Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi G

UNTUK PEMETAAN POTENSI KETERSEDIAAN AIR DI DAERAH ALIRAN SUNGAI BLONGKENG TUGAS AKHIR

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Ahli Madya Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada

Disusun Oleh :

Dewi Novita Sari 11/315410/DGE/00886

PROGRAM DIPLOMA PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI SEKOLAH VOKASI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2014

PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI UNTUK PEMETAAN POTENSI KETERSEDIAAN AIR DI DAERAH ALIRAN SUNGAI BLONGKENG TUGAS AKHIR

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk lulus Program Diploma III Penginderaan

Jauh dan Sistem Informasi Geografi dan memperoleh Gelar Ahli Madya

Disusun Oleh : Dewi Novita Sari 11/315410/DGE/00886

PROGRAM DIPLOMA PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI SEKOLAH VOKASI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2014

PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI UNTUK PEMETAAN POTENSI KETERSEDIAAN AIR DI DAERAH ALIRAN SUNGAI BLONGKENG

Oleh: Dewi Novita Sari 11/315410/DGE/00886

INTISARI

Kekeringan yang semakin meluas di beberapa wilayah pada musim kemarau berkaitan dengan pengelolaan sistem Daerah Aliran Sungai (DAS) sekitar Ketersediaan air menjadi penting mengingat semakin hari kebutuhan akan penggunaan air semakin meningkat tetapi wadah tampungan airnya bersifat tetap dan tidak berubah secara signifikan, penginderaan jauh dan sistem informasi geografi merupakan perpaduan yang lebih mudah untuk perolehan data spasial secara digital dan dapat menyajikan informasi dalam pemetaan potensi ketersediaan. Tujuan dari penelitian ini antara lain: 1) Mengaplikasikan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi untuk mengetahui daerah yang berpotensi memiliki ketersediaan air di Daerah Aliran Sungai (DAS) Blongkeng.

Sumber data primer yang digunakan yaitu citra Landsat 8 perekaman Juni 2013 daerah Jawa Tengah dan Sekitarnya dan plotting sumber mata air. Sumber data sekunder yaitu data curah hujan tahunan, data kemiringan lereng, peta geomorfologi skala 1:100.000, peta batas DAS Blongkeng skala 1:100.000, dan peta Rupabumi Indonesia digital. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis kuantitatif berjenjang dengan menumpang-tindihkan beberapa parameter yang berpengaruh terhadap potensi ketersediaan air, metode manual digunakan untuk melakukan pengkelasan hasil skoring yang didapatkan.

Hasil yang didapatkan daerah yang memiliki potensi ketersediaan air besar utamanya di musim kemarau adalah Mungkid, sebagian Muntilan, dan sebagian Ngluwar. Daerah yang memiliki potensi ketersediaan sedang yaitu sebagian Dukun dan Srumbung. Daerah yang memiliki potensi ketersediaan air kecil adalah Sawangan dan Candimulyo. Daerah yang tidak memiliki cadangan air di musim kemarau antara lain Selo, Pakis, dan Sawangan Utara.

Kata Kunci: Potensi Ketersediaan Air, Kekeringan, penginderaan jauh, SIG, DAS

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmad dan hidayahNYA sehingga Tugas Akhir dengan judul “Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi untuk Pemetaan Potensi Ketersediaan Air di Daerah Aliran Sungai Blongkeng” dapat selesai tepat pada waktunya dan tidak mengalami hambatan yang berarti. Tugas Akhir ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Ahli Madya D3 Program Diploma Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi, Sekolah Vokasi, Universitas Gadjah Mada.

Penyusun menyadari Tugas Akhir ini tidak akan terlaksana tanpa bantuan pihak-pihak yang terlibat dalam proses pembuatannya. Ungkapan terima kasih penyusun sampaikan kepada:

1. Alloh SWT yang selalu melindungi dan memberikan kesempatan untuk menimba ilmu yang baik dan bermanfaat.

2. Kedua orang tua dan keluarga yang selalu memberikan dorongan semangat, doa, dan kasih sayang.

3. Drs. Sudaryatno, M.Si, selaku Dosen Pembimbing Tugas Akhir yang telah memberikan pengarahan dengan sabar dan jawaban atas semua pertanyaan penulis sehingga Tugas Akhir ini dapat terselesaikan.

4. Dr. Tjahyo Nugroho Adji M.Sc.Tech, selaku dosen penguji yang telah memberikan koreksi dan sarannya guna perbaikan Tugas Akhir ini.

5. Taufik Hery Purwanto, M.Si, selaku Ketua Program Diploma Penginderaan Jauh dan SIG, Sekolah Vokasi, Universitas Gadjah Mada.

6. Prima Nugroho, A.Md, yang membantu bertukar pikiran dalam pembuatan Tugas Akhir ini

7. Sahabat-sahabatku Tomy Yogo Wassiso, Farida Rizki Utami, Septian Galih Widhi Asta, dan Isna Mardiyana yang selalu menyemangati pembuatan Tugas Akhir ini

8. Seluruh Pegawai Diploma Penginderaan Jauh dan SIG dan teman-teman angkatan 2011 yang telah banyak membantu dan memberi semangat selama penyusunan.

9. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu dan telah membantu sampai selesainya Tugas Akhir ini.

Atas segala bantuan yang telah diberikan dalam proses penyelesaian Tugas Akhir ini penyusun mengucapkan terima kasih. Penyusun menyadari bahwa Tugas Akhir ini masih jauh dari kesempurnaan, apabila ada kekeliruan dan kekurangan dalam penulisan laporan ini dengan kerendahan hati penyusun mohon maaf. Segala kritik dan saran yang sifatnya membangun guna pembenahan lebih lanjut diterima dengan lapang dada. Semoga Tugas Akhir ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Amin.

Yogyakarta, 12 Agustus 2014 Penulis

Dewi Novita Sari

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Pemanfaatan lahan di DAS Blongkeng ........................ 16 Tabel 3.2

Jumlah penduduk per kecamatan ............................... 16 Tabel 3.3

Jumlah penduduk menurut pencaharian ...................... 17 Tabel 4.1

Tabel klasifikasi kerapatan vegetasi ............................. 27 berdasarkan NDVI

Tabel 4.2 Klasifikasi interpretasi penggunaan lahan .................... 30 Tabel 4.3

Tabel interpretasi penggunaan lahan ...................... 34 menggunakan Landsat 8 komposit 568

Tabel 4.4 Tabel klasifikasi penggunaan lahan ...................... 35 Tabel 4.5

Klasifikasi Bentuklahan menurut ...................... 37 Verstapen (1985)

Tabel 4.6 Tabel interpretasi bentuklahan ...................... 39 menggunakan Landsat 8 komposit 568

Tabel 4.7 Klasifikasi bentuklahan ................................................ 40 Tabel 4.8

Klasifikasi Kemiringan lereng .................................. 41 Tabel 4.9

Daftar stasiun pengamat hujan .................................. 42 Tabel 4.10 Klasifikasi curah hujan tahunan .................................. 44 Tabel 4.11 Klasifikasi jarak sumber mata air .................................. 46 Tabel 4.12 Klasifikasi skor potensi ketersediaan air

