J U R N A L H U K U M A C A R A P E R D ATA

  J U R N A L H U K U M A C A R A P E R D A T A ADHAPER

  Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017 Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2015

  • • Mekanisme Penentuan Ganti Kerugian terhadap Kerusakan Lingkungan Hidup

  Heri Hartanto dan Anugrah Adiastuti

ISSN. 2442-9090

  Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017

  ISSN 2442-9090

JURNAL HUKUM ACARA PERDATA

ADHAPER

DAFTAR ISI

   1. Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat Melalui Lembaga Adat di Minangkabau Sumatera Barat

  Ali Amran ..................................................................................................................... 175–189

   2. Dispensasi Pengadilan: Telaah Penetapan Pengadilan Atas Permohonan Perkawinan di Bawah Umur

  Sonny Dewi Judiasih, Susilowati Suparto, Anita Afriana, Deviana Yuanitasari .......... 191–203

   3. Kedudukan Hakim Tunggal Dalam Gugatan Sederhana (Small Claim Court) Adisti Pratama Ferevaldy, dan Ghansham Anand .................................................. 205–226

   4. Mekanisme Penentuan Ganti Kerugian terhadap Kerusakan Lingkungan Hidup

  Heri Hartanto dan Anugrah Adiastuti ........................................................................... 227–243

   5. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Mekanisme Acara Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action)

  I Ketut Tjukup, Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, Nyoman A. Martana I Putu Rasmadi Arsha Putra, Kadek Agus Sudiarawan ........................................................... 245–260

   6. Menakar Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan dalam Pengajuan Gugatan Kumulasi (Samenvoeging Van Vordering) di Pengadilan Agama

  Moh. Ali ....................................................................................................................... 261–275

   7. Problematika Eksekusi Resi Gudang Sebagai Obyek Jaminan

  Ninis Nugraheni ........................................................................................................... 277–293

   8. Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Berdasarkan Kepentingan Umum Sebagai Sarana Penyelesaian Utang Piutang Dihubungkan dengan Perlindungan terhadap Kreditor

  R. Kartikasari ............................................................................................................... 295–316

   9. Rekonstruksi Kompetensi Pengadilan Niaga dan Pengadilan Hubungan Industrial dalam Melindungi Upah Hak Tenaga Kerja Sebagai Kreditor Preferen pada Perusahaan Pailit

  Ronald Saija ................................................................................................................. 317–329

   10. Perkembangan Ganti Kerugian dalam Sengketa Lingkungan Hidup

  Sri Laksmi Anindita ..................................................................................................... 331–350 Printed by: Airlangga University Press. (OC 009/01.18/AUP-A5E). Kampus C Unair, Mulyorejo Surabaya 60115, Indonesia.

PENGANTAR REDAKSI

  Para Pembaca yang budiman, pada Edisi kali ini Jurnal Hukum Acara Perdata masih menghadirkan artikel-artikel hasil Konferensi Hukum Acara Perdata di Universitas Tanjungpura, Pontianak. Artikel-artikel tersebut cukup mewakili perkembangan terkini berkaitan dengan penegakan hukum perdata, sehingga pemikiran-pemikiran para penulis diharapkan menjadi kontribusi penting bagi dunia akademis maupun praktis. Kami mencatat terdapat empat topik besar yang diangkat dalam 10 artikel dalam edisi kali ini, yaitu: Hukum Adat, Hukum Keluarga, Hukum Lingkungan, serta Utang dan Hukum Kepailitan.

  Rekan Ali Amran mengemukakan pemikirannya mengenai penyelesaian sengketa tanah ulayat melalui lembaga adat di Minangkabau, Sumatera Barat. Sebagaimana kita ketahui, Hukum Adat di Minangkabau cukup kuar berperan dalam kehidupan sosial masyarakat di sana.

  Rekan Sonny Dewi Judiasih dkk. mengangkat tulisan di bidang Hukum Keluarga, yaitu mengenai dispensasi pengadilan atas permohonan perkawinan di bawah umum. Dalam artikel tersebut dibahas mengenai kewenangan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama atas permohonan dispensiasi kawin bagi mereka yang belum memenuhi persyaratan usia kawin menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Masih di ranah Hukum Keluarga, rekan Moh. Ali mengangkat isu tentang penerapan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan dalam pengajuan gugatan kumulasi di Pengadilan Agama, di mana berdasarkan pengamatannya Pengadilan Agama cenderung tidak menerima gugatan kumulasi, suatu hal yang berdasarkan penilaian penulis bertentangan dengan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan.

  Topik di bidang Hukum Lingkungan mendapat cukup perhatian di antara penulis dalam edisi kali ini. Terdapat dua artikel yang menyoroti aspek ganti rugi dalam sengketa lingkungan yang ditulis oleh rekan Heri Hartanto dan Anugrah Adiastuti serta Sri Laksmi Anindita, kemudian satu artikel yang sangat menarik dari I Ketut Tjukup mengangkat penyelesaian sengketa lingkungan melalui mekanisme gugatan kelompok (class action).

