Rasionalisme dan Relevansi Kontemporer dan

RASIONALISME DAN RELEVANSI KONTEMPORER
(Alam Pemikiran Descartes, Spinoza dan Leibniz)
Oleh: Fauzan Anwar Sandiah

A. Pengantar dan Latar Belakang
Zaman modern dengan rasionalisme di Barat secara sederhana dapat
dipahami sebagai masa yang menandai pergeseran-pergeseran peradaban
teologis, magis, menuju era pencerahan dengan pretensi kemenangan akal
budi. Kultus terhadap akal budi atau rasio dapat dilihat dari kerangka August
Comte mengenai sejarah pengetahuan yang bergerak dari fase; teologi
kemudian berubah menjadi metafisis dan yang terakhir menjadi positivis.
Rasionalisme sebagai sebuah konsep corak filsafat membawa kendala.
Pertama, terletak pada upaya untuk mengklasifikasikan tiap zaman atau
periode filsafat. Menurut Copleston, setiap terma atau istilah di dalam
pembabakan sejarah filsafat secara umum menunjukkan patahan (break),
misalnya antara periode pertengahan dan pasca pertengahan. Problem yang
pertama tersebut membawa pertanyaan pada problem Kedua, yakni megenai
kontinuitas dan kebaruan. Ketiga mengenai perbedaan-perbedaan antara tiap
zaman. Persoalan utama yang diajukan oleh para filsuf abad pertengahan
dapat dilihat dari pernyataan Aristoteles mengenai kecenderungan orang
Yunani yang terpesona terhadap masalah etis, Orang Romawi dengan

masalah hukum, dan orang Abad Pertengahan dengan teologi. Menurut
Aristoteles mereka semua tidak berfokus kepada ilmu pengetahuan.1
Jejak Rasionalisme zaman modern pada abad ke-21 masih
memberikan pengaruh. Filsuf kontemporer seperti Alain Badiou
menggunakan matematika sebagai paradigma filsafat sebagaimana
Descartes.2 Tentu saja, Badiou adalah klaim yang berbeda mengenai dominasi
filsafat pasca-modernisme. Filsafat Abad ke-21 meskipun banyak ditandai
dengan filsafat pasca-modernisme, dengan berbagai metode seperti
dekonstruksi ala Derrida, juga ditandai dengan berkembangnya aliran-aliran
filsafat kontemporer di lapangan Marxisme-Sosialisme dan filsafat timur serta
filsafat Islam di perguruan tinggi. Dalam hal ini, ada pemandangan bahwa
filafat rasionalisme tidak sepenuhnya produk klasik yang kehilangan
relevansinya bersama kritik-kritik filsuf modern.

1
2

Lih, Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern, (Jakarta: Gramedia, 2004), hlm. 27.
Suryajaya, Martin, Materialisme Dialektis, (Yogyakarta: Resist Book, 2012), hlm. 78.


1

Suatu corak khusus dalam alam rasionalisme, adalah perdebatan
hingga diskursus mengenai susbtansi. Letak relevansi rasionalisme dalam
tataran perdebatan dan diskursus atas substansi memang terdengar tidak
relevan lagi semenjak Heidegger memberikan model berpikir atas realitas
tidak melalui atau bersama pencarian substansi melainkan melalui
fenomenologi atau melalui filsafat Being. Tetapi penting untuk diingat bahwa
perjalanan rasionalisme mengenal Seyn atau Sang Ada—meminjam istilah
Heidegger—sepenuhnya bukan kesalahan rasionalisme ala Cartesian. Akar
tanggungjawabnya berada jauh sebelum masa renaissance, yakni bersumber
dari Aristoteles. Makalah ini membahas secara singkat mengenai salah satu
rasionalisme. Fokus utama dari makalah ini adalah meninjau secara cepat
bagaimana rasionalisme berkembang dan hidup pada masa pasca renaissance.
Melalui perkembangan itu, akan terlihat rasionalisme sebagai sebuah gagasan
filsafat yang tidak dapat disebut sebagai produk intelektual, melainkan juga
sebagai sebuah produk diskursus sosiologis.
B. Rasionalisme dan Penjelasannya
Secara umum, istilah Rasionalisme (rationalism) adalah “the theory
that all behaviour, opinions, etc should be based on reason, not feeling or

religious belief”.3 Di Indonesia, pengertian baku mengenai rasionalisme
adalah “teori (paham) yang menganggap bahwa pikiran dan akal merupakan
satu-satunya dasar untuk memecahkan problem (kebenaran) yang lepas dari
jangkauan indra...”.4 Rasionalisme berasal dari keyakinan bahwa akal, rasio
dapat melampaui apa yang hanya dapat ditangkap oleh sensasi indrawi.
Rasionalisme adalah lawan dari empirisme yang memandang bahwa segala
pengetahuan harus datang dari dan diuji oleh pengalaman (sense experience).
Rasionalisme juga dikenal sebagai sebuah aliran pemikiran yang
muncul pada masa pendewasaan renaissance. Dalam hal ini, rasionalisme
diartikan sebagai sebuah kecenderungan epistemologi bahwa sumber
pengetahuan yang dapat memenuhi kriteria mencukupi dan dapat dipercaya
adalah rasio (akal).5 Rasionalisme secara luas merupakan suatu masa yang
menandakan pergeseran cara manusia melakukan relasi dengan realitas. Oleh
karenanya, rasionalisme juga dianggap sebagai salah-satu dari tiga “ramuan

3
Hornby, A S, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, (Oxford: Oxford University
Press, 1995), hlm. 965.
4
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke empat, (Jakarta: Gramedia, 2008),hlm.1146.

