Makalah hubungan hukum internasional dan

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum internasional adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas entitas
berskala internasional. Pada awalnya, Hukum Internasional hanya diartikan sebagai
perilaku dan hubungan antar negara namun dalam perkembangan pola hubungan
internasional yang semakin kompleks pengertian ini kemudian meluas sehingga
hukum internasional juga mengurusi struktur dan perilaku organisasi internasional
dan, pada batas tertentu, perusahaan multinasional dan individu.
Hukum bangsa-bangsa dipergunakan untuk menunjukkan pada kebiasaan dan
aturan hukum yang berlaku dalam hubungan antara raja-raja zaman dahulu. Hukum
antar bangsa atau hukum antar negara menunjukkan pada kompleks kaedah dan asas
yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa atau negara.
Hukum Internasional terdapat beberapa bentuk perwujudan atau pola perkembangan
yang khusus berlaku di suatu bagian dunia (region) tertentu : (1) Hukum
Internasional regional : Hukum Internasional yang berlaku/terbatas daerah
lingkungan berlakunya, seperti Hukum Internasional Amerika / Amerika Latin,
seperti konsep landasan kontinen (Continental Shelf) dan konsep perlindungan
kekayaan hayati laut (conservation of the living resources of the sea) yang mulamula tumbuh di Benua Amerika sehingga menjadi hukum Internasional Umum. (2)
Hukum Internasional Khusus : Hukum Internasional dalam bentuk kaedah yang
khusus berlaku bagi negara-negara tertentu seperti Konvensi Eropa mengenai HAM

sebagai cerminan keadaan, kebutuhan, taraf perkembangan dan tingkat integritas

yang berbeda-beda dari bagian masyarakat yang berlainan. Berbeda dengan regional
yang tumbuh melalui proses hukum kebiasaan.
Hukum Internasional didasarkan atas pikiran adanya masyarakat internasional
yang terdiri atas sejumlah negara yang berdaulat dan merdeka dalam arti masingmasing berdiri sendiri yang satu tidak dibawah kekuasaan lain sehingga merupakan
suatu tertib hukum koordinasi antara anggota masyarakat internasional yang
sederajat.
Hukum Nasional di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum
Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik
perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari
Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan
dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena
sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau
Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan
warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat, yang merupakan
penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada
di wilayah Nusantara.
B. Permasalahan
Dalam perkembangan teori-teori hukum, dikenal dua aliran besar mengenai

hubungan antara hukum nasional dengan hukum internasional. Monisme dan
dualisme. Untuk memperjelas hubungan antara hukum Nasional dan Internasional,
maka permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah bagaimana
hubungan hukum nasional dan internasional.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Internasional
Hukum internasional dapat didefinisikan sebagai sekumpulan hukum yang
sebagian besar terdiri atas prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan yang harus ditaati
oleh negara-negara, dan oleh karena itu juga harus ditaati dalam hubunganhubungan antara mereka satu dengan lainnya, serta yang juga mencakup :
(a) organisasi internasional, hubungan antara organisasi internasional satu dengan
lainnya, hubungan peraturan-peraturan hukum yang berkenaan dengan fungsi-fungsi
lembaga atau antara organisasi internasional dengan negara atau negara-negara ; dan
hubungan antara organisasi internasional dengan individu atau individu-individu ;
(b) peraturan-peraturan hukum tertentu yang berkenaan dengan individu-individu
dan subyek-subyek hukum bukan negara (non-state entities) sepanjang hak-hak dan
kewajiban-kewajiban individu dan subyek hukum bukan negara tersebut bersangkut
paut dengan masalah masyarakat internasional” (Phartiana, 2003; 4)

