Meretas properti dan kekayaan intelektual

Hak Kekayaan Intelektual (HKI)

Disusun oleh:
Evi Nurhayati

1112046300001

Bintang Mikail Subuh

1112046300009

Manajemen Zakat dan Wakaf (ZISWAF)
Program Studi Muamalat

Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta - 2014

Kata Pengantar
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Kami hanturkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah menciptakan

manusia dengan akal dan fikiran sehingga dapat membedakan haq dan bathil.
Sholawat serta salam tak lupa kami junjung kepada Muhammad SAW, Nabi sejuta
umat, yang membawa umatNya dari zaman kebodohan menuju zaman
cendekiawan.
Makalah ini kami susun sebagai tugas mata kuliah Fiqh Muamalat
Kontemporer (Al-Fiqh Al-Mu’amalat Al-Maliyah Al-Mu’ashirah). Tak lupa kami
mengucapkan terima kasih kepada keluarga kami yang telah memberikan
dukungan materiil dan moril, dosen pembimbing mata kuliah Fiqh Muamalat
Kontemporer, Hasanuddin, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah
ini.
Kami akui bahwa tiada gading yang tak retak, masih terdapat kekurangan
dalam penulisan makalah ini. Karena itu, berbagai masukan dan kritikan untuk
menyempurnakan buku ini sangat diharapkan.
Ciputat, 16 Mar. 14

Penulis

Daftar Isi
KATA PENGANTAR............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii

Bab I Pendahuluan.................................................................................................1
1. Latar Belakang Masalah............................................................................1
2. Rumusan Masalah.....................................................................................1
Bab II Pembahasan................................................................................................2
1. Pengertian HKI..........................................................................................2
1.1.............................................................................................................U
ndang-Undang Nomor 19 Tahun 2002...............................................2
1.2.............................................................................................................H
KI: Haq Ibtikar....................................................................................3
2. Dasar Hukum HKI.....................................................................................4
3. Konsep HKI...............................................................................................5
4. Model Praktik HKI Konvensional.............................................................5
4.1.............................................................................................................Se
rtifikat Kepemilikan............................................................................5
4.2.............................................................................................................Co
llateral (Agunan) Perbankan...............................................................6
4.3.............................................................................................................Ja
5.
6.
7.

8.

minan Fidusia.....................................................................................7
Masalah HKI dalam Syari’ah....................................................................8
Alternatif Permasalahan............................................................................10
Kritik Konsep HKI....................................................................................15
Aplikasi dalam Lembaga Keuangan Syari’ah...........................................15

Bab III Penutup......................................................................................................16
1. Kesimpulan................................................................................................16
2. Saran..........................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................18

BAB II
Hak Kekayaan Intelektual (HKI)
1. Pengertian Hak Kekayaan Intelektual (HKI)
Hak kekayaan Intelektual (HKI) adalah padanan kata yang biasa
digunakan untuk Intellectual Property Right yakni hak yang timbul dari hasil olah
pikir yang menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia.
Pada Intinya, HKI adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu

kreativitas intelektual. Objek yang diatur dalam HKI adalah karya-karya yang
timbul atau lahir karena kemmpuan intelektual manusia.
Pengertian lainnya mengenai HKI adalah hak eksklusif yang diberikan
negara kepada kreator, Inventor atau pendesain atau hasil kreasi atau temuannya
yang mempunyai nilai komersil. Baik secara langsung, secara otomatis atau
melalui pendaftaran pada instansi terkait sebagai penghargaan, pengakuan hak
yang patut diberikan perlindungan hukum.
Secara garis besar, HKI dibagi ke dalam dua bagian, yaitu:
a. Hak Cipta, dan
b. Hak Kekayaan Industri, yang mencakup;
o Paten;
o Desain Industri;
o Merek;
o Desain tata letak sirkuit terpadu, dan
o Rahasia dagang.
1.1. Undang-Undang nomor 19 tahun 2002
Hak Kekayaan Intelektual (HKI) sudah ada sejak tahun 2002, pada saat
hak cipta pada perdagangan diberlakukan. Hak cipta diatur dalam undang-undang,
mengingat bahwa bagsa Indonesia yang memiliki keanekaragaman baik budaya
dan kondisi sosial-ekonomi harus dilindungi oleh pemerintah, demi menjaga

serangan dari negara lain. Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) nomor 19 tahun

2002 tentang hak cipta menyebutkan, “Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi
pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya
atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”1 Hal ini, sudah jelas
bahwa segala yang diciptakan oleh manusia di Indonesia telah dilindungi oleh
pemerintah Indonsia. Termasuk hak cipta dalam berbagai usaha dan merk.
1.2. HKI: Haq Ibtikar
Islam mengajarkan kita untuk melakukan kewajiban. Maka dari itu,
adanya hak merupakan sesuatu yang diperbolehkan. Hak kita untuk meminta
Rezeki kepada Allah sebagai salah satu hak kita sebagai hambaNya. Dalam Islam,
dapat dikenal dengan sebutan Hak Ibtikar. Hak Ibtikar terdiri atas dua kata, haq
dan Ibtikar.
Haq secara bahasa dapat diartikan sebagai ‘kepastian’ atau ‘ketetapan’.
Secara terminologis, Haq berarti suatu ketentuan yang digunakan oleh syara’
untuk menetapkan suatu kekuasaan atau suatu beban hukum. Sedangkan Ibtikar
menurut bahasa, yaitu ‘awal sesuatu’ atau ‘permulaannya’. Ibtikar dalam fiqh
Islam dimaksudkan adalah hak cipta/kreasi yang dihasilkan seseorang untuk
pertama kali. Didalam dunia ilmu pengetahuan al-ibtikar disebut dengan hak

