4.1 Tonggak Sejarah Pewayangan Jawa (1)

4.1 Tonggak Sejarah Pewayangan Jawa
Dari perspektif tradisi, wayang dikatakan merupakan hasil karya para wali.
Konsep tersebut termuat dalam cerita-cerita legenda Jawa dalam upaya
memasyrakatkan agama Islam di tengah-tengah rakyat yang telah akrab dengan
kehidupan agama dan kebudayaan Hindu-Budha. Di pihak lain, dengan melihat
materi wayang, terutama aspek cerita yang didominasi oleh budaya Hindu,
tumbuh anggapan bahwa wayang pada hakikatnya merupakan produk budaya
Hindu yang berasal dari India. Sementara itu data dan fakta ilmiah akademik
dengan mempertimbangkan aspek bahasa dan asal-usul kata, wayang dianggap
produk Jawa asli yang muncul jauh sebelum Islam dan Hindu datang dan
berpengaruh di Jawa (Poerbatjaraka, 1952). Dalam konteks ini wayang dikaitkan
dengan upaya atau aktivitas pemujaan terhadap nenek moyang dengan dilatari
kepercayaan animisme dan dinamisme.
Pigeaud (1967) mengungkapkan bahwa peran para wali sebagaimana
dikemukakan pandangan tradisi dapat dikombinasikan dengan pendapat ilmiah
tentang hal yang sama. Kombinasi itu dijadikan dasar asumsi bahwa pada awal
perkembangan Islam di Jawa, semua mitos dan kepercayaan animistis, termasuk
seni pertunjukan wayang, pada masa pra Islam yang semula dianggap sakral,
kemudian dipopulerkan para wali menjadi seni profan yang disesuaikan dengan
kebutuhan pengembangan Islam. Wayang menjadi sarana komunikasi yang efektif
bagi pengembangan agama dan dan sikap budaya Islami sehingga pada akhirnya

muncul mitos penciptaan wayang oleh para wali.
Proses Islamisasi wayang dan aspek budaya lain tentu saja tidak harus
meninggalkan atau mengesampingkan sama sekali aspek-aspek lama yang
bersumber India-Hindu ataupun warna-wana animistik yang pernah akrab dengan
masyarakat Jawa. Dalam konteks ini, terjadi akulturasi budaya, yakni budaya lama
yang bercorak animis ataupun Hinduistik berkembang ke arah budaya baru yang
mengisyaratkan nuansa keislaman meskipun di sana-sini masih kental dengan
nilai-nilai

yang

digantikan.

Kebijakan

kompromistis

para

wali


dalam

mengembangkan wayang membuat wayang menjadi lebih komunikatif.
Perkembangan wayang dalam bentuknya yang baru, langsung atau tidak langsung
turut berperan dalam mengubah sifat sakral wayang menjadi seni pertunjukan
yang lebih profan.
Data terawal berkaitan dengan wayang ada dalam prasasti Dya Balitung
berangka tahun 829 Saka (907 M). Dalam prasasti tersebut terdapat kata
mawayang (si galigi mawayang buat hyang macarita bhima ya kumara). Artinya,
pun Galigi memeragakan peraga dewa dalam cerita Bhima Kumara. Dalam
prasasti Wimalaasmara berangka tahun 852 Saka (930 M) memuat kata wayang
wwang1 (Timoer, 1988:33-34). Dari kedua prasasti tersebut terungkap bahwa seni
wayang pertama kali diperagakan oleh orang.
Timoer (1988:41) mengungkapkan, sumber kepustakaan Jawa Kuna
menyebutkan bahwa pertunjukan wayang kulit berkembang sekitar tahun 1000an. Kakawin Arjuna Wiwaha karya Mpu Kanwa (sekitar tahun 1030 M) dalam
pupuh Cikharini bait ke 9 berbunyi:
Hananonton ringgit manangis asekel muda hidepen, huwus wruh towin
yan walulang inukir molah angucap, haturning wwang tresneng wisaya
malaha tar wwihikana, ri tatwanyan maya sahana-hananing bhawa

siluman.
Ada yang menonton wayang menangis sedih. Ia sungguh bodoh. Sudah tau
bahwa yang bergerak dan berbicara itu adalah kulit yang diukir. Begitulah
rupanya orang yang lekat dengan sasaran indera, sampai tak tahu. Bahwa
hakikatnya mayalah segala yang ada, sulapan belaka.
Dari kutipan di atas dapat diperoleh beberapa informasi penting, yaitu
pertama, seni pertunjukan wayang kulit telah muncul dan dikenal pada abad XI;
kedua, kemahiran dalang dalam menghidupkan wayangnya telah membuat
penonton terlena dan mampu mengguncangkan perasaan penonton sehingga
menangis tersedu-sedu, ketiga, wayang pada saat itu dipercaya memiliki daya
magis, entah dari ceritanya, pembawa cerita atau dalang, atau boneka wayang itu
sendiri yang kekuatannya dibiaskan melalui tangan dan kemampuan dalang.
Tampaknya, peran dalang merupakan sesuatu yang utama.

Dikaitkan dengan keberhasilan pementasan wayang, sebagaimana yang
dilukiskan dalam kakawin Arjuna Wiwaha, tidak mustahil bahwa berkembangnya
kakawin hingga ke puncak puitika Jawa Kuna berpengaruh terhadap
perkembangan seni pentas tradisional. Di samping itu, mungkin juga kepercayaan
magis religius yang ada pada masyarakat pada sat itu memungkinkan
terbangunnya suasana yang sakral dan mistis. Oleh sebab itu, kondisi tersebut

memudahkan penonton terlena dan terkena wasiya2.
Paparan di atas adalah data sekaligus kondisi awal yang diketahui tentang
wayang. Tonggak-tonggak penting perkembangan wayang tampak dari beberapa
pendapat pakar wayang, seperti Kats (1923) dalam Het Javanhe Toonel: Wayang
Poerwa; Hardjowirogo (1949) dalam Sedjarah Wayang Poerwa; Pigeaud (1967)
dalam literature of Java, I; Brandon (1970) dalam on thrones of gold: Three
Javanese Shadow Plays; Raffles (1978) dalam History of Java, Mulyono (1982)
dalam Wayang: asal-usul, filsafat, dan masa depanya, dan Ismunandar (1985)
dalam wayang asal-usul dan jenisnya. Inti sari dari tonggak perkembangan
wayang tersebut sebagai berikut:
Pada awal abad XII, seorang pujangga istana Kediri bernama Mpu
Panuluh menggubah sebuah kakawin epik berjudul Gatotkacasraya. Aspek yang
menarik dari kakawin itu adalah struktur naratif-dramatik kakawin yang sedikit
berbeda dengan kakawin sebelumnya. Kakawin tersebut digubah dengan gaya
yang sangat mirip dengan naskah panduan bagi dalang untuk mementaskan cerita.
Artinya, teks kakawin Gatotkacasraya tersebut mirip dengan sebuah naskan lakon.
Hal lain yang juga menarik adalah pemunculan tokoh-tokoh punakawan sebagai
pendamping, sebagai abdi sekaligus penasehat tokoh utama.
Pembaharuan wayang yang dirintis para wali mencapai puncaknya pada
awal abad XIX. Pada masa itu dalam kasusatraan Jawa terjadi jaman pencerahan

dengan pusat perkembangan di kraton Surakarta. Istana Surakarta sebagai pusat
kebudayaan Jawa menghasilkan banyak karya asastra yang bernilai tinggi.
Disamping lahir beberapa karya monumental, dalam satra Jawa klasik melalui
tangan para pujangga kraton, seni pedalangan dan karawitan sebagai pengiring
pagelaran waang juga berkembang pesat berkat seniman istana.

