Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya Masyar

WAWASAN SOSIAL BUDAYA MARITIM
Nama : Michelle Liemdier
NIM

: J011171512

Prodi

: Pendidikan Dokter Gigi

Topik : Sosial Ekonomi dan Budaya
Judul

: Kondisi Sosial Ekonomi, dan Budaya

Masyarakat Maritim di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua
Barat
A. Pengantar
Secara geografis Indonesia membentang dari 6º LU sampai 11º LS dan 92º sampai
142º BT, terdiri dari pulau-pulau besar dan kecil yang jumlahnya kurang lebih 17.504 pulau.
Seluas tiga perempat wilayahnya adalah laut (5,9 juta km 2), dengan panjang garis pantai

95.161 km, terpanjang kedua setelah Kanada. Melalui Deklarasi Djuanda, 13 Desember
1957, Indonesia menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia (laut sekitar, di antara, dan
di dalam kepulauan Indonesia) menjadi satu kesatuan wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Kemudian Indonesia sebagai negara kepulauan, telah diakui dunia
internasional melalui konvensi hukum laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang ketiga,
United Nation Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982), kemudian
diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang No.17 Tahun 1985. Berdasarkan
UNCLOS 1982, total luas wilayah laut Indonesia menjadi 5,9 juta km 2, terdiri atas 3,2 juta
km2 perairan teritorial dan 2,7 km2 perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), luas perairan ini
belum termasuk landas kontinen (continental shelf). Hal ini menjadikan Indonesia sebagai
negara kepulauan terbesar di dunia (the biggest Archipelago in the World).1
Salah satu pulau dari ribuan pulau di NKRI adalah Pulau Gag. Pulau Gag termasuk
dalam wilayah Kabupaten Kepulauan Raja Ampat, Provinsi Papua Barat. Pulau Gag
memiliki potensi sumber daya alam yang sangat tinggi, meliputi sumber daya mineral
berupa cebakan bijih nikel laterit (Ni, Co, Fe) yang menempati kurang lebih dua pertiga
daerah dari pulau tersebut, selain itu perikanan, ekosistem mangrove, terumbu karang,
1 Lasabuda Ridwan. 2013. Jurnal Ilmiah Platax. Vol I. No. 2. hal 93.

1


rumput laut dan biota laut lainnya juga menjadi kekayaan alam di Pulau Gag. Wilayah ini
sebagian besar adalah kawasan konservasi yang terdiri atas pulau-pulau. Kementerian
Kehutanan Republik Indonesia menginginkan agar Pulau Gag tetap dijadikan hutan lindung,
namun dipihak lain Kementerian Pertambangan Republik Indonesia menginginkan potensi
nikel di pulau tersebut bisa dieksploitasi.2
Masyarakat di Pulau Gag sendiri bingung mengapa daerahnya dijadikan hutan lindung
padahal anggapan mereka tidak ada flora atau fauna yang istimewa, yang keberadaannya
langka dan perlu dilindungi di kawasannya. Malahan pemerintah Kabupaten Raja Ampat
ingin memberikan izin pertambangan karena dampaknya yang positif, yaitu meningkatkan
pendapatan asli daerah (PAD).3
Tetapi pemerintah pusat mempunyai alasan penetapan SK Menhut No. 81/KptsII/1993 tertanggal 16 Februari 1993, bahwa Kepulauan Raja Ampat adalah salah satu Suaka
Margasatwa Laut (Marine Wildlife Sanctuary). Ini berarti bahwa Pulau Gag tidak
dimungkinkan untuk dieksplorasi maupun dieksploitasi sebagaimana UU No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan bahwa Suaka Margasatwa merupakan kawasan konservasi yang hanya
dapat digunakan untuk kepentingan pendidikan dan penelitian. Karena penambangan nikel di
Pulau Gag dikhawatirkan akan mengancam keanekaragamanan hayati laut di Kepulauan Raja
Ampat. Kegiatan tersebut diduga akan menimbulkan dampak ekologis negatif pada masa
mendatang. Misalnya pembuangan limbah (tailing) yang mengandung logam berat (Mercuri
dan Sianida) ke laut akan merusak dan mencemari biota laut, sehingga akan merusak
ekosistem bawah laut. Hal ini juga berbahaya pada masyarakat yang mengkonsumsi hasil

