Faktor Faktor Ko Eksistensi Adat dan Isl
Faktor-Faktor Ko-Eksistensi Adat dan Islam
dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam
(Studi Kasus Nagari Guguk Malalo, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat)1
Oleh
Nurul Firmansyah
Jalinan adat dan islam di nagari guguk malalo tidak terlepas dari karakter keberagamaan
masyarakat nagari guguk malalo yang bercorak islam lokal dalam masyarakat melayu, khususnya
minangkabau. Corak islam ini menghormati nilai-nilai tradisional (adat) yang hidup. Masyarakat nagari
guguk malalo konsisten menjalankan ajaran adat dan islam secara secara bersamaan. Hal ini terkait
dengan pepatah; adat basa di sya a;, sya a’ basa di kitabullah.
Secara normatif, jalinan adat dan islam dilaksanakan dengan prinsip islam adalah dasar dan adat
adalah operasional. Nilai-nilai islam sebagai tonggak dijalankan dalam pemakluman adat. Prinsip ini
sebagai legitimasi masyarakat minangkabau untuk menjalankan ajaran adat dan islam secara bersamaan.
Legitimasi ini terutama terkait dengan konsistensi masyarakat minangkabau untuk menjaga sistem
pewarisan matrilineal dan hubungannya dengan sistem penguasaan tanah dan sumber daya alam
berdasarkan adat (hak ulayat). Sistem pewarisan dan penguasaan sumber daya alam ini kemudian
membentuk model pengelolaan atas sumber daya alam, termasuk hutan.
Konsistensi menjaga sistem pewarisan dan penguasaan sumber daya alam berdasarkan adat di
satu sisi dan menjalankan islam sebagai dasar pelaksanaan adat disisi lain oleh masyarakat nagari guguk
malalo didukung oleh faktor-faktor penting yang mempangaruhi, yaitu faktor ekonomi,ekologi, sosial,
politik dan budaya, serta reliji. Faktor-faktor ini memelihara corak pengelolaan hutan dan sumber daya
alam oleh masyarakat nagari tetap berlangsung sampai saat ini.
Tulisa i i erupaka agia dari Tesis Pe ulis ya g erjudul : Adat and Islamic Teaching in Community Based Forest
Management A Case Study In Nagari Guguk Malalo, West Sumatera Indonesia pada progra studi INRM Pas a “arja a
Universitas Andalas, Padang
1
1
Faktor Ekonomi dan Ekologi
Faktor ekonomi, terutama pemenuhan keadilan (distribusi) sumber daya untuk menjamin
keberlanjutan mata pencarian seluruh anggota komunitas masyarakat nagari guguk malalo menjadi faktor
utama konsistensi menjalankan sistem pewarisan matrilineal adat dan penguasaan atas sumber daya
alam (hak ulayat). Sistem pewarisan dan penguasaan sumber daya alam berdasarkan adat melahirkan
pembatasan penguasaan individual secara mutlak atas kekayaaan sumber daya alam, terutama
pembatasan terhadap ayah sebagai kepala keluarga batih. Seorang laki-laki dewasa, yaitu laki-laki yang
telah menikah dibebankan untuk memenuhi kebutuhan keluarga batih (istri dan anak-anak) yang dia bisa
hasilkan dari pemanfaatan tanah-tanah berupa sawah dan parak yang dimilki oleh keluarga istri maupun
tanah-ta ah pusako dari i u a
elalui akses ganggam bauntuk. Dia ha a isa
e a faatka hasil
dari lahan-lahan produktif untuk memenuhi kebutuhan keluarga batih, tetapi dia tidak memiliki secara
mutlak atas lahan-lahan yang dikelola tersebut. Begitu halnya dengan istri pewaris tanah pusako, juga
hanya bisa menyediakan lahan untuk dikelola sendiri atau oleh suami dan anak-anaknya, namun dibatasi
untuk memiliki lahan-lahan tersebut secara mutlak.
Model pengelolaan tanah-tanah pusako ini adalah model ekonomi keluarga berbasis suku/kaum.
Graves (2007) menjelaskan bagaimana model tanah pusako tinggi memastikan model ekonomi tersebut
erla gsu g. Ta ah pusako se agai harta pusaka adalah se a a
da a ja i a
ersa a
trust fund)
yang dimiliki bersama-sama oleh anggota kaum/suku. Kepemilikan individual mutlak tidak dimungkinkan
dalam sistem ini, sehingga juga menyulitkan untuk diperjual belikan oleh masing-masing anggota
kaum/suku. Sistem ini melindungi semua anggota kaum/suku dari kemiskinan fatal, yang secara
bersamaan juga menyulitkan pemilikan tanah-tanah secara pribadi yang memungkin seseorang menjadi
kaya mendadak.
Perubahan atas model ekonomi suku/kaum memungkinkan terjadi dengan pembatasanpe
atasa
terte tu,
aitu
elalui kele
agaa
hi ah,
aik hi ah papeh dan laleh. Hibah ini
memungkinkan perubahan status harta pusako dari pihak kaum ayah menjadi pusako randah yang
diwariskan kepada anak-anaknya, dengan pewarisan islam secara keseluruhan pada hibah papeh dan
secara terbatas, yaitu selama anak-anak mereka masih hidup dalam hibah laleh.
Masyarakat nagari guguk malalo tidak menolak secara keseluruhan perubahan-perubahan yang
terjadi, namun membatasi perubahan tersebut dengan bersandar pada kepentingan bersama, yaitu
melalui penetapan prosedur hibah yang mesti disepakati oleh semua anggota kaum, baik dari kaum ayah
2
maupun kaum ibu. Dalam konteks ini, kesepakatan kolektif kaum dari kedua belah pihak menjadi syarat
mutlak perubahan status tanah tersebut. Selanjutnya, norma adat membatasi pemberian hibah dengan
ukura
sebatas kebutuhan individu atas tanah da tidak oleh
ele ihi peru aha status terse ut dari
total luas pusako tinggi. Artinya, akumulasi harta secara individu dari harta pusaka tidak dibenarkan.
Tetap, konsep harta pusaka sebagai trust fund menjadi dasar pengambilan keputusan oleh kaum.
Pada ti gkat a g le ih ti ggi, ta ah ula at agari adalah trust fund u tuk seluruh suku/kau
yang ada di nagari. Oleh sebab itu, konsep tanah/hutan cadangan yang dikenal oleh masyarakat nagari
guguk malalo terhadap ulayat nagari menjadi relevan. Kekayaan yang ada di ulayat nagari diperuntukkan
untuk kepentingan perluasan lahan pertanian dan pemukiman sebagai basis ekonomi dari kaum/suku
yang ada di nagari. Hasil hutan kayu dan non kayu adalah hasil sampingan dalam sistem mata pencarian
masyarakat nagari, sehingga pemanfaatan atas hasil hutan kayu dan non kayu diprioritaskan bagi
kepentingan publik, seperti membangun fasilitas umum, surau atau masjid. Pemanfaatan oleh individu
atas hasil huta
adalah pe i pa ga , sehi gga
ereka dia ggap se agai ora g luar
a g
memanfaatkan harta bersama tersebut dan harus mendapatkan izin dari panghulu-panghulu yang ada di
nagari dalam Kerapatan Adat Nagari (KAN) dan Pemerintah Nagari. Pemanfaatan hasil hutan kayu oleh
individu dibatasi untuk kebutuhan sendiri, seperti memperbaiki rumah dan kandang ternak. Dalam
konteks ini, hasil hutan kayu didefiniskan sebagai bukan komoditi komersil.