Hasil kreasi para seniman istana itu kemudian dibakukan sebagai panduan
para dalang dalam setiap pagelaran wayang. Pembakuan tersebut meliputi bahasa
pedalangan, struktur pagelaran, corak dan jenis lakon gending pengiring, dan
beberapa aspek pewayangan lain (Hardjowirogo, 1949); Brandon, 1970). Sampai
sekarang dalam batas tertentu, hasil pembakuan itu masih menjadi pedoman
dalam pewayangan Jawa. Pagelaran wayang pada saat itu telah menjadi semacam
wadah nilai-nilai budaya yang sangat besar pengaruhnya pada kehidupan sosial
budaya masyarakat pada umumnya.
Dalam perkembangan selanjutnya, pagelaran wayang Jawa mengalami
penjelmaan ke dalam bentuk penampilan. Wayang kulit (wayang purwa)
merupakan bentuk yang paling populer dengan daerah perkembangan yang sangat
luas, terutama di Jawa tengan dan Jawa Timur. Daerah penyebaranya menjangkau
daerah yang lebih luas, seperti Bali, Lombok, serta daerha Sumatra bagian selata;
meskipun di daerah-daerah tersebut wayang menempuh jalur perkembangan

tersendiri.
Jenis kedua, berupa wayang golek dari kayu yang berdimensi tiga matra.
Mula-mula berkembang dipesisir utara Jawa, kemudian berkembang pesat di
daerah Jawa Barat. Subyek cerita berkisar Ramayana dan Mahabarata. Baru pada
dekade berikutnya muncul wayang golek yang berbeda, dinamai golek menak
yang mengambil cerita kepahlawanan Wong agung Menak atau Amir Hamzah.
Wayang golek di pesisir utara Jawa Timur dikenal dengan wayang Thengul.
Pada perkembangan selanjutnya muncul jenis wayang madya dan wayang
gedhog yang terbuat dari kulit berukir. Wayang madya mengambil cerita dari
kisah raja-raja. Keturunan Parikesit yang berkuasa di Jawa hingga berdirinya
kerajaan Kediri. Sementara itu , wayang gedhog merupakan penyambung wayang
madya yang meceritakan kisah raja-raja Kediri dan sekitarnya dengan tokoh Panji
Inu Kertapati.
Pada mas berikut, muncul jenis wayang klithik atau wayang krucil, yaitu
jenis wayang dua dimensi yang terbuat dari kayu pipih (papan) yang
pembuatannya melalui proses ukir. Wayang klithik atau wayang krucil ceritanya

mengambil dari kisah sejarah Majapahit dengan tokoh utamanya Damar Wulan.
Nama wayang klithik diambil dari bunyi klithik-klithik hasil sentuhan badan
wayang dengan pegangan tangan wayang. Sedang nama krucil diambil dari wujud

atau bentuknya yang cenderung lebih kecil dari wayang kulit purwa sebagai
prototipenya.
Jenis wayang yang agak berbeda adalah wayang beber. Wayang ini
berbeda dengan jenis wayang yang lain jika dilihat dari bentuk dan teknik
pementasanya.wayang ini berupa kain yang direntangkan (dibeber) diantara dua
tiang yang ditancapkan, sementara dalam tiap lembar kain terlukis gambargambar wayang yang berisi cerita. Ceritanya mengambil dari kisah Panji.
Wayang lain adalah wayang wong atau wayang orang. Jenis wayang ini
muncul di lingkungan istana Jawa pada abad XIX, sejalan dengan memuncaknya
perkembangan seni tari di kalangan istana. Wayang wong baru menjadi populer
dalam lingkungan masyarakat umum pada awal abad XX.
Pada paruh kedua abad XX bermunculan wayang lain baru yang umumnya
terbuat dari kulit. Wayang-wayang baru itu adalah wayang wahyu yang yang
bercerita tentang rasul-rasul dalam agama nasrani. Wayang sadat, yang
mengambil cerita tentang dakwah islam yang melakukan para wali sembilan di
Jawa. Wayang suluh atau wayang pancasila bercerita tentang topik kehidupan
masyarakat Indonesia saat melawan penjajah sampai setelah merdeka. Wayang ini
berfungsi untuk memberi penyuluhan masyarakat. Wayang kancil bercerita
tentang kisah dalam dongeng kancil. Dalam perkembangan terakhir muncul
wayang dupara yakni jenis wayang purwa yang dimodifikasi dengan senirupa
kontemporer.


4.2 Mitos Kemunculan Wayang Mbah gandrung
Kemunculan WMG diawali dengan ulah tapa3 mbah Proyosono di gunung
Simping. Pada saat bertapa ia mendapat wangsit (petunjuk Gaib) untuk segera
pulang dan jika ada banjir (air meluap) dari sungai yang melintasi desa Pagung, ia

disuruh ketepi sungai. Apabila ada gelondong kayu yang terbawa arus sungai ia
disuruh untuk mengambil gelondong kayu itu dengan cara mengganthol dengan
tongkatnya. Berdirilah mbah Proyosono di tepi sungai saat terjadi banir. Tiba-tiba
dari arah hulu sungai tampak gelondong kayu yang terserat arus air sungai.
Karena derasnya arus air, gelondong kayu telah terserat jauh melewati tempat
Mbah Proyosono berdiri. Keajaiban terjadi, gelondong kayu tiba-tiba berhenti lalu
bergerak melawan arus sungai (nyengkrek, Jw.) mendekati tempat Mbah
Proyosono berdiri. Dengan mudah Mbah Proyosono mengganthol gelondong kayu
dengan tongkatnya dan diangkat ke daratan lalu dibawa pulang ke padepokannya.
Niatnya gelondong kayu iti dibuat kayu bakar. Keajaiban terjadi, saat akan dibakar
setiapa gelondongan kayu didekatkan api, gelondongan tersebut bergerak mundur
menjauhi api. Berkali-kali Mbah Proyosono mencoba membakar gelondong kayu
namun gelondong kayu selalu bergerak mundur menjauhi api. Tak jadi mbah
Proyosono membakar gelondong kayu. Malamnya, saat tidur Mbah Proyosono

bermimpi disuruh membelah gelondong kayu. Pagi hari setelah Mbah proyosono
bangun tidur, dengan sangat hati-hati disertai rasa takut, ia melaksanakan perintah
dalam mimpinya membelah gelondong kayu. Setelah gelondong kayu dibelah,
keajaibanpun terjadi. Dalam gelondong kayu tersebut terdapat dua boneka wayang
yang terbuat dari kayu berukir tanpa tangan. Kondisi boneka wayang yang masih
mentahan, artinya tidak ada pewarnaan (cat). Tangan wayang dibuat oleh Mbah
Proyosono. Setelah memenukan dua boneka wayang, Mbah Proyosono bermimpi
bahwa boneka wayang mau diboyong ke Praja Pagung (pusat desa Pagung) jika
diadakan pagelaran tayub tujuh hari tujuh malam. Belum sampai terlaksana
boneka wayang dirampas oleh penguasa Kediri. Keajaiban terjadi, pejabat dan
pegawai Kediri banyak yang sakit. Akhirnya diadakan sayembara, siapa yang
mampu menebus boneka wayang dengan sejumlah uang dialah yang akan
memiliki. Mendengar sayembara itu Mbah Proyosono dibantu oleh seseorang dari
desa Kedak berhasil memenuhi sayembara. Oleh Mbah Proyosono bantuan uang
orang Kedak akhirnya dikembalikan, sehingga hanya ia yang berhak memiliki.
Boneka wayang diboyong ke Praja Pagung dan digelarkan tayub tujuh hari tujuh
malam. Setelah itu Mbah Proyosono menjalani tapa mlowang atau tapa pendhem
(bertapa di dalam tanah) selama 35 hari. Ia mendapat petunjuk tentang nama dua

