneutika kritis dapat membantu kita dalam
rangka ini. Yang dimaksud adalah bagaimana para aktor yang
bersinggungan dengan masalah etis mengizinkan keragaman etis
namun menerima pula adanya prinsip-prinsip inti dalam bioetika
yang mengakui adanya komonalitas sekaligus distingsi antara diri
dan yang lain. Penggelut bioetika global mampu
mempertanyakan praktik-praktik etis diri sendiri (selfquestioning) sekaligus juga mampu mempertanyakan praktikpraktis etis yang lain. Bioetika global membawa kita memiliki
pandangan yang positif atas keragaman kultural tanpa harus
membawa kepada relativisme etis. Ringkasnya, landasan
bioetika global adalah pandangan bahwa (Zeiler, 2009, h. 144):
“The otherness of the other is still acknowledged and
recognized—and the sameness of the other makes
communication possible.”
Dalam kaitannya dengan keragaman etis, Blustein (2001)
mengangkat terminologi “urban bioethics”. Ia menekankan
adanya tiga masalah dalam bioetika dalam setting perkotaan,
yakni ketidaksetaraan sosial-ekonomi sebagai determinan
ketidaksetaraan kesehatan, fondasi etika kesehatan publik, serta
pengaruh konteks sosial terhadap aliansi terapeutik antara pasien

dan tenaga kesehatan. Pernyataan menarik dari Blustein
sehubungan dengan hal ini adalah (h. 13-14):
“These key ‘elements of urbanism which mark it as a
distinctive mode of human group life’—size, density, and
heterogeneity—define the context within which urban
populations are subject to specific health risks and give rise
to pressing urban bioethical problems …. Unlike bioethicists
in the past, who tended to talk about ‘the’ doctor-patient
Isu dan Dilema Dalam Bioetika

vi

Pengantar Penyunting

relationship as a kind of ideal construction that could be
isolated from its context, urban bioethics takes seriously the
various factors in contemporary urban life that threaten that
relationship …. The doctor-patient relationship as understood
by urban bioethics is frequently an embattled relationship,
and the trust on which it depends is both elusive and

tenuous …. When we act disrespectfully, who or what is
wronged or insulted, a culture or an individual?”
Blustein menyarankan dengan kuat agar pemecahan masalah
bioetis dalam konteks urban meninggalkan pendekatan lama
yang bersifat monolog, dan beralih ke pendekatan baru yang
bersifat dialog. Yang menarik adalah bahwa dialog tidak selalu
berujung pada konsensus. Sebagai contoh konkret, berbagai
kelompok di dunia terbelah antara yang pro terhadap distribusi
kondom bagi siswa sekolah menengah untuk mencegah
penyebaran penyakit seksual, dan yang kontra terhadapnya.
Bagaimana pertentangan yang degil (intractable disagreements)
yang berakar pada nilai-nilai kultural dan religius yang sangat
divergen ini ditangani dalam rangka kepentingan kesehatan
publik merupakan salah satu dari banyak permasalahan urgen
yang harus diurus oleh bioetika perkotaan (urban bioethics).
Dalam kaitan dengan kemajemukan yang tak terhindarkan
itu, Engelhardt (2003) membuka wacana mengenai bagaimana
seyogianya kita menyikapi gejala adanya sejumlah konsultan
bioetika kontemporer yang tidak menyingkapkan perspektif
moralnya. Kenyataannya, mereka bersifat partisan atau berpihak

pada perspektif moral, religius, atau ideologis tertentu namun
melakukan penyamaran sebagai pembela perspektif moral yang
universal. Apakah pemberian advis moral oleh konsultan
bioetika di tengah-tengah konteks kultural yang kental diwarnai
oleh kontroversi moral ini mensyaratkan agar baik pihak
pemberi advis moral maupun pemangku kepentingannya
mengakui adanya kontroversi, saling menginformasikan satusama lain posisi moral masing-masing?
Persoalan berikutnya berkenaan dengan teknologi. Priaulx
(2011) mengajukan keberatan apabila banyak solusi atas
Isu dan Dilema Dalam Bioetika