.................... 49 Tabel 5.1

Matriks Uji Akurasi Transformasi Indeks .................... 55 Vegetasi (NDVI)

Tabel 5.2 Perbandingan Transformasi NDVI dan .................... 57 lapangan

Tabel 5.3 Luas lahan pertanian penggunaan air ........................... 59 Tabel 5.4

Matrik uji akurasi penggunaan lahan ........................ 60 Tabel 5.5

Perbandingan hasil interpretasi PL dan .................... 62 lapangan

Tabel 5.6 Matriks uji akurasi bentuklahan ............................... 65

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Perbandingan band landsat ETM dan 8 ....................... 10 Gambar 4.1

Cara pemilihan komposit citra ................................... 22 Gambar 4.2

Histogram band merah komposit 568 ....................... 23 Gambar 4.3

Spasial subset pada ENVI 4.5 ..................................... 24 Gambar 4.4

Proses transformasi NDVI pada ENVI ....................... 25 Gambar 4.5

Interval pengkelasan nilai NDVI ....................... 26 menggunkan density slice

Gambar 4.6 Hasil pengolahan NDVI sebelum & ....................... 26 sesudah density slice Gambar 4.7

Proses digitasi penggunaan lahan .............................. 29 Gambar 4.8

Proses digitasi bentuklahan ........................................ 36 Gambar 4.9

Data titik curah hujan sekitar DAS ......................... 43 Blongkeng Gambar 4.10 Proses geostatical analyst dalam

....................... 43 AcGis 10.0 Gambar 4.11 Record data statistik dan nilai error

....................... 44 Gambar 4.12 Cek lapangan dan plotting sumber

....................... 45 mata air Gambar 4.13 Tampilan pemrosesan data lapangan

....................... 46 menggunakan software Mapsource Gambar 4.14 Diagram alur pembuatan peta potensi ....................... 51 ketersediaan air Gambar 5.1

Sedimentasi di sekitar sungai Blongkeng .................. 54 Gambar 5.2

Peta klasifikasi NDVI .......................................... 56 Gambar 5.3

Peta Penggunaan lahan DAS Blongkeng .................. 61 Gambar 5.4

Peta Bentuklahan DAS Blongkeng ............................ 65 Gambar 5.5

Foto bentuklahan DAS Blongkeng ............................ 67 Gambar 5.6

Peta intensitas curah hujan .......................................... 56 Gambar 5.7

Peta penggunaan lahan DAS Blongkeng .................. 71

Gambar 5.8 Peta sumber mata air dan kelerengan ......................... 73 Gambar 5.9

Peta jarak sumber mata air .......................................... 74 Gambar 5.10 Foto beberapa sumber mata air di ....................... 76 DAS Blongkeng Gambar 5.11 Peta Potensi Ketersediaan Air Daerah ....................... 78 Aliran Sungai Blongkeng

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Secara keseluruhan jumlah air di planet bumi ini relatif tetap dari masa kemasa (Suripin, 2002). Ketersediaan air yang merupakan bagian dari fenomena alam, sering sulit untuk diatur dan diprediksi dengan akurat. Hal ini karena ketersediaan air mengandung unsur variabilitas ruang (spatial variability) dan variabilitas waktu (temporal variability) yang sangat tinggi. Konsep siklus hidrologi adalah bahwa jumlah air di suatu luasan tertentu di hamparan bumi dipengaruhi oleh masukan (input) dan keluaran (output) yang terjadi. Kebutuhan air di kehidupan kita sangat luas dan selalu diinginkan dalam jumlah yang cukup pada saat yang tepat. Oleh karena itu, analisis kuantitatif dan kualitatif harus dilakukan secermat mungkin agar dapat dihasilkan informasi yang akurat untuk perencanaan dan pengelolaan sumberdaya air.

Apabila keluaran air di suatu wilayah lebih banyak daripada masukannya dinamakan defisit air dan berpotensi terjadinya kekeringan. Ketersediaan air menjadi penting mengingat semakin hari kebutuhan akan penggunaan air semakin meningkat tetapi wadah tampungan airnya bersifat tetap dan tidak berubah secara signifikan. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan salah satu wadah bagi input dan output air dimana kajian hidrologi mempengaruhi jumlah air yang melewati suatu DAS. Sub DAS merupakan bagian dari DAS yang berperan dalam pembentukan siklus hidrologi di dalam DAS dimana mencakup wilayah yang lebih sempit.

DAS Blongkeng merupakan salah satu Daerah Aliran Sungai yang memiliki outlet menuju sungai Progo, berada di 5 Kecamatan Kabupaten Magelang antara lain Sawangan, Dukun, Mungkid, Muntilan, Salam, Ngluwar, dan sebagian Kecamatan Selo di Kabupaten Boyolali. Sub DAS yang berperan dalam sistem DAS Blongkeng antara lain sub DAS Pabelan, sub DAS Blongkeng, sub DAS Mangu, sub DAS Putih, dan sub DAS

Batang. Magelang yang notabene berada di daerah tengkuk lereng dan dikelilingi oleh beberapa gunung seharusnya menyimpan cadangan air dan tidak mungkin terjadi kekeringan tetapi tahun 2013 Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Magelang mencatat ada 11 kecamatan dan 21.782 kepala keluarga terancam kekeringan memasuki musim kemarau. Kesebelas kecamatan itu meliputi Srumbung, Salam, Mungkid, Sawangan dan Ngluwar, Ajoran, Borobudur, Candimulyo, Pakis, Secang dan Salaman. (Kompas 10/2013).

Penginderaan jauh memungkinkan perolehan data dengan lebih cepat dan lebih murah untuk kajian hidrologi. Data citra maupun foto udara dapat diolah menjadi informasi baru yang berguna untuk mengetahui kondisi berbasis spasial di suatu wilayah. Penginderaan jauh sangat membantu dalam hal ini untuk efisiensi waktu dan biaya.

Sistem Informasi Geografi (SIG) mempunyai kemampuan untuk menghasilkan informasi baru dengan cepat dan mudah, di samping itu SIG merupakan suatu sistem yang memuat data dengan rujukan spasial, yang dapat dianalisis dan dikonversi menjadi informasi untuk keperluan tertentu. Kunci kemampuan suatu SIG adalah adalah analisis data untuk menghasilkan informasi baru.

Dengan menggabungkan kedua teknologi tersebut yaitu penginderaan jauh dan sistem informasi geografi merupakan perpaduan yang lebih mudah untuk perolehan data spasial secara digital dan dapat menyajikan informasi dalam pemetaan potensi ketersediaan air di DAS Blongkeng.

1.2 Rumusan Masalah

Berbagai macam masalah timbul di DAS Blongkeng dimana salah satunya kekeringan yang semakin meluas di beberapa kecamatan pada musim kemarau berkaitan dengan pengelolaan lingkungan sekitar DAS. Pengelolaan yang terpadu dan berkelanjutan membutuhkan informasi yang Berbagai macam masalah timbul di DAS Blongkeng dimana salah satunya kekeringan yang semakin meluas di beberapa kecamatan pada musim kemarau berkaitan dengan pengelolaan lingkungan sekitar DAS. Pengelolaan yang terpadu dan berkelanjutan membutuhkan informasi yang

Berbagai parameter lingkungan seperti curah hujan, mata air, vegetasi, dan penggunaan lahan yang terkontrol mempengaruhi simpanan air baik di dalam tanah maupun permukaan. Selain itu ada beberapa parameter yang bisa dikaji dengan integrasi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi yang bersumber dari pengambilan data citra satelit merupakan teknologi untuk dapat memetakan hingga memonitoring ketersediaan air.