5
Bdk, Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 2005),
hlm.18.

2

masyarakat modern” selain kapitalisme-revolusi industri dan penemuan
subjektivitas modern.6
Rasionalisme sebagai “ramuan masyarakat modern” memiliki empat
ciri khusus; pertama, rasionalisme sebagai paham yang meletakkan
kepercayaan pada kekuatan akal budi manusia. Kedua, penolakan terhadap
tradisi, dogma dan otoritas. Berkaitan dengan ciri kedua ini, dalam konteks
politik, rasionalisme menuntut kepemimpinan rasional. Ketiga, rasionalisme
mengembangkan metode baru bagi ilmu pengetahuan yang menunjukkan ciriciri modernisme secara jelas. Keempat, rasionalisme membawa sekularisasi,
yakni munculnya cara lain untuk menghayati realitas, yakni melalui ilmu
pengetahuan. Pra rasionalisme, manusia menghayati fenomena alam melalui
interpretasi kitab suci atau pemahaman agama klasik. Pasca rasionalisme,
interpretasi kitab suci dan paham keagamaan menjadi semakin komprehensif
sehingga membentuk pemahaman realitas dalam bingkai interpretasi klasik
agama atau dogma sebagai khazanah klasik.7 Di Eropa, sekularisasi memiliki

arti yang berbeda, yakni pemisahan antara kehidupan privat (kepercayaan,
agama, nilai-nilai pribadi) dengan kehidupan publik (relasi antara negara dan
manusia). Dalam hal ini, menjadi sebuah kekeliruan besar jika menganggap
sekularisasi dalam rasionalisme hanya dapat dimaknai sebagai pemisahan
antara agama dan urusan duniawi. Pada perkembangannya rasionalisme justru
membantu perkembangan paham keagamaan menuju bentuk yang
komprehensif sebagaimana cita-cita setiap agama pada awal terbentuknya,
yakni deklarasi emansipasi dan progresifisme.
C. Descartes, Spinoza, dan Leibniz
1. Rene Descartes (1596-1650)
Secara umum Rene Descartes dianggap sebagai bapak filsafat modern
aliran rasionalisme.8 Menurut Copleston, nama Descartes dan Bacon secara
umum diterima sebagai penunjuk awal dari zaman filsafat modern.9
Descartes dilahirkan 31 Maret 1596 di Touraine. Descartes merupakan
anak ketiga dari seorang ketua Parlemen Inggris (Britania). Tahun 1906,
Descartes disekolahkan oleh ayahnya di La Fleche yang didirikan oleh Henry
IV dengan pengarahan untuk menjadi serikat jesuit (Society of Jesus).
6

Magniz-Suseno, Franz, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, (Yogyakarta:Kanisius,

2013),hlm.58-65.
7
Ibid, Magnis-Suseno, Franz, Filsafat sebagai...,hlm.65-69.
8
Nama Descartes di dalam buku-buku pengantar filsafat diidentikkan dengan sosok figur
dengan filsafat modern. Secara umum, Descartes terkenal dengan pernyataannya cogito ergo sum
yang menjatuhkan skolasitikus mengenai “sebab-sebab terakhir”. Dalam hal ini, Descartes terlibat
perdebatan mengenai proses dari sebab ke akibat.
9
Frederick Copleston, History of Philosophy, Volume IV, (New York: Image Books,
1960), hlm, 1.

3

Descartes menghabiskan masa belajarnya hingga tahun 1612, dengan
beberapa tahun terakhir yang difokuskan untuk mempelajari logika, filsafat
dan matematika.10
Descartes hidup dalam konteks masyarakat berciri Aristokrat. Minat
intelektual elit saat itu terfokus pada masalah-masalah metafisika skolastik.11
Minat terhadap metafisika skolastik ini secara umum menghasilkan gagasan

mengenai “sebab-sebab terakhir” atau causa finalis.12 Meskipun hidup dalam
konteks minat intelektual elit demikian, Descartes justru mewakili golongan
yang menjatuhkan pemahaman metafisika skolastik dengan menunjukkan
bahwa “tujuan pada dirinya sendiri sudah terberikan”. Descartes membuat
pemahaman mengenai “sebab-sebab terakhir” yang pada awalnya membuat
realitas tampak animistis dan magis menjadi lebih mekanistis.
Descartes disebut sebagai “bapak filsafat modern” disebabkan oleh
penjelasan-penjelasannya mengenai realitas yang bertentangan dengan cara
skolastika mengungkapkan realitas. Filsafat menemukan metode baru lewat
gagasan-gagasan Descartes. Pada dasawarsa yang sama, Francis Bacon
(1561-1626) melalui karyanya Advancement of Learning (1605) mendorong
masyarakat untuk menerima gagasan Aristoteles mengenai metode induksi
secara serius. Metode induksi Aristotelian mencoba memahami realitas
melalui pengumpulan data dan informasi dari material yang ada.
Keinginan Bacon dapat dianggap sebagai representasi keinginan
beberapa filsuf pada masa itu untuk mendorong masyarakat terlepas dari
“rintangan-rintangan bagi kemajuan manusia” yang disebutnya “Idola” di
dalam buku Novum Organum (1620).13 Konteks sosialisasi metode induksi
Aristotelian Bacon adalah mencapai kesimpulan objektif yang bersih dari
idola-idola. Bacon melakukan metode induksi dengan memanfaatkan

