Ngadiman dan Huslin Pengaruh Sunset Poli (1)

Ngadiman dan Huslin: Pengaruh Sunset Policy, Tax Amnesty dan Sanksi Pajak

PENGARUH SUNSET POLICY, TAX AMNESTY, DAN SANKSI
PAJAK TERHADAP KEPATUHAN WAJIB PAJAK
(Studi Empiris di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Kembangan)
Ngadiman dan Daniel Huslin
Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanagara
Email: ngadiman_ngadiman@yahoo.com
Abstract: The purpose of this study was to analyze the effect of sunset policy, tax
amnesty and tax penalties on tax compliance individual conducting business and work
freely in STO Kembangan Jakarta. The population in this study are all registered
taxpayer in KPP Pratama Jakarta Kembangan. The number of samples in this study
were 100 respondents in Kembangan area. Sampling was done using simple random
sampling method. Data analysis method used in this research is done by using multiple
regression analysis, validity, reliability, classic assumption test, the coefficient of
determination (R2 test), stimultan regression test (Test F), and partial regression test (t
test). Based on the results of data analysis known that the sunset policy and no
significant negative impact on tax compliance. T test results showed t value -1.045> t
table 2.000 with a significance value (0.299)> 0.05 so that H1 is rejected. Tax amnesty
positive and significant impact on tax compliance. T test results showed t value 3.654>
t table 2.000 with a significance value (0.000) t table 2.000 with a significance value (0.002) t tabel 2,000

dengan nilai signifikansi (0,299) > 0,05 sehingga H1 ditolak. Tax amnesty berpengaruh
positif dan signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak. Hasil uji t menunjukkan nilai t
hitung 3,654 > t tabel 2,000 dengan nilai signifikansi (0,000) < 0,05 sehingga H2
diterima. Sanksi pajak berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepatuhan wajib
pajak. Hasil uji t menunjukkan nilai t hitung 3,221 > t tabel 2,000 dengan nilai
signifikansi (0,002) < 0,05 sehingga H3 diterima. Variabel sunset policy, tax amnesty
Jurnal Akuntansi/Volume XIX, No. 02, Mei 2015: 225-241

225

Ngadiman dan Huslin: Pengaruh Sunset Policy, Tax Amnesty dan Sanksi Pajak

dan sanksi pajak dapat digunakan untuk menjelaskan kepatuhan wajib pajak sebesar
21,7%
Kata Kunci: sunset policy, tax amnesty, sanksi pajak, dan kepatuhan wajib pajak

PENDAHULUAN
Tentunya kita tahu pajak merupakan sumber penerimaan negara yang berperan besar bagi
kelangsungan Negara.Melihat Negara kita Indonesia kita dapat memahaminya melalui
keadaan di sekitar kita seperti pendidikan, kesehatan, sarana umum, dll yang ada karena

pajak yang disalurkan negara kita ke sektor-sektor tersebut. Permasahalan yang sering
terjadi berkaitan dengan pungutan pajak ini yakni masih banyaknya masyarakat yang
tidak mau memenuhi kewajiban pajaknya, atau dengan kata lain masih banyaknya
tunggakan pajak. Tingkat kepatuhan wajib pajak orang perorangan (WP OP) untuk
menunaikan kewajiban pembayaran pajaknya di Indonesia masih cukup rendah.
Sebelum memahami lebih jauh mengenai ketidakpatuhan pajak di Indonesia, ada
baiknya terdapat suatu pemahaman awal mengenai situasi perpajakan di Indonesia.Secara
singkat, Indonesia masih berkutat pada permasalahan rendahnya penerimaan perpajakan.
Hal ini dapat dilihat dari rendahnya rasio pajak terhadap PDB (tax ratio) yang berada pada
kisaran 11 hingga 12,3% selama 2009-2012. Rasio ini jelas masih relative rendah jika
dibandingkan dengan rata-rata dunia ataupun Negara OECD (keduanya sekitar 14%).
Terlepas dari perdebatan mengenai cara perhitungan tax ratio tersebut, Indonesia masih
dapat dianggap kondisi undertaxing.
Lebih lanjut lagi, struktur penerimaan pajak di Indonesia masihi banyak ditopang
oleh Pajak Penghasilan, terutama Pajak Penghasilan Badan.Pada tahun 2010 saja,
penerimaan Pajak Penghasilan badan memberikan kontribusi sekitar 45% dari total
penerimaan pajak, jauh di atas penerimaan Pajak Penghasilan pribadi yang hanya sekitar
12%. Struktur ini jauh berbeda jika diperbandingkan dengan rata-rata rasio Pajak
Penghasilan pribadi terhadap badan di Negara-Negara OECD, yang sebesar 5:1 (artinya,
Pajak Penghasilan pribadi memiliki jumlah sebesar kurang lebih lima kali lipat dari Pajak

Penghasilan badan).
Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kementerian Keuangan mencatat bahwa realisasi
penerimaan pajak non migas 2014 mencapai Rp900 triliun namun kontribusi dari wajib
pajak OP baru mencapai Rp4,7 triliun. Wakil Menteri Keuangan, Mardyasmo, mengakui
bahwa setoran pajak dari kelompok wajib pajak orang pribadi sejauh ini terlalu rendah.
Terutama, wajib pajak dari kalangan non karyawan atau memiliki pekerjaan sendiri
termasuk usaha profesi.Hal ini menunjukkan bahwa wajib pajak orang pribadi seperti
pengusaha dan profesi belum memenuhi kewajiban pajaknya dengan baik.Rendahnya
tingkat kepatuhan pajak menjadi indikator rendahnya serapan pajak oleh pemerintah.
Tabel 1. Tingkat Kepatuhan WP tahun 2008-2011
Tahun

2011
2010
2009

Tingkat kepatuhan (%)

62,50
58,16

54,15

Total WP Yang
Menyampaikan
SPT (orang)
9.033.233
8.202.309
5.413.144

WP Yang Wajib
Menyampaikan SPT
(orang)
18.116.000
14.101.933
10.289.590

Total WP
Terdaftar
(orang)
19.410.174

15.911.576
15.911.576

Sumber: Ditjen Pajak, dan beberapa sumber, diolah
Jurnal Akuntansi/Volume XIX, No. 02, Mei 2015: 225-241

