J U R N A L H U K U M A C A R A P E R D ATA

  J U R N A L H U K U M A C A R A P E R D A T A ADHAPER

  Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017 Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2015

  • • Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat Melalui Lembaga Adat di Minangkabau Sumatera Barat

  Ali Amran

ISSN. 2442-9090

  Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017

  ISSN 2442-9090

JURNAL HUKUM ACARA PERDATA

ADHAPER

DAFTAR ISI

   1. Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat Melalui Lembaga Adat di Minangkabau Sumatera Barat

  Ali Amran ..................................................................................................................... 175–189

   2. Dispensasi Pengadilan: Telaah Penetapan Pengadilan Atas Permohonan Perkawinan di Bawah Umur

  Sonny Dewi Judiasih, Susilowati Suparto, Anita Afriana, Deviana Yuanitasari .......... 191–203

   3. Kedudukan Hakim Tunggal Dalam Gugatan Sederhana (Small Claim Court) Adisti Pratama Ferevaldy, dan Ghansham Anand .................................................. 205–226

   4. Mekanisme Penentuan Ganti Kerugian terhadap Kerusakan Lingkungan Hidup

  Heri Hartanto dan Anugrah Adiastuti ........................................................................... 227–243

   5. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Mekanisme Acara Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action)

  I Ketut Tjukup, Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, Nyoman A. Martana I Putu Rasmadi Arsha Putra, Kadek Agus Sudiarawan ........................................................... 245–260

   6. Menakar Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan dalam Pengajuan Gugatan Kumulasi (Samenvoeging Van Vordering) di Pengadilan Agama

  Moh. Ali ....................................................................................................................... 261–275

   7. Problematika Eksekusi Resi Gudang Sebagai Obyek Jaminan

  Ninis Nugraheni ........................................................................................................... 277–293

   8. Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Berdasarkan Kepentingan Umum Sebagai Sarana Penyelesaian Utang Piutang Dihubungkan dengan Perlindungan terhadap Kreditor

  R. Kartikasari ............................................................................................................... 295–316

   9. Rekonstruksi Kompetensi Pengadilan Niaga dan Pengadilan Hubungan Industrial dalam Melindungi Upah Hak Tenaga Kerja Sebagai Kreditor Preferen pada Perusahaan Pailit

  Ronald Saija ................................................................................................................. 317–329

   10. Perkembangan Ganti Kerugian dalam Sengketa Lingkungan Hidup

  Sri Laksmi Anindita ..................................................................................................... 331–350 Printed by: Airlangga University Press. (OC 009/01.18/AUP-A5E). Kampus C Unair, Mulyorejo Surabaya 60115, Indonesia.

PENGANTAR REDAKSI

  Para Pembaca yang budiman, pada Edisi kali ini Jurnal Hukum Acara Perdata masih menghadirkan artikel-artikel hasil Konferensi Hukum Acara Perdata di Universitas Tanjungpura, Pontianak. Artikel-artikel tersebut cukup mewakili perkembangan terkini berkaitan dengan penegakan hukum perdata, sehingga pemikiran-pemikiran para penulis diharapkan menjadi kontribusi penting bagi dunia akademis maupun praktis. Kami mencatat terdapat empat topik besar yang diangkat dalam 10 artikel dalam edisi kali ini, yaitu: Hukum Adat, Hukum Keluarga, Hukum Lingkungan, serta Utang dan Hukum Kepailitan.

  Rekan Ali Amran mengemukakan pemikirannya mengenai penyelesaian sengketa tanah ulayat melalui lembaga adat di Minangkabau, Sumatera Barat. Sebagaimana kita ketahui, Hukum Adat di Minangkabau cukup kuar berperan dalam kehidupan sosial masyarakat di sana.

  Rekan Sonny Dewi Judiasih dkk. mengangkat tulisan di bidang Hukum Keluarga, yaitu mengenai dispensasi pengadilan atas permohonan perkawinan di bawah umum. Dalam artikel tersebut dibahas mengenai kewenangan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama atas permohonan dispensiasi kawin bagi mereka yang belum memenuhi persyaratan usia kawin menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Masih di ranah Hukum Keluarga, rekan Moh. Ali mengangkat isu tentang penerapan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan dalam pengajuan gugatan kumulasi di Pengadilan Agama, di mana berdasarkan pengamatannya Pengadilan Agama cenderung tidak menerima gugatan kumulasi, suatu hal yang berdasarkan penilaian penulis bertentangan dengan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan.

  Topik di bidang Hukum Lingkungan mendapat cukup perhatian di antara penulis dalam edisi kali ini. Terdapat dua artikel yang menyoroti aspek ganti rugi dalam sengketa lingkungan yang ditulis oleh rekan Heri Hartanto dan Anugrah Adiastuti serta Sri Laksmi Anindita, kemudian satu artikel yang sangat menarik dari I Ketut Tjukup mengangkat penyelesaian sengketa lingkungan melalui mekanisme gugatan kelompok (class action).

  Perhatian terbesar kali ini diberikan pada topik penyelesaian sengketa utang dan kepailitan. Dimulai oleh rekan Ghansham Anand dan Mudjiharto yang menyoal keabsahan akta notaris perjanjian kredit yang dibuat tanpa kehadiran kreditor, adapun rekan Ninis Nugraheni mengangkat masalah eksekusi regi gudang sebagai objek jaminan. Dua artikel yang lain berkaitan dengan kepailitan dikemukakan oleh rekan Ronald Saija dan R. Kartikasari. Kami berharap agar artikel-artikel yang ditulis serta dipublikasikan dalam edisi kali ini menjadi rujukan bagi kalangan akademisi dan praktisi baik untuk pengembangan keilmuan maupun berpraktik hukum. Akhir kata selamat membaca! Redaksi,

  