Model pengelolaan hutan dan sumber daya alam diatas terkait dengan pola produksi masyarakat
nagari guguk malalo yang berbasis pertanian sawah dan agroforestry. Produksi pertanian pokok
masyarakat berasal dari panen padi sawah dan hasil parak (agroforest). Panen padi diprioritaskan untuk
kebutuhan pangan keluarga, dan sisanya menjadi komoditi perdagangan pada pasar-pasar tradisional di
nagari. Sedangkan komoditas yang dihasilkan dari parak (agroforest), berupa kayu manis, kopi, garda
munggu, dan buah-buahan musiman menjadi komoditas yang dijual kepada pengumpul dan sebagian
kecil di pasar-pasar nagari. Hasil panen parak berkontribusi pada mata pencarian keluarga batih untuk
kebutuhan skunder, seperti pendidikan anak, kesehatan dan kebutuhan skunder lainnya. Model produksi
ini mengakibatkan pemungutan hasil hutan adalah produksi minor masyarakat. Sumber daya hutan
adalah ada ga terhadap laha nya, bukan pada hasil hutannya.
Topografi nagari guguk malalo yang berlereng bukit mengakibatkan perluasan persawahan tidak
memungkinkan, namun hanya bagi perluasan parak (agroforest). Akibatnya, pemanfaatan lahan parak
lebih besar dibandingkan dengan lahan persawahan. Adat membatasi perluasan lahan parak dengan
menetapkan wilayah- ila ah terte tu se agai
huta
lara ga .
Fu gsi huta
lara ga
adalah
3
memelihara sumber mata air sebagai penopang lahan persawahan irigasi sebagai produksi pokok
masyarakat.
Pola produksi dan model pengelolaan sumber daya alam ini melahirkan kesatuan ekosistem
nagari yang saling terintegrasi, yaitu antara antara ekosistem pertanian sawah irigasi, agroforestry dengan
hutan. Hutan adalah penopang ekosistem pertanian sawah irigasi dan agroforestry dengan menyediakan
sumber mata air bagi pertanian sawah irigasi dan penyediaan lahan agroforestry.
Ajaran islam menjadi faktor penting pola produksi dan model pengelolaan sumber daya alam di
nagari guguk malalo ini tetap berlangsung, dengan memperkuat tanggung jawab sosial-ekonomi dan
ekologis, baik secara individu maupun komunitas. Pertama, tanggung jawab sosial-ekonomi, yaitu dengan
penetapan hisab atas zakat maal dari pemanfaatan tanah pusako tinggi oleh masing-masing keluarga
batih dan paruik dalam setiap ritual mambuka kapalo banda. Penetapan hisab zakat maal dalam ritual
tersebut adalah bentuk legitimasi relijius atas sistem ekonomi kaum/suku yang berbasis pada hak adat,
a g
e guta aka
kesejahtreraa u u
di a di gka de ga
kesejahteraa i di idual. Pri sip
kesejahteraan umum dalam sistem adat kemudian bertemu dengan nilai islam yang menolak keserahkaan
individu dengan zakat sebagai intsrumennya.
Kedua, tanggung jawab ekologis, yaitu dengan melegitimasi penetapan wilayah konservasi adat
a g dise ut de ga
huta
diperkuat oleh nilai- ilai isla
lara ga . Pe etapa
huta
lara ga
dilaksa aka
elalui ritual mambuka kapalo banda. ‘itual i i
de ga
adat da
ereproduksi or a da
pengetahuan lokal tentang pentingnya menjaga sumber mata air melalui penetapan hutan larangan yang
berfungsi profan sekaligus sakral, yang profan terkait dengan fungsinya sebagai penjaga keseimbangan
ekosistem, yang sakral adalah tanggung jawab individu dan komunitas terhadap keseimbangan alam
sebagai sunnatullah yang harus dijalankan.
Faktor ekonomi dan ekologi dalam praktek pengelolaan hutan dan sumberdaya alam di nagari
guguk malalo adalah bentuk aktualisasi konsep pembangunan berkelanjutan dalam frame al- u ’a , yang
oleh Abomoghli (2010) dalam Mangunjaya (2014) menyebutkan bahwa pembangunan keberlanjutan
dalam islam sebagai keseimbangan dan realisasi berkesinambungan antara kesejahteraan dan
pemanfaatan, efisien secara ekonomi, memperoleh keadilan sosial, dan keseimbangan ekologi.
Faktor Sosial, Politik dan Budaya
4
Ikatan terhadap adat dalam pengelolaan hutan dan sumber daya alam dijaga secara konsisten
dan berkesinambungan oleh masyarakat nagari guguk malalo. Adat begitu kental dalam membentuk
model pengelolaan hutan dan sumber daya alam berbasis adat dengan pilar utamanya adalah konsistensi
pewarisan matrilineal dan sistem penguasaan adat atas tanah dan sumber daya alam (hak ulayat).
Institusi sosial yang menjalankan model pengelolaan hutan dan sumber daya alam berbasis adat tersebut
adalah suku, kaum dan nagari. Kaum adalah institusi sosial yang cenderung otonom dalam penguasaan
tanah dan sumber daya alam, yang dipimpin oleh mamak sebagai pemimpin dan kaum perempuan
sebagai pewaris hartanya. Objek atas tanah kaum atau pusako tinggi mempunyai batas yang jelas
berdasarkan garis keturunan matrilineal dan penguasaan efektif oleh kaum, sesuai dengan pepatah ;
Bunta nan bakapiang, panjang nan bakarek, laweh nan bacabiak.
Penguasaan pusako tinggi berdasarkan hukum informal dan tidak tertulis dengan mamak dan
penghulu suku sebagai orang yang menjaga sistem tersebut terus berlangsung. Selanjutnya, penegasan
tentang batas-batas hak kemudian direproduski secara konsisten dalam ritual mambuka kapalo banda
dala
si
olisasi esar a dagi g sapi
agi setiap kau . “i
olisasi i i adalah pe getahua te ta g
besaran penguasaan pusako tinggi oleh kaum tertentu dan mempertegas batas antara orang-orang asli
pewaris pusako tinggi dengan orang-orang malakok (orang luar komunitas nagari guguk malalo) yang
hanya mempunyai akses pemanfaatan atas tanah dan sumber daya alam.
Surau menjadi wadah di level institusi sosial kaum untuk memastikan jalinan adat dan islam
berlangsung. Masing-masing kaum mempunyai surau kaum yang diurus oleh seorang alim, yang disebut
de ga
ora g siak. “urau
e jadi li gkar elajar er agai tarekat, teruta a tarekat syattariah. Metode
pendidikan islam di surau menggunakan pendekatan informal melalui zikir bersama, ceramah guru agama
dan bersuluk pada sebagian orang-ora g terte tu. Kelo pok i i a g
tua da
erpe garuh esar dala
ko tri usi
e
e tuk karakter isla
e jadi ekspo e uta a kau
lokal di nagari guguk malalo.
