BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Arsitektur Karo 2.1.1 Pola Perkampungan - Transformasi Bentuk Arsitektural pada Rumah Tinggal Suku Karo

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Arsitektur Karo

  2.1.1 Pola Perkampungan

  Pola perkampungan karo secara umum mengelompok atau berbaris mengikuti alur sungai sehingga peletakan rumah didasarkan pada aliran sungai, dimana pintu utama atau depan menghadap kehulu sungau dan bagian belakang atau pintu belakang rumah manghadap ke hilir sungai.

  2.1.2 Arah Rumah Tradisional

  Pada masyarakat karo mereka mengenal mata angin yang disebut “Desa

  Siwaluh ”, pada awalnya rumah dibuat dengan arah kenjahe-jenjulu, sesuai dengan

  arah pengaliran sungai disuatu kampung, pengertian kenjahe kenjulu berbeda dengan utara selatan, arah hilir disebut kenjahe sering disebut juga kahe-kahe atau

  

jahe-jahe dan arah kenjulu disebut kolu-kolu atau julu (Masri Singalimbun 1960 :

149 No. 839 & 151 No. 847).

  Semua pangkal kayu utama yang digunakan pada rumah tradisional berada disebelah kanjahe, dimana ditempatkan jabu raja, yang dianggap sebagai pangkal atau asal dari rumah. Jabu raja tersebut terletak disebelah kiri pintu hilir (ture

  

jahe ), sedang menurut pendapat lain (“Percikan Budaya Karo” hal 2) jabu raha

  atau jabu benana kayu terletak pada kanan pintu hulu (ture jahe) diarah timur (purba), tempat matahari terbit.

2.1.3 Tipologi Bangunan Rumah Adat Karo

  M. Nawawiy (2004) dalam buku Raibnya Para Dewa, mengatakan, menurut bentuk atap terdapat dua tipologi rumah yaitu rumah biasa dan rumah Raja . Pembagian lain adalah rumah dengan atap (Tersek) tak bertingkat (Rumah Kurung Manik), rumah beratap satu tingkat (Sada Tersek), dan rumah dengan atap bertingkat dua dilengkapi dengan menara (Anjung-anjung).

  Secara umum Rumah Karo berbentuk empat persegi panjang dengan dua buah teras (ture) sebagai pintu utama, yaitu pintu yang menuju hulu (Ture Julu) dan pintu yang menuju hilir (Ture Jahe) sebagai pintu kedua. Bagian-bagian atapnya berbentuk perpaduan trapesium dimana bagian depan atap berbentuk segi tiga yang disebut dengan wajah rumah (ayo atau lambe-lambe), dan bagian dinding yang juga berbentuk trapesium yang ditopang oleh dinding papan berbentuk lunas perahu (dapur-dapur) yang terletak diatas beberapa tiang.

  Rumah tradisional Karo diperuntukan bagi delapan keluarga (Jabu) yang memiliki pertalian keluarga satu sama lain. Susunan ruang bagi setiap keluarga diataur sesuai dengan kedudukan dan fungsi setiap keluarga. Jabu diartikan juga sebagai satu bagian ruangan yang terdapat pada rumah Karo.

  Kehidupan bersama di dalam rumah tradisional diatur oleh kepercayaan dan adat. Aturan yang terdapat pada rumah yang satu dengan yang lain, mungkin memiliki sedikit perbedaan namun prinsipnya tetap sama. Sanksi yang dikenakan terhadap suatu pelanggaran ketentuan kepercayaan, bergantung kepada besar kecilnya sifat pelanggaran. Seorang yang terlambat pulang pada malam hari dan lupa memasang palang pintu (ngeruk pintun), sehingga terjadi pencurian, akan dikenakan sanksi membersihkan halaman dan kolong rumah yang merupakan simbol dunia bawah atau neraka.

  Rumah Adat Karo disebut juga Rumah Siwaluh Jabu karena pada umumnya dihuni oleh Waluh Jabu (delapan keluarga), selain rumah si waluh jabu ada juga rumah adat yang lebih besar yaitu Sepuludua Jabu (dua belas keluarga) yang dulu terdapat di kampung Lingga, Sukanalu dan rumah adat yang terbesar adalah Rumah adat Sepuluenem Jabu yang pernah ada di Kampung Juhar dan Kabanjahe, tetapi sekarang rumah adat Sepuludua Jabu dan Sepuluenem Jabu sudah tidak ada lagi. Setiap Jabu (keluarga) menempati posisi di Rumah Adat sesuai dengan struktur sosialnya dalam keluarga. Letak Rumah Adat Karo selalu disesuaikan dari arah Timur ke Barat yang disebur Desa Nggeluh, di sebelah Timur disebut Bena Kayu (pangkal kayu) dan sebelah barat disebut Ujung Kayu. Sistem Jabu dalam Rumah Adat mencercerminkan kesatuan organisasi, dimana terdapat pembagian tugas yang tegas dan teratur untuk mencapai keharmonisan bersama yang dipimpin Jabu Bena Kayu/Jabu Raja.

Gambar 2.1 Rangka Atap Rumah Adat Karo

  (Sumber : karo.or.id)

Gambar 2.2 Aksonometri Rumah Adat Karo

  (Sumber : karo.or.id) Bagian dalam si waluh jabu baik yang digunakan oleh rakyat biasa (Derip) maupun oleh bangsawan tidak memiliki pembatas fisik yang memisahkan antara ruang satu keluarga dan keluarga lainnya. Pemisah antara ruang yang berhadapan hanya dapur yang digunakan oleh setiap dua keluarga yang berdekatan. Dengan demikian bangunan ini sepintas hanya terdiri dari satu ruang besar yang ditempati oleh delapan keluarga, yang masing-masing menempati daerah yang berukuran kurang lebih 4,00 x 4,00 m, sehingga merekan dapat saling melihat. Meskipun setiap ruang ditempati oleh satu keluarga, namun pada dasarnya semua ruang dapat digunakan untuk berbagai fungsi secara komunal tergantung dari aktifitas yang sedang dilakukan, seperti untuk tempat makan, temapat tidur, menerima tamu, dan lain sebagainya. Namun pada kenyataannya terdapat pembatas psikologis dan kultural yang sangat tegas diantara ruang tersebut yang disertai dengan berbagai macam tabu yang berlaku diantara keluarga sesuai dengan keyakinan dan adat.