laut yang sudah tercemar oleh logam berat tersebut (Jatam, 2006).3
Masyarakat setempat beranggapan bahwa penambangan akan berdampak positif bagi
mereka. Anggapan ini tentu saja dipengaruhi oleh kondisi sosial, ekonomi dan budaya
masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan tersebut. Masyarakat lebih cenderung
menikmati hasil positif jangka pendek, yang segera dapat dirasakan, dibanding kenikmatan
atau hasil positif jangka panjang. Oleh sebab itu perlu dipelajari kondisi sosial, ekonomi dan
budaya masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan Pulau Gag yang melandasi cara
2 Permanadewi, Sam, Joko Wahyudiono, dan Armin Tampubolon. 2017. Makalah Ilmiah Cebakan Nikel Laterit di
Pulau Gag, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat. hal. 55
3 Hastanti, Baharinawati W. dan Triantoro, R. Gatot Nugroho. 2012. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea Vol.1
No.2, Desember 2012: 149-164, hal 150.

2

berpikir dan berperilaku mereka. Seperti apakah kondisi sosial, ekonomi, dan budaya
masyarakat maritim di Pulau Gag?
Artikel ini ditulis dengan tujuan untuk menambah pengetahuan masyarakat mengenai
kondisi sosial, ekonomi, dan budaya dari masyarakat yang bermukim di kawasan konservasi
Pulau Gag. Selain itu penulis juga ingin berkontribusi dalam mempublikasikan artikel ilmiah
mengenai kemaritiman, untuk memperkaya sumber-sumber bacaan mengenai kemaritiman.

B. Metode Penulisan
Dalam penulisan artikel ini, penulis melakukan kajian pustaka dari jurnal ilmiah,
laporan penelitian baik independen, perguruan tinggi, maupun individu. Dalam artikel ini
tidak terdapat data primer, penulis hanya menyertakan data sekunder yang didapatkan dari
kajian pustaka. Penulis kesulitan menyertakan data primer karena lokasi yang ingin dikaji
sulit dijangkau penulis, kemudian penulis tidak memiliki kerabat atau relasi yang bermukim
di pulau tersebut.
C. Pembahasan

Nama Pulau Gag berdasarkan mitologi masyarakat setempat berasal dari kata gag
yang berarti teripang (Sea cucumber) dalam Bahasa Weda, salah satu bahasa yang digunakan
3

oleh penduduk di Kepulauan Halmahera. Hal ini disebabkan karena pendatang pertama yang
masuk ke daerah ini melihat begitu banyaknya teripang di perairan Pulau Gag. Pulau Gag
sebelumnya merupakan pulau yang tidak berpenghuni dan hanya digunakan untuk berkebun.
Penduduk pertama Pulau Gag berasal dari Pulau Gebe yang awalnya datang untuk mencari
dan membuka lahan pertanian (berkebun). Sebelumnya terdapat perkampungan kuno yang
disebut Kampung Lama yaitu perkampungan yang ada pada masa awal kedatangan penduduk
pertama. Kampung tersebut sekarang sudah ditinggalkan penduduk karena sebagian besar