boneka wayang yang ditemukan yaiktu Mbah Gandrung dan Nyai Gandrung dan

boneka wayang dapat digunakan untuk menolong warga desa. Mbah Proyosono
menyuruh orang Cina dan orang kuna yang mapu mengukir untuk membuat
sejumlah boneka wayang tambahan dan perangkat gamelan. Wayang Jakaluwar
diperkirakan juga dari gunung Simping. Boneka wayang raden Sidanapapa berasal
dari gunung Pandhan yang tiba-tiba muncul saat WMG pentas di desa parang.
Kemunculannya diiringi hujan deras disertai petir yang menyambar-nyambar.
Bersamaan itu pula, orang yang menanggap wayang pingsan karena kesurupan. Di
desa Pagung juga terjadi gempa.
(wawancara tanggal 17 Juni 2000)
Uraian mengenai sejarah kemunculan WMG menyuratkan bahwa boneka
WMG terbuat dari kayu. Dari bahan boneka wayang maka WMG termasuk ke
dalam jenis wayang krucil atau wayang klithik. Istilah krucil bermakna kecil,
sedikit, dan kurus, sementara kata klithik atau kelithik berasal dari kata kethik,
mengingatkan kepada perkataan sethithik dan kedik, klithak-klithik suara benturan
kayu (Mulyono, 1982:154). Pengertian wayang krucil berasal dari wayang kecil.
Hal itu sesuai dengan perkataan krucil itu terbuat dari kayu yang pipih dengan
ukuran rata-rata relatif kecil. Ukuran relatif kecil tersebut untuk membandingkan
dengan ukuran wayang purwa sebagai prototipenya.
Prawoto (1981) mengemukakan istilah klithik diambil dari suara pating
klithik sama dengan suara kayu kecil yang beradu satu ama lain. Haryanto

(1988:99) menambahkan bahwa wayang klithik mempunyai bentuk dan bahan
khusus. Bentuknya menyerupai wayang kulit, yaitu terdiri atas dua dimensi,
dengan bahan yang terbuat dari kayu meskipun tidak sama dengan wayang golek
yang bentuknya tiga dimensi. Wayang Klithik tidak memakai cempurit4, seperti
wayang kulit, sebab cempuritnya sekaligus merupakan lanjutan dari badan
wayang yang terbuat dari kayu itu, yang berbentuk kayu pipih, tidak bulat seperti
wayang golek.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa wayang krucil
terbuat dari kayu, bentuknya pipih, dan kecil. Apabila beradu satu sama lain akan

menghasilkan suara klithik-klithik. Oleh karena itu wayang krucil juga disebut
wayang klithik. Haryanto (1988:64) mencatat menurut sejarah wayang, wayang
krucil merupakan wayang wasana, setelah jaman madya yang diwakili oleh
wayang madya, sedangkan wayang purwa (Mahabarata dan Ramayana)
merupakan wayang yang mewakili jaman purwa.
Data filologis menunjukkan bahwa kata wayang krucil terdapat dalam teks
nanaruci, yaitu:
Asrang swara nikang tabeh-tabehan, asanggani lawang ikang mrdangga.
Amelangi karba swara ning bheri, kala, cangka umung. Aganti kang
angambuh, amacanggih, amanglangkaran mwang awayang Cina; wayang
krucil anelakitak. Sinerang dening rubet-rubet, aganti lawan amanani
mwang atatali analapuk (priyohoetommo, 1934:86)
(Suara tetabuhan yang bersahut-sahutan, ditambah lagi dengan suara
panjak (pradangga). Suara tambur (bheri), terompet gemuruh
memekakkan telinga. Ada juga yang menyanyikan tembang bacangah, dan
wayang cina; cerita wayang (pentas) wayang krucil dan diselingi oleh
berbagai keributan, berubah atau berganti dengan keindahan yang
menawan)
Data di atas menunjukkan bahwa istilah wayang krucil sudah dikenal sejak
jaman Majapahit mengingat Serat Nawaruci diciptakan pada jaman Majapahit. Di
pihak lain, para penyusun buku sejarah wayang belum ada kata sepakat tentang
pencipta dan asal mula wayang krucil.
Sajid (1971:102) menyatakan bahwa wayang krucil berasal dari Jawa
Timur. Wayang ini milik rakyat, khususnya rakyat desa dan rakyat pegunungan.
Jumlah boneka wayang tidak banyak, hanya 40 buah, tanpa kelir, dan instrumen
musiknya berlaras slendro5, terdiri atas 1 kendhang, dua buah saron (dengan 9
bilah), kempul laras 6, kethuk, dan kenong laras nem. Wayang ini berfungsi untuk,
ngamen6 ke kota semasa di desa terjadi paceklik7 dan sewaktu di desa tak ada
pekerjaan sebab masa menggarap sawah telah usai.
Ismunandar (1985) menulis, dalam bentuknya yang sederhana wayang
krucil diciptakan oleh raja Brawijaya V dari Majapahit kurang lebih pada tahun
1315. Pada waktu itu wayang ini dipakai untuk melakonkan kerajaan Jenggala,
Kediri, Urawan, dan Singasari yang umumnya dikenal dengan cerita Panji.

Selanjutnya wayang tersebut diperbaiki oleh Sunan Bonang untuk melakonkan
cerita Damarwulan.
Indikasi bahwa wayang krucil berasal dari Jawa Timur juga diakui
Cokronegoro

(1906)

dalam

buku

Kawruh

Pedhalangan

dan

K.G.A.

Kusumodilogo dalam buku Pakem Serat Sastra Miruda (tanpa tahun) wayang
krucil diciptakan oleh Raden Pekik di Surabaya. Sementara itu, Senosastromidjojo
(1964:42) menyatakan bahwa pencipta wayang krucil adalah Sunan Kudus di
daerah pesisir utara pulau Jawa.
Berdasarkan berbagai pendapat yang ada mengenai asal mula dan pencipta
wayang krucil, Hutomo (1996:153) menyimpulkan bahwa ide pemula penciptaan
wayang krucil yaitu Raja Brawijaya V. Hal itu dapat ditilik dari bukti-bukti: (1)
cerita yang dilakonkan mula-mula berupa cerita panji, (2) nama wayang krucil
telah disebut dalam buku nawaruci, dengan kata kurucil, dan (3) wayang itu juga
disebut dalam Panji Malat.
Groenendael (1987:188) menyebutkan bahwa wayang krucil (klithik)
mula-mula mengangkat cerita Damarwulan. Pernyataan yang sama dikemukakan
oleh Brandon (1966) dan Timoer (1980). Dalam perkembangannya wayang krucil
cenderung mempertunjukkan lakon yang diambil dari hikayat Amir Hamzah
(Serat Menak) yang diperuntukakan syiar agama Islam. Perkembangan
selanjutnya mengambil cerita (1) sejarah, (2) babad, (3) cerita rakyat lokal.
Perkembangan wayang krucil berdasarkan penggarapannya dibedakan
menjadi dua macam, yaitu: (1) berkembang dengan bentuknya yang asli. Jenis ini
meliputi wayanga krucil berfungsi khusus untuk adat melepas nazar. Jenis ini
ditandai dengan muatan mistis dan magis, dalam pagelaran selalu disertai sesaji.
Pelaku pentas terdiri atas dalang dan penabuh gamelan tanpa waranggana8, (2)
berkembang dengan mendapat pengaruh terutama dari wayang purwa. Jenis yang
kedua menekankan pada fungsi hiburan, menerima kehadiran waranggana,
pagelaran tidak sakral, struktur lakon mengikuti perkembangan jaman.
Pada masa sekarang, wayang krucil yang asli maupun yang mendapat
pengaruh keberadaannya semakin memprihatinkan karena terdesak oleh kesenian

modern yang memenuhi selera masyarakat. Di samping itu penyebab utamanya
adalah para pewaris wayang krucil belum mengungkapkan nilai-nilai budaya yang
serasi dengan kemajuan tuntutan jaman (Sudikan, 1992:29).
Sebagai varian dari wayang krucil yang berkembang dengan bentuknya
yang asli, WMG memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan wayang
krucil lain. Perbedaan itu tampak pada lakon yang digelarkan, unsur pendukung
pagelaran, dan yang terpenting adalah fungsi yang diembannya. Di beberapa
daerah di Jawa Timur memiliki wayang krucil namun lebih mengutamakan fungsi
hiburan dan tidak memiliki keunikan sebagaimana yang dimiliki WMG, seperti
kabupaten Tuban,

