View of CORAK TAFSIR ‘ILMĪ

CORAK TAFSIR ‘ILMĪ Oleh : Sari Magdalena Dosen Jurusan Tarbiyah STAIN-Malikussaleh Lhokseumawe- Aceh

ABSTRAK

Alquran adalah kitab kehidupan, memuat berbagai aturan menyangkut tata kehidupan manusia di dunia dan hasil dari kehidupan tersebut di akhirat. Karenanya, sudah pasti Alquran berbicara tentang fakta ilmiah. Tafsir ilmi merupakan bagian dari metode penafsiran yang memanfaatkan ilmu pengetahuan manusia dengan tujuan untuk menguatkan kandungan ayat-ayat Alquran. Ditemukan sejumlah ayat Alquran yang berbicara tentang fakta-fakta ilmiah yang mengilhami lahirnya ragam ilmu pengetahuan baik alam ataupun sosial. Secara historis kemunculan corak tafsir ilmi dikaitkan dengan kepemimpinan Ḥarūn ar- Rasy īd (169-194 H/785-809 M) dan al-Ma’mūn (198-215 H/813-830 M) pada masa Dinasti Abbasiyah. Para ulama berbeda pendapat tentang corak tafsir ini. Ulama yang kontra dengan corak tafsir ilmi berargumen bahwa petunjuk yang dibawa oleh ayat-ayat Alquran telah sempurna adanya sehingga tidak membutuhkan lagi penafsiran ilmiah yang cenderung mereduksi kandungan ayat- ayat dimaksud.

Pendahuluan

Alquran merupakan mukjizat terbesar yang dianugerahkan Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw. sebagai nabi dan rasul terakhir di muka bumi ini. Kemukjizatan Alquran tidak hanya terbukti dari dimensi sastra dan ketinggian gaya bahasanya, melainkan juga karena petunjuknya yang universal dan komprehensif, sesuai untuk setiap waktu dan berlaku di segala tempat ( ṣālih li kulli zamān wa makān).

Segala petunjuk dan nilai-nilai kebenaran yang terkandung di dalam Alquran harus dipahami dengan baik agar nilai-nilai tersebut berfungsi secara efektif guna mengarahkan kehidupan manusia ke jalan yang benar. Untuk Segala petunjuk dan nilai-nilai kebenaran yang terkandung di dalam Alquran harus dipahami dengan baik agar nilai-nilai tersebut berfungsi secara efektif guna mengarahkan kehidupan manusia ke jalan yang benar. Untuk

Di dalam perkembangan ilmu tafsir dikenal ragam metode dan corak penafsiran Alquran. Satu di antara sekian banyak corak itu adalah corak tafsir

‘ilmī. Corak tafsir ini menitikberatkan pembahasannya pada masalah-masalah keilmuan yang dibahas di dalam Alquran, dan fakta tentang Alquran itu sendiri yang

pengetahuan sekaligus mendorong pengembangannya.

berbicara

tentang ilmu

Urgensi penafsiran Alquran secara ilmiah sejalan dengan munculnya berbagai ilmu pengetahuan baik ilmu kealaman maupun ilmu sosial dan semakin meningkatnya ilmu pengetahuan tersebut. Hal ini menjadi tuntutan yang harus dipenuhi melalui penafsiran Alquran dengan menggunakan pendekatan teoretis di samping pemahaman dan penafsirannya secara ḥarfiah. Inilah yang melatarbelakangi penulisan makalah sederhana ini.

Di dalam artikel ini akan dipaparkan secara singkat uraian tentang pengertian corak tafsir ‘ilmī, tokoh-tokoh dalam corak tafsir ‘ilmī beserta contoh- contohnya, kelebihan dan kekurangan corak tafsir ‘ilmī, kontra tafsir ‘ilmī, urgensi tafsir ‘ilmī dan perkembangannya. Kehadiran makalah ini diharapkan dapat memberikan seberkas gambaran dan setitik pencerahan khususnya dalam ranah kajian ilmu tafsir.

A. Pengertian Corak Tafsir ‘Ilmī

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia corak berarti sifat (paham, macam, bentuk) tertentu (Tim Penyusun, 2003: 220). Corak (laun) tafsir berbeda dengan metode ( manhāj) tafsir. Metode tafsir berisi kaidah-kaidah yang harus diindahkan dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran. Ilmu yang membahasnya dinamakan metodologi tafsir. Menurut bentuknya tafsir dibagi menjadi dua jenis; tafsīr bi al-ma’sūr (berdasarkan riwayat) dan tafsīr bi ar-ra’yi (berdasarkan nalar).

Jika ditelusuri dalam perkembangan tafsir Alquran akan ditemukan secara garis besarnya metode-metode; ijmālī (global), tahlīlī (analitis), muqārin (perbandingan) dan maudū‘ī (tematik).

Adapun corak tafsir yang dikenal antara lain corak isyārī (sufi), fiqhī, ‘ilmī, lugawī, falsafī dan adab ijtimā‘ī. Corak tafsir merupakan bentuk keahlian

dan kecendrungan yang dimiliki mufasir serta yang mempengaruhinya dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran. Dengan demikian corak tafsir merupakan bagian yang tak terpisahkan dari metode tafsir khususnya metode tafsir ta hlīlī dan metode tafsir maudū‘ī.

Secara etimologi نايبلاو حاضيلإا وه يرسفتلا :ةغللا فى يرسفتلا tafsir

mengandung arti menerangkan dan menjelaskan (Muhammad Husain az-Zahabi, 2001: 12), juga diartikan dengan ىطغلما فشكو ةنبالإا menjelaskan dan

mengungkap maksud yang terkandung dari lafaz yang sulit ( Mannā‘ al-Qattān, 1973: 323) . Pengertian tafsir secara bahasa tidak akan terlepas dari makna ′īdāh (menjelaskan), bayān (menerangkan), kasyf (mengungkapkan), ′izhār (menampakkan) dan ′ibānah (menjelaskan) (Rosihon Anwar: 2005:141). Secara terminologis tafsir berarti

ةقاطلا ردقب لىاعت الله دارم ىلع هتللاد ثيح نم ديلمجا نآرقلا لاوحأ هيف ثحبي ملع ةيرشبلا ilmu yang membahas tentang arti atau maksud firman-firman Allah sesuai

dengan kemampuan manusia (mufasir) (Muhammad Husain az-Zahabi, 2001: 13). Yang dimaksud tafsir ‘ilmī adalah sebuah metode penafsiran Alquran yang

menjelaskan isi ayat-ayat Alquran berdasarkan data-data sains (Rohimin, 2007: 92). A ż-Żahabī memberikan definisi lain tentang tafsir ‘ilmī di mana ia menyebutkan sebagai berikut:

Tafsir ‘ilmī adalah tafsir yang mengkaji ragam terminologi ilmiah yang terdapat dalam Alquran dan berusaha menelurkan (mendeduksi) berbagai disiplin ilmu serta tinjauan-tinjauan filosofis dari kajian-kajian tersebut. (Muhammad Husain az-Zahabi, 2003: 349). Ditemukan juga definisi lain dari tafsir ‘ilmī yakni the so- called tafsir ‘ilmī “scientific exegesis”, which seeks to draw all possible fields of human knowledge into the interpretation of the Koran , tafsir yang mencoba memindahkan semua pengetahuan kemanusiaan yang memungkinkan ke dalam penafsiran Alquran (J.J.G. Jansen, 1974: 35).