penduduk memilih bermukim di Kampung Gambir (Kampung Baru) yang lokasinya lebih
strategis karena berdekatan dengan komplek perusahaan, sehingga fasilitas umum yang
dibutuhkan masyarakat lebih dekat seperti dermaga, fasitas listrik dan air, sekolah dan
kesehatan. Asal mula berkembangnya pemukiman di Pulau Gag dimulai pada saat
kemenangan pasukan Trikora yang berdatangan sekembalinya Irian Jaya kepangkuan NKRI,
pada tahun 1963. Kata Gambir berasal dari kata gembira dalam Bahasa Indonesia sebagai
ungkapan rasa suka cita atas kembalinya Pulau Gag sebagai bagian wilayah Irian Jaya
kepada NKRI. Kedatangan pasukan Trikora di Pulau Gag juga diikuti dengan kedatangan
pendatang yang ingin mengadu nasib bekerja di pertambangan nikel. Eksploitasi nikel di
Pulau Gag telah ada sejak jaman kolonial Belanda. Ketika Belanda meninggalkan Indonesia
dan kembalinya Irian Jaya ke pangkuan RI, serta terjadinya nasionalisasi perusahaan milik
Belanda pada tahun 1972, penambangan nikel dilanjutkan oleh PT. Pasifik Nikel (perusahaan
PMA dari AS) sampai dengan tahun 1981. Selanjutnya pertambangan nikel dikelola oleh PT.
Aneka Tambang (salah satu BUMN) yang kemudian melakukan kontrak kerjasama dengan
PT. BHP Biliton (perusahaan PMA dari Australia) pada tahun 1995 dengan pembagian saham
3:1, yaitu 75% dimiliki oleh PT. BHP Biliton dan 25% dimiliki oleh PT Aneka Tambang.
Dalam perkembangan selanjutnya PT. BHP Biliton menggandeng partner kerja Falcon
Bridge (perusahaan penambangan PMA asal Canada) dengan kepemilikan saham 37% dari
seluruh proyek nikel di Pulau Gag. Manajemen dan operasional pertambangan nikel di Pulau
Gag selanjutnya dikelola oleh PT. Gag Nikel yang melakukan eksplorasi dan pengambilan

sampel.4
Pada tahun 1999 PT. Gag Nikel mulai menghentikan kegiatan eksplorasinya
bersamaan dengan keluarnya UU No 41 Tahun 1999 dan isu penetapan Pulau Gag sebagai
4 Ibid. hal. 161.

4

hutan lindung. Walaupun eksplorasi pertambangan sudah tidak dilakukan namun keberadaan
perusahaan masih ada dan hanya melakukan kegiatan pengambilan sampel. Hal ini
berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi Pulau Gag, karena terhentinya operasional
pertambangan menyebabkan PHK pada sejumlah karyawannya, sehingga menambah
pengangguran dan mengurangi perputaran uang tunai yang ada di Pulau Gag.5
Masyarakat menurut Koentjaraningrat iadalah kesatuan hidup manusia yang
berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat kontinu dan yang terikat
oleh suatu rasa identitas bersama. Kesatuan hidup manusia yang disebut masyarakat ialah
berupa kelompok, golongan, komunitas, kesatuan suku bangsa (ethic group). Interaksi yang
kontinu adalah hubungan pergaulan dan kerja sama antar anggota kelompok atau golongan,
hubungan antar warga dari komunitas, hubungan antar warga dalam satu suku bangsa atau
antar warga Negara bangsa. Adat istiadat dan identitas adalah kebudayaan masyarakat itu
sendiri.6

Konsep kelompok itu misalnya kelompok nelayan. Kelompok nelayan adalah
kelompok kerja produktif. Konsep komunitas itu mengacu kepada kesatuan hidup manusia
dengan jumlah anggota besar dan keterikatan pada wilayah geografi tertentu seperti
komunitas nelayan kota Makassar. Namun akhir-akhir ini juga ditemukan komunitas dimana
komponen ruang tidak menjadi prasarat terbentuknya komunitas tersebut, seperti komunitas
keagamaan. Dan konsep suku bangsa itu mengacu pada kesatuan hidup manusia yang
memiliki kesamaan budaya dan dicirikan berdasarkan budaya tersebut, serta sadar akan
kesamaan budaya yang meliputi sistem pengetahuan, bahasa, organisasi sosial, pola ekonomi,
teknologi, seni, dan kepercayaan.7
Kemudian dengan mengacu pada konsep masyarakat yang telah dikemukakan
sebelumnya, maka masyarakat maritim disebagai kesatuan hidup manusia berupa kelompok
kerja (termasuk satuan-satuan tugas), komunitas sekampung atau sedesa, kesatuan suku
bangsa, kesatuan administratif berupa kecamatan, provinsi, bahkan bisa merupakan Negara
atau kerajaan, yang sebagian besar atau sepenuhnya menggantungkan kehidupan ekonominya
secara langsung atau tidak langsung pada pemanfaatan sumber daya laut (hayati maupun
5 Ibid. hal. 162.
6 Tim Pengajar WSBM Universitas Hasanuddin. 2011. Himpunan Materi Kuliah Wawasan sosial Budaya Maritim
(WSBM). hal.85.
7 Ibid.