  Perhatian terbesar kali ini diberikan pada topik penyelesaian sengketa utang dan kepailitan. Dimulai oleh rekan Ghansham Anand dan Mudjiharto yang menyoal keabsahan akta notaris perjanjian kredit yang dibuat tanpa kehadiran kreditor, adapun rekan Ninis Nugraheni mengangkat masalah eksekusi regi gudang sebagai objek jaminan. Dua artikel yang lain berkaitan dengan kepailitan dikemukakan oleh rekan Ronald Saija dan R. Kartikasari. Kami berharap agar artikel-artikel yang ditulis serta dipublikasikan dalam edisi kali ini menjadi rujukan bagi kalangan akademisi dan praktisi baik untuk pengembangan keilmuan maupun berpraktik hukum. Akhir kata selamat membaca! Redaksi,

  

MEKANISME PENENTUAN GANTI KERUGIAN TERHADAP

KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP

Heri Hartanto dan Anugrah Adiastuti*

  

ABSTRAK

Perusakan lingkungan hidup merupakan tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung

atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui

kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Dampak negatif dari menurunnya kualitas lingkungan

hidup adalah timbulnya ancaman terhadap kesehatan, kerugian ekonomi, menurunnya nilai

estetika dan terganggunya sistem alami. Pertumbuhan dan berkembangnya industri berdampak

positif yaitu membuka lapangan kerja baru dan selanjutnya dapat meningkatkan perekonomian,

tetapi pertumbuhan industri juga dapat menumbulkan dampak negatif berupa pencemaran dan

atau perusakan lingkungan hidup. Kewajiban membayar ganti kerugian bagi mereka yang terbukti

mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup sejalan dengan prinsip pencemar membayar

yang dikembangkan dalam Hukum Lingkungan. Salah satu cara penegakan hukum terhadap

pelaku perusakan lingkungan hidup dapat dilakukan dengan gugatan perdata berdasarkan konsep

Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan

hidup, sebagaiana diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata dan Pasal 87 UUPPPLH. Bentuk sanksi

hukum yang dapat dimintakan dalam gugatan adalah ganti kerugian dan atau melakukan tindakan

tertentu. Kerugian dalam konsep PMH adalah kerugian yang nyata dan terukur nilainya yang dialami

oleh korbannya. Konsep PMH ini akan menjadi kendala dalam penegakan hukum terhadap pelaku

pencemaran atau perusakan lingkunga hidup, terutama dalam penentuan besaran kerugian atas

kerusakan lingkungan hidup, jika Pengugat dituntut untuk pembuktian bentuk dan besaran nilai

kerugian yang nyata seperti dalam konsep kerugian dalam PMH, karena kerugian tidak langsung

tehadap kerusakan lingkungan tidak selalu dapat diukur.

  Kata kunci: ganti rugi, kerusakan lingkungan hidup, pencemaran

LATAR BELAKANG

  Salah satu alasan pihak Penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan adalah menuntut ganti rugi. Dalam gugatan perbuatan melawan hukum yang diatur pada Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat dengan KUH Perdata) disebutkan tentang ganti rugi, tetapi tidak ditemukan pengaturan tentang apa yang menjadi acuan yang

  • Penulis adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) dan Peergroup P3KHAM LPPM UNS, dapat dihubungi melalui email: heri_sh@yahoo.com .

  228 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 227–243

  dipakai untuk mengukur apa yang dinamakan ganti rugi, sehingga praktisi hukum seolah menganalogikan ganti rugi dalam perbuatan melawan hukum seperti ganti rugi dalam Bab I Buku III KUH Perdata. Pola pikir demikian tidaklah tepat, karena pada Bab I Buku III KUH Perdata mengatur tentang hubungan perikatan yang lahir dari perjanjian, pengaturan ganti rugi juga mengatur tentang ganti rugi akibat tidak dipenuhinya perjanjian. Sehingga parameter ganti rugi dalam perkara perbuatan melawan hukum tidak dapat disamakan dengan ganti rugi dalam hubungan perjanjian.

  Perbuatan melawan hukum yang dimaksud dalam artikel ini adalah perbuatan melawan hukum dalam bidang keperdataan. Istilah perbuatan melawan hukum dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah onrechmatige daad atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah

  

tort. Arti kata tort adalah kesalahan. Penafsiran terhadap kesalahan dalam bidang hukum

  berkembang sedemikian rupa sehingga kesalahan dalam hukum perdata bukan hanya berasal

  1 hubungan kontraktual (wanprestasi).

  Ganti rugi dapat diajukan karena dua sebab, yaitu ganti rugi karena wanprestasi atau perbuatan melawan hukum. Ganti rugi karena wanprestasi adalah suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada debitur yang tidak memenuhi isi perjanjian yang telah dibuat antara kreditur dan debitur. Ganti rugi karena wanprestasi diatur dalam Buku III KUH Perdata dari Pasal 1243 sampai Pasal 1252, sedangkan ganti Rugi karena perbuatan melawan hukum adalah suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada orang yang telah melakukan kesalahan yang menimbulkan kerugian pada pihak lain (Pasal 1365 KUH Perdata). Ganti rugi perbuatan melawan hukum timbul karena adanya kesalahan, bukan karena adanya perjanjian. Untuk Pasal 1365 KUH Perdata sebagian Sarjana Hukum menganggapnya sebagai pasal keranjang sampah karena apabila tidak menemukan ketentuan hukum yang dapat digunakan sebagai dasar menuntut hak, maka Penggugat akan menggunakan Pasal 1365 KUH Perdata tersebut.