Gambar 2.3 Nama-nama dari Ornamen pada Atap Rumah Adat Karo

  (Sumber : karo.or.id) Menurut Ir. Myrtha Soeroto (2003) dalam buku Dari Arsitektur

  Tradisional Menuju Arsitektur Indonesia, Nama, Posisi dan Peran Jabu dalam Rumah Adat Karo (Rumah Siwaluh Jabu): 1.

   JABU BENA KAYU Merupakan tempat bagi keluarga simanteki Kuta/

  Bangsa Taneh (keluarga yang pertama mendirikan Kuta). Jabu Bena Kayu juga disebut Jabu Raja, posisinya sebagai pimpinan seluruh anggota Jabu dalam sebuah Rumah Adat, berperan sebagai pengambil keputusan dan penanggung jawab (baik internal maupun eksternal) untuk segala permasalahan dan pelaksanaan adat menyangkut kepentingan rumah dan seisi penghuni rumah.

  2. JABU UJUNG KAYU Merupakan tempat bagi Anak Beru (pihak

  perempuan/saudari) dari Jabu Bena Kayu. Jabu ujung Kayu berperan untuk membantu Jabu Bena Kayu dalam menjaga keharmonisan seisi rumah dan mewakili Jabu Bena Kayu dalam menyampaikan perkataan atau nasehat- nasehatnya kepada setiap penghuni rumah. Dengan kata lain Jabu ujung Kayu adalah pembantu utama dari Jabu Bena Kayu baik di dalam urusan dalam rumah maupun di dalam lingkup adat.

  3. JABU LEPAR BENA KAYU Merupakan tempat bagi pihak saudara dari

  Jabu Bena Kayu. Jabu Lepar Bena Kayu disebut juga Jabu Sungkun-Sungkun Berita (Tempat bertanya Kabar/berita). Penghuni Jabu ini masih termasuk golongan bangsa taneh. Jabu Lepar Bena Kayu berperan untuk mengawasi keadaan rumah dan keadaan Kuta (kampung) kemudian memberi kabar kepada Jabu Bena Kayu. Jika ada permasalahan di dalam rumah atau di Kuta seperti terjadi pencurian atau akan terjadi perang, maka Jabu Lepar Bena Kayu harus menyelidikinya terlebih dahulu kemudian mengabarkannya kepada Jabu Bena Kayu.

  4. JABU LEPAR UJUNG KAYU Merupakan tempat bagi pihak Kalimbubu

  (Pihak dari Klan ibu) dari Jabu Bena Kayu. Penghuni Jabu ini sangat dihormati dan disegani karena kedudukannya sebagai Kalimbubu. Kalimbubu dalam masyarakat karo merupakan derajat tertinggi dalam struktur adat. Jabu Lepar Ujung Kayu disebut juga sebagai Jabu Simangan Minem (pihak yang makan dan minum). Jika Jabu Bena Kayu mengadakan pesta adat maka Jabu

  Lepar Ujung Kayu akan menduduki posisi yang terhormat, dia tidak ikut bekerja hanya hadir untuk makan dan minum.

  5. JABU SEDAPUREN BENA KAYU Merupakan tempat bagi anak beru

  menteri dari Jabu Bena Kayu. Jabu Sedapuren Bena Kayu juga disebut Jabu Peninggel-ninggel (Pihak yang mendengarkan). Perannya adalah untuk mendengarkan segala pembicaraan di dalam suatu Runggu (musyawarah) para anggota Rumah Adat. Selain sebagai pihak pendengar, Jabu Sedapuren Bena Kayu juga berperan sebagai saksi untuk berbagai kepentingan setiap anggota Rumah Adat, baik di lingkup rumah maupun di lingkup Kuta.

  6. JABU SEDAPUREN UJUNG KAYU Merupakan tempat anak atau saudara

  dari dari penghuni Jabu Bena Kayu. Jabu ini disebut juga sebagai Jabu Arinteneng (yang memberi ketenangan). Posisinya diharapkan dapat menjadi penengah setiap permasalahan, memberikan ketenangan dan ketentraman bagi seluruh Jabu di Rumah Adat. Jabu arinteneng sering juga ditempati oleh Penggual atau Penarune (pemain musik tradisional, yang terkadang menghibur seisi rumah dengan alunan musiknya yang menentramkan.

  7. JABU SEDAPUREN LEPAR BENA KAYU Merupakan tempat bagi anak

  atau saudara penghuni Jabu Ujung Kayu. Jabu Sedapuren Lepar Bena Kayu juga disebut Jabu Singkapuri Belo (penyuguh sirih). Jabu Sedapuren Lepar Bena Kayu berperan dalam membantu Jabu Bena Kayu dalam menerima dan menjamu tamunya. Jabu Singkapuri Belo secara umum berperan sebagai penerima tamu keluarga di dalam sebuah Rumah Adat dan bertugas menyuguhkan sirih bagi setiap tamu keluarga yang menghuni Rumah Adat.

8. JABU SEDAPUREN LEPAR UJUNG KAYU Merupakan kedudukan bagi

  Guru (dukun/ tabib). Jabu Sedapuren Lepar Ujung Kayu juga disebut Jabu Bicara guru (yang mampu mengobati). Jabu Sedapuren Lepar Ujung Kayu berperan sebagai penasehat spiritual bagi penghuni Jabu Bena Kayu, mengumpulkan ramuan-ramuan dari alam untuk pembuatan obat-obatan bagi seisi rumah, menilik hari baik dan buruk, menyiapkan pagar (tolak bala) bagi seisi rumah, selain itu dia juga berperan dalam pelaksanaan upacara terhadap leluhur (kiniteken pemena) dan upacara-upacara yang menyangkut dengan kepercayaan pada masyarakat karo jaman dahulu. Jadi Jabu Sedapuren Lepar Ujung Kayu atau Jabu Bicara Guru berperan dalam hal pengobatan dan hal-hal yang berhubungan dengan kepercayaan masyarakat Karo pada jaman dahulu.

2.1.4 Jenis Rumah Adat Karo

  Rumah adat karo dapat dibedakan menjadi beberapa jenis dan ditinjau dari dua hal, yaitu : a. Bentuk Atapnya b. Binangunnya (rangka)

  Si waluh jabu Berdasarkan bentuk atap, rumah adat karo dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :

A. Rumah Sianjung-anjung

  Rumah sianjung-anjung adalah rumah bermuka empat atau lebih, yang dapat juga terdiri atas satu atau dua tersek dan diberi bertanduk.