5

non-hayati) dan jasa-jasa laut, yang dipedomani oleh kebudayaan dan dicirikan bersama
dengan kebudayaan baharinya.8
Talcott Parson mengatakan bahwa kehidupan sosial itu harus dipandang sebagai
sebuah sistem (social). Hal ini dimaksudkan bahwa kehidupan sosial harus dilihat sebagai
sesuatu keseluruhan atau totalitas unsur-unsur atau bagian-bagian yang saling berhubungan
dan memiliki ketergantungan satu sama lain dan berada dalam satu kesatuan.9
Lebih lanjut dikatakan bahwa sistem sosial juga dapat didefinisikan sebagai suatu pola
interaksi sosial yang terdiri dari komponen-komponen sosial yang teratur dan melembaga.
Karakteristik dari sistem sosial adalah kumpulan dari beberapa unsur atau komponen yang
dapat kita temukan dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat tidak dapat dan tidak wajar
hidup dengan sikap soliter dan tidak mau peduli pada sesamanya (lingkungan sosial)
termasuk lingkungan budayanya.10
Berdasarkan data persebaran penduduk tahun 2009 di Pulau Gag itu terdapat sejumlah
633 jiwa yang termasuk dalam 133 kepala keluarga (KK), yang terdiri dari 345 orang pria
dan 288 orang wanita. Jumlah penduduk prianya lebih banyak ketimbang penduduk wanita.
Penduduk di Pulau Gag tersebar ke dalam empat wilayah Rukun Tetangga (RT). Pada
wilayah RT satu terdapat sejumlah 137 jiwa yang termasuk dalam 28 KK, terdiri dari 73
orang pria dan 64 orang wanita. Pada wilayah RT dua terdapat sejumlah 131 jiwa yang

termasuk dalam 26 KK, terdiri 72 orang pria dan 59 orang wanita. Pada wilayah RT tiga
terdapat sejumlah 201 jiwa yang termasuk dalam 47 KK, terdiri dari 111 orang pria dan 90
orang wanita. Pada wilayah RT empat terdapat sejumlah 164 jiwa yang termasuk dalam 32
KK, terdiri 89 orang pria dan 75 orang wanita. Apabila ditinjau dari luas Pulau Gag yang
mencapai 7.727 hektar, maka kepadatan penduduk adalah 0,08 orang per hektar, sehingga
daerah ini termasuk dalam tingkat kepadatan yang sangat rendah. Jumlah penduduk yang
mendiami suatu wilayah itu akan berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat di daerah
tersebut. Jikalau semakin besar jumlah penduduk yang mendiami suatu wilayah maka akan
semakin besar beban tanggungan ekonomi masyarakat. Apalagi jika sebagian besar penduduk
yang berusia produktif itu tidak bekerja atau tidak mempunyai penghasilan. Jumlah

8 Ibid.
9 Ibid. hal. 64.
10 Ibid. hal. 65.

6

pendapatan masyarakat pada suatu wilayah akan mempengaruhi daya beli dan perputaran
uang di daerah tersebut.11
Kemudian tingkat pendidikan masyarakat di Pulau Gag itu terbilang rendah, sebagian

