Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Sifat Fisika dan Sifat Kimia Tanah di Kabupaten Samosir

  TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran Hutan

  Kebakaran hutan dibedakan dengan kebakaran lahan. Kebakaran hutan yaitu kebakaran yang terjadi di dalam kawasan hutan, sedangkan kebakaran lahan adalah kebakaran yang terjadi di luar kawasan hutan. Kebakaran hutan dan lahan biasa terjadi baik disengaja maupun tanpa sengaja. Dengan kata lain terjadinya kebakaran hutan dan lahan diakibatkan oleh faktor kesengajaan manusia oleh beberapa kegiatan, seperti kegiatan ladang, Perkebunan Inti Rakyat (PIR), Hutan Tanaman Industri (HTI), penyiapan lahan untuk ternak sapi, dan sebagainya. Faktor kebakaran hutan dan lahan karena kesengajaan ini merupakan faktor utama dan 90% kebakaran hutan dan lahan yang terjadi saat ini banyak disebabkan karena faktor ini (Purbowaseso, 2004).

  Kebakaran hutan dan lahan merupakan suatu proses nyala api yang dapat terjadi pada suatu kawasan hutan maupun lahan perorangan. Secara umum kebakaran hutan itu terjadi apabila setidaknya terdapat faktor penentu yaitu bahan yang mudah terbakar (materials), sumber api (imition) dan zat asam (oksigen) yang berinteraksi didalam proses pembakaran. Bagaimanapun keringnya kayu dan bahan organik lainnya bila tidak ada sumber api, tentunya kebakaran hutan masih dapat terhindarkan (Sagala, 1994).

  Proses dan Tipe Kebakaran Hutan

  Pada proses fotosintesis, energi terpusat secara perlahan-lahan, sedangkan pada proses pembakaran energi yang berupa panas dilepaskan dengan cepat.

  Selain panas, proses pembakaran juga menghasilkan beberapa jenis gas dan partikel-partikel. Dapa apat dilihat bahwa terjadinya proses pembak bakaran/kebakaran apabila ada tiga unsur unsur yang bersatu yaitu bahan bakar (fuel), oksige oksigen (oxygen) dan panas (heat). Bila ila salah satu dari ketiganya tidak k akan terjadi (De Bano dan Folliot, ot, 1998)

  Prinsip ini dike dikenal dengan istilah prinsip segitiga api (G (Gambar 1) yang merupakan kunci uta utama dalam mempelajari kebakaran hutan da n dan lahan yang termasuk dalam upaya aya pengendalian kebakaran. Bahan bakar dan oksi n oksigen tersedia di hutan dalam jumlah lah yang berlimpah, sedangkan sumber panas pe s penyalaan sangat tergantung kepada da kondisi alami suatu daerah dan keg egiatan manusia (Sumardi dan Widyast astuti, 2002).

  Gambar 1. Prinsip Segitiga Api

  Sifat Fisik dan Kimia T mia Tanah Sifat Fisik Tanah

  Sifat-sifat fisik isik tanah diketahui, sangat mempengaruhi pe pertumbuhan dan produksi tanaman. Kondi Kondisi fisik tanah menentukan penetrasi akar kar di dalam tanah, retensi air, drainase nase, aerase dan nutrisi tanaman. Sifat fisi fisika tanah juga mempengaruhi sifat-si t-sifat kimia dan biologi tanah Hakim et al (198 (1986). Sifat-sifat fisik tanah tergantung pada jumlah, ukuran, bentuk, susunan dan komposisi mineral dari partikel-partikel tanah; macam dan jumlah bahan organik, air dan udara menempati pori-pori waktu tertentu. Beberapa sifat fisika tanah yang terpenting adalah tekstur, struktur, kerapatan (density) porositas, konsistensi, warna dan suhu (Hardjowigeno, 2003).

  a. Tekstur tanah

  Tekstur tanah ialah perbandingan relatif (dalam persen) fraksi-fraksi pasir, debu dan liat. Tekstur tanah penting untuk diketahui, oleh karena komposisi ketiga fraksi butir-butir tanah tersebut akan menentukan sifat-sifat fisika, fisika- kimia dan kimia tanah. Sebagai contoh, besarnya lapangan pertukaran dari ion-ion di dalam tanah amat ditentukan oleh tekstur tanah (Hakim et al, 1986).