“contoh-contoh negatif” atau contoh yang dapat menyangkal suatu gejala.14
Selain Bacon, penggalian informasi melalui material atau lingkungan
juga dilakukan oleh Galileo (1564-1642) yang mengamati bintang melalui
modifikasi teleskop refraksi yang ditemukan di Belanda pada tahun 1609.
Maka secara garis besar, ide deduksi merupakan tema sosialisasi metode yang
cukup baru pada masa itu. meskipun metode ini berakar dari pertentangan
klasik antara Platon dan Aristoteles
Pada prinsipnya, Descartes memilih untuk tidak menggunakan metode
deduksi meskipun secara umum di dalam berbagai pengantar filsafat
disebutkan bahwa Descartes melanjutkan metode deduksi Bacon dan Galileo.
10

Ibid., Lih, Frederick Copleston, History of Philosophy, Volume IV,hlm. 63.
Ibid., Lih, Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern, hlm. 34.
12
Lih, O’Donnel, Kevin, Sejarah Ide-Ide, Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 104.
13
Ibid., Lih, Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern, hlm. 28-29.
14
Ibid., Lih, Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern, hlm. 30.


11

4

Descartes mengawali penelitian mengenai realitas menggunakan observasi
untuk menghasilkan premis awal. Melalui premis awal yang ditemukan,
Descartes akan melakukan pengujian hingga suatu premis mencapai derajat
kepastian dan kebenaran yang tinggi. Hal ini secara mendasar terkait dengan
dasar dari metode Descartes yakni; metode kesangsian. Menurut Descartes,
Deduksi dan Intuisi adalah metode di dalam filsafat yang tidak menjamin
kepastian.15
Penjelasan secara utuh tentang bagaimana posisi Descartes terhadap
metode deduksi dan metode kesangsian sebenarnya tidak dapat dilihat secara
diametral. Kecenderungan Descartes untuk memberikan kepastian di dalam
filsafat berangkat dari gagasan matematis bahwa realitas harus diungkapkan
secara pasti, konstan dan tepat. Dalam hal ini Descartes jelas mengacu pada
gagasan Platon mengenai realitas (meskipun bukan berarti “bentuk-bentuk
ideal”) yang dapat ditemukan berdasarkan prinsip matematis yang
menginginkan realitas diungkap menurut sifat abadi dan konstan.16 Sifat

abadi dan konstan tersebut berkisar tentang ide atau idea realitas. Ide menurut
Descartes adalah sesuatu yang jelas dan terbedakan dari konsep batin yang
hanya dapat disimpulkan dari rasio. Ide, haruslah dapat dikonfirmasi melalui
observasi dan pengalaman indera.17
Descartes dan Platon sepintas tampak bertolak belakang, sedangkan
antara Descartes dan Aristoteles tampak beriringan, namun persoalan serius
yang ditentang Descartes dari ide Aristotelian juga fundamental. Aristoteles
dalam bidang teleologi memandang bahwa yang ada di dunia ini memiliki
tujuan (telos) yang terlahir, telos di dalam dirinya sendiri, telos yang sesuai
dengan tujuan sesuatu dilahirkan atau yang lazim disebut “sebab-sebab
terakhir” (causa finalis). Sedangkan Descartes menolak penjelasan mengenai
“sebab-sebab terakhir” atau causa finalis berdasarkan pada cara pandangnya
terhadap mekanisme penyebab sebelunya dan menyusun proses yang jelas
dari sebab ke akibat.18
Menurut Descartes, pengetahuan sempurna adalah yang dapat
diketahui oleh manusia seperti perilaku di dalam kehidupannya. Pengetahuan
dengan demikian menurut Descartes adalah yang jelas dan tanpa keraguan.19
Descartes membuat empat hukum bangunan dasar pengetahuan. Pertama,
tidak menerima apapun sebagai benar kecuali telah jelas dan nyata. Kedua,
pengetahuan harus membuat masalah yang sulit menjadi lebih mudah untuk

15

Ibid., Lih, Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern, hlm. 39.
Ibid., Lih, O’Donnel, Kevin, Sejarah Ide-Ide, hlm. 36
17
Ibid., Lih, O’Donnel, Kevin, Sejarah Ide-Ide, hlm. 106.
18
Ibid., Lih, O’Donnel, Kevin, Sejarah Ide-Ide, hlm. 104.
19
Descartes, Rene, Principles of Philosophy, terj: John Veitch, Project Gutenberg
Literary Archive Foundation, 2001.
16