besar masyarakat Pulau Gag sejumlah 293 orang itu hanya sampai jenjang pendidikan
sekolah dasar dan sebanyak 159 orang tidak bersekolah. Hal ini disebabkan karena akses
masuknya pendidikan yang sulit sehingga pendidikan menjadi suatu hal yang mahal karena
untuk dapat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi masyarakat perlu mengeluarkan biaya
yang besar untuk menempuh pendidikan di luar Pulau Gag. Yang sampai ke jenjang
perguruan tinggi berdasarkan data yang diambil pada tahun 2009 dalam jurnal “Kondisi
Sosial Ekonomi Dan Budaya Masyarakat Sekitar Kawasan Konservasi: Studi Kasus Di Pulau
Gag, Raja Ampat, Papua Barat” dari empat RT di Pulau Gag itu hanya mencapai sepuluh
orang.12
Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat di Pulau Gag itu menyebabkan kurangnya
pemahaman mengenai makna penetapan Pulau Gag sebagai daerah konservasi sumber daya
alam di masa mendatang. Kemudian dengan pendidikan yang relatif rendah masyarakat jadi
kurang kreatif memikirkan peluang-peluang usaha sehingga masyarakat di Pulau Gag itu
berharap banyak pada keberadaan lapangan kerja yang disediakan oleh perusahaan sector
penambangan setempat tanpa mereka ketahui dampak negatifnya secara ekologis pada
lingkungannya yang akan mempengaruhi kehidupan generasi mendatang.
Agama yang dipeluk oleh masyarakat di Pulau Gag hanya dua. Sebagian besar
penduduk yang mendiami Pulau Gag itu memeluk agama Islam, yaitu sebanyak 611 orang.
Kemudian selebihnya memeluk agama Kristen. Di Pulau Gag hanya terdapat dua buah
fasilitas keagamaan berupa satu masjid dan satu gereja. Sangat penting mengetahui agama

yang dipeluk oleh masyarakat. Karena agama juga turut berperan dalam mempengaruhi tata
kehidupan masyarakat. Sebagai contoh, pemanfaatan sumber daya alam di Pulau Gag itu
dipengaruhi agama yang dianut masyarakat. Pada umumnya masyarakat lebih banyak
memenuhi kebutuhan protein dari hasil laut, sehingga tidak mengganggu kehidupan jenis
reptil maupun amphibi, karena dalam ajaran agama Islam jenis reptil maupun amphibi
diharamkan untuk dimakan atau dikonsumsi. Kendatipun sebagian besar masyarakat di Pulau
Gag adalah pemeluk agama Islam, namun masih juga menganut kepercayaan terhadap hal11 Hastanti, Baharinawati W. dan Triantoro, R. Gatot Nugroho, op.cit.. hal. 153.
12 Ibid.

7

hal yang magis. Ketergantungan masyarakat yang kuat terhadap alam menyebabkan
masyarakat percaya adanya kekuatan-kekuatan lain di luar Tuhan yang lebih kecil namun
berpengaruh terhadap kehidupan. Oleh sebab itu ritual-ritual adat masih kuat dilakukan oleh
masyarakat untuk memperoleh dukungan keselamatan dalam kehidupan sehari-hari. Ritual
yang berasal dari tradisi adat antara lain dilakukan pada hal-hal yang berkaitan dengan siklus
hidup seseorang seperti kelahiran, perkawinan dan kematian.13
Pengelompokan sosial yang terdapat di Pulau Gag itu berdasarkan kekuasaan atas
tanah. Kepemilikan dan penguasaan tanah umumnya didominasi oleh penduduk asli Pulau
Gag yang terdiri dari 6 marga (klen/keret) yaitu: Umsipyat, Umsandim, Magtublo, Magimai,
Magbow dan Umlil. Kepemilikan tanah di Pulau Gag bersifat turun temurun dan tidak
diperjual belikan. Pendistribusian hak atas tanah akan diberikan pada keturunan yang telah
menikah. Pendatang yang telah berkeluarga akan diberikan tanah untuk tempat tinggal dan
berkebun tetapi tidak mempunyai hak milik atas tanah. Keturunan penduduk asli Pulau Gag
memiliki hak penuh atas penguasaan dan pemanfaatan atas tanah yang diberikan kepadanya.
Kepemilikan dan hak penguasaan tanah yang terdapat di Pulau Gag akan mendorong
kedatangan pendatang yang akan berpengaruh positif terhadap investasi dan menggerakkan
roda ekonomi regional.14
Tanah adalah salah satu harta yang dapat diwariskan. Kepemilikan tanah yang ada di
Pulau Gag umumnya diwariskan sesuai dengan hukum Islam, dimana laki-laki akan
memperoleh hak yang lebih besar dari perempuan. Pengalihan hak dari orang tua kepada
anaknya dilakukan ketika orang tua sudah meninggal dan anak telah berkeluarga. Selain
diwariskan kepada keturunannya tanah di Pulau Gag juga diberikan untuk kepentingan
umum (hibah), sesuai dengan hukum Islam hibah adalah pemberian yang dilakukan untuk
kepentingan umum dengan harapan pemberi hibah akan mendapatkan pahala sepanjang tanah
itu dimanfaatkan. Hibah tanah umumnya digunakan untuk bangunan masjid dan sekolah.15
Secara umum terdapat tiga jenis mata pencaharian utama masyarakat maritim di Pulau
Gag, yaitu: nelayan, pegawai dan petani. Namun disamping mata pencaharian pokok
tersebut, penduduk juga mempunyai mata pecaharian sampingan, seperti: berkebun, meramu