vii

Pengantar Penyunting

persoalan manusia menggantungkan diri pada teknologi. Hal ini
disebutnya sebagai gejala “technological imperative”. Keberatan
itu diajukannya karena ia mengamati bahwa bioetika akhir-akhir
ini terlalu didorong oleh perspektif “technosentric”. Proposisi
Priaulx adalah sebagai berikut (h. 174-175, 182-183):
“Mainstream bioethical journals ... readily illustrate the
extent to which technology dominates the contemporary
bioethical imagination .... However, we should be cautious
not to overstate the power of technology and, where
possible, to explore the presence of other and potentially
more fruitful ways of resolving problems …. The danger of
unremitting faith in technology is this: if we uncritically
believe it to be the solution, this can shape our way of seeing
so that it becomes the lens through which we see the world
and its problems …. An honest appraisal of what technology
can do and, critically, an exploration of its limits will make
such a difference to contemporary bioethics.”
Kendati demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan
teknologi telah membawa implikasi yang besar dalam diskusi
bioetika. Sebagai contoh, bioinformatika—“perkawinan” antara
computing dan genetika—yang telah menjadi lahan subur riset
biomedis kontemporer semakin mengintensifkan persoalan etis
yang telah lama ada terkait dengan penelitian genomik
(Goodman & Cava, 2008).
Yang secara khusus disoroti oleh Gupta (2010) adalah bahwa
dalam perdebatan etis dan filosofis dalam bioetika, definisi
mengenai “kehidupan” dan “kualitas hidup” telah banyak
didiskusikan, namun definisi “manusia” selalu diandaikan sudah
kita ketahui. Padahal perkembangan teknologi (termasuk
teknologi digital dan terapeutik) dan media baru, seperti operasi
kosmetik radikal dan komunikasi yang diasisteni oleh komputer,
telah membangkitkan pertanyaan-pertanyaan ontologis tentang
“Siapakah manusia (human)?” dan “Siapakah/apakah yang bukan
manusia (nonhuman)?”. Pertanyaan ini dapat terus berlanjut.
Bagaimanakah manusia berbeda dari “neo-cyborg (cybernetic
viii
Isu dan Dilema Dalam Bioetika
Pengantar Penyunting

organism)”? Apabila ya, bagaimana bioetika tradisional
memperbincangkan status moral mereka? Apakah bioetika
selama ini justru telah terlalu “human-centric” dan melupakan
perkembangan “manusia separuh mesin” ini? Contoh pengaruh
perkembangan teknologi dalam konteks yang lain: Teknologi
dewasa ini telah memungkinkan pameran tubuh manusia yang
telah mati di hadapan publik (exhibitions of plastinated cadavers
and organs), khususnya untuk kepentingan pendidikan
bernuansa estetis (edutainment) tentang anatomi tubuh normal
dan patologis (Raikos et al., 2012). Bagaimanakah bioetika
kontemporer hendaknya menyikapi perkembangan ini?
Akhirnya, di tengah-tengah perdebatan etis yang ada, di
manakah psikologi memainkan peran? Proses pengambilan
keputusan etis (ethical decision-making process) merupakan
proses interaktif yang dipengaruhi oleh faktor sosial dan kultural
ketimbang proses intrapsikis individual (Cottone dalam Testoni
& Zamperini, 2004). Dalam menjawab pertanyaan etis tentang
“hal apa yang baik bagi manusia”, psikologi berperan dalam
menyelidiki
proses-proses
konstruksi
psikologis
yang
memediasikan berbagai posisi-posisi antagonistik, misalnya
antara posisi absolutis dan posisi demokratis, yang ada dalam
“common sense” masyarakat modern. Proposisi ini urgen karena
Testoni dan Zemperini mencermati adanya gejala “ethical
isolation”, yakni keengganan untuk mendorong etika
pribadi/ilmuwan/profesional
dan/atau
institusional
untuk
beranjak menuju etika publik. Sebagai contoh, “consent” selama
ini dipahami sebagai berikut (h. 103):
“Consent is one of the forces driving scientific knowledge
towards common sense, since only through a process of
acculturation is it possible to eliminate hostile and defiant
attitudes, based on the fear of the unknown.”
Dewasa ini, perlu disadari bahwa “consent” merupakan
sebuah konstruksi sosial. Ambil contoh dalam hal transplantasi
organ. Meskipun teknologi medis yang canggih menjamin
kesuksesan operasi transplantasi, ternyata kekurangan organ
untuk transplantasi masih dialami. Berbagai upaya politis,
Isu dan Dilema Dalam Bioetika