5

dipecahkan. Ketiga, membangun kehati-hatian dan perlahan sebuah
kebenaran pengetahuan secara sederhana. Menurut Descartes, kebenaran
adalah apa yang jelas dan nyata menurut persepsi. Keempat, pengetahuan
harus dapat menjelaskan secara cukup dan memadai realitas. Descartes yang
mengagumi geometri memandang bahwa pengetahuan atau proses pencarian
kebenaran harus membuat hukum-hukum yang dapat digunakan untuk
menganalisis realitas secara stabil.20
Gagasan mengenai pengetahuan dari Descartes yang diketahui berasal
dari pernyataannya mengenai segala yang benar harus jelas dan dapat dipilahpilah (clear and distinctly). Keyakinan Descartes yang demikian
membawanya kepada pencarian mengenai kebenaran yang pasti di dunia.
Descartes mengembangkan pencariannya mengenai penyingkapan realitas
yang pasti dan menyakinkan dengan menggunakan metode kesangsian (le
doute methodique). Descartes menganggap untuk menemukan sebuah
persoalan yang paling mendasar adalah dengan menemukan sebuah titik yang
tidak dapat goyah sebagaimana aksioma matematika.21
Kebenaran, realitas, bagi Descartes haruslah merupakan suatu yang
pasti. Metode kesangsian berawal dari keinginan Descartes untuk
mengungkap kebenaran secara pasti. Metode kesangsian berangkat dari
asumsi bahwa segala sesuatu yang dapat diamati secara inderawi dapat
berubah-ubah meskipun tidak meninggalkan sifat asli atau substansi asli.
Sebuah objek atau benda dapat berubah dengan pengaruh suhu, seperti air,
yang dapat berubah menjadi beku pada suhu tertentu dan dapat berubah
menjadi uap pada suhu tertentu. Perubahan “air” tersebut terjadi, tetapi tidak
mengubah substansi atau idea dari air itu sendiri.
Objek yang Descartes maksud tentu saja tidak saja yang secara materil
terjadi, tetapi juga yang secara imajinatif dikreasikan oleh manusia, misalnya
objek-objek imajinatif di dalam mimpi. Meskipun objek-objek tersebut
berada di alam mimpi, tetapi itu adalah nyata yang ditangkap oleh indera. Di
dalam mimpi, manusia melihat, atau menggunakan indera untuk melihat
objek. Maka objek yang terlihat di dalam mimpi dapat saja disebut sebagai
nyata karena sebenarnya berasal dari rasio. Menurut Descartes, jika kita
sedang bermimpi maka kita bermimpi.
Gagasan awal yang serupa dengan gagasan kebenaran eksistensial ala
Descartes dapat kita temukan pada St. Augustine yang mengekspresikan
kebenaran eksistensialnya dengan si fallor, sum atau if I am deceived, I am
exist. Menurut Copleston, meskipun demikian, St. Augustine tidak mencoba
20

Descartes, Rene, The Philosophical writing of Descartes, Volume I, terj: John
Cottingham, dkk, (London: Cambridge University Press, 1985), hlm. 116-119.
21
Ibid., Lih, Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern, hlm. 38.

6

untuk membangun filsafat secara tersistematis melalui si fallor, sum,
melainkan sebagai sebuah contoh dari kebenaran pasti (indubitable truth)
yang menyangkal skeptisisme yang juga berarti bahwa gagasan ini tidak
mengambil peran fundamental dalam cogito, ergo sum pada sistem filsafat
Descartes.22
Problema kebenaran ditelusuri oleh Descartes melalui dilema-dilema
pada kasus-kasus di atas. Objek-objek materi seperti air ternyata ditangkap
oleh inderawi secara berbeda-beda, dan oleh karenanya tidak memiliki bentuk
yang pasti. Objek-objek imajinatif pun juga mengalami hal serupa, tidak
dapat dipastikan sebagai sebuah yang benar dan pasti. Dari problema ini,
Descartes bertanya seandainya segala yang diperoleh manusia berupa
pengetahuan, atau tentang kebenaran merupakan hasil dari perdayaan iblis
yang licik (evil genius-genius malignus) bagaimana menemukan kebenaran?.
Karya-karya Descartes, Discours de la Methode (1637) dan
Meditationes de prima Philosophia (1641).
2. Baruch de Spinoza (1632-1677)
Spinoza adalah seorang keturunan Yahudi-Portugis yang lahir di
Amsterdam, Belanda pada 24 November 1632. Kebebasan berpikir adalah hal
terpenting yang menjadi kekhasan Spinoza. Eropa pada abad 15 hingga 16
adalah masa yang cukup penting untuk melihat pergeseran dari wawasan
intelektual teologis ke metafisis. Akan tetapi, pergeseran tersebut terjadi
secara halus melalui gagasan-gagasan mengenai berpikir secara bebas dan
melewati batas-batas sakral dominasi cendekiawan pada saat itu. Spinoza
yang banyak dipengaruhi oleh Descartes dan mulai meninggalkan ajaranajaran kuno adalah seorang yang sangat menekankan persoalan kebebasan
berpikir.
Perkembangan intelektual Spinoza dan kaitannya dengan Descartes
dapat dipahami dengan berbagai macam cara. Dalam sebuah pengantar
terdapat penjelasan bahwa Spinoza mengakui bahwa dia dipengaruhi oleh
Descartes, tetapi ia tidak menerimanya dengan penuh. Spinoza kagum dengan
Cartesian, tetapi ia tidak pernah menganggapnya sebagai kebenaran yang
utuh. Kaitan antara Spinoza dan Cartesian terletak pada sebuah metode ideal
dan rajutan erat dengan pengetahuan.23 Spinoza adalah anggota dari lingkaran
Franciscus Van den Enden, seorang partisipan di dalam pertemuan
mahasiswa dan seorang ahli di bidang filsafat Cartesian. Saat diusir dari
komunitas Yahudi, Spinoza menjadi murid dari Van den Enden yang untuk
beberapa waktu menjadi pembela toleransi, kebebasan berpikir dan kebebasan
22
23

Ibid., Lih, Frederick Copleston, History of Philosophy, Volume IV, hlm. 90-91.
Ibid., Lih, Frederick Copleston, History of Philosophy, Volume IV, hlm. 210.