13 Ibid. hal.154.
14 Ibid.
15 Ibid. hal. 155.

8

sagu, membuat kopra dan berdagang. Mata pencaharian yang paling disukai adalah sebagai
nelayan, kemudian yang kedua adalah melalui berkebun.16
Adapun teknik penangkapan ikan oleh masyarakat di Pulau Gag, antara lain dengan
menggunakan jaring, menggunakan racun dari akar bore, tombak, busur dan anak panah,
bahan peledak dan jerat ikan. Nelayan di Pulau Gag itu termasuk nelayan tradisional, belum
menggunakan teknologi mutakhir dalam proses penangkapan ikan. Hal ini juga disebabkan
oleh tingkat pendidikan yang masih kurang. Karena Tingkat pendidikan yang rendah dan
desakan kebutuhan ekonomi menyebabkan kurangnya pemahaman masyarakat tentang
konservasi sumber daya alam, sehingga masyarakat mempunyai kebiasaan menggunakan
bahan peledak dan bahan-bahan yang merusak kehidupan biota laut dalam menangkap ikan.
Jadi cara-cara yang dilakukan itu masih ada yang kurang efektif, efisien dan belum ramah
lingkungan. Selanjutnya karena minim teknologi untuk pengawetan ikan terkadang
menyebabkan rendahnya harga jual ikan di tingkat nelayan. Harga jual selain dipengaruhi
oleh kualitas ikan juga dipengaruhi oleh permintaan maupun penawaran di pasaran.17
Terdapat enam karakteristik sosial mencolok masyarakat maritim, terutama
masyarakat nelayan dan pelayar, yakni: hubungan dengan dan ketergantungan secara fisik
dan psiko-sosio-budaya pada lingkungan alamnya; pemanfaatan lingkungan dan sumber daya
laut secara bersama; hubungan dengan dan kebutuhan secara mutlak pada kelembagaan
lokal; hubungan dengan dan ketergantungan secara mutlak pada pasar lokal, regional, dan
global; hubungan dengan dan ketergantungan pada berbagai pihak berkepentingan dari luar;
dan mobilitas geografi yang tinggi dan jaringan kesukubangsaan yang luas. Diasumsikan
bahwa terbentuknya karakteristik sosial masyarakat bahari tersebut terkondisikan oleh sifat
lingkungan sumber daya laut pada satu sisi dan juga dipengaruhi secara dominan oleh budaya
masyarakat maritime itu sendiri.18
Berdasarkan pemaparan data dalam jurnal penelitian kehutanan Wallacea yang
berjudul “Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat Sekitar Kawasan Konservasi:
Studi Kasus Di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat” dapat diketahui karakteristik sosial
masyarakat maritim di Pulau Gag, yaitu mereka memanfaatkan laut dan sumber daya alam di
16 Ibid.hal. 156.
17 Ibid.
18 Tim Pengajar WSBM Universitas Hasanuddin, op.cit., hal. 91.