ix

Pengantar Penyunting

legislatif, dan sosial bertujuan untuk meningkatkan ketersediaan
organ. Upaya-upaya tersebut menyajikan imajinasi kepada
publik bahwa donasi organ merupakan suatu aksi solidaritas
(“transplantation = unselfishness”). Sebuah identitas sosial
virtual baru dibangun: bahwa ada komunitas warga yang disebut
organ-donating citizen. Semua proses ini merupakan proses
psikologis dari pengaruh opini sosial. Implikasinya, perdebatan
publik mengenai bioetika sesungguhnya merupakan arena sosial
di mana consent-building diupayakan. Psikologi “bertugas”
mempelajari pengaruh sosial yang dihasilkan oleh konfrontasi
antara pengetahuan ilmiah dan praktik etis yang berorientasi
ideologis. Psikologi menganalisis representasi-representasi sosial
(bukan hanya representasi ilmiah) yang hidup tentang
akseptabilitas dan non-akseptabilitas berkenaan dengan tubuh
manusia dan perlakuan pemeliharaan kesehatan terhadapnya.
Pertanyaan maupun uraian yang diajukan di atas saya
harapkan membawa kita kepada refleksi yang lebih mendalam
mengenai persoalan bioetis yang kita hadapi di masa
mendatang. Demikianlah saya hantarkan buku ini ke hadapan
pembaca. Selamat berefleksi!
Jakarta, Juli 2013
Penyunting,
Juneman, S.Psi., M.Si.
Anggota Pendiri Asosiasi Ilmu Forensik Indonesia

Daftar Rujukan
Bertens, K. (2001). Perspektif etika: Esai-esai tentang masalah
aktual. Yogyakarta: Kanisius.
Blustein, J. (2001). Setting the agenda for urban bioethics.
Journal of Urban Health: Bulletin of the New York Academy
of Medicine, 78(1), 7-20.
Bracanovic, T. (2011). Respect for cultural diversity in bioethics:
Empirical, conceptual and normative constraints. Medicine,
Health Care and Philosophy, 14, 229–236.
x
Isu dan Dilema Dalam Bioetika
Pengantar Penyunting

Engelhardt, H. T. (2003). The bioethics consultant: Giving moral
advice in the midst of moral controversy. HEC Forum, 15(4),
362-382.
Goodman, K. W., & Cava, A. (2008). Bioethics, business ethics,
and science: Bioinformatics and the future of healthcare.
Cambridge Quarterly of Healthcare Ethics, 17, 361–372.
Gupta, M. (2010). Proposing an alternative framework for
bioethics: Bioethics in the age of new media. CMAJ, 182(17),
803-804.
Jafarey, A. M., & Moazam, F. (2010). "Indigenizing" bioethics:
The first Center for Bioethics in Pakistan. Cambridge
Quarterly of Healthcare Ethics, 19, 353–362.
Kerry, B. (2004). What are the limits of bioethics in a culturally
pluralistic society? Journal of Law, Medicine & Ethics, 32(4),
664-669.
Priaulx, N. (2011). Vorsprung durch technik: On biotechnology,
bioethics, and its beneficiaries. Cambridge Quarterly of
Healthcare Ethics, 20, 174–184.
Raikos, A., Paraskevas, G. K., Tzika, M., Kordali, P., TsafkaTsoskou, F., & Natsis, K. (2012). Human body exhibitions:
Public opinion of young individuals and contemporary
bioethics. Surgical and Radiologic Anatomy, 34, 433–440.
Reich, W. T. (1995). The word 'bioethics': The struggle over its
earliest meanings. Kennedy Institute of Ethics Journal, 5, 1934.
Testoni, I., & Zamperini, A. (2004). Modern medical
technologies and psychology of consent: A new look at
bioethics. Constructivism in the Human Sciences, 9(2), 95112.
Turner, L. (2003). Bioethics in a multicultural world: Medicine
and morality in pluralistic settings. Health Care Analysis,
11(2), 99-117.
Zeiler, K. (2009). Self and other in global bioethics: Critical
hermeneutics and the example of different death concepts.
Medicine, Health Care and Philosophy, 12, 137-145.