Bojonegoro,

Lamongan,

Nganjuk, Tulungagung,

dan

trenggalek. WMG dari kemunculannya sampai sekarang tetap mengemban fungsi
utamanya yaitu sebagaisarana ritual.
Mitos kemunculan WMG mengandung muatan magis. Kemagisan WMG
tampak pada ulah tapa Mbah Proyosono yang melatarbelakangi kemunculan cikal
bakal9 WMG. Pertapa biasanya memiliki tingkat spiritual yang tinggi, bersih
hatinya sehingga mampu menangkap kodrat ilahi melalui getaran alam. Hal itu
terwujud dalam bentuk wangsit (petunjuk ilahi) yang diterimanya. Di samping itu
beberapa keajaiban yang muncul merupakan bukti bahwa WMG sarat muatan
magis.beberapa keajaiban tersebut, pertama, adanya petunjuk yang diterima
melalui mimpi. Kedua, gelondong kayu bergerak dan berjalan melawan arus air
sungai yang sangat deras. Ketiga, gelondong kayu yang selalu mundur jika
didekatkan api. Keempat, keberadaan dua boneka wayang dalam batang kayu
setelah terbelah. Kelima, syarat untuk digelarkan tayub tujuh hari-tujuh malam
jika akan memboyong boneka wayang. Keenam, sakitnya para pejabat dan
pegawai Kediri yang telah merampas boneka wayang, dan ketujuh, kemunculan
boneka wayang Sidanapapa yang disertai kejadian alam yang menyeramkan.
Muatan-muatan magis tersebut telah membawa WMG ke arah sifat mistis.
Muatan magis dan sifat mistis WMG berpengaruh pada perikehidupan dan
kejiwaan masyarakat. Pada tataran berikutnya juga merasuk pada sistem
kepercayaan dan religiusitas masyarakat. Hl itu tampak pada keyakinan bahwa
WMG merupakan wayang sakral dan mengandung kekuatan gaib.

Sifat mistis WMG telah memunculkan sebuah mitos dalam masyarakat.
Menurut Bascom (Danandjaja, 1984: 50), mite diartikan sebagai cerita prosa
rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya
cerita. Ciri utama mite adalah munculnya keyakinan masyarakat bahwa cerita itu
sungguh terjadi dan bersifat suci. Bukti keberadaan sebuah mite terwujud dalam
bentuk ritus baik berupa benda ataupun yang lain.
Peursen (1988: 37) mengungkapkan bahwa mitos merupakan sebuah cerita
yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang. Dari
batasan tersebut tampak jelas bahwa mitos bukanlah sekedar cerita belaka, namun
memiliki makna luas dan mendalam. Mitos tidak semacam rangkaian peristiwaperistiwa yang menggetarkan atau semacam reportase mengenai peristiwaperistiwa yang dulu terjadi, sebuah kisah mengenai dewa-dewa dan dunia ajaib.
Mitos memberikan arah kepada kelakuan manusia dan merupakan semacam
pedoman untuk kebijakan manusia. Mitos akan menuntun sikap kelakuan
masyarakat. Di samping itu, mitos dapat menuntun peran masyarakat terhadap
kejadian-kejadian di sekitarnya bahkan dapat menanggapi daya-daya kekuatan
alam.
Lebih lanjut, Peursen (1988:38) mengemukakan fungsi mitos bagi
masyarakat. Fungsi pertama adalah mitos menyadarkan manusia bahwa ada
kekuatan-kekuatan ajaib. Mitos tidak sekedar memberikan bahan informasi
mengenai kekuatan itu, tetapi membantu manusia agar dapat menghayati dayadaya tersebut sebagai kekuatan yang mempengaruhi dan menguasai alam
kehidupannya. Mitos menjadi media manusia untuk berhubungan dengan
kekuatan alam sekitar bahkan menguasai kekuatan ajaib tersebut demi
kelangsungan hidupnya. Fungsi kedua, mitos memberi jamina pada masa kini, dan
fungsi ketiga, mitos memberikan pengetahuan tentang dunia.
Menurut Eliade (1987:261), mitos adalah cerita tentang dewa-dewa dan
manusia supranatural. Di dalamnya berisi kata-kata suci tentang realitas dan
kejadian asal mula dunia. Dan tentang hal yang suci, Otto (1972: 12)
mengatakannya sebagai suatu mysterium tremendium. Mitos itu oleh partisipannya
dianggap benar-benar terjadi pada mas lampau di dunia lain yang bukan dunia

kita, dan tokoh-tokohnya adalah para dewa atau makhluk setengah dewa (Bascom,
1954: 4).
Lebih lanjut, Frazer (Caairier, 1990: 116) mengungkapkan bahwa dunia
mitos adalah dunia dramatis, dunia tindakan, dunia daya-daya, dunia kekuatankekuatan yang saling bertentangan. Objek mitos selalu membahayakan atau aman,
bersahabat atau bermusuhan, biasa atau aneh, memikat atau menjijikkan,
menyenangkan atau menakutkan dan seterusnya. Sementara itu, O Dea (1985: 79)
menyatakan bahwa mitos adalah prngungkapan pemikiran yang paling sederhana
dalam usaha manusia untuk memahami fenomena kosmos, tetapi sekaligus
menampilkannya kembali walaupun kebanyakan ditampilkan dalam bentuk
simbolik. Bentuk-bentuk simbolik adalah meripakan ungkapan dari gagasan
(White, 1973: 337).
Menurut Masinambow (1990: 1-2) simbol adalah perwujudan eksternal
konsep, sedangkan konsep adalah perekaman pengalaman ke dalam pengetahuan.
Jadi mitos adalah pengejawantahan realitas, memuat berbagai pertanyaan
mendasar sekaligus jawabannya.
Berbagai konsep mitos di tas menyuratkan bahwa dalam mitos terdapat
sebuah kekuatan gaib. Kekuatan suci yang sangat berpengaruh pada kehidupan
manusia. Sebagai sebuah cerita, mitos merasuk pada tataran ideal serta tataran
kelakuan. Pada tataran ideal mitos berpengaruh pada sisi kejiwaan dan alam batin
manusia. Pada tahap berikutnya tataran ideal tersebut terwujud dalam tataran
kelakuan, yakni bagaimanakah manusia harus bersikap untuk menguasai kekuatan
alam dan kekuatan ajaib. Beberapa bentuk upacara ritual adalah merupakan bukti
tindakan manusia berhubungan dengan kekuatan gaib di sekitarnya. Pemujaan
yang dilakukan pada WMG merupakan bukti tingginya kepercayaan masyarakat
terhadap muatan magis serta kekuatan mistis yang ada dalam WMG. Sosok Mbah
Gandrung dan Nyai gandrung diyakini mampu menolong penderitaan,
kemalangan, dan kesengsaraan yang dialami oleh masyarakat. Di samping itu,
dialah pengayom dan pelindung yang senantiasa mengayomi dan memberikan
perlidungan warga masyarakat.