PENYELESAIAN SENGKETA TANAH ULAYAT MELALUI

LEMBAGA ADAT DI MINANGKABAU SUMATERA BARAT

Ali Amran*

  

ABSTRAK

Sengketa tanah ulayat di Minangkabau ditemukan dalam anggota paruik atau kaum akibat pembagian

“gangam bauntuak” terhadap anggota kaum yang tidak merata oleh mamak kepala waris . Disamping

itu juga terjadi sengketa antar kaum dikarenakan batas sepadan tanah yang kurang jelas sehinga

kaum yang satu menggarap milik kaum yang lain dengan cara memindahkan batas tanah yang telah

ditetapkan oleh mamak kepala kaum dan sengketa antar paruik dengan suku, sengketa tanah ulayat

antar suku dan antar suku dengan nagari. Penyelesaian sengketa tanah ulayat di Minangkabau adalah

“bajanjang naik batango turun”. Bajanjang naik maksudnya setiap persengketaan diselesaikan

melalui proses lembaga adat pada tingkat yang paling rendah yaitu oleh mamak kaum. Apabila tidak

memperoleh kesepakatan , maka penyelesaian sengketa diteruskan ke tingkat kampung yaitu oleh

mamak dalam kampung. Begitu seterusnya hingga ke tingkat yang lebih tinggi yatu oleh kepala suku

dan penghulu dalam Kerapatan Adat Nagari (KAN). Batanggo Turun artinya hasil musyawarah atau

atau hasil penyelesaian sengketa oleh ninik mamak atau orang yang dituakan dalam adat diharapkan

akan dipatuhi oleh pihak-pihak yang berperkara. Teknik penyelesaian sengketa oleh lembaga adat

yang ada di Minangkabau mulai dari lembaga yang lebi rendah yaitu oleh mamak separuik atau

mamak kepala waris sampai ke tingkat yang lebih tinggi yatu oleh Kerapatan Adat Nagari adalah

secara musyawarah dan mufakat serta mengutamakan rasa keadilan. Penyelesaian sengketa tanah

ulayat melalui lembaga adat jauh lebih efektif dibanding penyelesaiannya melalui pengadilan negeri.

Hal ini dikarenakan anggota kaum lebih menghormati orang yang dituakan dalam kaumnya yaitu

mamak pemimpin kaum atau mamak kepala waris.

   Kata kunci: adat, sengketa, tanah ulayat

LATAR BELAKANG

  Manusia dan tanah mempunyai hubungan yang erat. Menurut pngematan J.B.A.F Polak bahwa hubungan manusia dengan tanah pada awalnya adalah pendudukan sebagai dasar

  1

  usaha untuk menjadi sumber penghidupannya. Penguasaan dan pemilikan tanah secara yuridis memerlukan perlindungan hukum, sehingga mengandung implikasi harus terdapat 1 Penulis adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas, dapat dihubungi melalui email: [email protected]

  • Djamanat Samosir, 2013, Hukum Adat Indonesia, eksistensi dalam Dinamika Pembangunan Hukum di Indonesia,

  176 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 175–189

  perlindungan hukum terhadap hak-hak keperdataan pemilikan tanah dan perlakuan yang adil terhadap kepemilikan tanah tersebut. Untuk kepastian hukum terhadap kepemilikan tanah diperlukan pendaftaran tanah. Undang-Undang Pokok Agraria memerintahkan diselenggarakan pendaftaran tanah untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah dan hak-hak lain yang terdapat di atasnya agar mudah

  2 dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak.

  Di Minangkabau (Sumatera Barat) sebagian tanah yang ada merupakan tanah ulayat. Pengurusan tanah ulayat harus berfungsi sosial dan asas kekeluargaan serta dipergunakan untuk keperluan kaumnya. Tanah Ulayat diperoleh secara turun temurun dari nenek moyang atau dari pemberian karena sesuatu yang dilakukan.

  Dengan penguasaan tanah tersebut, tanah ulayat di Minangkabau (Sumatera Barat) sering menjadi masalah bagi pemilikannya oleh generasi berikutnya. Menurut hukum adat tanah Ulayat tidak boleh diasingkan atau dibagi-bagi karena merupakan milik bersama dan kepemilikannya tidak boleh dipecah-pecah atau dibagi dan dijadikan milik pribadi.

  Keberadaan tanah Ulayat telah diakui oleh Undang-Undang Pokok Agraria, Pasal 3 menyatakan bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat- masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan yang lebih tinggi. Hal ini dipertegas oleh Pasal 5 UUPA yang menyatakan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.

  Dalam masyarakat hukum adat Minangkabau (Sumatera Barat) dikenal tiga tipe dasar penguasaan atas tanah yaitu; penguasaan secara kelompok atau nagari, secara komunal dan secara perorangan atau pribadi. Penguasaan atas tanah dalam masyarakat Minangkabau diatur dalam peraturan adat yang dipelihara dan ditaati serta dilaksanakan oleh masyarakat secara turn-temurun dengan baik, sehingga apabila timbul pertentangan atau sengketa yang disebabkan oleh tanah, mereka akan menyelesaikannya dengan peraturan adat yang ada dalam masayarakat yang disebut sebagai “Hukum Acara Perdata Adat”. Ketentuan ini terungkap 2 Boedi Harsono,2005, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria isi dan

  Amran: Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat 177

  dalam fatwa adat yang menyatakan ”Bulek aia karano pambuluah, bulek kato dek mufakat” (bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat). Maksudnya lebih mengutamakan pola musyawarah mufakat dalam pengambilan keputusan.