Dengan demikian tafsir ‘ilmī merupakan bagian dari metode penafsiran yang memanfaatkan ilmu pengetahuan manusia dengan tujuan untuk menguatkan kandungan ayat-ayat Alquran. Juga memahami ayat-ayat Alquran sesuai dengan perkembangan zaman dan kemajuan ilmu pengetahuan. Para ulama memperbincangkan korelasi sekaligus relevansi antara ayat-ayat kauniyah dengan ilmu pengetahuan modern yang ada pada masa sekarang. Sejauhmana paradigma- paradigma ilmiah tersebut memberikan dukungan dalam memahami ayat-ayat Alquran dan menggali berbagai jenis ilmu pengetahuan. Melalui teori-teori baru akhirnya ditemukan hukum-hukum alam, astronomi, teori kimia, ilmu kedokteran, fisika, zoology, fisika, botani, geografi dan lain-lain.

Definisi-definisi tafsir sebagai tersebut di atas memberikan gambaran bahwa kegiatan penafsiran ayat-ayat Alquran (baca: tafsir ‘ilmī), dapat dilakukan oleh setiap individu yang memiliki kompetensi di bidangnya. Tidak terikat oleh agama yang dianut; Muslim ataupun non-Muslim. Namun demikian, karya-karya tafsir ilmuwan-ilmuwan Barat layak untuk ditinjau ulang mengingat motivasi mereka mempelajari Islam cenderung menggunakan pendekatan non normatif.

Tafsir ‘ilmī pada awalnya dibangun berdasarkan asumsi bahwa Alquran mengandung berbagai macam ilmu baik yang sudah maupun yang belum ditemukan. Secara historis munculnya penafsiran model ini banyak dikaitkan dengan masa kepemimpinan Dinasti Abbasiyah, khususnya masa pemerintahan Har ūn ar-Rasyīd (169-194 H/785-809 M) dan al-Ma’mūn (198-215 H/813-830 M). Di mana pada saat itu terjadi perkembangan berbagai ilmu pengetahuan, termasuk penerjemahan buku-buku ilmiah seiring dengan adanya interaksi antara Islam dengan dunia luar (Yunani).

Di antara karya tafsir yang bercorak ‘ilmī dan mengandung penafsiran ayat-ayat kauniyah dalam Alquran adalah: at-Tafs īr al-Kabīr karya Imam Fakhru ar-R āzī, Jawāhir Quran dan Ihyā’ Ulūmiddīn karya Imam al-Gazālī, at-Tafsīr al- ’Ilmī karya Imam as-Suyūtī (Rosihon Anwar: 2005: 172), tafsir al-Mursī karya Abu Fadl al-Murs ī, tafsir al-Manār karya Rasyīd Ridā, Fī Dilāli Alquran karya Sayyid Qutb, al-Jaw āhir fi Tafsīr Alquran karya Tantāwi Jauharī (Mannā‘ al- Qattān: 1973: 371-373), al-Islām Yatahaddā karya Wahid ad-Dīn Khan, al-Islām

f ī ‘Asri al-’Ilmī karya Muhammad Ahmad Gamrawī, al-Wiza wa ad-Dawā’ karya Jamal ad-D īn al-Fandi dan Alquran wa al-‘Ilm al-Hadīs karya Abd ar-Razzāq Nauf āl.

B. Tokoh-Tokoh dalam Corak Tafsir ‘Ilmī beserta Contoh-Contohnya

Untuk mempertajam pemahaman tentang tafsir ‘ilmī ini, akan dikemukakan uraian singkat mengenai beberapa tokoh beserta contoh penafsiran sebagai berikut:

1. Penafsiran Abū Hamīd al-Gazālī (450-505 H/ 1058-1111 M). Beliau disebut-sebut sebagai salah satu tokoh generasi awal, di mana dianggap ikut memberikan legitimasi terhadap munculnya penafsiran ini. Hal itu ditunjukkan melalui ungkapan-ungkapan dan riwayat-riwayat yang disebutkan dalam beberapa karyanya, di antaranya:

Sesungguhnya Alquran mencakup tujuh puluh tujuh ribu seratus ilmu. Setiap kalimat adalah ilmu yang dilipat gandakan empat kali, memiliki makna zāhir dan bātin.

Siapa yang menghendaki ilmu para awwalīn (klasik) dan para ākhirīn (modern) maka bertadabburlah dengan Alquran.

Setiap ilmu adalah manifestasi dari żat, sifat dan perbuatan Allah. Hal ini dijelaskan dan diisyaratkan secara keseluruhan dalam Alquran. Ilmu ini tidak terbatas, akan tetapi terjadi perbedaan pendapat dan rasionalitas terhadap hal itu, sehingga memerlukan teori-teori dan dalil-dalil yang hanya dipahami oleh para ahli (al- ′Imām al-Gazālī, t.t: 290).

Dalam perkembangannya al- Gazālī kemudian juga memetakan ilmu-ilmu Alquran dalam dua bagian, yaitu:

Pertama, ilmu-ilmu cangkang dan kulitnya, mencakup ilmu bahasa yang mengkaji kosakata dari segala aspeknya seperti nahwu dan sebagainya, juga yang berkaitan dengan cara membaca dan mengucapkan teks seperti qirā’at, makhārij al-hurūf (fonologi), atau juga ilmu tafsir secara tekstual zāhir. Kedua, ilmu-ilmu inti yang mencakup kisah-kisah umat terdahulu, ilmu kalam, fikih, usūl fiqh, ilmu tentang Allah ( ma’rifatullah) dan hari akhir, ilmu tentang sirāt al-mustaqīm (jalan yang lurus) dan jalan sulūk (Muhammad Husain az-Zahabi, 2001: 350).

نابسبح املهزانمو رمقلاو سمشلا ةفرعم ريدقت الله لاعفأ نمو } 8 - 6 راطفنلا ا{ ]َكَبَّكَر َكِلذ اََله ٍ رَقَ تْسُمِل ىِرَْتَ ُسْمَّشلاَو[ هلوقو } 5 :نحمرلا{ ]ٍنَابْسُِبح ُرَمَقْلاَو ُسْمَّشلا[ هلوقو

Selain itu al- Gazālī juga menyebutkan bahwa terdapat ilmu-ilmu lain dalam Alquran, seperti ilmu kedokteran “Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku” Q.S. asy-Syu‘arā’/26: 80, “Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu yang Maha Pemurah. Yang telah menciptakan kamu lalu meyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh) mu seimbang. Dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu.”(Mujamma’: 1415: 579, 1032). Q.S. al-Infitār/82: 6-8, dan dari ilmu-ilmu yang terdapat dalam Alquran adalah ilmu astronomi “Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan.” Q.S. ar-Rahmān/55: 5, “Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (Mujamma’: 1415: 885, 710), Q.S. Yāsīn/36: 38 (Muhammad Husain az-Zahabi, 2001: 350-351).