Penamaan WMG tidak dapat dilepaskan dari konsep mitos. Nama WMG
didasarkan pada nama tokoh Mbah Gandrung sosok gaib yang merupakan tokoh
sentral kekuatan magis dan mistis. Menurut Pak Sukansar, penamaan juga
bertolak dari “pengaruh” yang ditimbulkan terhadap penonton, yakni mampu
membuat mereka terpesona, jatuh cinta, gandrung, menyimpan rindu, dan tumbuh
keterikatan batin kepada pementasan wayang beserta prosesi upacara ritualnya.
Pak Sukandar juga mengungkapkan, “wong gandrung ki wong seneng. Dadi wong
seneng ki pengin seneng nentremake kawula, tulung kawula. Dadi gandrung
tujuane kepengin bisa ketekan karepe. Saliyane niku masyarakat ya bisa
gandrung isaa nulungi sipate manugsa”. Artinya, orang jatuh cinta (gandrung) itu
orang yang senang. Jadi orang senag itu selalu ingin membuat warga masyarakat
tentram, senang memberi pertolongan. Jadi, gandrung ( Jatuh Cinta) bertujuan
ingin tercapai semua keinginannya. Di samping itu, masyarakat selalu merasa
jatuh cinta, sedang dia tetap senang dapat memberi pertolongan kepada semua
manusia.
Nama lain WMG adalah wayang asmara. Jika ditilik dari kata yang
digunakan, kata gandrung memiliki makna dan arti yang sama dengan kata
asmara, yakni perasaan senang, jatuh cinta. Bukan mustahil, menurut seorang
informan yang telah berusia lanjut, penamaan WMG tersebut memang diberikan
sebagai sebutan kehormatan karena kedua tokoh gaib itu merupakan trah atau
keturunan dan pewaris kerajaan Kediri sekaligus leluhur mereka yaitu Panji
Asmarabangu atau Panji Kudadasmara dengan kekasih (istri)-nya Dewi Sekartaji.
Sebagai seni wayang khas Kabupaten Kediri, WMG telah berumur tua.
Penentuan umur dapat ditilik dari silsilah pemilik, yakni sejak boneka WMG
diketemukan sampai sekarang. Pemilik WMG sekarang (Pak Lamidi) adalah
generasi keempat. Secara lengkap silislah pemilik WMG adalah sebagai berikut:
PROYOSONO
PAWIRO SENTONO
DARMIN

LAMIDI
Jika dilihat dari usia dari masing-masing pemilik, Mbah Proyosono
meninggal pada usia 115 tahun, Mbah Prawiro Sentono meninggal pada usia 110
tahun, Mbah Darmin meninggal pada usia 95 tahun, dan pak lamidi sekarang
berusia 65 Tahun, dengan masa overlap pergenerasi 50 tahun maka usia WMG
kurang lebih 185 tahun.
Pemilik WMG sekaligus berperan sebagai juru kunci. Prawiroatmodjo
(1981: 196) memberi arti juru kunci sebagai orang yang diserahi menjaga makam,
dan sebagainya. Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988:370), juru kunci sebagai
penjaga dan pengurus tempat keramat, makam, dan sebagainya. Dalam konteks
WMG juru kunci diartikan sebagai penjaga dan pengurus benda keramat, yaitu
WMG. Mandat sebagai Juru Kunci diperoleh melalui petunjuk gaib (wangsit) dari
roh gaib Mbah Gandrung.
Juru kunci memegang peranan penting, yaitu: (1) sebagai perantara
pemuja dengan roh gaib Mbah Gandrung saat mengadakan upacara pemujaan, (2)
memohon ijin dan pembuka kotak kotak wayang juga menata (menyimping)
tokoh-tokoh sakral. Selain itu, mengambil tokoh sakral dari larapan untuk prosesi
upacara luwaran, (3) penentu biaya upacara luwaran baik nanggap, ngedegake,
dan metri, (4) memimpin upacara luwaran ngedegake, (5) memandu upacara
luwaran metri, (6) melaksanakan upacara berulang tetap, yaitu brokohan, tironan,
siraman, dan malam jumat, (7) memohon petunjuk gaib Mbah Gandrung jika ada
pelaku pentas tidak mampu melaksanakan tugas serta memberi mandat jika
petunjuk gaib telah diterima.
WMG dapat dikatakan sebagai sumber produksi, karena menghsilkan
uang. Berkaitan dengan WMG sebagai sumber produksi, juru kunci berperan
sebagai pewaris, pemilik sekaligus penguasa sumber produksi tersebut. Segala hal
yang berhubungan dengan WMG harus melalui juru kunci. Masyarakat yang akan
melakukan upacara pemujaan, pemja yang akan melaksanakan upacara luwaran
harus berhubungan dengan juru kunci. Pemberitahuan jika ada pagelaran serta
pemberian upah kepada dalang dan komunitasnya dilakukan oleh juru kunci.

Upah dalang dan penabuh gamelan merupakan kebijakan juru kunci. Mereka
hanya pasrah dan hanya bersikap menerima terhadap upah yang diterima.
Akibat dari kondisi di atas, terjadi dominasi juru kunci terhadap para
pelaku pentas lain. Di samping itu juru kunci juga memiliki dominasi terhadap
masyarakat yang mengadakan upacara luwaran yang terwujud dalam biaya yang
harus diserahkan. Penentuan biaya upacara ditentukan sepenuhnya oleh juru kunci
dan pelaksana upacara tidak boleh menawar, sebab ada dogma bahwa biaya
upacara tidak boleh ditawa. Dengan demikian berapapun biaya yang diminta juru
kunci harus dipenuhi pelaksana upacara.

4.3 Profil Desa Pagung Kec. Semen Kab. Kediri
Eksistensi WMG sebagai seni wayang ritual magis sangat ditentukan oleh
aspek fungsinya. Sejak kelahirnnya sampai sekarang WMG hanya mengemban
satu fungsi yaitu sebagai sarana ritual magis. Kebertahanan fungsi tersebut
ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu kuatnya muatan magis dan mistis, kondisi
pendidikan masyarakat, serta kondisi sosial masyarakat. Kekuatan muatan magis
dan mistis tampak dari mitos kemunculan WMG.
Koentjaraningrat (1984: 25) mengungkapkan bahwa Kediri dari perspektif
kanekaragaman

regional

kebudayaan

Jawa

diistilahkan

dengan

daerah

mancanegari yang berarti daerah luar. Kebudayaan Jawa yang ada di daerah
Kediri juga Madiun serta daerah delta sungai Brantas sebenarnya sama dengan
kebudyaan Jawa Tengah di Yogya dan Solo (negarigung10). Seperti halnya di Solo,
maka di Kediri dan Madiun gerakan kebatinan dan gerakan religio-magi banyak
berkembang. Kebudayaan rakyat dan kesenian rakyat di daerah tersebut sangat
mirip dengan yang ada di Yogya dan Solo.
Kuatnya gerakan kebatinan serta gerakan regio-magi di Kediri diakibatkan
kurang gencanya penyebaran Islam ke daerah itu. Penyebaran Islam terpusat di
kota-kota pantai utara Jawa mulai dari Indramayu-Cirebon di sebelah barat sampai
ke kota Gresik di sebalah timur (Koentjaraningrat, 1984: 26). Itulah sebabnya

daerah-daerah pedalaman yang jauh dari kota-kota pesisir utara Jawa pengaruh
Islam agak terlambat. Akibatnya banyaknya muncul aliran kepercayaan serta
corak Islam sedikit berbeda dengan di daerah pesisir utara Jawa. Saat ini Kediri
didominasi kelompok NU yang domotori oleh pondok pesantren Lirboyo yang
membuka cabang di beberapa tempat, termasuk di desa Pagung, tidak
berpengaruh terhadap adat lokal yang bertentangan dengan akidah agama Islam.
Tampaknya, kalangan santri tidak mau mengusik perilaku masyarakat yang
mempertahankan adat.
Desa Pagung termasuk desa yang terletak di daerah dataran tinggi.
Sebagaimana desa-desa di daerah pegunungan, jarak antara dusun satu dengan
dusun lain tergolong jauh. Antara dusun satu dengan dusun lain dipisahkan oleh
anak gunung dan jurang. Satu dusun masih terbagi-bagi menjadi beberapa
kampung yang dihuni puluhan rumah. Di antara dusun-dusun itu, dusun Pagung
merupakan dusun yang paling padat penduduknya.
Desa Pagung terbagi ke dalam sembilan dusun, yaitu Pagung, Pagu, Orooro Ombo, Nunggulan, Ngasinan, Duwet, Getuk, Tegir, dan Sekarputih. Di
samping terletak di daerah pegunungan, desa Pagung sebelah utara berbatasan
dengan hutan milik perhutani. Desa Pagung berada di ujung barat kabupaten
Kediri. Jarak desa Pagung dengan pusat kota Kediri sekitar 20 km. Beruntung, di
sebelah barat Pagung terdapat daerah wisata hutan (wana wisata) Sumberpodang
sehingga desa tersebut dilalui angkutan pedesaan dan jalan beraspal. Jumlah
penduduk desa Pagung ada 4.290 jiwa terdiri atas 1.283 kepala keluarga (KK).
Berkaitan

