Perbedaan dan Pembidangan Hukum Perdata

Perbedaan dan Pembidangan Hukum Perdata
Hukum dan Pembangunan

Kelompok 6
1. Anggi Ade Primawan

(1306402684)

2. Eko Galih Saputro

(1306415541)

3. Imas Qurhothul Ainiyah

(1306383155)

4. Mirna Rahmadia Gumati

(1306383211)

5. Rysa Yulianda


(1306383275)

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

UNIVERSITAS INDONESIA
Depok, 2014

Perbedaan dan Pembidangan Hukum Perdata
1. Hukum Perdata materiil
a. Hukum Pribadi
b. Hukum Harta Kekayaan
c. Hukum Keluarga
d. Hukum Waris
2. Hukum Perdata formil
3. Hukum Perdata Internasional

Perbedaan dan Pembidangan Hukum Perdata
1. Hukum Perdata Materiil
Sistematika Hukum Perdata Menurut Ilmu Pengetahuan

Menurut ilmu pengetahuan, hukum perdata saat ini lazimnya dibagi ke dalam
empat bagian, yaitu :
A. Hukum tentang orang atau Hukum Pribadi/Perorangan (Persoonenrecht). Antara
lain mengatur tentang :
i. Orang sebagai subjek hukum
ii. Orang dalam kecakapannya untuk memiliki hak-hak dan bertindak sendiri
untuk melaksanakan hak-haknya itu.
B. Hukum Keluarga (familierecht). Yaitu hukum yang memuat antara lain :
i. Perkawinan, perceraian, beserta hubungan hukum yang timbul di dalamnya
ii. Hubungan hukum antara orangtua dan anak-anaknya atau kekuasaan orangtua
(ouderlijke macht)
iii. Perwalian (voogdij)
iv. Pengampuan (curatele)
C. Hukum Kekayaan atau Hukum Tentang Harta Kekayaan (vermogensrecht) yaitu
hukum yang mengatur tentang hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai
dengan uang.
D. Hukum Waris (erfrecht) merupakan hukum yang mengatur tentang benda atau
kekayaan seseorang jika ia meninggal dunia (mengatur akibat hukum dari
hubungan keluarga terhadap harta warisan yang ditinggalkan seseorang.
1. Hukum Pribadi/Perorangan

Hukum pribadi, pada dasarnya mengatur hak-hak dan kewajibankewajiban dari subjek hukum. Menurut hukum Adat, di samping pribadi
(natuurlijk persoon), diakui juga pribadi (badan) hukum (rechtspersoon) sebagai
subjek hukum. Manusia membawa hak dan kewajiban sejak ia lahir dan berakhir
setelah ia meninggal dunia. Tetapi, bila perlu demi kepentingannya sejak ia masih
berada dalam kandungan ibunya, asalkan dia lahir dan hidup, ia dapat dianggap

sebagai subjek hukum (pasal 2 ayat (1) KUH Perdata). Tetapi bila lahir dalam
keadaan meninggal, maka ia dianggap tidak pernah ada (pasal 2 ayat (2) KUH
Perdata).
Badan hukum yang berstatus sebagai pembawa hak dan kewajiban
(sebagai subjek hukum), misalnya negara, kabupaten, perseroan terbatas,
yayasan, wakaf, gereja, dan lain-lain. Suatu perkumpulan dapat dijadikan badan
hukum asalkan memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh hukum, yaitu :
a. Didirikan dengan akta notaries
b. Didaftarkan di kepaniteraan pengadilan negeri setempat
c. Anggaran Dasarnya (AD) disahkan oleh Menteri Kehakiman
d. Diumumkan dalam berita negara
Orang pribadi dan badan hukum sebagai subjek hukum dapat melakukan
perbuatan hukum sebagai pelaksanaan hak dan kewajibannya. Dalam
melaksanakan perbuatan hukum, badan hukum diwakili oleh pengurusnya. Bagi

orang pribadi, untuk dapat melakukan perbuatan hukum harus sudah dewasa atau
sudah menikah sebelum umur tersebut. Batas usia dewasa menurut UU
No.1/1974 adalah 18 tahun. Orang yang sudah dewasa berarti dianggap sudah
cakap untuk melakukan perbuatan hukum/bertindak sendiri (cakap hukum). Bagi
orang pribadi yang belum dewasa, maka ia akan ditaruh dalam pengampuan
(curatele) dan dianggap belum cakap hukum.
Perbuatan hukum yang dapat dilakukan oleh orang atau bada hukum
sebagai subjek hukum, misalnya :
a. Mengadakan perjanjian jual beli tanah
b. Mengadakan perjanjian pinjam-meminjam
c. Mengadakan perjanjian kerja
Setiap orang menurut hukum harus memiliki tempat tinggal atau domisili, begitu
pula dengan badan hukum. Arti pentingnya domisili bagi subjek hukum ialah
untuk mengurus urusan-urusan tertentu, seperti :
a. Di wilayah hukum mana pernikahan harus dilakukan bila seseorang mau
menikah
b. Di mana seseorang atau badan hukum itu harus dipanggil oleh pengadilan

c. Pengadilan mana yang berwenang untuk menyelesaikan perkara yang
melibatkan orang/badan hukum tersebut.

d. Tempat dilaksanakannya pembagian warisan yang ditinggalkan oleh orang
yang bersangkutan di mana ia tinggal sampai mati.
Domisili seseorang biasanya tempat tinggal pokoknya. Badan hukum
biasanya menggunakan kantor pusat badan hukum dimana badan hukum itu
berada.
2. Hukum Harta Kekayaan
Hukum Harta kekayaan merupakan ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai
hubungan antara subjek hukum dan objek hukum dalam suatu peristiwa hukum. Yang
dimaksud “objek hukum” yaitu benda (zaak) ialah segala sesuatu yang menjadi bagian
dari keadaan yang dapat dikuasai dan mempunyai nilai uang.
Ruang lingkup hukum kekayaan terdiri dari hukum benda dan hukum perikatan.
1. Hukum Benda
Hukum benda ialah ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai hal yang
diartikan dengan benda dan hak-hak yang melekat diatasnya.
Hukum adat membedakan benda yaitu benda tetap (tanah) dan benda lepas atau
bergerak (bukan tanah). Benda tetap yang diatur di dalam kitab Undang-Undang Hukum
Perdata Buku II telah diganti oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, tentang
peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Undang undang ini mengatur mengenai hak-hak
atas tanah Indonesia. Hak-hak itu diuraikan dibawah ini.
a. Hak milik ialah hak turun temurun, yang dapat dipunyai orang atas tanah. Hak

milik itu dapat berpindah atau dipindahkan kepada pihak lain dari setiap warga
negara Indonesia.
b. Hak guna usaha ialah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung
oleh negara dalam jangka waktu paling lama 25 tahun.
c. Hak guna bangunan ialah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunanbangunan diatas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling
lama 30 tahun.