2. Setelah al- Gazālī, muncul nama Jalāl ad-Dīn as-Suyūtī (849-911 H / 1445- 1505 M) yang juga dinilai mendukung pemahaman dan penafsiran ini. Hal ini ditujukkan melalui pengutipan beberapa ayat dan riwayat yang menunjukkan bahwa Alquran mencakup segala bentuk ilmu pengetahuan (Muhammad Husain az-Zahabi, 2001: 351), antara lain:

"Tiadalah kami alpakan sesuatupun dalam al-Kitāb." Q.S. al-‘An‘ām/6: 38.

“Dan kami turunkan kepadamu al-Kitab (Alquran) untuk menjelaskan segala sesuatu.” Q.S. an-Nahl/16: 89.

Diriwayatkan oleh at- Tirmīżī dan yang lainnya: Rasulullah saw. bersabda: “Akan terjadi fitnah atau penyimpangan,” para sahabat bertanya: “Apa yang menjadi jalan keluar…?” Nabi menjawab: “Kitab Allah (Alquran) di dalamnya terdapat

informasi tentang sesuatu sebelum dan sesudah kalian, hal itu menjadi solusi bagi kalian.”

هلوق نم نوتسو ثلاث ملسو هيلع الله ىلص بينلا رمع نأ طبنتسا هنأ ةلدلأا هذه قوسي } 11 :نوقفانلما{ ]اَهُلَجَأ َءاَج اَذِإ اًسْفَ ن ُالله َرِ خَؤُ ي ْنَلَو[ لىاعت

Dari dalil-dalil tersebut as-Suy ūtī memberikan interpretasi tentang umur Nabi Muhammad saw. yaitu 63 tahun sebagaimana dalam firman Allah “Dan Allah

sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya.”(Mujamma’: 1415: 938) Q.S. al-Munāfiqūn/63: 11 Muhammad Husain az-Zahabi, 2001: 350-351).

3. Tokoh berikutnya adalah Muhammad Ibn ‘Abdullah Ibn Abi al-Fadl as- Sulamī al-Mursī atau yang dikenal dengan Abu al-Fadl al-Mursī (w. 655 H/ 1257 M). Dalam tafsirnya al- Mursī mengatakan bahwa

ثم ،هب ملكتلما لاإ ةقيقح املع ابه طيح لم ثيبح ،نيرخلآاو ينلو لأا مولع نآرقلا عجم مظعم هنع ثرو ثم ،لىاعتو هناحبس هب رثأتسا ام لاخ ،ملسو هيلع الله ىلص الله لوسر

سابع نباو دوعسم نباو ،ةعبرلأا ءافللخا لثم ،مهملاعأو ةباحصلا تاداس كلذ

Alquran mencakup ilmu klasik dan modern secara keseluruhan. Tiada yang mengetahuinya secara sempurna selain Allah, kecuali yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw. dan diwariskan kepada para sahabat seperti al- Khulafā’ ar- Rāsyidūn, Ibn Mas‘ūd, Ibn ‘Abbās dan sebagainya (Muhammad Husain az- Zahabi, 2001: 352).

Dalam perkembangannya, generasi penerus sahabat tersebut menurut al- Mursī tidak mampu merepresentasikan ilmu-ilmu tersebut secara baik dan

menyeluruh, sehingga lahir golongan-golongan yang hanya concern terhadap disiplin yang mereka kuasai. Di antara tipikal-tipikal golongan-golongan tersebut:

،هفاصنأو ،هبازحأو ،هروسو ،هتياآو ،هتاملك ددعو ،اهددعو ،هفورح جراخبم موق نىتعا فورلحاو لاعفلأاو ءاسملأا نم نىبلماو هنم برعلمبا نىتعا موقو هتادجس ددعو هعبارأو وأ دحاو نىعم ىلع لدي ام نادجول هظافلبأ نورسفلما نىتعاو ىدعتلماو مزلالاو ة لماعلا هدوجوو الله ةينادحو فى ةيعطقلا ةلدلأبا نويلوصلأا نىتعاو ىفلخا وأ رثكأ وأ ينينعم ام اهنم تأرف هباطخ نىاعبم ةفئاط تنتعاو ،)نيدلا لوصأ( هملعو هتردقو همدقو هءاقبو صنلاو رامضلإاو صيصختلاو زالمجاو ةقيقلحاو صوصلخا ىضتقي امو مومعلا ىضتقي

،ءارقتسلااو لالحا باحصتساو خسنلاو يهنلاو رملأاو هباشتلماو مكلمحاو لملمجاو رهاظلاو تنتعاو ،عورفلاو لوصلأاو ماكحلأا رئاسو مارلحاو للالحا نم هيف ابم ةفئاط تنتعاو ركذو يرشبتلا و ديعولاو دعولاو ةي لالخا مملأاو ،ةقباسلا نورقلا صصق نم هيف ابم ةفئاط ابم موق تىنعاو ،يااصولاو ضئارفلا ملعو ثيراولما نم هيف ابم موق ذخأو ,رانلاو ةنلجاو تولما ءارعشلا رظنو ،جوبرلاو هلزانمو رمقلاو سمشلاو ليللاو راهنلا ىلع ةلادلا تيالآا نم هيف صلاخلماو عطاقلماو ئدابلم او قايسلا نسحو مظنلا عيدبو ظفللا ةلازج نم هيف ام لىا و ةقيقلحا لىا رظن نمو ،نايبلاو عيدبلاو نىاعلما نمو بانطلإاو باطلخا فى نيولتلاو

