Pemekaran daerah dan Krisis Lingkungan

d,r:\rPrr \(

r'rL (1lr\N

Dr

lirl

PEMEI(ARAN DAERAH DAI\ KRISIS
LINGI(INGAITT: SUATU TEI.AA}I KRITI S ATAS
KERUSAIGI\AI-AM
Dosen Fakulas nmu Sosial d""

r*ff;ffi;fl:rs

Surtan

Ageng Titayasa(Jntira),

Indonesia.
dan


Mohammad fuus Yusoff

Associaa pmfessor, ketua program sains

politik dan dosen di Pusat Kajian Sejarah, politik dan
Strategi Universiti Kebangsaan Malaysia (UKI\{), Malaysia.

Diterima:

12

Aguustus 2009

Diproses: 25 Agustus 2009

Abstract
T-his paper discusses decentralization and its impact on the
enaironment. lt states that
decentralizationhas emerged enaironmmtal degradotion. Since decentralization

tookplace,
illegal logging, iLlegal mining and many otheriatural resources exploitation
had ociunei

worse than eaer before. Local elites (political, bureaucracies, and industries)
together with
the
community engage to exptoit the natural resources
inuease
their"prosperity.
.local
for
This is-pushed for four reason: regacy
frorythg Nezo oiAer period that earn *on"y
-1)
through-easy way; 2) return
for t!9ir iamitiign funit for the etected oficial such goaerno,
regent; 3) patron-client relationship behteen the etecieit
fficial and iiti, tupporin, which is
the fortfler giTre the material resources (licenses, contract, etc) and

the latter gioe their toyattis;
ald rngng4ot Pouerty t\at they haae eaer around as marginalizeil tical peopte
in
-0
la.er f -rUa. To fgure out this problem, the writers argue foifour alternatiaes: 1) enhanu
the legal consciousness and raise the awareness
for preierae tie enaironment; 2) increas in

i,

yi

controllingmechanism and ghte strict sanction jor ihc itisobediences; and4)
inaolae the third
o{Gq both local and international) for oaercoming the enaironmental crisis.

parties

Keyutords: decentralization, enoironmental ilegrailation, local elites.


PENDAHULUAN
Makalah ini akan mendiskusikan dan menganalisis

pemekaran daerah dan krisis
lingkungan sebagai konsekuensi atas tuntutan otonomi daerah pada enReformasi
Mengapa makalah ini penting? pertama, hanpan akan perubahan (politik)
pade
'Reformasi' tidak selamanya. dzpat tercapai dengan
-olor. satah satu hal yang
tarnal Kebijahzn dan Administrasi ptrbEl

142

@Magistcr Administrasi

publik Unioersius Gadjab Madt

Volnme

13,


Leo Agnstino & Mobammad

Nomor 2 (Nooanba

Ags

20A91

yasof, bal 142-

le

rmpaknya jauh dari hanprn tersebut tdalah implementasi kebiiakan otonomi
deerah yang dilaksanakrn secara serampangan, khususnya. pa'dz pelaksanaan
perrekaran daerah. I(edua, selain berdampak negatif terhadap anggaran b.l""i,

APBI$, pemekaran daerah
kerusakan
lingkungan.

Penjualan pasir ke
menyebabkan
terjadinya
irya telah
flera jiran, pembilakan hutan, penambangan batu bara besar-besaran secara
br dan eksploitasi alam dalam bentuk lain adalah sedikit dari banyak akibat
pemekaran daerah yang mengatasnamakan isu putra-daerah. Ketiga keberhasilan
ceorang menduduki jrbatan kepala daerah melalui mekanisme Pilkada tidak
hr-ng mendorong seseorang untuk melakukan penetrasi dan ekspolitasi pada
snher daya alam, dalam nngka mengembalikanbiayt yang telah dikeluarkannya
rLma proses Pilkada. Kompensasi atas 'kawasan tertentu' kepa& para investor
r'"pun birokrat yang menyokong selama kampanye merupakan attivias pasca
p&ntikan yang sering dilakukan guna memelihara loyalitas dan soliditas dttntera
pemerintah pusat dalam memberikan sanksi pada
-"eka. Terakhir, lemahnya
drcrah sehingga mengakibatkan kemerosotan lingkungan yang lebih drastis
dripada masa sebelumnya patut mendapat perhatian lebih.
Oleh karena itu, untuk membahas dinamika politik lokal yang berkait dengan
rnqktlab
|