d. Hak pakai ialah hak untuk menggunakan dan memungut hasil dari tanah yang
dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain dengan memberikan
wewenang dan kewajiban tertentu. Hak pakai ini diberikan dalam jangka waktu
selama digunakan untuk keperluan tertentu, baik dengan sewa maupun tanpa
sewa.
e. Hak sewa untuk bangunan ialah penyewaan tanah dari orang lain untuk keperluan
bangunan melalui perjanjian sewa menyewa tanah.
f. Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan dapat dilakukan oleh setiap
warga negara Indonesia yang ditentukan oleh Peraturan Pemerintah tanpa dapat
memiliki tanahnya.
g. Hak guna air, pemeliharaan dan penagkapan ikan. Hak guna air ialah hak
memperoleh air untuk keperluan tertentu dan atau mengalirkan air itu diatas tanah
orang lain.

h. Hak guna ruang angkasa, memberikan wewenang untuk menggunakan tenaga
dan unsur-unsur lainnya dalam usaha memelihara kepentingan tanah, air, dan
kekayaan alam Indonesia.
i. Hak-hak tanah untuk kepentingan suci dan sosial. Hak milik tanah dari lembaga
keagamaan dan sosial sepanjang digunakan untuk usaha dalam bidangnya, diakui
dan dilindungi.
Hukum benda bergerak sebagai benda lepas yang menciptakan hak-hak diatasnya
menurut hukum adat. Hak-hak itu meliputi:
a.
b.
c.
d.

Hak atas rumah
Hak atas tumbuh-tumbuhan
Hak atas ternak
Hak atas benda bergerak lainnya

2. Hukum Perikatan
Hukum perikatan adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban

subjek hukum dalam tindakan hukum kekayaan. Hukum perdata Eropa mengatakan
adanya perikatan yang ditimbulkan karena undang-undang dan perikatan yang
ditimbulkan karena perjanjian. Perikatan yang ditimbulkan karena undang-undang
disebut perikatan dari undang-undang. Perikatan yang ditimbulkan karena perjanjian
disebut “perjanjian”, maka hak dan kewajiban yang timbul dikehendaki oleh subjeksubjek hukum.

Semua orang dapat mengadakan perjanjian, asalkan memenuhi syarat yang
ditetapkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Syarat-syarat itu antara lain:
a.
b.
c.
d.

Kata sepakat antara mereka yang mengikatkan dirinya
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Suatu hal tertentu
Suatu sebab yang halal

Menurut hukum perdata adat, bentuk-bentuk hukum perjanjian (Purnadi, Soerjono
Soekanto, 1979) diuraikan dibawah ini.

a. Perjanjian kredit, yaitu perjanjian meminjam uang dengan atau tanpa bunga, atau
barang-barang tertentu yang harus dikembalikan sesuai dengan nilai masingmasing pada saat yang telah disepakati.
b. Perjanjian kempitan, yaitu perjanjian menitipkan barang untuk dijual yang setelah
jangka waktu tertentu dikembalikan dalam bentuk uang atau barang.
c. Perjanjian tebasan yaitu untuk membeli hasil tumbuh-tumbuhan kelak pada saat
panen.
d. Perjanjian perburuhan yaitu mencangkup perjanjian kerja dengan upah atau tanpa
upah.
e. Perjanjian panjer yaitu perjanjian untuk melakukan sikap tindak hukum tertentu
kelak dikemudian hari.
f. Perjanjian pemegangkan merupakan perjanjian dengan penyerahan benda-benda
tertentu sebagai jaminan “gadai”.
g. Perjanjian pemeliharaan merupakan suatu kontrak berupa suatu pihak wajib
mengurus pihak lain pada hari tuanya.
h. Perjanjian pertanggungan kerabat yaitu perjanjian untuk menanggung utang
seorang sahabat.
i. Perjanjian tolong menolong
j. Perjanjian serikat yaitu perjanjian antar kelompok-kelompok tertentu untuk
mengerjakan sesuatu atau tukar menukar barang.
k. Transaksi yang bersangkutan dengan tanah.

l. “Deelwinning” yaitu perjanjian untuk memlihara ternak dan hasilnya.

3. Hukum Keluarga
Hukum keluarga adalah rangkaian peraturan-peraturan hukum yang
timbul untuk mengatur pergaulan hidup kekeluargaan. Hukum keluarga meliputi :
1. Kekuasaan Orangtua (ouderlijke macht)

Semua anak yang berada di bawah umur atau belum menikah berada di
bawah kekuasaan orangtua. Artinya, bahwa selama si anak itu belum dewasa,
orangtua memiliki kewajiban alimentasi, yaitu kewajiban untuk memelihara,
mendidik, dan memberi nafkah hingga anak tersebut dewasa atau sudah menikah.
Sebaliknya, si anak tersebut juga wajib patuh terhadap orangtua. Dan apabila
telah berkeluarga wajib membantu perekonomian orangtua menurut garis lurus ke
atas.
Dalam melakukan kekuasaan orangtua, bapak/ibu mempunyai hak
menguasai kekayaan anaknya dan berhak menikmati hasil kekayaan tersebut.
Kekuasaan orangtua berakhir apabila :
a. Anak telah dewasa atau telah menikah
b. Perkawinan orangtua putus
c. Kekuasaan orangtua dicabut oleh hakim karena alasan tertentu

d. Anak dibebaskan dari kekuasaan orangtua karena alasan tertentu
2. Perwalian (voogdij)
Pada dasarnya anak yatim piatu atau anak di bawah umur yang tidak
berada dalam kekuasaan orangtua memerlukan bimbingan dan pemeliharaan.
Oleh karena itu perlu ditunjuk wali, yaitu orang atau yayasan yang akan
mengurus keperluan dan kepentingan hukum anak-anak itu. Hakim biasanya
menetapkan seorang wali yang masih memiliki hubungan darah terdekat dengan
si anak. Hakim juga dapat menetapkan seseorang atau perkumpulan, misalnya
yayasan, sebagai wali. Perwalian dapat terjadi karena :
a. Perkawinan orangtua putus baik karena perkawinan atau perceraian
b. Kekuasaan orangtua dicabut atau dibebaskan
3. Pengampuan (curatele)
Orang-orang yang perlu ditaruh di bawah pengampuan adalah orangorang yang belum cakap hukum atau orang-orang yang sudah dewasa namun
tidak dapat mengurus kepentingannya sendiri dengan baik, misalnya orang yang
sakit ingatan, lemah daya, dan lain-lain. Orang yang ditaruh di bawah
pengampuan biasanya siminta oleh suami atau istri, keluarga sedarah, atau

kejaksaan. Pengampuan terhadap kurandus berakhir apabila alasan-alasan untuk
dimasukannya seseorang di bawah curatele sudah tidak ada.
4. Perkawinan
Perkawinan menurut hukum perdata adalah hubungan keperdataan antara
seorang pria dengan seorang wanita dalam hidup bersama sebagai suami istri.
Menurut KUH Perdata, perkawinan itu sah apabila memenuhi syarat-syarat
antara lain :
a. Laki-laki berumur 19 tahun dan perempuan berumur 16 tahun
b. Dilakukan di kantor pencatatan sipil
c. Tidak ada hubungan darah yang terlarang antara kedua calon mempelai
Hubungan keperdataan ini menimbulkan hak dan kewajiban suami istri, antara
lain :
a. Suami memiliki kekuasaan material. Artinya suami sebagai kepala keluarga
dan bertanggung jawab terhadap istri dan anaknya.
b. Adanya kewajiban alimentasi.
c. Istri wajib mengikuti tempat tinggal suami
Perkawinan dapat putus oleh sebab-sebab tertentu, yaitu :
a. Kematian salah satu pihak atau dua-duanya
b. Karena kepergian salah satu pihak selama 10 tahun berturut-turut tanpa ada
pemberitahuan
c. Karena perceraian
Perceraian sah setelah diumumkan dan didaftarkan pada kantor
pencatatan sipil di tempat dimana perkawinan itu berlangsung. Setelah terjadi
perceraian, segala hak dan kewajiban yang berhubungan dengan perkawinan
sudah tidak ada lagi. Perceraian juga mengakibatkan akibat hukum bagi anakanak yang masih di bawah umur dan terhadap harta kekayaan.
4. Hukum Waris
Para ahli terdahulu mencoba untuk mengemukakan pendapat mereka mengenai
pengertian dari hukum waris. Menurut MR.B.Ter Haar Bzn, hukum waris adalah aturanaturan hukum mengenai cara bagaimana penerusan dan peralihan harta kekayaan baik

yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari turunan ke keturunan. Selanjutnya
Prof. Mr. A. Pitlo juga memberikan pendapat bahwa yang disebut hukum waris itu
adalah kumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnyaa
seseorang. Dan juga Prof. Subekti berpendapat bahwa hukum waris adalah hukum yang
mengatur akibat-akibat hubungan keluarga terhadap harta peninggalan seseorang. Jadi
dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud hukum waris adalah hukum yang mengatur dan
menangani apa yang harus terjadi terhadap harta kekayaan seseorang yang meninggal
dunia, mengenai cara-cara peralihan harta dari seseorang yang meninggal dunia atau
pewaris kepada ahli warisnya.
Didalam urusan pewarisan, terdapat prinsip-prinsip kewarisan dalam hukum
perdata. Diantaranya yaitu (1) yang berpindah di dalam pewarisan adalah kekayaan si
pewaris (2) pewarisan hanya terjadi karena kematian (3) ahli waris harus ada atau sudah
lahir disaat terbukanya warisan (4) tidak memandang asal barang-barang dalam suatu
peninggalan.
Selanjutnya untuk menjadi seorang ahli waris tidak mudah begitu saja. Terdapat
syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk menjadi seorang ahli waris.
Diantaranya seorang ahli waris harus ada dan masih ada pada saat warisan terbuka. Yang
kedua yaitu ahli waris harus mempunyai hubungan darah atau ia adalah duda atau janda.
Yang ketiga yaitu ahli waris tidak menolak untuk menerima warisan.
Didalam melakukan pewarisan ini, tentunya juga terdapat cara-cara dalam
mewarisinya. Adapaun cara-caranya yaitu bisa berdasarkan undang-undang dan juga bisa
berdasarkan surat wasiat. Pertama mewariskan menurut undang-undang atau disebut juga
sebagai mewaris Ab-instentato. Sedangkan ahli warisnya disebut Ab-instaat. Mewaris
berdasarkan undang-undang terdiri atas, mewaris berdasarkan kedudukan sendiri dan
mewaris berdasarkan penggantian tempat atau hanya karena kematian. Dengan syarat
orang yang digantikan harus meninggal dunia terlebih dahulu dari si pewaris, orang yang
menggantikan harus keturunan sah dari orang yang digantikan, dan yang terakhir orang
yang menggantikan harus memenuhi syarat umum untuk mewaris.
Golongan ahli waris menurut undang-undang yaitu:

1.
2.
3.
4.

Golongan I terdiri dari suami istri dan anak-anak beserta keturunannya
Golongan II terdiri dari orang tua dan saudara-saudara beserta keturunanya
Golongan III terdiri dari kakek, nenek serta seterusnya keatas
Golongan IV terdiri dari keluarga dalam garis menyamping yang lebih jauh,
termasuk saudara-saudara ahli waris golongan III beserta keturunannya
Sedangkan pewarisan menurut surat wasiat atau testament yaitu suatu akta yang

memuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjaddi setelah ia
meninggal dunia dan yang olehnya dapat dicabut kembali. Sebuah testament harus
berbentuk tulisan yang dapat dibuat dengan akte dibawah tangan ataupun otentik yang
berisikan pernyataan kehendak yang dapat diartikan sebagai tindakan hukum sepihak.
Adapun untuk membuat testement, terdapat syarat-syaratnya juga. Yaitu, sudah
mencapai usia 18 tahun, sudah dewasa, dan sudah menikah sekalipun belum berusia 18
tahun. Tidak semua orang bisa menerima warisan melalui surat wasiat. Yaitu seperti
mereka yang telah dihukum karena membunuh si pewaris, mereka yang telah
mengelapkan, membinasakan, dan atau memalsukan surat wasiat, dan mereka yang
dengan paksaan atay kekerasan mencegah pewaris mencabut atau mengubah wasiatnya.
Isi dari surat wasiat yang dibuat oleh si pewaris yaitu perintah mengenai
kewajiban untuk melakukan sesuatu atau larangan melakukan sesuatu terhadap si
penerima waris, pencabutan mengenai testament terdahulu. Dimana jika si pewaris
dulunya telah membuat surat wasiat, tetapi dcabut dan digantikan dengan surat wasiat
baru. Dan yang terakhir surat wasiat berisi tentang pengangkatan seorang wali ata
pelaksana wasiat.
A. Hukum Waris Menurut Hukum Adat
Untuk Indonesia, hukum waris adat sangat dipengaruhi oleh sistem keturunan
pada masyarakat yang bersangkutan. Didalam hukum adat, terdapat tiga sistem
kewarisan:
1. Sistem individual, dimana para ahli waris mewarisi secara perorangan.
Daerah yang menganut sistem ini diantaranya Batak, Jawa, dan Sulawesi).
2. Sistem kolektif, dimana para ahli waris secar kolektif mewarisi harta warisan
yang tidak dapat dibagi pewaris kepada masing-masing ahli waris. Contohnya
pada masyarakat Minangkabau.
3. Mayorat:

a. Mayorat laki-laki, apabila anak laki-laki tertua atau anak sulung pada saat
pewaris meninggal adalah ahli waris tunggal. Sistem ini dianut oelh
masyarakat Lampung.
b. Mayorat perempuan, apabila anak perempuan pada saat pewaris
meninggal adalah ahli waris tunggal. Sistem ini dianut oleh masyarakat
Tanah Semendo.
Menurut hukum adat, untuk menentukan siapa yang akan menjadi ahli waris,
digunakan dua macam garis pokok. Yaitu garis pokok keutamaan dan garis pokok
penggantian. Garis pokok keutamaan adalah garis hukum yang menetukan orang yang
lebih diutamakan diantara golongan-golongan dalam keluarga pewaris. Dan tentunya
orang-orangnya saling memiliki hubungan darah. Sedangkan untuk garis pokok
penggantian adalah garis hukum yang bertujuan menentukan siapa diantara orang-orang
yang didalam kelompok keutamaan tertentu tampil sebagai ahli waris. Orang yang
berada dalam kelompok ini adalah orang yang tidak memiliki penghubung dengan
pewaris, dan orang yang tidak ada lagi penghubungnya dengan pewaris.
Subjek dalam hukum waris menurut hukum adat yaitu pewaris dan ahli waris.
Yang dimaksud pewaris adalah seseorang yang meninggalkan harta warisannya.
Sedangkan yang disebut ahli waris yaitu seeorang atau beberapa orang yang menerima
harta warisan. Dan pada dasarnya yang menjadi obejk hukum waris adalah harta warisan
tersebut atau harta keluarga.
Peristiwa hukum waris yaitu kejadian-kejadian yang berhubungan dengan hukum
waris. Diantaranya yaitu:
a. Saat dan proses peralihan harta waris
Mengenai hal ini, masing-masing daerah menetapkan cara yang berbedabeda. Misalkan bagi masyarakat yang menganut sistem kewarisan individual, harta
warisan akan dibagikan pada saat orang tua atau pewaris masih hidup. Lain lagi pada
daerah yang menganut sistem mayorat, beralihnya harta warisan dari pewaris kepada ahli
waris dilakukan saat pewaris sudah meninggal dunia.
Proses kewarisan semasa hidup atau sesudah meninggal berbeda dengan
proses pewarisan dengan hibah wasiat. Pada dasarnya hibah wasiat ini bertujuan untuk,
mewajibkan para ahli waris untuk mewariskan harta warisan sesuai dengan pembagian
yang sudah dianggap layak bagi pewaris sehingga ahli waris wajib mengikutinya. Yang
kedua tujuan dari hibah wasiat yaitu untuk mencegah perkelahian. Jika suatu warisan
sudah ditentukan pembagiannya, maka para ahli waris tidak akan menuntut bagian yang

berlebih dari yang sudah ditetapkan. Sehingga pembagian warisan bisa berjalan dengan
lancar tanpa ada perkelahian. Dan juga dengan hibah wasiat, pewaris menyatakan secara
mengikat sifat harta yang ditinggalkan seperti barang pusaka.
b. Bagian dan pembagian harta warisan
Pada umumnya, harta warisan itu dibagikan kepada ahli warisan yang
bersangkutan dengan pewaris. Untuk pembagiannya biasanya sudah ditentukan oleh si
pewaris.
B. Hukum Waris Menurut Hukum Barat
Didalam hukum barat, yang menjadi subjek hukum waris adalah pewaris, ahli
waris, dan pihak ketiga yang tersangkut dalam warisan. Yang disebut pewaris adalah
orang yang akan mewariskan hartanya kepada ahli waris. Dimana syarat-syarat menjadi
seorang pewaris yaitu adanya hak-hak dan atau sejumlah kewajiban yang harus dipenuhi
oleh pihak ketiga sebagai penerima waris, dan juga yang diwariskan yaitu sesuatu yang
dapat dinilai dengan uang. Subjek yang kedua yaitu ahli waris. Yaitu orang-orang
tertentu yang akan menerima warisan. Didalam KUHP diatur yang menjadi ahli waris
adalah:


Ahli waris yang mewaris berdasarkan kedudukan sendiri atau mewaris secara
langsung. Misalnya seorang orang tua yang meninggal dunia. Maka anaknya



akan menjadi ahli waris.
Ahli waris berdasarkan penggantian atau ahli waris tidak langsung. Dimana
jika seorang ahli waris meninggal terlebih dahulu sebelum warisan dibuka,
maka yang akan mendapatkan warisannya adalah anak dari ahli waris yang
telah meninggal tadi.

KUHP merinci ahli waris berdasarkan penggantian diantaranya:
1. Dalam garis lancang kebawah. Yaitu jika ahli waris meninggal lebih dahulu dari
pewaris, maka warisan digantikan oleh cucu dari pewaris atau anak ahli waris
yang meninggal tadi.
2. Dalam garis ke samping. Yaitu tiap saudara kandung atau saudara tiri yang
meninggal terlebih dahulu digantikan oleh sekalian anaknya.
3. Dalam garis samping. Yaitu melibatkan anggota-anggota yang lebih jauh.
Misalnya kepada paman atau keponakan.



Penggantian yang ketiga yang bukan ahli waris dan dapat menikmati harta
peninggalan.
Dan subjek hukum waris yang ketiga adalah pihak ketiga yang tersangkut dalam

warisan. Dimana pada KUHP dikenal juga sebutan:
 Fidei Comis, suatu pemberian yang diberikan kepada seorang ahli waris dengan
ketentuan bahwa ia berkewajiban menyimpan warisan itu dan setelah lewatnya
suatu waktu, warisan itu harus diserahkan kepada orang lain. Menurut undangundang, cara pemberian warisan seperti ini disebut pemberian warisan secara
melangkah.
 Executeur Testamenteir, pelaksana wasiat yang ditunjuk oleh si pewaris bertugas
untuk mengawasi pelaksanaan surat wasiat secara sungguh-sungguh sesuai
dengan yang diminta pewaris.
 Bewindvoerder atau pengelola adalah seseorang yang ditunjuk atau ditentukan
didalam surat wasiat untuk mengurus harta wasiat sehingga para ahli waris hanya
menerima penghasilan dari harta peninggalan tersebut. Dan hal ini dilakukan agar
harta peninggalan tersebut tidak habis dalam waktu yang dekat oleh ahli waris.
Untuk pewaris dan ahli waris tentunya mempunyai hak dan kewajibannya terkait
dengan harta yang diwariskan. Adapun hak-hak dari pewaris timbul sebelum terbukanya
harta peninggalan yang dituangkannya dalam surat wasiatnya. Isi dari sebuah surat
wasiat adalah:
a. Erfstelling: penunjukkan satu atau beberapa orang untuk menjadi ahli
warisyang menerima sebagian atau seluruh harta peninggalan.
b. Legaat: pemberian hak kepada seseorang atas dasar wasiat yang khusus.
Pemberian dapat berupa: hak atas satu atau beberapa benda tertentu, hak atas
seluruh dari satu macam benda tertentu, hak vruchtgebruik atas sebagian atas
seluruh warisan.
Terdapat tiga macam dari testamen atau surat wasiat:
1. Openbaar testament: yaitu surat wasiat yang dibuat oleh seorang notaris dengan
dua orang saksi.

2. Olographis testament: surat wasiat yang ditulis langsung oleh si pewaris dan
kemudian diserahkan kepada notaris untuk disimpan dan disaksikan oleh dua
orang saksi.
3. Testament rahasia: surat wasiat yang dibuat oleh pewaris kemudian disegel dan
diserahkan kepada notaris dengan disaksikan oleh empat orang saksi.
Kewajiban pewaris yaitu dimana ia harus mengindahkan legitieme portie, yaitu
suatu bagian tertentu dari harta warisan yang tidak dapat dihapuskan oleh orang yang
meninggalkan warisan.
Dalam hal pembagian harta warisan sendiri telah diatur oleh KUHP dalam pasal
1006 KUHP yang berisi, tidak seorang ahli waris yang dapat dipaksa membiarkan harta
warisan