Isu dan Dilema Dalam Bioetika

xi

Pengantar Penyunting

Pengantar Penulis
Rasa syukur yang dalam kami sampaikan ke hadirat Allah
Yang Maha Pemurah. Berkat kemudahan dan kemurahan-Nya
kami dapat menyelesaikan buku ini.
Buku Isu dan Dilema Dalam Bioetika ini membahas isu dan
dilema etis yang dihadapi kalangan kesehatan dan kedokteran
dalam praktik sehari-harinya. Buku ini juga ditulis dalam rangka
memperdalam pemahaman penerapan bioetika dalam praktik
kedokteran dan kesehatan. Di samping itu, buku ini bertujuan
untuk menjawab kelangkaan buku bioetika yang digunakan
sebagai referensi bagi mahasiswa kedokteran dan kalangan
kesehatan pada umumnya.
Buku ini merupakan revisi menyeluruh atas aspek
redaksional dari buku kami, “Bioetik: Isu dan Dilema”, yang
sebelumnya diterbitkan Pensil-324 (ISBN 978-979-3622-84-2).
Di samping itu, terdapat penambahan isi satu bab dan indeks
pada akhir buku. Buku ini disunting oleh seorang psikolog sosial
yang turut mendalami etika klinis, Saudara Juneman, S.Psi., M.Si.
Tidak ada pekerjaan yang sempurna, sehingga buku yang
kami tulis ini pun sesungguhnya masih perlu banyak
penyempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik sangat kami
harapkan. Kami sampaikan pula ucapan terima kasih yang
sedalam-dalamnya kepada anak-anak kami tercinta yang telah
berkurang waktunya bersama dalam keluarga
Akhirnya kami mengharapkan buku Isu dan Dilema Dalam
Bioetika ini dapat digunakan sebagai salah satu referensi bagi
mereka yang mempelajari bioetika dengan sebaik-baiknya.
Semoga bermanfaat.

Jakarta, Juli 2013
Penulis,
Prof. dr. Qomariyah Sachrowardi, M.S., P.K.K., A.I.F.M.
dr. Ferryal Basbeth, Sp.F., D.F.M.
xii
Isu dan Dilema Dalam Bioetika
Pengantar Penulis

Daftar Isi
Pengantar Penyunting ..............................................................iii
Pengantar Penulis....................................................................xii
Daftar Isi ................................................................................xiii
Bab 1: Kompetensi dan Kapasitas Dalam Pengambilan Consent
Seorang Pasien..........................................................................1
1. Pendahuluan....................................................................1
2. Definisi Kompetensi dan Kapasitas ...................................2
3. Penyebab Penderita Mental Disorder Tidak Cakap Dalam
Memberikan Informed Consent ........................................5
4. Alasan Moral Pentingnya Persetujuan Tindakan Medis .....8
5. Standar Surrogate Dalam Mengambil Keputusan ............10
6. Kompetensi dan Kapasitas Dalam Hubungannya Dengan
Etika dan Hukum ...........................................................14
7. Kesimpulan ....................................................................16
Bab 2: Etika Penggunaan Plasebo dan Mitos Plasebo Ortodoks 18
1. Pendahuluan..................................................................18
2. Apakah Plasebo Itu? .......................................................19
3. Mitos Plasebo.................................................................25
Bab 3: Transplantasi Ginjal......................................................57
1. Sejarah Transplantasi......................................................57
2. Konsep Kematian ...........................................................58
3. Definisi Mati Oleh Negara .............................................62
4. Informed Consent Pada Transplantasi Ginjal...................67
5. Transplantasi Organ Dari Mayat (Kadaver)......................70
6. Donor Dari Penderita yang Tidak Kompeten...................74
7. Pemeriksaan Donor........................................................77
8. Donor Dari Sisa-sisa Aborsi dan Bayi Anencephalic........79
9. Pasar Organ ...................................................................86
10. Xenotransplatasi .............................................................96
Isu dan Dilema Dalam Bioetika