  Ukuran relatif partikel tanah dinyatakan dalam istilah tekstur, yang mengacu pada kehalusan atau kekasaran tanah. Tekstur tanah adalah perbandingan relatif pasir, debu dan liat. Laju dan berapa jauh berbagai reaksi fisika dan kimia penting dalam pertumbuhan tanaman diatur oleh tekstur karena tekstur ini menentukan jumlah permukaan tempat terjadinya reaksi (Foth, 1994).

  b. Warna Tanah

  Warna tanah merupakan ciri morfologi tanah yang paling mudah dibedakan. Meskipun pengaruhnya yang langsung terhadap fungsi tanah hanya sedikit, tetapi seseorang dapat memperoleh keterangan banyak dari warna tanah, apalagi jika disertai dan dihubungan dengan ciri-ciri lain. Jika warna tanah hampir merupakan ukuran yang tak langsung mengenai sifat dan mutu tanah, serta bersifat menggantikan ciri-ciri penting lain yang sukar diamati teliti. Warna tanah merupakan pernyataan: (a) jenis dan kadar bahan organik, (b) keadaan drainase dan aerasi tanah dalam hubungan dengan hidrasi, oxidasi dan proses pelindian, (c) tingkat perkembangan tanah, (d) kadar air tanah termasuk pula dalamnya permukaan air tanah, dan atau (e) adanya bahan-bahan tertentu (Mega dkk, 2010).

  Warna tanah merupakan petunjuk untuk beberapa sifat tanah, karena warna tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor yang terdapat dalam tanah tersebut.

  Penyebab perbedaan warna permukaan tanah umumnya oleh perbedaan kandungan bahan organik. Makin tinggi kandungan bahan organik, warna semakin gelap.Warna tanah ditentukan dengan menggunakan warna-warna baku yang terdapat dalam buku Munsell Soil Color Chart. Dalam warna baku ini warna disusun oleh tiga variable yaitu: hue, value, dan chroma. Hue adalah warna spektrum yang dominan sesuai dengan panjang gelombangnya. Value menunjukkan gelap terangnya warna, sesuai dengan banyaknya sinar yang dipantulkan. Chroma menunjukkan kemurnian atau kekuatan dari warna spektrum (hue) (Hardjowigeno, 2007).

  Pada umumnya bahan organik memberikan warna kelam pada tanah, artinya jika tanah asalnya berwarna kuning atau coklat muda, kandungan bahan organik menyebabkan warnanya lebih cenderung ke arah coklat-kelam. Makin stabil bahan organik makin tua warnanya, sedang makin segar makin cerah warna tanah dan humus yang berwarna hitam. Tanah berwarna merah sekali biasanya terdapat dipermukaan tanah yang cembung (convex) terletak di atas batuan permeabel, tetapi meskipun demikian ada pula tanah-tanah merah yang warnanya berasal dari bahan induknya (Mega et al, 2010).

c. Kerapatan Lindak (Bulk density)

  Kerapatan lindak adalah berat (massa) satu satuan volume tanah kering,

  3

  umumnya dinyatakan dalam mg/m (Hillel, 1980). Volume tanah dalam hal ini termasuk volume butiran padat dan ruang pori. Bulk density merupakan rasio

  o

  bobot kering mutlak (suhu 105 C) suatu unit tanah terhadap volume total. Menurut Hardjowigeno (2007), kerapatan lindak atau Bulk Density (BD) adalah berat tanah kering per satuan volume tanah (termasuk pori-pori tanah). Bulk density dapat digunakan untuk menghitung ruang pori total (total porosity) tanah dengan dasar bahwa kerapatan zarah (particle density) tanah = 2,65 g/cc.

  Menurut Sarief (1986) dalam Mustofa (2007) nilai bobot isi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya pengolahan tanah, bahan organik, pemadatan oleh alat-alat pertanian, tekstur, struktur, kandungan air tanah, dan lain-lain. Pengolahan tanah yang sangat intensif akan menaikkan bobot isi. Hal ini disebabkan pengolahan tanah yang intensif akan menekan ruang pori menjadi lebih sedikit dibandingkan dengan tanah yang tidak pernah diolah.