Sejalan dengan definisi yang dikeluarkan Hyde, Mochtar Kusumaatmadja
mengartikan ’’hukum internasional sebagai keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas
hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara,
antara negara dengan negara dan negara dengan subjek hukum lain bukan negara
atau subyek hukum bukan negara satu sama lain’’. (Kusumaatmadja, 1999; 2)
Berdasarkan pada definisi-definisi di atas, secara sepintas sudah diperoleh
gambaran umum tentang ruang lingkup dan substansi dari hukum internasional,
yang di dalamnya terkandung unsur subyek atau pelaku, hubungan-hubungan hukum

antar subyek atau pelaku, serta hal-hal atau obyek yang tercakup dalam
pengaturannya, serta prinsip-prinsip dan kaidah atau peraturan-peraturan hukumnya.
Sedangkan mengenai subyek hukumnya, tampak bahwa negara tidak lagi
menjadi satu-satunya subyek hukum internasional, sebagaimana pernah jadi
pandangan yang berlaku umum di kalangan para sarjana sebelumnya.

B. Pengertian Hukum Nasional
Hukum nasional adalah sekumpulan hukum yang sebagian besar terdiri atas
prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh masyarakat dalam
suatu negara, dan oleh karena itu juga harus ditaati dalam hubungan-hubungan
antara mereka satu dengan lainnya.

Hukum Nasional di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum
Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik
perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari
Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan
dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena
sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau
Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan
warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat, yang merupakan
penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada
di wilayah Nusantara.
C. Hubungan Hukum Nasional dan Hukum Internasional
Menurut teori Dualisme, hukum internasional dan hukum nasional, merupakan
dua sistem hukum yang secara keseluruhan berbeda. Hukum internasional dan

hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang terpisah, tidak saling
mempunyai

hubungan

superioritas


atau

subordinasi.

Berlakunya

hukum

internasional dalam lingkungan hukum nasional memerlukan ratifikasi menjadi
hukum nasional. Kalau ada pertentangan antar keduanya, maka yang diutamakan
adalah hukum nasional suatu negara.
Sedangkan menurut teori Monisme, hukum internasional dan hukum nasional
saling berkaitan satu sama lainnya. Menurut teori Monisme, hukum internasional itu
adalah lanjutan dari hukum nasional, yaitu hukum nasional untuk urusan luar negeri.
Menurut teori ini, hukum nasional kedudukannya lebih rendah dibanding dengan
hukum internasional. Hukum nasional tunduk dan harus sesuai dengan hukum
internasional. (Burhan Tsani, 1990; 26)
Berangkat dari pentingnya hubungan lintas negara disegala sektor kehidupan
seperti politik, sosial, ekonomi dan lain sebagainya, maka sangat diperlukan hukum

yang diharap bisa menuntaskan segala masalah yang timbul dari hubungan antar
negara. Hukum Internasional ialah sekumpulan kaedah hukum wajib yang mengatur
hubungan antara person hukum internasional (Negara dan Organisasi Internasional),
menentukan hak dan kewajiban badan tersebut serta membatasi hubungan yang
terjadi antara person hukum tersebut dengan masyarakat sipil.
Oleh karena itu hukum internasional adalah hukum masyarakat internasional
yang mengatur segala hubungan yang terjalin dari person hukum internasional serta
hubungannya dengan masyarakat sipil. Hukum internasional mempunyai beberapa
segi penting seperti prinsip kesepakatan bersama (principle of mutual consent),
prinsip timbal balik (priniple of reciprocity), prinsip komunikasi bebas (principle of
free communication), princip tidak diganggu gugat (principle of inciolability),

prinsip layak dan umum (principle of reasonable and normal), prinsip eksteritorial
(principle of exterritoriality), dan prinsip-prinsip lain yang penting bagi hubungan
diplomatik antarnegara.
Maka hukum internasional memberikan implikasi hukum bagi para
pelangarnya, yang dimaksud implikasi disini ialah tanggung jawab secara
internasional yang disebabkan oleh tindakan-tindakan yang dilakukan sesuatu
negara atau organisasi internasional dalam melakukan segala tugas-tugasnya sebagai
person hukum internasional. Dari pengertian diatas dapat kita simpulkan unsurunsur terpenting dari hukum internasional; (a) Objek dari hukum internasional ialah