Gambar 2.4 Rumah Sianjung-anjung

  (Sumber : karo.or.id)

Gambar 2.5 Jenis Atap Rumah Sianjung-anjung

  (Sumber : sorasirulo.net)

B. Rumah Mecu

  Rumah mecu adalah rumah yang bentuknya sederhana, bermuka dua mempunyai sepasang tanduk.

Gambar 2.6 Jenis Atap Rumah Mecu

  (Sumber : sorasirulo.net)

Gambar 2.7 Jenis Atap Rumah Mecu

  (Sumber : karo.or.id) Sementara menurut binangun, rumah adat Karo pun dapat dibagi atas dua yaitu:

1) Rumah Sangka Manuk

  Rumah sangka manuk yaitu rumah yang binangunnya dibuat dari balok tindih-menindih.

Gambar 2.8 Rumah Sangka Manuk

  (Sumber : karo.or.id)

2) Rumah Sendi

  Rumah sendi adalah rumah yang tiang rumahnya dibuat berdiri dan satu sama lain dihubungkan dengan balok-balok sehingga bangunan menjadi sendi dan kokoh.

Gambar 2.9 Rumah Sendi

  (Sumber : karo.or.id)

Gambar 2.10 Detail Struktur Rumah Sendi

  (Sumber : sorasirulo.net)

2.1.5 Struktur Rumah Siwaluh Jabu

  Rumah adat siwaluh jabu ini berbentuk rumah panggung dengan ketinggian dua meter dari permukaan tanah. Ukuran rata-rata bangunan ini adalah

  2

  17×12 m dengan ketinggian kurang lebih 12 m. Bangunan ini simetris pada kedua porosnya, sehingga pintu masuk pada kedua sisinya terlihat sama. Rumah adat Batak Karo dibangun dengan 16 tiang yang bertumpu pada batu-batu alam berukuran besar (pondasi). Terdapat pembagian penyaluran beban dari bangunan terhadap pondasinya, dimana delapan dari tiang-tiang ini menyangga lantai dan atap, sedangkan yang delapan lagi hanya menyangga lantai saja. Pada bangunan ini masih menggunakan struktur post and lintel, dimana pada bagian atas bangunan (semacam plafon) merupakan suatu penyusunan antar kayu yang dimana balok hanya menumpu pada kolom. Namun sudah ditemukan kemajuan dimana sudah digunakan sistem sendi pada bagian lantai untuk mengikat balok lantainya.

Gambar 2.11 Struktur Rumah Siwaluh Jabu

  (Sumber : karo.or.id)

2.1.6 Konstruksi Rumah Siwaluh Jabu

  Pembangunan rumah adat ini menggunakan tiga jenis kayu, yaitu kayu ndarasi, ambertuah dan sibernaek. Pada pemasangan tiap-tiap bagiannya tidak digunakan paku sama sekali. Hanya menggunakan pengikatan dengan tali ijuk untuk menyatukan tiap-tiap bangunannya. Terkadang juga digunakan suatu bahan untuk merekatkan bagian yang dibuat dengan bahan-bahan dari hutan. Beberapa bagian pembentuk konstruksi rumah ini antara lain :

  1. Pondasi atau Palas Palas terbuat dari batu-batuan yang diambil dari gunung ataupun sungai.

  Batu ini dugunakan sebagai pondasi rumah adat ini. Bebatuan ini akan dilubangi bagian atasnya supaya beberapa bahan yang menurut masyarakat setempat dapat mendukung kekuatan dan kekokohan bangunan ini. Bahan ini antara lain yaitu

  

belo cawir (sirih), besi mersik, dan ijuk. Hal ini tentu berkaitan dengan lokasinya

  yang diapit kedua gunung sehingga sering sekali terjadi gempa. Konstruksinya tentu spesifik dengan konstruksi tahan gempa.

  Selanjutnya batang-batang kayu yang ujungnya telah diruncingkan, dimasukkan ke dalam bolongan batu dan kemudian digunakan sebagai kolom bangunan ini. Batu palas kemudian dipendam sebagian ke dalam tanah agar tidak mudah bergeser.

Gambar 2.12 Sketsa Pondasi Rumah Adat Karo

  (Sumber : karo.or.id)

  2. Tangga Pada bangunan ini dibutuhkan tangga untuk memasukinya karena letaknya yang beradap pada ketingian dua meter dari muka tanah. Tangga terbuat dari bambu berdiameter kurang lebih 15 cm. Terdapat dua buah tangga. Di bagian muka berjumlah tiga sedangkan di bagian belakang berjumlah lima.

Gambar 2.13 Tangga Rumah Adat Karo

  (Sumber : karo.or.id)

  3. Serambi (Ture – Naki-naki) Merupakan bagian muka yang tersusun dari rangkaian bayu yang rapat

  (diameter kurang lebih 10-15cm). Bagian ini merupakan tempat yang pada siang hari digunakan untuk menganyam bagi kaum wanita, dan tempat pertemuan pada malam hari. Penopang serambi ini adalah bayu yang memiliki diameter lebih besar.

Gambar 2.14 Serambi (Ture-Naki-naki)

  (Sumber : sorasirulo.net)

  4. Dinding Terbuat dari jenis kayu yang sama dengan kolom, yaitu kayu ndrasi yang berbentuk papan atau lembaran. Masing-masing papan ini diikat dengan tali retret yang terbuat dari ijuk atau rotan. Penalian ini menggunakan suatu pola anyaman yang disebut pola cicak. Dinding ini tidak dibentuk lurus, namun memiliki kemiringan sekitar 40° keluar. Dinding ruang bangunan yang miring ini juga sebagai lambang pertemuan dunia tengah yang dipercaya sebagai tempat tinggal manusia dengan langit yang dipercaya sebagai tempat para Dewa bersemayam.

Gambar 2.15 Dinding Rumah Adat Karo

  (Sumber : sorasirulo.net)

  5. Suhi Cuping (Sudut Dinding) Terbuat dari kayu yang sudah tua, yang berupa lembar papan yang berukuran 4x30cm. Posisinya terletak pada sudut-sudut dinding yang berfungsi untuk menahan dan memikul dinding. Pemasangannya dengan menggunakan sambungan pen. Cuping ini dibentuk dengan pola ukiran.