tidak terbagi, harta warisan dapat dibagi sewaktu-waktu, dan terdapat

kemungkinan untuk mempertangguhkan pembagian harta warisan dengan jangka waktu
lima tahun, dan dapat diperpanjang lagi lima tahun dengan persetujuan ahli waris.
Didalam pembagian warisan, terdapat hal yang berkaitan erat dengan ini. Yaitu
inbreng yang merupakan pengembalian benda-benda kedalam boedel 1 Para ahli waris
dalam garis lurus kebawahlah yang diwajibkan untuk melakukan inbreng. Dalam hal ini,
para ahli waris tidak dapat membedakan apakah mewaris secara penuh atau menerima
dengan catatan tetapi pewaris berhak menentukan bahwa ahli waris yang telah menerima
pemberian pada saat pewaris hidup dibebaskan dari inbreg. Dasar dari adanya inbreng ini
adalah agar pewaris bisa berlaku adil terhadap anak dan cucunya selaku ahli waris
lainya.
Harta peninggalan juga bisa digunakan untuk melunasi utang-utang pewaris. Jika
seluruh utang pewaris telah lunas, barulah harta peninggalan itu dibagi kepada ahli waris.
Dalam hal ini juga telah ditetapkan oleh KUHP Pasal 1079 yang berisi tentang, masingmasing ahli waris menerima barang tertentu dengan harga atau nilai yang sama rata
untuk setiap ahli waris, jika seorang ahli waris menerima barang atau harta waris yang
berlebih dari ahli waris lainnya, maka ahli waris yang menerima lebih harus membayar
sejumlah uang tunai kepada ahli waris yang mendapatkan ahli waris yang kurang.

1 Boedel yaitu harta warisan, harta peninggalan, harta pusaka, harta peninggalan yang dipisahkan.

Mengenai objek hukum waris dalam hukum barat yaitu harta kekayaan yang
dipindahkan pewaris kepada ahli waris. Serta harta yang ditinggalkan berupa:
1. Aktiva, sejumlah benda yang nyata dan atau berupa tagihan atau piutang pada
pihak ketiga, hak immaterial seperti hak cipta.
2. Pasiva, sejumlah utang pewaris yang harus dilunasi kepada pihak ketiga.
3. Legitieme portie, yaitu suatu bagian warisan tertentu yang harus diterima oleh
seorang ahli waris dari harta peninggalan yang tidak dapat diganggu gugat. Ahli
waris yang berhak menerima ini adalah ahli waris dalam garis lancang keatas
ataupun bawah.
Harta warisan yang tak terurus bisa terjadi apabila terdapat suatu warisan yang
tidak seorangpun mau jadi ahli warisnya. Dengan kata lain, ahli waris menolak terhadap
warisan tersebut. Dalam hal ini, maka yang akan mengurus harta tadi adalah Balai Harta
Peninggalan (BHP). Dan pada saat akan mengurusnya, BHP harus melaporkan kepada
Kejaksaan Negeri tentang pengambilalihan pengurusan.

2. Hukum Perdata Formil atau Hukum Acara Perdata
A. Pengertian Hukum Acara Perdata
Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana
menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantara hakim. Dapat pula
dikatakan bahwa hukum acara perdata merupakan peraturan hukum yang menentukan
bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil. Dalam hukum ini
diatur bagaimana caranya mengajukan serta melaksanakan putusan tersebut.
Mengajukan tuntutan hak berarti meminta perlindungan hukum terhadap haknya yang
dilanggar oleh orang lain.
Tuntutan hak meliputi dua hal, yaitu
a. Tuntutan hak yang didasarkan atas sengketa yang terjadi, dinamakan gugatan.
Dalam tuntutan semacam ini minimal ada dua pihak yang terlibat, yaitu pihak
penggugat (yang mengajukan tuntutan hak) dan pihak tergugat (orang yang
dituntut).
b. Tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa lazimnya disebut permohonan.
Dalam tuntutan hak yang kedua ini lazimnya hanya ada satu pihak saja.
Hukum acara perdata meliputi tiga tahap tindakan, yaitu sebagai berikut.

1. Tahap

pendahuluan,

merupakan

persiapan

menuju ke

penentuan

atau

pelaksanaan.
2. Tahap penentuan, diadakan pemeriksaan peristiwa dan sekaligus pembuktian
serta keputusannya.
3. Tahap pelaksanaan, tahap diadakannya pelaksanaan dari putusan.

B. Sumber Hukum Acara Perdata
Sumber Hukum Acara Perdata yang paling utama antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan
Kehakiman yang telah disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 43
Tahun 1999.
2. Herziene Irlands Reglemen (HIR) atau Regelmen Bumi Putera yang
diperbarui yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda Staadblad No.
44 Tahun 1941 serta Hukum Acara bagi masyarakat Jawa dan Madura (Recht
3.
4.
5.
6.

Buiten gewesten (RBg) Tahun 1943).
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

C. Tujuan dan Fungsi Hukum Acara Perdata
Hukum acara bertujuan untuk melindungi hak seseorang. Perlindungan terhadap
hak seseorang diberikan oleh hukum acara perdata melalui peradilan perdata. Dalam
peradilan perdata, hakim akan menentukan mana yang benar dan mana yang tidak
benar setelah pemeriksaan dan pembuktian selesai.
Dengan peradilan tersebut sudah barang tentu seseorang yang menguasai atau
mengambil hak seseorang dengan melawan hukum akan diputuskan sebagai pihak
yang salah, oleh karenanya dia diwajibkan menyerahkan kembali apa yang telah
dikuasai itu kepada pemegang hak yang sah menurut hukum. Dengan demikian, apa
yang termuat dalam hukum perdata materiil dapat dijalankan sebagaimana mestinya.
Di samping melindungi hak seseorang, ada tujuan lain yang merupakan tujuan
akhir dari hukum acar perdata, yaitu mempertahankan hukum materiil. Dalam rangka
mempertahankan hukum perdata materiil tersebut, Hukum Acara Perdata berfungsi
untuk mengatur bagaimana caranya seseorang mengajukan tuntutan haknya,

bagaimana Negara melalui aparatnya memeriksa dan memutuskan perkara perdata
yang diajukan kepadanya. Dengan kata lain, dapat dinyatakan bahwa fungsi hukum
acara perdata sebagai sarana untuk menuntut dan mempertahankan hak seseorang.

D. Asas-Asas Hukum Acara Perdata
Asas-asas hukum acara perdata adalah sebagai berikut.
1. Hakim bersifat menunggu
Proses peradilan perdata terjadi apabila ada permintaan dari seseorang
atau sekelompok orang yang menuntut haknya, entah karena ada sengketa atau
tidak dengan sengketa.
Jadi, Hakim menunggu datangnya permintaan atau tuntutan atau gugatan
dari masyarakat. Penyelenggara proses peradilan adalah Negara. Hakim tidak
diperbolehkan menolak suatu perkara perdata yang diajukan kepadanya untuk
diperiksa dan diputuskan. Meskipun Hakim belum menemukan hukumnya untuk
perkara yang diajukan, dia harus mencari dan menemukannya agar perkara itu
dapat diselesaikannya.
2. Hakim bersifat pasif
Hakim dalam memeriksa perkara perdata bersifat pasif. Artinya, bahwa
luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim pada asasnya ditentukan oleh
para pihak yang berperkara, bukan oleh hakim.
Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi
segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana,
cepat, dan biaya ringan. Para pihak dapat mempelajari perkaranya sendiri
menurut kehendaknya. Artinya, bahwa bila yang bersengketa mencabut
gugatannya karena telah tercapai penyelesaian melalui perdamaian, hakim tidak
akanmenghalangi (Pasal 130 HIR, 154 Rbg).
Hakim hanya dibenarkan untuk memutuskan apa yang diminta oleh para
pihak, tidak boleh lebih dari tuntutan para pihak (Pasal 178 ayat (2) dan (3) HIR,
189 ayat (2) dan (3) Rbg).
Jadi, pengertian dari istilah “hakim pasif” hanya ditekankan pada masalah
penentuan luas sempitnya perkara. Hakim dalam hal ini tidak dibenarkan
menambah atau mengurangi pokok sengketa yang diajukan oleh para pihak yang
berkepentingan.