7

beragama. beberapa peneliti kemudian memberikan pertanyaan mengenai
seberapa jauh Van den Enden mempengaruhi Spinoza. Pertanyaan tersebut
diajukan oleh Meinsma, sejak lama. tetapi penjelasan yang cukup populer
berasal dari Wim Klever dan Stephen Nadler.
Saat menulis surat untuk Henry Oldenburg, seorang yang bertanya
kepada Spinoza mengenai cacat utama filsafat Descartes dan Bacon, Spinoza
menjawab, cacat utama dari kedua filsuf tersebut adalah mereka telah
menyimpang terlalu jauh dari pengetahuan mengenai “sebab-pertama” dan
“asal-usul segala sesuatu”. Dalam hal ini, Spinoza tampak sangat dipengaruhi
oleh Skolatisisme tentang terminologi meskipun terlihat tidak mendalam.24
Spinoza dianggap sebagai pemberontak oleh agamawan karena
tulisan-tulisannya dituduh sebagai subversif. tulisan-tulisan Spinoza
mendobrak dogma agama di kalangan Yahudi maupun Kristen. Spinoza
diasosiasikan dengan kritikus seperti Juan de Prado, Isaac de La Peyrere, dan
Uriel de Costa.
Spinoza memiliki visi yang sama dengan Descartes. Keduanya
berkehendak untuk menemukan jaminan dan pegangan yang pasti mengenai
segala bentuk pengetahuan. Perbedaannya, Descartes menemukannya dalam
konsep cogito, Spinoza dalam konsep substansi. Menurut Spinoza, substansi
adalah “ada pada dirinya sendiri dan dipahami melalui dirinya sendiri”.25
Substansi dalam pengertian Spinoza mengandung sifat causa sui, sebagai
penyebab dirinya sendiri. Substansi menurut Spinoza adalah Allah, sehingga
dengan demikian tidak ada yang dapat bergantung selain daripada substansi
tertinggi tersebut. Allah sebagai substansi tunggal berada di dalam beraneka
ragam substansi, dan menjadi semacam substansi inti.
Rasionalisme Spinoza menurut sebagian komentator dinilai lebih luas
dan konsekuen dibandingkan dengan Descartes. Sistem rasional Spinoza
menurut komentator “hanya mewujudkan suatu usaha guna merumuskan apa
yang telah dialami sendiri dalam pengalaman mistis dengan pengertianpengertian yang rasional”.26 Spinoza merumuskan integrasi antara Allah
sebagai susbtansi dan alam semesta, yakni antara essentia dan existentia.
Spinoza merumuskan dua konsep yang berkaitan dengan susbtansi, yakni;
attribute dan modus. Dari kedua konsep ini, pemahaman Spinoza atas Allah
sebagai substansi tunggal dan integrasinya dengan alam semesta dapat
dijelaskan dengan baik. Hakikat atau essentia ditentukan oleh attribute atau
sifat-sifat yang tidak terbatas. Sedangkan material alam adalah modus yang
berarti cara susbtansi tunggal tersebut berada. Dengan kata lain, Allah sebagai
24

Ibid., Lih, Frederick Copleston, History of Philosophy, Volume IV, hlm. 210
Ibid., Lih, Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern, hlm.47.
26
Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat...,hlm.27.