.كلذ هبشأ امو ةبيلهاو فولخاو روضلحاو ءاقبلاو ءانفلا نم قئاقدلاو تاراشلإا

Golongan yang menekankan cara membaca makhārij al-hurūf dan jumlahnya, ayat-ayat, surat, ahzāb, ansāf, arbā‘, jumlah sajdah (qurrā’), menekankan kaidah

dan muta‘addī, menafsirkan secara tekstual, mencari dan menjelaskan kata yang memiliki satu, dua atau banyak makna, termasuk mengungkapkan makna yang tersembunyi, mencari dalil ke-Esaan, wujud, keabadian, kodrat, ilmu-Nya ( usūluddīn), mencari dan memilah ayat-ayat yang umum, khusus, makna hakekat dan majāz, takhsīs, damīr, nas, żāhir, mujmal, muhkam, mutasyābih, ‘amr, nahyu, naskh, istishāb al-hāl, istiqrā’, mencari ayat-ayat yang berbicara tentang halal, haram, segala bentuk hukum dan aturan, dasar-dasar dan cabang-cabangnya, mencari ayat yang memuat kisah-kisah masa lampau, umat terdahulu ( tārīkh), kemudian berkembang pada ayat-ayat tentang janji, ancaman, kabar gembira, mengingat mati, surga, neraka, mencari ayat-ayat yang berkaitan dengan warisan, farā’id dan wasiat, mencari ayat-ayat yang menunjukkan siang, malam, matahari, bulan dan peredarannya, rasi bintang ( mawāqīt), menekankan aspek sastra seperti keindahan kata dan kalimat, susunannya, alur, permulaannya, berhentinya, selesainya, pemberian warna dalam pembicaraan ( badī’, ma‘ānī dan bayān), menekankan aspek hakekat, isyarat dan yang bersifat metafisis seperti konsep fanā’, baqā’, hudūr, takut, kehebatan dan lain-lain (Muhammad Husain az- Zahabi, 2001: 353).

Menurut al- Mursī, ilmu-ilmu tersebut adalah ilmu-ilmu yang dikenal oleh generasi awal ( awwalūn) dalam tradisi Islam. Di luar ilmu-ilmu tersebut dalam Alquran juga terdapat ilmu-ilmu lain seperti medis dan kedokteran sebagaimana ditunjukkan dalam firman Allah swt.

Artinya: “…minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia.” Q.S. an-Nahl/16: 69 (Mujamma’, 1415: 412).

Ilmu tentang astronomi terdapat dalam firman Allah swt.

Artinya: “…atau peninggalan dari pengetahuan (orang-orang dahulu)…” Q.S. al- Ahq āf/46: 4 (Mujamma’, 1415: 882).

Juga ilmu arsitektur sebagaimana firman Allah swt.

} 31 - 30 :تلاسرلما{ ِبَهَّللا َنِم ِنىْغُ ي َلاَو ٍلْيِلَظ َلا ٍبَعُش ِثَلاَث ْىِذ ٍ لِظ َلىِإ اْوُقِلَطْنِا

Artinya: “Pergilah kamu mendapatkan naungan yang mempunyai tiga cabang. Yang tidak melindungi dan tidak pula menolak nyala api neraka.” Q.S. al- Mursal āt/77: 30-13 (Mujamma’, 1415: 1010).

Dalam ayat di atas (al-Mursal āt: 30-31) menurut al-Mursī terdapat kaidah tentang ilmu arsitektur, bahwa bentuk segitiga tidak memiliki ruang (karena segitiga merupakan bangun datar).

Selain itu menurut al- Mursī, dalam Alquran juga terdapat dasar-dasar industri Selain itu menurut al- Mursī, dalam Alquran juga terdapat dasar-dasar industri

37 (Mujamma’, 1415: 737), kerajinan emas dan perak, “Dan kaum Musa, setelah kepergian Musa ke gunung thur membuat dari perhiasan-perhiasan (emas) mereka anak lembu yang bertubuh…” Q.S. al-′A‘rāf/7: 148 (Mujamma’, 1415: 224), kerajinan kaca, “…yang licin terbuat dari kaca.” Q.S. an-Naml/27: 44 (Mujamma’, 1415: 598-599), gerabah, “…maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat…” Q.S. al-Qasas/28: 38 (Mujamma’, 1415: 616), pelayaran dan navi gasi “Adapun bahtera itu…” Q. S. al-Kahfi/18: 79 (Mujamma’, 1415: 456), tulis menulis, “ Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam” Q.S. al- ‘Alaq/96: 4 (Mujamma’, 1415: 1079), pembuat roti, “…bahwa aku membawa roti di atas kepalaku…” Q.S. Yūsuf/12: 36 (Mujamma’, 1415: 354), memasak “…daging anak sapi yang dipanggang.” Q.S. Hūd/11: 69 (Mujamma’, 1415: 338), mencuci, “Dan pakaianmu bersihkanlah.” Q.S. al-Mudassir/74: 4 (Mujamma’, 1415: 992) , jagal, “…kecuali yang sempat kamu menyembelihnya…” Q.S. al- Mā’idah/5: 3 (Mujamma’, 1415: 157), tukang batu, “Dan kamu pahat sebagian dari gunung- gunung untuk dijadikan rumah dengan rajin.” (Mujamma’, 1415: 584) Q.S. asy- Syu‘arā’/26: 149 (Muhammad Husain az-Zahabi, 2001: 354-355).

Penyebutan nama-nama tokoh tafsir ‘ilmī ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk memihak salah satu mazhab dalam Islam, melainkan dalam rangka menyuguhkan data-data generasi pertama (pionir) yang dinilai telah memulai kajian mereka tentang corak tafsir ‘ilmī.

Contoh lain dari corak tafsir ‘ilmī adalah penafsiran ayat-ayat yang berhubungan dengan teknologi modern seperti:

ْأَشَن ْنِإ َو َنْوُ بَكْرَ ي اَم هِلْثِم ْنِم ْمَُله َانْقَلَخَو ِنْوُحْشَمْلا ِكْلُفْلا ِفى ْمُهَ تَّ يِ رُذ َانْلََحم َّناَأ ْمَُله ٌةَياَو ) 44 - 41 :سي{ ٍْينِح َِلىإ ًاعَاتَمَو َّانِم ًةَْحمَر َّلاِإ َنْوُذَقْ نُ ي ْمُه َلاَو ْمَُله َخْيِرَص َلاَف ْمُهْ قِرْغُ ن

Artinya:

Dan suatu tanda kekuasaan Allah yang besar bagi mereka adalah bahwa Kami angkut keturunan mereka dalam bahtera yang penuh muatan. Dan kami ciptakan untuk mereka yang akan mereka kendarai seperti bahtera itu. Dan jika Kami menghendaki niscaya Kami tenggelamkan mereka, maka tiadalah bagi mereka penolong dan tidak pula mereka diselamatkan. Tetapi (Kami selamatkan mereka) karena rahmat besar dari Kami dan untuk memberikan kesenangan hidup sampai pada suatu ketika.Q.S. Y āsīn/36: 41-44 (Mujamma’, 1415: 711).

Pada ayat 41-44 ini Allah mengajak manusia untuk memperhatikan alat- alat transportasi baik di laut, darat maupun udara di samping perihal keselamatan dalam perjalanan. Seperti kapal laut dan sarana transportasi laut modern, kereta api dan mobil kontainer. Juga mencakup sarana penemuan transportasi pribadi seperti mobil dan motor sebagai ganti kuda atau keledai pada zaman sebelumnya. Maka perkembangan teknologi di abad ini bukan merupakan hal yang aneh, karena telah diisyaratkan Alquran melalui ayat 42 surat Yāsīn ini (Nasruddin Baidan dan Erwati Aziz, 2009: 70-71).