DAS Blongkeng yang terletak di antara Gunung Merapi dan Merbabu Jawa Tengah memiliki beberapa sungai seperti Blongkeng, Pabelan, Belan yang bertemu di Progo selanjutnya ke selatan menuju outlet. Hal inilah yang memungkinkan banyak cabang sungai yang dapat digunakan sebagai sumber air sebagai upaya mengimbangi kebutuhan air, dimana memungkinkan tetap adanya pelestarian lingkungan agar di kemudian hari tidak terjadi kasus kekeringan yang lebih parah. Dari ulasan singkat diatas dapat dirumuskan menjadi beberapa point antara lain:

1. Bagaimana peran Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi dalam mengidentifikasi dan memetakan potensi ketersediaan air?

2. Dimana lokasi yang berpotensi memiliki ketersediaan air ketika musim kemarau?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Mengaplikasikan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi untuk mengetahui daerah yang berpotensi memiliki ketersediaan air di Daerah Aliran Sungai (DAS) Blongkeng

1.4 Manfaat Penelitian

Tugas Akhir ini mempunyai manfaat, baik secara ilmiah maupun praktis, antara lain:

a. Ilmiah

1. Hasil penelitian memberikan gambaran sejauh mana integrasi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi dapat memetakan potensi ketersediaan air

2. Dapat menjadi bahan refrensi studi terapan bidang hidrologi

b. Praktis

1. Memberikan informasi mengenai daerah yang berpotensi memiliki ketersediaan air dalam kaitannya dengan sistem DAS

2. Memberikan masukan bagi pengelolaan DAS berkelanjutan di daerah terkait.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS)

Daerah aliran sungai (DAS) merupakan ruang di mana sumberdaya alam, terutama vegetasi, tanah dan air, berada dan tersimpan serta tempat hidup manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagai wilayah, DAS juga dipandang sebagai ekosistem dari daur air, sehingga DAS didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anakanak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami. Batas di darat merupakan pemisah topografi dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (UU No. 7 Tahun 2004). Dengan demikian DAS merupakan satuan wilayah alami yang memberikan manfaat produksi serta memberikan pasokan air melalui sungai, air tanah, dan atau mata air, untuk memenuhi berbagai kepentingan hidup, baik untuk manusia, flora maupun fauna. Untuk memperoleh manfaat yang optimal dan berkelanjutan perlu disusun sistem perencanaan pengelolaan DAS yang obyektif dan rasional. Perencanaan pengelolaan DAS bersifat dinamis karena dinamika proses yang terjadi di dalam DAS, baik proses alam, politik, sosial ekonomi kelembagaan, maupun teknologi yang terus berkembang. Pemanfaatan air bagi kehidupan antara lain untuk kebutuhan irigasi, pertanian, industri, konsumsi rumah tangga, wisata, transportasi sungai, dan kebutuhan lainnya. Namun, air yang dihasilkan dari DAS juga bisa merupakan ancaman bencana seperti banjir dan sedimentasi hasil angkutanpartikel tanah oleh aliran air. Potensi air yang dihasilkan dari suatu DAS perlu dikendalikan melalui serangkaian pengelolaan sehingga ancaman bencana banjir pada musim penghujan dapat ditekan sekecil mungkin dan jaminan pasokan air pada musim langka hujan (kemarau) tercukupi secara berkelanjutan. Sejalan dengan prinsip tersebut maka salah satu tujuan Daerah aliran sungai (DAS) merupakan ruang di mana sumberdaya alam, terutama vegetasi, tanah dan air, berada dan tersimpan serta tempat hidup manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagai wilayah, DAS juga dipandang sebagai ekosistem dari daur air, sehingga DAS didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anakanak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami. Batas di darat merupakan pemisah topografi dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (UU No. 7 Tahun 2004). Dengan demikian DAS merupakan satuan wilayah alami yang memberikan manfaat produksi serta memberikan pasokan air melalui sungai, air tanah, dan atau mata air, untuk memenuhi berbagai kepentingan hidup, baik untuk manusia, flora maupun fauna. Untuk memperoleh manfaat yang optimal dan berkelanjutan perlu disusun sistem perencanaan pengelolaan DAS yang obyektif dan rasional. Perencanaan pengelolaan DAS bersifat dinamis karena dinamika proses yang terjadi di dalam DAS, baik proses alam, politik, sosial ekonomi kelembagaan, maupun teknologi yang terus berkembang. Pemanfaatan air bagi kehidupan antara lain untuk kebutuhan irigasi, pertanian, industri, konsumsi rumah tangga, wisata, transportasi sungai, dan kebutuhan lainnya. Namun, air yang dihasilkan dari DAS juga bisa merupakan ancaman bencana seperti banjir dan sedimentasi hasil angkutanpartikel tanah oleh aliran air. Potensi air yang dihasilkan dari suatu DAS perlu dikendalikan melalui serangkaian pengelolaan sehingga ancaman bencana banjir pada musim penghujan dapat ditekan sekecil mungkin dan jaminan pasokan air pada musim langka hujan (kemarau) tercukupi secara berkelanjutan. Sejalan dengan prinsip tersebut maka salah satu tujuan

2.2 Pewilayahan DAS

Pada garis besarnya badan sungai dapat dibedakan menjadi tiga bagian yaitu: Bagian Hulu Sungai (terletak di sekitar gunung), Ciri-ciri dari sungai bagian hulu, antara lain:

1. Kemiringan sungainya sangat besar.

2. Aliran sungai deras dan banyak ditemukan jeram (air terjun)

3. Erosi sungai sangat aktif.

4. Erosinya kearah vertical (ke arah dasar sungai).

5. Lembah sungainya berbentuk V Bagian Tengah Sungai, Ciri-ciri dari sungai bagian tengah, antara lain:

1. Kemiringan sungai sudah berkurang.

2. Aliran sungai tidak seberapa deras dan jarang dijumpai jeram.

3. Erosi sungai agak berkurang dan sudah ada sedimentasi.

4. Erosi sungai berjalan secara vertical dan horizontal.

5. Lembah sungainya berbentuk U Bagian Hilir Sungai (terletak di daerah muara sungai), Ciri-ciri dari sungai bagian hilir, antara lain:

1. Kemiringan sungai sangat landai.

2. Aliran sungai berjalan sangat lamban.

3. Erosi sungai sudah tidak ada yang ada adalah sedimentasi.

4. Sedimentasi membentuk daratan banjir dengan tanggul alam.

5. Lembah sungai berbentuk huruf U.

2.3 Kebutuhan dan Ketersediaan Air

Kebutuhan air untuk penduduk mencakup kebutuhan air untuk domestik, irigasi dan industri. Kebutuhan air untuk domestik ditetapkan sebesar 200 liter/hari/kapita untuk kota besar, 100 liter/hari/kapita untuk kota sedang dan 75 liter/hari/kapita untuk kota kecil.