dengan

desa

Pagung

sebagai

tempat

kelahiran

dan

perkembangan WMG, kondisi geografis desa tersebut sangat mendukung
kebertahanan WMG. Sejalan dengan teori ekologi budaya, mengutip pendapat
Dawsen, Jatiningsih (1996: 97-98) mengatakan ada 4 faktor yang mempengaruhi
pembentukan kebudayaan, yaitu : (1) unsur kedaerahan, yaitu benda-benda
jasmani yang ada di sekeliling manusia termasuk alam. Keadaan daerah langsung
atau tidak langsung mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap
pembentukan kebudayaan; (2) unsur bangsa dan ras; (3) unsur ekonomi; dan (4)
unsur psikologi. Dari keempat unsur tersebut tampaknya unsur kedaerahan yang

dominan dalam pembentukan kebudayaan. Ihromi (1986: 28) mengungkapkan
bahwa pada umumnya kebudayaan dikatakan adaptif, karena kebudayaan itu
melengkapi manusia dengan cara-cara penyesuaian diri pada kebutuhan fisiologis
dari badan mereka sendiri, dan penyesuaian pada lingkungan yang bersifat fisikgeografis, maupun pada lingkungan sosialnya.
Selaras dengan beberapa konsep di atas, kondisi geografis sangat
memegang peranan penting bagi eksistensi dan perkembangan WMG. Pertama,
letak desa Pagung yang jauh dari pusat kota menyebabkan pembaharuan sulit
dirasakan warga desa, kedua, kondisi desa Pagung yang berada di daerah dataran
tinggi atau daerah pegunungan menyebabkan warganya harus hidup dengan ulet
dan keras, dan ketiga, kondisidesa pagung yang dekat dengan kawasan hutan
merupakan faktor penting kebertahanan hidup. Boneka BMG yang terbuat dari
bahan kayu sangat dekat dengan kondisi alam desa Pagung dan kecamatan Semen
yang dekat dengan kawasan hutan. Bukti lain, dari beberapa daerah yang memiliki
wayang krucil selalu berada di daerah yang dekat dengan hutan. Wayang krucil
tidak dikenal di daerah perkotaan.
Kodisi ritual keagamaan warga desa Pagung didimonasi oleh warga
pemeluk agama Islam. Data terakhir menunjukkan jumlah pemeluk Islam 4.186
jiwa, sedang 104 jiwa memeluk agama Kisten (Katolik dan Protestan). Sarana
atau rumah ibadah terdiri atas masjid dan langgar, jumlah masjid ada sembilan
dan langgar ada lima. Di samping itu terdapat pula dua aliran kepercayaan yaitu
Perjalanan dan Ilmu Sejati. Kedua aliran kepercayaan tersebut bersumber pada
agama Islam. Bahkan, di desa Pagung terdapat sebuah pondok pesantren cabang
dari pondok pesantren Lirboyo Kediri, walaupun jumlah santrinya hanya sedikit.
Kuantitas pemeluk Islam di desa Pagung tidak sebanding dengan kualitas
dan intensitas ibadahnya. Seperti halnya dalam masyarakat Jawa secara umum,
belum tentu semua yang mengaku beragama Islam menjalankan apa yang
disyariatkan

dalam

Qur’an

dan

Hadits.

Mengutip

pendapat

Geertz,

Koentjaraningrat (1984: 312) mengungkapkan ada dua varian agama Islam di
Jawa yaitu Agami Jawi atau Kejawen dan Agama Islam Santri. Agami Jawi adalah
suatu kompleks keyakinan dan konsep-konsep Hindu-Budha yang cenderung ke

arah mistik yang tercampur menjadi satu dan diakui sebagai agama Islam. Sedang
Agama Islam Santri yang walaupun juga tidak sama sekali bebas dari unsur-unsur
animisme dan unsur-unsur Hindu-Budha, lebih dekat dengan dogma-dogma ajaran
Islam yang sebenarnya.
Fisher (1980: 139), mengutip pendapat Schrijnen, membedakan perilaku
keagamaan dengan istilah “agama rakyat” dan “agama kerakyatan”. Agama rakyat
adalah perilaku keagamaan penduduk yang dilandasi oleh ajaran-ajaran resminya,
seperti Islam dengan Qur’an dan Hadits, atau Nasrani dengan Injilnya. Hal itu
berbeda dengan agama kerakyatan yang lebih merupakan religio magis di mana
manusia tak sekedar menyalurkan kepada sikap rohani yang mengabdi dan
menghamba

terhadap

kekuasaan-kekuasan

adi

kodrati,

tetapi

sekaligus

mempunyai kemauan menguasainya. Karena berakar dari budaya setempat, agama
kerakyatan oleh Subagya (1981: 8) diistilahkan sebagai agama asli Indonesia.
Geertz (1989: 165-178, 202-267) melihat apa yang diistilahkan sebagai
agama kerakyatan ini adalah abangan sedangkan agama rakyat sebagai santri.
Dalam dunia santri, terbagi menjadi dua kelompok, yang pertama adalah
kelompok tradisional yang diwakili oleh NU sebagai organisasi masyarakatnya.
Dalam perilaku keagamaan, anggota-anggotanya menjalankannya tidak saja apa
yang tertuang Qur’an dan Hadits, namun juga ajaran para wali yang bemuatan
tasawuf dan menerima adat (sinkretis). Kelompok yang kedua adalah
pembaharuan (modernis) yang diwakili oleh Muhammadiyah yang menghendaki
semua perilaku keagamaan harus berpangkal dari ajaran yang sesungguhnya, yaitu
Qur’an dan Hadits. Kelompok ini dikenal juga sebagai pemurnian (puritan11).
Lebih lanjut Geertz (1989: 1-164) mengemukakan bahwa istilah abangan
ditemukan dalam masyarakat Jawa untuk orang tidak taat menjalankan kewajiban
agama. Karakteristik lain dalam istilah itu adalah adanya kepercayaan kepada
memedi, lelembut, tuyul, demit, dan danyang serta upacara selamatan untuk mata
pencaharian dan lingkaran hidup (life Cycle).
Kelompok pendukung agama kerakyatan, agama Jawa, santri kelompok
tradisional, juga abangan dalam aktifitas keagamaannya memasukkan ospek rasa.