Gambar 2.16 Suhi Cuping (Sudut Dinding)

  (Sumber : sorasirulo.net)

  6. Pintu Terbuat dari kayu yang sudah tua berupa dua lembaran kayu tebal yang masing-masing berukuran 5 x 40 cm. Tinggi pintu dibuat setinggi orang dewasa dengan posisi kedua pintu menghadap ke arah timur dan barat. Dipasang pada dinding bangunan yang miring, di atas balok bulat yang dipasang mengelilingi bangunan. Balok ini sendiri berfungsi untuk menahan dinding bangunan.

  7. Labah – Jendela Jendela terbuat dari papan yang berukuran 8x30 cm. Dibuat miring 40 cm keluar mengikuti kemiringan dinding. Terdapat 8 buah jendela. 2 di bagian depan,

  2 di belakang, dan 4 di kanan kiri bangunan.

  8. Atap Penutup atap rumah adat karo ini terbuat dari ijuk yang bersusun-susun sehingga mencapai tebal 20 cm. Rangkanya sendiri terbuat dari bambu yang di belah sebesar 1 x 3 cm dan di ikat dengan rotan dengan jarak antar bambu 4 cm. Fungsi utama dari bentuk ujung atap yang menonjol ini adalah untuk memungkinkan asap keluar dari tungku dalam rumah.

Gambar 2.17 Atap pada Rumah Adat Karo

  (Sumber : sorasirulo.net)

  9. Ornamen Ornamen-ornamen mengandung arti mistik, ini berkaitan dengan kepercayaan pada masa itu Secara umum menggambarkan jati diri, kebersatuan keluarga dan permohonankeselamatan Mengunakan 5 warna : putih, merah, hitam, biru, kuning yang melambangkan jumlah marga di tanah Karo Bahan pewarnanya dibuat dari alam (dah atah taneh)selalu menggambarkan cicak di dinding rumah mereka, baik nampak seperti cicak sebenarnya ataupun bentuk yang menyerupainya Artinya, orang Batak dapat beradaptasi dengan lingkungannya seperti hidup cicak.

Gambar 2.18 Ornamen pada Rumah Adat Karo

  (Sumber : sorasirulo.net)

Gambar 2.19 Ornamen pada Rumah Adat Karo

  (Sumber : sorasirulo.net)

2.2 Transformasi Arsitektur

2.2.1 Pengertian Transformasi

  Secara etimologis Transformasi adalah transformasi rupa (bentuk, sifat, fungsi dan sebagainya). Pengertian Transformasi bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dalam kamus ( The New Grolier Webster International Dictionary Of English Language ) adalah menjadi bentuk yang berbeda namun mempunyai nilai- nilai yang sama, transformasi dari satu bentuk atau ungkapan menjadi suatu bentuk yang mempunyai arti atau ungkapan yang sama mulai dari struktur permukaan dan fungsi. Transformasi berarti transformasi menjadi suatu transformasi dapat dianggap sebagai sebuah proses pemalihan total dari suatu bentuk menjadi sebuah sosok baru yang dapat diartikan sebagai tahap akhir dari sebuah proses transformasi sebagai sebuah proses yang dijalani secara bertahap faktor ruang dan waktu menjadi hal yang sangat mempengaruhi transformasi tersebut (Webster Dictionary, 1970).

  Adapun pengertian Transformasi menurut beberapa ahli, yakni:

  • Menurut D’ Arcy Thompson, 1961. Transformasi adalah sebuah proses fenomena transformasi bentuk dalam keadaan yang berubah-ubah, dengan demikian transformasi dapat terjadi secara tak terbatas.
  • Menurut Jorge Silvetti, 1977. Transformasi adalah tindakan transformasi yang dilakukan terhadap elemen-elemen ataupun aturan-aturan (codes) yang ada dengan cara penyimpangan, pengelompokan kembali, yang mana mengacu pada keaslian dan diharapkan menghasilkan arti yang baru. Cara- cara ini mampu untuk mempertahankan keasliannya dalam mengahasilkan makna dan wujud yang baru.
  • Menurut Anthony Antoniades, 1990. Transformasi adalah sebuah proses transformasi secara berangsur-angsur sehingga sampai pada tahap ultimate, transformasi dilakukan dengan cara memberi respon terhadap pengaruh unsur eksternal dan internal yang akan mengarahkan transformasi dari bentuk yang sudah dikenal sebelumnya melalui proses menggandakan secara berulang-ulang atau melipat gandakan. Sebuah karya arsitektur yang memiliki bentuk dan ciri yang spesifikasi terhadap pencerminan jati diri perancangnya, akan lebih mudah dikenali oleh setiap pengamat. Bentuk dan ruang arsitektur merupakan substansi dasar pengadaan yang dapat dijadikan bahan dalam melakukan olah kreativitas terhadap penghadiran sebuah karya arsitektur (Josef Prijotomo, 1995). Pengubahn bentuk
dan ruang arsitektur akan memerlukan bentuk dasar. Penetapan bentuk dasar dilakukan terlebih dahulu karena pengubahan menyangkut dua kesatuan yang berbeda yaitu sebagai transformasi bentuk arsitektur dan pengubahan ruang arsitektur. Transformasi bentuk atau transformasi bentuk bisa didapat melalui berbagai variasi seperti dengan transformasi dimensi bentuk, pengurangan beberapa bagian dari bentuk awal, dan penambahan beberapa bentuk.

Gambar 2.20 Proses transformasi

  Sumber: imageshack.com Kesimpulan akhir bahwa Transformasi Arsitektur adalah suatu transformasi dari satu kondisi (bentuk awal) ke kondisi yang lain (bentuk akhir) dan dapat terjadi secara terus menerus atau berulang kali yang dipengaruhi oleh dimensi waktu yang dapat terjadi secara cepat atau lambat, tidak saja berhubungan dengan transformasi fisik tetapi juga menyangkut transformasi sosial budaya ekonomi politik masyarakat karena, tidak dapat lepas dari proses transformasi baik lingkungan (fisik) maupun manusia (non-fisik). Transformasi fisik disebabkan oleh adanya kekuatan non-fisik yaitu transformasi budaya, sosial, ekonomi & politik (Rossi, 1982 dalam sari, 2007).