  Besaran bobot isi tanah dapat bervariasi dari waktu ke waktu atau dari lapisan ke lapisan sesuai dengan perubahan ruang pori atau struktur tanah.

  Keragaman itu menunjukkan derajat kepadatan tanah (Foth, 1994), karena tanah dengan ruang pori berkurang dan berat tanah setiap satuan bertambah menyebabkan meningkatnya bobot isi tanah. Tanah dengan bobot yang besar akan sulit meneruskan air atau sulit ditembus akar tanaman, sebaliknya tanah dengan bobot isi rendah, akar tanaman lebih mudah berkembang (Hardjowigeno, 2007).

d. Kadar Air Tanah

  Hasibuan (2006) menyatakan bahwa nilai-nilai pF yang penting bagi pertumbuhan tanaman adalah berkisar dari 2-4. Pada pF 2,0 keadaan air terlalu basah, keadaan udara mulai terbatas dan air mulai turun merembes. Pada pF 2,54 adalah keadaan air pada kapasitas lapang, sedang pada pF 4,2 atau 15 atm keadaan kritis, akar mulai tidak dapat mengisap air dan mulai layu secara permanen (titik layu permanen). Air yang tersedia bag tanaman adalah pada keadaan diantara pF 2,54-pF 4,2.

  Tidak semua kadar air tanah tersedia secara efektif untuk tanaman. Air tersedia biasanya dianggap berkisar antara kapasitas lapang dan titik layu permanen. Kapasits lapang, adalah jumlah air yang ditahan dalam tanah sesudah air yang berlebihan di drainase keluar dan kecepatan bergerak kebawah tellah sangat diperlambat. Kapasitas lapang tidak tetap dan dipengaruhi oleh tekstur, struktur, kandungan bahan organik, keseragaman dan kedalaman lahan (Guslim, 2008).

  Sifat Kimia Tanah

  Seperti halnya dengan sifat fisik tanah, komponen kimia tanah juga berperan besar dalam menentukan sifat dan ciri tanah umumnya dan kesuburan tanah pada khususnya. Uraian kimia tanah dalam hal ini bertujuan untuk menjelaskan reaksi-reaksi kimia yang mengangkut masalah-masalah ketersediaan unsur hara bagi tanaman (Hakim et al, 1986). Sifat kimia tanah merupakan sifat- sifat dari tanah yang ditinjau secara kimiawi seperti kemasaman tanah, kejenuhan basa, unsur-unsur hara dalam tanah, dan lain-lain (Sutanto, 2005).

  a. Reaksi tanah (pH Tanah)

  Reaksi tanah (pH tanah) menunjukkan sifat kemasaman atau alkalinitas tanah yang dinyatakan dengan nilai pH. Nilai pH menunjukkan banyaknya

  konsentrasi ion Hidrogen (H ) di dalam tanah. Makin tinggi ion H di dalam

  • tanah, semakin masam tanah tersebut, dan jumlah ion OH di dalam tanah
    • +

      berbanding terbalik dengan jumlah ion H . Pada tanah-tanah yang masam jumlah

  ion H lebih tinggi daripada jumlah ion OH , sedang pada tanah alkalis sebaliknya. Bila kandungannya sama maka tanah bereaksi netral, yaitu mempunyai pH = 7 (Hardjowigeno, 2003).

  Kemasaman tanah merupakan salah satu sifat penting, sebab terdapat beberapa hubungan pH dengan ketersediaan unsur hara, juga terdapat beberapa hubungan antara pH dan semua pembentukan serta sifat-sifat tanah. Sejumlah organisme mempunyai toleransi lain dapat toleran terdapat kisaran pH yang lebar.

  Penelitian-penelitian telah memperlihatkan bahwa konsentrasi aktual H dan OH tidak begitu penting, kecuali dalam lingkungan yang ekstrim. Hal ini merupakan kondisi yang berkaitan dari suatu nilai tertentu yang terpenting (Foth, 1994).

  b. C-Organik

  Bahan organik adalah segala bahan-bahan atau sisa-sisa yang berasal dari tanaman, hewan dan manusia yang terdapat di permukaan atau di dalam tanah dengan tingkat pelapukan yang berbeda (Hasibuan, 2006). Bahan organik merupakan bahan pemantap agregat tanah yang baik. Sekitar setengah dari Kapasitas Tukar Kation (KTK) berasal dari bahan organik (Hakim et al, 1986).