Tentang problematika kerusakan lingkungan salah satunya tercantum dalam Alquran surat al- ′A‘rāf/ 7: 85 sebagai berikut:

Ilmu pengetahuan modern menetapkan bahwa manusia telah berbuat ‘kejahatan’ dalam mempergunakan sumber-sumber alam yang disediakan Allah

untuk kepentingan mereka. Kejahatan tersebut masih terus berlangsung hingga sekarang. Sebagai contoh adalah kerusakan tanah pertanian sebagai akibat dari penumpukkan materi-materi keras yang dihasilkan pabrik-pabrik, ladang-ladang, pemukiman, jalan-jalan dan sebagainya. Tertutupnya tanah pertanian dengan lapisan yang tidak berpori yang disebabkan pemakaian pupuk kimia dan pemakaian senyawa pembasmi hama yang mengakibatkan berkurangnya produksi lahan pertanian (Muhammad Kamil Abdussamad: 2002, 133-134).

Bukti-bukti di atas telah menunjukkan dengan sangat jelas akan eksistensi ayat-ayat Alquran yang berbicara tentang ilmu pengetahuan dan teknologi. Bila ditelusuri di dalam Alquran terdapat sekitar 750 ayat-ayat ilmiah (Muhammad Kamil Abdussamad, 2002: 28). Di dalamnya mencakup berbagai macam ilmu pengetahuan yang diungkapkan sebagai bukti kemukjizatan Alquran.

Ilmu pengetahuan modern telah membuktikan bahwa tidak ada realita ilmiah yang kontradiksi dengan isi kandungan Alquran. Perbedaan yang dituduhkan terhadap Alquran sebenarnya timbul dari hakekat qurani yang salah tafsir. Manakala ditemukan ayat-ayat Alquran yang terindikasi kontra dengan teori-teori ilmiah maka kaji ulang terhadap kandungan ayat-ayat tersebut merupakan solusi terbaik yang harus dilakukan.

Pada dasarnya tidak pantas membuktikan Alquran dengan ilmu pengetahuan maupun teknologi. Tapi keduanyalah yang wajib dibuktikan dan dicarikan dasarnya dari ayat-ayat Alquran. Hal ini disebabkan fakta dan realita bahwa Alquran memiliki tingkat kebenaran yang paling benar. Alquran merupakan firman Allah sedangkan penemu ilmu pengetahuan dan teknologi adalah manusia. Dengan demikian mukjizat Alquran terletak pada kepioniran dalam menyatakan hal-hal yang baru saja ditemukan oleh penelitian ilmiah. (Muhammad Kamil Abdussamad, 2002: 11-12).

C. Kelebihan Corak Tafsir ‘Ilmī

Di antara kelebihan corak tafsir ‘ilmī adalah:

1. Menjawab tantangan zaman Problem-problem kehidupan senantiasa berkembang sesuai dengan

perkembangan zaman dan kehidupan itu sendiri. Dalam tinjauan tafsir ‘ilmī problem-problem tersebut tidak mungkin bisa diatasi kecuali dengan solusi-solusi ilmiah yang bersumber dari penafsiran ayat-ayat Alquran yang relevan. Sehingga perkembangan zaman dan kehidupan itu sendiri. Dalam tinjauan tafsir ‘ilmī problem-problem tersebut tidak mungkin bisa diatasi kecuali dengan solusi-solusi ilmiah yang bersumber dari penafsiran ayat-ayat Alquran yang relevan. Sehingga

2. Praktis dan sistematis Dalam memecahkan suatu masalah corak tafsir ‘ilmī disusun secara praktis

sesuai dengan permasalahan yang dihadapi pada kurun masa tertentu. Sehingga sangat memungkinkan bagi umat untuk mendapatkan petunjuk Alquran dengan mudah.

3. Dinamis Corak tafsir ‘ilmī hadir dengan membawa angin segar dalam tradisi

keilmuan modern sesuai dengan tuntutan zaman. Hal ini akan memberikan daya tarik tersendiri bagi umat untuk mengamalkan ajaran-ajaran Alquran.

D. Kekurangan Corak Tafsir ‘Ilmī

Selain memiliki kelebihan, corak tafsir ‘ilmī juga tak luput dari kekurangan. Adapun kekurangan corak ini antara lain adalah:

1. Bersifat temporal Penafsiran-penafsiran yang dihasilkan oleh tafsir ‘ilmī cenderung berubah-

ubah sesuai dengan perkembangan situasi sosial, budaya, ilmu pengetahuan dan perkembangan peradaban manusia. Hal ini relevan dengan karakteristik Alquran yang mengandung berita masa silam dan kondisi masa yang akan datang (Rohimin, 2007: 89). Perubahan-perubahan dalam penafsiran ini merupakan sebuah keniscayaan yang tak terelakkan sebagai buah dari adanya perbedaan di antara mufasirrun dalam memahami ayat-ayat Alquran, baik yang bersifat qat ‘ī maupun bersifat dannī. Arkoun, seorang pemikir Aljazair Kontemporer seperti dikutip Abuddin Nata menyatakan Alquran memberikan kemungkinan- kemungkinan arti yang tidak terbatas. Kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya ubah sesuai dengan perkembangan situasi sosial, budaya, ilmu pengetahuan dan perkembangan peradaban manusia. Hal ini relevan dengan karakteristik Alquran yang mengandung berita masa silam dan kondisi masa yang akan datang (Rohimin, 2007: 89). Perubahan-perubahan dalam penafsiran ini merupakan sebuah keniscayaan yang tak terelakkan sebagai buah dari adanya perbedaan di antara mufasirrun dalam memahami ayat-ayat Alquran, baik yang bersifat qat ‘ī maupun bersifat dannī. Arkoun, seorang pemikir Aljazair Kontemporer seperti dikutip Abuddin Nata menyatakan Alquran memberikan kemungkinan- kemungkinan arti yang tidak terbatas. Kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya

2. Adanya kecendrungan keteledoran dan keberlebihan penafsiran Hal ini terkait dengan usaha beberapa kalangan mufassirīn dalam

menafsirkan ayat-ayat Alquran untuk mendukung penafsiran ilmiah atau teori- teori kontemporer yang muncul berkenaan dengan perkembangan kehidupan umat (Abuddin Nata, 1998: 97).

E. Kontra Tafsir ‘Ilmī

Munculnya penafsiran dengan corak ‘ilmī ternyata belum dapat diterima bahkan dinilai kontra oleh beberapa mufassirun. Dalam ijtihad mereka ayat-ayat Alquran diturunkan dengan kesempurnaan petunjuk tentang segala aspek dalam dimensi kehidupan manusia. Sehingga penafsiran secara ilmiah dianggap mereduksi kandungan ayat-ayat Alquran.