Dalam kenyataannya, hakim dalam pemeriksaan perkara perdata pun
aktif, yaitu dia memimpin persidangan, member petunjuk kepada para pihak,
berusaha mendamaikan mereka dan mencari jalan penyelesaian perkara yang
diperiksanya. Hal ini juga sesuai dengan asas yang dianut oleh HIR.
3. Persidangan bersifat terbuka
Pada dasarnya, proses peradilan dalam persidangan bersifat terbuka untuk
umum, artinya semua orang boleh menghadiri persidangan asalkan tidak
mengganggu jalannya persidangan dan berlaku tertib. Hal ini bertujuan agar
persidangan berjalan secara fair, objektif, dan hak manusia pun terlindungi, serta
diharapkan putusan pengadilan pun adil bagi masyarakat.
Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 17 dan 18 Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1970 (Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman). (Sekarang
diatur dalam Pasal 19 dan 20 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 yang diubah
menjadi UNdang-Undang Nomor 48 Tahun 2009). Dari ketentuan tersebut dapat
dikatakan bahwa setiap pemeriksaan dalam siding terbuka untuk umum, tetapi
dapat dilakukan pemeriksaan tertutup apabila undang-undang menentukan lain,
misalnya dalam pemeriksaan perceraian atau perkosaan dalam perkara pidana.
Walaupun pemeriksaannya dilakukan secar tertutup, namun pembacaan
keputusan Hakim harus dilakukan dalam siding terbuka sesuai dengan Pasal 18
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970. (Pasal 20 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004).
4. Mendengar kedua belah pihak
Dalam hukum acar perdata, kedua belah pihak yang bersengketa harus
didengar, diperhatikan dan diperlakukan sama (Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970) (Sekarang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004).
Proses peradilan dalam hukum acara perdata wajib memberikan
kesempatan yang sama kepada para pihak yang bersengketa. Kesempatan yang
dimaksud adalah kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya.
Asas bahwa kedua belah pihak harus didengar, dikenal dengan asas audi
et alteram parten. Hakim tidak boleh menerima keteragan dari salah satu pihak
sebagi keterangan yang benar, sebelum pihak lain memberikan pendapatnya.

Dengan demikain, pengajuan alat-alat bukti harus dalam persidangan yang
dihadiri oleh dua pihak yang bersengkata.
5. Putusan harus disertai alasan-alasan
Semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan yang menjadi
dasar untuk mengadili (Pasal 23 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970)
(Sekarang diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004); Pasal 84
ayat (1), 319 HIR, 195, 618 Rbg.
Alasan-alasan tersebut dimaksudkan sebagai pertanggungjawaban hakim
atas putusannya terhadap masyarakat, sehingga mempunyai nilai-nilai objektif.
Dengan adanya alasan-alasan itulah, putusan mempunyai wibawa dan bukan
karena hakim tertentu yang menjatuhkan.
6. Beracara dikenakan biaya
Pada asasnya, berperkara dikenakan biaya (Pasal 4 ayat (2) UndangUndang Nomor 14 Tahun1970)(Sekarang Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004), 121 (4) HIR, 182 HIR, 183 HIR, 145 (4), 192, 194 Rbg).
Biaya perkara meliputi biaya kepaniteraan dan biaya untuk panggilan,
pemberitahuan kepada para pihak, serta biaya materai.
Para pihak yang tidak mampu membayar biaya perkara dapat mengajukan
perkara secara cuma-cuma (prodeo), dengan mendapatkan izin untuk dibebaskan
dari kewajiban membayar biaya perkara, dengan mengajukan surat keterangan
tidak mampu yang dibuat oleh kepala polisi (Pasal 237 HIR, 273 Rbg).
Dalam praktik, surat keterangan itu dibuat oleh camat setempat.
Permohonan perkara secara prodeo akan ditolak hakim bila ternyata pemohon
bukan orang yang tidak mampu.
7. Tidak ada keharusan mewakilkan
HIR tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan diri kepada orang
lain, sehingga pemeriksaan dipersidangan terjadi secar langsung terhadap para
pihak yang langsung berkepentingan. Namun, para pihak dapat dibantu atau
diwakili oleh kuasanya apabila dikehendakinya (Pasal 123 HIR, 147 Rbg).
Dengan memeriksa secara langsung terhadap para pihak, hakim akan
dapat mengetahui lebih jelas pokok persoalannya, sebab para pihak yang
berkepentinganlah sebenarnya yang mengetahui seluk-beluk peristiwanya.

Biaya beracara secara langsung dipengadilan lebih ringan jika
dibandingkan dengan jalan perwakilan. Tidak ada ketentuan bahwa seorang wakil
harus sarjana hukum, akan tetapi jika ditinjau dari kenyataan beracara dengan
kuasa/wakil yang sarjana hukum lebih lancer daripada kuasa yang bukan sarjana
hukum.

E. Pihak-Pihak dalam Hukum Acara Perdata
Di dalam proses peradilan perdata, sekurang-kurangnya ada dua pihak, yaitu
penggugat dan tergugat. Baik penggugat maupun tergugat yang tergolong mampu untuk
melakukan perbuatan hukum dapat beracara sendiri untuk kepentingan sendiri, tetapi ia
juga mewakilkan kepada kuasanya.
Seorang kuasa untuk penggugat maupun tergugat harus memenuhi salah satu
syarat sebagai berikut.
1. Harus mempunyai surat kuasa khusus, sesuai dengan bunyi Pasal 123 ayat (1)
HIR atau Pasal 147 ayat (1) Rbg.
2. Ditunjuk sebagai kuasa atau wakil badan persidangan (Pasal 123 ayat (1) HIR
(1) Rbg).
3. Memenuhi syarat dalam Peraturan Menteri Kehakiman 1/1965 Tanggal 28
Mei 1965 jo Keputusan Menteri Kehakiman No. j.p 14/2/11 Tanggal 7
Oktober 1965 tentang Pokrol.
4. Telah terdaftar sebagai advokat.
5. Undang-Undang advokat yang baru Tahun 2003.