Estimasi jumlah air di suatu wilayah didekati dengan neraca air secara hidrometeorologis, satuan wilayah perhitungan dapat menggunakan satuan pulau atau satuan daerah aliran sungai. Rumus umum yang digunakan seperti yang dikemukakan oleh Seyhan (1977), yaitu konsep neraca air secara meteorologis pada suatu DAS :

P = R + Ea ± Δ St Apabila neraca air tersebut diterapkan untuk periode rata-rata tahunan, maka Δ St dapat dianggap nol, sehingga surplus air yang tersedia adalah :

R = P – Ea Dan jumlah air yang tersedia diperkirakan sebesar 25% hingga 35% dari surplus air. Indeks kekritisan air merupakan perbandingan antara ketersediaan dengan kebutuhan air, yang dapat dirumuskan sebagai berikut :

Indeks kekritisan = kebutuhan air / ketersediaan air x 100% Pada umumnya daerah yang mengalami kritis air mempunyai jumlah

penduduk yang tinggi dan lahan sawah yang luas sehingga kebutuhan air banyak. Karena apabila diperhatikan, kebutuhan air sebagian besar diperuntukkan untuk irigasi sawah. Pendekatan perhitungan kekritisan air menggunakan imbangan air tahunan secara meteorologis, sehingga simpanan air dalam DAS yang berupa simpanan lengas tanah, simpanan air permukaan dan simpanan airtanah tidak diperhitungkan dan perubahannya dianggap nol.

Perhitungan ini digunakan mengingat sumber air di daratan berasal dari curah hujan dan kehilangan air terbesar dari evapotranspirasi, maka dapat digunakan sebagai isyarat bahwa ketersediaan air di daratan terbatas pada curah hujan. Kekritisan air dapat meningkat apabila terjai perubahan iklim, khususnya penurunan jumlah curah hujan.

2.4 Penginderaan Jauh Non Fotografi (Sistem Satelit)

Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji. Penginderaan jauh dapat diartikan sebagai suatu proses membaca (Lillesand & Kiefer, 1990).

Penginderaan jauh non-fotografik merupakan penginderaan jauh yang menggunakan satelit sebagai wahana yang memanfaatkan tenaga elektromagnetik pada spektrum gelombang mikro untuk mendapatkan data citra. Sistem non-fotografik adalah sistem menggunakan tenaga elektromagnetik alami maupun buatan, perekaman obyek menggunakan sensor elektrik (scanner) dengan detektor pita magnetik. Menurut Sutanto (1987) satelit dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu satelit sumberdaya bumi, satelit cuaca, satelit militer, dan satelit kelautan. Menurut Curran (dalam Sutanto, 1987) Satelit sumberdaya bumi dapat dibedakan atas dua kelompok, yaitu : (1) satelit berawak, dan (2) satelit tak berawak. Satelit berawak membawa sensor fotografik yang keluarannya berupa foto satelit, sedang satelit tak berawak membawa sensor non-fotografik yang keluarannya berupa citra satelit maupun data digital. Sensor yang dipakai

Citra digital hasil perekaman satelit dikirim dan ditangkap oleh stasiun penerima data di bumi. Data ini kemudian akan disimpan dengan berbagai penyimpanan data salah satunya BIL, BSQ, dan BIP. Data yang telah tersimpan kemudian akan diolah kembali untuk mendapatkan citra yang siap digunakan.

2.5 Landsat 8

Tanggal 11 Februari 2013, NASA melakukan peluncuran satelit Landsat Data Continuity Mission (LDCM). Satelit ini mulai menyediakan produk citra open access sejak tanggal 30 Mei 2013, menandai perkembangan baru dunia antariksa. NASA lalu menyerahkan satelit LDCM Tanggal 11 Februari 2013, NASA melakukan peluncuran satelit Landsat Data Continuity Mission (LDCM). Satelit ini mulai menyediakan produk citra open access sejak tanggal 30 Mei 2013, menandai perkembangan baru dunia antariksa. NASA lalu menyerahkan satelit LDCM

Landsat 8 merupakan kelanjutan dari misi Landsat yang untuk pertama kali menjadi satelit pengamat bumi sejak 1972 (Landsat 1). Landsat

1 yang awalnya bernama Earth Resources Technology Satellite 1 diluncurkan 23 Juli 1972 dan mulai beroperasi sampai 6 Januari 1978. Generasi penerusnya, Landsat 2 diluncurkan 22 Januari 1975 yang beroperasi sampai 22 Januari 1981. Landsat 3 diluncurkan 5 Maret 1978 berakhir 31 Maret 1983; Landsat 4 diluncurkan 16 Juli 1982, dihentikan 1993. Landsat 5 diluncurkan 1 Maret 1984 masih berfungsi sampai dengan saat ini namun mengalami gangguan berat sejak November 2011, akibat gangguan ini, pada tanggal 26 Desember 2012, USGS mengumumkan bahwa Landsat 5 akan dinonaktifkan. Berbeda dengan 5 generasi pendahulunya, Landsat 6 yang telah diluncurkan 5 Oktober 1993 gagal mencapai orbit. Sementara Landsat 7 yang diluncurkan April 15 Desember 1999, masih berfungsi walau mengalami kerusakan sejak Mei 2003 (http://geomatika.its.ac.id, 2013).

Sebenarnya landsat 8 lebih cocok disebut sebagai satelit dengan misi melanjutkan landsat 7 dari pada disebut sebagai satelit baru dengan spesifikasi yang baru pula. Ini terlihat dari karakteristiknya yang mirip dengan landsat 7, baik resolusinya (spasial, temporal, spektral), metode koreksi, ketinggian terbang maupun karakteristik sensor yang dibawa. Hanya saja ada beberapa tambahan yang menjadi titik penyempurnaan dari landsat 7 seperti jumlah band, rentang spektrum gelombang elektromagnetik terendah yang dapat ditangkap sensor serta nilai bit (rentang nilai Digital Number) dari tiap piksel citra.

Seperti dipublikasikan oleh USGS, satelit landsat 8 terbang dengan ketinggian 705 km dari permukaan bumi dan memiliki area scan seluas 170 km x 183 km (mirip dengan landsat versi sebelumnya). NASA sendiri menargetkan satelit landsat versi terbarunya ini mengemban misi selama 5 tahun beroperasi (sensor OLI dirancang 5 tahun dan sensor TIRS 3 tahun). Tidak menutup kemungkinan umur produktif landsat 8 dapat lebih panjang dari umur yang dicanangkan sebagaimana terjadi pada landsat 5 (TM) yang awalnya ditargetkan hanya beroperasi 3 tahun namun ternyata sampai tahun 2012 masih bisa berfungsi.