226

Ngadiman dan Huslin: Pengaruh Sunset Policy, Tax Amnesty dan Sanksi Pajak

Indonesia Taxation Analysis (CITA) Jakarta, Yustinus Prastowo, mengatakan
tingkat kepatuhan pembayaran pajak pertambahan nilai (PPN) wajib pajak Indonesia
sangat rendah dibanding negara lain di regional Asia. "Kita baru 50 persen yang melapor,
dan setengahnya belum terambil," kata Yustinus dalam diskusi publik Barisan Nusantara
Memburu Pengemplang Pajak di Hotel Sofyan Betawi, Jakarta, Ahad, 28 Desember 2014.
Pemerintah sedang berusaha meningkatkan pembangunan nasional dalam lima tahun
ke depan. Sejumlah proyek besar seperti pembangunan tol laut, infrastruktur darat hingga
revitalisasi desa dan pertanian menjadi proyek unggulan. Namun pemerintah
membutuhkan dana yang memadai untuk membiayai proyek pembangunan ini. Karena
desakan publik agar pemerintah mengurangi besaran utang, maka sumber pembiayaan

yang tersedia adalah iuran pajak serta bea-cukai. Pemerintah mentargetkan tambahan
perolehan pajak sekitar Rp 600 triliun untuk tahun depan dari target awal sekitar Rp 1400
triliun. Menurut Presiden Joko Widodo, tambahan itu hanya setengah dari total potensi
yang ada yaitu mencapai Rp 1.200 triliun. Pemerintah berencana memberikan
pengampunan pajak atau tax amnesty kepada Warga Negara Indonesia (WNI) yang diduga
melakukan penghindaran pajak di luar negeri.
Pemberian tax amnesty merupakan upaya pemerintah menarik dana masyarakat yang
selema ini parkir di perbankan negara lain.“Tax amnesty diberikan kepada mereka yang
selama ini tidak membayar dengan benar,” kata Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo di
sela-sela Kongres XII Ikatan Akuntan Indonesia, di jakarta, Kamis (18/12).Kendati
demikian, kebijakan ini masih perlu diselaraskan dengan instansi penegak hukum lain
serta dibahas dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal ini terkait pihak-pihak yang
dinilai pantas menerima pengampunan. Misalnya, dia mengatakan, apakah pelanggar
pidana pajak boleh mendapatkan pengampunan jika tidak terkait dengan korupsi.“Ini
harus dibicarakan di siding kabinet, kepolisian, dan penegak hukum,” kata dia.Mardiasmo
optimistis, kebijakan ini akan meningkatkan penerimaan pajak. Pemerintah pada 2008 lalu
pernah melakukan sunset policy, yakni penghapusan sanksi administrasi perpajakan
berupa bunga. Ketika itu, pemerintah berhasil menghimpun dana sekitar Rp 5,5 triliun dari
program tersebut.
Direktorat Jenderal Pajak mengetahui ketidakbenaran pemenuhan kewajiban

perpajakan yang telah dilaksanakan oleh masyarakat Wajib Pajak. Agar Wajib Pajak (WP)
tidak dikenai sanksi perpajakan yang timbul apabila tidak melaksanakan kewajibannya
secara benar, maka Ditjen Pajak pada tahun 2008 telah memberikan kesempatan untuk
membetulkan SPT Tahunan PPh untuk Tahun-Tahun Pajak 2006 dan sebelumnya, melalui
kebijakan Sunset Policy, yaitu suatu kebijaksanaan Pemerintah untuk memperoleh fasilitas
penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pembayaran pajak atau
bunga dari pajak yang tidak atau kurang dibayar. Secara teoritis apabila Wajib Pajak mau
mengikuti program Sunset Policy, maka mereka akan memperoleh banyak keuntungan;
Namun pada kenyataannya masih banyak WP. yang tidak memanfaatkan Sunset Policy
tersebut secara optimal. Oleh karena itu maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai pengaruh Sunset Policy terhadap kepatuhan Wajib Pajak. Berdasarkan hal-hal
tersebut di atas timbul beberapa permasalahan, yaitu: bagaimana kepatuhan Wajib Pajak
sebelum diberlakukannya Sunset Policy, bagaimana pengaruh Sunset Policy terhadap
kepatuhan Wajib Pajak dan bagaimana upaya untuk meningkatkan kepatuhan setelah
berakhirnya Sunset Policy tersebut.
Demi mengejar target penerimaan pajak tahun ini, pemerintah menabut insentif
pajak. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemkeu) berjanji untuk
Jurnal Akuntansi/Volume XIX, No. 02, Mei 2015: 225-241

227


Ngadiman dan Huslin: Pengaruh Sunset Policy, Tax Amnesty dan Sanksi Pajak

menerbitkan aturan sunset policy jilid II dalam waktu dekat.Masyarakat baik wajib pajak
pribadi maupun badan dapat memanfaatkan fasilitas penghapusan sanksi administrasi atas
pembetulan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Pengghasilan (PPh) mulai 1 April
2015."Kami upayakan April sudah keluar bahkan dalam dua minggu ini keluar," kata
Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Sigit Priadi Pramudito, Kamis (19/3/2015) lalu.Menurut
Sigit, berakhirnya penyampaian SPT Tahunan PPh wajib pajak orang pribadi pada 31
Maret, menjadi momentum bagi Ditjen Pajak untuk melakukan imbauan kepada
masyarakat untuk segera melakukan pembetulan SPT-nya. Jika masyarakat melakukan
pembetulan SPT PPh sebelum 1 Januari 2016 maka ia akan mendapatkan penghapusan
sanski administrasi bunga 2 persen setiap bulannya.
Kendati demikian, pembetulan SPT yang dimaksud hanya SPT PPh selama lima
tahun terakhir, yakni mulai tahun 2010-2014. Sementara itu, masyarakat tidak dapat
melakukan pembetulan SPT tahun 2010 lantaran masa berlakunya telah berakhir
(kadaluarsa).Aturan sunset policy pernah diterbitkan pemerintah pada tahun 2008 silam,
demi menggenjot penerimaan pajak.Aturan yang berlaku selama 14 bulan sejak Januari
2008 tersebut terbukti dapat meningkatkan penerimaan pajak. Kala itu, realisasi
penerimaan pajak sebesar 6 persen di atas target yang ditetapkan pemerintah.