Pada tingkatan nagari, suku dan kaum adalah institusi-institusi sosial sekaligus politik dalam
menjalankan pemerintahan nagari dan penguasaan atas ulayat nagari. Pemerintahan nagari mengalami
perubahan hebat sejak diberlakukannya sistem pemerintahan desa, institusi sosial tradisional yang
dulunya ditopang oleh institusi suku dan kaum dilokalisir sedemikian rupa hanya mengurus soal adat dan
ulayat nagari, dengan sebagian kecil didistribusikan juga kepada pemerintahan nagari. Pemerintahan
nagari tidak lagi muncul dari struktur asli tradisional yang diperintah oleh forum panghulu dan panghulu
5
pucuk sebagai pemimpin simbolik, namun oleh kelompok baru yang tidak mesti menggunakan status
tradisional panghulu.
Dalam situasi ini, kelompok pengambil keputusan dan kebijakan di level nagari (elit nagari) tidak
lagi tergantung pada status tradisional adat, namun telah terpecah menjadi tiga kelompok, yaitu
kelompok ninik mamak (adat), alim ulama (pemuka agama) dan cerdik pandai (intelektual). Kelompok
pertama adalah orang-orang yang mempunyai status tradisional sebagai pemimpin adat, yang selain
mendapat akses dalam pemerintahan nagari di legislatif nagari atau Badan Permusywaratan Nagari
(BPRN), juga terwadahi dalam Kerapatan Adat Nagari (KAN). Kelompok kedua adalah alim ulama, yaitu
kelompok pemuka islam, baik yang berasal dari pendidikan formal islam (pengurus sekolah islam
formal/TPA), maupun alim ulama yang berasal dari luar institusi pendidikan formal islam yang cenderung
pada kaum tua. Kelompok ini mempunyai akses pada pengambilan kebijakan di level nagari, melalui
keterlibatan mereka dalam legislatif nagari. Sedangkan kelompok ketiga adalah cadiak pandai. Kelompok
ini dianggap sebagai kelompok intelektual dengan kemampuan-kemampuan pendidikan sekuler tanpa
harus memastikan ikatannya dengan adat atau islam. Kelompok ini memiliki akses di legislatif nagari.
Rekrutmen wali nagari sebagai pimpinan puncak pemerintahan nagari tidak lagi berdasarkan
status adat. Wali nagari dipilih secara langsung oleh masyarakat nagari melalui mekanisme formal
pemilihan wali nagari. Wali nagari bisa berasal dari tiga kelompok elit diatas yang didukung oleh
masyarakat melalui pemilihan langsung. Dalam menjalankan fungsinya, wali nagari selalu
mempertimbangkan kelompok adat, islam dan intelektual dalam melahirkan kebijakan-kebijakan nagari.
Oleh sebab itu, pemahaman tentang adat, islam dan pemerintahan menjadi penting dikuasai untuk
menjadi seorang walinagari, baik dalam proses rekrutmen politik nagari atau menjalankan pemerintahan.
Pada level nagari ini, relasi adat dan islam dipengaruhi oleh elemen lain, yaitu Negara, melalui
sistem pemerintahan dan penguasaan hutan oleh negara. Kehadiran Negara sebagai institusi politik dan
pemerintahan mempengaruhi kelembagaan pengelolaan ulayat nagari dimana pemerintahan nagari
mempunyai legitimasi formal pengelola ulayat nagari. Selain itu, Negara juga hadir dalam klaim atas
ulayat nagari dan pusako tinggi atas wilayah-wilayah yang ditetapkan secara sepihak sebagai kawasan
hutan.
Klaim Negara ini tidak bekerja dengan efektif karena belum jelasnya batas antara ulayat nagari
dan pusako tinggi dengan kawasan hutan. Penguasaan de facto tetap bekerja secara informal
berdasarkan adat yang kemudian dilegitimasi oleh ajaran islam. Penguasaan pusako tinggi oleh kaum
6
mempunyai tingkat otonomi yang lebih besar dibandingkan penguasaan ulayat nagari. Ulayat nagari
mengalami konflik kewenangan antara pemerintahan nagari dengan KAN di level nagari. Sedangkan pada
level struktur Negara yang lebih besar adalah klaim formal atas kawasan hutan.
Faktor penguasaan adat dan kuatnya institusi sosial atas hutan dan sumber daya alam
menyebabkan institusi pemerintahan nagari mengakomodasi klaim tersebut. Salah satu bentuk
pengakuan klaim penguasaan hutan dan sumber daya alam berbasis adat ini lahir melalui Peraturan
Nagari, yaitu Peraturan Nagari Guguk Malalo No.2 tahun 2008 tentang Pengukuhan Hak Ulayat Dan
Pengelolaan Ulayat Anak Nagari Guguk Malalo. Peraturan formal ditingkat nagari ini disusun dengan
melibatkan tiga kelompok elit di nagari, yaitu adat, alim ulama dan inteletual, yang menghasilkan
semacam kompromi pengurusan ulayat nagari antara pemerintah nagari dengan KAN dengan pembagian
kewenangan, yaitu KAN sebagai penguasa ulayat nagari, sedangkan Pemerintah Nagari bersama-sama
KAN sebagai pengelola ulayat nagari. KAN tetap menjadi institusi tertinggi dalam penguasaan atas ulayat
nagari tersebut.
Lahirnya aturan nagari yang akomodatif tersebut diatas tidak terlepas dari faktor budaya
masyarakat minangkabau umumnya dan nagari guguk malalo pada khususnya, yang mengakui eksistensi
Negara, adat dan islam sebagai satu kesatuan yang saling melengkapi. Cara pandang ini merupakan
aktualisasi dari pri sip tigo tungku sajarangan. Mas arakat agari selalu
e ari kesei
a ga dari
ketiga sistem tersebut, dalam kehidupan sosial, politik dan budaya mereka.
Faktor Reliji
Masyarakat nagari guguk malalo sebagai bagian dari masyarakat etnis minangkabau yang lebih
luas adalah masyarakat adat yang mengidentikan dirinya sebagai ummat islam. Islam dan adat seperti dua
mata uang yang selalu berdampingan, yang selalu menjadi jalan hidup orang minangkabau.
Relasi adat dan islam adalah dinamis yang lahir dari sejarah konflik dan juga rekonsiliasi antara
dua kutub tersebut. Dinamika ini menghasilkan karakter kehidupan beragama yang bersifat lokal, yang
disebut dengan islam lokal. Islam dengan corak ini berusaha mencari keseimbangan antara islam yang
sinkritis dengan syariat yang dogmatis, yang dalam masyarakat minangkabau dikenal dengan adigium;
adat basa di sya a’, sya a’ basa di kitabullah. Turu a operasio al dari pri sip terse ut teraktualisasi
dala
pepatah ; Sya a’
a gato, Adat Ma akai
bersumber dari al-Quran dan hadis Na i diterapka
adat basisampiang,
aitu segala e tuk ajara aga a, khusus a a g
elalui adat; atau pepatah lai ; sya a’ batala ja g,
aitu; apa a g dikataka aga a adalah tegas da tera g, tetapi setelah diterapka
7
dalam adat, dibuatlah peraturan pelaksananya yang sebaik-baiknya; atau pepatah lai ; adat yang kawi,
syarak yang lazim,
aitu; adat tidak aka tegak jika tidak diteguhka oleh aga a, seda gka aga a
sendiri tidak akan berjalan jika tidak dilazimkan (diterapkan) melalui adat, Fathurrahman (2008).