  Perbuatan melawan hukum tidak hanya dipandang sebagai perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (hukum positif) saja. Sejak tahun 1919 di Belanda terjadi perkembangan pernafsiran terhadap perbuatan melawan hukum yang hingga saat ini diikuti pula oleh hakim di Indonesia. Perbuatan melawan hukum bukan hanya melanggar hukum positif semata, tetapi juga meliputi setiap pelanggaran terhadap kesusilaan atau kepantasan dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Sejak putusan Hoge raad 31 Januari 1919 perkara antara Lindenbaum melawan Cohen, onrechmatige daad tidak hanya dipandang sebagai pelanggaran terhadap hukum positif, tetapi juga diartikan secara luas. 1 Munir Fuadi, 2005, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, Cetakan ke-2, PT. Citra Aditya Bakti,

  Hartanto dan Adiastuti: Mekanisme Penentuan Ganti Kerugian 229

  Beberapa tuntutan ganti rugi dalam gugatan perbuatan melawan hukum, pihak penggugat menuntut ganti rugi secara materiil dan immateriil. Prinsip hukum dalam menuntut ganti rugi adalah adanya kerugian langsung yang diderita oleh Penggugat akibat dari kesalahan Tergugat, sehingga nilai ganti rugi yang diminta oleh pengugat harus terperinci dan dapat dibuktikan nilai kerugian tersebut. Tujuan dari permintaan ganti rugi adalah untuk mengembalikan kondisi penggugat seperti semula sebelum tergugat melakukan perbuatan (kesalahan) yang merugikan penggugat. Hal yang berbeda ketika mengkaji perkara perbuatan melawan hukum dibidang hukum lingkungan. Penerapan asas “Pencemar Membayar” dalam Undang-Undang Nomor

  32 Tahun 2009 tentang Perlingdungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, penilaian terhadap kerugian dalam perkara lingkungan hidup, tergugat dalam perkara lingkungan hidup tidak hanya dibebankan membayar ganti rugi terhadap kerusakan lingkungan yang dilakukannya, tetapi juga dapat diberikan sanksi lain berupa perintah untuk melakukan sesuatu tindakan untuk merehabilitasi kerusakan lingkungan.

  Gugatan Perbuatan melawan hukum dalam perkara perdata pada umumnya dan gugatan perbuatan melawan hukum pada perkara lingkungan hidup memiliki cara dan konsep yang berbeda dalam menilai tanggung jawab tergugat. Sehingga penulis tertarik menguraikan mekanisme dalam menilai kerugian yang timbul dari perkara lingkungan hidup.

  PEMBAHASAN Perbuatan Melawan Hukum

  Pasal 1365 KUH Perdata berbunyi: “Tiap perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, menggantikan kerugian tersebut” Maka perbuatan melawan hukum mengandung unsur:

  a. Adanya suatu perbuatan;

  b. Perbuatan tersebut bersifat melawan hukum;

  c. Adanya kesalahan dari pelaku;

  d. Ada kerugian bagi korban; e. Adanya hubungan kausalitas antara perbuatan dengan kerugian.

  Penjabaran dari tiap-tiap unsur tersebut sebagai berikut:

  a. Ada suatu perbuatan: Perbuatan yang dimaksud dalam unsur ini adalah ada perbuatan aktif dari pelaku yaitu

  230 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 227–243 (dalam artian pasif) namun hal tersebut bertentangan dengan kewajiban hukumnya.

  Perbuatan tertentu atau perbuatan tidak melakukan sesuatu yang dimaksud dalam hal ini adalah perbuatan yang tidak diperjanjikan terlebih dahulu diantara para pihaknya.

  b. Perbuatan tersebut bersifat melawan hukum: Sejak Putusan Hoge Raad 31 Januari 1919 telah terjadi perluasan makna tentang perbuatan melawan hukum. yang mencakup salah satunya perbuatan sebagai berikut: 1) Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain; 2) Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri; 3) Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan; 4) Perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan

  2 hidup dalam pergaulan masyarakat yang baik.

  Perbuatan yang bertentang hak orang lain masih memiliki makna yang luas, sehingga hak pribadi orang lain, hak atas kekayaan, hak atas kebebasan ataupun hak atas kehormatan dan nama baik merupakan bagian dari hak yang dilindungi oleh hukum. Perbuatan yang berakibat kerugian terhadap pribadi orang lain dapat dikategorikan sebagai melawan hukum. Katergori melawan hukum jika perbuatan tersebut bertentangan dengan kewajiban hukum. Kewajiban hukum ini adalah kewajiban yang diberikan oleh hukum kepada pelaku untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu yang bersumber dari hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis. Menilai apakah seseorang telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum yang diatur hukum yang tertulis relatif lebih mudah, dibandingkan dengan menilai apakah seseorang telah melanggar kewajiban hukum yang diatur dalam hukum yang tidak tertulis. Peran anggota masyarakat (adat/kebiasaan) sangat berperan dalam memberikan penilaian ini. Suatu sistim nilai positif tidak diciptakan secara bebas oleh individu tersendiri, tetapi merupakan hasil saling mempengaruhi antar individu dalam suatu kelompok. Setiap sistim moral dan ide keadilan merupakan produk masyarakat dan berbeda-beda tergantung pada kondisi masyarakatnya. Faktanya terdapat nilai-nilai yang secara umum diterima oleh masyarakat tertentu tidak bertentangan dengan karakter subjektif dan relatif dari pembenaran nilai. Demikian pula halnya banyak persetujuan individu terhadap pembenaran tersebut tidak

  3

  membuktikan bahwa pembenaran tersebut adalah benar. Sehingga norma-norma sosial 2 yang hidup di dalam masyarakat merupakan hukum yang memiliki sanksi hukum bagi 3 Ibid, h.6.

  Jimly Asshiddiqie dan Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan

  Hartanto dan Adiastuti: Mekanisme Penentuan Ganti Kerugian 231 pihak yang melanggarnya dan dapat ditegakan melalui prosedur formal (pengadilan).