xiii

11. Pertimbangan Biaya Transplantasi Organ........................99
Bab 4: Analisis Etika Terkait Resusitasi Jantung Paru .............108
1. Pendahuluan................................................................108
2. Prinsip Etis ...................................................................109
3. Do Not Resuscitate dan Allow Natural Death ..............118
4. Surat wasiat (Advanced Directives dan Living Wills) .....118
5. Wali atau Pengampu Dari Pengambil Keputusan (Surrogate
Decision Makers) .........................................................119
Bab 5: Surrogate Mother .......................................................121
1. Pendahuluan................................................................121
2. Alasan Surrogacy..........................................................122
3. Pandangan Etika: Surrogacy dan Prostitusi ....................123
4. Buruh Teralienasi .........................................................125
5. Surrogacy dan Perspektif Islam .....................................128
Bab 6: Etika Terhadap Pasien Kanker.....................................133
1. Mengapa Pasien Kanker? ..............................................133
2. Standar Pelayanan Pasien Kanker .................................133
3. Persetujuan Tindakan Medis.........................................134
4. Problem Diagnostik: Misdiagnosis dan Keterlambatan
Diagnosis .....................................................................137
5. Komunikasi dan Pengungkapan Penyakit Kanker Kepada
Keluarga.......................................................................141
6. Sistem Rujukan dan Pemeriksaan Penunjang ................143
7. Kegagalan Untuk Mengikuti Rekomendasi....................145
8. Surat Wasiat dan Pasien Kanker....................................152
9. Kesimpulan ..................................................................156
Bab 7: Kepemilikan Jaringan dan Paten Kedokteran ...............158
1. Pendahuluan................................................................158
2. Skandal Alder Hey Hospital .........................................167
3. Kasus Mr Moore dan dr David Golde ...........................168
4. Kasus Catalona: Kepemilikan Jaringan ..........................170
5. Gen yang Dipatenkan, Kasus Greenberg vs. Miami
Children's Hospital Research Institute ..........................171
Isu dan Dilema Dalam Bioetika

xiv

6. Tantangan Ke Depan Dalam Paten Gen........................173
Daftar Rujukan......................................................................176
Biografi Penulis .....................................................................182
Biografi Penyunting...............................................................184
Indeks ...................................................................................185

Isu dan Dilema Dalam Bioetika

xv

Biografi Penyunting
Juneman, S.Psi., M.Si., Psikolog sosial. Dosen Tetap pada Jurusan
Psikologi, Fakultas Humaniora, Universitas Bina Nusantara; serta
Dosen Tidak Tetap pada program-program studi Psikologi Universitas
Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta, Universitas Bhayangkara Jakarta
Raya, Universitas Pancasila, Universitas Mercu Buana Jakarta, dan
Universitas Pelita Harapan. Alumnus program studi S1 Psikologi
Universitas Persada Indonesia YAI (UPI YAI) bidang minat Psikologi
Klinis, dan Alumnus program Magister Sains Psikologi Sosial
Universitas Indonesia (UI). Menjabat sebagai Subject Content
Specialist Bidang Metodologi Penelitian Psikologi (2011), selanjutnya
Subject Content Coordinator Bidang Psikologi Sosial-Komunitas (sejak
2012) pada Universitas Bina Nusantara. Ia merupakan Peneliti pada
Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial, Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia (sejak 2013), Anggota Pengurus Himpunan
Psikologi Indonesia (HIMPSI) Wilayah DKI Jakarta (2007-sekarang),
Anggota Pengurus Ikatan Psikologi Sosial HIMPSI (periode 20102014), Wakil Dekan/Ketua Program Studi S1 Psikologi Universitas
Bhayangkara Jakarta Raya (2008-2011), Anggota Pengurus Departemen
Pusat Penelitian Ikatan Alumni Fakultas Psikologi Universitas Persada
Indonesia YAI (periode 2010-2013), Anggota American Psychological
Association (APGS-APA, 2009-2011). Ia merupakan Anggota Pendiri
Asosiasi Ilmu Forensik Indonesia (AIFI, 2010), Anggota Aktif Jejaring
Komunikasi Kesehatan Jiwa (JEJAK JIWA) Indonesia (2007-sekarang),
serta Konsultan dan Pelatih pada Mercu Buana Training &
Consulting/MBTC (2006-2010). Ia juga merupakan Anggota Sidang
Penyunting Jurnal Ilmiah Psikologi “PSIKOBUANA” Universitas Mercu
Buana Jakarta (2008-2011, www.psikobuana.com, ISSN 2085-4242),
Jurnal Kesehatan Jiwa Indonesia “ATARAXIS” (2007), Indonesian
Journal of Legal and Forensic Sciences/IJLFS (sejak 2008, ISSN 19791763), Jurnal Psikologi Ulayat/Indonesian Journal of Indigenous
Psychology (sejak 2012, ISSN 2088-4230); dan Ketua Sidang
Penyunting Jurnal Ilmiah Psikologi Industri dan Organisasi/JPIO (sejak
2012, www.jpio.org, ISSN 2302-8440, bekerjasama dengan Asosiasi
Psikologi
Industri
dan
Organisasi
HIMPSI).
Homepage:
http://about.me/juneman
Alamat
surat
elektronik:
juneman@socialpsychologist.org; juneman@gmail.com
Isu dan Dilema Dalam Bioetika