-ekaran daerah, pefizrungain elite dan eksploitasi lingkungan, maka
tri.kan dibrgt ke dalam beberapa bagian untuk mensistematisasikan umtan
ndiqisny2. Pertama, pembahasan akan difokuskan pada sentralisasi, desentralisasi
& pemekann daera,h. Kedua, elaborasi mengenai kerusakan lingkungan yang
Eirti di daerah-daerah pemekaran. IQtiga, analisis mengenai ap^y^untukmencad
' ' - keluar dari petbagar masalah ini.
ocgara (Anggaran Pendapatan dan belanja Negara,

nrNI SENTRALISASI,
nnRAH

DESENTRALISASI HINGGA PEMEKARAN

spnrlisasi merupakan kebalikan dari sistem desentralisasi di mana kekuasaan
'flFq!'ng oleh pemerintah pusat tanpa memberikan kewenangan pada pemedntah

r h Pemerintah Indonesia seiak Orde Lama, terlebih lag, padra masa Orde
hu telah menjalankan sistem ini dengan dua tujuan yakni menciptqken kestahq ketertiban dan keteraturan politik di satu sisi, demi mendorong terciptanya

$pr'r'"rbsl2n ekonomi pada sisi yang lain. Kedua hal ini saling terkait dengan

ftr'L€i pembangunan Orde Baru, yaitu modernisasi model Bant Model pemhtunan ini menjadi trade nark pemerintah Soeharto karena model sosialisme/
thnrnrnisme ala Soekarno tidak berhasil direalisasikan.
Dalam pema.hrmanteod modernisasi" pemerintah memainkan perarurn sentral
fllrn mendorong pernrmbuhan ekonomi yang dibantu oleh pengusaha lokal dan

JFlf

Vohac /7, Nonor 2

(Noaenber 2009)

t43

Leo Agustino

&

Mohammad Agus Yussof

intemasional. Namun, untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang

oleh modal dalam dan luar negeri, hal pertam^ y^ng mesti dipersiapkan
pemerintah ialah kestabilan dan keteraturan politik. Hal ini dapat dipahami
utama jika menengok sejarah lahirnya negara-negara merdeka baru yang
dirkan realitas pertikaian antar-elite dan perebutan kuasa. Tidak dapat di
bahwa ketidakstabilan ini mengecilkan keinginan investor untuk m
modalnya di negara-neganyzing baru merdeka tersebut. Kondisi ini hanya
dihindari jika keteratumn dan ketertiban dapat diciptakan.
Pemerintah Indonesia tanpa mau kehilangan momentum modernisasi
ambil kesempatan ini. Agar tercipta keteraturan dan kestabilan, pemerintah
rapkan konsep sentralisasi pembangunan. Disini pemerintah mengambil
peran mulai dari formulasi, implementasi hingga evaluasi pembangunan,
kebijakan. Akibatnya, komunikasr antrn nkyat dengan pemerintah te
Pemerintah tidak ahu mengenai konsep pembangunanya;ng sesungguhnya
hendaki wlrgz karena semua bersifat top-down. Pandangan kritis te
pembangunan di Indonesia mulai diutarakan oleh Mortimer yang men
bahwa pembangunan di Indonesia hanya menjalankan fungsinya sebagi
para pemilik modal (dalam Vedi R. Hadtz 2005:775). Namun, negara Orde
tidak menghiraukan kritikan tersebut. Bahkan mereka menjalankan
aktivitasnya tanpa merisaukan perasaan nkyat yang ditinggalkan, ditindas
merasa dikhianati.