  Kandungan bahan organik dalam tanah merupakan salah satu faktor yang berperan dalam menentukan keberhasilan suatu budidaya tanaman. Hal ini dikarenakan bahan organik dapat meningkatkan kesuburan kimia, fisika maupun biologi tanah. Penetapan kandungan bahan organik dilakukan berdasarkan jumlah C-Organik. Selain itu, menurut Kohnke (1968) dalam Utami (2009) menyatakan bahwa fungsi bahan organik adalah sebagai berikut : (i) sumber makanan dan energi bagi mikroorganisme, (ii) membantu keharaan tanaman melalui perombakan dirinya sendiri melalui kapasitas pertukaran humusnya, (iii) menyediakan zat-zat yang dibutuhkan dalam pembentukan pemantapan agregat- agregat tanah, (iv) memperbaiki kapasitas mengikat air dan melewatkan air, (v) serta membantu dalam pengendalian limpasan permukaan dan erosi.

  Bahan organik tanah sangat menentukan interaksi antara komponen abiotik dan biotik dalam ekosistem tanah. Musthofa (2007) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kandungan bahan organik dalam bentuk C-organik di tanah harus dipertahankan tidak kurang dari 2 persen, agar kandungan bahan organik dalam tanah tidak menurun dengan waktu akibat proses dekomposisi mineralisasi maka sewaktu pengolahan tanah penambahan bahan organik mutlak harus diberikan setiap tahun. Kandungan bahan organik antara lain sangat erat berkaitan dengan KTK (Kapasitas Tukar Kation) dan dapat meningkatkan KTK tanah.

  Tanpa pemberian bahan organik dapat mengakibatkan degradasi kimia, fisik, dan biologi tanah yang dapat merusak agregat tanah dan menyebabkan terjadinya pemadatan tanah.

  Secara umum karbon dari bahan organik tanah terdiri dari 10-20% karbohidrat, terutama berasal dari biomasa mikroorganisme, 20% senyawa mengandung nitrogen seperti asam amino dan gula aminom 10-20% asam alifatik, alkane, dan sisanya merupakan karbon aromatik. Karena fungsinya yang sangat penting, maka tidak mengherankan jika dikatakan bahwa faktor terpenting yang mempengaruhi produktifitas baik tanah yang dibudidayakan maupun tanah yang tidak dibudidayakan adalah jumlah dan kedalaman bahan organik tanah (Paul and Clark, 1989).

c. Kapasitas Tukar Kation

  Kemampuan tukar kation adalah ukuran total kation-kation dapat dipertukarkan yang tersedia dalam tanah, dan dinyatakan sebagai jumlah mili equivalen (me) dalam 100 gram tanah (equivalen sama dengan berat gram atom kation dibagi valensinya). Jumlah kapasitas pertukaran kation tergantung pada adanya muatan negatif pada partikel tanah dan sangat berkorelasi dengan jumlah luas permukaan partikel, terutama pada lempung koloid dan bahan organik.

  Kenyataan menunjukkan bahwa KTK dari berbagai tanah sangat beragam, bahkan tanah sejenisnyapun berbeda KTKnya. Besarnya KTK tanah dipengaruhi oleh sifat dan ciri tanah itu sendiri yang menurut Hakim et al (1986), antara lain adalah:

  1. Reaksi tanah atau pH

  2. Tekstur tanah atau jumlah liat

  3. Jenis mineral liat

  4. Bahan organik

  5. Pengapuran dan pemupukan

d. Nitrogen (N) Total

  Nitrogen adalah unsur hara makro utama yang dibutuhkan tanaman dalam

  • jumlah yang banyak, diserap tanaman dalam bentuk amonium (NH

  4 ) dan nitrat

  • (NO ). Pada umumnya Nitrogen merupakan faktor pembatas dalam tanaman

  3

  budidaya. Biomassa tanaman rata-rata mengandung N sebesar 1 sampai 2% dan mungkin sebesar 4 sampai 6%. Dalam hal kuantitas total yang dibutuhkan untuk produksi tanaman budidaya, N termasuk keempat di antara 16 unsur essensial (Gardner et al., 1991).