  Hubungan hukum antara masyarakat dengan tanah menciptakan suatu hak untuk menggunakan, menguasai, dan sekaligus mempertahankan hak tersebut bagi kelompok hukumnya atau kaumnya. Masyarakat Minangkabau sebagai salah satu bagian dari sekian banyak suku bangsa yang mendiami kepulauan Indonesia, hidup dalam lingkungan hukum adat dengan ciri-ciri yang spesifik dan sekaligus sebagai pembeda dengan masyarakat hukum adat lainnya di Inbdonesia. Jika dilihat dari garis keturunan, maka masyarakat Minangkabau menganut sistem matrilineal. Dalam sistem matrilineal penguasaan atas tanah pusaka(pusako) termasuk tanah adalah oleh wanita atau bundo kandung, sedasngkan pihak laki-laki berfungsi sebagai pengawas atau melindungi hak atas tanah tersebut dari hal-hal yang tidak diinginkan yang dapat menyebabkan hilang dan berkurangnya harta pusaka.

  Tanah dalam masyarakat Minangkabau merupakan harta kekayaan yang selalu dipertahankan, karena wibawa suatu kaum akan sangat ditentukan oleh luasnya tanah yang dimiliki, begitu juga halnya dalam menentukan asli tidaknya seseorang atau suatu kaum berasal dari suatu daerah. Hal ini sesuai dengan fatwa adat yang menyatakan; ”bahwa asli atau tidaknya seseorang atau suatu kaum berasal dari suatu daerah harus ditandai dengan: Ado tapian tampek mandi, Ado basasok bajarami, Ado bapandan bapakubur.

  Tanah ulayat di Minangkabau baik berupa komplek perumahan, sawah, lading, hutan sungai maupun hasil tambang secara sederhana disebut dengan kata “Pusako“. Secara grammatical pengertian pusako adalah pusaka. Kata pusako mengandung pemahaman bahwa kekayaan yang ada akan diwariskan secara turun temurun oleh ahli waris dalam garis keturunan ibu. Prinsip dasar pemilikan harta pusako adalah secara komunal yaitu secara bersama-sama. Tidak ada seorangpun anggota komunitas masyarakat Minangkabau yang dapat menunjukkan pemilikannya secara individu atas sebidang tanah ulayat. Tetapi untuk memudahkan pengelolaan tanah ulayat tersebut, dibuatlah ketentuan-ketentuan yang terus dilestarikan.

  Menurut Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 tentang pedoman penyelesaian masalah hak ulayat masyarakat hukum adat yang dimaksud dengan hak ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para wargaanya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya yang timbul dari hubungan

  178 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 175–189

  secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Menurut Van Vollenhoven; ciri-ciri hak ulayat ialah sebagai berikut:

  1. Persekutuan hukum itu dan anggota–anggotanya dapat mempergunakan tanah hutan belukarnya dalam wilayahnya dengan batas-batas seperti membuka tanah, mendirikan perkampungan, memungut hasil, berburu, mengembala ternak dan lain sebagainya.

  2. Yang bukan anggota-anggota persekutuan hukum dapat pula mempergunakan tanah itu, tetapi hanya atas pemberian izin dari persekutuan hukum itu, tanpa izin ia membuat kesalahan.

  3. Dalam mempergunakan tanah itu, bagi anggota hanya kadang-kadang tapi bagi yang bukan anggota selalu harus membayar sesuatu (recognatie).

  4. Persekutuan hukum mempunyai tanggung jawab atas beberapa kejahatan tertentu yang terjadi dalam lingkungan wilayahnya. Bilamana orang yang melakukan kejahatan itu sendiri tidak dapat digugat atau dikenal.

  5. Persekutuan hukum tidak boleh memindahkan haknya untuk selama-lamanya kepada siapapun juga

  6. Persekutuan hukum mempunyai hak campur tangan terhadap tanah yang telah digarap oleh anggota kaumnya seperti dalam pembagian pekarangan, dalam jual beli tanah dan lain sebagainya.

3 Ajaran tentang tanah ulayat di Minangkabau: “ainya boleh diminum, buahnya boleh

  

dimakan, tanahnya tetap tinggal”. Tanah Ulayat tidak boleh dipindah tangankan kepada

  pihak lain; dijua indak dimakan jua, digadai indak dimakan sando. Atau dsebut juga tanah ulayat dijual mahal tidak dapat dibeli, murah tidak dapat diminta.

  4 Penguasaan tanah pada masyarakat hukum adat Minangkabau diatur dalam Peraturan

  Daerah Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Tanah Ulayat dan Pemanfa’atannya sebagai berikut;

  a. Tanah Ulayat nagari adalah tanah Ulayat beserta sumber daya alam yang ada di atas dan di dalamnya merupakan hak penguasaan oleh ninik mamak Kerapatan Adat Nagari (KAN) dan dimanfa’atkan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat nagari, sedangkan pemerintah nagari bertindak sebagai pihak yang mengatur untuk pemanfa’atannya.

  b. Tanah Ulayat suku adalah hak milik atas sebidang tanah beserta sumber daya alam yang berada di atas dan di dalamnya merupakan hak milik kolektif semua anggota suku tertentu yang penguasaan dan pemanfatannya diatur oleh penghulu-penghulu suku. 3 Djamat Samosir, Op.Cit, h.106 4 Dt. Parapatiah Nan Tuo; Adat Basandi Syara, Syarak basansi Kitabulla, Pedoman hidup Banagari, Sako Batuah,

  Amran: Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat 179

  c. Tanah Ulayat kaum adalah hak milik atas sebidang tanah beserta sumber daya alam yang ada di atas dan di dalamnya merupakan hak milik semua anggota kaum yang terdiri dari jurai/paruik yang penguasaan dan pemanfa’atannya diatur oleh mamak jurai/mamak kepala waris.

  d. Tanah Ulayat Rajo adalah hak milik atas sebidang tanah beserta sumber daya alam yang ada di atas dan di dalamnya yang penguasaan dan pemanfa’atannya di atur oleh laki-laki tertua dari garis keturunan ibu yang saat ini masih hidup di sebagian nagari di Propinsi Sumatera Barat.