Tidak janng dalam pembangunan selama Orde Baru berkuasa
dengan carl-cata kekerasan. Kasus pembangunan Tapos, misalnya,
barkan bagaimana kekerasan negfi terhadap nkyat dengan mengedepankan
1 Keketasan dalam pembangunan Tapos terjadi mulai ahun

1971. Petani yang memiliki
diintimidasi dan diteror agar nruru pindah dari tempat asalnya oleh pihak pengembang,
birokrasi setempat, hi"gg" tentara pucas 1997 :47 -66; Dianto Bachtiadi 1997 :67 -94).
mekanisme sistematis dalam menggusur watga pemilik tanah di Tapos, diantaranya:

dimulai dengan menjadikan lahan pertanian mereka sebagai ladang penggembalaan sapi-sapi
PT. Rejo Sari Bumi (pengembang). Dengan dijadikannya lahanJahan pertanian warga
ladangpenggembalaan,sapi-sapimerusakladangpertaniantalcyar Petanisendfuitidakberani
sapisapi tersebut karena dikatakan bahwa sapi itu milik presiden. Suatu saat bahkan
kotoran ternak dari ranchTapos (yang bisa mencapai 40 truk per hati) ditebarkan begitu saia di
Iahanmkyag denganalasanagar taruhnyamenjadi subur. Tetapipadakenyataannya halini
warga menjadi tidak nyaman dan segera pindah dari anah milik mereka. Cara lain, dike
pasukan berkuda ftuat indikasi mereka adalah pasukan berkuda tentara Angkaan Darat)
berkelilling desa. Intimidasi semakin menjadi-jadi manakala lahan-lahan petani mulai
dengan bulldozet yang dikendarai oleh kesatuan Yon Zipur yang berseniata bekeria sama

Departemen Peketjaan Umum (Dianto Bachriadi & Lucas 2001:9, 12). Akibat .lati
Tapos ini tidak sedikit warga yang kehilangan tempat ti"gg"l, kehilangan mata pencaharian
(yanglebih mengerikan adalah) kehilangan masa depan.

TM

JKAP Vohme

13, Nomor

2 (Nownber

i

""il:fil,ff*"i1H:."HXil
kepentingan umum.l Demikian pula halnya dengan kasus pembangunan waduk
Kedung Ombo.2 Masih banyak lagi kasus kekerasan dalam pembangunun y^ng