Dapat disimpulkan bahwa ajaran islam adalah nilai sakral yang luhur dan adat adalah
operasionalisasi atas nilai-nilai tersebut, yang bersandarkan kelaziman sosial. Konteks sosial, budaya,
ekonomi dan bahkan politik berdasarkan adat sebagai representasi nilai sosial masyarakat minangkabau
adalah keniscayaan dan ajaran islam memperkuat legitimasi atas nilai-nilai tersebut dan menjadi
pedoman dalam pelaksanaannya.
Oleh sebab itu, aktualisasi islam di nagari guguk malalo tetap memegang teguh adat dalam
kehidupan sosial, terutama terkait dengan sistem pewarisan matrilineal dan penguasaan sumber daya
alam (hak ulayat). Sistem pewarisan dan penguasaan sumber daya alam menjadi keberlanjutan institusi
sosial masyarakat nagari guguk malalo yang dilaksanakan secara konsisten. Artinya karakter islam lokal
dalam masyarakat nagari guguk malalo menjadi faktor yang memperkuat model pengelolaan hutan dan
sumber daya alam berbasis adat. Islam dalam konteks ini tidak dimaknai secara tekstual belaka, namun
islam adalah nilai-nilai universal yang diaktualisasikan secara kontekstual dalam kehidupan sosial.
Corak Islam ini memperkaya pemaknaan nilai adat yang dalam dimensi profan dan sakral
sekaligus. Ritual mambuka kapalo banda adalah bukti bagaimana islam dan adat menggabungkan dua
dimensi tersebut. Islam hadir secara fisik dengan mendukung keseimbangan ekologi dan keadilan
distribusi sumber daya yang telah dianut dalam model pengelolaan adat. Secara sakral, islam
memperkuat tanggung jawab individu dan komunitas sebagai khalifah di muka bumi dengan mengelola
hutan dan sumber daya alam secara berkelanjutan dan juga memperkuat individu dan komunitas untuk
menghargai alam sebagai makhluk fisik dan sekaligus gaib.
***
8
Kepustakaan
Agus, Fahmuddin, Farida and Meine Van Noordwijk (eds) (2004), Hydrological impact of forest,
Agroforestry and upland cropping as a basis for rewarding environmental service providers in
indonesia, World Agroforestry Centre (ICRAF), Bogor
Azra, Az ur ardi
, Jari ga Ula a Ti ur Te gah da Kepulaua Nusa tara A ad XVII & XVIII :
Akar Pembaruan Islam Indonesia, Ke a a Pre ada edia, Jakarta
Be da Be k a , Fra z a d Kee et Vo
, “tate, ‘eligio A d Legal Pluralis : Cha gi g
Co stellatio s i West “u atera Mi a gka au A d Co parati e Issue, Ma Planck Institute
For Social Anthropology, Halle
Contreras-Her osilla, Ar oldo a d Chip Fa
, “tre gthe i g Forest Ma age e t I I do esia
Through La d Te ure ‘efor : Issues A d Fra e ork For A tio , Forest Trends & World Agro
Forestry
Davidson-Hu t, Iai J a d Fikret Berkes, Cha gi g ‘esour e Ma age e t Paradig s, Traditio al
Ecological Knowledge, and Non-timber Forest Product, NTFP Co fere e Pro eedi gs
Dee , Ma il Y. Izzi
Isla i E iro e tal Ethi s, La , a d “o iet i the Ethi s of Environment
and Developme t, Bellha e Press, Lo do
De i, “usi Fitria
, Oral Traditio I The “tud Of Ula at La d Dispute I West “u atera i Wa a a
: Oral traditio s i the Mala World, Jour al of The hu a ities Of I do esia, Ya asa O or
Indonesia and Faculty of humanities, University of Indonesia, Jakarta.
Fathurrah a , O a
, Tarekat “ attari ah di Mi a gka au; Teks da Ko teks, Pre ada Media
Group, E ole fra aise d E tre e-Orient, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN
Jakarta, KITLV, Jakarta
Firma s ah, Nurul, Naldi Ga tika da Muha
ad Ali
Jaring Hukum Negara, HuMa da Q ar, Jakarta.
, Di a ika Huta Nagari d Te gah-Tengah
Firmansyah, Nurul, Mora Dingin, Nora Hidayati, (2014), Laporan Penelitian : Perbandingan Pengelolaan
Hutan oleh Negara dan Masyarakat : Studi Kasus Masyarakat Adat Malalo Tigo Jurai, Kabupaten
Tanah Datar, Sumatera Barat, HuMa dan Qbar.
Gra es, Eliza eth E
Asal-Usul Elite Minangkabau Modern : Respons Terhadap Kolonial Belanda
A ad XIX/XX, Ya asa O or I do esia, 2007.
Ha ka
, Isla
da Adat di Mi a gka au, Pustaka Pa ji as, Jakarta.
Khalid, Fazlu M
Isla a d The E iro e t i the E
Cha ge, John Wiley & Sons, Ltd, Chichester
Koe tjara i grat
lopedia of Glo al E iro
, Pe ga tar Il u A tropologi, Edisi ‘e isi
e tal
, ‘i eka Cipta, Jakarta
9
Lukito, ‘at o
, Huku “akral da Huku “ekuler: “tudi Tentang Konflik dan Resolusi Dalam Sistem
Hukum Indonesia, Pustaka Al a et, Jakarta.
Ma gu ja a, Fa hruddi
, Ekopesa tre ; Bagai a a Mera a g Pesa tre ‘a ah Li gku ga ?,
Yayasan Pusaka Obor Indonesia, Jakarta
Ma gu ja a, Fa hruddi M, dkk
Me a a “e elu Kia at; Isla , Ekologi, da Geraka
Li gku ga Hidup, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Mufid, “of a A ar
, Isla da Ekologi Ma usia; Paradig a Baru, Ko it e da I tegritas
Manusia dalam Ekosistemnya, Refleksi Jawaban atas Tantangan Pemanasan Global Dimensinya
Intelektual, Emosional, da “piritual, Nua sa, Ba du g
Na is, A.A
, Ala
Jakarta.
Terke
a g Jadi Guru : Adat Da Ke uda aa Mi a gka au, Grafitipers,
Ramstedt, Martin dan Fadjar I u Thufail
, Kegalaua Ide titas : Aga a, Et isitas, da
Kewarganegaraan Pada Masa Orde Baru, Grasi do, Jakarta
‘id a , Nur a Ali
Purwokerto
, La dasa Keil uaa Kearifa Lokal, I da: olu e 5, STAIN Purwokerto,
Rianse, Usman and Abdi (
, Agroforestri: “olusi “osial da Eko o i Pe gelolaa “u
Huta , Alfa eta, Ba du g.
‘i klefs, M.C.
, “ejarah I do esia Moder : 1200-
, “era
er Daya
i, Jakarta
Sanusi, Ahmad, Sohari (2015), Ushul Fiqh, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Tiete
erg, To
York City
, E iro
e tal A d Natural ‘esour e E o o i s, Perason Education Inc, New
Va dergeest, Peter a d Chusak Witta apak
, De e tralizatio a d Politi s, i The politi s of
decentralization; Natural Resource Management I Asia, Mekong Press, Chiang Mai. Thailand
War a , Kur ia
, Ga gga Bau tuak Me jadi Hak Milik: Pe i pa ga Ko ersi Hak Ta ah di
“u atera Barat A dalas University Press, Padang.
War a , Kur ia
da Huku
, Huku Agraria Dala Mas arakat Maje uk : Dinamika Interaksi Hukum Adat
Negara di “u atera Barat, HuMa, Jakarta.