25

8

substansi, menentukan sifat-sifatnya secara luas dan tak terbatas, tetapi di
dalam alam semesta yang terjangkau indera, substansi memanifestasikan diri
ke dalam modus.
3. Gottfried Wilhelm von Leibniz (1646-1716)
Leibniz lahir pada tanggal 1 Juli tahun 1646 di Leipzig. Leibniz
adalah putra dari seorang profesor. Leibniz banyak membaca karya-karya
klasik, skolastik dan puisi-puisi kuno pada masa mudanya.27 Pada usia dua
puluh tahun, Leibniz meraih gelar doktor. Pada usia yang sama, Leibniz ikut
merevisi hukum kota Mainz. Leibniz dikenal sebagai seorang yang penting
dibalik perkembangan sains modern sejajar dengan Newton. Leibniz dan
Newton membuat aturan baru di dalam matematika dan fisika yang tidak
diketahui sebelum masanya.28 Pada tahun 1686 menerbitkan buku berjudul
Discours de metaphysique, dan tahun 1714 dengan karya berjudul La
Monadologie.
Menurut Leibniz, ada yang “tidak berkeluasan” atau biasa disebut
juga “yang terkecil”. Titik, di dalam matematika adalah yang terkecil; atom,
di dalam fisika adalah yang terkecil; dan monad, di dalam metafisika adalah
yang terkecil. Penemuan-penemuan mutakhir tentang yang terkecil ini jangan
dipahami secara keliru, misalnya dengan menyatakan bahwa di fisika, atom
bukan yang terkecil, karena dalam kerangka berpikir Leibniz, hal tersebut
bukan persoalan. Pada intinya, di dalam sesuatu terdapat “yang tidak
berkeluasan”. Oleh karenanya, yang terkecil di dalam fisika misalnya bukan
lagi atom melainkan proton dan neutron itu tidak menjadi masalah. Dalam
problem sederhana demikian, dapat diketahui bahwa monad tidak memiliki
bagian, meskipun bisa jadi monad sendiri adalah bagian dari sesuatu yang
bercampur.29
Monad bukan benda, melainkan substansi atau kenyataan mental
yang terdiri dari persepsi dan hasrat, atau sebagai force primitives (daya
purba) yang bukan material, melainkan spiritual.30 Konsep mengenai monad
sudah ada di dalam pikiran Leibniz jauh sebelum dia menulis La
Monadologie. Dalam De arte combinatoria, Leibniz mengatakan bahwa
metodenya disarankan oleh seorang penulis, matematikawan modern dan
filsuf bernama Raymond Lull.
Monad berasal dari kata monos, yang berarti satu. Monad adalah
suatu konsep mengenai kesadaran diri tertutup. Setiap Monad memiliki sifat27

Ibid., Lih, Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern, hlm. 53.
Suisky, Dieter, Eular as Physicist, (Berlin: Springer, 2008), hlm. 33.
29
Lih, Leibniz, Gottfried Wilhelm von, The Principles of philosophy known as
Monadology, teks dipublikasikan oleh: Jonathan Bennett, 2004.
30
Ibid., Lih, Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern, hlm. 55.
28

9

sifat yang tidak terbatas jumlahnya dan mencerminkan alam semesta. Monad
merupakan suatu kenyataan mental yang bersifat cukup diri. Dalam suatu
peristiwa, monad bekerja dalam cara yang sama. Ketika satu monad
mengidentifikasi fenomen, monad yang lain mengidentifikasikan hal yang
sama. Meskipun demikian, masing-masing monad berada dalam relasi yang
kompleks antara dunia dan kesadaran yang terisolasi satu sama lain.
Dalam relasi yang kompleks dan rumit tersebut, Leibniz menetapkan
suatu acuan yang baku. Leibniz memperkenalkan konsep atau kenyataan yang
ada mendahului kesadaran terhadap monad, yakni harmonie preetablie, atau
kesadaran yang ditetapkan sebelumnya. Penentuan harmonie preetablie
dilakukan oleh Allah dalam konsep Leibniz yakni, monad purba. Leibniz
sendiri tampaknya melakukan pembedaan antara monad secara umum,
termasuk monad pada hewan, alam semesta dengan monad pada Allah dan
tentu saja, monad pada manusia. Melalui hal ini, Leibniz membuktikan Allah
berdasarkan empat argumen; pertama, manusia memiliki ide kesempurnaan;
kedua, kurang sempurnanya alam semesta membuktikan adanya suatu
substansi yang melampui; ketiga, manusia selalu mencari kebenaran abadi
dan pencarian itu tidak bisa terjadi karena adanya kebenaran hakiki yakni
Allah; keempat, keselarasan antara monad-monad hanya bisa dijelaskan
melalui keberadaan Allah.
D. Alam Rasionalisme
1. Subjektivitas dan Kemenangan Akal
Rasionalisme selain sebagai sebuah aliran, pada dasarnya juga
merupakan sebuah momen modernitas mengenai pergeseran paradigma dari
kosmosentrisme menjadi antroposentrisme. Rasionalisme adalah salah-satu
bingkai dari modernitas, selain empirisme, tetapi dalam kedua aliran ini,
subjektivitas menjadi acuan atau ukuran kebenaran yang disebut subjectum.
Rasionalisme dan empirisme melihat manusia sebagai subjek pengetahuan,
yang perbedaannya semata-mata terletak pada metode. 31
2. Dualisme
Pada masa sebelum Descartes, pemahaman mengenai dualisme dapat
ditemukan di dalam doktrin aliran Orphico-pythagorisme. Doktrin tersebut
juga dikenal dengan nama doktrin soma-sema. Dualisme Orphicophythagorisme dikenal sebagai dualisme keras atau dualisme ekstrim.

31

Lih, Hardiman, F. Budi, Melampaui Positivisme dan Modernitas, (Yogyakarta:
Kanisius, 2003), hlm. 96.

