Mencari, Menemukan, dan Mengomunikasikan Nilai-nilai Bermain dalam Konteks Pendidikan

Mencari, Menemukan, dan Mengomunikasikan Nilai-nilai Bermain dalam Konteks Pendidikan

Hendar Putranto, M.Hum

Mencari, Menemukan, dan Mengomunikasikan
ikasikan
ndidikan
Nilai-nilai Bermain dalam Konteks Pendidikan
Hendar Putranto, M.Hum
Universitas Multimedia Nusantara
erang
Jl. Boulevard, Scientia Garden, Gading Serpong, Tangerang
Telp. (021) 54220808 / 37039777, Fax. (021) 54220800
800
email : hendar2007@unimedia.ac.id
Abstracts:
Play is an indispensable dimension to successful and integral education.
Nevertheless,
ion. N
everthelesss, ourr
al reasons behin

bbehind
be
ehin
hindd
culture today tends to neglect play as its constitutive element. There are severa
several
the negligence of play within our educational realm. This writing would
refresh
ld ref
fresh the way we
GLWVLP
PSRUWDQWUROHLQ
WKLQNDERXWSOD\LWVDQWKURSRORJLFDODQGSKLORVRSKLFDOVLJQL¿FDQFHDQGLWVLPSRUWDQWUROHLQ
shaping child’s character in positive and substantial ways before embarking
years
king into
to
o mature yea
ars
as an adult. We also look at why and how we should communicate values

ues of play
pllay to students
studen
nts
(within the context of the classroom) and to larger audience (within thee context off daily lif
life).
fe).
)
Some examples taken as role models of play in local context (Laskar Pelangi) and
d in educational realm would strengthen the main argument of the writing.
Kata Kunci: media communication, intellectual characters, education.
Pengantar
Tulisan ini berangkat dari pengamatan, pengalaman, dan keprihatinan penulis
akan tiga hal berikut ini, yaitu (1) ruang bermain permainan tradisional bagi anak-anak di
kota-kota besar nampak semakin menyempit
dan sebagai gantinya menjamurlah ruang-ruang transaksi bisnis seperti pusat-pusat perbelanjaan, shopping mall, dan juga ruang-ruang
bermain kontemporer seperti Dunia Fantasi,
Time Zone, play station, dan warung internet;
(2) berangkat dari pengalaman penulis yang
mengajar di beberapa sekolah dan perguruan

tinggi di Jakarta dan sekitarnya (periode 2003
– 2008), metode ‘bermain’ di dalam pelajaran nampaknya bukan lagi merupakan metode yang diakrabi oleh para siswa. Selain itu,
keterlibatan siswa di dalam ‘bermain sebagai
metode belajar’ juga terlihat kurang menunjukkan dimensi spontanitas serta keriangan
yang alamiah; (3) tuntutan skor hasil belajar
yang bagus (rapor) serta indeks prestasi yang
tinggi, yang secara sedemikian sistematis dan
konstan digenjot oleh lembaga-lembaga pen-

Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume II, Nomor 1, Juni 2010

didikan sejak jenjang pendidikan
endidikan formal yang
paling rendah hingga jenjang
enjang perguruan tinggi, ikut berperan memengaruhi
engaruhi para peserta
didik menjadi pribadi-pribadi
yang
sisi
ribaadi yan

a g di satu
u si
isi
teramat kompetitif dan cer
cerdas
dimensi
rdas ddalam
alam dim
mensii
kognisi dan kalkulasi. Nam
Namun,
mun, ddii sisi lain mis-kin dalam imajinasi, afeksi
dan
compassion
fekssi da
an compas
ssion
n
terhadap lingkungan sekitarnya.
kitaarnyaa.

Untuk memahami
sebaran
pengalaami seba
aran pen
ngalaaman, pengamatan, sertaa kepr
keprihatinan
atas
prihatin
pr
tiinan
n ddii ata
tas
ta
sekaligus menggali lebih
alternatif
h dalam al
lter
erna
ernat
natif

nat
iff yyang
ang
mungkin dikembangkan
n untuk mengimbangi
model pendidikan dengan
skor
serta
an ori
oorientasi
ent
n asi
si sk
kor
o ser
se
e taa
ang ttinggi,
ingg
ggi, tet

etapi
a ce
ap
endpencapaian akademis yang
tetapi
cendmenssi afek
aafeksi,
fe si,
i im
majinas
n i,
erung mengabaikan dimensi
imajinasi,
on), penulis berikhtiar
dan bela rasa (compassion),
sis yai
yyaitu
ya
tu bah
ah

hwaa pen
enmengajukan sebuah tesis
bahwa
penkan
n, ddalam
alam
ala
m aarti
rti ku
kkurang
ran
ng
didikan yang mengabaikan,
kan, dimensi bermain,
dapat mengomunikasikan,
ure)
re ma
m
upp n ssecara
upu

ecaaraa
baik secara hakiki (by natu
nature)
maupun
ce)), buk
bu
anl
nlah waj
jah
operasional (by practice),
bukanlah
wajah
mpu
u me
mengemba
mbangkkan
pendidikan yang mampu
mengembangkan
manusia menjadi sosok yang utuh dan manusiawi. Guna mengakui dan menerima pent
52


Mencari, Menemukan, dan Mengomunikasikan Nilai-nilai Bermain dalam Konteks Pendidikan

ingnya bermain dalam pendidikan, tidak bisa
menerima, dan
tidak kita harus mengenali,
men
sejumlah nilai yang termengomunikasikan se
NDQGXQJVHFDUDVLJQL¿NDQEDLNGDODPNRQVHS
NDQGXQJVHFDUDVLJQL¿
NDQ
bermain itu sendiri. Oleh
maupun
pun
un aktivitas ber
karenanya,
menguatkan tesis di atas,
karenanya
yaa, uuntuk
ntuk me

berturut-turut akan membahas
penulis secara
secaara
r berturu
antara
bermain (play) dan games,
(1) distingsi an
ntara ber
dan kompetisi ((2)
2) dimensi pembentukan
karakter dari berm
main, (3) dimensi antropolobermain,
JLV OHELKWHSDWQ\D
DDQ
JLV OHELKWHSDWQ\DDQWURSRORJL¿ORVR¿V GDUL
bermain yang melihat
melih
ih
hat kodrat manusia sebagai
makhluk bermain (h
((homo
o
ludens), (4) upaya
kontekstualisasi nilai-nilai
nil
illaibermain yang sudah dibahas di bagian
bag
gian (1), (2) dan (3), yang
penulis temukan da
da
dalam
novel Laskar Pelangi,
dan (5) sebuah cat
atatan penutup yang berfungat
catatan
si sebagai ekskursus
ekskkursus sekaligus kesimpulan
dari penulis.
Distingsi antara
antara Ber
Bermain (Play), Games,
dan Ko
ompetisi
Kompetisi
0HQXUXW KHP

KHPDW SHQXOLV PHQGH¿Qiisikan
sikan ‘bermain’ (play)
(p
dan ‘permainan’
JDPHV  VHFDUD ¿ORVR
¿ORVR¿V EXNDQODK KDO \DQJ
mudah, untuk tidak m
mengatakan mustahil .
:LNLSHGLDPHQDZDUND
:LNLSHGLDPHQDZDUNDQGH¿QLVLEHULNXWXQWXN
pe
per
m nan: “Per
mai
Permai
Per
m n
permainan:
“Permainan
merupakan sebuah
aktivi
viit rekre
vitas
easi den
aktivitas
rekreasi
dengan tujuan bersenangsenang,, m
eng
gisi w
akt luang, atau berolahmengisi
waktu
ragaa ringan.
ring
r gan.
a P
erm
main biasanya dilakukan
Permainan
sendir
dirii aatau
tau
au
u bbersama-sama.”
ersaamasendiri
Sementara itu,
GH¿Q
QLVL EEHUPDLQ
HUP
PDLQ \\DQJ
DQJ PXQJNLQ DGDODK µDNGH¿QLVL
tivit
tas manu
nusia yan
nu
ng m
tivitas
manusia
yang
melibatkan segi kognitif,
DIHN
NWLI GDQ
Q NL
NNLQHWLN
QHWWLN DDWDX PRWRULN¶ 'H¿QLVL
DIHNWLI
GDQ
bbermain
ber
main dan permaina
permainan di atas bisa jadi terlalu lebar, atau bahkan bbelum mengatakan apaapa
apa.
pa. JJika
ikaa di
ddipersempit
perrsem
sempit llagi, ‘bermain’ mungkin
ELV
VD GLGH
GH¿QL
GH
¿Q VLN
LNDQ
LN
DQ VHE
DQ
ELVD
GLGH¿QLVLNDQ
VHEDJDL µNHJLDWDQ PDQXVLD
yan
g dibatasi
diba
i tasi ol
ib
l h atur
leh
yang
oleh
aturan-aturan tertentu yang
sifatnya mengikat para partisipan yang berada
ddii dal
alam aarena
al
rena
naa keg
kkegiatan
iat tersebut, dan hanya
dalam
sej
ejauh
ej
auh mereka
meerek
ka berada
bbera
er da di dalamnya dengan tusejauh
juan untuk bersenang-senang
bersenang
(having fun).”
1
1DP
XQ VD
XQ
V \DQJQ\
JQ\DGH
JQ\
1DPXQVD\DQJQ\DGH¿QLVLVHPDFDPLQLSXQ
ma
mas
m
a ih
h nam
aam
mpak
ak kkurang
uran memadai, terutama
masih
nampak
yang bberkenaan
erk
kenaan den
ddengan
ga tujuannya (yaitu bersenang-senang). Satu keberatan yang dapat