badan hukum internasional yaitu negara dan organisasi internasional, (b) Hubungan
yang terjalin antara badan hukum internasional adalah hubungan internasional dalam
artian bukan dalam scope wilayah tertentu, ia merupakan hubungan luar negeri yang
melewati batas teritorial atau geografis negara, berlainan dengan hukum negara yang
hanya mengatur hubungan dalam negeri dan (c) kaedah hukum internasional ialah
kaedah wajib, seperti layaknya semua kaedah hukum, dan ini yang membedakan
antara hukum internasional dengan kaedah internasional yang berlaku dinegara
tanpa memiliki sifat wajib seperti life service dan adat kebiasaan internasional.
Jika hukum nasional ialah hukum yang terapkan dalam teritorial sesuatu
negara dalam mengatur segala urusan dalam negeri dan juga dalam menghadapi
penduduk yang berdomisili didalamnya, maka hukum internasional ialah hukum
yang mengatur aspek negara dalam hubungannya dengan negara lain.
Hukum Internasional ada untuk mengatur segala hubungan internasional demi
berlangsungnya kehidupan internasional yang terlepas dari segala bentuk tindakan
yang merugikan negara lain. Oleh sebab itu negara yang melakukan tindakan yang

dapat merugikan negara lain atau dalam artian melanggar kesepakatan bersama akan
dikenai implikasi hukum, jadi sebuah negara harus bertanggung jawab atas segala
tindakan yang telah dilakukannya.
Pengertian tanggung jawab internasional itu sendiri itu adalah peraturan

hukum dimana hukum internasional mewajibkan kepada person hukum internasional
pelaku

tindakan

yang

melanggar

kewajiban-kewajiban

internasional

yang

menyebabkan kerugian pada person hukum internasional lainnya untuk melakukan
kompensasi.
D. Esensial Hukum Internasional
Apa yang menjadi kepentingan hukum internasional adalah memberikan
batasan yang jelas terhadap kewenangan negara dalam pelaksanaan hubungan

antarnegara. Hal ini bertolak belakang dengan kepentingan penyelenggaraan politik
internasional yang bertujuan untuk mempertahankan atau memperbesar kekuasaan.
Karena itu, hukum bermakna memberikan petunjuk operasional perihal kebolehan
dan larangan guna membatasi kekuasaan absolut negara.
Realitanya keterkaitan diantara kedua dimensi hubungan ini berujung kepada
persoalan esensi hukum sebagai suatu kekuatan yang bersifat memaksa. Masalah
efektifitas hukum dalam hubungan internasional ini menimbulkan dua konsekuensi
yang secara diameteral saling bertolak-belakang. Pertama, struktur hukum nasional
lebih tinggi dari pada hukum internasional. Pemahaman ini membawa implikasi
hukum internasional terhadap kebijakan domestik suatu negara akan diukur
berdasarkan sistem hukum nasional. Di sini hukum internasional baru akan berlaku
jika tidak bertentangan dengan kaedah hukum nasional. Agar berlaku, hukum
internasional juga perlu diadopsi terlebih dahulu menjadi hukum nasional, yaitu

suatu proses yang dilakukan antara lain melalui ratifikasi. Dasarnya adalah doktrin
hukum pacta sunc servanda di mana perjanjian berlaku sebagai hukum bagi para
pihak. Perjanjian merefleksikan itikad bebas yang dicapai secara sukarela oleh
subjek hukum internasional yang memiliki kesetaraan satu sama lain. Sebaliknya,
hukum dinilai tidak dapat berfungsi secara efektif jika tidak ada keinginan negara
untuk tunduk di bawah ketentuan yang diaturnya. Kemudian pemahaman kedua