  Tanah Ulayat nagari dibawah pengawasan penghulu-penghulu yang bernaung dalam kerapatan adat nagari. Tanah Ulayat nagari adalah milik bersama rakyat dalam nagari. Tanah Ulayat nagari dapat berupa hutan-hutan, semak belukar maupun tanah-tanah yang berada dalam lingkup dan pengelolaan nagari. Nagari merupakan gabungan dari koto, yang mempunyai suku serta menempati suatu wilayah tertentu. Pada umumnya di dalam suatu nagari dijumpai sedikitnya empat buah suku. Sebuah nagari dipimpin oleh seorang wali nagari, Penggunaan tanah ulayat nagari digunakan untuk kepentingan-kepentingan yang bersifat umum, seperti pembangunan mesjid, pembuatan balai adat dan untuk pasar atau kepentingan lainnya yang dapat dimanfa’atkan untuk kepentingan bersama.

  Tanah Ulayat suku, dipegang oleh para penghulu suku dan dikelola oleh anggota suku. Suku adalah gabungan dari beberapa kaum, dimana pertalian darah yang mengikat suku adalah pertalian darah menurut garis ibu.

  Tanah Ulayat kaum adalah tanah-tanah yang dikelola oleh kaum secara bersama. Kaum adalah gabungan dari pada paruik (seibu) yang berasal dari sutu nenek. Tanah Ulayat kaum merupakan harta pusaka tinggi yang dimanfaatkan untuk kesejahteraan anak kemenakan terutama untuk mmenuhi kebutuhan ekonominya. Tanah Ulayat kaum yang dimiliki secara komunal merupakan harta yang diberikan haknya kepada anggota kaum untuk memungut hasilnya.

  Apabila terjedi sengketa tanah ulayat, maka penyelesaian yang harus ditempuh ialah melalui lembaga adat yang ada dalam masyarakat Minangkabau, mulai dari tingkat yang lebih rendah sampai ke tingkat yang lebih tinggi, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 12 Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya yaitu: “Sengketa tanah ulayat di nagari diselesaikan oleh kerapatan Adat Nagari menurut ketentuan sepanjang adat yang berlaku, berjanjang naik bertanggo turun dan diusahakan dengan jalan perdamaian melalui musyawarah dan mufakat dalam bentuk keputusan perdamaian”.

  180 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 175–189

  Penyelesaian sengketa tanah adat dalam keraptan adat dilaksanakan di Balai Adat oleh suatu majelais hakim yang ditentukan oleh penghulu adat yang ada dalam Kerapatan Adat Nagari. Dalam mengambil keputusan, pembuktian merupakan unsur yang sangat menentukan dalam persidangan sehingga kepada para pihak diberi kesempatan untuk mengajukan alat bukti berupa surat atau keterangan saksi dan bukti-bukti lain yang dapat membuktikan kebenaran kepemilikan tanah tersebut.

  PEMBAHASAN Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat Melalui Lembaga Adat

  Sebagaimana kita ketahui penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui proses ligitasi dan non ligitasi. Penyelesaian sengketa melalui proses ligitasi adalah penyelesaian sengketa melalui sidang pengadilan. Proses ligitasi menghasilakn keputusan yang bersifat advarsial atau putusan yang belum merangkul kepentingan bersama, lama dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsif dan sering menimbulkan permusuhan antara pihak yang berperkara.

  Penyelesaian sengketa melalui proses non ligitasi adalah penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar sidang pengadilan. Penyelesaian sengketa ini dinamakan dengan Alternative

  

Dispute Resolution(ARD). Alternative Dispute Resolution adalah lembaga penyelesaian

  sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang diseapakati para pihak yaitu penyelesaian sengketa di luar pengadila dengan cara konsultasi, negsiasi, konsolidari, atau penilaian ahli.

  Pasal 8 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, mengatur mengenai pilihan dalam penyelesaian sengketa melalui musyawarah para pihak yang bersengketa. Proses penyelesaian sengketa non ligitasi diantaranya:

  1. Negosiasi Negosiasi adalah suatu strategi penyelesaian sengketa, dimana para pihak setuju untuk menyelesaikan persoalan mereka melalui proses musyawarah, perundingan atau ”urung

  5 rembuk”. Proses ini tidak mmelibatkan pihak ketiga, karena para pihak atau wakilnya

  berinisiatif sendiri menyelsaikan sengketa mereka. Para pihak l terlibat langsung dalam dialog dan proses penyelesaiannya.

5 Syahsrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukumm Syari’ah, Hukum Adat dan Hukum Nasional, Kencana Prenada

  Amran: Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat 181

  Agar negosiasi dapat berjalan dengan lancar, maka ketentraman komunikasi dan wawasan para pihak sangat menentukan, terutama dalam menyampaikan kepentingan dan keinginan

  6 dari para pihak serta mendengarkan tuntutan dan kepentingan pihak lain.

  2. Mediasi Kata mediasi berasal dari bahasa Inggeris “mediation” yang artinya penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga sebagai penengah atau penyelesaian sengketa dengan cara menengahi. Menurut kamus besar bahasa Indonesia , pengertian mediasi adalah suatu proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasehat.