Kendati demikian, tak dipungkiri bahwa setelah habis masa berlaku pemberian
fasilitas tersebut, tingkat kepatuhan wajib pajak mengalami penurunan. Terbukti, sejak
tahun 2009 hingga 2014 lalu, penerimaan pajak selalu tak mencapai target yang ditetapkan
pemerintah (shortfall).Berkaca pada pengalaman tersebut Sigit memiliki cara tersendiri. Ia
mengklaim, penerbitan insentif pajak yang beleidnya akan diatur dalam Peraturan Dirjen
Pajak (Perdirjen) tersebut, lebih canggih dibandingkan dengan aturan Sunset
Policy sebelumnya.

KAJIAN TEORI
Kepatuhan Wajib Pajak. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, istilah kepatuan
adalah: “Kepatuhan berarti tunduk atau patuh pada ajaran dalam perpajakan kita dapat
memberi pengertian bahwa kepatuhan perpajakan merupakan ketaatan, tunduk, dan patuh,
serta melaksanakan ketentuan perpajakan. Jadi, wajib pajak yang patuh adalah wajib pajak
yang taat dan mematuhi serta melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai ketentuan
peraturan perundang- undangan perpajakan.” Selain itu terdapat beberapa pengertian
kepatuhan dalam bidang perpajakan menurut para ahli, yaitu:
Menurut Nurmantu (2010:148) dijelaskan bahwa terdapat dua macam kepatuhan
yaitu: (1) Kepatuhan Formal. Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana Wajib
Pajak memenuhi kewajiban perpajakan secara formal sesuai dengan ketentuan dalam
Undang-Undang Perpajakan. Dalam hal ini kepatuhan formal meliputi: (a) Wajib Pajak

membayar pajak dengan tepat waktu; (b) Wajib Pajak membayar pajak dengan tepat
jumlah; (c) Wajib pajak tidak memiliki tanggungan Pajak Bumi dan Bangunan. (2)
Kepatuhan Material. Kepatuhan material adalah dimana suatu keadaan dimana Wajib
Pajak secara subtansi/hakekat memenuhi semua ketentuan perpajakan, yakni sesuai
dengan isi dan jiwa undang-undang perpajakan.
Pengertian kepatuhan material dalam hal ini adalah: (a) Wajib pajak bersedia
melaporkan informasi tentang pajak apabila petugas membutuhkan informasi; (2) Wajib
pajak berikap kooperatif (tidak menyusahkan) petugas pajak dalam pelaksanaan proses

Jurnal Akuntansi/Volume XIX, No. 02, Mei 2015: 225-241

228

Ngadiman dan Huslin: Pengaruh Sunset Policy, Tax Amnesty dan Sanksi Pajak

administrasi perpajakan; Wajib pajak berkeyakinan bahwa melaksanakan kewajiban
perpajakan merupakan tindakan sebagai warga negara yang baik.
Rahayu (2009), kepatuhan perpajakan dapat didefinisikan sebagai “suatu keadaan
dimana wajib pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak
perpajakannya.”Ada dua macam kepatuhan pajak, yaitu kepatuhan formal dan kepatuhan

material. Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana wajib pajak dapat memenuhi
kewajiban perpajakan secara formal dengan ketentuan yang ada di dalam undang-undang
perpajakan.Misalnya, ketentuan batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan. Apabila
wajib pajak telah melaporkan Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan (SPT PPh) Tahunan
sebelum batas waktu maka dapat dikatakan bahwa wajib pajak telah memenuhi ketentuan
formal, akan tetapi isinya belum memenuhi ketentuan material. Kepatuhan material adalah
suatu keadaan dimana wajib pajak secara substantif sudah memenuhi semua ketentuan
material perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa undang-undang perpajakan.Wajib pajak
yang memenuhi kepatuhan material adalah wajib pajak yang mengisi dengan jujur,
lengkap, dan benar Surat Pemberitahuan (SPT) sesuai ketentuan dan menyampaikan ke
KPP sebelum batas waktu berakhir.
Sunset Policy. Pengertian Sunset policy menurut Siti Kurnia Rahayu (2009: 344) adalah
pemberian fasilitas penghapusan sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana diatur
dalam Pasal 37A Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007.Kebijakan ini memberi
kesempatan kepada masyarakat untuk memulai kewajiban perpajakannya dengan benar.
Sunset Policy telah dilakukan pada tahun 2008. Sejak Program Sunset Policy
diimplementasikan sepanjang tahun 2008 telah berhasil menambah jumlah NPWP baru
sebanyak 5.653.128 NPWP, bertambahnya SPT tahunan sebanyak 804.814 SPT dan
bertambahnya penerimaan PPh sebesar Rp7,46 triliun. Jumlah NPWP orang pribadi 15,07
juta, NPWP bendaharawan 447.000, dan NPWP badan hukum 1,63 juta. Jadi totalnya
17,16 juta (data DJP, 2010 kuartal 1)
Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, Sunset Policy adalah kebijakan
pemberian fasilitas perpajakan dalam bentuk penghapusan sanksi administrasi perpajakan
berupa bunga yag diatur dalam pasal 37A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan. Selanjutnya dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE
34/PJ/2008 tanggal 31 Juli 2008 Tentang Penegasan Pelaksanaan Pasal 37 A UU. Nomor:
28 Tahun 2008 Tentang Penegasan Pelaksanaan Pasal 37 A Undang-undang Tentang
Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan beserta ketentuan pelaksanaannya,
pelaksanaan Sunset Policy diberikan penegasan sebagai berikut: (1) Konsep dasar
Undang-undang perpajakan yang mengatur tentang Sunset Policy adalah sistem self
assessment. Dalam sistem self assessment, Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk
menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang
terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan. Sebagai
konsekuensi pemberian kepercayaan tersebut, Wajib Pajak wajib menyampaikan Surat
Pemberitahuan berikut keterangan dan/atau dokumen yang harus dilampirkan, yang telah
diisi secara benar, lengkap, dan jelas. (2) Sunset Policy memberi kesempatan kepada: (a)
Wajib Pajak yang telah memiliki NPWP sebelum tanggal 1 Januari 2008 untuk
membetulkan SPT Tahunan PPh untuk Tahun Pajak 2006 dan/atau TahunTahun Pajak
sebelumnya; (b) Wajib Pajak orang pribadi yang memperoleh NPWP secara sukarela
dalam tahun 2008 untuk menyampaikan SPT Tahunan PPh untuk Tahun Pajak 2007 atau
Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya, untuk memperoleh fasilitas berupa penghapusan
sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pembayaran pajak atau bunga atas
Jurnal Akuntansi/Volume XIX, No. 02, Mei 2015: 225-241