184

Biografi Penyunting

Indeks
autotransplantation, 57
ayah commissioning, 121

A
aborsi, 81, 84, 85, 86, 122
aborsi elektif, 84
Abraham Lincoln, 47
ACES, 52, 53, 54, 55
advanced directives, 11, 108,
113, 119, 152, 153, 154
agama, iii, 17, 62, 63, 65, 73,
97, 100, 123, 131, 132
agen kemoterapi, 147, 148
Allow Natural Death, 118
Al-Qur’an, 129
altruisme, 91
altruistis, 122
ambiguitas, 20, 63, 142
ameliorisasi penderitaan, iv
American Heart Association,
108, 109, 110, 112, 113,
118, 119, 120, 176
American Medical Association,
24, 61, 90, 93
anamnesis, 141
anencephaly, 80, 81, 82, 83
angiografi, 59, 61
anomali, 43, 46
antibiotik, 3, 19
armamentarium, 32, 38, 44, 48
arti moral, 64
asas manfaat, 117
Asia, 65, 109
Assisted Reproductive Tech
nologies, 121, 123
asuransi, 94, 100, 105, 114,
123
aurat, 130
Isu dan Dilema Dalam Bioetika

B
Baby Doe, 82
Baby Fae, 97
Baby Hopskins, 12
beban nasional, 160, 161
beneficence, 9, 89, 109, 110
bioetika global, v
bioetika keperawatan, iii
bioinformatika, viii
blind procedure, 39, 44
blok parafin, 168
brain death, 58, 179
British Medical Association,
153
brutalisasi, 166
Budi Sampurna, 108
buruh terasing, 126

C
Canavan, 171, 172, 174
carry-over effect, 40
Catalona, 158, 170
cell line, 169
CIOMS, 26
cohort, 37
consent, ix, xi, 2, 4, 5, 6, 7, 8,
10, 14, 16, 17, 30, 67, 69,
91, 112, 124, 132, 133,
134, 135, 136, 137, 154,
157, 170, 171, 172, 173,
176, 177, 179, 180, 181
Copernican, 45

185

Indeks

eutanasia, 158, 159, 160, 161,
162, 163, 164, 165, 166
ex vivo, 97

Cushing, 59

D
Darwinis Sosial, 160
Deceased Donor, 88
defendant, 143
definisi aneh, 66
definisi kematian, 62, 63, 64,
65, 66
definisi kualitatif, 118
definisi operasional, 21, 117
Dewan Ahli Etika Medis, 93
digital, viii
dilema etis., v
disabilitas, 111, 114
disparitas global, 71
Do Not Resuscitate, 118
dokter keluarga, 139
dokter umum, 19, 23, 139,
144, 145, 153, 183
Doktor Kehormatan, 159
donor organ, 12, 62, 67, 69,
70, 71, 74, 76, 79, 81, 93,
99, 153
durable power of attorney, 119

F
farmakologis, 20, 40
fatwa, 128, 129, 131
feminis, 125
filsafat, 63, 94
fiqh, 130
futility, 115, 116, 181

G
Gangguan belajar, 6
gangguan jiwa, 2, 7, 8, 9, 16,
17, 163, 164
garis genetik, 160
gaya hidup, 87
generasi pertama, 36, 37, 46,
47
ginekologi, 139
Good Clinical Practice, 33

H
hak asuh, 11, 74
hak hukum, 82, 152
Hallervorden-Spatz
disease,
158
Havasupai, 158, 172
hedonistic damages, 140
Helsinki, 26
hemofilia, 52
Hermeneutika kritis, vi
Heterogenitas respon, 48
histologis, 166, 168
historical controle assumption,
51
Hitler Chancellery, 161

E
eksperimental, 40, 42, 46, 57,
96, 97, 104, 105, 106
eksploitasi, 91, 100, 124, 125,
132, 149, 166
emosional, 73, 94, 97, 102,
124, 125, 138, 150, 151
empty husks, 161
Eropa, 87, 90, 109, 141, 175
ethical isolation, ix
etika jual beli organ, 90