  Mediator adalah perantara (penghubung, penengah) bagi pihak-pihak yang bersengketa itu. Dalam penyelesaian sengketa melalui mediasi tidak terdapat unsur paksaan antara para pihak dengan mediator karena para pihak secara suka rela meminta kepada mediator untuk membantu menyelesaikan konflik yang mereka hadapi. Oleh karena itu mediator berkedudukan sebagai pembantu, walaupun ada unsur intervensi dari pihak-pihak yang sedang bersengketa. Dalam kondisi tersebut, mediator harus bersifat netral/tidak memihak dan berpartisipasi aktif membantu para pihak untuk menemukan perbedaan persepsi/ pandangan. Pihak ketiga (mediator) atau penengah yang tugasnya membantu pihak-pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan masalahnya dan tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan. Pengambilan keputusan tidak berada di tangan mediator tetapi di tangan para pihak yang bersengketa. Pada dasarnya mediator berperan sebagai penengah/pihak ketiga yang tugasnya hanya membantu pihak=pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan masalahnya dan tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan. Mediator hanya bertindak sebagai fasilitator. Seorang mediator mempunyai peran membantu para pihak dalam memahami pandangan masing-masing dan membantu mencari persoalan-persoalan yang dianggap penting bagi mereka. Mediator mepermudah pertukaran informasi, mendorong diskusi mengenai perbedaan–perbedaan kepentingan, persepsi, penafsiran terhadap situasi dan persoalan-persoalan yang disengketakan, serta mengatur pengungkapan emosi para pihak.

  3. Arbitrase Arbitrase merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dimana pihak yang bersengketa mengangkat pihak ketiga (arbiter) untuk menyelesaikan sengketa 6 mereka. Pengertian arbitrase dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999,

  182 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 175–189

  arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Perjanjian arbitrase dapat terwujud dalam bentuk kesepakatan berupa:

  1. Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjaan tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa,

  2. Perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Jenis arbitrase dalam penyelesaian sengketa ada 2 (dua) macam yaitu:

  1. Arbitrase Ad hoc (arbitrase Volunteir)

  Arbitrase Ad hoc adalah arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau

  memutus perselisihan tertentu. Arbitrase ini bersifat insidentil dan jangka waktunya tertentu sampai sengketa itu diputus. Para pihak yang bersengketa dapat memilih atau menentukan arbitrasenya atau bisa pula meminta bantuan pengadilan untuk mengangkat arbitrasenya yang bertugas memeriksa atau memutus sengketa yang bersangkutan.

  2. Arbitrase Institusional

  Arbitrase Institusional merupakan lembaga atau badan arbitrase yang sifatnya permanen

  yang sering disebut permanent arbitrase body”. Arbitrase ini disediakan oleh organisasi tertentu dan sengaja didirikan untuk menampung perselisihan yang timbul dari perjanjian. Arbitrase institusional ini menyediakan jasa administrasi arbitrase yang meliputi pengawasan terhadap proses arbitrase, aturan-aturan procedural sebagai pedoman bagi para pihak dan pengangkatan arbiter. Masalah tanan dilihat dari segi yuridis merupakan hal yang tidak sederhanan penyelesaiannya. Timbulnya sengketa hukum tentang tanah bermula dari pengaduan satu pihak(orang/badan) yang berisi tentang keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah baik terhadap status tanah ataupun prioritas kepemilikannya.

  Penyelesaian sengketa tanah ulayat di Minangkabau diselesaikan secara musyawarah dan mufakat. Cara ini diungkapkan dalam fatwa adat yang berbunyi:”bulek aia dek pambuluhan,

  7 bulek kato dek mufakat.

  Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa sengketa tanah ulayat yang terjadi dalam masyarakat MinangKabau diselesaikan secara bajanjang naik batangga turun artinya terlebih dahulu diselesaikan melalui lembaga adat pada tingkat yang lebih rendah yaitu tingkat keluarga 7

  Amran: Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat 183

  kemudian ke tingkat kampung dan terakhir tingkat nagari. Sedangkan batanggo turun berarti hasil penyelesaian sengketa pada masing-masing tingkat diharapkan akan dipatuhi oleh pihak yang bersengketa sebab yang menyelesaikan itu adalah orang-orang yang telah dituakan dalam kaum atau nagari sehingga pihak yang bersengketa tidak bisa menolaknya. Dalam hal ini kalau terjadi sengketa dalam keluarga diselesaikan oleh mamak yang ada dalam keluarga. Kalau tidak selesai pada tingkat keluarga, maka diselesaikan oleh penghulu paruik dalam persekutuan. Apabila belum juga selesai, dilanjutkan ke Kerapatan Adat Nagari (KAN).

  Adapun bentu-bentuk sengketa tanah ulayat dan penyelesaiannya melalui lembaga adat di Minangkabau adalah sebagai berikut:

1. Sengketa tanah ulayat anggota paruik (anggota kaum)

  Sengketa tanah ulayat dalam anggota kaum atau saparuik terjadi kerena adanya pembagian tanah ulayat oleh mamak kepala waris kepada anggota kaum dengan istilah

  ganggam bauntuak maksudnya anggota kaum berhak memperoleh bagian harta pusaka

  tinggi atau tanah ulayat untuk dimanfa’atkan dan diusahakan dapat menghasilkan untuk pembiayaan hidup anak-anaknya, akan tetapi pembagiannya tidak merata antara anggota keluarga dalam suatu kaum. Selain itu sengketa dalam anggota kaum. Hal ini bisa terjadi karena masalah batas sepadan tanah yang dimiliki oleh anggota kaum dengan anggota kaum lainnya atau karena anggota kaum lainnya itu belum menggarap bagiannya lalu anggota kaum yang menggarap memindahkan batas yang telah ditetapkan oleh mamak kepala waris. Kemudian pada saat anggota kaum yang belum menggarap itu melihat tanah bagiannya sudah digarap atau diambil oleh anggota kaum yang telah menggarap dengan memindahkan batas yang telah ditetapkan oleh mamak kepala waris sehingga terjadi pertengkaran atau sengketa antara angota kaum yang telah memperoleh ganggam

  bauntuak tersebut karena pihak yang telah mengarap dahuluan itu merasa memiliki tanah

  yang telah digarapnya. Masalah seperti ini diselesaikan oleh mamak kepala waris dengan cara musyawarah anggota paruik baik yang bersengketa maupun yang tidak terlibat dalam sengketa guna masing-masing anggota paurik mengetahui batas bagian masing- masing. Sebelum diadakan musyawarah dengan anggota paruik tersebut terlebih dahulu mamak kepala waris melihat tanah yang disengketakan itu. Sebelum mamak kepala waris menetapkan keputusan dilakukan upaya damai antara pihak yang bersengketa dengan memanggil pihak yang bersengketa dan menawarkan apakah kedua belah pihak bersedia berdamai dengan menyelesaikan berdua masalah yang disengketakan itu. Apabila tidak mamak kepala waris memutuskan agar masing-masing yang menguasai atau menggarap tanah yang telah diperoleh dengan batas yang telah ditentukan oleh mamak kepala waris, tidak boleh menyerobot bagian anggota paruik yang lainnya dengan mengembalikan

  184 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 175–189 biaya yang telah dikeluarkan oleh yang menggarap tanah anggota kaum yang lain.