10

Dualisme Orphico-phythagorisme menganggap bahwa raga (tubuh) adalah
penjara dan kuburan jiwa.32
Dualisme Orphico-phythagorisme dan dualisme menurut Descartes
memiliki penjelasan yang berbeda soal makna jiwa dan raga. Dualisme
Orphico-phythagorisme tidak memikirkan secara mendalam bagaimana
interaksi antara jiwa dan tubuh. Relasi antara jiwa dan raga dianggap kembali
ke persoalan fungsi, raga berfungsi sebagai tempat atau wadah bagi jiwa.
Raga bisa dalam bentuk yang beraneka ragam, tetapi jiwa yang menjadi isi
utamanya.
3. Substansi
Menurut Aristoteles, secara esensial tiap benda dibuat dari satu
substansi yang tidak kelihatan.33 Sejak abad pertengahan, konsep substansi
sudah dibahas dalam filsafat Thomas Aquinas. Di dalam Rasionalisme Eropa
abad ke-17, konsep substansi merupakan tema yang besar. Descartes (materi,
pikiran, Allah), Spinoza (Allah), dan Leibniz (monad) semuanya berbicara
mengenai hakikat inti dari realitas. Hakikat inti tersebut menurut mereka
harus bersifat tetap, cukup diri dan padat pada dirinya sendiri.34
Hakikat inti tidak selalu berkaitan dengan substansi tunggal. Spinoza
yang melihat substansi sebagai tunggal (Allah) tidak sama dengan cara
pandang Leibniz yang justru melihat substansi sebagai majemuk yang
disebutnya “monad”. Spinoza melihat bahwa substansi adalah tunggal yakni
Allah. Cara pandang panteistik Spinoza menunjukkan bahwa alam dan segala
isinya merupakan manifestasi lain dari Allah.
E. Kritik terhadap Rasionalisme
Asumsi dasar rasionalisme terletak pada diktum bahwa pengetahuan rasional
dibentuk oleh idea. Banyak kritikus kontemporer dengan mendasarkan diri
pada kritik-kritik filsuf-filsuf pasca rasionalisme yang menyatakan relativitas
konsep idea itu sendiri. Posisi Idea sebagai benda objektif yang dengan
demikian menghilangkan nilai pada pengalaman indra manusia. dan secara
umum, teori rasional tidak mampu menjelaskan pertambahan pengetahuan
manusia.35
1. Rasio sebagai Akses
Setyo Wibowo, Agustinus, “Raga Pertanda”, Majalah Basis, No.03-04, 2013.
Ibid., Lih, O’Donnel, Kevin, Sejarah Ide-Ide, hlm. 39.
34
Ibid., Lih, Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern, hlm. 304.
35
Lih, Horner, Stanley M & Hunt, Thomas C, “Metode Dalam Mencari Pengetahuan:
Rasionalisme, Empirisme, dan Metode Keilmuan”, dalam, Suriasumantri, Jujun, (Peny), Ilmu
dalam Perspektif, (Jakarta: YOI, 2009), hlm. 101-102.
32

33

11

Kritik terhadap rasionalisme dapat dilihat juga dengan kemunculan
aliran empirisme dan terutama dari kalangan Fenomenolog serta pengguna
hermeneutika. Penempatan rasio sebagai perangkat yang mengakses
kebenaran dianggap sebagai kelemahan utama. Pembedaan terhadap subjek
antara yang mengetahui dan yang diketahui adalah sebuah tindakan yang
kurang tepat. Sebaik apapun pembagian subjek tersebut, prasangka bawaan
tetap terjadi. realitas pada dasarnya adalah tetap, namun realitas memberikan
dirinya kepada subjek sebagai yang memberikan wujud. Subjek yang
menangkap realitas yang memberikan wujud tersebut, selalu melangkah pada
tahap wujud realitas yang terberi yang disebut juga wujud pra-reflektif.
2. Persoalan Metafisika
Menurut Heidegger, sejarah filsafat Barat sejak Platon hingga
Nietzsche memiliki ciri khas pembahasan seputar onto-teo-logis.36 Pengejaran
kebenaran mengenai yang terakhir, pada zaman Descartes, Spinoza, Leibniz
dan Wolff juga terjadi. Descartes yang mengajukan kritik mengenai persoalan
“sebab-sebab akhir” (causa finalis) kelompok skolastik, juga mengajukan
“Ada Terakhir” yang dapat diakses menggunakan rasio.
3. Filsafat Kritis Immanuel Kant37
Filsafat kritis Immanuel Kant adalah kritisisme Kant terhadap
kelompok rasionalis dari Descartes hingga Spinoza, yang pertama adalah
pengabaian terhadap subjek yang sedang-mengenali. Menurut Kant, kaum
rasionalis hanya mempersoalkan masalah pengenalan atau proses untuk
mengetahui38 pada sisi objek yang ingin diketahui saja, tidak mempersoalkan
subjek rasio. Kelompok rasionalis bertanya tentang ‘apa itu yang diketahui’
dan ‘bagaimana mengetahuinya’? dan meyakini bahwa subjek rasio tidak
perlu dipersoalkan. Oleh karenanya Kant menyebut filsafat rasionalisme

36

Setyo Wibowo, Agustinus, “Heidegger: Melampaui Metafisika”, Majalah Basis, No.09-

10, 2014.
37
Mulyanto, Dede, Antropologi Marx; Karl Marx tentang Masyarakat dan Kebudayaan,
(Bandung: Ultimus, 2011), hlm. 44-45.
38
Proses untuk mengetahui atau proses pengenalan subjek (manusia) terhadap realitas
merupakan topik yang dibahas di dalam kritisisme Kant sampai Hegel (meskipun subjek dalam
pengertian Hegel berarti ‘Subjek Universal’, yang bukan perseorangan, tetapi sebuah konsepsi
yang menghadap kepada dunia, sebuah konsepsi tentang subjek yang mendahului keberadaan
subjek berupa manusia, ‘Subjek Universal’ disebut Hegel sebagai ‘Roh Dunia’, dasar segala
sesuatu di dunia) hingga filsuf modern seperti Merleau-Ponty, dan Heidegger. Pada titik ini,
filsafat beranjak dari topik yang berpusat pada pencarian substansi (metafisika) menuju kepada
kesadaran bahwa peran subjek di dalam pencarian substansi juga merupakan bagian yang tidak
dapat diabaikan. Meskipun demikian, kesadaran peran subjek di dalam pencarian substansi juga
diikuti oleh kesadaran tentang objek yang memiliki kerangka ruang-waktu dan kategori-kategori
yang tidak dapat dikenali oleh subjek karena keterbatasan dan perbedaan kerangka ruang-waktu.