2.2.2 Kategori dan Strategi Transformasi Arsitektur

  Menurut Laseau, 1980 dalam Sembiring, 2006 kategori transformasi dapat dibedakan menjadi empat kategori Transformasi yang memiliki sifat yang berbeda, yakni:

  • Transformasi bersifat (geometri) bentuk geometri yang berubah dengan komponen pembentuk dan fungsi ruang yang sama.
  • Transformasi bersifat hiasan (ornamental) dilakukan dengan menggeser, memutar, mencerminkan, menjungkirbalikan, melipat, dan lain-lain.
  • Transformasi bersifat (kebalikan) pembalikan citra pada figur objek dirubah menjadi citra sebaliknya.
  • Transformasi bersifat (merancukan) kebebasan perancangan dalam beraktifitas. Strategi Transformasi dalam mendisain sebuah karya sangat berkaitan erat dengan munculnya ide-ide baru, setiap ide baru yang muncul pastilah mempertimbangkan akan strategi yang digunakan. Dalam teori Anthony Antoniades tentang transformasi, beliau menggambarkan ada tiga strategi Transformasi Arsitektur, yakni:
  • Strategi Tradisional adalah evolusi progresif dari sebuah bentuk melalui penyesuaian langkah demi langkah terhadap batasan – batasan :

  Eksternal : site, view, orientasi, arah angin, kriteria lingkungan

  • Internal : fungsi, program ruang, kriteria struktural

  • memanipulasi bentuk, berdampingan dengan sikap terhadap dana dan kriteria pragmatis lainnya.

  Artistik : kemampuan, kemauan dan sikap arsitek untuk

  • Strategi Peminjaman (borrowing) adalah meminjam dasar bentuk dari lukisan, patung,obyek benda - benda lainnya, mempelajari properti dua dan tiga dimensinya sambil terus menerus mencari kedalaman interpretasinya dengan memperhatikan kelayakan aplikasi dan validitasnya. Tranformasi pinjaman ini adalah ‘pictorial transferring’ (pemindahan rupa) dan dapat pula diklasifikasi sebagai ‘pictorial metaphora’ (metafora rupa).
  • Dekonstruksi atau dekomposisi adalah sebuah proses dimana sebuah susunan yang ada dipisahkan untuk dicari cara baru dalam kombinasinya dan menimbulkan sebuah kesatuan baru dan tatanan baru dengan strategi struktural dalam komposisi yang berbeda. Transformasi dilakukan terhadap bentuk dan ruang dengan mengeksporasi arti, nilai dan makna objek serta konsep desain dengan pertimbangan fungsi bangunan merupakan cara interpretasi arsitektural tema kedalam obyek desain (Mandey, 2011). Kebebasan perancangan dalam mengolah bentukan bahkan dalam mentransformasikan, perlu mempertimbangkan hal-hal yang menjadi faktor penting yang harus menjadi perhatian dalam merancang sekaligus yang akan digunakan sebagai strategi dalam penerapan tema, selain strategi dari Antoniades, Faktor ini tak lepas dari ketiga jenis strategi yang ada setiap perancang tak
terlepas dan selalu memperhatikan bagian ini dalam mereka menghasilkan suatu karya desain, antara lain:

  • Skala (scale). Bnyak hal dalam transformasi yang berhubungan dengan skala. Pembesaran atau pengurangan (pengecilan) dilakukan dalam komposisi yang benar, agar ukuran yang baru dapat diterima dengan statistik visual.
  • Keterkaitan antar bagian (whole vs. parts). Perhatian yang kedua yakni berupa penjelasan dan penyatuan antara bentuk keseluruhan dan sebagainya. Setiap bagian, dalam hal ini ruang dan fungsinya mempunyai peranan dan pengaruh yang penting dalam transformasi bentuk secara keseluruhan.
  • Pengaruh eksternal (forced eksternality). Transformasi juga terjadi dengan mempertimbangkan pengaruh atau tekanan dari luar, lingkungan senantiasa tidak bisa dipisahkan dan mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi transformasi.
  • Semantik (semantic). Perhatian yang terakhir yang sangat esensial yang berpengaruh pada proses transformasi adalah masalah semantik atau bahasa visual. Transformasi didasarkan pada konotasi visual, berupa bentuk, wujud, tipologi, gambaran, tapak, dan bayangan.

2.2.3 Proses dan Faktor yang Menyebabkan Transformasi

  Menurut Alexander, 1987 dalam penelitian Pakilaran, 2006 proses transformasi mengandung dimensi waktu dan transformasi sosial budaya masyarakat yang menempatinya yang muncul melalui proses panjang yang selalu terkait dengan aktifitas-aktifitas yang terjadi pada saat itu.

  Ada 4 proses transformasi yang dikemukan oleh Pakpahan, 2010 dalam penelitiannya “Evaluasi Pasca Huni Perumnas Mandala Medan”, yaitu:

  • Transformasi terjadi secara perlahan-lahan atau sedikit demi sedikit.
  • Tidak dapat diduga kapan dimulainya dan sampai kapan proses tersebut akan berakhir, tergantung dari faktor yang mempengaruhinya.
  • Komprehensif dan kesinambungan.
  • Transformasi yang terjadi mempunyai keterkaitan erat dengan emosional (sistem nilai) yang ada dalam masyarakat.

  Ada 7 faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya transformasi (Pakpahan, 2010) adalah

  • Kebutuhan identitas diri (identification). Pada dasarnya orang ingin dikenal dan ingin memperkenalkan diri terhadap lingkungan
  • Transformasi gaya hidup (life style). Transformasi struktur dalam masyarakat, pengaruh kontak dgn budaya lain dan munculnya penemuan-penemuan baru mengenai manusia dan lingkungannya.
  • Penggunaan teknologi baru. Timbulnya perasaan ikut mode, dimana bagian yang masih dapat dipakai secara teknis (belum mencapai umur teknis dipaksa untuk diganti demi mengikuti mode) (Habraken, 1976 dalam Pakilaran, 2006).