Menurut Sobary (1996: 131-134), ciri-ciri sosial pendukung varian rasa adalah ia
orang lugu dan sederhana, tetapi memiliki ketulusan dan kehangatan iman. Meski
melek huruf Arab, melek bahasa Arab, dan bisa membaca, namun belum tentu
ahli, serta karena pendidikannya rendah atau fanatik terhadap paham tertentu,
mereka memahami secara teks, terlepas dari konteks sosio historis dan
kulturalnya. Status formal keagamaannya adalah rubuh-rubuh gedang12 sehingga
tidak memiliki paham keagamaan, selain perangkat aturan ritus, bahkan agama
dianggap ritus itu sendiri.
Penggunaan istilah abangan sebenarnya dipakai untuk membedakan
dengan golongan putihan, yaitu penganut ajaran Islam murni. Poensen
(Koentjaraningrat, 1984: 209), menyebut abangan untuk orang-orang yang tidak
mematuhi ajaran-ajaran agama Islam, sedangkan putihan adalah orang-orang yang
patuh terhadap ajaran agama Islam. Kata abangan berasal dari kata Arab abaa
masih dipakai dalam bahasa Indonesia dalam kata abai, mengabaikan. Kata
putihan berasal dari kata Arab muthia yang berarti mentaati.
Apapun varian keagamaan masyarakat Pagung dan sekitarnya, kondisi
ritual keagamaan tersebut sangat mendukung kebertahanan fungsi WMG. Kondisi
ritual keagamaan tersebut menyebabkan kekuatan magis dan mistis WMG
semakin diakui dan dipercaya. Kategori Islam abangan harus disikapi dengan
bijak bahwa setiap pengambilan unsur-unsur “luar” sebagai ramuan budaya
keagamaan (Islam) belum tentu akan meniadakan esensi keislaman itu sendiri.
Sebagai bukti, walaupun mereka percaya terhadap kekuatan magis dan mistis
dalam diri WMG yang ditandai dengan aktivitas pemujaan, namun dalam
kesehariannya kewajiban agama mereka lakukan dengan baik. Fenomena seperti
itu terkadang sulit dibedakan antara konsep Islam dengan konsep keagamaan
sebelum Islam juga adat telah dianut dalam kurun waktu yang lama.
Bukti kuatnya adat lokal adalah masih dilakukannya beberapa upacara
dalam kehidupan bermasyarakat. Beberapa bentuk upacara tersebut adalah
upacara sepanjang lingkaran hidup, yang meliputi tingkeban atau mitoni yakni
upacara saat kandungan berusia tujuh bulan. Brokohan adalah upacara yang
diadakan sesaat setelah bayi lahir. Sepasaran adalah upacara yang diadakan saat

bayi berumur lima hari (sepasar) yang dibarengi dengan pemberian nama.
Selapanan yaitu upacara yang diadakan saat bayi berumur 35 hari (selapan).
Neloni yaitu upacara yang diadakan saat anak berumur tiga lapan (3x35 hari).
Mitoni (piton-piton) yaitu upacara yang diadakan saat anak berumur tujuh lapan
(7x35hari). Istilah lain dari upacara mitoni adalah upacara tedhak siti (upacara
menyentuh tanah). Setaunan yaitu upacara yang diadakan saat anak berusia stu
tahun.
Upacara sepanjang lingkaran hidup setelah setaunan dan bersifat khusus di
antaranya ngruwat atau ruwatan jika dia tergolong anak sukerta, yaitu anak yang
membawa sifat kotor sejak lahir. Sunatan atau khitanan yaitu upacara yang
diadakan saat anak dikhitankan. Upacara yang lain adalah upacara pembangunan
rumah, upacara pindah rumah atau menempati rumah baru. Masyarakat Pagung
juga mengadakan upacara yang bersifat keagamaan, untuk memperingati bulanbulan keramat seperti upacara besaran (upacara saat bulan besar), suran (upacara
saat bulan suro), rejeban (upacara saat bulan rejeb), megengan (upacara
menjelang bulan puasa), maleman (upacara saat puasa memasuki hari ke-21
sampai hari ke-29), riyayan (upacara saat hari raya idul fitri tiba), kupatan
(upacara saat hari ke-5 bulan syawal). Upacara yang bersifat kolektif adalah
upacara bersih desa yang dilakukan semua warga desa. Upacara sepanjang
lingkaran hidup dapat disebut sebagai tasyakuran, artinya mengucap syukur atas
limpahan anugerah yang diberikan Tuhan.
Masyarakat desa Pagung juga mengadakan upacara untuk ritus kematian
yang dikatakan sebagai upacara sedekah. Upacara tersebut adalah upacara geblak
yaitu upacara yang diadakan sesaat setelah terjadi kematian setelah mayat
dikebumikan. Upacara telung dina yaitu upacara yang diadakan tiga hari setelah
kematian. Upacara pitung dina yaitu upacara yang diadakan tujuh hari setelah
kematian. Upacara patang puluh dina yaitu upacara yang diadakan 40 hari setelah
kematian. Upacara nyatus dina yaitu upacara yang diadakan seratus hari setelah
kematian. Upacara pendhak pisan yaitu upacara yang diadakan setahun setelah
kematian. Upacara pendhak pindho yaitu upacara yang diadakan dua tahun setelah

kematian. Upacara nyewu yaitu upacara yang diadakan seribu hari setelah
kematian.
Kondisi pendidikan di desa Pagung tergolong belum maju. Seperti halnya
di daerah pegunungan, kesadaran orang tua untuk menyekolahkan anaknya belum
tinggi. Data terakhir tercatat jumlah lulusan Sekolah Dasar (SD) ada 420 jiwa,
lulusan SLTP ada 160 jiwa, lulusan SLTA ada 40 jiwa, lulusan Perguruan Tinggi
ada 5 jiwa (2 sarjana, 3 diploma). Untuk menampung anak usia sekolah, di desa
Pagung ada 3 Sekolah Dasar Negeri dan 1 TK. Jumlah sekolah tersebut tergolong
sedikit untuk ukuran desa yang terdiri atas sembilan dusun.
Kondisi pendidikan sangat berpengaruh terhadap kebertahanan fungsi
WMG. Kondisi pendidikan warga yang rendah menyebabkan kemajuan pola pikir
warga juga rendah. Kondisi tersebut juga mengakibatkan aktivitas keagamaan
cenderung memasukkan rasa dan kurang rasionalis. Dengan kekuatan rasanya,
mereka terlalu percaya terhadap hal-hal yang berbau tahayul dan pralogis. Jika
kondisi pendidikan masyarakat tinggi, mereka cenderung melihat agama sebagai
soal rasio. Tak ada agama tanpa akal merupakan pijakan terkuat mereka untuk
selalu

mendobrak.

Segenap

laku

keagamaan

dipertanyakan

pijakan

rasionalitasnya. Ciri-ciri sosial mereka adalah cukup intelek, meski tidak dengan
sendirinya otomatis masuk dalam kategori elit dalam penghayatan dan
pemahaman keagamaan.
Sebagian besar (90%) warga desa Pagung bermata pencaharian sebagai
buruh tani dan hanya sebagian kecil sebagai petani pemilik. Sektor pertanian
merupakan sektor utama penyokong kehidupan warga desa. Areal persawahan,
juga perladangan, sebagian besar termasuk areal prsawahan tadah hujan atau
persawahan yang mengndalkan air hujan untuk bercocok tanam. Akibat terletak di
daerah pegunungan, mereka dituntut untuk ulet dan harus bekerja keras untuk
menyediakan dan mencetak areal persawahan. Sistem terasering digunakan warga
untuk bertani, dan dalam satu tahun hanya dua kali masa tanam. Kondisi tersebut
mengakibatkan pendapatan perkapita warga menjadi rendah, yaitu sekitar Rp
150.000 perbulan. Klasifikasi hidup warga sebagian besar tergolong prasejarahtera
dan sejahtera 1.