12

sebagai filsafat dogmatis. Kant mengajukan tesis bahwa subjek hanya dapat
mengenal realitas yang mengampakkan diri, yang disebutnya sebagai dunia
fenomen. Dalam konteks tersebut, kelompok rasionalis mengabaikan relasi
antara subjek dan objek dari yang dipikirkan (objek-fenomen).
Filsafat kritis Kant mengkritisi subjek mahasempurna Descartes.
Menurut Kant, subjek tidak sempurna sejak awal keberadaannya. Oleh
karenanya Descartes menganggap subjek yang (akan/sedang) mengenali
sebagai pijakan pengetahuan yang benar.
F. Membaca Kembali Rasionalisme
Pasca rasionalisme sebagai aliran di dalam filsafat, kritik-kritik secara penuh
sudah diberikan oleh filsuf-filsuf modern. Kritik tersebut bertahan hingga
beberapa lama dan semakin menjauhi substansi kritik. Rasionalisme
dipandang sebagai penyakit intelektual. Dan akan ditemukan banyak
karangan (yang tidak dapat dihitung lagi) yang menjadikan rasionalisme
sebagai “kambing hitam” dari merosotnya moral dan etika. Kritik ini
terdengar sangat klasik dan kehilangan elanvitalnya mengingat rasionalisme
muncul dalam berbagai dimensi.
Kalangan agamawan memberikan peringatan khusus untuk
rasionalisme karena dianggap menjauhkan manusia dari penghayatan realitas
melalui agama. Pernyataan tersebut dapat disanggah dengan mudah, melalui
telaah historis. Sebagai sebuah gerakan wahyu, agama merupakan suatu
manifestasi lain dari pentingnya manusia berpikir, pentingnya manusia
memperhatikan alam, pentingnya manusia mengambil pelajaran dari tiap
kejadian di alam semesta, yang semua ciri tersebut walaupun tidak secara
sempurna (sebagian) berada pada rasionalisme. Maka rasionalisme
merupakan suatu rentang dimana manusia terjebak pada konflik-konflik
sosiologis akibat dari ketidakmampuan memahami realitas.
Suatu hal yang menarik, beberapa kalangan menolak rasionalisme
dengan dalih ketidaksetujuan terhadap konsep objektivitas. Sanggahan ini
juga kehilangan elanvitalnya di masa sekarang mengingat, objektivitas juga
membuka ruang keberpihakan dan intervensi nilai. Perkembangan paradigma
dan bentuk masyarakat komunikatif pada akhirnya yang akan menentukan
pergeseran konsep objektivitas.

13

Daftar Pustaka
Agustinus Setyo Wibowo, “Heidegger: Melampaui Metafisika”, Majalah Basis
No.09-10, 2014
_____________________, “Raga Pertanda”, Majalah Basis, No.03-04, 2013
Dieter Suisky, Eular as Physicist, Berlin: Springer, 2008
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, Jakarta: Gramedia, 2004
________________,
2003

Melampaui Positivisme dan Modernitas, Yogyakarta: Kanisius,

Franz Magnis-Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta:Kanisius, 2013.
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Volume IV, New York: Image
Book, 1958.
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 2005.
Ibn Rusdh, Tahafut at-Tahafut, terj. Khalifurahman Fath, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010.
Ibrahim Madkour, Fi al-Fasafah al-Islamiyah, Manhaj wa Tatbiquhu, Mesir:
Darul Ma’arif, 1983.
Kevin O’Donnell, Sejarah Ide-Ide, terj. Jan Riberu, Yogyakarta: Kanisius, 2009.
al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, terj. Ahmad Maimun, Bandung: Marja, 2012
Gottfried Wilhelm von Leibniz, The Principles of philosophy known as
Monadology, teks dipublikasikan oleh: Jonathan Bennett, 2004
Martin Suryajaya, Materialisme Dialektis, Yogyakarta: Resist Book, 2012
Rene Descartes, Principles of Philosophy, terj: John Veitch, Project Gutenberg
Literary Archive Foundation, 2001.
____________, The Philosophical writing of Descartes, Volume I, terj: John
Cottingham, dkk, (London: Cambridge University Press, 1985),
Spinoza, Complete Works, terj. Samuel Shirley, Cambridge: Hackett Publishing
Company, 2002.
Stanley M. Horner, Thomas C. Hunt, “Metode dalam Mencari Pengetahuan:
Rasionalisme, Empirisme dan Metode Keilmuan”, dalam, Jujun
Suriasumantri (peny), Ilmu dalam Perpspektif, Jakarta: YOI, 2009.

14