  Tanggungjawab dalam konteks perbuatan melawan hukum bukan hanya atau tidak hanya diartikan sebagai sebuah bentuk ganti rugi yang berkonotasi dengan kepentingan pribadi, melainkan harus dimaknai sebagai sebuah konsekuensi hukum dalam penegakan hukum yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat.

  c. Adanya kesalahan dari pelaku: Tanggung jawab perdata dalam terminologi perbuatan melawan hukum berasal dari prinsip atas dasar kesalahan yang dilekatkan pada suatu perbuatan sebagai suatu kesalahan apabila terdapat pelaku yang dapat dimintakan suatu pertanggungjawaban secara hukum atas perbuatannya tersebut. Indonesia menganut prinsip ini dan termaktub dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), tentang perbuatan melawan hukum

  4

  (onrechtmatigedaad). Kesalahan diartikan sebagai suatu perbuatan yang dilakukan baik itu karena kesengajaan maupun karena kelalaian, sehingga tanggungjawab akan kesalahan tersebut tidak hanya secara moral (moral liability) melainkan secara hukum pula (legal

  5 liability). Perbuatan melawan hukum karena didasarkan pertanggungjawaban untuk

  terpenuhinya salah satu unsurnya yang merupakan unsur kesalahan, dalam hukum modern, pertanggungjawaban terhadap aktivitas yang disinyalir termasuk akitivitas berbahaya ditentukan sesuai dengan kerangka umum dari sistem pertanggungjawaban yang berdasarkan adanya delik. Hal ini berarti terdapat suatu keharusan untuk menunjukkan

  6

  benar-benar terdapatnya unsur kesalahan dalam aktivitas tersebut. Tanggung jawab hukum dalam hukum perdata berupa tanggung jawab seseorang terhadap perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan melawan hukum memiliki ruang lingkup yang lebih luas dibandingkan dengan perbuatan pidana. Perbuatan melawan hukum tidak hanya mencakup perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang pidana saja, akan tetapi jika perbuatan tersebut bertentangan dengan undang-undang lainnya dan bahkan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis. Ketentuan perundang-undangan dari perbuatan melawan hukum bertujuan untuk melindungi dan memberikan ganti rugi

  7 kepada pihak yang dirugikan.

  Ruang lingkup yang luas terhadap tanggungjawab perdata memberikan gambaran akan fleksibelitas prinsip ini yang dapat diterapkan pada setiap peristiwa hukum, terutama 4 yang berkaitan dengan wilayah keperdataan. Cakupannya dapat dikenakan terhadap 5 Endang Saefullah Wiradipraja, 1996,Tanggung jawab Pengangkut dalam Hukum Udara, Balai Pustaka, Jakarta, h. 9.

  Endang Saefullah Wiradipradja, 2008, Hukum Transportasi Udara: dari Warsawa 1929 ke Monteral 1999, Kiblat Utama, Bandung, h. 172. 6 Loura Hardjaloka, “Ketetapan Hakim Dalam Penerapan Precautionary Principle Sebagai “Ius Cogen” dalam Kasus

Gunung Mandalawangi, Kajian Putusan Nomor 1794K/Pdt/2004”, Agustus 2012, Volume 5, No. 2, Jurnal Yudisial, h. 137.

7 Komariah, 20013, Hukum Perdata, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, h. 12.

  232 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 227–243 manusia sebagai naturelijk persoon maupun terhadap badan hukum atau rechtpersoon.

  Konsekeunsi yang lahir dari perluasaan ini setiap subjek hukum dapat dimintai pertanggungjawaban atas setiap kesalahan yang dilakukannya dengan catatan adanya kerugian yang timbul akibat kesalahan tersebut. Prinsip ini dikenal dengan teori Corrective

  Justice, yang mengajarkan bahwa setiap orang harus melindungi hak-haknya dan harus

  dipulihkan keadaannya agar ada keseimbangan antara keadilan dan kepastian hukum yang

  8

  merupakan tujuan hukum. Perluasan itu muncul karena adanya tiga Arrest Hoge Raad yang memiliki nilai historis yangmenggambarkan terhadap pemahaman istilah “melawan hukum”. Arrest pertama adalah Arrest Hoge Raad 6 Januari 1905 dalam perkara Singer Naaimachine.Arrest kedua adalah Arrest Hoge Raad 10 Juni 1910 dalam perkara kasus Zutphenese Juffrouw. Arrest ketiga adalah Hoge Raad 31 Januari 1919 dalam perkara

9 Lindenbaum vs. Cohen.

  d. Ada kerugian bagi korban: Adanya kerugian yang dialami korban (penggugat) menjadi salah satu unsur Pasal 1365 KUH Perdata. Berbeda dengan kerugian dalam waprestasi hanya mengenal kerugian materiil, kerugian yang ditimbulkan dari perbuatan melawan hukum dapat berupa kerugian materiil dan immateriil. Pasal 1371 dan 1372 KUH Perdata tersirat memberikan pengaturan tentang tuntutan ganti rugi immateriil dalam gugatan perbuatan melawan hukum. Immateriil sering diartikan kerugian yang tidak berwujud sehingga sulit untuk menguraikan bentuk dan mengukur jumlah kerugian immateriil. Bentuk kerugian immateriil dapat berupa kerugian atau hilangnya manfaat yang terjadi dikemudian hari. Penggugat dalam menuntut gantirugi immateriil tetap wajib menguraikan dalam bentuk apa kerugian tersebut, mengapa muncul kerugian tersebut, perincian jumlah kerugian dan yang paling penting adalah kerugian immateriil tersebut harus dapat dibuktikan. Beberapa yurisprudensi telah memberikan contoh tentang bagaimana hakim dalam mempertimbangkan tuntutan gantirugi immateriil, yaitu:

  • Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia tertanggal 28 Mei 1984 Nomor 588 K/Sip/1983, yang diantaranya berbunyi: ”Bahwa tentang tuntutan Penggugat

  asal sub 5 yaitu mengenai tuntutan ganti rugi karena tidak disertai bukti-bukti maka harus ditolak”.

  • Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia tertanggal 31 September 1983
  • 8 Nomor 19 K/Sip/1983, yang diantaranya berbunyi: ”Menimbang, bahwa oleh karena 9 Ahmad Sudiro, Konsep Keadilan John Rawls, Juli 2012, Volume 19, Nomor 3, Jurnal Legislasi Indonesia, h. 446.

      Nia Putriyana dan Shinta Dwi Puspita, “Tanggungjawab Hukum Dalam Konteks Perbuatan Melawan Hukum

    Terhadap Tindak Pidana Korupsi”, Desember 2014, Volume 7, Nomor 3, Jurnal Arena Hukum, h.438-439. Diakses melalui:

      Hartanto dan Adiastuti: Mekanisme Penentuan Ganti Kerugian 233 gugatan ganti rugi tersebut tidak diperinci dan lagi pula belum diperiksa oleh judex factie , maka gugatan ganti rugi tersebut dinyatakan tidak dapat diterima.”.

    • Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia tertanggal 8 Mei 1980

      Nomor 550 K/Sip/1979, yang diantaranya berbunyi: ”Bahwa petitum ke 4 s/d 6

      dari Penggugat asal tentang ganti rugi harus dinyatakan tidak dapat diterima oleh karena kerugian - kerugian yang diminta tidak diadakan perincian. ”.

    • Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia tertanggal 28 Mei 1984 Nomor 588 K/Sip/1983, yang diantaranya berbunyi: ”Setiap tuntutan ganti rugi harus disertai perincian kerugian dalam bentuk apa yang menjadi dasar tuntutannya.

      Tanpa perincian dimaksud maka tuntutan ganti rugi tersebut harus dinyatakan tidak

      10 dapat diterima karena tuntutan tersebut tidak jelas/tidak sempurna”.

      e. Adanya hubungan kausalitas antara perbuatan dengan kerugian.

      Hubungan kausaitas (sebab akibat) antara perbuatan dengan kerugian yang terjadi juga merupakan syarat suatu perbuatan melawan hukum. Dalam menilai hubungan sebab akibat, ada 2 (dua) teori yaitu: teori hubungan faktual (causation in fact) dan teori

      11

      penyebab kira-kira (procxime cause). Hubungan sebab akibat secara faktual (causation

      in fact) hanya merupakan masalah fakta atau apa yang telah terjadi. Setiap penyebab

      yang menimbulkan timbulnya kerugian dapat merupakan penyebab secara faktual, asalkan kerugian (hasilnya) tidak akan pernah terdapat tanpa penyebabnya. Dalam hukum tentang perbuatan melawan hukum, sebab akibat jenis ini sering disebut dengan hukum mengenai “but for” atau “sine qua non”. Sedangkan konsep hubungan sebab akibat kira-kira (procxime cause) merupakan penyebab langsung berasal dari hukum perdata, khususnya dalam hukum asuransi. Asuransi memberikan jaminan terhadap kerugian yang disebabkan oleh risiko-risiko tertentu yang dipertanggungkan, namun sering ditemui kesulitan dalam menentukan sebab-sebab yang menimbulkan kerugian, karena penyebabnya bisa lebih dari satu yang mungkin merupakan sederetan peristiwa atau beberapa peristiwa yang terjadi secara bersamaan. Sehingga proximate cause itu

      12 dapat digunakan untuk menentukan penyebab kerugian.

      10 Hanis Tirtadjaja melawan Meilisa Nurmawan, Hj. Ratu Dhenok Herawaty, MARI-Pengadilan Negeri Jakarta Utara

    Nomor 134/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Ut. h. 22-23. Diakses melalui: http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/8e6015f5ccd7

    063880abbfff58df6baa tanggal 25 Agustus 2017. 11 12 Munir Fuadi, Op. Cit. h. 13-14.

      Ferryal Basbeth, Penulisan “ Proximate Cause dan “but for test sebagai Sebab Kematian Dalam Sertifikat Kematian,

    Ferbruari 2012, Volume 2 Nomor 1, Indonesian Journal of Legal and Forensic Sciences, h. 13. Diakses melalui: https://ojs.

    unud.ac.id/index.php/ijlfs/article/view/3250 tanggal 26 Agustus 2017.

      234 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 227–243 Perbuatan Melawan Hukum Dalam Perkara Lingkungan Hidup

      Industri merupakan bagian penting dalam menopang ekonomi, namun seiring berjalannya waktu, kegiatan industri mengabaikan aspek kelestarian lingkungan. Indonesia memahami urgensi kebutuhan memulihkan kualitas lingkungan guna mempertahankan kehidupan dan tanpa membahayakan segi lingkungan. Berbagai peraturan perundang-undangan telah diterbitkan untuk menghadapi berbagai mana ancaman kerusakan lingkungan. Pasal 87 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

    13 Hidup (selanjutnya disingkat UU PPLH) mengatur bahwa setiap penanggung jawab usaha

      yang melakukan “perbuatan melawan hukum” berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup bertunggung jawab untuk membayar ganti rugi dan atau melakukan tindakan tertentu.