Berkaitan dengan desa Pagung yang sebagian besar masyarakatnya
berprofesi sebagai petani, Redfield (Danandjaja, 1988: 45-46) membedakan
masyarakat di dunia ini menjadi tiga macam, yakni: masyarakat folk (folk society),
masyarakat petani desa (peasant sosiety). Hal itu ditandai dengan banyaknya
penggunaan teknologi modern dalam kehidupannya, seperti alat-alat elektronik
serta kendaraan bermotor. Gaya hidup masyarakat telah mencontoh gaya hidup
masyarakat perkotaan yang tampak dari pakaian serta perhiasan yang digunakan.
Model rumah dan perabot rumah tangga meniru apa yang dimiliki masyarakat
perkotaan.
Sebagai masyarakat petani desa, gaya hidup masyarakat Pagung tidak jauh
dengan gaya hidup masyarakat petani desa yang dikemukakan Redfield
(Danandjaja, 1988: 46-47), yakni yang ditandai oleh seperangkat sikap dan nilai
sebagai berikut:
1) Sikap yang praktis dan mencari yang berfaedah terhadap alam.
Motivasinya untuk bekerja bukan saja untuk menghasilkan sesuatu bagi
hidupnya, melainkan juga untuk memenuhi perintah dewa.
2) Mereka lebih menonjolkan dari segi perasaan daripada rasio.
3) Mereka sangat mengutamakan pada kesejahteraan hidup dan kepastian
hidup.
4) Mereka sangat menghargai prokreasi, yakni untuk mempunyai keturunan
yang banyak.
5) Mereka mendambakan kekayaan.
6) Menghubungkan keadilan sosial dengan pekerjaan.
7) Mereka bersikap konservatif.
8) Mereka gemar mmamerkan kekayaan.
9) Strategi yang mereka pergunakan untuk menolak paksaan dari luar adalah
dengan cara penolakan yang bersifat pasif.

Walaupun telah menjadi masyarakat petani desa, masyarakat Pagung tidak
dapat melepaskan diri dari sikap dan perilaku masyarakat folk yang tampak dari
solidaritas sosialnya. Masyarakat Pagung tetap mempertahankan sifat gotong
royong, yang tampak dalam semua aspek kehidupan. Selain itu, hubungan
kekerabatan masih memegang peranan penting dan tujuan hidupnya adalah untuk
menjadi kaya, punya banyak keturunan, memperoleh keamanan dan kesejahteraan
hidup.

Catatan
1.

:

Wayang wwang : terdiri dari kata wayang dan wwang (orang). Artinya, seni
wayang yang boneka wayangnya diperankan oleh model

2.

Wasiya

: daya gaib, kekuatan gaib

3.

Ulah tapa

: bertapa

4.

Cempurit

: penggapit boneka wayang kulit terbuat dari olahan tanduk
binatang

5.

Slendro

: laras dalam gamelan Jawa

6.

Ngamen

: mengamen

7.

Paceklik

: masa tidak ada pekerjaan di sawah setelah masa tanam
sampai menjelang panen

8.

Waranggana

: kata lain dari pesindhen, yaitu penyanyi wanita dalam
pagelaran wayang dan seni karawitan

9.

Cikal bakal

: yang pertama ada (muncul)

10.

Negarigung

: terdiri dari kata nagari dan agung, yaitu pusat kerajaan
(kraton) Solo dan Yogyakarta

11.

Puritan

: yang datang (berpengaruh) belakangan

12.

Rubuh-rubung gedhang : anut grubyug, bersikap dan bertindak ikut-ikutan

BAB V
ASPEK BENTUK WAYANG MBAH GANDRUNG

Aspek bentuk diarahkan pada unsur pendukung pagelaran. Unsur
pendukung WMG dimaksudkan sebagai semua unsur yang berperan dalam
mendukung pagelaran WMG. Unsur pendukung pagelaran WMG terdiri atas :
5.1 Dalang
Menurut Mulyono (1982: 11) kata dalang berarti orang yang
mempertunjukkan wayang. Kata dalang dapat dianggap sebagai bentuk
pengulangan dengan disimilasi bentuk akar kata lang. Bahasa Melayu lalang
berarti berkeliling, memutari, mengelilingi, sesuai juga dengan kata Jawa lalang.
Hal ini mengingatkan kita pada peribahasa ambarang wayang yang beserta teknis
dijalankan

oleh

dalang

dengan

berarti

seseorang

yang

berkeliling

mempertunjukkan wayang di sana-sini.
Status dalang saat ini merupakan pergeseran fungsi dari status shaman
atau syaman pada saat wayang digunakan untuk sarana pemujaan. Mulyono
(1982: 56-57) mengungkapkan bahwa saat mula adanya pertunjukkan wayang,
yang kemudian terus berkembang setahap demi setahap dalam waktu yang cukup
lama, namun tetap mempertahan fungsi intinya sebagai suatu kegiatan gaib yang
berhuhungan dengan kepercayaan dan kegiatan magis, religius, didaktis),
sehingga sekarang mudahlah dipahami bahwa: wayang semula berupa bayangbayang, gambar atau ujud roh itu kemudian berupa menjadi wayang kulit purwa,
layar menjadi kelir, medium atau shaman atau pendeta menjadi dalang, sajian
menjadi sajen, nyanyian dan hymne menjadi seni suara, bunyi-bunyian menjadi
gamelan, tempat pemujaan/ tahta batu menjdi pangguing atau debog, dan
blencong menjadi lampu penerangan.
Dalang dalam konteks sosial berstatus sebagai intelektual tradisional.
Intelektual tradisional adalah mereka yang menyandang tugas kepemimpinan
intelektual dalam suatu masyarakat. Gramci (1983: 122) memberikan contoh
intelektual tradisional yang terpopularisasi, dipresentasikan melalui manusia
literer (literary man), filsuf, dan artis.
Kategori intelektual berimplikasi bahwa dalang WMG termasuk
intelektual tradisional di pedesaan. Sebagi seniman ia adalah manusia literer yang

sekaligus filsuf, sehingga dalang dapat dipandang sebagai intelektual. Sebagai
intelektual tradisional di pedesaan dalang WMG termasuk bagian dari kelompok
sosial yang berkuasa.
Dalang WMG yang sampai sekarang masih aktif mendalang adalah Bapak
Sukandar, usianya sekitar 65 tahun (lihat LG. 13). Pekerjaan tetapnya adalah
sebagai seorang petani dan hanya mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat.
Dalam WMG keberadaan dalang memiliki karakteristik yang berbeda dengan
dalang pada jenis wayang lain. Dalang WMG dalam satu generasi hanya ada satu
dalang. Penunjukkan untuk menjadi dalang dilakukan oleh Mbah Gandrung
dengan petunjuk gaib (wangsit) melalui mimpi. Pergantian dalang di samping
diterima sang calon dalang juga diterima oleh juru kunci. Hal itu disebabkan jika
dalang tua meninggal atau tidak mampu mendalang, juru kunci memohon
petunjuk gaib tersebut telah diterima juru kunci men

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

Pengaruh metode sorogan dan bandongan terhadap keberhasilan pembelajaran (studi kasus Pondok Pesantren Salafiyah Sladi Kejayan Pasuruan Jawa Timur)

45 253 84

Kesesuaian konsep islam dalam praktik kerjasama bagi hasil petani desa Tenggulun Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan Jawa Timur

0 86 111

EFEKTIVITAS siaran dialog interaktif di Radio Maraghita sebaga media komunikasi bagi pelanggan PT.PLN (persero) Distribusi Jawa Barat dan Banten di Kelurahan Lebakgede Bandung

2 83 1

Prosedur Verifikasi Internal Surat Pertanggung Jawaban (SPJ) Pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat

2 110 1

Prosedur Promosi Jabatan Karyawan pada PT. PLN (PERSERO) Distribusi Jawa Barat dan Banten UPJ Majalaya

3 53 1

Laporan Praktek Kerja Lapangan Di Divisi Humas Dan Rumah Tangga Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea Dan Cukai Jawa Barat

5 91 1

Tinjauan seksi penagihan terhadap tata usaha piutang pajak kantor pelayanan pajak Bandung Karees Wilayah VII Direktorat Jenderal Pajak Jawa Barat

2 91 29

Pengaruh Kepemimpinan Transformasional Dan Organizational Citizenship Behavior Terhadap Kinerja Pegawai PT. PLN (Persero) Distribusi Jawa Barat Dan Banten Kantor Area Sumedang

17 106 69

Pengaruh Kualitas Software Aplikasi pengawasan kredit (C-M@X) Pt.PLN (PERSERO) Distribusi Jawa Barat Dan Banten (DJBB) Terhadap Produktivitas Kerja karyawan UPJ Bandung Utara

5 72 130