sementara itu mendalilkan bahwa hukum internasional otomatis berlaku sebagai
kaedah hukum domestik yang mengikat negara tanpa melalui proses adopsi menjadi
hukum nasional. Menurut paradigma ini, hukum internasional merupakan fondasi
tertinggi yang mengatur hubungan antarnegara. Sumber kekuatan mengikat hukum
internasional adalah prinsip hukum alam(costumary) yang menempatkan akal sehat
masyarakat internasional sebagai cita-cita dan sumber hukum ideal yang tertinggi.
Terlepas dari ada atau tidaknya persetujuan ini, secara yuridis negara dapat terikat
oleh prinsip hukum internasional yang berlaku universal atau oleh kaedah kebiasaan
internasional. Customary itu sendiri membuktikan bahwa praktek negara atas
sesuatu hal yang sama dan telah mengkristal, sehingga diakui oleh masyarakat
internasional memiliki implikasi hukum bagi pelanggaran terhadapnya.
E. Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai.
Ketentuan hukum internasional telah melarang penggunaan kekerasan dalam
hubungan antar negara. Keharusan ini seperti tercantum pada Pasal 1 Konvensi
mengenai Penyelesaian Sengketa-Sengketa Secara Damai yang ditandatangani di
Den Haag pada tanggal 18 Oktober 1907, yang kemudian dikukuhkan oleh pasal 2
ayat (3) Piagan Perserikatan bangsa-Bangsa dan selanjutnya oleh Deklarasi PrinsipPrinsip Hukum Internasional mengenai Hubungan Bersahabat dan Kerjasama antar

Negara. Deklarasi tersebut meminta agar “semua negara menyelesaikan sengketa
mereka dengan cara damai sedemikian rupa agar perdamaian, keamanan

internasional dan keadilan tidak sampai terganggu”.
Penyelesaian sengketa secara damai dibedakan menjadi: penyelesaian melalui
pengadilan dan di luar pengadilan. Yang akan dibahas pada kesemapatan kali ini
hanyalah penyelesaian perkara melalui pengadilan. Penyelesaian melalui pengadilan
dapat ditempuh melalui:
1. Arbitrase Internasional
Penyelesaian sengketa internasional melalui arbitrase internasional adalah
pengajuan sengketa internasional kepada arbitrator yang dipilih secara bebas
oleh para pihak, yang memberi keputusan dengan tidak harus terlalu terpaku
pada pertimbangan-pertimbangan hukum. Arbitrase adalah merupakan suatu cara
penerapan prinsip hukum terhadap suatu sengketa dalam batas-batas yang telah
disetujui sebelumnya oleh para pihak yang bersengketa. Hal-hal yang penting
dalam arbitrase adalah; (a) perlunya persetujuan para pihak dalam setiap tahap
proses arbitrase, dan (b) sengketa diselesaikan atas dasar menghormati hukum.
(Burhan Tsani, 1990; 211)
Secara esensial, arbitrase merupakan prosedur konsensus, karenanya
persetujuan para pihaklah yang mengatur pengadilan arbitrase. Arbitrase terdiri
dari seorang arbitrator atau komisi bersama antar anggota-anggota yang ditunjuk
oleh para pihak atau dan komisi campuran, yang terdiri dari orang-orang yang
diajukan oleh para pihak dan anggota tambahan yang dipilih dengan cara lain.
Pengadilan arbitrase dilaksanakan oleh suatu “panel hakim” atau
arbitrator yang dibentuk atas dasar persetujuan khusus para pihak, atau dengan