      UU PPLH mengatakan bahwa perbuatan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup merupakan bentuk “perbuatan melawan hukum”, sehingga selalu ditemukan Pasal 1365 KUH Perdata dalam putusan pengadilan yang mengadili perkara lingkungan hidup. Perbedaan mencolok dengan perkara perbuatan melawan hukum salah satunya adalah dalam menilai bentuk dan jenis kerugian yang menjadi tangung jawab pihak yang bersalah (tergugat). Dalam UU PPLH pelaku pencemaran dan atau perusakan dapat dihukum untuk membayar ganti rugi dan atau tindakan tertentu yang bertujuan untuk merehabilitasi kerusakan lingkungan hidup.

      Salah satu unsur perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang memiliki penerapan berbeda dalam perkara lingkungan adalah terkait dengan unsur kesalahan. Pertanggung jawaban terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dilakukan dengan tanggung jawab mutlak (strict liability). Konsep tanggung jawab mutlak menurut Lummert diartikan sebagai kewajiban mutlak yang dihubungkan dengan ditimbulkannya kerusakan. Salah satu ciri utamanya yaitu tidak adanya persyaratan tentang perlu adanya

      14

      kesalahan. Menurut James E. Krier hal ini merupakan bantuan yang sangat besar dalam peradilan mengenai kasus-kasus lingkungan, karena banyak kegiatan yang menimbulkan kerugian terhadap lingkungan merupakan tindakan-tindakan berbahaya untuk mana

      15

      diberlakukan tanggung jawab tanpa kesalahan. Asas “tanggung jawab mutlak” atau strict

      

    liability adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar

      pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang 13 Pasal 87 ayat (1) UU PPLH: “Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan

      

    melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain

    atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.” 14 15 Koesnadi Hardjasoemantri, 2002, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah mada University Press, Yogyakarta, h. 387.

      Hartanto dan Adiastuti: Mekanisme Penentuan Ganti Kerugian 235

      perbuatan melanggar hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu.

      Pelaku usaha yang menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan tidak dapat melepaskan tanggung jawabnya. Dengan asas kehati-hatian bahwa ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha dan/atau kegiatan karena keterbatasan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan merupakan alasan untuk menunda langkah-langkah meminimalisasi atau menghindari ancaman terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

      Penyelesaian perkara lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui pengadilan, diajukan melalui gugatan perdata biasa oleh pihak yang merasa dirugikan, baik orang perorangan, kelompok masyarakat, lembaga swadaya masyarakat ataupun pemerintah/pemerintah daerah. Salah satu hal penting yang seringkali menjadi permasalahan adalah teknik atau metode penghitungan kerugian lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Untuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan atau melalui pengadilan diperlukan bukti-bukti telah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Data atau bukti ini harus merupakan hasil penelitian, pengamatan lapangan, atau data lain berupa pendapat para ahli yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Beberapa hal yang perlu dianalisis antara lain menyangkut:

      a. apakah benar telah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;

      b. siapa yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; c. siapa yang mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; d. bagaimana status kepemilikan lahan yang tercemar atau rusak;

      e. apa jenis kerugian (langsung atau tidak langgsung);

      f. berapa besaran kerugian;

      g. berapa lama terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;

      h. apa saja jenis media lingkungan hidup yang terkena dampak (air, tanah, udara); i. nilai ekosistem baik yang dapat maupun yang tidak dapat dinilai secara ekonomi, dan

      16 lain-lain.

    16 Lapiran II Peraturan Menteri Lingkungan Hidup R.I. Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran Dan/Atau Kerusakan Lingkungan Hidup.

      236 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 227–243

      Penghitungan kerugian lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup merupakan pemberian nilai moneter terhadap dampak pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan hidup. Besaran nilai moneter kerugian ekonomi lingkungan hidup sekaligus merupakan nilai ekonomi kerugian lingkungan hidup yang harus dibayarkan kepada pihak yang dirugikan oleh pihak yang melakukan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

      Pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup tidak terjadi dengan tiba-tiba, melainkan melalui suatu proses dan memerlukan waktu sejak zat-zat pencemar keluar dari proses produksi, dibuang ke media lingkungan hidup, kemudian mengalami perubahan (menjadi lebih berbahaya) di dalam media lingkungan hidup (udara,air dan tanah), dan terakhir terpapar ke dalam lingkungan hidup dan menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

      UU PPLH menentukan environmental responsibility mencakup masalah ganti rugi kepada orang perorangan (private compensation) maupu biaya pemulihan lingkungan. Dengan demikian, environmental liability bisa bersifat privat dan sekaligus bersifat publik, maka apabila pelaku pencemaran atau perusakan lingkungan hidup telah memenuhi tanggung jawab kepada perseorangan yang menjadi korban pencemaran atau perusakan lingkungan hidup, namun tenggung jawab belum dinyatakan selesai karena bisa saja pelaku dihadapkan pada tanggung jawab yang berhubungan dengan urusan publik berupa kewajiban pemulihan atas

      17 lingkungan hidup sebagai aset publik.

      Salah satu contoh gugatan perbuatan melawan hukum dibidang lingkungan hidup adalah perkara perusakan hutan yang telah diputus oleh Mahkamah Agung dalam perkara Nomor: 460 K/PDT/2016. Mahkamah Agung di tingkat Kasasi telah membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru dan Putusan Pengadilan Tinggi Pekanbaru, dengan mengabulkan gugatan Pemohon Kasasi (dahulu Penggugat) untuk menghukum tergugat membayar ganti rugi lingkungan hidup sejumlah Rp16.244.574.805.000,00 (enam belas triliun dua ratus

      18 empat puluh empat miliar lima ratus tujuh puluh empat juta delapan ratus lima ribu rupiah).