229

Ngadiman dan Huslin: Pengaruh Sunset Policy, Tax Amnesty dan Sanksi Pajak

pajak yang tidak atau kurang dibayar. (3) Ketentuan Sunset Policy berdasarkan Pasal 37A
Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan bersifat khusus dan hanya
berlaku untuk jangka waktu terbatas sehingga beberapa ketentuan umum yang diatur
dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan tidak berlaku.
Ketentuan umum yang tidak berlaku sehubungan dengan Sunset Policy seperti ketentuan
yang terkait dengan: (a) pembatasan jangka waktu pembetulan SPT Tahunan PPh paling
lama 2 (dua) tahun sejak berakhirnya Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak; dan (b)
persyaratan belum dilakukan pemeriksaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (1)
Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. (4) Dalam pelaksanaan
Sunset Policy, Wajib Pajak diberikan kepercayaan untuk mengungkapkan seluruh
penghasilan termasuk harta dan kewajiban dalam SPT Tahunan PPh WP Badan atau WP
Orang Pribadi. Data dan/atau informasi yang telah diungkapkan dalam SPT Tahunan PPh
WP Badan atau WP Orang Pribadi yang telah disampaikan atau dibetulkan oleh Wajib
Pajak sehubungan dengan pelaksanaan Sunset Policy tidak dapat digunakan sebagai dasar
untuk melakukan pemeriksaan.
Pertama. Wajib Pajak Lama Bagi Wajib Pajak yang telah memiliki NPWP sebelum
tanggal 1 Januari 2008 (Wajib Pajak Lama) yang memanfaatkan fasilitas Sunset Policy
diberikan penegasan lebih lanjut sebagai berikut: (a) Wajib Pajak Lama yang
menyampaikan SPT Tahunan PPh WP Badan atau WP Orang Pribadi untuk Tahun Pajak
2006 dan/atau Tahun-Tahun Pajak sebelumnya dalam kurun waktu mulai tanggal 1
Januari 2008 sampai dengan 31 Desember 2008 yang menyatakan kurang bayar, diberikan
fasilitas Sunset Policy; (b) Wajib Pajak Lama yang membetulkan SPT Tahunan PPh WP
Badan atau WP Orang Pribadi untuk Tahun Pajak 2006 dan/atau Tahun-Tahun Pajak
sebelumnya dalam kurun waktu mulai tanggal 1 Juli 2008 sampai dengan 31 Desember
2008 yang menyatakan kurang bayar, diberikan fasilitas Sunset Policy atas pembetulan
yang pertama kali. Namun, apabila pembetulan SPT Tahunan PPh dilakukan terhadap SPT
Tahunan PPh (SPT Lama) yang telah disampaikan dalam kurun waktu mulai tanggal 1 Juli
2008 sampai dengan 31 Desember 2008, pembetulan SPT Tahunan PPh tersebut tidak
memperoleh fasilitas Sunset Policy.
Kedua. Wajib Pajak Baru Wajib Pajak orang pribadi yang memperoleh NPWP secara
sukarela dalam tahun 2008 (Wajib Pajak Baru) yang memanfaatkan fasilitas Sunset Policy
diberikan penegasan lebih lanjut sebagai berikut: (a) Wajib Pajak Baru yang
menyampaikan SPT Tahunan PPh untuk Tahun Pajak 2007 atau Tahun Pajak 2007 dan
sebelumnya dalam kurun waktu mulai tanggal 1 Januari 2008 sampai dengan 31 Maret
2009 diberikan fasilitas Sunset Policy. (b) Wajib Pajak Baru yang membetulkan SPT
Tahunan PPh untuk Tahun Pajak 2007 atau Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya dalam
kurun waktu mulai tanggal 1 Januari 2008 sampai dengan 30 Juni 2008 diberikan fasilitas
Sunset Policy atas pembetulan yang pertama kali. Namun, apabila pembetulan SPT
Tahunan PPh dilakukan terhadap SPT Tahunan PPh (SPT Lama) yang telah disampaikan
dalam kurun waktu mulai tanggal 1 Juli 2008 sampai dengan 31 Desember 2008,
pembetulan SPT Tahunan PPh tersebut tidak memperoleh fasilitas Sunset Policy.
Ketiga. Wajib Pajak Sedang Dilakukan Pemeriksaan Bagi Wajib Pajak yang sedang
dilakukan pemeriksaan yang memanfaatkan fasilitas Sunset Policy diberikan penegasan
lebih lanjut sebagai berikut: (a) KPP lokasi yang melakukan pemeriksaan atas kewajiban
perpajakan Wajib Pajak lokasi wajib memberitahukan ke KPP domisili dalam waktu
paling lambat tanggal 22 Agustus 2008 atau paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah SP3
diperlihatkan kepada Wajib Pajak. (b) Dalam hal Wajib Pajak yang diperiksa untuk
Jurnal Akuntansi/Volume XIX, No. 02, Mei 2015: 225-241