10
dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam
(Studi Kasus Nagari Guguk Malalo, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat)1
Oleh
Nurul Firmansyah
Jalinan adat dan islam di nagari guguk malalo tidak terlepas dari karakter keberagamaan
masyarakat nagari guguk malalo yang bercorak islam lokal dalam masyarakat melayu, khususnya
minangkabau. Corak islam ini menghormati nilai-nilai tradisional (adat) yang hidup. Masyarakat nagari
guguk malalo konsisten menjalankan ajaran adat dan islam secara secara bersamaan. Hal ini terkait
dengan pepatah; adat basa di sya a;, sya a’ basa di kitabullah.
Secara normatif, jalinan adat dan islam dilaksanakan dengan prinsip islam adalah dasar dan adat
adalah operasional. Nilai-nilai islam sebagai tonggak dijalankan dalam pemakluman adat. Prinsip ini
sebagai legitimasi masyarakat minangkabau untuk menjalankan ajaran adat dan islam secara bersamaan.
Legitimasi ini terutama terkait dengan konsistensi masyarakat minangkabau untuk menjaga sistem
pewarisan matrilineal dan hubungannya dengan sistem penguasaan tanah dan sumber daya alam
berdasarkan adat (hak ulayat). Sistem pewarisan dan penguasaan sumber daya alam ini kemudian
membentuk model pengelolaan atas sumber daya alam, termasuk hutan.
Konsistensi menjaga sistem pewarisan dan penguasaan sumber daya alam berdasarkan adat di
satu sisi dan menjalankan islam sebagai dasar pelaksanaan adat disisi lain oleh masyarakat nagari guguk
malalo didukung oleh faktor-faktor penting yang mempangaruhi, yaitu faktor ekonomi,ekologi, sosial,
politik dan budaya, serta reliji. Faktor-faktor ini memelihara corak pengelolaan hutan dan sumber daya
alam oleh masyarakat nagari tetap berlangsung sampai saat ini.
Tulisa i i erupaka agia dari Tesis Pe ulis ya g erjudul : Adat and Islamic Teaching in Community Based Forest
Management A Case Study In Nagari Guguk Malalo, West Sumatera Indonesia pada progra studi INRM Pas a “arja a
Universitas Andalas, Padang
1
1
Faktor Ekonomi dan Ekologi
Faktor ekonomi, terutama pemenuhan keadilan (distribusi) sumber daya untuk menjamin
keberlanjutan mata pencarian seluruh anggota komunitas masyarakat nagari guguk malalo menjadi faktor
utama konsistensi menjalankan sistem pewarisan matrilineal adat dan penguasaan atas sumber daya
alam (hak ulayat). Sistem pewarisan dan penguasaan sumber daya alam berdasarkan adat melahirkan
pembatasan penguasaan individual secara mutlak atas kekayaaan sumber daya alam, terutama
pembatasan terhadap ayah sebagai kepala keluarga batih. Seorang laki-laki dewasa, yaitu laki-laki yang
telah menikah dibebankan untuk memenuhi kebutuhan keluarga batih (istri dan anak-anak) yang dia bisa
hasilkan dari pemanfaatan tanah-tanah berupa sawah dan parak yang dimilki oleh keluarga istri maupun
tanah-ta ah pusako dari i u a
elalui akses ganggam bauntuk. Dia ha a isa
e a faatka hasil
dari lahan-lahan produktif untuk memenuhi kebutuhan keluarga batih, tetapi dia tidak memiliki secara
mutlak atas lahan-lahan yang dikelola tersebut. Begitu halnya dengan istri pewaris tanah pusako, juga
hanya bisa menyediakan lahan untuk dikelola sendiri atau oleh suami dan anak-anaknya, namun dibatasi
untuk memiliki lahan-lahan tersebut secara mutlak.
Model pengelolaan tanah-tanah pusako ini adalah model ekonomi keluarga berbasis suku/kaum.
Graves (2007) menjelaskan bagaimana model tanah pusako tinggi memastikan model ekonomi tersebut
erla gsu g. Ta ah pusako se agai harta pusaka adalah se a a
da a ja i a
ersa a
trust fund)
yang dimiliki bersama-sama oleh anggota kaum/suku. Kepemilikan individual mutlak tidak dimungkinkan
dalam sistem ini, sehingga juga menyulitkan untuk diperjual belikan oleh masing-masing anggota
kaum/suku. Sistem ini melindungi semua anggota kaum/suku dari kemiskinan fatal, yang secara
bersamaan juga menyulitkan pemilikan tanah-tanah secara pribadi yang memungkin seseorang menjadi
kaya mendadak.
Perubahan atas model ekonomi suku/kaum memungkinkan terjadi dengan pembatasanpe
atasa
terte tu,
aitu
elalui kele
agaa
hi ah,
aik hi ah papeh dan laleh. Hibah ini
memungkinkan perubahan status harta pusako dari pihak kaum ayah menjadi pusako randah yang
diwariskan kepada anak-anaknya, dengan pewarisan islam secara keseluruhan pada hibah papeh dan
secara terbatas, yaitu selama anak-anak mereka masih hidup dalam hibah laleh.
Masyarakat nagari guguk malalo tidak menolak secara keseluruhan perubahan-perubahan yang
terjadi, namun membatasi perubahan tersebut dengan bersandar pada kepentingan bersama, yaitu
melalui penetapan prosedur hibah yang mesti disepakati oleh semua anggota kaum, baik dari kaum ayah
2
maupun kaum ibu. Dalam konteks ini, kesepakatan kolektif kaum dari kedua belah pihak menjadi syarat
mutlak perubahan status tanah tersebut. Selanjutnya, norma adat membatasi pemberian hibah dengan
ukura
sebatas kebutuhan individu atas tanah da tidak oleh
ele ihi peru aha status terse ut dari
total luas pusako tinggi. Artinya, akumulasi harta secara individu dari harta pusaka tidak dibenarkan.
Tetap, konsep harta pusaka sebagai trust fund menjadi dasar pengambilan keputusan oleh kaum.
Pada ti gkat a g le ih ti ggi, ta ah ula at agari adalah trust fund u tuk seluruh suku/kau
yang ada di nagari. Oleh sebab itu, konsep tanah/hutan cadangan yang dikenal oleh masyarakat nagari
guguk malalo terhadap ulayat nagari menjadi relevan. Kekayaan yang ada di ulayat nagari diperuntukkan
untuk kepentingan perluasan lahan pertanian dan pemukiman sebagai basis ekonomi dari kaum/suku
yang ada di nagari. Hasil hutan kayu dan non kayu adalah hasil sampingan dalam sistem mata pencarian
masyarakat nagari, sehingga pemanfaatan atas hasil hutan kayu dan non kayu diprioritaskan bagi
kepentingan publik, seperti membangun fasilitas umum, surau atau masjid. Pemanfaatan oleh individu
atas hasil huta
adalah pe i pa ga , sehi gga
ereka dia ggap se agai ora g luar
a g
memanfaatkan harta bersama tersebut dan harus mendapatkan izin dari panghulu-panghulu yang ada di
nagari dalam Kerapatan Adat Nagari (KAN) dan Pemerintah Nagari. Pemanfaatan hasil hutan kayu oleh
individu dibatasi untuk kebutuhan sendiri, seperti memperbaiki rumah dan kandang ternak. Dalam
konteks ini, hasil hutan kayu didefiniskan sebagai bukan komoditi komersil.