  • Transformasi sosial. Faktor lingkungan fisik, transformasi penduduk, isolasi dan kontak, struktur masyarakat, sikap dan nilai-nilai, kebutuhan yang dianggap perlu dan dasar budaya masyarakat.
  • Transformasi budaya. Budaya sebagai sistem nilai terlihat dalam gaya hidup masyarakat yang mencerminkan status, peranan kekuasaan, kekayaan, dan keterampilan.
  • Transformasi ekonomi. Kekuatan yang paling dominan dalam menentukan transformasi lingkungan fisik adalah kekuatan ekonomi.
  • Transformasi politik. Peran aspek politis melalui bentuk intervensi non fisik melalui kebijakan pengembangan kawasan (Rossi, 1982, Sari, 2007).

2.3. Kajian Literatur Arsitektur dengan JudulKelangsungan Bentuk Tradisional Dari Rumah Batak Di Pulau Samosir

2.3.1. Dr.-Ing. Himasari Hanan (2013), Kelangsungan Bentuk Tradisional Dari Rumah Batak Di Pulau Samosir, Jurnal Sains. Metodologi Penelitian

  Penelitian lapangan telah dilakukan dalam empat perkampungan tradisiona l (huta) yang memperlihatkan ka rakter yang berbeda dari rumah tradisional dan usaha yang dilakukan dalam melestar

  i

  kan warisan dan menjaga lingkungan rumah tertata dengan baik. S emua perkampungan yang dipilih ini dihuni oleh kelaurga kerabat dan sebagian rumah ad alah dalam kondisi yang baik

  un

  tuk di

  tempati. Sebagian kecil perkamp

  ungan ini ditargetkan

  s

  ebagai tujuan rumah tinggal keluarga. Huta Siallagan

  wisatawan tetapi sisanya adalah merupakan diambil s ebagai objek inti dan referensi dari penelitian untuk sejumlah alasan, :

  perkampungan

  a) ini masih dihuni oleh anggota kerabat,

  b) perkampungan ini secara fisik adalah dalam keadaan baik seperti bentuk aslinya,

  c) pemukiman ini telah dikembangkan sebagai tujuan wisatawan yang penting,

  rkampungan tradisional khusus da atak d) perkampungan ini adalah pe ri B Toba.

  Huta lainnya diteliti adalah daerah sekitar huta Sillagan dengan jarak yang

  e

  mendekati 20 km (1,2,3). Semua huta yang dipilih memenuhi krit ria yang sama sebagai objek inti, kecuali salah satus ebagai tujuan wisatawan, sehingga perbandingan antara konteks yang berbeda yang telah diuraikan. Rumah yang dipilih adalah sampel dari penelitian yang representatif dari perubahan fisik yang dilakukan dalam perkampungan dimaksud.

  lapangan

  Survey dilakukan untuk mengidentifikasikan dan menganalisa bentuk asli d ari rumah dan perubahn fisik yang berlangsung di rumah, yang secara sign ifikan mempengaruhi citra dan de sain keseluruhan da ri arsitektur tradisional. Fokus analisis ini adalah untuk mengidentifikasikan kecenderungan dan pola perluaan bangunan dan termasuk komposisi atap yang dapat menga tasi kelangsungan citra budaya dari rumah Batak. Penelitian ini terbatas pada analisis visual dari penampilan bangunan dan susunan unsur bangunan, yaitu sub struktur, dinding, atap dan bahan bangunan.

  Tipologi perluasan bangunan

Gambar 2.21 Tipe 1 Huta Siallagan

  Sumber: Field study, 2010 Rumah asli dikembangkan di bagian belakang dengan meniru gaya bangunan aslinya. Komposisi yang harmonis dalam bagian muka b angunan adalah tetap dipertahankan meskipun posisinya yang tidak tepat pada tingkat yang sama pada bangunan baru dan lama. Bahan yang sama digunakan untuk substruktur, lampiran bangun an dan atap. Berbagai bukaan dinding digunakan tanpa menganggu

  

merupakan

  krakter rumah yang lama. Atap baru versi yang paling sederhana dari versi yang lama. Orientasi bangunan baru adalah tegak lurus pada bangunan lama dan jenis struktur jem b atan yang ada ant a ra bangunan baru dan lama. Pemisahan

  ditunjukan pada

  bangunn baru dari bangunan lama adalah warna yang berbeda dan s istem struktur jembatan tetapi penampilan ritme ditetapkan dengan penempatan tangga atau tumpuan batu di pintu masuk rumah.

Gambar 2.22 Tipe

  2 Huta Siallagan

  Sumber: Field study, 2010 Rumah asli dikembangkan dibagian belakang dengan membangun sistem bangunan yang berbeda: bangunan pertuk a ngan,tanpa merujuk pada rumah yang

  s menempel

  lama. Bagunan baru adalah ditetapkan ebagai bagian yang pada bangunan yang asli, dengan ekspresi yang berbeda. Demikian juga, ini dinyatakan

  s ebaga i subordinasi banguan utama. St ruktur bangunan utama tidak ditonjolkan , tetapi yatakans

  inklinasi atapnya tetap dipertahankan. Atap baru adalah din ebagai perluasan bangunan utama. Massa dari bangunan baru adalah tegak lurus pada

  batu

  bangunan lama, tetapi tidak ada struktur tradisional diantaranya. Struktur dan kayu a dalah ditempelkan satu sama lai n tanpa melihat posisi dan sistemnya.

  Konfigurasi ruang baru diciptakan di bagian depan dari bangunan baru dengan

  a

  menempatkan g ris untuk menggantung pakaian. Dinding bata akan menghhasilkan ruang so sial dari dua rumah yang bertetangga yang tidak umum

  i perkampungan tradisional. Rit e ari

  dalam pola spasial dar m repetitif yang ada d rumah tradisional adalah mengacupada

  kontrast dari unsur dan aktivitas bangunan yang baru.

Gambar 2.23 Tipe

  3 Huta Siallagan

  Sumber: Field study, 2010 Rumah asli dikembangkan di bagian belakang dengan konstruksi dua

  a

  lantai. Meskipun bahan yang sama dapat diterapkan untuk ekstensi, tetapi warn

  kontrast dan skala yang berbe da d ari bangunan baru yang menganggu kom posisi yang

harmonis dari rumah yang lama. Perlu a san ini tidak berarti dip a dukan ke dalam

asli sebagai bagian yang lebih rumah yang berlawanan dengan rumah yang lama.