  Setelah putusan ditetapkan oleh mamak kepala waris masing-masing yang bersengketa menanda tangani surat keputusan itu, sedangkan anggota lainnya ikut menandatangani sebagai saksi.

  2. Sengketa tanah ulayat antar anggota paruik (kaum) Antar anggota paruik maksudnya ialah suku yang sama tetapi berlainan ibu pada nenek yang sama. Sengketa antar anggota paruik itu terjadi karena anggota paruik tidak menjaga tanah ulayat kaumnya tetapi anggota suku menggarapnya begitu lama sehingga anggota suku itu merasa memilikinya, padahal tanah yang digarap itu seharusnya digarap oleh anggota paruik yang lain. Oleh karena itu anggota paruik yang tidak menggarap tersebut menuntut bagiannya untuk ikut menggarap tanah kaum itu. Penyelesaian sengketa antar paruik ini dilaksanakan dengan cara musyawarah antar paruik yang dihadiri oleh mamak kepala waris masing-masing paruik. Dalam hal ini mamak kepala waris masing-masing paruik menjelaskan kedudukan tanah ulayat tersebut, kemudian menjelaskan peruntukan masing-masing paruik secara musyawarah dan membaginya secara adil. Kalau anggota paruik yang menggarap tanah ulayat anggota paruik lain harus mengembalikannya kepada anggota paruik yang seharusnya menggarap tanah tersebut. Anggota paruik yang menggarap tanah anggota paruik lain itu berhak menerima ganti rugi dari anggota paruik yang akan menerima tanah tersebut sesuai dengan nilai tanaman yang ada di dalamanya.

  Penentuan nilai tanaman yang ada pada tanah tersbut disepakati melalui musyawarah anggota paruik dan dilaksanakan secara suka rela. Mamak kepala waris masing-masing paruik menyetujui hasil musyawarah kedua belah pihak. Keputusan bersama antara dua paruik atau lebih dituangkan dalam berita acara atau ditulis dalam sebuah surat dengan ditanda tangani oleh angora paruik yang bersengketa dan diketahui oleh mamak kepala waris masing-masing paruik.

  3. Sengketa Tanah Ulayat antar Suku Suku adalah warga dalam suatu nagarai yang terdiri dari kelonpok-kelompok dari anggota kaum yang berbeda. Di Minangkabau saat ini dalam suatu nagari dihuni misal 4 (empat) macam suku. Yaitu, Jambak, Caniago, Tanjung dan Melayu. Tanah ulayat suku adalah tanah yang dimiliki secara bersama anggoata suku dan dimanfa’atkan oleh anggota suku. Apabil terjadi sengketa tanah ulayat antar suku, maka penyelesaiannya dilakukan oleh penghulu-penghulu suku mewakili semua anggota suku sebagai pemilik tanah ulayat. Penyelesaiannya dilakukan secara mausyawarah antar pengulu suku yang bersengketa dengan dihadiri oleh penghulu suku yang ada di nagari tersebut. Apabila ada penghulu suku dalam nagari itu tidak hadir atau yang mewakilinya,

  Amran: Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat 185

  maka penyelesaiannya ditunda sampai penghulu-penghulu suku atau wakilnya yang ada dalam nagari itu bisa menghadirinya. Musyawarah penghulu-penghulu suku itu dilaksanakan di balai adat nagari. Dalam musyawarah penghulu-penghulu suku ini msing-masing suku menjelaskan kronologis kepemilikan tanah ulayat yang dimiliki oleh suku masing-masing dengan mengemukakan bukti-bukti kepemilikan yang mereka miliki serta menjelaskan batas-batas tanah ulayat yang mereka miliki. Setelah kedua suku yang bersengketa menyampaikan bukti-bukti kepemilikan masing masing, dimintakan kepada penghulu suku yang lain yang mengetahui sejarah tanah ulayat tersebut terutama penghulu suku yang berdekat dengan tanah ulayat yang disengketakan. Setelah mendengar keterangan penghulu masing-masing pemilik tanah yang disengketakan dan penghulu lain yang menjelaskan keberadaan tanah ulayat tersebut, dicarikan jalan keluar atau solusi sengketa secara adil. Dalam hal ini peran wali nagari sangat menentukan. Sebelum ditetapkan keputusan penyelesaian sengketa tanah ulayat ini wali nagari mencoba menawarkan kepada pihak yang bersengketa untuk menerima pendapat penghulu yang menjelaskan pemilik yang berhak memilikinya dengan batas-batas yang telah dijelaskan dan diakui oleh penghulu-penghulu lain yang menghadiri pertemuan itu. Apabila kedua suku yang bersengketa itu menerima tawaran yang disampaikan wali nagari, dibuatkan surat keterangan wali nagari yang menjelaskan kepemilikan tanah yang disengketakan itu dengan batas-batas sesuai dengan yang diusulkan dan disetujui oleh kedua belah pihak dengan ditanda tangani oleh kedua suku yang bersengketa dan diketahui oleh penghulu- penghulu suku yang hadir serta disahkan oleh wali nagari. Masing-masing penghulu suku meperoleh keputusan wali nagari tersebut untuk dijelaskan kepada anggota suku masing- masing. Apabila kedua suku yang bersengketa menolak, maka sengketa itu diusulkan penyenlesaiannya oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN).