Model pengelolaan hutan dan sumber daya alam diatas terkait dengan pola produksi masyarakat
nagari guguk malalo yang berbasis pertanian sawah dan agroforestry. Produksi pertanian pokok
masyarakat berasal dari panen padi sawah dan hasil parak (agroforest). Panen padi diprioritaskan untuk
kebutuhan pangan keluarga, dan sisanya menjadi komoditi perdagangan pada pasar-pasar tradisional di
nagari. Sedangkan komoditas yang dihasilkan dari parak (agroforest), berupa kayu manis, kopi, garda
munggu, dan buah-buahan musiman menjadi komoditas yang dijual kepada pengumpul dan sebagian
kecil di pasar-pasar nagari. Hasil panen parak berkontribusi pada mata pencarian keluarga batih untuk
kebutuhan skunder, seperti pendidikan anak, kesehatan dan kebutuhan skunder lainnya. Model produksi
ini mengakibatkan pemungutan hasil hutan adalah produksi minor masyarakat. Sumber daya hutan
adalah ada ga terhadap laha nya, bukan pada hasil hutannya.
Topografi nagari guguk malalo yang berlereng bukit mengakibatkan perluasan persawahan tidak
memungkinkan, namun hanya bagi perluasan parak (agroforest). Akibatnya, pemanfaatan lahan parak
lebih besar dibandingkan dengan lahan persawahan. Adat membatasi perluasan lahan parak dengan
menetapkan wilayah- ila ah terte tu se agai
huta
lara ga .
Fu gsi huta
lara ga
adalah
3
memelihara sumber mata air sebagai penopang lahan persawahan irigasi sebagai produksi pokok
masyarakat.
Pola produksi dan model pengelolaan sumber daya alam ini melahirkan kesatuan ekosistem
nagari yang saling terintegrasi, yaitu antara antara ekosistem pertanian sawah irigasi, agroforestry dengan
hutan. Hutan adalah penopang ekosistem pertanian sawah irigasi dan agroforestry dengan menyediakan
sumber mata air bagi pertanian sawah irigasi dan penyediaan lahan agroforestry.
Ajaran islam menjadi faktor penting pola produksi dan model pengelolaan sumber daya alam di
nagari guguk malalo ini tetap berlangsung, dengan memperkuat tanggung jawab sosial-ekonomi dan
ekologis, baik secara individu maupun komunitas. Pertama, tanggung jawab sosial-ekonomi, yaitu dengan
penetapan hisab atas zakat maal dari pemanfaatan tanah pusako tinggi oleh masing-masing keluarga
batih dan paruik dalam setiap ritual mambuka kapalo banda. Penetapan hisab zakat maal dalam ritual
tersebut adalah bentuk legitimasi relijius atas sistem ekonomi kaum/suku yang berbasis pada hak adat,
a g
e guta aka
kesejahtreraa u u
di a di gka de ga
kesejahteraa i di idual. Pri sip
kesejahteraan umum dalam sistem adat kemudian bertemu dengan nilai islam yang menolak keserahkaan
individu dengan zakat sebagai intsrumennya.
Kedua, tanggung jawab ekologis, yaitu dengan melegitimasi penetapan wilayah konservasi adat
a g dise ut de ga
huta
diperkuat oleh nilai- ilai isla
lara ga . Pe etapa
huta
lara ga
dilaksa aka
elalui ritual mambuka kapalo banda. ‘itual i i
de ga
adat da
ereproduksi or a da
pengetahuan lokal tentang pentingnya menjaga sumber mata air melalui penetapan hutan larangan yang
berfungsi profan sekaligus sakral, yang profan terkait dengan fungsinya sebagai penjaga keseimbangan
ekosistem, yang sakral adalah tanggung jawab individu dan komunitas terhadap keseimbangan alam
sebagai sunnatullah yang harus dijalankan.
Faktor ekonomi dan ekologi dalam praktek pengelolaan hutan dan sumberdaya alam di nagari
guguk malalo adalah bentuk aktualisasi konsep pembangunan berkelanjutan dalam frame al- u ’a , yang
oleh Abomoghli (2010) dalam Mangunjaya (2014) menyebutkan bahwa pembangunan keberlanjutan
dalam islam sebagai keseimbangan dan realisasi berkesinambungan antara kesejahteraan dan
pemanfaatan, efisien secara ekonomi, memperoleh keadilan sosial, dan keseimbangan ekologi.
Faktor Sosial, Politik dan Budaya
4
Ikatan terhadap adat dalam pengelolaan hutan dan sumber daya alam dijaga secara konsisten
dan berkesinambungan oleh masyarakat nagari guguk malalo. Adat begitu kental dalam membentuk
model pengelolaan hutan dan sumber daya alam berbasis adat dengan pilar utamanya adalah konsistensi
pewarisan matrilineal dan sistem penguasaan adat atas tanah dan sumber daya alam (hak ulayat).
Institusi sosial yang menjalankan model pengelolaan hutan dan sumber daya alam berbasis adat tersebut
adalah suku, kaum dan nagari. Kaum adalah institusi sosial yang cenderung otonom dalam penguasaan
tanah dan sumber daya alam, yang dipimpin oleh mamak sebagai pemimpin dan kaum perempuan
sebagai pewaris hartanya. Objek atas tanah kaum atau pusako tinggi mempunyai batas yang jelas
berdasarkan garis keturunan matrilineal dan penguasaan efektif oleh kaum, sesuai dengan pepatah ;
Bunta nan bakapiang, panjang nan bakarek, laweh nan bacabiak.
Penguasaan pusako tinggi berdasarkan hukum informal dan tidak tertulis dengan mamak dan
penghulu suku sebagai orang yang menjaga sistem tersebut terus berlangsung. Selanjutnya, penegasan
tentang batas-batas hak kemudian direproduski secara konsisten dalam ritual mambuka kapalo banda
dala
si
olisasi esar a dagi g sapi
agi setiap kau . “i
olisasi i i adalah pe getahua te ta g
besaran penguasaan pusako tinggi oleh kaum tertentu dan mempertegas batas antara orang-orang asli
pewaris pusako tinggi dengan orang-orang malakok (orang luar komunitas nagari guguk malalo) yang
hanya mempunyai akses pemanfaatan atas tanah dan sumber daya alam.
Surau menjadi wadah di level institusi sosial kaum untuk memastikan jalinan adat dan islam
berlangsung. Masing-masing kaum mempunyai surau kaum yang diurus oleh seorang alim, yang disebut
de ga
ora g siak. “urau
e jadi li gkar elajar er agai tarekat, teruta a tarekat syattariah. Metode
pendidikan islam di surau menggunakan pendekatan informal melalui zikir bersama, ceramah guru agama
dan bersuluk pada sebagian orang-ora g terte tu. Kelo pok i i a g
tua da
erpe garuh esar dala
ko tri usi
e
e tuk karakter isla
e jadi ekspo e uta a kau
lokal di nagari guguk malalo.