  Substruktur dan bentuk a rsitektural da ri bangunan utama tidak dihargai dan oleh s lain di rumah. karena itu, bangunan baru didefinisikan ebagai sistem yang

  Konsekuensinya, dua bentuk arsitektural terpisah dan ekspresi yang dig a bungkan

  tanpa mengacu kepada semuanya. Massa utama dari bangunan baru secara aksial

  b erhubungan dengan rumah yang lama, tetapi tidak ada kesatuan diantaranya. yang lebih besar dari bangunan a

  Ukuran b ru tidak menghargai rumah lama dan bahkan menganggu karakter dan gaya pemukimannya.

Gambar 2.24 Tipe

  4 Huta Siallagan

  Sumber: Field study, 2010 Rumah asli diperluas di bagian belakang denga n membangun rumah batu

  secara ks pun

  a ial segaris dengan rumah yang lama. Meski ruang bangunan ini memiliki sistem yang berbeda namun d inding yang terbuka ini mengado psi pola rumah tradisional : pintu yang terbuka di bagian depan dan jendela yang membuka ke arah samping. Sistem pembukaan ini adalah menyatakan kembali seni tradisional dalam m enempatkan satu bagian yang terb uka untuk setiap sisi

  atap an gaya arsitekturalnya tidak berhubungandengan

  bangunan. Struktur d rumah tradisional, dan sistem atap yang digunakan adalah merupakan bangunan perkotaan modern dengan ukuran kecil. Pembukaan jendela dan pintu juga tipikal

  a njukkan

  dari gaya modern dari rumah perkotaan. Bangun n baru tidak menu

  

perbedaan dari tingkat rumah tradisional yang paling bawah dan paling atas, oleh a

  karena itu tidak ada kesatuan diant ra bangunan baru dan bangunan lama. Ini adalah murni dua rumah yang berbeda dengan dua ekspresi yang berbeda yang termasuk pada kepemilikan dan keluarga yang ssama.

Gambar 2.25 Tipe

  5 Huta Siallagan

  Sumber: Field study, 2010 Rumah asli dikembangkan di bagian belakang dengan meniru sistem pemb a ngunannya. Komposisi yang harmonis diciptakan dengan bahan dan

  a

  ekspresi bangunan yang sama. Garis horizontal di bagian depan bangun n adalah

  

t etap dipertahankan meskipun posisinya tidak tepat pada level yang sama dalam

  bangunan baru dan lama. Variasi pembukaan dinding berlaku tanpa merusak karakter rumah yang lama. Atap baru adalah versi yang paling sederhana dari rumah yang lama. Orient a si dari bangunan baru itu adalah tegak lurus dengan

  rumah lama dan jenis bagian atap h

  tenga yang telah ditempatkan diantara bangunan baru dan lama. Pemisahan bangunan baru dan lama adalah digaris bawahi oleh

  atap berbeda

  sistem yang dan massa bangunan tetapi tangga kayu meniru versi rumah yang lama.

Gambar 2.26 Tipe

  6 Huta Siallagan

  Sumber: Field study, 2010 Rumah asli dikembangkan di bagian belakang dengan rumah kayu satu lantai yang secara aksial segaris dengan bangunan aslinya. Ruang bangunan memiliki sistem yang bereda yang mengikuti sistem konstruksi atap. Struktur atap

  berkaitan dengan rumah tradisional. Sistem atap yang

  dan gaya arsitekturalnya tidak

  digunakan adalah tipikal untuk struktur b a ngunan berukuran kecil diban d i ngkan

  dengan bangunan secara i nkremental. Pembukaan jendela dan pintu adalah disusun

  pada

  secara acak tanpa korespondensi semua dengan pola pembukaan di rumah yang lama. Bangunan baru tidak menunjukkan perbedaan tingkat yang rendah

  a

  dan atas dari rumah tradisional, olah karena itu tidak ada kesatuan ant ra bangunan baru dan bangunan lama. P enggun aa n bahan yang sama untuk dinding dan atap akan membantu menunjukkan proses pertumbuhan dari rumah.

  Analisis dan Pembahasan

  Pengembangan rumah asli diidentifiksikan dan dianalisa dengan melakukan perbandingan terhadap sistem tradisional menurut sistem bangunannya dan gaya arsitektural. Sistem bangunan adalah di bagi ke dalam tiga ba gian: substruktur, bangunan utama dan atap, mengikutiklasifikasi sistem bangunan

  sitektur tradisional : kepala,

  dalam ar tubuh, kaki. Disini, perubahan penampilan fisik terhadap rumah asli dapat diidentifikasikan dengan jelas dan harus dijelaskan.

  Tabel 1. Perbandi ngan bangunan baru den g an sistem bangunan tradisional.

  Sistem Tipe 1 Tipe 2 Tipe 3 Tipe 4 Tipe 5 Tipe 6 bangunan SUBSTRUK TUR Sistem Sama Tidak Tidak Tidak Sama Tidak struktur

  Sama Tidak Tidak Tidak Sama Tidak Bahan Pemanfaatan Sama Tidak Tidak Tidak Sama Tidak BANGUNAN UTAMA Sistem Tiang- Dinding Tiang- Dinding Tiang- Dinding struktur pintu penahan pintu penahan pintu penahan Bahan Kayu Batu Kayu Batu Kayu Batu Pemanfaatan Dapur Dapur Dapur Dapur Dapur Dapur Ekspresi Selaras Tidak Tidak Tidak Selaras Selaras arsitektural Selaras Selaras Selaras ATAP

  Bergelo Tidak Tidak Tidak Bergelom Bergelom Sistem struktur mbang bang bang

  Bahan Sama Sma Sama Sama` Sama Sama Tidak Sasma Tidak Tidak Tidak Tidak

  Kemiringan Sisi Atap Tegak Aksial Aksial Aksial Tegak Aksial s

  Dua tipe rumah ecara konsisten akan mengadopsi struktur dan ruang bangunan dari rumah yang asli ke rumah yang baru. K edua jenis ini membentuk massa bangunan dalam konfigurasi yang tegak lurus terhadap rumah yang lama, sementara ini menetapkan pemahaman baru dari tata letak rumah yang membedakan representatif bagian depan d a n belakang yang suportif dari rumah. komposisi rumah pada sudut yang tepat meningkatkan keunikan nobilitas dari asli nya dan menyatakan potensinya sesuai dengan perkembangan dan tantangan baru. Ketidaksamaan dari inklinasi atap mendasari hirarkhi komposisi dan

  e i tradisional

  pemanfaatan ruang, dan lebih lanjut membantu memep rtahankan nila

  

dari rumah asli. K urangnya substruktur dalam rumah tipe 6, bahkan melalui

a

  komponen lain yang terkait dalam kesesuaian, mengilustr sikan bahwa diskontinuitas dalam sistem bangunan tidak dapat dibantah tidak terkonstruktif untuk kelangsungan. Tipologi perluasan rumah Batak Toba mengecualikan . berbagai respon orang terhadap tradisi lokal dan nilai tradisional adalah dilakukan di