4. Sengketa Tanah Ulayat antara Suku dengan Nagari

  Sengketa tanah ulayat antara suku dengan nagari biasanya terjadi karena menurut anggota suku tanah ulayat tersebut merupakan hak dari anggota suku mereka yang telah digunakan oleh nagari tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu. Penyelesaian sengketa antara suku dengan Nagari diselesaikan oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN). Dalam hal ini penghulu suku mengajukan permohonan kepada Kerapatan Adat Nagari dengan menjelaskan persengketaan tersebut secara terperinci sekaligus bertuk sengketanya. Kalau Nagari memanfa’atkan tanah suku untuk pembangunan Nagari, pemohon menjelankan kronologis kejadiannya sampai tanah tersebut dikuasai oleh Naga. Setelah permohonan itu diajukan oleh penghulu suku yang merasa dirugikan oleh Nagari, Kerapatan Adat Nagari memanggil para pihak untuk dimintai keterangan masing-masing.

  186 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 175–189

  Setelah kedua belah pihak didengarkan keterangannya, KAN mempertemukan kedua belah pihak untuk membicarakan penyelesaian yang baik antara suku dengan Nagari. Biasanya KAN menawarkan kepada suku untuk menerima ganti rugi dari Wali Nagari atau Wali Nagari mengembalikan tanah tersebut kepada suku. KAN menyelesaikannya secara musyawarah dan menegakkan keadilan terhadap suku yang merasa dirugikan oleh Nagari. Kesepakatan kedua belah pihak merupakan keputusan yang paling sering diambil oleh KAN supaya dikemudian hari tidak terjadi sengketa lagi. Setelah kedua belah pihak setuju dengan apa yang telah disepakati, maka Wali Nagari membuat Surat keputusan yang isinya sesuai dengan yang telah disepekati dan penghulu-penghulu suku membubuhi tanda tangan sebagai saksi dan Wali Nagari menanda tangani surat keputusan tersebut serta dibubuhi cap/stempel Nagari dan masing-masing pihak yang bersengketa (suku dan Nagari) diberi satu rangkap untuk dilaksanakan oleh kedua belah pihak. Semua sengketa yang telah diuraikan di atas bila tidak selesai atau tidak berhasil didamaikan oleh mamak paruik, suku dan penghulu, maka perkaranya dilanjutkam kepada lembaga adat tertinggi yaitu Kerapatan Adat Nagari (KAN) sehingga ninik mamak yang ada dalam KAN akan menjadi mediator dalam penyelesaian sengketa dalam Nagari. Hal ini telah diatur oleh Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 1983 bahwa perkara yang ditimbulkan dari sako dan pusako adalah tanggung jawab Kerapatan Adat Nagari untuk menyelesaikannya secara damai. Bahwa funsi-fungsi yang dilakukan oleh KAN berdasarkan asas musyawarah dan mufakat, alur dan patut sepanjang tidak bertentangan dengan adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, kepentingan ketertiban, ketentraman dan kesejahteraan masyarakat nagari Di Minangkabai setiap nagari dibentuk Kerapatan Adat Nagari (KAN) yaitu lembaga yang beranggotakan tungku tigo sjarangan, Tungku Tigo sajaranga merupakan perwkilan anak nagari yang terdiri dari alim ulama, cerdik pandai (kaum Intelektual) dan ninik mamak (penghulu suku). Keputusan penting yang akan diambil selalu dimusyawarahkan antara wali nagari dengan tungku tigo sajarangan di balai adat atau balairung nagari.

  Proses penyelesaian perkara di tingka Kerapatan Adat Magari adalah sebagai berikut:

  1. Mendaftarkan perkara dengan surat permohonan yang ditanda tangani oleh ninik mamak yang bersangkutan. Para pihak yang merasa dirugikan mengajukan permohonan kepada Kerapatan adat Nagari untuk diselesaikan dengan menjelaskan sengketa tanah ulayat yang tidak menerima penyelesaian oleh mamak kaum.

  2. Memberikan tanda perkara yaitu berupa keris pusaka atau kain adat sebagai tanda kebesaran seorang datuk yang memberikan mandat kepaada Kerapatan Adat Nagari untuk menyelesaikannya.

  Amran: Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat 187

  3. KAN memanggil para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi dan mendengarkan kesaksian dari masing-masing pihak.

  4. KAN mendatangkan saksi netral yang tidak memihak kepada salah satu pihak yang sedang bersengketa

  5. Mengeluarkan tetetapan mengenai hasil yang diperoleh dari penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh Kerapatan Adat Nagari.

  6. Membayar uang pendaftaran dua emas masing-masing pihak, sesuai dengan fatwa adat limbago dituang adaik diisi, maksudnya harus ada pemasukan terhadap kas adat setelah selesai perkara yang diselesaikan oledh KAN. Di Minangkabau penyelesaian sengketa tanah baik tanah pusaka tinggi maupun pusaka rendah diselesaikan oleh lembaga adat yang ada di nagari dengan sistem bajanjang naik

  

batango turun yaitu dari tingkat yang paling rendah oleh mamak kaum, mamak suku dan

  lembaga tertinggi yaitu Kerapatan Adat Nagari(KAN) sebelum diajukan ke Pengadilan negeri.