Pada tingkatan nagari, suku dan kaum adalah institusi-institusi sosial sekaligus politik dalam
menjalankan pemerintahan nagari dan penguasaan atas ulayat nagari. Pemerintahan nagari mengalami
perubahan hebat sejak diberlakukannya sistem pemerintahan desa, institusi sosial tradisional yang
dulunya ditopang oleh institusi suku dan kaum dilokalisir sedemikian rupa hanya mengurus soal adat dan
ulayat nagari, dengan sebagian kecil didistribusikan juga kepada pemerintahan nagari. Pemerintahan
nagari tidak lagi muncul dari struktur asli tradisional yang diperintah oleh forum panghulu dan panghulu
5
pucuk sebagai pemimpin simbolik, namun oleh kelompok baru yang tidak mesti menggunakan status
tradisional panghulu.
Dalam situasi ini, kelompok pengambil keputusan dan kebijakan di level nagari (elit nagari) tidak
lagi tergantung pada status tradisional adat, namun telah terpecah menjadi tiga kelompok, yaitu
kelompok ninik mamak (adat), alim ulama (pemuka agama) dan cerdik pandai (intelektual). Kelompok
pertama adalah orang-orang yang mempunyai status tradisional sebagai pemimpin adat, yang selain
mendapat akses dalam pemerintahan nagari di legislatif nagari atau Badan Permusywaratan Nagari
(BPRN), juga terwadahi dalam Kerapatan Adat Nagari (KAN). Kelompok kedua adalah alim ulama, yaitu
kelompok pemuka islam, baik yang berasal dari pendidikan formal islam (pengurus sekolah islam
formal/TPA), maupun alim ulama yang berasal dari luar institusi pendidikan formal islam yang cenderung
pada kaum tua. Kelompok ini mempunyai akses pada pengambilan kebijakan di level nagari, melalui
keterlibatan mereka dalam legislatif nagari. Sedangkan kelompok ketiga adalah cadiak pandai. Kelompok
ini dianggap sebagai kelompok intelektual dengan kemampuan-kemampuan pendidikan sekuler tanpa
harus memastikan ikatannya dengan adat atau islam. Kelompok ini memiliki akses di legislatif nagari.
Rekrutmen wali nagari sebagai pimpinan puncak pemerintahan nagari tidak lagi berdasarkan
status adat. Wali nagari dipilih secara langsung oleh masyarakat nagari melalui mekanisme formal
pemilihan wali nagari. Wali nagari bisa berasal dari tiga kelompok elit diatas yang didukung oleh
masyarakat melalui pemilihan langsung. Dalam menjalankan fungsinya, wali nagari selalu
mempertimbangkan kelompok adat, islam dan intelektual dalam melahirkan kebijakan-kebijakan nagari.
Oleh sebab itu, pemahaman tentang adat, islam dan pemerintahan menjadi penting dikuasai untuk
menjadi seorang walinagari, baik dalam proses rekrutmen politik nagari atau menjalankan pemerintahan.
Pada level nagari ini, relasi adat dan islam dipengaruhi oleh elemen lain, yaitu Negara, melalui
sistem pemerintahan dan penguasaan hutan oleh negara. Kehadiran Negara sebagai institusi politik dan
pemerintahan mempengaruhi kelembagaan pengelolaan ulayat nagari dimana pemerintahan nagari
mempunyai legitimasi formal pengelola ulayat nagari. Selain itu, Negara juga hadir dalam klaim atas
ulayat nagari dan pusako tinggi atas wilayah-wilayah yang ditetapkan secara sepihak sebagai kawasan
hutan.
Klaim Negara ini tidak bekerja dengan efektif karena belum jelasnya batas antara ulayat nagari
dan pusako tinggi dengan kawasan hutan. Penguasaan de facto tetap bekerja secara informal
berdasarkan adat yang kemudian dilegitimasi oleh ajaran islam. Penguasaan pusako tinggi oleh kaum
6
mempunyai tingkat otonomi yang lebih besar dibandingkan penguasaan ulayat nagari. Ulayat nagari
mengalami konflik kewenangan antara pemerintahan nagari dengan KAN di level nagari. Sedangkan pada
level struktur Negara yang lebih besar adalah klaim formal atas kawasan hutan.
Faktor penguasaan adat dan kuatnya institusi sosial atas hutan dan sumber daya alam
menyebabkan institusi pemerintahan nagari mengakomodasi klaim tersebut. Salah satu bentuk
pengakuan klaim penguasaan hutan dan sumber daya alam berbasis adat ini lahir melalui Peraturan
Nagari, yaitu Peraturan Nagari Guguk Malalo No.2 tahun 2008 tentang Pengukuhan Hak Ulayat Dan
Pengelolaan Ulayat Anak Nagari Guguk Malalo. Peraturan formal ditingkat nagari ini disusun dengan
melibatkan tiga kelompok elit di nagari, yaitu adat, alim ulama dan inteletual, yang menghasilkan
semacam kompromi pengurusan ulayat nagari antara pemerintah nagari dengan KAN dengan pembagian
kewenangan, yaitu KAN sebagai penguasa ulayat nagari, sedangkan Pemerintah Nagari bersama-sama
KAN sebagai pengelola ulayat nagari. KAN tetap menjadi institusi tertinggi dalam penguasaan atas ulayat
nagari tersebut.
Lahirnya aturan nagari yang akomodatif tersebut diatas tidak terlepas dari faktor budaya
masyarakat minangkabau umumnya dan nagari guguk malalo pada khususnya, yang mengakui eksistensi
Negara, adat dan islam sebagai satu kesatuan yang saling melengkapi. Cara pandang ini merupakan
aktualisasi dari pri sip tigo tungku sajarangan. Mas arakat agari selalu
e ari kesei
a ga dari
ketiga sistem tersebut, dalam kehidupan sosial, politik dan budaya mereka.
Faktor Reliji
Masyarakat nagari guguk malalo sebagai bagian dari masyarakat etnis minangkabau yang lebih
luas adalah masyarakat adat yang mengidentikan dirinya sebagai ummat islam. Islam dan adat seperti dua
mata uang yang selalu berdampingan, yang selalu menjadi jalan hidup orang minangkabau.
Relasi adat dan islam adalah dinamis yang lahir dari sejarah konflik dan juga rekonsiliasi antara
dua kutub tersebut. Dinamika ini menghasilkan karakter kehidupan beragama yang bersifat lokal, yang
disebut dengan islam lokal. Islam dengan corak ini berusaha mencari keseimbangan antara islam yang
sinkritis dengan syariat yang dogmatis, yang dalam masyarakat minangkabau dikenal dengan adigium;
adat basa di sya a’, sya a’ basa di kitabullah. Turu a operasio al dari pri sip terse ut teraktualisasi
dala
pepatah ; Sya a’
a gato, Adat Ma akai
bersumber dari al-Quran dan hadis Na i diterapka
adat basisampiang,
aitu segala e tuk ajara aga a, khusus a a g
elalui adat; atau pepatah lai ; sya a’ batala ja g,
aitu; apa a g dikataka aga a adalah tegas da tera g, tetapi setelah diterapka
7
dalam adat, dibuatlah peraturan pelaksananya yang sebaik-baiknya; atau pepatah lai ; adat yang kawi,
syarak yang lazim,
aitu; adat tidak aka tegak jika tidak diteguhka oleh aga a, seda gka aga a
sendiri tidak akan berjalan jika tidak dilazimkan (diterapkan) melalui adat, Fathurrahman (2008).