Isu dan Dilema Dalam Bioetika

186

Indeks

Jepang, 141, 142
Julian Savulescu, 168
Julius Hallervorden, 158, 159,
163, 179, 180
juri, 143, 144, 145

Hospice at home, 151
Hukum Islam, 123
hukum kedokteran, 14, 32
Hukum Perdata, 15
Hukum Sterilisasi, 161

I

K

Ibu genetik, 121
ibu pengganti, 121, 122, 123,
124, 126, 127, 129, 130,
131, 132
ibu susu, 130
identitas resipien, 86
identitas sosial virtual, x
ijma, 129
in vitro, 98, 121, 122, 175
in vivo, 98
Incapacity, 3, 180
incompetency, 12, 13, 112
indeks terapeutik, 37, 50
India, 87, 91, 124
indigenisasi, iv
inefficacy, 115
inert, 18, 19, 21, 22, 23, 24
infantil, 164
informed refusal, 133
Institutional Review Board, 28,
31
internasionalisasi bioetika, iv
international tourism, 96
intervensi medis, 4, 5, 6, 7, 8,
9, 29, 115, 117
Intra Cranial Pressure, 59
ipso facto, 56

kadaver, 57, 59, 70, 71, 72, 90
kanker, iii, 37, 47, 50, 77, 104,
107, 109, 110, 133, 134,
135, 136, 137, 138, 139,
140, 141, 142, 143, 144,
145, 146, 147, 148, 149,
150, 151, 152, 153, 154,
155, 156, 157, 170, 174
kapasitas, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 8, 9,
10, 11, 16, 17, 112, 114,
119, 125, 152, 153
keadilan, 114
kebijakan publik, iv, 30, 93
kebijakan rasial, 160
kelalaian, 29, 30, 37, 134, 136,
138, 139, 141, 144, 145
kelompok kontrol, 26, 39, 46
kelompok perlakuan, 27, 28,
39
kelompok plasebo, 24, 27, 28,
36, 46
kemanusiaan, 68, 166
kemarahan publik, 162
kepentingan terbaik, 11, 12,
13, 76, 152
keputusan hukum, 2, 17
keputusan kelompok, 109
kesia-siaan fisiologis, 117
kesukarelaan, 2, 31, 93
ketidakadilan, 96, 172
Ketidakcakapan, 4
klausul hati nurani, 64

J
jantung babon, 97
jaringan janin, 84, 85, 86
Isu dan Dilema Dalam Bioetika

187

Indeks

kode etik, 30
komersial, 49, 124, 132, 153,
169
komite etik, 94
Komite Harvard, 59, 61
komoditi, 129
komorbiditas medis, 71
kompetensi, 1, 2, 3, 8, 11, 16,
17
konseling, 172
konsep properti, 72
konsepsi, 85, 91
konstruksi psikologis, ix
konstruksi sosial, ix
konsultan bioetika, vii
konsultasi khusus, 142
kontrak, 14, 15, 124, 126
kontrol aktif, 34, 38, 41, 43,
44, 47, 48, 50, 51, 52, 54,
55
krisis kepercayaan, 169
kultur, iii, iv, 60, 98

mamogram, 138, 143, 144,
145
manusia inkubator, 127
marjinal, 37, 82, 160
masyarakat medis, 26, 100,
160
mati otak, 58, 59, 61, 62, 64,
65, 66, 67, 82
Medicaid, 103, 105, 106, 107
medikolegal, 133
mental, 2, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 31,
74, 143, 150, 152, 153,
157, 158, 160, 161, 162,
164, 178, 180
meta-analisis, 101
Mini Mental State Examination,
8
mitos, 44, 48
modalitas terapi, 133, 135,
136, 137, 149, 156
moral, iii, iv, v, vii, ix, xi, 2, 9,
11, 13, 21, 22, 29, 30, 64,
65, 72, 89, 113, 114, 124,
129, 159, 165
moral otonom, 113
mortalitas, 27, 50
most people choose, 14
mutagenik, 148

L
laboratorium patologi, 168
laertile, 154, 155
liberal, 124, 126
lie like a doctor, 18
life sciences, iii
lisensi, 35, 38, 44, 47, 48, 50,
52, 172, 174, 175
litigasi, 148
lives not worth living, 159
living will, 11, 119, 152

N
Nazi, 158, 179
negara Islam, 122, 123
neuropatolog, 158, 159, 164
neuropsikologis, 5
non-medis, 149, 150, 154, 155
non-rasional, iv
Nuremberg, 30, 164