230

Ngadiman dan Huslin: Pengaruh Sunset Policy, Tax Amnesty dan Sanksi Pajak

seluruh jenis pajak (all taxes) membetulkan SPT Tahunan PPh WP Badan atau WP Orang
Pribadi, dan SPT untuk jenis pajak lainnya tidak ada yang menyatakan lebih bayar,
pemeriksaan untuk seluruh jenis pajak tersebut dihentikan, kecuali: (i) Jika Pajak
Penghasilan WP Badan atau WP Orang Pribadi yang terutang berdasarkan temuan
pemeriksaan yang didukung oleh bukti yang akurat/konkrit (bukan hasil ekualisasi,
pengujian arus piutang, pengujian arus utang, dsb.) sampai dengan saat Wajib Pajak
membetulkan SPT Tahunan PPh WP Badan atau WP Orang Pribadi lebih besar daripada
Pajak Penghasilan yang terutang menurut pembetulan SPT Tahunan PPh WP Badan atau
WP Orang Pribadi, maka pemeriksaan dilanjutkan setelah mendapat persetujuan dari
atasan langsung Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan; atau (ii) Jika terdapat indikasi tindak
pidana di bidang perpajakan, maka pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti dengan
mengusulkan Pemeriksaan Bukti Permulaan. Temuan pemeriksaan tersebut hanya
menyangkut temuan pemeriksaan yang terkait dengan pemeriksaan atas SPT Tahunan PPh
WP Badan atau WP Orang Pribadi. Dengan demikian, temuan pemeriksaan atas
pemeriksaan untuk jenis pajak lainnya tidak dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan
untuk melanjutkan pemeriksaan. Usulan pemeriksaan bukti permulaan dilakukan dengan
tetap memperhatikan kebijakan Pemeriksaan Bukti Permulaan. (c) Dalam hal SPT
Tahunan PPh WP Badan atau WP Orang Pribadi sedang dilakukan pemeriksaan tetapi
SPT untuk jenis pajak lainnya tidak diperiksa, dan Wajib Pajak memanfaatkan Sunset
Policy, pemeriksaan tersebut dihentikan dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada angka 1; (d) Dalam hal SPT Tahunan PPh WP Badan atau WP Orang
Pribadi tidak sedang dilakukan pemeriksaan tetapi SPT untuk jenis pajak lainnya sedang
diperiksa, dan Wajib Pajak memanfaatkan Sunset Policy, pemeriksaan ditindaklanjuti
sebagai berikut: (a) Jika terdapat pemeriksaan atas SPT jenis pajak lainnya yang
menyatakan lebih bayar (misalnya SPT Masa PPN lebih bayar), pemeriksaan atas SPT
lebih bayar tersebut tetap dilanjutkan tanpa dikaitkan dengan pembetulan SPT Tahunan
PPh WP Badan atau WP Orang Pribadi; (b) Jika terdapat pemeriksaan atas SPT jenis pajak
lainnya yang menyatakan tidak lebih bayar, pemeriksaan untuk jenis pajak lainnya
tersebut dihentikan, kecuali: (i) terdapat indikasi tindak pidana di bidang perpajakan, maka
pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti dengan mengusulkan Pemeriksaan Bukti Permulaan;
atau (ii) Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) terkait dengan pemeriksaan atas
SPT jenis pajak lainnya telah disampaikan kepada Wajib Pajak, maka pemeriksaan tetap
dilanjutkan sampai dengan penerbitan Laporan Hasil Pemeriksaan dan Nota Penghitungan.
Usulan pemeriksaan bukti permulaan dilakukan dengan tetap memperhatikan
kebijakan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
Sunset Policy jilid II. Pada tahun 2015 tepatnya di bulan Mei, Pemerintah menerapkan
kebijakan yang dikenal dengan Sunset Policy jilid II untuk menyempurnakan kebijakan
Sunset Policy sebelumnya, dimana perbedaan adalah sebagai berikut: (1) Landasan hukum
kewenangan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga pada Sunset Policy Jilid I
adalah Pasal 37A UU KUP, sedangkan pada rencana Sunset Policy Jilid II penghapusan
sanksi administrasi menggunakan kewenangan Direktur Jenderal Pajak yang terdapat
dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP; (2) Pemberian penghapusan sanksi administrasi
pada Sunset Policy Jilid I dilakukan dengan KPP tidak menerbitkan STP, sedangkan
pada Sunset Policy Jilid II ini nantinya STP atas sanksi administrasi akan tetap diterbitkan
lalu akan dihapuskan setelah KPP menerima permohonan penghapusan dari Wajib Pajak;
(c) Pada Sunset Policy Jilid I penyampaian atau pembetulan SPT mengandalkan pada
Jurnal Akuntansi/Volume XIX, No. 02, Mei 2015: 225-241