Dapat disimpulkan bahwa ajaran islam adalah nilai sakral yang luhur dan adat adalah
operasionalisasi atas nilai-nilai tersebut, yang bersandarkan kelaziman sosial. Konteks sosial, budaya,
ekonomi dan bahkan politik berdasarkan adat sebagai representasi nilai sosial masyarakat minangkabau
adalah keniscayaan dan ajaran islam memperkuat legitimasi atas nilai-nilai tersebut dan menjadi
pedoman dalam pelaksanaannya.
Oleh sebab itu, aktualisasi islam di nagari guguk malalo tetap memegang teguh adat dalam
kehidupan sosial, terutama terkait dengan sistem pewarisan matrilineal dan penguasaan sumber daya
alam (hak ulayat). Sistem pewarisan dan penguasaan sumber daya alam menjadi keberlanjutan institusi
sosial masyarakat nagari guguk malalo yang dilaksanakan secara konsisten. Artinya karakter islam lokal
dalam masyarakat nagari guguk malalo menjadi faktor yang memperkuat model pengelolaan hutan dan
sumber daya alam berbasis adat. Islam dalam konteks ini tidak dimaknai secara tekstual belaka, namun
islam adalah nilai-nilai universal yang diaktualisasikan secara kontekstual dalam kehidupan sosial.
Corak Islam ini memperkaya pemaknaan nilai adat yang dalam dimensi profan dan sakral
sekaligus. Ritual mambuka kapalo banda adalah bukti bagaimana islam dan adat menggabungkan dua
dimensi tersebut. Islam hadir secara fisik dengan mendukung keseimbangan ekologi dan keadilan
distribusi sumber daya yang telah dianut dalam model pengelolaan adat. Secara sakral, islam
memperkuat tanggung jawab individu dan komunitas sebagai khalifah di muka bumi dengan mengelola
hutan dan sumber daya alam secara berkelanjutan dan juga memperkuat individu dan komunitas untuk
menghargai alam sebagai makhluk fisik dan sekaligus gaib.
***
8
Kepustakaan
Agus, Fahmuddin, Farida and Meine Van Noordwijk (eds) (2004), Hydrological impact of forest,
Agroforestry and upland cropping as a basis for rewarding environmental service providers in
indonesia, World Agroforestry Centre (ICRAF), Bogor
Azra, Az ur ardi
, Jari ga Ula a Ti ur Te gah da Kepulaua Nusa tara A ad XVII & XVIII :
Akar Pembaruan Islam Indonesia, Ke a a Pre ada edia, Jakarta
Be da Be k a , Fra z a d Kee et Vo
, “tate, ‘eligio A d Legal Pluralis : Cha gi g
Co stellatio s i West “u atera Mi a gka au A d Co parati e Issue, Ma Planck Institute
For Social Anthropology, Halle
Contreras-Her osilla, Ar oldo a d Chip Fa
, “tre gthe i g Forest Ma age e t I I do esia
Through La d Te ure ‘efor : Issues A d Fra e ork For A tio , Forest Trends & World Agro
Forestry
Davidson-Hu t, Iai J a d Fikret Berkes, Cha gi g ‘esour e Ma age e t Paradig s, Traditio al
Ecological Knowledge, and Non-timber Forest Product, NTFP Co fere e Pro eedi gs
Dee , Ma il Y. Izzi
Isla i E iro e tal Ethi s, La , a d “o iet i the Ethi s of Environment
and Developme t, Bellha e Press, Lo do
De i, “usi Fitria
, Oral Traditio I The “tud Of Ula at La d Dispute I West “u atera i Wa a a
: Oral traditio s i the Mala World, Jour al of The hu a ities Of I do esia, Ya asa O or
Indonesia and Faculty of humanities, University of Indonesia, Jakarta.
Fathurrah a , O a
, Tarekat “ attari ah di Mi a gka au; Teks da Ko teks, Pre ada Media
Group, E ole fra aise d E tre e-Orient, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN
Jakarta, KITLV, Jakarta
Firma s ah, Nurul, Naldi Ga tika da Muha
ad Ali
Jaring Hukum Negara, HuMa da Q ar, Jakarta.
, Di a ika Huta Nagari d Te gah-Tengah
Firmansyah, Nurul, Mora Dingin, Nora Hidayati, (2014), Laporan Penelitian : Perbandingan Pengelolaan
Hutan oleh Negara dan Masyarakat : Studi Kasus Masyarakat Adat Malalo Tigo Jurai, Kabupaten
Tanah Datar, Sumatera Barat, HuMa dan Qbar.
Gra es, Eliza eth E
Asal-Usul Elite Minangkabau Modern : Respons Terhadap Kolonial Belanda
A ad XIX/XX, Ya asa O or I do esia, 2007.
Ha ka
, Isla
da Adat di Mi a gka au, Pustaka Pa ji as, Jakarta.
Khalid, Fazlu M
Isla a d The E iro e t i the E
Cha ge, John Wiley & Sons, Ltd, Chichester
Koe tjara i grat
lopedia of Glo al E iro
, Pe ga tar Il u A tropologi, Edisi ‘e isi
e tal
, ‘i eka Cipta, Jakarta
9
Lukito, ‘at o
, Huku “akral da Huku “ekuler: “tudi Tentang Konflik dan Resolusi Dalam Sistem
Hukum Indonesia, Pustaka Al a et, Jakarta.
Ma gu ja a, Fa hruddi
, Ekopesa tre ; Bagai a a Mera a g Pesa tre ‘a ah Li gku ga ?,
Yayasan Pusaka Obor Indonesia, Jakarta
Ma gu ja a, Fa hruddi M, dkk
Me a a “e elu Kia at; Isla , Ekologi, da Geraka
Li gku ga Hidup, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Mufid, “of a A ar
, Isla da Ekologi Ma usia; Paradig a Baru, Ko it e da I tegritas
Manusia dalam Ekosistemnya, Refleksi Jawaban atas Tantangan Pemanasan Global Dimensinya
Intelektual, Emosional, da “piritual, Nua sa, Ba du g
Na is, A.A
, Ala
Jakarta.
Terke
a g Jadi Guru : Adat Da Ke uda aa Mi a gka au, Grafitipers,
Ramstedt, Martin dan Fadjar I u Thufail
, Kegalaua Ide titas : Aga a, Et isitas, da
Kewarganegaraan Pada Masa Orde Baru, Grasi do, Jakarta
‘id a , Nur a Ali
Purwokerto
, La dasa Keil uaa Kearifa Lokal, I da: olu e 5, STAIN Purwokerto,
Rianse, Usman and Abdi (
, Agroforestri: “olusi “osial da Eko o i Pe gelolaa “u
Huta , Alfa eta, Ba du g.
‘i klefs, M.C.
, “ejarah I do esia Moder : 1200-
, “era
er Daya
i, Jakarta
Sanusi, Ahmad, Sohari (2015), Ushul Fiqh, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Tiete
erg, To
York City
, E iro
e tal A d Natural ‘esour e E o o i s, Perason Education Inc, New
Va dergeest, Peter a d Chusak Witta apak
, De e tralizatio a d Politi s, i The politi s of
decentralization; Natural Resource Management I Asia, Mekong Press, Chiang Mai. Thailand
War a , Kur ia
, Ga gga Bau tuak Me jadi Hak Milik: Pe i pa ga Ko ersi Hak Ta ah di
“u atera Barat A dalas University Press, Padang.
War a , Kur ia
da Huku
, Huku Agraria Dala Mas arakat Maje uk : Dinamika Interaksi Hukum Adat
Negara di “u atera Barat, HuMa, Jakarta.
10