Satelit landsat 8 memiliki sensor Onboard Operational Land Imager (OLI) dan Thermal Infrared Sensor (TIRS) dengan jumlah kanal sebanyak

11 buah. Diantara kanal-kanal tersebut, 9 kanal (band 1-9) berada pada OLI dan 2 lainnya (band 10 dan 11) pada TIRS. Sebagian besar kanal memiliki spesifikasi mirip dengan landsat 7. Jenis kanal, panjang gelombang dan resolusi spasial setiap band pada landsat 8 dibandingkan dengan landsat 7 seperti tertera pada tabel di bawah ini :

Gambar 2.1 Perbandingan band landsat ETM dan 8

(Sumber gambar : NASA.“Landsat Data Continuity Mission Brochure”)

Dibandingkan versi-versi sebelumnya, landsat 8 memiliki beberapa keunggulan khususnya terkait spesifikasi band-band yang dimiliki maupun panjang rentang spektrum gelombang elektromagnetik yang ditangkap. Sebagaimana telah diketahui, warna objek pada citra tersusun atas 3 warna dasar, yaitu Red, Green dan Blue (RGB). Dengan makin banyaknya band sebagai penyusun RGB komposit, maka warna-warna obyek menjadi lebih bervariasi.

Ada beberapa spesifikasi baru yang terpasang pada band landsat ini khususnya pada band 1, 9, 10, dan 11. Band 1 (ultra blue) dapat menangkap panjang gelombang elektromagnetik lebih rendah dari pada band yang sama pada landsat 7, sehingga lebih sensitif terhadap perbedaan reflektan air laut atau aerosol. Band ini unggul dalam membedakan konsentrasi aerosol di atmosfer dan mengidentifikasi karakteristik tampilan air laut pada kedalaman berbeda.

Deteksi terhadap awan cirrus juga lebih baik dengan dipasangnya kanal 9 pada sensor OLI, sedangkan band thermal (kanal 10 dan 11) sangat bermanfaat untuk mendeteksi perbedaan suhu permukaan bumi dengan resolusi spasial 100 m. Pemanfaatan sensor ini dapat membedakan bagian permukaan bumi yang memiliki suhu lebih panas dibandingkan area sekitarnya. Pengujian telah dilakukan untuk melihat tampilan kawah puncak gunung berapi, dimana kawah yang suhunya lebih panas, pada citra landsat

8 terlihat lebih terang dari pada area-area sekitarnya. Sebelumnya kita mengenal tingkat keabuan (Digital Number-DN) pada citra landsat berkisar antara 0-256. Dengan hadirnya landsat 8, nilai DN memiliki interval yang lebih panjang, yaitu 0-4096. Kelebihan ini merupakan akibat dari peningkatan sensitifitas landsat dari yang semula tiap piksel memiliki kuantifikasi 8 bit, sekarang telah ditingkatkan menjadi 12 bit. Tentu saja peningkatan ini akan lebih membedakan tampilan obyek- obyek di permukaan bumi sehingga mengurangi terjadinya kesalahan interpretasi. Tampilan citra pun menjadi lebih halus, baik pada band multispektral maupun pankromatik.

Terkait resolusi spasial, landsat 8 memiliki kanal-kanal dengan resolusi tingkat menengah, setara dengan kanal-kanal pada landsat 5 dan 7. Umumnya kanal pada OLI memiliki resolusi 30 m, kecuali untuk pankromatik 15 m. Dengan demikian produk-produk citra yang dihasilkan oleh landsat 5 dan 7 pada beberapa dekade masih relevan bagi studi data time series terhadap landsat 8.

Kelebihan lainnya tentu saja adalah akses data yang terbuka dan gratis. Meskipun resolusi yang dimiliki tidak setinggi citra berbayar seperti Ikonos, Geo Eye atau Quick Bird, namun resolusi 30 m dan piksel 12 bit akan memberikan begitu banyak informasi berharga bagi para pengguna. Terlebih lagi, produk citra ini bersifat time series tanpa striping (kelemahan landsat 7 setelah tahun 2003). Dengan memanfaatkan citra-citra keluaran versi sebelumnya, tentunya akan lebih banyak lagi informasi yang dapat tergali.

2.6 Sistem Informasi Geografi

Sistem informasi geografi merupakan suatu sistem berbasis komputer yang memberikan empat kemampuan untuk menangani data bereferensi geografis, yaitu pemasukan, pengelolaan atau manajemen data (penyimpanan dan pengaktifan kembali), manipulasi, dan analisis keluaran (Aronoff, 1989).

Informasi Geografis merupakan informasi kenampakan permukaan bumi. Jadi informasi tersebut mengandung unsur posisi geografis, hubungan keruangan, atribut dan waktu. SIG dapat mempresentasikan dunia nyata diatas monitor komputer sebagaimana lembaran peta dapat mempresentasikan dunia nyata diatas kertas, tetapi SIG memliki kekuatan lebih dan fleksibilitas daripada lembaran pada kertas. Model data spasial SIG adalah raster dan vektor, tetapi dengan prioritas tinggi kepada model data vektor. Model data raster menampilkan, menempatkan, dan menyimpan data spasial dengan menggunakan stuktur matriks atau piksel-piksel yang

SIG menyimpan semua informasi deskriptif unsur-unsurnya sebagai atribut-atribut didalam basis data. Kemudian SIG membentuk dan menyimpannya didalam tabel-tabel (relasional) dan menghubungkan unsur- unsur diatas dengan tabel-tabel yang bersangkutan sehingga atribut-atribut ini dapat diakses melalui lokasi-lokasi unsur-unsur peta, dan sebaliknya unsur-unsur peta juga dapat diakses melalui atribut-atributnya. Karena itu, unsur-unsur tersebut dapat dicari dan ditemukan berdasarkan atributnya (Prahasta, 2001).

BAB III DESKRIPSI WILAYAH

1.1 Kondisi Fisik DAS Blongkeng

1.1.1 Geografis

Daerah Aliran Sungai (DAS) Blongkeng merupakan cabang dari DAS Progo yang memanjang dari Kabupaten Temanggung hingga Yogyakarta. Di dalam DAS Blongkeng tedapat beberapa bagian/sub DAS yang membentuk sistem DAS antara lain Sub DAS Blongkeng, Sub DAS Pabelan, Sub DAS Batang, Sub DAS Putih, dan Sub DAS Mangu.

DAS Blongkeng tepat berada di Kabupaten Magelang dan sebagian Kabupaten Boyolali dengan batas wilayah administrasi sebagai berikut: Sebelah Utara : Kabupaten Magelang Sebelah Selatan : Kabupaten Sleman Sebelah Timur : Kabupaten Boyolali Sebelah Barat : Kabupaten Magelang

1.1.2 Geomorfologi

Daerah Aliran Sungai (DAS) Blongkeng mempunyai luas kawasan sebesar 268,70 km2 (± 8,95% luas DAS Progo). Dalam sistem DAS Progo, letak DAS Blongkeng berada di tengah-tengah antara daerah hulu dan hilir, dan turut memberikan peran penting terhadap keseluruhan sistem DAS Progo. Letak DAS Blongkeng berada di Lereng Barat-Utara Gunungapi Merapi dan Lereng Selatan-Barat Daya Gunung Merbabu. Lereng Gunungapi Merapi dan Merbabu merupakan sub-wilayah yang mempunyai kawasan hutan cukup luas, yang tersebar terutama pada lereng atas dan tengah. Kawasan hutan ini berfungsi sebagai hutan lindung, hutan produksi, dan hutan suaka alam (Suryo Hardiwinoto, et.al., 1998: 2). Disamping itu, berfungsi pula sebagai daerah tangkapan hujan (catchment area) bagi daerah sekitar dan di bawahnya (Darmakusuma D. dan Sudarmadji, 1997: 1 dalam Azis Budianta). Secara umum DAS Blongkeng memiliki relief datar