231

Ngadiman dan Huslin: Pengaruh Sunset Policy, Tax Amnesty dan Sanksi Pajak

kesukarelaan (voluntary) Wajib Pajak, sedangkan dalam Sunset Policy Jilid II, selain
bersifat voluntary, ada juga yang bersifat suatu keharusan (mandatory).
Kebijakan ini dinamakan Sunset Policy Jilid II yang disebut-sebut
sebagai Reinventing Policy. Bagi Wajib Pajak orang pribadi dan badan, baik yang telah
maupun yang belum menyampaikan SPT Tahunan PPh Badan, SPT Tahunan PPh Orang
Pribadi, SPT Masa PPh maupun SPT Masa PPN, akan diberikan penghapusan sanksi
administrasi atas keterlambatan penyampaian SPT, pembetulan SPT dan keterlambatan
penyetoran atau pembayaran pajak apabila dalam 2015, Wajib Pajak menyampaikan atau
melakukan pembetulan SPT untuk lima tahun ke belakang.
Tax Amnesty.Tax amnesty adalah suatu kesempatan waktu yang terbatas pada kelompok
pembayar pajak tertentu untuk membayar sejumlah tertentu dan dalam waktu tertentu
berupa pengampunan kewajiban pajak (termasuk bunga dan denda) yang berkaitan dengan
masa pajak sebelumnya atau periode tertentu tanpa takut hukuman pidana.
Kebijakan Tax Amnesty sebenarnya pernah dilakukan Indonesia pada tahun
1984.Pada hakekatnya implementasi tax amnesty maupun sunset policy sekalipun secara
psikologis sangat tidak memihak pada wajib pajak yang selama ini taat membayar
pajak.Kalaupun kebijakan itu diterapkan di suatu negara, harus ada kajian mendalam
mengenai karakteristik wajib pajak yang ada di suatu negara tersebut karena karakteristik
wajib pajak tentu saja berbeda-beda. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah
karakteristik wajib pajak memang banyak yang tidak patuh, sehingga tax amnesty tidak
akan menyinggung para WP yang taat membayar pajak. Selain itu, pola tax amnesty
seperti model sunset policy hanya bisa diterapkan.sekali dalam seumur hidup wajib pajak.
Pengampunan pajak tersebut diberikan atas pajak-pajak yang belum pernah atau belum
sepenuhnya dikenakan atau dipungut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Adapun bentuk pengampunannya dikenakan tebusan dengan tarif: (1) 1% (satu
persen) dari jumlah kekayaan yang dijadikan dasar untuk menghitung jumlah pajak yang
dimintakan pengampunan, bagi Wajib Pajak yang pada tanggal ditetapkannya Keputusan
Presiden ini telah memasukkan Surat Pemberitahuan Pajak Pendapatan/Pajak Perseroan
tahun 1983 dan Pajak Kekayaan tahun 1984; (2) 10% (sepuluhpersen) dari jumlah
kekayaan yang dijadikan dasar untuk menghitung jumlah pajak yang dimintakan
pengampunan, bagi Wajib Pajak yang pada tanggal ditetapkannya Keputusan Presiden ini
belum memasukkan Surat Pemberitahuan Pajak Pendapatan/Pajak Perseroan tahun 1983
dan Pajak Kekayaan tahun 1984.
Berdasarkan penelitian (Enste & Schneider, 2000), bahwa besarnya persentase
kegiatan ekonomi bawah tanah (underground economy), di negara maju dapat mencapai
14 – 16 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), sedangkan di negara berkembang
dapat mencapai 35 – 44 persen dari PDB. Kegiatan ekonomi bawah tanah ini tidak pernah
dilaporkan sebagai penghasilan dalam formulir surat pemberitahuan tahunan (SPT) Pajak
Penghasilan, sehingga masuk dalam kriteria penyelundupan pajak (tax evasion).
Penyelundupan pajak mengakibatkan beban pajak yang harus dipikul oleh para wajib
pajak yang jujur membayar pajak menjadi lebih berat, dan hal ini mengakibatkan
ketidakadilan yang tinggi.Peningkatan kegiatan ekonomi bawah tanah yang dibarengi
dengan penyelundupan pajak ini sangat merugikan negara karena berarti hilangnya
penerimaan pajak yang sangat dibutuhkan untuk membiayaai program pendidikan,
kesehatan dan program-program pengentasan kemiskinan lainnya.Oleh sebab itu timbul
pemikiran untuk mengenakan kembali pajak yang belum dibayar dari kegiatan ekonomi
bawah tanah tersebut melalui program khusus yakni pengampunan pajak (tax amnesty).
Jurnal Akuntansi/Volume XIX, No. 02, Mei 2015: 225-241

232

Ngadiman dan Huslin: Pengaruh Sunset Policy, Tax Amnesty dan Sanksi Pajak

Keunggulan yang diharapkan bila kebijakan tax amnesty diimplementasikan yaitu
akan dapat mendorong masuknya dana-dana dari luar negeri yang dalam jangka panjang
dapat digunakan sebagai pendorong investasi yang pada gilirannya bermanfaat untuk
menstimulasi perekonomian nasional. Di sisi lain kelemahannya bila diterapkan
pengampunan pajak adalah tidak serta merta menjamin peningkatan kinerja setoran pajak
ke kas negara. Hal ini bisa sebaliknya berpotensi terjadinya penyelewengan, manipulasi
dan tindakan moral hazard lainnya. Para pengusaha yang memperoleh pemutihan pajak
akan melakukan penggelapan kewajiban pajaknya. Kecuali bila diberlakukan
pengampunan pajak bersyarat. Contohnya pengampunan pajak bersyarat, wajib pajak
harus transparan terhadap aset-aset dan penghasilan mereka. Hal ini guna menghindari
kekeliruan yang sama tahun 1984 tidak terulang kembali yaitu minimnya akses informasi
terhadap masyarakat dan minimnya keterbukaan/transparansi serta sosialisasi kebijakan
ini. Bila program tax amnesty berhasil diimplementasikan maka pemerintah mempunyai
beberapa keuntungan antara lain pemerintah dapat mengkonsentrasikan atau
memfokuskan pada upaya pemberantasan korupsi. Demikian juga dengan
diimplementasikan tax amnesty maka asset recovery-nya lebih mudah karena tidak perlu
melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan proses hukum lainnya untuk
mengambil asset koruptor. Asset recovery adalah perbandingan antara jumlah kerugian
negara yang didakwakan dengan penyitaan asset atau pengembalian asset korupsi.Selama
ini persentase asset recovery masih relatif kecil.Persentase asset recovery dapat dijadikan
acuan penentuan tarif tax amnesty.
Indonesia dapat mempertimbangkan untuk melakukan tax amnesty dalam berbagai
bentuknya untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Tax amnesty ini juga dapat
dipandang sebagai rekonsilisasi nasional untuk menghapus masa lalu wajib pajak yang
tidakpatuh dan perilaku otoritas pajak yang melanggar aturan.Tax amnesty akan berhasil
jika terdapat justifikasi yang kuat kenapa perlu adanya tax amnesty. Tax amnesty harus
dipublikasikan secara masif dengan pesan agar para penggelap pajak untuk ikut karena
setelah tax amnesty akan diberlakukan sanksi yang tegas bagi mereka yang tidak patuh.
Untuk itu, diperlukan juga reformasi kelembagaan DJP secara bersamaan untuk dapat
mendeteksi kecuarangan wajib pajak pasca pemberlakuan tax amnesty.Disamping itu,
untuk membangun kepatuhan sukarela untuk membayar pajak pasca tax
amnesty diharuskan adanya transparansi penggunaan uang pajak (anggaran) serta
alokasinya yang tepat sasaran dan berkeadilan.
Sanksi Pajak.Sanksi adalah suatu tindakan berupa hukuman yang diberikan kepada orang
yang melanggar peraturan. Peraturan atau undang-undang merupakan rambu-rambu bagi
seseorang untuk melakukan sesuatu mengenai apa yang harus dilakukan dan apa yang
seharusnya tidak dilakukan. Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang
Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan disebutkan bahwa ada dua macam sanksi,
yaitu: Pertama. Sanksi Administrasi yang terdiri dari: (1) Sanksi Administrasi berupa
denda. Sanksi denda adalah jenis saniksi yang paling banyak ditemukan dalam UndangUndang perpajakan.Terkait besarannya denda dapat ditetapkan sebesar jumlah tertentu,
presentasi dari jumlah tertentu, atau angka perkalian dari jumlah tertentu. Pada sejumlah
pelanggaran, sanksi denda ini akan ditambah dengan sanksi pidana. (2) Sanksi
Administrasi berupa bunga. Sanksi ini biasa dikenakan atas pelanggaran yang
menyebabkan utang pajak menjadi lebih besar.Jumlah bunga dihitung berdasarkan
presentasi tertentu dari suatu jumlah, mulai dari saat bunga itu menjadi hak/kewajiban
Jurnal Akuntansi/Volume XIX, No. 02, Mei 2015: 225-241