  Unsur Nitrogen penting bagi tanaman dan dapat disediakan oleh manusia melalui pemupukan. Menurut Hardjowigeno (2003), nitrogen di dalam tanah terdapat dalam berbagai bentuk yaitu protein (bahan organik), senyawa-senyawa

  amino, amonium (NH ) dan nitrat (NO ). Bentuk N yang diabsorpsi oleh

  4

  3

  • tanaman berbeda-beda. Ada tanaman yg lebih baik tumbuh bila diberi NH

  4 ada

  • pula tanaman yang lebih baik diberi NO dan ada pula tanaman yang tidak

  3 terpengaruh oleh bentuk-bentuk N (Leiwakabessy dan Wahyudin, 2003).

  Menurut Leiwakabessy dan Wahyudin (2003), pemberian N yang banyak akan menyebabkan pertumbuhan vegetatif berlangsung hebat sekali dan warna daun menjadi hiijau tua. Kelebihan N dapat memperpanjang umur tanaman dan memperlambat proses pematangan karena tidak seimbang dengan unsur lainnya seperti P, K dan S. Fungsi N adalah untuk memperbaiki pertumbuhan vegetatif tanaman (tanaman yang tumbuh pada tanah yang cukup N akan berwarna lebih hijau) dan membantu proses pembentukan protein. Kemudian gejala-gejala kebanyakan N lainnya yaitu batang menjadi lemah, mudah roboh dan dapat mengurangi daya tahan tanaman terhadap penyakit (Hardjowigeno, 2007).

e. Fosfor (P)

  Beberapa peranan fosfor yang penting ialah dalam proses fotosintesa, perubahan-perubahan karbohidrat dan senyawa-senyawa yang berhubungan dengannya, glikolisis, metabolisme asam amino, metabolisme lemak, metabolisme sulfur, oksidasi biologis dan sejumlah reaksi dalam proses hidup.

  Fosfor betul-betul merupakan unsur yang sangat penting dalam proses transfer energi, suatu proses vital dalam hidup dan pertumbuhan (Leiwakabessy dan Wahyudin, 2003).

  Sering terjadi kekurangan P di dalam tanah yang disebabkan oleh jumlah P yang sedikit di tanah, sebagian besar terdapat dalam bentuk yang tidak dapat diambil oleh tanaman dan terjadi pengikatan (fiksasi) oleh Al pada tanah masam atau oleh Ca pada tanah alkalis. Gejala-gejala kekurangan P yaitu pertumbuhan terhambat (kerdil) karena pembelahan sel terganggu, daun-daun menjadi ungu atau coklat mulai dari ujung daun, terlihat jelas pada tanaman yang masih muda (Hardjowigeno, 2007).

  Kadar P organik dalam bahan organik kurang lebih sama kadarnya dalam tanaman yaitu 0,2 - 0,5 %. Tanah-tanah tua di Indonesia (podsolik dan litosol) umumnya berkadar alami P rendah dan berdaya fiksasi tinggi, sehingga penanaman tanpa memperhatikan suplai P kemungkinan besar akan gagal akibat defisiensi P (Hanafiah, 2007). Menurut Foth (1994) jika kekurangan fosfor, pembelahan sel pada tanaman terhambat dan pertumbuhannya kerdil.

f. Kalium (K)

  • Kalium diserap oleh tanaman dalam bentuk ion K . Muatan positif dari kalium akan membantu menetralisir muatan listrik yang disebabkan oleh muatan negatif nitrat, fosfor, atau unsur lainnya. Hakim et al (1986), menyatakan bahwa ketersediaan kalium merupakan kalium yang dapat dipertukarkan dan dapat diserap tanaman yang tergantung penambahan dari luar, fiksasi oleh tanahnya sendiri dan adanya penambahan dari kaliumnya sendiri. Ketersediaan hara kalium di dalam tanah dapat dibagi menjadi tiga bentuk yaitu kalium relatif tidak tersedia, kalium lambat tersedia, kalium sangat tersedia.