53

Hendar Putranto, M.Hum

PXQFXODWDVGH¿QLVL\DQJEDUXVDMDGLDMXNDQ
adalah, bukankah bermain juga mempunyai
tujuan pedagogis dan pembentukan karakter
bagi para partisipannya, dan tidak hanya melulu untuk tujuan ‘bersenang-senang’?
Seorang pemikir sosial kontemporer asal Polandia, Zygmunt Bauman (kelahiran 1925), mencoba menarik garis distingsi
antara konsep bermain (play) dan permainan
(games). Pembedaan play dengan games yang
dibuatnya tidak bisa dilepaskan dari kerangka besar pembedaan antara modernitas dan
pascamodernitas sebagai kerangka berpikir,
merasa, bertindak, dan menilai manusia, baik
sebagai individu maupun sebagai bagian dari
kolektivitas yang lebih luas. Menurut Bauman, dunia dan kerangka berpikir modern
cenderung dipandu oleh hukum (law), yang
ditengarai sebagai buah pencapaian dari kerja
akal budi. Sementara itu, dunia dan kerangka
berpikir pascamodern tidak lagi melulu diatur oleh hukum, tetapi juga oleh aturan (rule).
Secara kualitatif, ada perbedaan antara hukum
dan aturan. Hukum bersifat menekan, memaksa, dan melarang. Hukum merupakan benchmark (tolok ukur) yang tetap menyisakan ruang atau celah untuk dilanggar dan dilampaui
(transgression), sekaligus diwacanakan kembali. Sementara, aturan tidaklah demikian.
Aturan memang membatasi, tetapi ia tidak
memaksa. Aturan diciptakan untuk membuat
sebuah permainan (games) menjadi lancar
dan menarik. Mengingat sifat permainan yang
siklis dan berulang (tidak ada permainan yang
dilakukan hanya sekali), maka yang ada hanyalah atau ‘berada dalam permainan’ (being
in the game) atau ‘meninggalkan gelanggang
permainan.’
Selain pengertian di atas, kita juga
mengetahui bahwasanya hukum itu mengikat
semua orang tanpa pandang bulu, sementara
aturan hanya berlaku di dalam permainan dan
mengikat pemain yang ikut bermain. Setelah
permainan usai, para pemain tidak lagi terikat dengan aturan tersebut. Tidak ada aturan
permainan yang sifatnya universal melampaui
ruang dan waktu, adat dan kebiasaan, budaya
dan konteks sosial. Aturan tidak berpretensi

Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume II, Nomor 1, Juni 2010

Mencari, Menemukan, dan Mengomunikasikan Nilai-nilai Bermain dalam Konteks Pendidikan

untuk mengikat seseorang atau sekelompok
orang (apalagi seluruh umat manusia) dalam
terminologi dan terma persyaratan (terms of
condition) universal, yang tidak bisa dirundingkan, yang memaksa dan mengeksklusi.
Semesta aturan adalah kemajemukan
permainan; banyak permainan dengan beraneka macam aturan. Dalam dunia kontemporer, yang oleh Bauman dilihat sebagai dunia
pascamodern, kemungkinan seperangkat aturan untuk bersinggungan dan menghasilkan
sesuatu yang baru amatlah besar. Permainan
menjanjikan kesempatan untuk kembali (bermain) secara berulang-ulang. Contohnya:
pertandingan tenis yang mempertemukan jagoan tenis tunggal putra era 90-an yang sudah
‘pensiun’ pada 2002, Pete Sampras, dengan
kampiun tenis tunggal putra era 2000, Roger
Federer, yang berlangsung di Madison Square
Garden, New York (AS), pada Senin 10 Maret 2008 yang lalu, adalah contoh di mana
permainan selalu menjanjikan kesempatan
bagi para pemainnya untuk kembali secara
berulang, meskipun yang satu (Pete Sampras)
sudah cukup lama meninggalkan gelanggang
permainan tenis tunggal putra profesional, sementara yang satunya (Roger Federer) sampai
tulisan ini dibuat masih tetap aktif bermain sebagai pemain tenis profesional.
Jika dilihat dari tujuannya, maka permainan bisa dilihat sebagai desain kegiatan
yang tidak mendeterminasi tujuan-tujuannya
secara objektif. Permainan adalah soal kelenWXUDQ ÀH[LELOLW\ GDQNHFDNDSDQ\DQJGLSHUDgakan (demonstrated skill). Para pemain tidak
menentukan hasil akhir dari permainan yang
mereka ikuti. Namun, setiap gerakan mereka
tidak luput dari konsekuensi yang tidak bisa
mereka prediksi dan rencanakan sebelum masuk ke gelanggang permainan. Dalam dunia
permainan, kaitan sebab-akibat antara gugus
tindakan dan hasil yang diharapkan amatlah
longgar, atau bersifat ’tak tertentukan’ (undecidables). Dunia permainan memang tidak
menjanjikan rasa aman karena sifat predictability and calculability–nya yang relatif rendah. Namun, dunia permainan tak pelak lagi
menjanjikan dunia sensasi dan kesenangan

Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume II, Nomor 1, Juni 2010

Hendar Putranto, M.Hum

yang silih berganti .
Meskipun berjasa
asa dalam membedakan ’bermain’ dengan ’permainan’, Bauman
tidak secara tegas menarik
arik garis demarkasi dii
antara keduanya. Ia lebih
karakterih menyoroti karakt
akt
kterkt
istik permainan (games),
tempatkan
s), yang ia tem
mpat
patkan
sebagai model yang cocok
dijadikan
cok dijadika
an pparadigaraddigma dalam kerangka besar
pascamodernitas.
esar pascam
amoderniitas
am
t .
1RQNRQVHNXHQVLDOLVÀHNVLELOLWDVWHULNDWDWXHNVLELOLWDV
DV WHULNDWDWXDV
ran, tetapi tidak memaksa,
menjanjikan
ksa, dan m
enjanjikan
kesenangan serta sensasi
beberapa
si adalah be
eberapa ciri
khas permainan yang berhasi
berhasil
digarisbawahi
il ddi
igarisbaw
bawahi
baw
ahii
Bauman. Walaupun demikian,
mikiann, bermainn seba-gai aktivitas dan permainan
ainan
n sebagai ben
bbentuk
entuk
tuk
k
konkret dari aktivitas tersebut
menurut
ersebu
ut m
enurut hemat
penulis bukan hanya menjanjikan
enjanjik
ikan kesenangan
ik
dan sensasi yang tak terkatakan
datang
erkatakaan serta data
ang
silih-berganti. Bermain juga mer
merupakan
’patarupakan ’pa
atahan’ (break) dari dunia rutinitas ddan
regularian regular
ariiar
tas yang mencekik dan
membosankan.
n membosan
an
nkan. Bermain menawarkan saat ajaib bagi kkita
itt untuk
ita
memulihkan diri dari hingar-bingar
ngar-bingar kompetisi
komp
mpetisi
mp
dan hasrat akan pencapaian
paian dengan ratusan
an
n
target-target serta jejalan
n jadwal dan appointment.
Pengamatan yang
ng tajam dari Al Gini
kurang lebih merangkum
um pokok ini, ”Untuk bisa melakukan segala
sesuatunya
denegalaa ssesu
e atunya de
den
ngan baik, Anda harus punya
waktu
unyya wa
aktu lepass darii
apapun yang sedang Andaa kerjakan.
Waktu
keerjakan. W
aktu
u
senggang untuk tidak te
terus-menerus
erus-m
menerus mel-akukannya. Waktu untuk
memulihkan
tukk me
emulihkan dirii
dan berelaksasi. Waktu unt
untuk
melakukan
nttuk m
elakukan
n hall
lain. Waktu untuk melupakannya
sejenak.
elupa
pakan
pa
nnya
n
ny
se
ejen
je ak
je
k.
k.
Kita adalah orang-orang
yang
mencari
ng yan
an
ng m
encari sa
ssaat
at
menjadi malas atau bermalas-malasan,
rmalas-mallasan, untuk
menikmati istirahat sebagai
agai obat alamiah atas
kelelahan dan frustrasi ker
kerja.
Menjadi
malas,
rja.
j Me
M
nja
jadii mal
aallas,
s,,
tanpa beban tugas apapun
harus
dikerpunn yyang
ang
ng har
ng
arus
ar
uuss dik
ik
kerjakan, tidak melakukan
apa-apa
adalah
n apaa apa adala
l h prasyarat. Namun, bukan kondisi yang
g memadai untuk mencapai waktu
yang
ktu
u lu
luang
an ya
ang
ang ssejati,
ejati
at ,
at
genuine leisure.” Dalam
amatan
Gini
m am
mata
atann G
at
ini di
d atas,
as,
ia melihat bermain sebagai
agai aktivitas yang tak
bisa dipisahkan dari bermalas-malasan
rmal
allas
as-mal
asm asa
as n ((idle).
idle).
e)).
e).
Gini menempatkan bermain
sebagai
rmain
ain
in sse
ebag
gai bbagian
agian
an
dari kodrat manusia sebagai
makhluk
bagai makhl
lukk sosial
i l
yang berinteraksi dengan
an sesamanya. Waktu

54

Mencari, Menemukan, dan Mengomunikasikan Nilai-nilai Bermain dalam Konteks Pendidikan

senggang adalah ruang di mana bermain mendapatkan tempatnya yang tepat, sementara
waktu kerja cenderung berseberangan dengan
waktu senggang sehingga
wak
sehin
bermain cenderung
diliha
at ssebagai
ebagai distrak
dilihat
distraksi saja. Keutamaan dari
aktivitas be
bbermain
ermain seba
sebagai pengisi waktu senggang adalah
h counter-b
counter-balance dari keutamaan
kerja yang adalah
ada
d ah pro
dal
da
produktif, kompetitif, seULXVH¿VLHQHIHN
HN
NWLIWH
ULXVH¿VLHQHIHNWLIWHUHQFDQDGDQWHUNRQWURO
Penelitian yang di
ilakuk oleh Maxine Sheetsdilakukan
Johnstone mengeksplorasi
mengek
e pl
eks
ek
hakikat dan pentingnya bermain ba
agi anak-anak dan remaja
bagi
awal. Selain itu, iaa ju
juga menengarai adanya
kebutuhan lebih lan
njut untuk melindungi berlanjut
main dari serbuan pre
prematur dunia kompetisi
yang menjadi ciri kkhas
ha orang dewasa. Menurut Sheets-Johnsto
to
one, dunia kompetisi adalah
Sheets-Johnstone,
sebentuk penyim
mpang dari hakikat bermain
penyimpangan
itu sendiri. Me
engi
n kut saran dari ahli etoloMengikuti
gis Inggris Bl
Blu
rton Jones
Jo
Blurton
, Sheets-Johnstone
PHQJD¿UPD
P VL GH¿QLVL
PD
PHQJD¿UPDVL
GH¿QLVL ¶EHUPDLQ¶ URXJK DQG
tumblee pplay)
lay) sebagai suatu aktivitas yang
mel
e iba
el
ib
b tkan tujuh pola gerakan khas, yaitu bermelibatkan
OODULNHMDUNHMDUDQ FKDVLQJDQGÀHHLQJ EHUDULNHMDUNHMDUDQ FK
gulat (wrestling), melompat-lompat
melo
(jumping
up and down with bot
both feet together), saling
memukul dengan tangan
tang terbuka, tetapi bukan
ben
benarena benar mem
emukul (beating at each other
em
benar-benar
memukul
with aan
n open ha
hhand
ndd w
without actually hitting),
memuku
ku tem
kul
ku
man bbermain
erm
memukul
teman
dengan menggunakan oobjek,
bjek
k, ttetapi
etaapi bbukan
ukan benar-benar memukul
(bea
ating
ng att eea
eac
ch oother
ther with an object but not
(beating
each
hitti
ing) dan
da te
da
ertaw
wa ria
hitting)
tertawa
riang.
Dar
ari peng
ar
gama
Dari
pengamatan
Sheets-Johnstone,
jjenis
jen
iss bermai
in rrough
oug
ug
ugh
g aand tumble ini, semakin
bermain
kkurang
kur
ang menda
patt tem
mendapat
tempat dalam iklim kompetisi, seperti games
game competition, sports
com
compet
omp iti
tion,
ti
io da
dan
an sseterusnya.
ete
competition,
Bermain rough
and
d tumbl
mblee yyang
mbl
ang ti
ttidak
dak mengutamakan target
tumble
dan tujuan
tujua
j n penc
ncapaia cenderung semakin
nc
pencapaian,
berkurang
g dalam permainan
per
anak. SheetsJoh
o nst
s onee priha
hati
ha
tin me
ti
Johnstone
prihatin
melihat semangat berkompet
etisi
et
isi yang
n ser
ng
ering
ing
ng disu
petisi
sering
disuntikkan ke dalam permainan anak, karena, menurutnya, kompetisi
m
emper
perce
pe
cepat mot
ce
mo
ivas dan tingkat kepuasan
mempercepat
motivasi
ya
yan
g diperoleh
dipe
iper
eroleh
h ana
an
km
yang
anak
melampaui usianya. Ketik
ka hhasrat
asrat aka
k n kkekuasaan,
eku
tika
akan
dominasi, menjadi nomor satu dan tak
ta terkalahkan, menjadi

55

Hendar Putranto, M.Hum

tenar dan dipuja, mendasari motivasi seorang
anak untuk bermain, maka kemenangan demi
kemenangan menjadi tujuan sekaligus pembenaran rasa harga diri yang muncul melebihi
teman-teman sepermainannya sekaligus rasa
menjadi lebih tinggi (superioritas). Kompetisi
yang dipaksakan masuk dalam dunia bermain
anak pada gilirannya akan menciptakan atPRV¿U\DQJNXUDQJVHKDWGDODPXSD\DSHPbentukan karakter si anak tersebut, terutama
karakter sosialnya.
Berbicara tentang dimensi pembentukan karakter yang bisa kita dapat dari aktivitas
bermain, ada baiknya penulis menyampaikannya secara tersendiri di bawah ini berdasarkan
KDVLOSHQJDPDWDQSHQJXMLDQGDQUHÀHNVLSHnulis selama menjadi seorang pendidik.
Dimensi Pembentukan Karakter dari Bermain
Berdasarkan pengamatan dan uji coba
di lapangan, baik di dalam maupun di luar ruang kelas, yang dilakukan oleh penulis selama
kurang lebih 5 tahun, penulis mengambil kesimpulan sementara bahwa sejumlah mata pelajaran pengembangan kepribadian (seperti agama, bimbingan konseling, kewarganegaraan,
kajian lintas-budaya atau multikulturalisme)
akan lebih efektif penyampaian pesannya jika
menggunakan metode bermain atau dinamika
kelompok. Mungkin kesimpulan yang penulis
sebutkan di atas bukanlah suatu temuan yang
baru dan bersifat terobosan. Namun, penulis
WHWDS PHUDVD WHUJHUDN XQWXN PHUHÀHNVLNDQ
sedikitnya lima nilai utama yang kerap muncul saat terjadi interaksi antara pengajar (guru,
dosen, pelatih) dan siswa yang diajar dalam
model permainan.
Nilai yang pertama adalah keriangan
(joy). Saat bermain, terutama bermain dengan
penuh gerakan dan ekspresi suara maupun
visual, para partisipan melebur dalam suatu
suasana yang diwarnai keriangan. Keriangan
adalah kondisi yang niscaya perlu ada dan
diciptakan agar proses pembelajaran menjadi
lebih menarik dan nilai-nilai yang mau disampaikan lewat bermain dapat tertanam dalam
benak partisipan atau peserta didik.

Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume II, Nomor 1, Juni 2010

Mencari, Menemukan, dan Mengomunikasikan Nilai-nilai Bermain dalam Konteks Pendidikan

Dengan menjadi riang, pesan-pesan yang mau
disampaikan oleh pengajar akan terserap secara lebih efektif oleh peserta didik. Suasana
hati yang riang-gembira akan membuka budi
dan hati peserta didik sehingga aturan tidak
lagi dirasakan mengekang dan tuntutan untuk menjadi lebih (lebih baik, lebih disiplin,
lebih berbagi dengan temannya) tidak lagi dirasakan sebagai beban. Dengan belajar sambil
bermain, keriangan niscaya akan menjadi atmosfer yang dominan, kecurigaan serta prasangka negatif menjadi terkikis dan partisipan
menjadi lebih siap untuk diisi pengetahuannya maupun diasah ketajaman hati nuraninya.
Nilai yang kedua adalah partisipasi yang lebih
penuh. Acapkali dijumpai dalam proses belajar mengajar di ruang kelas, ada sejumlah
siswa yang tidak mengikuti pelajaran dengan sepenuh hati. Ada sebagian siswa yang
terkantuk-kantuk bahkan tidur, ada juga yang
sibuk sendiri (corat-coret, menggambar, smsan), ada yang bengong, ada yang mengobrol dengan teman sebelahnya, ada juga yang
membaca buku atau majalah yang tidak ada
kaitannya dengan pelajaran yang sedang diaMDUNDQ6DODKVDWXUHÀHNVLSHQXOLVWHQWDQJVLWuasi semacam ini adalah karena adanya ’jarak’
yang tercipta antara bahan ajar dengan hidup
mereka sehari-hari. Yang dimaksud dengan
’jarak’ di sini bukanlah jarak dalam arti spaVLDOJHRJUD¿V WHWDSL MDUDN NRJQLWLI GDQ MDUDN
dalam arti keterlibatan emosional-motorik.
Menarik jarak, dalam arti tertentu, memang
diperlukan agar seseorang dapat mengamati
JHMDODGHQJDQOHELKFHUPDWGDQPHUHÀHNVLNDQnya (sebagaimana nampak dalam pelajaran
sains yang dilakukan di laboratorium, ataupun
dalam pelajaran-pelajaran ilmu sosial yang
menganalisis gejala sosial-kemasyarakatan).
Namun, keberjarakan yang terlalu lebar, tanpa adanya ikhtiar untuk menjembatani, dapat
memunculkan perasaan bosan dan terasing
dalam diri peserta didik sehingga mereka lalu
cenderung mengacuhkan pentingnya pesan
yang mau disampaikan oleh pengajar. Lewat
bermain, keberjarakan yang dapat berefek
pada keterasingan siswa didik dari materi ajar
ini diharapkan dapat dijembatani. Setelah di-

Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume II, Nomor 1, Juni 2010

Hendar Putranto, M.Hum

jembatani, tentunya juga diharapkan ada peningkatan kadar partisipasi
asi peserta didik dalam
mengenali dan menguasai
sai bahan ajar menjadi
lebih penuh.
Nilai yang ketiga
pengenalan
ga adalah pengena
nallan
na
la
tubuh, baik segi kerapuhan
uhan maupun ke
kkekuaekua
k tannya. Nilai pengenalan
kebertubuhan
an kebertub
buha
u n aadadalah sesuatu yang mungkin
jarang
ngkin jaran
an
ng disad
ddisadari
dari
dan dieksplisitkan oleh
h para ppendidik.
endidik. Tubuh menjadi sesuatu yang
dalam
ng asing da
alam model
kurikulum yang menekankan
aspek
ankan aspe
ek pengembangan kognitif di atas penge
pengembangan
afektif
embangan af
emb
afekt
ektif
ekt
iff
dan volutif (dimensi psiko-motorik).
Padahal,
iko-m
mo
motorik).
mo
Pa
adahal,,
kita semua tahu bahwa berma
bermain
melibatain lebih m
elibat-kan aspek emosi dan gerakan.
Lewat
rakan.. L
ewat bermain,
para peserta didik diajak
untuk
k untu
uk kkembali
embali mengakrabi tubuhnya, dengan
segala
kerapuhan
gan seg
gala kerapuh
han
ataupun kekuatannya. Keceka
Kecekatan
(agility),
atan (agilit
ty),
VSRQWDQLWDV GDQ JHUDN UHÀHNV PR
PRELOLWDV
PRE
LOLWDV GGDQ
DQ
DQ
ketangguhan bisa menjadi
adi beberapaa to
ttolok
lok ukur
bagi partisipan untuk mengenali bag
bagaimana
aga
g imana
tubuh merespon aturan main dan tujuann ddari
ari
bermain itu sendiri. Embodied
atau
mbodied learning at
tau
u
proses pembelajaran yang
ang peka terhadap dimensi kebertubuhan adalah
dalah suatu paradigma
yang baik untuk diadopsi
psi dalam proses belajar.
Nilai yang keempat
sama
mpat ada
adalah kerja sa
ad
ama
m
(team-work). Lewat bermain
kelomerma
main dal
ddalam
am ke
elom-pok, sekaligus juga dilatihkan
tihkkan kkemampuan
emampuaan se-seorang untuk bekerja dala
dalam
kelomam tim
m atau ke
elom-pok. Intelegensi sosiall da
dalam
pengertian
alam
m pengertia
an ”
Kemampuan untuk hidup
rukun
up ru
ukunn dengan oorang
rangg
lain (get along well with
others)
mampu
th ot
thers)
s)) dan m
ampu
amp
mpu
mengajak mereka bekerja
sama”
dengan
kerja sam
sa
a” denga
n n
nga
sendirinya akan diasah dan dipert
dipertajam
aja
j m ddalam
situasi bermain. Kerja sama dalam bermain
adalah kerja sama yang spor
sportif
arti
men-orrtif
t da
ddalam
lam
am
m ar
rti
t men
m
junjung tinggi nilai kejujuran
ujuran
ra da
ddan
n ppengakuan
engaku
en
kuan
ku
akan arti kemenangan dan ke
kkekalahan
kallaha
h n yang
fair. Berbeda dengan situasi
tuasi dan suasana persaingan di ruang kelas dala
dalam
kognitif
am bi
bbidang
id ng
ida
id
g kog
o nit
ittif
(misalnya: yang ditentukan
ukan
an
n ole
olehh nila
ol
nnilai
ilaii rapo
ila
rrapor)
or)
yang cenderung mengeksklusi
ksklusi satu sama lain,
kerja sama dalam bermain
menjadi
main
in
n me
m
njaadi akt
aaktiviivi
vivi
tas yang luhur karena ada ’’tujuan
lebih
tuj
ujuan
uj
u ya
yyang
ngg leb
bih
tinggi’ (a higher end) yang
mengarahkannya,
ang mengarah
hkannya,
yaitu ide bahwa manusiaa adalah makhluk so