233

Ngadiman dan Huslin: Pengaruh Sunset Policy, Tax Amnesty dan Sanksi Pajak

sampai dengan saat diterima dibayarkan. (3) Sanksi Administrasi berupa kenaikan. Sanksi
ini bisa jadi sanksi yang paling ditakuti oleh Wajib Pajak. Hal ini karena bila dikenakan
sanksi tersebut, jumlah pajak yang harus dibayar bias menjadi berlipat ganda. Sanksi
berupa kenaikan pada dasarnya dihitung dengan angka presentasi tertentu dari jumlah
pajak yang tidak kurang dibayar. Kedua. Sanksi Pidana yang terdiri dari: (1) pidana
kurungan. Sanksi ini biasa terjadi karena adanya tindak pidana yang dilakukan karena
kelalaian. Batas maksimum hukuman kurunga ialah 1 (satu) tahun, pekerjaan yang harus
dilakukan oleh para tahanan kurungan biasanya lebih sedikit dan lebih ringan, selain di
penjara negara, dalam kasus terentu diizinkan menjalaninya di rumah sendiri dengan
pengawasan yang berwajib, kebebasan tahanan kurungan lebih banyak, pada dasarnya
tidak ada pembagian atas kelas-kelas, dan dapat menjadi pengganti hukuman denda. (2)
pidana penjara. Sanksi ini biasa terjadi karena adanya tindak pidana yang dilakukan
dengan sengaja. Batas maksimum penjara ialah seumur hidup, pekerjaan yang dilakukan
oleh tahanan penjara biasanya lebih banyak dan lebih berat, terhukum menjalani di gedung
atau di rumah penjara, kebebasan para tahanan penjara amat terbatas, dibagi atas kelaskelas menurut kualitas dan kuantitas kejahatan dari yang tergolong berat sampai dengan
yang teringan, dan tidak dapat menjadi pengganti hukuman denda.
Beberapa hasil penelitian yang dilakukan seperti Jatmiko (2006), Muliari dan
Setiawan (2010), dan Santi (2012) mengenai sanksi perpajakan menunjukkan bahwa
sanksi perpajakan berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak. Semakin tinggi
atau beratnya sanksi, maka akan semakin merugikan wajib pajak. Oleh sebab itu, sanksi
perpajakan diduga akan berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan formal wajib pajak.
Hipotesis. Berdasarkan latar belakang dan etori yang mendasari, maka dapat dirumuskan
hipotesis penelitian sebagai berikut: (1) Sunset Policy pajak berpengaruh positif terhadap
kepatuhan wajib pajak; (2) Tax Amnesty berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib
pajak; (3) Sanksi pajak berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak.

METODE
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh wajib pajak orang pribadi yang tercatat di
KPP Pratama Jakarta Kembangan.Jumlah populasi dalam penelitian ini yaitu 38.790 wajib
pajak orang pribadi.Guna efisiensi waktu dan biaya, maka tidak semua wajib pajak
tersebut menjadi objek dalam penelitian ini. Oleh karena itu dilakukanlah pengambilan
sampel.Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode
simple random sampling.Sampelnya adalah orang-orang yang ditemui oleh peneliti secara
acak. Penentuan sampel ditentukan dengan menggunakan rumus slovin dan berdasarkan
perhitungan, maka jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah sebanyak
99,74 yang dibulatkan menjadi 100 wajib pajak orang pribadi.
Data dalam penelitian ini berupa data primer yaitu data yang berasal langsung dari
sumber data yang dikumpulkan secara khusus dan berhubungan langsung dengan
permasalahan yang diteliti. Sumber data primer pada penelitian ini diperoleh langsung dari
para wajib pajak orang pribadi yang ada di kota Jakarta dan terdaftar di KPP Pratama
Jakarta Kembangan, Jl. Arjuna Utara No. 87, Kedoya Selatan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat,
DKI Jakarta. Data ini berupa kuesioner yang telah diisi oleh para wajib pajak yang
menjadi responden terpilih dalam penelitian ini. Data sekunder yaitu data yang diperoleh
peneliti secara tidak langsung melalui media perantara (diperoleh dan dicatat oleh pihak
Jurnal Akuntansi/Volume XIX, No. 02, Mei 2015: 225-241