  Kalium dalam tanaman berperan sebagai pembentukkan pati, mengaktifkan enzim, pembukaan stomata (mengatur pernapasan dan penguapan), proses fisiologis dalam tanaman, proses metabolik dalam sel, mempengaruhi penyerapan unsur-unsur lain, mempertinggi daya tahan terhadap kekeringan, dan penyakit perkembangan akar (Hardjowigeno, 2007). Kalium tanah terbentuk dari pelapukan batuan dan mineral-mineral yang mengandung kalium melalui proses dekomposisi bahan tanaman dan jasad renik maka kalium akan larut dan kembali ke tanah. Selanjutnya sebagian besar kalium tanah yang larut akan tercuci atau tererosi dan proses kehilangan ini akan dipercepat lagi oleh serapan tanaman dan jasad renik.

  Beberapa tipe tanah mempunyai kandungan kalium yang melimpah. Kalium dalam tanah ditemukan dalam mineral-mineral yang terlapuk dan melepaskan ion-ion kalium. Ion-ion adsorpsi pada kation tertukar dan cepat tersedia untuk diserap tanaman. Tanah-tanah organik mengandung sedikit Kalium (Hakim et al., 1986).

  g. Calsium (Ca)

  Kalsium tergolong dalam unsur-unsur mineral essensial sekunder seperti

  2+ 2+

  Magnesium dan Belerang. Calsium diserap tanaman dalam bentuk Ca . Ca dalam larutan dapat habis karena diserap tanaman, diambil jasad renik, terikat oleh kompleks adsorpsi tanah, mengendap kembali sebagai endapan-endapan sekunder dan tercuci (Leiwakabessy, 1988). Mineral Ca, Mg, dan K bersaing untuk memasuki tanaman. Apabila salah satu unsur berada pada jumlah yang lebih rendah dari pada yang lain, maka unsur yang kadarnya lebih rendah sukar diserap (Leiwakabessy dan Wahyudin, 2003). Di dalam tanah kalsium berada dalam bentuk anorganik, namun dalam jumlah yang cukup signifikan juga berasosiasi dengan materi organik dalam humus (Sutcliffe dan Baker, 1975).

  Adapun manfaat dari kalsium adalah mengaktifkan pembentukan bulu- bulu akar dan biji serta menguatkan batang dan membantu keberhasilan penyerbukan, membantu pemecahan sel, membantu aktivitas beberapa enzim. Biasanya tanah bersifat masam memiliki kandungan Ca yang rendah. Kalsium ditambahkan untuk meningkatkan pH tanah. Sebagian besar Ca berada pada kompleks jerapan dan mudah dipertukarkan. Pada keadaan tersebut kalsium mudah tersedia bagi tumbuhan. Pada tanah basah kehilangan Ca terjadi sangat nyata (Soepardi, 1983).

  h. Magnesium (Mg)

  Di dalam tanah magnesium berada dalam bentuk anorganik (unsur makro),

  2+ Magnesium diserap tanaman dalam bentuk Mg (Hardjowigeno, 2007).

  Pemakaian N, P, dan K (pupuk) dan varietas unggul, mengakibatkan jumlah Ca dan Mg yang terangkut ke tanaman juga meningkat. Unsur Ca dan Mg biasa dihubungkan dengan masalah kemasaman tanah dan pengapuran. Magnesium merupakan unsur yang sangat banyak terlibat pada kebanyakan reaksi enzimatis. Mg terdapat pada mineral: amfibol, biotit, dolomit, hornblende, olivin, dan serpentin.

  Magnesium merupakan unsur pembentuk klorofil. Seperti halnya dengan beberapa hara lainnya, kekurangan magnesium mengakibatkan perubahan warna yang khas pada daun. Kadang-kadang pengguguran daun sebelum waktunya merupakan akibat dari kekurangan magnesium (Hanafiah, 2007). Selain itu, masnesium merupakan pembawa posfat terutama dalam pembentukan biji berkadar minyak tinggi yang mengandung lesitin (Agustina, 2004). Selain itu magnesium juga berfungsi sebagai sistem enzim dan pembentukan minyak (Hardjowigeno, 2007).