56

Mencari, Menemukan, dan Mengomunikasikan Nilai-nilai Bermain dalam Konteks Pendidikan

sial, dan bukan melulu makhluk individual.
bermain akan nampak lebih
Kerja sama dalam berm
karakternya
cemerlang dimensi pembentukan
pe
jika
jik
ikaa pprioritas
rioritas diberikan pada permainan dalam
kelompok.
kelomp
mpok.
mp
Nilai
N
Nil
ai yang kkelima adalah otonomi
otentisitas.
Otonomi (dari akar kasekaligus ot
tent
e isitas. O
artinya
diri dan nomos yang arttanya auto- ar
art
rtiny
i a di
sini terutama dimengerti
inya hukum) di sin
dalam arti kemampuan
kemam
mpuan seorang individu yang
membuat
keputusan (decirasional untuk m
em
yang
sion). Otonomi yan
ng ddilatihkan dalam proses
partisipan mengenali dibermain membuat pa
rinya sendiri, mengenali
menggena kapabilitasnya untuk
otentik. Seseorang dilatih
menjadi diri yang ote
untuk berpegang tteguh
egu pada prinsip-prinsip
dibatinkannya
(stay true to one’s
yang sudah dibati
tin
inkan
principles) ketika
ketik
ik
ka ia ”dicemplungkan” ke
dalam situasi bbermain
ermain karena dalam bermain,
diperkenankan
ia tidak diper
erkenanka untuk memanipulasi
er
bermainnya, maupun dirinya
baik hasil,
l,, rekan
re
berm
Berhadapan
dengan aturan main yang
sendiri.
i.. B
erhadapan de
tidak
seorang partisipan dalam
tid
dak ia buat sendiri, se
dalam matra otonomi dan
bbermain
ermain bergerak dal
heteronomi. Disebut ootonomi karena dengan
rasionalitasnya, pemain akan
kemampuan rasional
mengikuti koridor yang
memutuskan untuk m
sudah
ditetapkan
ia sendiri menjadi
sud
udah
ud
a ditetapka
kann ttanpa
ka
an
dilumpuhkan
koridor tersebut.
dilump
mpuhkan ole
mp
ooleh
h aadanya
d
Disebut
Disebu
ut heteronomi
heteroonom
mi kkarena aturan main dari
permainan
yang
ikuti (kemungkinan besar)
permai
ma nan
an yan
ng iaa iku
bukanlah
aturan
main
bukanl
anl
nllah
a at
atu
turaan m
ain yang ia tetapkan sendiberupa kesepakatan yang
ri, melainkan
melai
aiinka
n n aatau
tau
u be
dibuat
sebelum
mulai
dibu
uat sebe
be um m
be
bel
ulai bermain, atau sesuatu
yyang
yan
g ssudah
udahh tterberi
erbeeri ((given). Setiap momen
(apakah
kkeputusan
kep
utusan (apak
kah itu berlari, atau mencegat pemain lawan, atau memberi operan,
melompat
ata
atau
t um
elo
lompa
lompa
mpatt atau
ata tterjatuh sebagai strategi
bermain)
moment
di mana si pemain
ber
rmain)
n) ada
aadalah
d lah mo
m
m
menjadi
otentik dengan memutuskan
menjad
di semakin
ki otent
kin
untuk dirinya sendiri. Dampak dari keputupemain akan memengaruhi
san
a ya
an
yang ddibuat
ibuat
at si
s pem
baik
bai
aikk ddirinya
ai
n ssendiri,
end
ndiri, kelompoknya, maupun
bagi semua yang terlibat
kelancaran bermain ba
bermain
tersebut.
ddalam
dal
am
m ber
ermai
er
m n tte
ersebu
adalah kebebaNilai yan
Nil
yangg kkeenam
e
Kebebasan
san. K
ebeb
b basan dii sini bisa dimengerti secara
positif yaitu dalam arti penentuan diri (self-de-

57

Hendar Putranto, M.Hum

termination), alih-alih selalu diatur dan ditentukan dari luar dirinya (misalnya: oleh guru,
oleh buku, oleh orangtua, dan oleh media).
Kebebasan adalah sesuatu yang dirindukan
(dimensi batin atau spiritual) sekaligus perlu
diupayakan perwujudan atau materialisasinya
dalam ruang maupun aktivitas bermain. Kebebasan menjadi conditio sine qua non (kondisi
niscaya) dari para pemain untuk mengaktualisasikan dirinya dalam bermain. Kebebasan
dalam arti nonintervensi juga harus dijaga
baik sebelum, selama maupun sesudah bermain (sehingga nantinya tidak dijumpai lagi
skandal pengaturan skor atau pemain yang
disuap oleh sponsor untuk ’mengalah’). Kebebasan dalam bermain bukan berarti kebebasan
semau gue karena matra kebebasan (individu)
sudah selalu mengandaikan adanya kebebasan
yang lain yang juga memunyai dan sedang
mengaktualisasikan kebebasannya. Maka,
lebih tepat jika dikatakan bahwa dalam bermain, kebebasan yang dianut dan dipraktikkan
adalah kebebasan yang berlandaskan nilainilai tanggung jawab dan respek atau saling
menghormati. Tanpa dilandasi nilai-nilai ini,
kebebasan dapat menjadi senjata mematikan
dan permainan adalah ajang kekacauan.

.HHQDP QLODL \DQJ SHQXOLV UHÀHNVLkan di atas sifatnya saling melengkapi, dan
bukan saling menegasi. Artinya, antara satu
nilai dengan nilai yang lain ada dalam ikatan
yang saling mengandaikan. Meskipun di permukaan mungkin nampak bertabrakan (misalnya, antara otonomi dan otentisitas dengan
team-work). Namun, sejatinya mereka sudah
saling mengandaikan dan saling menguatkan
untuk membuat bermain menjadi sarana unggul bagi pengembangan karakter.
Dalam pemikiran yang kurang lebih senada
GHQJDQUHÀHNVLSHQXOLVGLDWDV%ULDQ(GPLVton dalam bukunya Forming Ethical Identities
in Early Childhood Play (2008), berpendapat
bahwa bermain bisa menjadi sebuah model
alternatif pedagogis yang bertujuan untuk
membentuk identitas diri anak yang sedang
berkembang menuju dewasa. Edmiston mengatakan, ”Bermain sebagai sebuah pedagogi
etis dalam konteks pengasuhan anak usia dini

Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume II, Nomor 1, Juni 2010

Mencari, Menemukan, dan Mengomunikasikan Nilai-nilai Bermain dalam Konteks Pendidikan

(early childcare setting) menciptakan ruang
yang mendukung kerja sama antara anak dan
orang dewasa untuk membentuk identitas
diri yang etis. Praktik yang bisa dikembangkan dari model pedagogi ini mensyaratkan
adanya suatu kebiasaan mendengarkan dan
berdialog.” Tentang kebiasaan mendengarkan dan berdialog ini, menurut penulis, adalah kunci untuk membuat kita tetap menjadi
manusia yang sehat dan waras, yang terbuka
terhadap masukan dan kritik, sejauh memang
mengembangkan kemanusiaan kita, seperti
disindir oleh puisi yang penulis jadikan rangkuman dari bagian ini. Puisi yang berjudul
”Brueghel’s Two Monkeys” ini merupakan
karya pujangga perempuan kelahiran Polandia
yang meraih penghargaan Nobel Sastra tahun
1996, Wislawa Szymborska. Dalam puisinya
ini, Szymborska melukiskan suasana keterkekangan siswa yang berupaya menjawab soal
ujian sejarah Umat Manusia, sampai ia harus
disenggol (diberitahu) oleh seekor monyet
yang dirantai. Nampak jelas dalam puisi ini
bahwa Szymborska menyoroti secara ironis
dimensi bermain dalam setting belajar dan
ujian yang serius. Berikut larik puisinya,
“Inilah yang kulihat dalam mimpiku tentang
ujian akhir:
Dua ekor monyet, dirantai ke lantai, duduk di
selasar jendela,
Langit di belakang mereka meningkah lincah
dan segara sedang mandi
Mata Ujiannya adalah Sejarah Umat Manusia
Aku tergagap dan mengelak
Seekor monyet menatap tajam dan mendengarkan dengan pandang mengejek
Yang lainnya nampak sedang melamun
Namun ketika sudah menjadi jelas aku tak
tahu apa yang harus kukatakan
Ia menyenggolku dengan lembut ditingkahi
bunyi dencing rantainya.”
'LPHQVL$QWURSRORJLV)LORVR¿V%HUPDLQ
Ada sebuah pepatah terkenal dalam bahasa
Inggris yang berbunyi sebagai berikut, “all
work and no play makes Jack a dull boy”.
Kurang lebih bila terjemahannya ke dalam ba-

Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume II, Nomor 1, Juni 2010

Hendar Putranto, M.Hum

hasa Indonesia akan berbunyi sebagai berikut:
“banyak bekerja dan kurang
rang bermain membuat
Jack menjadi seorang anak
nak yang tumpul.” Dari
pepatah tersebut, tersirat
at sebuah pesan moral
all
yang menganjurkan pentingnya
ntingnya menjaga ke
kkesseimbangan antara ‘bekerja’
diartierja’ (bisa jugaa ddiar
ia tikan, ‘belajar’) dan bermain
seorang
main sehingga
g seor
rang
anak tetap memunyai kebeningan
n nnurani
urani ddan
an
kecerdasan budi yang memamp
memampukannya
puk
ukannya menjadi sosok manusia yang
utuh.
g lebih utuh
h.
Dalam bukunyaa Homo Ludens: a
study of the play element
ment inn cculture,
ulture,
l
JJohan
ohann
oha
Huizinga menekankan pentin
pentingnya
unsur
ngnya unsu
ur ber-main dalam budaya dan
masyarakat
(the
n masy
yarakat (th
he pplay
lay
y
element of culture). Lewat
ewat sstudi
tudi komparatif
lintas budaya yang dilakukannya,
lakukaanny
n a, Huizinga
sampai pada kesimpulan
berupa
bahwa
an beru
upa teori bahw
wa
bermain adalah kondisi
niscaya
si primerr dan nisca
aya
(meskipun tidak dengan
sendirinya
dikan sendiriny
ya bisa dik
katakan sebagai ‘kondisi yang memad
memadai’)
ad
dai’) untuk
lahirnya budaya. Menurutnya,
“Bermain
urutnya, “Ber
rmai
m n itu
lebih tua daripada munculnya
culnya budaya ka
karena
kar
budaya selalu sudah mengandaikan adanya
nya
yaa
masyarakat, dan binatang
ang tidak menunggu
manusia untuk mengajarkan
arkan kepada mereka
bagaimana harus bermain.”
ain.” Berdasarkan temuan-temuan tersebut, tidak mengherankan
jika Huizinga mendaulat
kodrat
at kod
odrat
od
r manusia se
sseebagai “manusia yang bermain”
ludens,
erm
main” (homo lud
dens,,
dari akar kata Latin ludere
yang
deree yan
ng berarti ““berber-main”). Masih menurut
Huizinga,
bermain
ut H
uizzinga, berm
main
n
mempunyai 3 ciri-ciri pok
pokok,
kok, yaitu (1) ber-main adalah kebebasan,, (2)
bermain
2)) ber
rmain itu ttidak
idak
k
identik dengan ‘sehari-hari’
harii’ atau
au hidup
up
p yang
n
ng
‘nyata’ dan (3) bermain itu be
berbeda
hidup
erbe
rb da dar
rb
ddarii hidu
idu
idup
du
sehari-hari dalam arti durasi dan ttempatnya.
empatnya.
Ciri-ciri di atas, khususnya
snya ciri nomor 1, sudah penulis singgung di bag
bagian
sebelumnya,
ba
a ian
an se
ebel
belumn
umnya,
umn
a,
sementara ciri yang kedua
ketiga
dapat
eduaa ddan
an ket
an
ettiga
ig da
apatt
dilacak jejaknya dalam papa
paparan
selanjutnya
aran
r selan
l jut
j nya di
bawah ini.
Pandangan Huizinga
tentang
zinga
nga
ga te
tenta
ntang
n kkodrat
odrat
ra
ra
manusia sebagai makhluk
luk yang
yan
ang bbermain
erm
rmain
rm
ai dan
ain
daan
bahwa bermain adalah aktivitas manusia yang
primer dan niscaya sebelum
lahir
munbelum
um
m la
llah
a ir dan
n mu
unculnya budaya serta masy
masyarakat,
dikuatkan
yarak
ara
rakat, diku
kuuatk
kan
oleh pendapat Joe Robinson,
nson, pengarang buku
k
Work to Live, yang pernah
nah mengatakan

58

Mencari, Menemukan, dan Mengomunikasikan Nilai-nilai Bermain dalam Konteks Pendidikan

bahwa “Hidup yang dihayati tanpa bermain
atau waktu-senggang adalah hidup yang mistanpa adanya penemuan,
kin akan tindakan, ta
unsur dasar yang nampapertumbuhan, dan un
per
lupakan yaitu bersenang-senknya ssudah
u h kita lupak
uda
DQJ´3HQGDSDW5RELQVRQLQLMXJDGLD¿UPDVL
DQJ´
3HHQQGD
G SDW5RELQ
yang
diajukan Al Gini, yang mengaoleh tesis yan
ang diajuka
an
takan bahwa ““...juga
...juga meskipun kita mencintai pekerjaan kkita
it dan dalam pekerjaan kita
it
ita
menemukan
kreativitas, sukses,
tersebut kita men
nemu
Namun kita juga sangat
dan kesenangan. Na
butuh untuk tidak bekerja.
menginginkan dann but
apapun
Tidak peduli apapu
un yyang kita lakukan untuk
penghasilan,
kita juga mencari
memperoleh pengh
hasi
relaksasi,
dan moment diam
waktu senggang, re
elak
semua
sejenak. Kita semu
mu
m
ua bbutuh lebih banyak lagi
hidup
bermain dalam hid
id
dup iini.”
Dalam kkonteks
ontek pengalaman estetis
(experience off art), Hans-Georg Gadamer
menggarisbawahi
juga menggar
ariisbawahi sentralitas konsep berar
Dengan
menggunakan metode hermemain. Den
ngan mengg
XQWXN VDPSDL SDGD SHPDQHXWLND
D ¿
D
¿ORVR¿V XQWX
haman
dan menyeluruh tentang
ham
am
man yang tepat da
manusia, Gadamer dalam
pengalaman hidup ma
bukunya Wahrheit und
un Methode (Kebenaran
melihat bahwa ”Jika bermain
dan Metode) meliha
bermain, ia tidakhanya dimengerti sebagai
seb
relasi khusus
lah
ah serius. Bermain
Bermai
ma n mempunyai
m
keseriusan.
Keseriusanlah yang memdengan
an keseriu
usan
n. Ke
pada
sebagaimana dikaberi ’tujuan’
’tuj
ujju ’ pa
ujuan
ada bbermain,
erm
Aristoteles,
takan
an
n olehh A
riistoteeles, kita bermain ’untuk rekreasi’.
Namun,
bukan
krea
asii’.
’. Nam
a un
am
un, bu
ukan hanya tujuan ini yang
membuat
menjadi serius. Bermain
mem
mbuaat bbermain
erm
rmain
rm
n m
dirinya
sendiri
mengandung keseriusan,
padaa diriny
nya
ya sendi
iri m
bahkan
keseriusan
yang suci. Dalam bermain,
bahk
bah
kan keser
errius
i an
iu
n yan
yang menentukan eksemua relasi be
bbertujuan
rtujuan
t
peduli daripadanya ditunda,
sistensi aktif dan pedu
bukannya
menghilang.
buk
bukann
ukan ya men
en
nghi
gh lang Bermain memenuhi
tujuannya
tujuan
u nya hanya
nya ji
jjika
ka si pemain kehilangan
dirinya
dalam
diri
inya dala
l m bbermain.
ermain Keseriusan bukanlah
menjauhkan kita dari bermain.
sesuatu yyang
ang menjauh
Namun
sebaliknya,
keseriusan dalam bermain
Namu
Nam
un seb
e alikny
eb
knya, ke
kny
adalah
hal
ada
dalah
da
lah ha
al yyang
an nniscaya
ang
isca untuk membuat bersungguhan.” Dengan penuh
main menjadi sungg
kketelitian
ket
elitia
tiann ddan
tia
ti
an til
tilikan yang mendalam, Gadamerr m
mencoba
menyelamatkan
konsep ”beram
ame
en
enc
n oba
baa me
m
nye
EDLN
¿OVDIDW NHVDGDUDQ
PDLQ´
´ EDL
LN
N GDUL
GGDUL ´M
´´MDMDKDQ´
MDMD
sudah selalu menempatkan
rasionalistis yang suda

59

Hendar Putranto, M.Hum

bermain sebagai ”efek dari intensi kesadaran
VL SHPDLQ´ PDXSXQ GDUL WDQJNDSDQ ¿OVDIDW
pascamodern yang cenderung menempatkan
dan memperlakukan bermain sebagai ”mainmain.”
Untuk merangkumnya, ada tiga hal
yang secara eksplisit dapat kita tangkap dari
paparan Gadamer tentang bermain, yaitu
bahwa (1) Gadamer memberikan prioritas ontologis pada ”bermain” di atas ”kesadaran”
dari ”yang bermain” (2) Gadamer juga menggarisbawahi pentingnya dimensi tujuan (telos)
dari bermain, dan (3) dengan mempunyai tujuan dan status ontologis yang primer, maka
bermain adalah aktivitas manusiawi yang serius sekaligus bermakna.
Dari kedua tokoh di atas (Huizinga
dan Gadamer) kita menemukan setidaknya
dua pondasi untuk bermain, yang dicapai dengan menggunakan dua metode yang berbeda.
Yang pertama adalah antropologis – kultural
(Huizinga) dengan metode historis-kultural,
yang kedua ontologis – estetis (Gadamer)
GHQJDQ PHWRGH KHUPHQHXWLV¿ORVR¿V 3HQgukuhan pentingnya ”bermain” baik dalam
ranah yang dekat dan sehari-hari maupun
GDODP UDQDK DEVWUDN¿ORVR¿V PHPDPSXNDQ
kita untuk bergerak melihat lebih jauh lagi
tentang dimensi pedagogis dari bermain.