perjanjian arbitrase yang telah ada. Persetujuan arbitrase tersebut dikenal dengan
compromis (kompromi) yang memuat; (a) persetujuan para pihak untuk terikat
pada keputusan arbitrase, (b) metode pemilihan panel arbitrase, (c) waktu dan
tempat hearing (dengar pendapat), (d) batas-batas fakta yang harus
dipertimbangkan, dan (e) prinsip-prinsip hukum atau keadilan yang harus
diterapkan untuk mencapai suatu kesepakatan. (Burhan Tsani, 1990, 214)
Masyarakat internasional sudah menyediakan beberapa institusi arbitrase
internasional, antara lain (a) Pengadilan Arbitrase Kamar Dagang Internasional
(Court of Arbitration of the International Chamber of Commerce) yang didirikan
di Paris, tahun 1919, (b) pusat Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal
Internasional (International Centre for Settlement of Investment Disputes) yang
berkedudukan di Washington DC, (c) Pusat Arbitrase Dagang Regional untuk
Asia (Regional Centre for Commercial Arbitration), berkedudukan di Kuala
Lumpur, Malaysia dan (d) Pusat Arbitrase Dagang Regional untuk Afrika
(Regional Centre for Commercial Arbitration), berkedudukan di Kairo, Mesir.
(Burhan Tsani; 216)
2. Pengadilan Internasional
Pada permulaan abad XX, Liga Bangsa-Bangsa mendorong masyarakat
internasional untuk membentuk suatu badan peradilan yang bersifat permanent,
yaitu mulai dari komposisi, organisasi, wewenang dan tata kerjanya sudah dibuat
sebelumnya dan bebas dari kehendak negara-negara yang bersengketa.
Pasal 14 Liga Bangsa-Bangsa menugaskan Dewan untuk menyiapkan
sebuah institusi Mahkamah Permanen Internasional. Namun, walaupun didirikan
oleh Liga Bangsa-Bangsa, Mahkamah Permanen Internasional, bukanlah organ

dari Organisasi Internasional tersebut. Hingga pada tahun 1945, setelah
berakhirnya Perang Dunia II, maka negara-negara di dunia mengadakan
konferensi di San Fransisco untuk membentuk Mahkamah Internasional yang
baru. Di San Fransisco inilah, kemudian dirumuskan Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa dan Statuta Mahkamah Internasional.
Menurut Pasal 92 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa disebutkan bahwa
Mahkamah Internasional merupakan organ hukum utama dari Perserikatan
Bangsa-Bangsa.
Namun sesungguhnya, pendirian Mahkamah Internasional yang baru ini,
pada dasarnya hanyalah merupakan kelanjutan dari Mahkamah Internasional
yang lama, karena banyak nomor-nomor dan pasal-pasal yang tidak mengalami
perubahan secara signifikan. Secara umum, Mahkamah Internasional mempunyai
kewenangan untuk:
1. Melaksanakan “Contentious Jurisdiction”, yaitu yurisdiksi atas perkara biasa,
yang didasarkan pada persetujuan para pihak yang bersengketa;
2. Memberikan “Advisory Opinion”, yaitu pendapat mahkamah yang bersifat
nasehat. Advisory Opinion tidaklah memiliki sifat mengikat bagi yang
meminta, namun biasanya diberlakukan sebagai “Compulsory Ruling”, yaitu
keputusan wajib yang mempunyai kuasa persuasive kuat (Burhan Tsani,
1990; 217)
Sedangkan, menurut Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional,
sumber-sumber hukum internasional yang dipakai oleh Mahkamah dalam
mengadili perkara, adalah:

1. Perjanjian internasional (international conventions), baik yang bersifat
umum, maupun khusus;
2. Kebiasaan internasional (international custom);
3. Prinsip-prinsip hukum umum (general principles of law) yang diakui oleh
negara-negara beradab;
4. Keputusan pengadilan (judicial decision) dan pendapat para ahli yang telah
diakui kepakarannya, yang merupakan sumber hukum internasional
tambahan.
Mahkamah Internasional juga sebenarnya bisa mengajukan keputusan ex
aequo et bono, yaitu didasarkan pada keadilan dan kebaikan, dan bukan
berdasarkan hukum, namun hal ini bisa dilakukan jika ada kesepakatan antar
negara-negara yang bersengketa. Keputusan Mahkamah Internasional sifatnya
final, tidak dapat banding dan hanya mengikat para pihak. Keputusan juga
diambil atas dasar suara mayoritas. Yang dapat menjadi pihak hanyalah negara,
namun semua jenis sengketa dapat diajukan ke Mahkamah Internasional.
Masalah pengajuan sengketa bisa dilakukan oleh salah satu pihak secara
unilateral, namun kemudian harus ada persetujuan dari pihak yang lain. Jika
tidak ada persetujuan, maka perkara akan di hapus dari daftar Mahkamah
Internasional, karena Mahkamah Internasional tidak akan memutus perkara
secara in-absensia (tidak hadirnya para pihak).