  Tipe Kebakaran Hutan

  1. Kebakaran Bawah (Ground Fire) Api membakar bahan organik di bawah permukaan serasah yang pada umumnya berupa humus dan gambut. Penjalaran api berlangsung secara perlahan dan tidak dipengaruhi oleh angin, tanpa nyala, sehingga sulit untuk dideteksi dan kontrol. Dilihat dari dampaknya, tipe kebakaran ini merupakan tipe yang paling merusak lingkungan. Tipe kebakaran ini didominasi oleh proses smoldering (Soemardi dan Widyastuti, 2004).

  2. Kebakaran Permukaan (Surface Fire) Api pada kebakaran ini membakar serasah, tumbuhan bawah, bekas limbah pembakaran dan bahan bakar lainnya yang terdapat di lantai hutan. Energi kebakaran dapat rendah sampai tinggi. Dalam penjalarannya, dipengaruhi oleh angin permukaan sehingga dapat membakar tumbuhan yang lebih tinggi hingga ke tajuk pohon (crowning out). Tipe ini merupakan tipe kebakaran yang paling umum terjadi di hampir semua tegakan hutan (Soemardi dan Widyastuti, 2004).

  3. Kebakaran Tajuk (Crown Fire) Pada tipe ini, api menjalar dari tajuk pohon satu ke tajuk pohon berikutnya. Arah dan kecepatan penjalaran api sangat dipengaruhi oleh angin, sehingga api menjalar dengan sangat cepat dan sulit untuk dikendalikan. Biasanya terjadi pada tegakan konifer dan api berasal dari kebakaran permukaan, yaitu ranting atau bagian pohon yang terbakar yang terbawa angin. Disamping itu kebakaran tipe ini juga dapat menghasilkan api loncat (spot fire), yaitu ranting atau bagian pohon yang terbakar yang terbawa angin dan menimbulkan kebakaran baru di tempat lain (De Bano et al, 1998).

  Dampak Kebakaran Hutan terhadap Vegetasi dan Tanah

  Dampak buruk kebakaran hutan dan lahan sangat banyak. Kerusakan dapat berkisar dari gangguan luka-luka bakar pada pangkal batang pohon/tanaman sampai hancurnya pepohonan secara keseluruhan berikut vegetasi lainnya. Dengan hancurnya vegetasi, yang paling dikhawatirkan adalah hilangnya plasma nutfah (sumber daya genetik pembawa sifat keturunan) seiring dengan hancurnya vegetasi tersebut. Selain itu kebakaran dapat melemahkan daya tahan terhadap serangan hama dan penyakit. Batang pohon yang menderita luka bakar meskipun tidak mati, seringkali pada akhirnya terkena serangan penyakit/pembusukan atau menjadi merana (Sagala, 1994).

  Kebakaran hutan dan lahan dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan pada sifat fisik dan kimia tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur tanah akan mengalami kerusakan karena kebakaran hutan. Terjadinya kebakaran hutan akan menghilangkan vegetasi di atas tanah, sehingga apabila terjadi hujan, maka hujan akan langsung mengenai permukaan atas tanah, sehingga mendapat energi pukulan air hujan lebih besar, karena tidak lagi tertahan oleh vegetasi penutup tanah. Kondisi ini akan menyebabkan rusaknya struktur tanah (Purbowaseso, 2004).

  Menurut Pyne et al (1996), dampak kebakaran hutan terhadap tanah sangat bervariasi tergantung pada kandungan dari bahan bakar, jenis tanah dan tipe kebakaran terutama dari frekuensi kebakaran, intensitas kebakaran dan waktu terjadinya kebakaran. Hal ini akan berpengaruh terhadap sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Adapun terhadap sifat fisik yang ditimbulkan yaitu diantaranya kenaikan suhu tanah, perubahan pada struktur tanah dan terhambatnya proses tanah dalam menyerap dan menampung air yang masuk kedalam tanah. Kerusakan ini terjadi tergantung pada bagaimana lapisan atas tanah rusak terbakar. Lapisan tanah yang terbuka akan mengalami pemanasan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan lapisan yang sama sekali tidak terbuka.