9

lingkungannya secara kekeluargaan, dan kepemilikan perusahaan; masyarakat juga
tergantung pada pengumpul di luar Pulau Gag, hasil laut maupun komoditas dagang yang
lain mereka pasarkan kepada pengumpul dari luar Pulau Gag dan masyarakat daerahnya.
Datangnya para pengumpul dari luar Pulau Gag yang datang secara periodik baik dari Pulau
Gebe, Ternate maupun dari Bitung dengan menumpang kapal perintis yang masuk Pulau Gag
setiap 3 minggu sekali. Demikian halnya pengumpul dari Sorong akan datang pada saat kapal
perintis tersebut kembali dari Sorong untuk melanjutkan rutenya kembali ke Bitung.
Sebagian besar transaksi jual beli yang dilakukan oleh masyarakat cenderung menggunakan
sistem barter dengan standar harga pasaran, karena kebetulan para pemilik kios juga
merupakan

pedagang

pengumpul/pengepul

(colector).

Masyarakat

di

Pulau

Gag

menggunakan sistem barter karena Perputaran uang di Pulau Gag sangat rendah sekali. Tidak
ada pasar dan hanya terdapat beberapa kios yang menyediakan kebutuhan masyarakat. Pada
umumnya masyarakat jarang sekali memiliki uang tunai, sehingga untuk memperoleh
barang-barang yang dibutuhkan dari kios maka masyarakat akan berhutang dulu dan akan
dibayar ketika memperoleh hasil baik dari nelayan, berkebun, membuat kopra atau meramu
sagu atau dengan sistem barter.
D. Penutup
Jadi, kesimpulan dari artikel ini adalah ada banyak faktor yang mempengaruhi kondisi
sosial ekonomi dan budaya masyarakat suatu daerah, seperti tingkat pendidikan dan budaya
masyarakat itu sendiri. Faktor sosial ekonomi dan budaya itu pun mempengaruhi bagaimana
masyarakat setempat itu bersikap dan bagaimana sudut pandang mereka terhadap suatu
masalah yang terjadi di lingkungannya. Contohnya pada masyarakat di Pulau Gag, karena
kondisi ekonomi dan budayanya mereka lebih cenderung menerima dan setuju dengan
adanya perusahan tambang, mereka tidak memikirkan dampak negatif jangka panjang pada
kondisi ekologis Pulau Gag.
Saran dari penulis kepada para pembaca artikel ini adalah kembangkan dan carilah
sumber-sumber kepustakaan lainnya agar pemahaman mengenai kondisi sosial ekonomi dan
budaya pada masyarakat maritim itu bisa lebih luas. Dan akhir kata seyogianya diadakan
penelitian atau observasi lebih lanjut pada masyarakat di Pulau Gag, karena seiring
berjalannya waktu dan berkembangnya zaman pasti ada dinamika sosial ekonomi dan budaya
yang terjadi pada masyarakat maritim di Pulau Gag.
10

Daftar Pustaka
Hastanti, Baharinawati W. dan Triantoro, R. Gatot Nugroho. 2012. Kondisi Sosial Ekonomi Dan
Budaya Masyarakat Sekitar Kawasan Konservasi: Studi Kasus Di Pulau Gag, Raja
Ampat, Papua Barat. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea. Vol. I. No. 2. Hal 149-164.
Dalam

https://media.neliti.com/media/publications/123676-ID-kondisi-sosial-ekonomi-

dan-budaya-masyar.pdf. Diakses pada 21 November 2017.
Lasabuda, Ridwan. 2013. Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan Dalam Perspektif Negara
Kepulauan Republik Indonesia. Jurnal Ilmiah Platax. Vol. I. No.2. ISSN: 2302-3589. Hal
92-101.
Permanadewi, Sam, Joko Wahyudiono, dan Armin Tampubolon. 2017. Cebakan Nikel Laterit di
Pulau

Gag,

Kabupaten

Raja

Ampat,

Provinsi

Papua

Barat.

Dalam

http://buletinsdg.geologi.esdm.go.id/index.php/bsdg/article/view/BSDG%20Vol
%2012%20No%201%20Artikel%205/pdf. Diakses pada 21 November 2017.
Tim Pengajar WSBM Universitas Hasanuddin. 2011. Himpunan Materi Kuliah Wawasan sosial
Budaya Maritim (WSBM). Makassar: UPT MKU Universitas Hasanuddin.

11