Salah seorang tokoh yang kontra dengan penafsiran model ini adalah Abū Ishāq asy-Syatibī (w. 790 H/ 1388 M).

13 - َنْوُقْلُ ي 12 ْذِإ ْمِهْيَدَل َتْنُك َامَو َكْيَلِإ ِهْيِحْوُ ن ِبْيَغْلا ِءَابْنَأ ْنِم َكِلذ[ خيراتلا ملعو ،} َلاَو اْوُ بَرْشاَو اْوُلُكَو...[ بطلا ملع و ,} 44 :نارمع لآ{ ]...ََيْْرَم ُلُفْكَي ْمُهُّ يَأ ْمُهَمَلاْقَأ ىَلَع ُّنِْلجا َو ُسْنِلإْا ِتَعَْجما ِنِئَل ْلُق[ ةغلابلا نونف ملعو ،} 31 :فارعلأا{ ]...اْوُ فِرْسُت :ءارسلإا{ ]اًْيرِهَظ ٍضْعَ بِل ْمُهُضْعَ ب َناَك ْوَلَو ِهِلْثِِبم َنْوُ تَْيَ َلا ِن آْرُقْلا اَذه ِلْثِِبم اْوُ تَْيَ ْنَأ

Menurutnya Alquran diturunkan mempertimbangkan kemaslahatan penerimanya dengan menunjukkan berbagai ilmu yang berguna dan mampu

diterima oleh rasionalitas masyarakat Arab waktu itu. Syari’at tersebut menyempurnakan hal-hal yang telah ada sebelumnya dan membatalkan yang batil di dalamnya, termasuk menjelaskan yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat bagi mereka (menurut as- Syatibī, ramal dan perdukunan merupakan pengetahuan yang tergolong batil). Sementara di antara ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi masyarakat Arab waktu itu, di antaranya: astronomi yang dapat menjadi petunjuk di dar at dan laut, perbedaan waktu dan yang berhubungan dengannya, “Dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut…” Q.S. al-′An‘ām/6: 97 (Mujamma, 1415: 203), meteorologi, “Dialah Tuhan yang memperlihatkan kilat kepadamu untuk menimbulkan ketakutan dan harapan, dan Dia mengadakan awan mendung. Dan guruh itu bertasbih dengan memuji Allah…” Q.S. ar-Ra‘d/13: 12-

13 (Mujamma, 1415: 370) , sejarah, “Yang demikian itu adalah sebagian dari berita-berita gaib yang Kami wahyukan kepada kamu (ya Muhammad); padahal kamu tidak hadir beserta mereka, ketika mereka melemparkan anak-anak panah mereka (untuk mengundi) siapa di antara mereka yang akan memelihara 13 (Mujamma, 1415: 370) , sejarah, “Yang demikian itu adalah sebagian dari berita-berita gaib yang Kami wahyukan kepada kamu (ya Muhammad); padahal kamu tidak hadir beserta mereka, ketika mereka melemparkan anak-anak panah mereka (untuk mengundi) siapa di antara mereka yang akan memelihara

58 (Muhammad Husain az-Zahabi, 2001: 355-356). Asy- Syatibī juga mengemukakan bahwa salaf as-sālih para sahabat dan

tabi‘īn adalah orang-orang yang mengetahui segala sesuatu yang terkait dengan Alquran dan ilmu-ilmunya, akan tetapi tidak ada ungkapan-ungkapan mereka

yang menunjukkan atau setidaknya berkaitan dengan sains. Hal itu menurutnya merupakan salah satu bukti bahwa Alquran tidak ditujukan sebagai penjelas atas segala problematika ilmu pengetahuan.

Senada dengan hal itu, aż-Żahabī juga menunjukkan beberapa kelemahan dalam penafsiran model tafsir ‘ilmī ini, di antaranya:

1. Aspek Bahasa: Bahasa selalu mengalami perkembangan, sehingga sebuah kata tidak hanya memiliki satu makna akan tetapi memiliki berbagai makna termasuk penggunaannya dari waktu ke waktu. Meskipun demikian, pada umumnya ayat-ayat Alquran dipahami dengan tetap memperhatikan latar belakang pemaknaan pada saat ayat itu turun, yang di antaranya diketahui melalui informasi para sahabat dan masyarakat Arab pada waktu itu. Memperluas pemaknaan sebuah ayat dengan istilah-istilah baru sains tanpa memperhatikan latar belakang pemaknaan, sementara hal itu tidak pernah dikenal sebelumnya dinilai merupakan sesuatu yang tidak rasional.

2. Aspek Retoris: Alquran dikenal memiliki nilai dan kualitas retorika yang tinggi sehingga selalu terdapat korelasi dalam sebuah ayat dengan ayat-ayat yang lainnya termasuk dari aspek pemaknaannya. Adanya anggapan bahwa Alquran mencakup seluruh ilmu pengetahuan, bahkan mengaitkan ayat-ayat Alquran dengan istilah-istilah sains dan ilmu pengetahuan tanpa memperhatikan korelasinya dengan ayat-ayat yang lain adalah sesuatu yang mengurangi ketinggian nilai Alquran.

3. Aspek Akidah: Alquran adalah kebenaran mutlak yang diturunkan kepada seluruh manusia secara sempurna, tidak akan pernah lekang dimakan waktu sehingga selalu dapat di dipahami dan diaplikasikan sepanjang masa. Sementara kebenaran temuan ilmiah adalah sesuatu yang bersifat tentatif dan relatif, dalam arti bahwa teori-teori sains tersebut dapat diruntuhkan oleh teori lain sebagaimana dikenal dalam dunia saintifik. Mensejajarkan ayat-ayat Alquran dengan teori dan temuan-temuan saintifik dengan demikian merupakan sesuatu yang tidak bisa diterima karena jika teori-teori tersebut runtuh maka kebenaran Alquran seolah- olah juga runtuh (Muhammad Husain az-Zahabi, 2001: 359-361).

F. Urgensi Tafsir ‘Ilmī

Bila diamati dalam Alquran terdapat dua bentuk relitas, yaitu realitas yang dapat didekati dengan pengalaman empirik melalui eksperimen dan observasi, dan realitas yang berada di luar jangkauan pengalaman inderawi (metafisik). Realitas empiris dijabarkan dan dipahami melalui penalaran, sementara realitas metafisik lebih memerlukan pendekatan iman (Rohimin, 2007: 86). Realitas metafisik diartikan sebagai realitas yang berada di luar persepsi manusia dan tidak dapat dibuktikan melalui observasi ilmiah.