'DODP NRQWHNV ¿OVDIDW SHQGLGLNDQ
konsep ”bermain” mendapatkan tempat yang
cukup istimewa, khususnya dalam setting
pendidikan di tahun-tahun awal (misalnya, di
tingkat Taman Bermain dan Sekolah Dasar).
Seorang pedagog kenamaan asal Amerika, R.
F. Dearden, dalam bukunya Philosophy of Primary Education (1968) , mengatakan bahwa
bermain memiliki tiga ide mendasar yang
berbeda, tetapi saling terkait, yaitu (1) secara
hakiki, bermain sifatnya tidak serius sehingga
bermain kurang memunyai nilai etis dan kultural yang sungguhan, (2) bermain sifatnya
cukup-diri (self-contained) sehingga ia berbeda dan terpisah dari dunia ’kewajiban, pertimbangan serta projek yang menyusun jejaring
tujuan-tujuan yang serius dalam hidup seharihari’, (3) segi menarik dari bermain terletak
pada unsur kesegeraannya (immediate in its

Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume II, Nomor 1, Juni 2010

Mencari, Menemukan, dan Mengomunikasikan Nilai-nilai Bermain dalam Konteks Pendidikan

attractiveness). Dari ketiga ide besar yang
mencirikan bermain di atas, yaitu tidak serius,
cukup-diri serta menarik dalam kesegeraannya, Dearden nampak kurang mempertimbangkan dimensi nilai atau aksiologis dalam aktivitas bermain, juga dimensi keseriusan seperti
disarankan oleh Gadamer, sebagaimana sudah
penulis paparkan di bagian sebelumnya.
Temuan yang kurang lebih sama, tetapi cenderung lebih bersifat personal dan individual,
GLVDPSDLNDQ ROHK DKOL SHQGLGLNDQ ¿VLN GDQ
rekreasional bernama Luther Halsey Gulick
(1865 – 1918) dalam bukunya The Philosophy of Play . Dalam studinya tentang bermain,
Gulick menemukan bahwa lewat bermain, ia
dapat menemukan pintu masuk untuk mempelajari kemanusiaan itu sendiri. Menurutnya,
bermain adalah ”Sesuatu yang baru terjadi
jika orang sudah mempunyai makanan, tempat berlindung dan pakaian, juga terbebas
dari rasa cemas, ketika kebutuhan-kebutuhan
hidup jasmaniah untuk sementara dipindah
dan roh manusia bebas untuk mencari pemenuhan kepuasannya. Itulah saat seseorang
menjadi yang terbaik dari dirinya.” Gulick
percaya bahwa ketersingkapan manusia akan
menjadi lebih penuh lewat bermainnya, atau
pada bagaimana ia menggunakan waktu luangnya. Inilah parameter yang diacu Gulick
untuk melihat dan memahami kodrat manusia.
Sejajar dengan pemahaman di atas, tetapi dengan menyertakan analisis yang lebih substanVLDO GDQ PHQGDODP VHRUDQJ ¿OVXI EHVDU -HUman G. W. F. Hegel pernah menyatakan dalam
bukunya Philosophy of Right (Grundlinien
der Philosophie des Rechts) bahwa anak adalah agen yang memiliki kehendak bebas, dan
kehendak itu dimanifestasikan pertama-tama
dalam keluarga, lalu dalam ranah masyarakat
sipil. Mengenai ciri yang asali, yaitu kebebasan, Hegel mengatakan bahwa “Secara potensial, anak adalah makhluk yang bebas, dan
hidup adalah perwujudan langsung dari kebebasan potensial ini. Karenanya, anak bukanlah
benda atau barang, dan tidak bisa dikatakan
bahwa anak menjadi milik orang tuanya atau
siapapun yang lain. Namun demikian, kebebasan yang mereka miliki masih bersifat po-

Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume II, Nomor 1, Juni 2010

Hendar Putranto, M.Hum

tensial. Pendidikan anak yang terkait dengan
kehidupan keluarga mempunyai
empunyai dua tujuan
yang saling terkait. Tujuannya
ujuannya yang positif
adalah untuk mengangkat
at kodrat etis yang adaa
dalam diri setiap anak menjadi sebuah pers
perseprseeprs
si langsung yang terbebas
bas dari segalaa bentuk
bent
en uk
oposisi, dan karenanya memperoleh
kedamah kedam
maian pikiran, yang menjadi
hidup
jadi basiss ddari
ari hi
idup
etis. Anak melewati tahun-tahun
un-tahunn aawal
wal hidupnya dalam cinta, kepercayaan,
ayaan, dan kepatuhan.
Tujuannya yang negatif
mengangkat
if adalah m
engangkat
si anak dari keadaan kodratinya
sederodratin
nya yang se
ny
seder
derder
hana, the natural simplicity,
icity, menjadi ppribadi
ribadii
yang mandiri dan bebas,
gilirans, dan ini pada ggi
iliran-nya akan memampukan si ana
anak
ak meninggalkan
kesatuan yang alamiah yang merupakan ciri
khas keluarga.”
Dari kutipan di atas, kitaa bisa langsu
langsung
ung
menangkap bahwa Hegel
menempatkan
dinael menem
mpat
p kan dina
nana
mika aktualisasi kebebasan
(yang
asan anak (ya
yan
ya
a g masih
bersifat potensial) dalam
am keluarga sebagai
kondisi yang niscaya ada sebelum sii ana
aanak
k
merealisasikan kebebasannya
sannya dalam ruang
ng
g
kolektif yang lebih luas,
as, yaitu ruang publik
bernama masyarakat sipil
pil (civil society). Selain itu, sudah jelas bahwa
wa cinta, kepercayaan,
dan kepatuhan adalah tiga keutamaan hidup
keluarga yang memampukan
tumbuh
pukan
an
n si
s anak tum
mbuh
bu
menjadi pribadi yang caka
cakap
dalam
mengakap dal
a am men
ngak-tualisasikan kebebasannya.
Secara
implisit,
nyaa. Se
ecara imp
plisit,,
penulis dapat mengatakan
dalam
takaan bbahwa
ahwa da
alam
m
masyarakat sipil, kebebasan
menasan
n si aanak
nak akan m
en-jadi semakin penuh jikaa ia mem
mempunyai
’ruang
m
empunyai ’r
ruang
bermain’ untuk mengaktualisasikan
gaktu
ualisas
a kan ssetiap
asi
etiaap
bakat-bakat dan potensi-potensi
Nai-poten
ens
en
n i dirinya. N
amun, bagaimana jika ’ruang
bermain’
uang bermai
in’’ ttersebut
ersebut
tidak tersedia dalam masyarakat
asyarakat kita? Mungkin ilustrasi dystopia sebagaimana
ebagai
g man
m a ddigambarma
iga
g mba
ga
mb
b rkan oleh novelis P. D. Jame
James
mees ddalam
alam
m nnovelnya
oove
velny
ln a
Children of Men (1992),
sudah
), dan
an yang sud
dah
h diangkat ke layar lebar pada
da 2006 oleh sutradara
Alfonso Cuaron dengan
judul
bisa
n judu
udu
dul yyang
du
ang ssama
ang
ama
m bis
isa
PHQMDGLJDPEDUDQVHNLODVXQWXNNLWDUHÀHNVLODV XQWXN
XQQWXN
WXNNLWD
WDDUHÀ
WD
D UHÀ
UHÀHNVVLkan.
Dalam novel Children
Men,, JJames
hildr
drreen
n of
o Men
M
ame
mees
menuturkan visi agungnya
ngnya
y te
ya
ttentang
entaang ssituasi
ituas
asii
as
umat manusia di masa yang akan
datang
(setk datan
t g (set
tting tahun 2027) yang dicekam
icekam ketakutan ber-