  Penyelesaian perkara tanah ulayat di Minangkabau nampaknya lebih efektif diselesaikan melalui lembaga adat nagari karena hubungan kekerabatan dalam kaum dan suku sangat erat dan apa yang ditetapkan oleh mamak kepala waris atau Penghulu suku jarang ditolak oleh anak kemenakan sehingga putusan yang ditetapkan oleh mamak atau penghulu diterima oleh anak kemenakan sampai sat ini. Hal ini terbukti jarangnya sengketa tanah ulayat diselesaikan oleh penegadilan negeri di Sumatera Barat bahkan ada perkara taanah ulayat yang telah diputuskan oleh Pengadilan negeri yang telah mempunyai kekuatan tetap diselesaikan oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN), misalanya sengketa tanah ulayat antara kaum Dt. Simirajo suku Melayu dengan Darmawan dan Angku Rajo Tuo yang juga sama-sama suku Melayu (Sengkera antara Suku yang sama) berupa sebidang tanah ulayat yaitu tanah kering dan sawah di Nagari Magek Kecamatan Kamang Magek Kabupaten Agam. Semula perkara ini diselesaikan melalui rapat anggota suku Melayu atau ninik mamak nan Bahindu. Ninik Mamak Yang Bahindu in setara dengan penhulu yang paling tinggi dalam suku di nagari Magek Kecamatan Kamang Magek Kabupaten Agam. Dalam perkaria ini belum menemukan kata sepakat, tetapi pihak yang bersengketa langsung membawa sengketa ini ke Pengadilan Negeri Lubuk Basung untuk di selesaikan sampai ke Mahkamah Agung.

  Setelah keluar putusan Mahkamah Agung yang mempunyai kekuatan hukum tetap dimana hak atas tanah ulayat yang disengketakan adalah angku rajo Tuo dan sedang menunggu proses dilaksanakan eksekusi. Sebelum dieksekusi perkara ini kembali diselesaikan oleh ninik mamak dalam Kerapatan Adat Nagari(KAN) nagari Magek sebagai mediator. Hasil musyawarah ninik

  188 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 175–189

  mamak dalam Kerapatan Adat Nagari diperoleh kesepakatan damai antara penggugat dengan tergugat dengan membatalkan putusan pengadilan dan membagi tanah tersebut berdasarkan

  8 ketetapan Kerapatan Adat Nagari.

  PENUTUP Kesimpulan

  Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa penyelesaian sengketa tanah ulayat dilakukan bajanjang naik batango turun yaitu penyelesaian sengketa dimulai dari tingkat lembaga yang paling rendah oleh mamak paruik, mamak suku dan penghulu suku, apabila tidak memperoleh kata sepakat, dilanjutkan ke lembaga adat yang lebih tinggi yaitu ke Kerapatan Adat Nagari(KAN). Proses penyelesaian tanah ulayat di Minangkabau dengan urutannya sebagai berikut:

  1. Sengketa anggota separuik (sekaum) diselesaikan oleh mamak separuik yang sering disebut dengan mamak kepala waris

  2. Sengketa tanah ulayat dalam suku diselesaikan oleh mamak suku atau penghulu suku yang ada dalam suku atau penghulu antar suku

  3. Sengketa tanah ulayat yang tidak dapat diselesaikan pada lembaga adat yang terendah, diselesaikan oleh lembaga adat yang tertinggi yaitu Kerapatan Adat Nagari di tiap-tiap Nagari.

  4. Penyelesai tanah ulayat melalui lembaga adat yang ada dalam nagari baik oleh lembaga adat yang lebih rendah maupun yang lebih tinggi cukup efektif keputusannya dibandingkan dengan penyelesaian melalui pengadilan negeri karena putusan melalui lembaga adat dilakukan secara musyawarah dan lebih mengutamakan prinsip keadilan terhadap pihak- pihak yang berperkara,sedangkan putusan pengadilan lebih mengutamakan putusan sepihak berdasrkan bukti-bukti formal yang ditemukan dalam sidang pengadilan

  Saran Mengingat putusan lembaga adat dalam menyelesaikan sengketa tanah ulayat lebih

efektif dibandingkan dengan putusan perngadilan negeri, maka sebaiknya masyarakat

hukum adat memilih penyeleasaian perkara/sengketa tanah ulayat melalui lembaga adat

yang ada dalam nagari dan sebelum diproses di Pengadilan Negeri sebaiknya lembaga

peradilan menganjurkan supaya diselersaikan terlebih dahulu oleh lembaga adat nagari.

  8

  Amran: Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat 189

Apabila lembaga adat nagari tidak berhasil menyelesaikannya baru diterima permohonan

penyelesaiannya di pengadilan negeri. Hal ini bisa dibuat suatu aturan oleh pemerintah yaitu

Mahkamah Agung berupa surat edaran atau aturan dalam tatacara penerimaan perkara/

sengketa tanah ulayat di pengadilan negeri di serluruh Indonesia.

  DAFTAR BACAAN Buku

  Abbas, Syahrizal, 2000, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syari’ah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

  

Abdurrasyid, Priyatna, 2002, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), Fikahati

Aneska, Jakarta.

Dt. Parpatiah Nan Tuo, et.al., 2002, Adat basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah,Pedoman

Hidup Bernagari, Sako Batuah, Padang.

Erwirr, 2006, Tanah Komunal Memudarkan Solidaritas Sosial Pada Masyarakat Matrilineal

Minangkabau, Andalas University Pres, Padang.

Harsono, Boedi, 2015, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang

Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Ed.rev.,Cet.10., Djambatan, Jakarta.

Hasan, Firman, 1988, Dinamika Masyarakat dan Adat Minangkabau, Pusat Penelitian

Universitas Andalas, Padang.

Samosir, Djamanat, 2013, Hukum Adat Indonesia, Eksistensi dalam Dinamika Perkembangan

Hukum di Indonesia, Cv, Nusa Aulia, Bandung.

  Sumardjono, Maria S.W, Nurhasan, dan Isharyanto, 2008, Mediasi Sengketa Tanah Potensi

  Penerapan Alternatif Penyelesaian Sengketa(ADR) Bidang Pertahanan, Kompas, Jakarta.

  Peraturan Perundang-undangan