      Mahkamah Agung menimbang bahwa perkara perdata lingkungan hidup memiliki peraturan yang bersifat lex specialis mengenai bentuk tanggung jawab pelaku pencemar atau perusak lingkungan hidup tidak hanya bertanggung jawab secara privat tetapi juga tanggung jawab secara publik. Mahkamah Agung dalam mempertimbangkan kerugian atas kerusakan 17 18 N.H.T. Siahaan, 2004, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Edisi Kedua, Erlangga, Jakarta, h. 308.

      Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia (Dahulu Kementerian Lingkungan Hidup

    Republik Indonesia melawan PT. Merbau Pelalawan Lestari, MARI Nomor: 460 K/PDT/2016. Diakses melalui https://

    putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/c5780f23676523731679ecfebea5e3ca tanggal 25 Agustus 2017.

      237 Hartanto dan Adiastuti: Mekanisme Penentuan Ganti Kerugian

      lingkungan hidup berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2011 tentang Ganti Kerugian Akibat Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup.

      19 Meskipun peraturan menteri tersebut dibuat oleh Penggugat (kementerian lingkungan hidup)

      sendiri, tetapi karena Penggugat adalah lembaga kementerian yang berwenang membuat kebijakan lingkungan hidup dan instrumen kebijakan lingkungan hidup dengan melibatkan para ahli lingkungan hidup, maka menghitungan ganti kerugian peraturan menteri tersebut menurut Mahkamah Agung dapat dibenarkan.

      Nilai ganti rugi yang dijatuhkan oleh Mahkamah Agung merupakan jumlah yang sangat besar untuk sebuah perkara perdata. Namun mengingat kerugian yang ditumbulkan, maka nlai tersebut merupakan nilai wajar untuk merehabilitasi lingkungan yang rusak. Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran Dan/Atau Kerusakan Lingkungan Hidup, Pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup akan menimbulkan berbagai jenis kerugian yang dapat digolongkan menjadi:

      20

      a. Kerugian karena dilampauinya Baku Mutu Lingkungan Hidup sebagai akibat tidak dilaksanakannya seluruh atau sebagian kewajiban pengolahan air limbah, emisi, dan/atau pengelolaan limbah B3. Pencemaran atau rusaknya lingkungan dapat terjadi karena tidak patuhnya usaha dan/atau kegiatan perorangan terhadap ketentuan peraturan perundang- undangan untuk mengolah limbah dan mencegah kerusakan lingkungan hidup. Oleh karena itu mereka dituntut untuk merealisasikan kewajibannya dengan membangun

      IPAL, IPU dan instalasi lainnya dan mengoperasionalkan secara maksimal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak melaksanakan kewajiban tersebut akan menimbulkan kerugian pada lingkungan hidup dan masyarakat. Nilai kerugian dalam hal ini minimal sebesar biaya pembangunan dan pengoperasian instalasi tersebut.

      b. Kerugian untuk penggantian biaya pelaksanaan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup, meliputi biaya: verifikasi lapangan, analisa laboratorium, ahli dan pengawasan pelaksanaan pembayaran kerugian lingkungan hidup. Dalam banyak hal, sering terjadi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup maupun kerugian masyarakat sebagai akibat kecelakaan, kelalaian, 19 Pada saat perkara tersebut diadili masih berlaku Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2011 tentang

      

    Ganti Kerugian Akibat Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup ,saat ini telah dicabut oleh Peraturan Menteri

    Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan/

    atau Kerusakan Lingkungan Hidup. 20 Lampiran II Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Kerugian

      238 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 227–243

      maupun kesengajaan. Kepastian terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup tersebut memerlukan peran aktif pemerintah untuk melakukan verifikasi pengaduan, inventarisasi sengketa lingkungan hidup dan pengawasan pembayaran kerugian lingkungan hidup dan/atau pelaksanaan tindakan tertentu. Untuk itu, pemerintah mengeluarkan biaya yang harus diganti oleh pelaku usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

      c. Kerugian untuk pengganti biaya penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta pemulihan lingkungan hidup.

      1) Biaya Penanggulangan Pada saat terjadi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, suatu tindakan seketika perlu diambil untuk menanggulangi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang terjadi agar pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dapat dihentikan dan tidak menjadi semakin parah. Tindakan ini dapat dilakukan oleh pelaku usaha dan/atau kegiatan, dan/atau oleh pemerintah. Hanya pada pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup tertentu yang diakibatkan oleh kecelakaan dan memerlukan penanganan segera misalnya: pada kasus terjadi tumpahan minyak dari kapal dan kebakaran hutan. Apabila pemerintah yang melakukan tindakan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dan telah mengeluarkan biaya untuk tindakan tersebut, jumlah seluruh biaya tersebut harus diganti oleh pelaku usaha dan/atau kegiatan yang menyeb abkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan.