60

Mencari, Menemukan, dan Mengomunikasikan Nilai-nilai Bermain dalam Konteks Pendidikan

global karena umat manusia nyaris punah,
mengingat tidak ada lagi
la bayi yang dilahirkan
selama kurun waktu hhampir 20 tahun. Dalam
GLLQVSLUDVLNDQ ROHK QRYHOQ\D VH¿OP \DQJ GLLQVSLUDVLN
¿OP
cara aamat
m dramatis ddan tragis digambarkan
mat
“kegemaran” manusia dewasa unbagaimana
na “kegemara
na
berperang,
bentrok senjata, menyingkirtuk berperan
an
ng,
g bentro
berbeda (misalnya, kaum
kan yang lain
n yyang
ang be
destruktif
imigran) dan ke
kkegiatan-kegiatan
giat
membuat
lainnya telah mem
em ua planet bumi ini menemb
jadi tanah yang ggersang
ersa dan senantiasa beGedung-gedung yang hanraroma kekerasan. Ged
peluru nyasar dan
cur, jalanan yang ddipenuhi
ipe
ledakan, sekolah-sekolah
puing-puing bekas le
kehadiran siswa dan guru,
yang kosong tanpaa keh
yang sepi nir pekik canda
serta taman bermain
bermai
aiin ya
tawa anak-anak aadalah
dala pemandangan suram
situasi
yang lahir dari si
ituasi anarkis yang dibungkus
Kejar-tangkap-tembak
adalah
ketercekaman. K
ejar-t
keseharian
yang mengisi relung namantra keseh
eh
harian ya
sesak napas mereka yang
pas kota, membuat
membuat se
dalam a game called surtak bisa
saa bertahan dal
YLYDORIWKH¿WWHVW7LGDNQDPSDNODJLVHQ\XP
YLY
LY
YDO
DORIWKH¿WWHVW7LG
wajah para penduduk kota,
mengembang di waja
yang terpancar dari sorot
so mata mereka adalah
sekaligus keinginan balas denrasa takut dan sekaligu
dam. Semakin keras semakin baik, semakin
kas
kasar
asa semakin ppenuh
en h ssorak-sorai.
enu
Pelajaran
Pelajar
ran yyang
ra
ang bisa kita petik dari setvisioner
semacam
ting visi
isi
sioner se
si
emaacam ini adalah bahwa untuk
membangun
masyarakat
mem
mban
b gu
gun m
asyyarak yang humanis, yang
mencintai
men
ncin
in
ntai
t da
ddamai
mai dan menjauhi kekerasan,
diperlukan
suatu
setting
dipe
erluka
kaan suat
uatu se
ua
ettin dan desain sosial-kultural-politis
tura
al-politi
tiis yyang
ang rrasional
asio serta memadai yang
untuk anak-anak.
mem
memberikan
m
n rruang
uangg bbermain
er
Tanpa
T
Tan
pa adanya ja
jjaminan
minan dan keberpihakan dari
kebijakan terorang tua dan para pengambil
pe
penciptaan
had
hadap
adap pen
enciptaa
en
taa
a n rruang
aa
aan
uan bermain yang membebaskan
mengaktualkan yang terbaik
beb
bask
askan
an dan me
menga
dalam
dal
lam ddiri
irii aanak,
nak
ak,
k visi dystopia P. D. James
digambarkan dalam novelnya
sebagaimana digamba
Children
bukan tidak mungkin terjadi
C
Ch
Chi
h ldr
dren ooff Men buka
dr
dalam
waktu
dekat
ini.
dal
alam
al
am wak
ak dek
ak
aktu
deka
at ini
bermain di
Setelah mendiskusikan
mend
WDWDUDQ
WWDW
D DUDQ
Q NNRQVHS
RQVHS
S GDQ
S
GGDQ JJDJDVDQ \DQJ ¿ORVR¿V
menghantar sidang
tibalahh sa
tib
ssaatnya
aatnya
ya ppenulis
enu
sampai pada bagian kontekpembaca untuk sampa
stualisasi nilai-nilai yyang berhasil kita petik

61

Hendar Putranto, M.Hum

dari kegiatan bermain, di bawah ini.
Mengomunikasikan Nilai-nilai Kehidupan
dalam Aktivitas Bermain: Sebuah Upaya
Kontekstualisasi
Laskar Pelangi adalah sebuah novel
karya Andrea Hirata yang pertama kali diterbitkan oleh penerbit Bentang (Yogya) pada
September 2005. Dalam novel ini diceritakan
kisah hidup sepuluh anak yang berasal dari
keluarga miskin yang menimba ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan hidup di sebuah sekolah bernafaskan prinsip-prinsip keagamaan
(Muhammadiyah) di Pulau Belitong (Sumatera). Nama kesepuluh anak tersebut adalah
Ikal, Lintang, Sahara, Mahar, A Kiong, Syahdan, Kucai, Borek (Samson), Trapani dan
Harun. Karena keterbatasan dana dan minimnya anak yang mendaftar, sekolah Muhammadiyah hanya mampu membuka satu kelas
saja sehingga kesepuluh anak yang disebut
di atas berada di kelas yang sama sejak SD
hingga SMP. Ketangguhan karakter, kebeningan nurani, dan kecerdasan otak kesepuluh
anak di atas diasuh dan digembleng oleh Pak
Harfan dan Bu Muslimah. Di tengah segala
keterbatasan sarana dan prasarana yang dimiliki sekolah, juga keterbatasan kemamSXDQ ¿QDQVLDO GDUL SDUD RUDQJ WXD NHVHSXOXK
siswa tersebut, SDN Muhammadiyah berhasil
mencetak prestasi yang mengagumkan yaitu
kemenangan di lomba Cerdas Cermat (mengalahkan dua tim dari sekolah PN Timah,
yang langganan juara) dan kemenangan di
lomba karnival seni dalam rangka 17 Agustusan (mengalahkan marching band dari sekolah PN yang sebelumnya juga langganan
juara). Demikian ringkasan umum dari novel
Laskar Pelangi.
Ada tiga pokok yang hendak penulis
UHÀHNVLNDQGDULQRYHO/DVNDU3HODQJL\DLWX
(1) Tentang keberhasilan para guru dan murid
SD Muhammadiyah dalam menerapkan nilainilai bermain (di luar ruang kelas) dan belajar
(di dalam ruang kelas) dan mengomunikasikan nilai-nilai tersebut kepada penduduk sekitar, kepada sesama insan pendidikan yang ada
di sekolah PN Timah (dan sekolah lain

Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume II, Nomor 1, Juni 2010

Mencari, Menemukan, dan Mengomunikasikan Nilai-nilai Bermain dalam Konteks Pendidikan

nya), pejabat pemerintahan di pulau Belitong,
maupun sidang pembaca Laskar Pelangi di
manapun mereka berada. Menurut penulis,
kunci keberhasilan dari Pak Harfan dan Bu
Mus dalam mengomunikasikan nilai-nilai kehidupan seperti kejujuran, keterbukaan, toleransi dan kegigihan berjuang kepada para murid yang belajar di SD-SMP Muhammadiyah
adalah karena mereka amat memerhatikan
pentingnya dan mempraktikkan secara sungguh-sungguh ”kebiasaan mendengarkan dan
berdialog” seperti sudah disebutkan oleh Brian Edmiston di atas. Kebiasaan mendengarkan ini nampak misalnya ketika pelajaran seni
suara, Bu Mus memberikan kesempatan kepada semua murid untuk menunjukkan kualitas vokal dan pemahaman notasi musiknya.
Meskipun tidak semua siswa seberbakat Mahar dalam olah vokal, Bu Mus tetap menyimak penampilan satu per satu muridnya, juga
meskipun ia harus