F. Alat-Alat Bukti dalam Perkara Perdata
Alat-alat bukti dalam perkara perdata diatur dalam Pasal 164 HIR, 284 Rbg, dan
1866 BW. Alat-alat bukti yang dimaksud adalah alat-alat bukti yang sah, sehingga Hakim
dalam acara pembuktian untuk memutuskan perkara yang diperiksa hanya dibenarkan
menggunakan alat-alat bukti yang ditentukan oleh Undang-Undang saja.
Alat-alat bukti yang ditentukan oleh Undang-Undang adalah
1. bukti tertulis (surat)
2. bukti saksi
3. bukti persangkaan
4. bukti pengakuan
5. bukti sumpah
1. Bukti Tertulis (Surat)

Alat-alat bukti (surat) adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan
yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati seseorang untuk pembuktian.
Alat bukti surat dibedakan menjadi dua yaitu akta autentik dan akta di bawah
tangan. Akta adalah surat yang dibubuhi tanda tangan, yang memuat peristiwaperistiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan yang dibuat dengan sengaja
oleh para pihak sebagai alat pembuktian.
Akta autentik adalah akta yang dibuat oleh/di hadapan pejabat yang diberi
wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang telah
ditetapkan baik dengan ataupun tanpa bantuan yang berkepentingan untuk dicatat di
dalamnya. Contoh : akat notaries. Akta autentik merupakan alat bukti tertulis yang
sempurna.
Akta dibawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh
para pihak tanpa bantuan seorang pejabat. Jadi, pembuatnya hanyalah para pihak
yang berkepentingan saja. Contoh : surat perjanjian di bawah tangan dan kuitansi.
2. Bukti Saksi (Kesaksian)
Bukti saksi (kesaksian) adalah kepastian yang diberikan kepada hakim, dalam
persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan
secara lisan dan pribadi di bawah sumpah oleh orang yang bukan pihak dalam
perkara.
Saksi adalah orang yang di bawah sumpah member keterangan di depan siding
pengadilan tentang peristiwa yang disengketakan dengan mengalami, melihat, dan
mendengar sendiri.
3. Persangkaan
Persangkaan adalah alat bukti yang bersifat tidak langsung. Persangkaan
menurut ilmu pengetahuan adalah alat bukti yang tidak langsung, dan dibedakan
menjadi :
a. Persangkaan berdasarkan kenyataan
b. Persangkaan berdasarkan hukum
4. Pengakuan
Pengakuan diatur dalam Pasal 174, 175, 176 HIR, Pasal 311, 312, 313 Rbg,
dan Pasal 1923, 1928 BW. Pengakuan adalah keterangan sepihak dari salah satu
pihak penggugat/tergugat. Pengakuan adalah pengakuan tegas yang diucapkan oleh si
pengaku atau tidak membantah posisi pihak lawan.

5. Sumpah
Sumpah adalah pernyataan khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu
member janji atau keterangan dengan mengingat akan dari Tuhan Yang Maha Esa
dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan tidak benar akan dihukum oleh
Tuhan. Dalam hukum acar perdata, dikenal tiga macam sumpah, yaitu
a. Sumpah suppletoir yaitu sumpah pelengkap, yang diperintahkan hakim karena
jabatannya kepada salah satu pihak untuk melengkapi pembuktian peristiwa yang
menjadi sengketa sebagai dasar putusan.
b. Sumpah estimator yaitu sumpah penaksiran, yang diperintahkan oleh hakim
kepada penggugat untuk menentukan jumlah ganti kerugaian.
c. Sumpah decisoir yaitu sumpah penentu atau sumpah pemutus, yang dimintakan
oleh salah satu pihak kepada pihak yang lain. pihak yang meminta pihak lain
menyatakan sumpah disebut deferent, sedangkan pihak yang menyatakan sumpah
disebut delaat.

G. Perbedaan Antara Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana
Perbedaan Antara Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana adalah sebagi
berikut.
Hukum Acara Perdata
1. Mengatur cara-cara

Hukum Acara Pidana
mengadili
1. Mengatur
cara-cara

mengadili

perkara perdata di muka Pengadilan

perkara pidana di muka Pengadilan

Perdata Oleh Hakim Perdata.
2. Yang menuntut tergugat adalah

Pidana Oleh Hakim Pidana.
2. Jaksa menjadi penuntut terhadap

pihak yang dirugikan. Penggugat

terdakwa. Jaksa sebagi penuntut

berhadapan dengan tergugat (tidak

umum mewakili Negara berhadapan

ada jaksa).
3. Inisiatif datang dari pihak yang

dengan terdakwa (ada jaksa).
3. Inisiatif datang dari penuntut umum.
4. Ada lima alat bukti, tidak termasuk

dirugikan.
4. Sumpah termasuk alat bukti.
5. Perkara dapat ditarik kembali oleh
pihak-pihak

yang

bersangkutan

sebelum ada putusan hakim.
6. Hakim bersifat pasif.
7. Putusan Hakim cukup mendasarkan
pada kebenaran formil.

sumpah.
5. Perkara tidak dapat ditarik kembali,
kecuali delik aduan.
6. Hakim bersifat aktif.
7. Putusan Hakim mencari kebenaran
materiil dan menurut keyakinan,
serta perasaan adil hakim.

8. Tergugat yabg dikalahkan dihukum

8. Terdakwa yang terbukti bersalah

sesuai dengan petitup gugatan baik

dihukum mati/penjara/kurungan dan

sebagian atau seluruhnya.
9. Banding dari Pn ke PT disebut

denda.
9. Banding dari PN ke PT disebut

Appel.

Revisi.

Cara Mengajukan Gugatan Perdata
Pasal 118 HIR mengatur
1. cara mengajukan gugatan, yaitu tertulis.
2. tempat mengajukan gugatan, dan
3. dapat mewakilkan.
(1) gugatan perdata yang pada tingkat pertama masuk wewenang Pengadilan Negeri
dimasukkan dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau
kuasanya menurut Pasal 123, kepada Ketua Pengadilan Negeri di daerah hukum
siapa tergugat berdomisili atau jika tidak diketahui domisilinya, tempat tinggal yang
sebenarnya.
Tempat mengajukan gugatan:
a. Tingkat pertama

= hakim sehari-hari di Pengadilan Negeri.

b. Tingkat kedua

= tingkat banding di Pengadilan Tinggi.

c. Tingkat Kasasi= hakim kasasi di Mahkamah Agung.
Hal ini menunjukkan pengadilan bertingkat/hierarki.
Isi Gugatan
Gugatan pada pokoknya memuat hal-hal berikut.
1. Identitas para pihak (penggugat dan tergugat)
identitas adalah cirri-ciri dari penggugat dan tergugat, yaitu nama, tempat tinggal,
umur, serta status kawin atau tidak.
2. Dalil-dalil konkret yang ada hubungan hukum, yang merupakan dasar serta
alasan-alasan dari tuntutan (middelen van den eis) atau lebih dikenal dengan
fundamentum petendi.
Fundamentum petendi atau dasar tuntutan terdiri atas dua bagian, yaitu bagian
yang menguraikan tentang kejadian-kejadian atas peristiwa dan bagian yang
menguraikan tentang hukum. Uraian tentang hukum adalah uraian tentang adanya

hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar, yaitu dasar tuntutan harus jelas
dan lengkap.
hak atau peristiwa yang harus dibuktikan di persidangan nanti, harus dimuat
dalam fundamentum petendi sebagai dasar tuntutan yang memberi gambaran
kejadian materiil yang merupakan dasar tuntutan itu.
3. Petitum atau tuntutan
Petitum atau tuntutan adalah apa yang oleh penggugat minta atau diharapkan agar
diputuskan oleh hakim. jadi, petitum akan mendaptkan jawaban di dalam dictum
atau amar putusan.
Pihak yang berperkara adalah
1. Pihak materiil, yaitu pihak yang berkepentingan (penggugat dan tergugat).
2. Pihak Formil, yaitu pihak yang menghadap, terdiri atas :
a. pihak materiil sendiri, yaitu penggugat dan tergugat.
b. kuasa, dan
c. wali/curator.