      2) Biaya Pemulihan Lingkungan hidup yang tercemar dan/atau rusak harus dipulihkan dan sedapat mungkin kembali seperti keadaan semula, sebelum terjadi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Tindakan pemulihan lingkungan hidup ini berlaku bagi lingkungan hidup publik yang menjadi hak dan wewenang pemerintah serta lingkungan masyarakat yang mencakup hak dan wewenang perorangan maupun kelompok orang, namun tidak semua lingkungan hidup dapat dikembalikan pada kondisi seperti sebelum terjadi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, walaupun demikian pihak penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dan/atau perorangan yang menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup wajib melakukan pemulihan kondisi lingkungan hidup. Dengan pemulihan kondisi lingkungan hidup diharapkan fungsi-fungsi lingkungan hidup yang ada sebelum terjadi kerusakan dapat kembali seperti semula. Tetapi perlu disadari bahwa terdapat berbagai macam ekosistem, dan setiap ekosistem memiliki manfaat dan fungsi yang berbeda-beda, sehingga usaha pemulihanpun menuntut teknologi yang berbeda-beda

      Hartanto dan Adiastuti: Mekanisme Penentuan Ganti Kerugian 239

      pula. Usaha pemulihan kondisi dan fungsi lingkungan hidup menuntut adanya biaya pemulihan lingkungan hidup. Apabila pihak penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dan/atau perorangan yang menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup merasa tidak mampu melaksanakan kewajiban pemulihan lingkungan hidup, sehingga wajib untuk membayar biaya pemulihan lingkungan hidup kepada pemerintah dengan ketentuan bahwa Pemerintah atau pemerintah daerah yang akan melaksanakan tugas pemulihan kondisi lingkungan hidup menjadi seperti keadaan semula sebelum terjadi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. 3) Kerugian ekosistem.

      Pada saat lingkungan hidup menjadi tercemar dan/atau rusak, akan muncul berbagai dampak sebagai akibat dari tercemarnya dan/atau rusaknya ekosistem. Tercemarnya dan/atau rusaknya lingkungan hidup ini meliputi lingkungan publik (pemerintah). Semua dampak pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup tersebut harus dihitung nilai ekonominya, sehingga diperoleh nilai kerugian lingkungan hidup secara lengkap. Sebagai contoh jika terjadi kebocoran minyak dari kapal tanker, ekosistem laut menjadi tercemar. Dampak selanjutnya dapat terjadi kerusakan terumbu karang, kerusakan hutan mangrove atau kerusakan padang lamun, sehingga produktivitas semua jenis ekosistem tersebut dalam menghasilkan ikan berkurang. Kemampuan hutan mangrove sebagai pelindung pantai dari gempuran ombak juga berkurang, kapasitas hutan sebagai tempat pemijahan dan pengasuhan ikan menurun, serapan karbon oleh hutan mangrove juga berkurang. Demikian pula apabila hutan alam rusak atau ditebang akan timbul berbagai dampak lingkungan hidup dalam bentuk hilangnya kapasitas hutan dalam menampung air dan memberikan tata air, hilangnya kemampuan menahan erosi dan banjir, hilangnya kapasitas hutan dalam mencegah sedimentasi, hilangnya kapasitas hutan dalam menyerap karbon, hilangnya habitat untuk keanekaragaman hayati, dan bahkan hutan yang ditebang dengan teknik bakar dapat menambah emisi gas rumah kaca (CO2). Terkait dengan kerugian lingkungan hidup masyarakat secara perorangan atau kelompok dapat menuntut dipulihkanya kualitas lingkungan hidup. Contohnya adalah tercemarnya lingkungan tambak di mana masyarakat perorangan beraktivitas membudidayakan pertambakan bandeng harus dipulihkan keberadaanya. Dengan adanya pencemaran lingkungan tidak hanya berdampak negatif pada usaha budi daya bandeng, tetapi ekosistem atau lingkungan tambak termasuk kualitas tanah dan kualitas perairan turut tercemar.

      240 JHAPER: Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017: 227–243

      Kerusakan lingkungan hidup yang disebutkan di atas harus dihitung nilainya sesuai dengan derajat kerusakannya serta lamanya semua kerusakan itu berlangsung. Kemudian nilai kerusakan ini ditambahkan pada biaya kewajiban. Biaya verifikasi pendugaan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, biaya penanggulangan dan/atau pemulihan lingkungan dan ditambah lagi dengan nilai kerugian masyarakat yang timbul akibat rusaknya sebuah ekosistem.

      4) Kerugian masyarakat akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

      Yang dimaksud dengan masyarakat adalah masyarakat sebagai individu atau perorangan dan masyarakat sebagai kelompok orang-orang. Pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan hidup seperti diuraikan di atas akan menimbulkan dampak berupa kerugian masyarakat akibat rusaknya aset seperti peralatan tangkap ikan, rusaknya perkebunan dan pertanian, rusaknya tambak ikan, serta hilangnya penghasilan masyarakat, dan sebagainya. Akibat kerusakan peralatan tangkap ikan dan tambak ikan berarti bahwa sebagian atau seluruh sumber penghasilan masyarakat di bidang perikanan terganggu sebagian atau seluruhnya. Demikian pula bila ada pertanian atau perkebunan atau peternakan yang rusak sehingga benar-benar merugikan petani dan peternak, semua kerugian tersebut harus dihitung dan layak untuk dimintakan ganti ruginya. Dalam menghitung kerugian karena dilampauinya baku mutu lingkungan hidup sebagai akibat tidak dilaksanakannya seluruh atau sebagian kewajiban pengolahan air limbah, emisi dan/atau pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun, metode penghitungan berdasar akumulasi nilai unit pencemaran dengan memperhatikan keanekaragaman industri dengan jenis dan jumlah parameter limbah yang berbeda-beda, pendekatan penghitungan kerugian lingkungan hidup didasarkan pada akumulasi nilai unit pencemaran setiap parameter.

      Nilai unit pencemaran setiap parameter limbah dan basis biaya per unit pencemaran ditetapkan berdasarkan besaran dampak pencemaran pada lingkungan hidup dan kesehatan. Metode penghitungan kerugian lingkungan hidup ini menggunakan biaya operasional per m3 limbah yang diolah dengan baik dan memenuhi baku mutu pada suatu industri sebagai pembanding bagi industri lain yang sejenis.