BAB III
KESIMPULAN

Menurut teori Dualisme, hukum internasional dan hukum nasional, merupakan
dua sistem hukum yang secara keseluruhan berbeda. Hukum internasional dan hukum
nasional merupakan dua sistem hukum yang terpisah, tidak saling mempunyai
hubungan superioritas atau subordinasi. Berlakunya hukum internasional dalam
lingkungan hukum nasional memerlukan ratifikasi menjadi hukum nasional. Kalau ada
pertentangan antar keduanya, maka yang diutamakan adalah hukum nasional suatu
negara.
Sedangkan menurut teori Monisme, hukum internasional dan hukum nasional
saling berkaitan satu sama lainnya. Menurut teori Monisme, hukum internasional itu
adalah lanjutan dari hukum nasional, yaitu hukum nasional untuk urusan luar negeri.
Menurut teori ini, hukum nasional kedudukannya lebih rendah dibanding dengan hukum
internasional. Hukum nasional tunduk dan harus sesuai dengan hukum internasional.
(Burhan Tsani, 1990; 26)
Berangkat dari pentingnya hubungan lintas negara disegala sektor kehidupan
seperti politik, sosial, ekonomi dan lain sebagainya, maka sangat diperlukan hukum
yang diharap bisa menuntaskan segala masalah yang timbul dari hubungan antar negara.
Hukum Internasional ialah sekumpulan kaedah hukum wajib yang mengatur hubungan
antara person hukum internasional (Negara dan Organisasi Internasional), menentukan
hak dan kewajiban badan tersebut serta membatasi hubungan yang terjadi antara person
hukum tersebut dengan masyarakat sipil.

DAFTAR PUSTAKA

Ardiwisastra Yudha Bhakti, 2003, Hukum Internasional, Bunga Rampai, Alumni,
Bandung.
Burhantsani, Muhammad, 1990; Hukum dan Hubungan Internasional, Yogyakarta :
Penerbit Liberty.
Disarikan dari paparan ilmiah Abdul Hakim Garuda Nusantara, dalam Dialog Interaktif,
“Arti Pengesahan Dua Kovenan HAM bagi Penegakan Hukum,” di Hotel
Acacia, Jakarta, pada 9 Maret 2006, yang diselenggarakan oleh Komisi Hukum
Nasional RI.
Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara (terj), (Bandung: Nuansa,
2006), hal. 512-513.
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional Buku 2 (terj), (Jakarta: Sinar Grafika,
1992), hal. 98. Lihat juga Boer Mauna, Hukum Internasional, (Bandung:
Alumni, 2000), hal. 12-13. Lebih lanjut mengenai pandangan Kelsen ini dapat di
lihat dalam beberapa tulisan Kelsen, Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu
Hukum Normatif, hal. 353. Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, hal. 511.
Ibid, hal. 97.
Kusamaatmadja Mochtar, 1999, Pengantar Hukum Internasional, Cetakan ke-9, Putra
Abardin.
Mauna Boer, 2003, Hukum Internasional; Pengertian, Peran dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, Cetakan ke-4, PT. Alumni, Bandung.
Phartiana I Wayan, 2003, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit Mandar maju,
Bandung.
Situni F. A. Whisnu, 1989, Identifikasi dan Reformulasi Sumber-Sumber Hukum
Internasional, Penerbit Mandar Maju, Bandung
Suryokusumo, Sumaryo,.(1995) Hukum Diplomatik Teori dan Kasus, Bandung:
Alumni.
Soekanto, Soerjono,.(1993) Sendi-sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum, Bandung: Citra
Aditya.

MAKALAH

HUBUNGAN HUKUM INTERNASIONAL DAN
HUKUM NASIONAL

OLEH
ROCKY ROMARIO SAFE
H1A2 08 347
KELAS B

PROGRAM EKSTENSI
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2009