1.1.3 Iklim Umumnya beriklim tropis dan mempunyai 2 musim hujan dan

kemarau yang silih berganti. Temperatur udara rata-rata antara 24 o C – 32 C. Kawasan gunungapi ini mempunyai curah hujan tahunan cukup tinggi

(berkisar 2000 – >3900 mm/tahun). Hujan di kawasan ini merupakan sumber air permukaan dan air tanah bagi daerah tersebut dan daerah hilirnya. Air hujan yang meresap ke tanah akan menjadi air tanah, dan muncul kembali ke permukaan sebagai mata air (spring) dan rembesan (seepage). Air permukaan dan air tanah dipergunakan penduduk sebagai sumber air minum dan irigasi (Darmakusuma D. dan Sudarmadji, 1997: 1). Hal ini tidak lepas dari peranan hutan yang berada di kawasan Gunungapi Merapi.

1.1.4 Tata Guna Lahan Keberadaan Kabupaten Magelang mendorong kegiatan komersial di

sekitar DAS Blongkeng dimana daerahnya menjadi subur dan cocok untuk pertanian ada di sekitarnya. Masyarakat pintar bertani karena Peningkatan tingkat pendidikan dan pengelolaan lahan yang bijak seperti pemanfaatan lahan sekitar sungai untuk tanaman biji musiman yang bernilai ekonomis. Selain pertanian, lahan non vegetasi seperti permukiman kebanyakan berkembang di bagian selatan seperti Mungkid dan Muntilan karena daerah yang datar dan aksebilitas yang mudah seperti adanya jalan arteri menuju kota Magelang dan Kabupaten Sleman. Berikut merupakan luas penggunaan lahan di sekitar DAS Blongkeng.

Tabel 3.1 Pemanfaat lahan di sekitar DAS Blongkeng Pemanfaatan Lahan (Ha)

Sawah Bangunan

industri Lain- dan

Tegalan/ Kolam/ Hutan

lain Pekarangan Kebun

Ladang/

empang/ Rakyat/

- 4635 Sumber: Magelang dalam Angka.BPS Kabupaten Magelang tahun 2012

Luas penggunaan lahan di sekitar DAS Blongkeng utamanya lahan pertanian yaitu sawah 20617 Ha, Tegalan 36908 Ha, hutan rakyat/ perkebunan campuran 2780 Ha. Penggunaan lahan seperti bangunan dan pekarangan memiliki luas 1878 Ha namun untuk luas industri masih belum terdata. Penggunaan lahan lain-lain meliputi hutan, pekarangan, parwisata dan sebagainya memiliki luas 4635 Ha.

1.2 Kependudukan

1.2.1 Jumlah dan Kepadatan Penduduk Jumlah penduduk di sekitar DAS mempengaruhi penggunaan dan

kebutuhan air yang tersedia, semakin tinggi jumlah penduduk semakin banyak jumlah air yang dibutuhkan sebagai air baku (domestik, rumah tangga, dan industri).

Tabel 3.2 Jumlah penduduk per kecamatan No. Kecamatan Kabupaten 2011

2013 Laju Pertumbuhan

8 Candimulyo Magelang 45.489 45.789 46.091 0,66 %

496.331 484.329 483.371 0,87 % Sumber : Magelang dan Boyolali dalam Angka. BPS Kabupaten Magelang

Jumlah

Jumlah penduduk di sekitar DAS Blongkeng pada tahun 2011 hingga 2013 (dalam jiwa) antara lain tertinggi di kecamatan Muntilan dengan jumlah penduduk di tahun 2011 yaitu 74.336 jiwa, tahun 2012 yaitu 74.782 jiwa, dan tahun 2013 sebesar 75.231 jiwa, namun laju pertumbuhan tertinggi terdapat di kecamatan Srumbung yaitu 0,9 %. Sedangkan jumlah penduduk terendah ada di kecamatan Selo Kabupaten Boyolali dengan jumlah penduduk di tahun 2011 yaitu 26.919 jiwa, tahun 2012 yaitu 26.956

jiwa, dan tahun 2013 sebesar 26.993 jiwa artinya mengalami laju pertumbuhan terendah yaitu 0,14%. Total laju pertumbuhan penduduk di sekitar DAS Blongkeng yaitu 0,87 % per tahun.

1.2.2 Mata Pencaharian

Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian di sekitar DAS Blongkeng antara lain berjumlah ±629.968 jiwa dimana sebagian besar masyarakat bekerja di sektor pertanian.

Tabel 3.3 Jumlah penduduk menurut mata pencaharian No. Mata Pencaharian Jumlah (Jiwa) Presentase

2 Buruh Tani

5,74% Sumber: BPS Kabupaten Magelang dan Boyolali

7 Lainnya

Jumlah penduduk menurut mata pencaharian di sekitar DAS Blongkeng tertinggi sebagai petani dengan jumlah 159.938 jiwa (25,39%) dan terendah dalam bidang Transportasi 12.115 jiwa (1,92%) dari keseluruhan jumlah penduduk. Jumlah Penduduk Menurut Pendidikan di sekitar DAS Blongkeng juga mempengaruhi kemajuan tingkat ekonomi masyarakat, karena sebagian besar masyarakat bermata pencaharian sebagai petani, presentase tingkat pendidikannya antara lain, tamat SD 73,49%, tamat SMP 14,09%, tamat SMU 10,66%, tamat Pendidikan Tinggi 1,75%.

1.3 Sosial Budaya dan Ekonomi

Kondisi sosial kemasyarakatan di sekitar DAS Blongkeng tidak bisa dilepaskan dari karakteristik lingkup budaya Negari Gung yang terpengaruh oleh kebudayaan dari Keraton Yogyakarta, sehingga kehidupan gotong royong dan kemasyarakatan dalam kehidupan sehari-hari sangat menonjol. Sebagai perwujudannya banyak kegiatan kesenian seperti topeng ireng, jathilan, kubro, dan sebagainya.

Sarana Perekonomian antara penjual dan pembeli pasar di sekitar DAS Blongkeng merupakan pasar tradisional, tingkat ekonomi Kabupaten Magelang, terutama dari sektor pertanian dengan perkembangan jaman, melalui media pasar apalagi pusat perbelanjaan modern. barang pertanian amat sangat bergantung pada keberadaan pasar tradisional yang perlu dilestarikan. Kecamatan Selo dimana merupakan satu-satunya kecamatan yang ada di Kabupaten Boyolali banyak terdapat sentra penghasil susu sapi dan sayuran, kehidupan masyarakat tidak lepas dari kegiatan distribusi antar kecamatan dan pemanfaatan lahan pertanian seperti tegalan.