dilakukan oleh negata Orde Baru dalam konteks lainnya. Ringkasnya, selama
periode 7966-1998,bisa dikatakan bahwa neganadalah sebuah entitas yang sangat
kuag otoritarian dan sentralistik. Bebetapa sarianaberupaya memotret bagatrnma
sentralisasi negar:^ Orde Baru dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat di
Indonesia diantannya Crouch (1978;1979);Jackson & Pye (1978); King (1932);
Robison (1989); Maclntyre (1990); dan masih banyak lagi.
Mengikuti Crouch (1978), walaupun negm Orde Baru berbeda dengan rejim
Orde Lama Soekarnq teapi pelanggengan sentralisasi kekuasaan masih menjadi
sifat utama. Crouch mengkritik model modernisasi Orde Baru sebagapatrinonial
wc (Crouch1,979). Dalam model ini, elit berusaha untuk mendapat banyak keunnmgan dan jabatan yang dipegahgnya. Karena itu, untuk mempertahankan kuasanya, satu c t y^ng kerap dilakukannya adalah menebar proyek pada patronPatrorlnya aget ter€rpta loyalitas, soliditas dan yang terpenting kekekalan 'kenjaan
kecilnya'. Sejalan dengan Crouch,Jackson & Pye (1978) menyatakan bahwa sistem
pemerintahan di Indonesia lebih bersifat bureaucraticpoliry.Disin, proses pengambilan keputusan dalam sistem pemerintahanhanya dilakukan oleh segelintir elit
rrns berkuasa saja. Mereka adalah birokrat senior, teknokrat dan pejabat militer
y'ene berpanisipasi dalam pembuatan keputusan yang otoritatif. Ini bertentangan
r Kasus ini muncul ketika upaya sosialisasi dan realisasi ganti-fl€i anah tidak
berhasil dilakukan. Biaya
gznti-rugi yang ditetapkan oleh pihak pemerintah, berpedoman pada Surat Keputusan Gubernut
No 593.8/135/1987 dengan biaya (ganti-rugi) sebesar Rp. 730/M2. Di sampingbiaya ganti-rugr
Ersebut, warga pun mendapat ongkos dokasi bangunan rumah, serta ganti-rugi tanaman yang
mereka miliki (pologoro). Sementara itu, warga berpedoman pada Surat Keputusan Bupati No.
592l/06/273/87 yangmenetapkan bahwabiayaganti-rugi anah adalah Rp.5,0N/M2. Perbedaan
harga inilah yang kemudian menimbulkan penolakan atas bnya ganti-rug dan relokasi (Lane
ffi7:137). Penolakan warga didasarkan pada kepeduan mereka untuk membeli tanah di tempat
hin, membangun rumah, dan akhinya dapat bertani lagi seperti sediakala (dengan modal yangada,
yang dipetoleh dari biaya ganti--g). Penolakan yang awalnya hanya
'tilakukan di beberapa desa,
enpikemudian menyebar ke desa lainnyayangmenimbulkan keresahanbagiaparatpemerintahan.
Melihatpenolakan yangbegitu bergelombang, maka Bupati Boyolali membedkan ultimatum agar
ganti-rugi harus sudah diselesaikan pada bulanJuni 1 988, dengan kesediaaan ataupun tidak kesediaan
varga. Namun warga tetap menolak. Penolakan terus bedanjut bahkan hingga Presiden Soeharto
meresmikanTasikKedung Ombo, padatanggalZ4Maret 1989. Beberapawarga, bahkan, berniat
eap tinggal di daetahnya walau daerah itu sudah digenangi air. Mereka bahkan bersedia mati di
daerahnya sampaiwadukitu benar-benarmenenggelamkan meteka. Akhirnya, penggenangan air
rcara besar-besaran nyata-nyaa dilakukan pada bulan April 1989. Pada puncak kampanye
pembangunan wadukKedung Ombq Soehartq mengatakan bahwa para petani adalah orangyang
aetas kepala'. kbih lanjug untuk menambah keberhasilan projek pembangunan tersebut Soeharo
mengatakan bahwa daetah Kedung Ombo pada masa lalu merupakan basis pendukung PKI.
trGtika simbolisasi PKI telah disematkan kepada para petani" maka tidakadakatabogtpenuntutan
rtes hak asasi mereka.

JKAP Volune 1j, Nomor 2 (Noaenber 2009)

k*-',renr*r****-.-'

1,45

ko

Agustino & Mohamrnad Agus Yussof

dengan istilah demoktasi yang ditawarkan oleh Demokrasi Pancasila. Sebab,
demokrasi semestinya menyodorkan ruang yang luas bagi ketetlibatan nkyat dalam
proses kebijakan publik (formulasi, implementasi, evaluasi dan terminasi).
Sentralisasi kekuasaan tidak hanya terjadi di Indonesi^, tet^pi ini adalah gejala
umum di negara yang tengah melakukan modernisasi. Demikian yang di utarakan
oleh O'Donnell dalam bukunya Moderniqation and Bureaucrary Authoritarianism:
Studies in Soutb Anerican Politics (1973) jauh sebelum analisis Jackson dan Crouch.
Model bureaucratic ailtboritarian O'Donnell, tidak dikembangkan lebih lanjut oleh
kedua saqana yang disebut di atas untuk menjelaskan modernisasi di Indonesia,
tetapi dikembangkan oleh King (dalam Anderson & Kahin 1'982) yang menyebutnya sebagai btreaucratic autboritaianisn with linited plurali(y. Model ini
menjelaskan bahwa sebuah sistem pemerintahan dipegang olehtentanyang berkolaborasi dengan teknokrat sipil dan pengusaha besar (dalam ataupun luar negeri).
Dominasi pemerinah dalam konteks ini tidak dapat dielakkan bahkan cenderung
menguat serta mengarah prda perilaku yang otoritarian. Sedangkan keterlibatan
nl