  Proses pertumbuhan dari rumah tradisional Batak Toba

  

belaka ng rumah yang menunjukkan kesadaran dan penghormatan manusia untuk

  mempertahankan ekspresi simbolik dan keunikan tradisional. Namun demikian, kebutuhan baru dan cara hidup baru dari orang-orang tersebut adalah diakomodasikan dengan menciptakan mekanisme adapt asi yang berbeda dengan

  sensitivitas dan kesadrannya a

  tas nilai budaya dan juga cara perolehan sumber keuangan mereka.

  dari ru

  Dalam kenyataannya, alasan naluri dan fungsional ang ini telah memperkenalkan klasifikasi baru dari mekanisme zona di area perumahan. Bagian depan rumah adalah diidedentifikasikan sebagai milik komunal yang dilestarikan

  ungan tradisi dan bagian belaka

  untuk kelangs ng rumah dirancang sebagai zona privat yang merupakan otonomi dieksplorasi menurut kebutuhan dan potensi

  individu. Kelangsungan, dalam pengertian ini

  didefinisikan dan dikomprehensifkan

  

s ebagai ruang yang tersedi a untuk penentuan dalam tradisi budaya dan kehidupan

pribadi para penghuninya.

  Bentuk arsitektur baru

  juga akan merespon perubahan baru melalui proses adaptasi dan transformasi sepanjang waktu. Penghuni memiliki otoritas untuk menerima dan mengeksplorsikan perbedaan tradisi untuk memecahkan masalah praktis atau menekank an identitas dan originalitas. S ebagai substruktur rumah

  

men y a takan pen tingnya kelanjutan yang ditetap kan untuk komposisi rumah yang

n sebagian adalah tradisional. a

  sebagian modern da Lebih lanjut perub han inovatif dapat dilaksanakan melalui bahan yang berbeda dan susunan spasial.

  Kesimpulan

  Kelangsungan arsitektur tradisional adalah diatur oleh motivasi pragmatik dan pertimbangan fungsional dari orang yang menghuni rumah. Alasan tentang fakta, keputusan, keyakinan dan nilai terhadap perluasan atau renovasi rumah tradisional adalah tidak dipertimbangkan didasarkan atas otoritas tradisi budaya, tetapi dikaitkan dengan ambisi pribadi, sumber keuangan dan motivasi pragmatik. Juga perlu untuk memfasilitasi arsitektur tradisional dari Batak Toba untuk memiliki hubungan dialektikal dengan penghuni yang memiliki kebutuhan dan otoritas untuk mengungkapkan dan mengekspresikan alasan mereka.

  Transformasi dari substruktur ke dalam jenis struktur yang tidak terganggu

  or utama dalam mempertahankan ka

  dari rumah yang diperluas adalah fakt rakter trdisional da ri rumah asli. Berbagai arsitektur atap tidak mempengaruhi

  sejauh menyangkut atap

  keberadaan asrsitektur tradisional, tambahan yang berada di bawah kon d isi rumah asli baik dalam skala maupun kemiringan. Secara arsitektural, ruang bangunan dari rumah Batak adalah sangat akomodatif untuk

  haman baru dan tantangan baru. K

  pema ombinasi yang berbeda dari bahan dan metode konstruksi d apat dikembangkan pada solusi yang berbeda terhadap kebutuhan baru, penggunaan baru dan penghuni baru.

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. - Analisis Yuridis Mengenai Kewajiban Pajak Terhadap Pelaku Usaha Dalam Perdagangan Elektronik Di Jejaring Sosial

0 0 17

BAB I PENDAHULUAN - Tindakan Eksploitasi Sumber Daya Perikanan Di Wilayah Laut Zee Oleh Kapal Asing Menurut Hukum Internasional

0 0 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Perbandingan Analisa Besar Daya Dukung Pondasi Bore Pile Menggunakan Metode Elemen Hingga Terhadap Metode Analitik Dan Metode Loading Test (Studi Kasus Proyek Pembangunan Manhattan Mall Dan Condominium)

0 5 62

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Umum - Analisa Daya Dukung Pondasi Bore Pile Menggunakan Metode Analitis (Studi Kasus Proyek Pembangunan Manhattan Mall dan Condominium)

0 3 79

ANALISA DAYA DUKUNG PONDASI BORED PILE DENGAN MENGGUNAKAN METODE ANALITIS (STUDI KASUS PROYEK MANHATTAN MALL DAN CONDOMINIUM ) TUGAS AKHIR - Analisa Daya Dukung Pondasi Bore Pile Menggunakan Metode Analitis (Studi Kasus Proyek Pembangunan Manhattan Mall d

1 0 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Teori Ekonomi Pembangunan - Analisis Evaluasi Kinerja Pembangunan Ekonomi Kabupaten / Kota Pemekaran Di Sumatera Utara

0 0 19

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Analisis Evaluasi Kinerja Pembangunan Ekonomi Kabupaten / Kota Pemekaran Di Sumatera Utara

0 4 11

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tumbuhan Nepenthes spp. - Studi Kantung Semar (Nepenthes Spp.) Kawasan Hutan Batang Toru Blok Barat Kabupaten Tapanuli Utara Sumatera Utara

0 0 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Kuntul 2.1.1 Klasifikasi Burung Kuntul - Karakteristik Perkembangan Anakan Kuntul Besar (Egretta alba) dan Kuntul Kecil (Egretta garzetta) Di Kawasan Tambak Tanjung Rejo Sumatera Utara

1 4 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Perbandingan Daya Dukung Tiang Pancang Tunggal Diameter 0,6 Meter Berdasarkan Perhitungan Analitis dan Metode Elemen Hingga (Proyek Pembangunan Jalan Bebas Hambatan Medan – Kualanamu)

0 12 93