BAB IV METODE PENELITIAN

4.1 Alat dan Bahan

4.1.1 Alat

1. Separangkat Laptop ASUS dengan spesifikasi Intel Core i3, 1.8 GHz, 4GB RAM, dan hard disk 500 GB.

2. Printer Canon PIXMA iP2770.

3. Software input dan pengolah data SIG yaitu ArcGIS 10.0, Map Source dan Envi 4.5

4. GPS (Global Positioning System) Handheld GARMIN DAKOTA

5. Alat tulis

6. Kamera

4.1.2 Bahan

1. Citra Landsat 8 perekaman Juni 2013 daerah Jawa Tengah dan Sekitarnya

2. Data curah hujan Tahunan Sebagian Kabupaten Magelang

3. Data Lereng DAS Blongkeng

4. Data Plotting titik mata air DAS Blongkeng dan sekitarnya

5. Peta batas DAS Blongkeng skala 1:100.000

6. Peta Geomorfologi sebagian Kabupaten Magelang skala 1:100.000

7. Peta Rupabumi Indonesia Digital Sebagian Kabupaten Magelang

4.2 Metodologi

4.2.1 Metode Kuantitatif Berjenjang

Merupakan metode dimana variabel atau parameter diklasifikasikan menjadi beberapa kelas, dimana masing-masing kelas tersebut diberikan harkat sesuai kontribusinya terhadap fenomena yang akan dimodelkan. Variabel atau parameter dianggap bersifat setara dan memiliki nilai yang sama pengaruhnya. Dalam prosesnya, penggunaan metode kuantitatif berjenjang menggunakan pengharkatan (scoring) yaitu suatu cara menilai

4.2.2 Metode Manual

Pembuatan kelas dari hasil yang didapat antara lain penentuan interval dengan metode manual/interval teratur yaitu perhitungan selisih antara data dalam satu kelas menggunakan rerata nilai tertinggi dan terendah. Untuk menentukan besarnya interval (x) dapat dilakukan menggunakan rumus :

X = (max - min) /∑kelas

Dimana: max = nilai data tertinggi min = nilai data terendah Penentuan interval kelasnya Kelas I = A s/d A + X Kelas II = (A + X) + 1 s/d (A + X + 1) + X ...Kelas ke-n = (A+Xn) + 1 s/d (A + X + 1) + X Dimana:

A = nilai data terendah

X = interval kelas n = urutan kelas

4.3 Tahapan Penelitian

4.3.1 Tahap Persiapan Tahap persiapan terdiri dari studi pustaka yang dilakukan untuk

memahami masalah yang ada serta menentukan parameter-parameter yang digunakan untuk kajian potensi ketersediaan air dan karakteristik daerah yang diteliti berdasarkan pustaka dan hasil penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan penelitian.

4.3.2 Tahap Pengumpulan Data

Pengumpulan data terdiri dari sumber-sumber data yang akan digunakan untuk penelitian, antara lain berasal dari pengukuran/perolehan langsung (Primer) dan data dari instansi penyedia sumber data (Sekunder).

4.3.2.1 Data Primer

1. Citra Landsat 8 perekaman Juni 2013 daerah Jawa Tengah dan Sekitarnya. Download data dari www.Glovis.USGS.gov

2. Data titik mata air yang didapat dari plotting GPS di Lapangan

4.3.2.2 Data Sekunder

1. Data Curah Hujan Tahunan Sebagian Kabupaten Magelang dari BPN Kabupaten Magelang

2. Data Lereng Sebagian Kabupaten Magelang dari BPN Kabupaten Magelang

3. Peta Batas DAS Blongkeng yang didapat dari BPDAS Serayu Opak Progo divisi Program

4. Peta geomorfologi sebagai acuan klasifikasi dari BPN Kabupaten Magelang

5. Peta Rupabumi Digital untuk penentuan batas administrasi didapat dari Badan Informasi Geospasial (BIG)

4.3.3 Tahap Pemrosesan data

4.3.3.1 Pengolahan Data Citra Awal

1. Data citra Landsat 8 yang akan digunakan untuk penelitian dapat didownload melalui alamat website glovis.usgs.org sesuai scene atau daerah yang diinginkan

2. Citra belum sepenuhnya terkoreksi secara radiometrik, citra yang didapat ada sebagian wilayah yang tertutup awan, mengalami hamburan dan noise. Untuk itu perlu dilakukan penajaman kontras yaitu perbedaan antara brightness relatif antara sebuah benda dengan sekelilingnya pada citra. Sebuah

3. Setelah melakukan koreksi dipilih komposit citra agar kenampakan objek terlihat lebih jelas. Komposit RGB Landsat

8 yang digunakan adalah 568 karena Band 5 (0,845 – 0,885 μm ; reflected IR) berguna untuk meneliti biomasa tanaman, dan juga membedakan batas tanah tanaman dan daratan air. Band 6 (1,56 – 1,66 μm ; SWIR) menunjukkan kandungan air tanaman, tanah dan awan. Band 8 (0,500 – 0,680 μm ; Pankromatik) berhubungan dengan mineral berguna untuk mendeteksi batuan dan mineral tanah.

Gambar 4.1 Cara Pemilihan Komposit Citra

4. Komposit citra yang telah ditentukan bisa dimanipulasi menggunakan beberapa type penajaman seperti standard deviation dipilih karena merupakan simpangan baku yang megukur bagaimana data/nilai pixel tersebut menyebar dengan jarak rata-rata.

Gambar 4.2 Histogram Band Merah pada Komposit 568

5. Data citra yang telah dikoreksi kemudian dapat diolah dengan memotong citra sesuai wilayah kajian yaitu Daerah Aliran Sungai (DAS) Blongkeng di sebagian wilayah Kabupaten Magelang dan Boyolali. Batas DAS Blongkeng berupa shapefile yang didapatkan dari divisi Program Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Serayu Opak Progo. Penentuan batas DAS beracuan pada beberapa aspek utama DAS antara lain orde sungai, sungai utama, dan pola aliran.

6. Pemotongan citra dengan batas DAS menggunakan software ENVI 4.5 dilakukan dengan tool build mask. Data citra berformat Raster ditampalkan dengan data vektor yang memiliki koordinat yang sama. Vektor dapat di konvert ke ROI agar tipe data menjadi *.EVF dimana merupakan tipe umum yang dapat dibaca di ENVI. Spasial subset data melalui parameter ROI agar citra dapat terpotong.

Gambar 4.3 Spasial Subset pada ENVI 4.5

7. Citra yang telah terpotong dapat dieksport dalam format Raster tipe umum yaitu *.TIFF/GeoTIFF agar dapat diolah menggunakan software berbasis Informasi Geografi (spasial) lainnya.

Kemudahan penelitian menggunakan citra penginderaan jauh antara lain data citra bisa didapatkan secara gratis sesuai waktu perekaman dan jenis citra yang tersedia, sedangkan Kesulitan yang sering dialami dalam proses ini antara lain lamanya waktu download data citra yang tidak dapat diprediksi.