M
malpraktik, 29, 37, 79, 94,
134, 137
Isu dan Dilema Dalam Bioetika

188

Indeks

properti, 169, 171, 172
prostitusi, 90, 125
psikiatri, 3, 17, 54, 162
psikofisiologis, 19, 22
psikologis, x, 19, 20, 28, 39,
40, 41, 46, 76, 77, 124,
127, 138, 151
psikotropika, 34, 44
public relations, 94

O
obstetri, 139
onkologi, 133, 134, 135
organ buatan, 104
organ donor, 71, 87, 90
organisasi profesi, 169
ortodoksi, 26, 40
otonomi, 9, 16, 64, 109, 112,
113, 124
otopsi, 60, 73, 163, 164

Q
qiyas, 129

P
paksaan deontologis, 72
paliatif, 150, 151, 152
paralisis, 147
parens patriae, 75, 149
Parkinson, 83, 84, 177
pediatrik, 151
peer group, 134, 136
pematenan, 173, 175
pembunuhan belas kasihan,
163
pembutaan, 42
penipuan, 22, 31, 172, 174
penyakit spesialistik, 134
penyakit terminal, 141, 150
penyembuhan spiritual, 149
perawat Macmillan, 151
peresepan, 155
perilaku, v, 126, 160
persistent vegetative state, 82
placebo, 18, 178
plastinated cadavers, ix
preemptif, 88
prima facie, 12
primata non-manusia, 98
prinsip payung, 11
privasi, 64, 69
Isu dan Dilema Dalam Bioetika

R
radiologi, 60, 139, 144
randomisasi, 24
Rassenhygiene, 160
refraktori, 37
reifikasi, 36
relativisme etika, v
resusitasi elektif, 110
Resusitasi Jantung Paru, 108
risk-benefit, 30
routine salvaging, 72
ruang hampa, 166

S
schizophrenia, 2, 3, 4, 5, 6, 7,
176
second opinion, 135
sejarah keluarga, 172
seksualitas, 125
self determination, 14
self-governance, 64
senjata eksperimental, 26
serious morbidity, 27
serious
professional
misconduct, 167

189

Indeks

terpaksa membuat keputusan,
136
tes serologis, 142
Thomas Kuhn, 43
tim transplantasi, 78
transparansi, 24, 25
transplantasi ginjal, iii, 57, 59,
71, 76, 87, 88, 89, 96, 100,
101, 102, 104, 105
tumor, 59, 134, 138, 142, 147
Type I error, 53

sia-sia, 8, 25, 63, 115, 116,
117, 118
skizofrenia, 27, 28, 31, 34, 36,
161, 172
spesimen prostat, 170
standar emas, 88
studi terkontrol, 46, 50
substituted judgment, 10, 11
Sunnah, 129, 130
Sunni, 123, 128, 129, 131
surat wasiat, 11, 113, 119, 152
surplus ginjal, 102
surrogacy, iii, 90, 121, 122,
123, 124, 125, 128, 129,
130, 131, 132, 180
surrogacy altruistik, 124, 132
surrogate, 10, 121, 125, 127,
130, 176, 179, 180
Syiah, 128, 129, 130, 131

uji klinis, 23, 24, 30, 34, 40,
44, 45, 50, 97
Undang Undang Kesehatan
Jiwa, 16
urban bioethics, vi, vii, x

T

W

U

wali pengampu, 10, 11, 12
wanprestasi, 15
wasiat, 73, 118
withdrawal, 30, 63
withhold, 116

tanpa persetujuan, 71, 152,
161, 167, 168
technosentric, viii
teologi, 128, 129
terapi, 3, 5, 9, 19, 21, 22, 25,
26, 27, 28, 29, 30, 32, 36,
37, 44, 48, 50, 51, 52, 53,
54, 56, 63, 64, 97, 103,
105, 117, 134, 135, 137,
140, 141, 146, 147, 148,
149, 150, 154, 155, 156,
157, 175
terapi alternatif, 154, 156
terapi konvensional, 149, 154

Isu dan Dilema Dalam Bioetika

X
xenograft, 57, 96, 97, 98, 99
xenotransplantasi, 97, 99

Y
Yahudi Ashkenazi, 175
yurisprudensi, 128, 129, 130,
131, 143

190

Indeks