Memahami ayat-ayat Alquran yang berhubungan dengan kauniyah dan eksistensi manusia tidak cukup dengan tafsiran harfiah, tetapi dibutuhkan banyak disiplin ilmu khususnya ilmu kealaman dan sosial. Penafsiran yang diberikan oleh Memahami ayat-ayat Alquran yang berhubungan dengan kauniyah dan eksistensi manusia tidak cukup dengan tafsiran harfiah, tetapi dibutuhkan banyak disiplin ilmu khususnya ilmu kealaman dan sosial. Penafsiran yang diberikan oleh

Penafsiran ayat-ayat Alquran secara ilmiah ditujukan untuk meluaskan cakupan hakikat dari ayat-ayat Alquran. Kemudian memperdalam berbagai makna yang terkandung di dalamnya. Sehingga mengakar dalam jiwa dan pemikiran manusia dengan jalan mengambil hikmah dari ekplorasi teori-teori keilmuan kontemporer yang tercakup dalam makna-maknanya.

Isyarat untuk mengkaji ayat-ayat Alquran dalam ranah ilmu pengetahuan telah tersirat melalui petunjuk Allah pada peristiwa Isrā’ dan Mi‘rāj Nabi Muhammad saw. Sebagai diketahui bahwa kendaraan yang digunakan oleh beliau pada saat itu (buraq) memiliki kecepatan yang sangat tinggi, sehingga sesuai dengan namanya digambarkan seperti kilat. Fakta ilmiah ini kemudian dibuktikan dengan lahirnya teori kecepatan cahaya.

Dengan bertitik tolak pada indikasi kebutuhan di atas, maka corak tafsir ‘ilmī sangat urgen posisinya dalam khazanah intelektual Islam. Penafsiran corak

‘ilmī memberikan solusi bagi penyelesaian persoalan-persoalan umat sesuai dengan masanya.

G. Perkembangan Tafsir ‘Ilmī

Dalam perjalanannya, tafsir ‘ilmī mengalami perkembangan dan mendapat perhatian cukup besar dari kalangan intelektual Islam. Jika pada awal kemunculannya lebih bermuara pada pengaruh-pengaruh tradisi Yunani khususnya bidang keilmuan filsafat, arus perkembangan tafsir ‘ilmī pada era selanjutnya sangat berkaitan dengan pengaruh superioritas Barat dan teknologinya di dunia Arab dan dunia Islam. Terlebih pada saat terjadi ekspansi Barat dan

Eropa di kawasan Muslim, semisal pendudukan Inggris di Mesir (1300 H/ 1882 M).

Berbagai pembicaraan hubungan antara Alquran dan berbagai ilmu pengetahuan pada masa ini tercatat dalam berbagai tulisan, di antaranya:

1. Muhammad Ibn Ahmad al- Iskandarānī dengan karyanya Kasyf al-Asrār an- Nūrāniyyah al-Qur’āniyyah, fīmā Yata‘allaqu bi al-Ajram as-Samāwiyyah, wa al-Ardiyyah wa al- Hayawānāt wa an-Nabātāt wa al-Jawāhir al-Ma‘daniyyah, ditulis dalam 3 (tiga) jilid, dipublikasikan di Kairo (1297 H/ 1880 M) beberapa tahun sebelum penjajahan Ingrris, di dalamnya mendiskusikan tentang benda- benda angkasa, bumi, hewan-hewan, serangga-serangga, mineral dan sebagainya. Karyanya yang lain Tibyān al-Asrār ar-Rabbāniyyah, dipublikasikan (1331 H/ 1883 M) setelah penjajahan Inggris.

2. ‘Abdullah Basya Fikrī dengan karyanya Muqāranah Ba‘d al-Mabāhis al- Hai′ah (1315 H/ 1897 M).

3. ‘Abdurrahmān al-Kawākibī dengan karyanya Tabā‘i’ al-Istibdād wa Masyāri‘ al-Istibdād (1318 H/ 1900 M).

4. Mukhtār al-Gāzī dengan karyanya Riyād al-Mukhtār.

5. Mustafā Sadīq ar-Rafi‘ī I’jāz Alquran.

6. Taufīq Sidqī dengan karyanya ad-Dīn fi Nazar al-‘Aql as-Sahīh (1323 H/ 1905 M) dicetak ulang (1346 H/ 1927 M) dan Durūs Sunan Kā’ināt, Muhadarāt Tibiyyah ‘Ilmīyyah Islāmiyyah (1328 H/ 1910 M) tentang ilmu kimia, biologi dan sebagainya.

7. Tantawi Jauharī, al-Jawāhir fī Tafsīr Alquran al-Karīm (1341 H/ 1922 M) dan Alquran wa al- ‘Ulūm al-‘Asriyyah (1344 H/ 1925 M).

8. ‘Abdul ‘Azīz Ismā‘īl, al-Islām wa at-Tib al-Hadīs tulisan-tulisannya dalam majalah al-Azhar (1357 H/ 1938 M).

9. Abdurrahmān Syahin, I‘jāz Alquran wa al-Iltisāfāt al-Hadīsah (1369 H/ 1950 M).

10. Farid Wajdi (1292-1359 H/ 1875-1940 M) dengan al-Mushaf al-Mufassar dan 10 jilid ensiklopedi berjudul Dā΄irāt Ma‘ārif al-Qarn ar-Rābi‘ ‘Asyr al- ‘Isyrīn.

11. Husain al-Harwi, an-Naz ariyyāt al-‘Ilmīyyah fi Alquran (1361 H/ 1942 M).

12. Hanafi Ahmad, Mu’jizat Alquran fī Wasf al-Kā’ināt (1374 H/ 1954 M) dicetak ulang dengan judul at- Tafsīr al-’Ilmī li al-Ăyāt al-Kauniyyah (1380H/ 1960 M dan 1388 H/ 1968 M).

13. Salāh ad-Dīn al-Khattāb, al-Jānib al-’Ilmī fī Alquran (1390 H/ 1970 M). (J.J.G. Jansen,1974: 40-50)

Untuk memperjelas gambaran tentang perkembangan tafsir ilmi ini selanjutnya dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel Perkembangan Tafsir Ilmi dari Masa ke Masa

No Masa

Nama Kitab Tafsir

Penulis

Awal (450-

Jawāhir Alquran

Abū Hamīd al-Gazālī

1 950 H/ 1050-

Jalāl ad-Dīn as-Suyūtī 1510 M)

at- Tafsīr al-‘Ilmī

at- Tafsīr al-Mursī

Abu al-Fadl al- Mursī

Kasyf al- Asrār an- Nūrāniyyah al-

Tengah (950-

Qur’āniyyah, fīmā

Muhammad Ibn Ahmad

2 1315 H/1510-

al- Iskandarānī 1897 M)