4.3.3.2 Pengolahan Data Citra untuk Parameter Indeks Vegetasi Normalized Difference Vegetation Index merupakan besaran

nilai kehijauan vegatasi yang diperoleh dari pengolahan sinyal digital data nilai kecerahan (brightness) beberapa kanal data sensor satelit. NDVI didapat menggunakan rumus:

NDVI adalah fungsi non linier yang bervariasi antara -1 dan +1, dimana area vegetasi secara khusus akan memiliki nilai lebih besar dari

0 dan nilai negatif mengindikasikan benda permukaan yang bukan

1. Menampilkan data citra yang telah dipotong sesuai wilayah kajian dengan komposit 568 RGB Color

2. Memilih menu basic tool pada ENVI kemudian memilih Band match untuk menuliskan rumus NDVI disesuaikan dengan citra Landsat 8

3. Sesuai Rumus NDVI band yang digunakan adalah Red = 4 dan NIR = 5 namun pada ENVI 4.5 belum ada tipe file baru untuk Landsat 8. Band 4 pada Landsat 8 sama halnya dengan band 3 pada Landsat TM, sedangkan Band 5 pada NIR sama dengan band 4 pada Landsat TM.

Gambar 4.4 Proses transformasi NDVI pada ENVI 4.5

4. Hasil dari proses tersebut kemudian didapat nilai NDVI yang dikelaskan menurut kerapatan vegetasinya. Pengkelasan nilai NDVI dapat diintegrasikan dengan nilai spektral RGB (color mapping) yaitu density slice.

5. Density slice merupakan sub menu dari Tools, color mapping. Hasil yang diperoleh yaitu kelas dan interval yang tampilannya dibedakan menggunakan warna.

Gambar 4.5 Interval pengkelasan nilai NDVI menggunkan

density slice

Gambar 4.6 Hasil Pengolahan NDVI sebelum dan sesudah density slice

6. Pengkelasan NDVI tersebut merupakan format data raster yang dapat dieksport dalam bentuk *.TIFF/GeoTIFF dimana selanjutnya dapat dibuka pada software ArcGis, data raster dikonversikan menjadi format vektor menggunakan Raster to Polygon pada ArcGis.

7. Format vektor memiliki attribut tabel yang dapat diolah lebih lanjut dan memudahkan nantinya dalam proses overlay dengan parameter lainnya.

8. Setelah data NDVI menjadi format vektor, dapat dilakukan proses reclasifikasi sesuai nilai NDVI yang dimiliki (-0,1689 sampai dengan 0,3492).

9. Interval nilai NDVI disesuaikan dengan keterangan nilai kerapatan vegetasi, semakin nilai mendekati 1 kerapatannya semakin tinggi sedangkan semakin mendekati nilai -1 kerapatannya semakin jarang.

11. Transformasi NDVI memerlukan cek lapangan karena hasil yang diperoleh dari pengolahan software hanya menilai dari kenampakan spektral objek vegetasi. Nantinya hasil sementara dari peta tentatif transformasi indeks vegetasi dilakukan uji ketelitian untuk mengetahui kebenaran dari nilai yang telah diolah sebelumnya. Tabel uji akurasi tersebut berisi tentang perbandingan data hasil pengolahan menggunakan software GIS dengan pengamatan langsung di lapangan. Pembacaan ketelitian akurasi berdasarkan jumlah benar interpretasi dibanding jumlah total sampel yang didapatkan dikalikan seratus persen.

12. Apabila trasformasi dianggap telah benar (mendekati 100%) maka selanjutnya yaitu analisa data kerapatan vegetasi dengan menambahkan field harkat pada attribut layer sesuai nilai NDVI yang telah dikelompokan kedalam kelas sebagai berikut.

Tabel 4.1 Klasifikasi kerapatan Vegetasi berdasarkan NDVI No. Nilai NDVI

3 -0,0394 sd 0,0901

Jarang

1 Sumber: Pengolahan Data, 2014

4 -0,1689 sd -0,0394

Bukan vegetasi

13. Peta Transformasi Nilai Vegetasi yang telah ditambahkan harkat tiap kelasnya merupakan salah satu parameter Vegetasi (V) bagi potensi ketersediaan air di DAS Blongkeng.

Kelebihan menggunakan NDVI dalam menentukan kerapatan vegetasi dibandingkan menggunakan transformasi lainnya karena NDVI memiliki efektivitas untuk memprediksi sifat permukaan ketika kanopi vegetasi tidak terlalu rapat dan tidak terlalu jarang seperti yang ada di DAS Blongkeng. Kesulitan memproses data citra menggunakan NDVI adalah konversi data raster menjadi vektor yang menyebabkan terbentuk poligon-poligon kecil yang harus disederhanakan dan direklasifikasi.

4.3.3.3 Pengolahan D ata C itra u ntuk P arameter P enggunaan

Lahan

Interpretasi penggunaan lahan digunakan untuk mengetahui ketergantungan terhadap air baik dalam bentuk irigasi, serapan oleh vegetasi maupun keperluan penggunaan lahan lain. Interpretasi penggunaan lahan meliputi 8 unsur interpretasi yaitu: rona/warna, Bentuk, Ukuran, Pola, Bayangan, Tekstur, Situs, dan Asosiasi.

1. Citra yang telah dipotong sesuai wilayah kajian dan dieksport, dilakukan pembuatan geodatabase agar nantinya hasil pengolahan data dapat tercover dalam satu folder. Shapefile penggunaan lahan bertipe poligon karena proses digitasi berupa area.

2. Setelah terbentuk geodatabase penggunaan lahan, dipilih komposit citra yang sesuai untuk merepresentasikan objek pada citra Landsat 8 yaitu 568 karena kenampakan vegetasi lebih cerah dan pembedaan antar objeknya lebih terlihat.

3. Memulai mendigitasi citra dengan langkah start editing pada toolbar kemudian select seluruh wilayah kajian agar nantinya mudah dalam input attribut tabel

4. Memulai mendigitasi tiap bagian wilayah kajian sesuai unsur dan klasifikasi interpretasi. Digitasi penggunaan lahan juga memperhatikan kunci interpretasi karena dilakukan secara manual, dibantu dengan knowledge interpreter diharapkan kenampakan pada citra mendekati kenampakan asli di lapangan.

Gambar 4.7 Proses digitasi penggunaan lahan

5. Klasifikasi penggunaan lahan menggunakan dasar klasifikasi dari BSNI (Badan Standar Nasional Indonesia) karena lebih detail dalam klasifikasi utamanya lahan bervegetasi (pertanian). Hasil digitasi yang diperoleh nantinya diberikan pewarnaan yang mengacu pada standar pewarnaan penggunaan lahan dan dilakukan survey lapangan untuk menentukan ketelitian interpretasi.

6. Dalam proses digitasi objek penggunaan lahan, membuat tabel interpretasi penggunaan lahan untuk memudahkan penarikan kesimpulan. Tabel tersebut berisi unsur-unsur interpretasi, kode dan nama objek penggunaan lahan.

Tabel 4.2 Tabel klasifikasi interpretasi penggunaan lahan Kelas

No. Penggunaan

Deskripsi

Lahan

1 Daerah Daerah dengan liputan vegetasi (minimal 4%) bervegetasi

sedikitnya selama 2 bulan, atau dengan liputan Lichens/Mosses lebih dari 25% (jika tidak terdapat vegetasi lain).