H. Jenis-Jenis Putusan
Dalam Pasal 185 ayat (1) HIR dibedakan antara putusan akhir dan bukan putusan
akhir. putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri suatu perkara dalam suatu tingkatan
peradilan tertentu. Jenis-jenis putusan akhir adalah sebagai berikut.
1. Putusan Condemnatoir adalah putusan yang bersifat menghukum pihak yang kalah
untuk memenuhi prestasi atau membayar sejumlah uang tertentu. Putusan
Condemnatoir memberi hak eksekutorial, berarti mempunyai kekuatan mengikat
dan dapat dipaksakan.
2. Putusan Constitutief adalah putusan yang meniadakan atau menciptakan suatu
keadaan hukum baru. Misalnya, pemutusan perkawinan, pengangkatan wali,
pemberian pengampuan, pernyataan pailit dan pemutusan perjanjian.
3. Putusan Declaratoir adalah putusan yang isinya bersifat menerangkan atau
menyatakan apa yang sah, atau menguatkan hak seseorang. Misalnya, hakim
menetapkan pihak tergugat atau penggugat yang berhak atas barang yang
disengketakan.

Putusan yang bukan putusan akhir (Putusan Sela atau Putusan Antara) adalah
putusan yang berfungsi untuk memperlancar jalannya persidangan. Putusan Sela hanya
dimintakan banding bersama-sama dengan banding Putusan Akhir perkara yang sama.
Selain itu, dikenal pula Putusan Praeparatoir dan Putusan Interlocutoir. Putusan
Praeparatoir adalah putusa sebagai persiapan putusan akhir, tanpa mempunyai pengaruh
atas poko perkara atau putusan akhir. Contoh: putusan untuk menggabungkan dua
perkara atau untuk menolak diundurnya pemeriksaan saksi. Putusan Interlocutoir adalah
putusan yang isinya memerintahkan pembuktian,

misalnya pemeriksaan untuk

pemeriksaan saksi atau pemeriksaan setempat. Putusan Interlocutoir berpengaruh
terhadap putusan akhir.
Di samping itu, ada pula Putusan Gugur dan Putusan Verstek. Putusan Gugur
merupakan putusan yang dijatuhkan oleh hakim apabila penggugat tidak datang pada
sidang meskipun telah dipanggil secara layak. Putusan Verstek adalah putusan yang
dijatuhkan oleh hakim tanpa hadirnya tergugat, meskipun telah dipanggil secara layak
(sebagaimana mestinya).

I. Upaya Hukum
Upaya hukum adalah cara untuk memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan.
Verstek (perlawanan) adalah upaya hukum terhadap putusan Verstek (Pasal 125 ayat (3)
jo 129 HIR, 149 ayat (3) jo 153 Rbg). Verstek diperuntukkan bagi tergugat, karena pada
umunya tergugat adalah pihak yang dikalahkan dalam Putusan Verstek, dan dapat
digunakan juga terhadap pelaksanaan Putusan Hakim.
Banding adalah permohonan untuk diadakan pemeriksaan ulang terhadap putusan
pengadilan yang tidak memuaskan salah satu pihak yang berperkara dengan alas an
putusa keliru, putusan kurang adil dan diajukan pada pengadilan yang lebih tinggi.
Banding diatur dalam Pasal 188-194 HIR.
Kasasi adalah pemeriksaan ulang dari suatu perkara tertentu oleh Mahkamah
Agung.
Peninjauan Kembali Putusan (PK)
Peninjauan kembali putusan hanya dapat dilakukan terhadap putusan pengadilan
yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Peninjauan kembali putusan diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA)
No. 1 Tahun 1980, Pasal 21 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 (sekarang diatur
dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004) dan dalam Bab XVIII KUHAP.
Menurut Pasal 263 ayat (2) KUHAP, peninjauan kembali diajukan dengan alasan:
a. karena terdapat keadaan baru yang menimbulakn dugaan kuat, bahwa bila keadaan
itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berjalan, hasilnya akan berupa
putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum, atau tuntutan
penuntut umum tidak dapat diterima;
b. karena dalam berbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti,
akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan
telah terbukti itu bertentangan satu sama lain;
c. karena putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau
kekeliruan yang nyata.
Menurut Pasal 263 ayat (3) KUHAP, putusan dapat dimintakan peninjauan
kembali apabila suatu putusan terhadap perbuatan pidana yang telah dinyatakan terbukti
tetapi tidak diikuti dengan pelaksanaan hukuman.
Tata cara peninjauan kembali diatur dalam Pasal 264 KUHAP. Dalam peninjauan
kembali putusan, Mahkamah Agung dapat memutuskan:
1. menolak permohonan peninjauan kembali bila alas an tidak dibenarkan oleh
Mahkamah Agung.
2. bila Mahkamah Agung memebenarkan alas an permohonan, putusan Mahkamah
Agung dapat beruppa :
a. putusan bebas,
b. putusan lepas dari segala tuntutan hukum,
c. putusan tidak menerima tuntutan penuntut umum, dan
d. putusan yang menerapkan pidana yang lebih ringan.

3. Hukum Perdata Internasional
Hukum Internasional sering disebut sebagai hukum antarnegara, hukum
antarbangsa, atau hukum bangsa-bangsa. J.G. Starke dalam bukunya An Introduction to
International Law memberikan definisi sebagai berikut.

“Hukum Internasional dapat dirumuskan sebagai sekumpulan hukum
yang sebagian besar terdiri atas asas-asas dan peraturan tingkah laku yang
mengikat negara-negara, dan karena itu ditaati dalam hubungan negara-negara.”
Hukum Internasional Hukum internasional terbagi menjadi dua bagian, yaitu :
1. Hukum Publik Internasional, adalah hukum internasional yang mengatur negara yang
satu dengan lainnya dalam hubungan internasional (Hukum Antarnegara).
2. Hukum Perdata Internasional, adalah hukum internasional yang mengatur hubungan
hukum antara warga negara di suatu negara dengan warga negara dari negara lain
(hukum antar bangsa)
Kedua hukum internasional tersebut memiliki kesamaan dalam mengatur subjek
hukum yang melintasi batas-batas negara (hubungan internasional). Perbedaan kedua
hukum internasional tersebut terletak pada subjek hukumnya. Pada hukum publik
internasional, subjek hukum yang terdapat di dalamnya merupakan negara atau badan
hukum public. Sedangkan hukum perdata internasional subjek hukumnya adalah
individu perorangan atau badan hukum perdata.
3.3.1. Asas-asas Hukum Perdata Internasional
Hukum perdata internasional memiliki asas hukum sendiri yang mengatur di
Indonesia. Asas-asas tersebut merupakan asas teritorial, asas kebangsaan, dan asas
kepentingan umum. Menurut asas teritorial, negara melaksanakan hukum bagi semua
orang dan semua barang yang berada dalam wilayahnya. Sedangkan Menurut asas
kebangsaan, setap warganegara dimanapun dia berada, tetap mendapat perlakuan hukum
dari nearanya. as