Yata‘allaqu bi al-Ajram

as-Sam āwiyyah, wa al- Ardiyyah wa al-

H ayawānāt wa an- Nabātāt wa al-Jawāhir

al- Ma‘daniyyah Tibyān al-Asrār ar-

Muhammad Ibn Ahmad

Rabbāniyyah

al- Iskandarānī

Muqāranah Ba‘d al-

‘Abdullah Basya Fikrī

Mabāhis al-Hai′ah

Muhammad Ahmad

al-Isl ām fī ‘Asri al-’Ilmī

Gamraw ī

No Masa

Nama Kitab Tafsir

Penulis

T abā‘i’ al-Istibdād wa

‘Abdurrahmān al-

Masyāri‘ al-Istibdād

Kawākibī

Riyād al-Mukhtār

Mukhtār al-Gāzī

Mustafā Sadīq ar-Rafi‘ī Akhir (1318

I’jāz Alquran

ad- Dīn fi Nazar al-‘Aql

3 H/1900 M- Taufīq Sidqī

as- Sahīh

sekarang)

Durūs Sunan Kā’ināt,

Muhadarāt Tibiyyah

Taufīq Sidqī

‘Ilmīyyah Islāmiyyah

al- Jawāhir fī Tafsīr

Tant awi Jauharī

Alquran al- Karīm Alquran wa al- ‘Ulūm al-

Tant awi Jauharī

‘Asriyyah al-Isl ām wa at-Tib al-

‘Abdul ‘Azīz Ismā‘īl

Hadīs I‘jāz Alquran wa al-

Abdurrah mān Syahin

Iltis āfāt al-Hadīsah al-Mushaf al-Mufassar

Farid Wajdi

Da’irāt Ma‘ārif al-Qarn

Farid Wajdi

ar- Rābi‘ ‘Asyr al-‘Isyrīn an-Naz ariyyāt al-

Husain al-Harwi

‘Ilmīyyah fi Alquran Mu’jizat Alquran fī Wasf

Hanafi Ahmad

al- Kā’ināt at- Tafsīr al-’Ilmī li al-

Hanafi Ahmad

Ăyāt al-Kauniyyah al- Jānib al-’Ilmī fī

Salāh ad-Dīn al-Khattāb

Alquran Tafsīr al-Manār

Rasyīd Ridā

No Masa

Nama Kitab Tafsir

Penulis

Fi D ilāli Alquran

Sayyid Qutb

‘Aisyah ‘Abd ar-Rahmān Akhir (1318

Tafsīr al-Bayān li

Alquran al- Karīm

binti asy- Syāti′i

3 H/1900 M-

Jamal ad-D īn al-Fandi sekarang)

al-Wiza wa ad-Daw ā’

al-Isl ām Yatahaddā

Wahid ad-D īn Khan

Alquran wa al- ‘Ilm al-

Abd ar-Razz āq Naufāl

Had īs

Di era perkembangan ini, arah perdebatan banyak berkutat pada sekitar persoalan apakah ilmu pengetahuan non-Islam dan non-Arab dari Barat dapat diterima di kalangan Muslim, atau apakah pemakaian mesin-mesin teknik Eropa diperbolehkan menurut hukum Islam dan sebagainya. Ada juga yang berupaya mengembalikan kejayaan Islam dalam mengembangkan berbagai ilmu pengetahuan, juga kondisi ekonomi, sosial dan politik sebagaimana periode keemasan Islam pada masa dinasti Abbasiyah sebagai bentuk upaya menyaingi kemajuan teknologi Barat dan Eropa.

Penutup

Penafsiran Alquran secara ilmiah merupakan usaha pengejawantahan petunjuk dan ajaran Alquran secara totalitas khususnya dalam bingkai ilmu pengetahuan. Ayat-ayat Alquran tidak akan pernah kering dari penafsiran dan interpretasi yang terus berkembang dari masa ke masa. Corak tafsir ‘ilmī sebagai salah satu bentuk produk ijtihad digunakan oleh mufassirun untuk mengungkap mukjizat ilmiah dalam Alquran.

Kegiatan penafsiran Alquran dengan corak ‘ilmī telah dimulai oleh para mufassirun terdahulu, diteruskan oleh mufassirun era kontemporer dan akan terus berlanjut seiring dengan kebutuhan umat manusia akan adanya legitimasi Alquran terhadap teori-teori ilmiah. Bukti-bukti bahwa ayat-ayat Alquran berbicara tentang ilmu pengetahuan serta teknologi dapat ditemukan secara jelas dan nyata dalam karya-karya tafsir para mufassirun tersebut. Hal ini semakin memperkokoh keyakinan bahwa risalah yang dibawa Alquran benar-benar lengkap adanya.

Meskipun demikian tidak semua ulama menerima corak tafsir ‘ilmī. Menurut ulama yang disebut terakhir ini ayat-ayat Alquran tidak lagi membutuhkan penafsiran ilmiah. Para sahabat dan tabi‘īn adalah orang-orang yang mengetahui segala sesuatu yang terkait dengan Alquran dan ilmu-ilmunya, akan tetapi tidak ada ungkapan-ungkapan mereka yang menunjukkan atau

Alquran tidak ditujukan sebagai penjelas atas segala problematika ilmu pengetahuan.

Pro dan kontra yang terjadi dalam pembahasan corak tafsir ‘ilmī ini hendaknya bisa melahirkan sikap lapang dada dan tasāmuh yang tinggi, sehingga perbedaan persepsi tidak menyebabkan retaknya jalinan ukhuwah. Hal ini mengingat masing-masing golongan memiliki argumen yang dapat dipertanggungjawabkan. Terlepas dari dua hal tersebut, corak tafsir ‘ilmī memiliki kelebihan dan kekurangan sebagaimana telah dipaparkan pada pembahasan sebelumnya.

Daftar Pustaka

Abdussamad, Muhammad Kamil, al- ′I‘Jāz al-‘Ilmī fī al-Islam Alquran al- Karīm, terj. Alimin, Mukjizat ‘Ilmīah dalam Al-Qur´an, Jakarta: Akbar Media Eka

Sarana, 2002. al-Qatt ān, Mannā‘, Mabāhis fī ‘Ulūm Alquran, Mansyūrāt al-‘Asri al-

H adīs, 1973.

Anwar, Rosihon, Ilmu Tafsir, Bandung: Pustaka Setia, cet. 3, 2005. aż-Żahabī, Muhammad Husain, at-Tafsīr wa al-Mufassirūn, Kairo:

Maktabah Wahbah, jilid I, cet. 8, 2003.

_____________________, at- Tafsīr wa al-Mufassirūn, Kairo: Maktabah

Baidan, Nashruddin dan Erwati Aziz, Tafsir Kontemporer Surat Yāsīn, Solo: Tiga Serangkai, 2009.

Gazālī, al-′Imām, ′Ihyā′ ‘Ulūmiddīn, Indonesia: al-Haramaian, tt. J.J.G. Jansen, The Interpretation of the Koran in Modern Egypt, Leiden:

E.J. Brill, 1974. Mujamma‘ al-Mālik Fahd li at-Tibā‘at al-Mushaf asy-Syarīf, Al-Qur´an

dan Terjemahnya , Kerajaan Saudi Arabia: Madinah Munawwarah, 1415. Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo

Persada, 1998. Penyusun, Tim, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,

cet. 3, 2003.

Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.