234

Ngadiman dan Huslin: Pengaruh Sunset Policy, Tax Amnesty dan Sanksi Pajak

lain). Data sekunder berupa bukti, catatan atau laporan historis yang telah tersusun dalam
arsip (data dokumenter) yang dipublikasikan atau yang tidak dipublikasikan.Data
penelitian ini diperoleh dengan menggunakan metode tinjauan kepustakaan (library
research) dan mengakses website maupun situs-situs.
Metode Analasis Data. Pengolahan data dilakukan dengan cara menggunakan
perhitungan 5 poin skala Likert, 1 untuk STS hingga 5 untuk SS dalam kuesioner yang
diisi setiap responden, kemudian dihitung dan diolah dengan menggunakan program
software Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 20 untuk menghasilkan
perhitungan yang menunjukan pengaruh variable indpenden terhadap variable dependen.
Adapun metode-metode yang digunakan dalam mengolah data adalah uji statistic
deskriptif, uji kualitas data, uji asumsi klasik, dan uji hipotesis.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Responden dalam penelitian ini yaitu wajib pajak orang pribadi yang terdaftar di KPP
Pratama Jakarta Kembangan dengan jumlah responden sebanyak 100 orang.100 eksamplar
kuesioner yang diberikan kepada responden telah diisi secara lengkap dan benar sehingga
layak untuk dianalisis lebih lanjut untuk kepentingan penelitian ini.Karakteristik
responden dikelompokkan menurut usia, jenis kelamin, pekerjaan, pengalaman kerja,
pendidikan terakhir, pengisian SPT, dan pendidikan pajak.
Statistik Deskriptif. Statistik deskriptif menggambarkan karakteristik umum dari sampel
yang digunakan dalam penelittian ini dengan lebih rinci sehingga dapat diketahui nlai
minimum, nilai maksimum, nilai rata-rata, dan standar deviasi dari masing-masing
variable yaitu sunset policy, tax amnesty, sanksi pajak, dan kepatuhan wajib pajak. Hasil
uji statistic deskriptif untuk setiap variable disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2.Output Statistik Deskriptif

Sunset Policy
Tax Amnesty
Sanksi Pajak
Kepatuhan Wajib Pajak
Valid N (listwise)

N Minimum Maximum
100
7
30
100
8
29
100
8
28
100
9
30
100

Mean
Std. Deviation
25.48
4.270
24.61
3.949
20.17
5.099
24.71
4.402

Analisis Pengujian Asumsi Klasik. Untuk memperoleh hasil pengujian baik maka semua
data yang dibutuhkan dalam penelitian harus diuji terlebih dahulu agar tidak melanggar
asumsi klasik yang ada, dapat memperoleh hasil pengujian hipotesis yang tepat dan dapat
dipertanggungjawabkan serta menghasilkan model regresi yang signifikan dan
representatif. Asumsi klasik yang diuji yaitu: Normalitas, Multikolinearitas,
Heteroskedastisitas, dan Autokorelasi.
Berdasarkan Tabel 3, hasil uji One Sample Kolmogrov-Smirnov Test menunjukan
bahwa nilai probabilitas value atau asymp. Sig. bernilai 0,056 atau lebih besar dari 0,05.
Dengan demikian hasil uji normalitas menunjukan nilai unstandardized residual yang
terdistribusi normal, yang menunjukan data baik atau layak untuk digunakan dalam model
regresi.
Jurnal Akuntansi/Volume XIX, No. 02, Mei 2015: 225-241

235

Ngadiman dan Huslin: Pengaruh Sunset Policy, Tax Amnesty dan Sanksi Pajak

Tabel 3. Hasil Uji Normalitas Data (One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test)
Unstandardized Residual
N
Normal Parametersa,b
Most Extreme Differences

100
0E-7
3.83631877
.134
.065
-.134
1.336
.056

Mean
Std. Deviation
Absolute
Positive
Negative

Kolmogorov-Smirnov Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.

Tabel 4. Hasil Uji Asumsi Klasik Multikolinearitas
Model

Collinearity Statistics
Tolerance
VIF
Sunset Policy
.967
1.034
1
Tax Amnesty
.964
1.037
Sanksi Pajak
.947
1.056
a. Dependent Variable: Kepatuhan Wajib Pajak

Berdasarkan Tabel 4 di atas menunjukkan bahwa nilai tolerance dari ketiga variabel
independen berada di atas 0.10 dan VIF kurang dari 10. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa dalam model regresi tersebut tidak terdapat masalah multikolinearitas,
maka model regresi ini layak untuk dipakai.
Tabel 5. Hasil Uji Asumsi Klasik Heteroskedastisitas
Model

Unstandardized
Standardized
Coefficients
Coefficients
B
Std. Error
Beta
(Constant)
12.985
3.635
Sunset Policy
-.097
.093
-.094
1
Tax Amnesty
.369
.101
.331
Sanksi Pajak
.254
.079
.294
a. Dependent Variable: Kepatuhan Wajib Pajak

t

Sig.

3.572
-1.045
3.654
3.221

.001
.299
.000
.002

Berdasarkan uraian Tabel 5, dapat disimpulkan terdapat heteroskedastisitas di dalam
model regresi ini yaitu pada variable independen Sunset Policy yang digunakan dalam
penelitian ini yang memiliki nilai signifkansi lebih besar dari 0,05.
Tabel 6. Hasil Uji Asumsi Klasik Auto Korelasi
Model

R

R
Square

Adjusted Std. Error of
R Square the Estimate

Change Statistics
R
F
df1 df2 Sig. F
Square Change
Change
Change
1
.490a
.241
.217
3.896
.241 10.137
3 96
.000
a. Predictors: (Constant), Sanksi Pajak, Tax Amnesty, Sunset Policy
b. Dependent Variable: Kepatuhan Wajib Pajak
Jurnal Akuntansi/Volume XIX, No. 02, Mei 2015: 225-241

DurbinWatson

1.697

236

Ngadiman dan Huslin: Pengaruh Sunset Policy, Tax Amnesty dan Sanksi Pajak

Berdasarkan Tabel 6, dapat diketahui nilai Durbin-Watson (d) pada penelitian ini adalah
sebesar 1,697. Penelitian ini menggunakan jumlah sampel sebanyak 100 (n=100) dengan
variable indpenden sebanyak 3 (k=3) dengan tingkat signifikansi 0,05 maka diperoleh nilai
du (batas dalam) = 1,6131 dan dl (batas luar) = 1,7364. Batas atas nilai du untuk penelitian
ini adalah 1,6131 sehingga 4-du adalah sebesar 2,3869. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa nilai d sebesar 1,697 terletak di antara du dan 4-du
(1,6131