  Rusaknya struktur tanah juga akan menyebabkan massa tanah dan bahan organik yang tergandung di dalamnya terbawa oleh limpasan aliran permukaan atau dengan kata lain akan munculnya erosi pada musim penghujan. Seperti diketahui bahwa erosi akan menyebabkan tanah menjadi kritis, akibat terkikisnya secara terus menerus lapisan tanah atas. Penelitian di Kalimantan Timur yaitu di Taman Nasional Kutai tahun 1982-1983 menunjukkan kecepatan erosi meningkat sepuluh kali lipat dibanding dengan hutan primer yang tidak terbakar. Oleh karena itu, pada saat hujan lebat meningkatkan sedimen pada Sungai Mahakam. Hal ini tampak dengan air sungai yang keruh oleh adanya kandungan sedimen. Namun, kebakaran hutan yang mempengaruhi sifat fisik tanah ini hingga sedang kurang memberikan dampak terhadap menurunnya sifat fisik tanah (Purbowaseso, 2004).

  Secara umum kebakaran hutan juga akan menurunkan kualitas lingkungan tanah karena hilangnya mikroorganisme tanah. Hilangnya mikroorganisme tanah menyebabkan terhambatnya proses dekomposisi serasah, sehingga akan terjadi akumulasi serasah. Serasah yang tidak mengalami proses dekomposisi akan menyebabkan lambatnya proses pembentukan tanah. Hal ini juga akan berpengaruh terhadap proses suksesi vegetasi yang ada di atasnya (Purbowaseso, 2004).

  Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Pangururan

  Lokasi penelitian dilaksanakan pada areal terbakar di desa Siogung-ogung dan desa Sosor Dolok, Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir, Propinsi Sumatera Utara. Luasan hutan yang terbakar pada tahun 2012 di kawasan Hutan Lindung desa Siogung-ogung mencapai 0,5 Ha. Pada tahun 2013, kebakaran di lahan masyarakat dan kawasan hutan desa Sosor Dolok mencapai 60 Ha.

  Data curah hujan di daerah Kecamatan Simanindo menurut Balai Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika dapat dilihat pada lampiran. Angka curah hujan rata-rata 100-250 mm tiap tahun. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan April dan curah hujan terendah terjadi bulan Juni dan Juli. Wilayah Kabupaten Samosir tergolong yang beriklim tropis basah dengan suhu berkisar antara 17

  C-

  29 C dan rata-rata kelembaban udara sebesar 85.04% termasuk Kecamatan Pangururan yang merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Samosir. Sebaran jenis tanah di wilayah Pangururan didominasi oleh jenis tanah litosol, podsolik, dan regosol (Badan Pusat Statistik, 2013).

  Kecamatan Simanindo

  Penelitian ini dilaksanakan pada areal terbakar di desa Sijambur Nabolak dan Curaman Tomok, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, Propinsi Sumatera. Sedangkan untuk lokasi penelitian pada areal yang tidak terbakar (kontrol) dilaksanakan di desa Tolping, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, Propinsi Sumatera. Luasan hutan yang terbakar pada tahun 2010 di kawasan Hutan Lindung desa Sijambur Nabolak mencapai 93 Ha. Pada tahun 2011 dan tahun 2014, kebakaran di kawasan Hutan Lindung desa Curaman Tomok mencapai 3 Ha.

  Kecamatan Simanindo berada di hamparan dataran dan struktur tanahnya labil berada pada jalur gempa tektonik dan vulkanik. Wilayah Kabupaten Samosir memiliki angka curah hujan rata-rata 100-250 mm tiap tahun. Data curah hujan di daerah Kecamatan Simanindo Balai Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika dapat dilihat pada lampiran. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan September dan curah hujan terendah terjadi bulan Februari. Seperti halnya Kecamatan Pangururan, Kecamatan Simanindo juga tergolong beriklim tropis basah dengan suhu berkisar antara 17 C-29 C dan rata-rata kelembaban udara sebesar 85.04% termasuk. Sebaran jenis tanah di wilayah Simanindo didominasi oleh jenis tanah

  litosol dan podsolik (Badan Pusat Statistik, 2013)