cipta.
Pengertian Haq Ibtikar masih jarang ditemukan pada ulama-ulama klasik.
Namun, banyak dijumpai pada ulama-ulama fiqih kontemporer. Fathi ad-Duraini,
guru

besar

fiqh

di

Universitas

Damaskus,

Syria,

menyatakan

bahwa ibtikar adalah, gambaran pemikiran yang dihasilkan seorang ilmuan

melalui kemampuan pemikiran dan analisisnya dan hasilnya merupakan
penemuan atau kreasi pertama, yang belum dikemukakan ilmuan sebelumnya.
Pada dasarnya, Haq Ibtikar merupakan perwujudan dari ide/gagasan berupa seni,
bahasa dan harta benda yang dapat berguna bagi khalayak kebanyakan dan
dilindungi oleh hukum syari’ah sebagai hak seseorang yang menciptakannya.

1

Id.wikisource.org tentang hak cipta dan undang-undangnya (UU no. 19 tahun
2002)

2. Dasar Hukum HKI
Imam asy- Syafi’i mengatakan bahwa yang dikatakan harta itu adalah
yang boleh dimanfaatkan oleh manusia, baik berupa benda maupun bersifat
manfaat dari suatu benda. Pemikiran seseorang yang telah dituangkan dalam
buku, ciptaan atau kreasi seorang ilmuwan atau seniman, menurut mereka, juga
bernilai bermanfaat yang dapat nilai dengan harta, dapat diperjual belikan, dan
orang yang sewenang-wenang terhadap haq ibtikar dan kreasi orang lain boleh
dituntut di muka pengadilan. Oleh sebab itu, dalam ijtihad para ulama Syafi’iyah,
Malikiyah, Hanabilah dan sebagai ulama Hanafiyah, memutuskan bahwa haq

ibtikar dan kreasi ilmuwan atau seniman termasuk ke dalam pengertian
harta (mal)yang bermanfaat, setelah hasil pemikiran itu dituangkan ke dalam buku
atau media lainnya.
Pada saat ini, Indonesia telah memiliki perangkat peraturan perundangundangan di bidang hak kekayaan intelektual yang cukup memadai dan tidak
bertentangan dengan ketentuan sebagaimana yang dipersyaratkan dalam
Persetujuan TRIPS (Agreement Related Aspect of Intellectual Property Right).
Peraturan perundang-undangan dimaksud mencakup:2


Undang-undang No. 12 Tahun 1997 tentang Perubahan Undang- undang
No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang No. 7 tahun 1987 (UU Hak Cipta); dalam waktu dekat,
Undang-undang ini akan direvisi untuk mengakomodasikan perkembangan

2



mutakhir di bidang hak cipta;
Undang-undang No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas






Tanaman;
Undang-undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang;
Undang-undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri;
Undang-undang No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit




Terpadu;
Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten (UU Paten); dan
Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek.

Direktorat Jendral Industri Kecil dan Menengah Departemen Perindustrian

3. Konsep HKI

Secara garis besar, Konsep dari Hak Kekayaan Intelektual meliputi;
a. Hak Cipta, hak khusus untuk mengumumkan, memperbanyak serta
memberi izin dengan tidak mengurangi pembatasan Undang-Undang;
b. Hak Ekonomis, menikmati hasil karya sendiri tanpa gangguan dari pihak
lain;
c. Hak Kekayaan

Industri,

Hak

Khusus

yang

menghasilkan

dan

melaksanakan sendiri serta memberi persetujuan dalam menggunakan

varitas tanaman/industri;
d. Hak paten, hak khusus dalam penemuan dibidang teknologi dalam
melaksanakan sendiri atau memberi persetujuan menggunakan;
e. Hak merek, hak khusus yang digunakan dalam kegiatan perdagangan
barang atau jasa yang memiliki daya pembeda, dan
f. Hak desain Industri, hak khusus atas hasil kreasinya untuk melaksanakan
sendiri atau memberi persetujuan kepada orang lain dalam hal desain.

4. Model Praktik HKI Konvensional
HKI pada zaman Globalisasi sekarang sudah banyak berkembang. Tidak
hanya dalam bidang Ilmu pengetahuan dan pendidikan saja. HKI sudah menjurus
kepada sektor perbankan dan keuangan. Sebuah perusahaan dapat menjadikan
HKI sebagai sertifikat kepemilikan, jaminan collateral untuk mendapatkan kredit
perbankan dan sebagai objek jaminan fidusia yang terdaftar pada perbankan.
4.1. Sertifikat Kepemilikan
Sebuah perusahaan pasti memiliki kekhasan masing-masing dalam
menjalankan bisnisnya. Sehingga tidak dapat diingat secara pasti berapa banyak
perusahaan yang menciptakan satu barang dengan bahan yang sama. Satu botol
soda memiliki banyak macam dan aneka perusahaan yang terlibat didalamnya,
padahal dengan barang dan konsep yang sama. Untuk menghindari hal tersebut,
diperlukan perlindungan terhadap merek sebuah produk yang dikeluarkan suatu
perusahaan dimata hukum dan negara.
Sertifikat HKI merupakan salah satu bukti kepemilikan suatu perusahaan
memberikan produk (branding). Hal ini dapat menurunkan dari perpajakan yang

merajalela. Karena berbentuk sertifikat, Perusahan dapat menjual, menjual
sebagian dan digunakan sebagai jaminan hutang kepada perbankan. Syarat-syarat
memiliki sertifikat HKI ini, yaitu:
a. Perusahaan mendaftarkan diri sebagai badan usaha baik komersial dan
non-komersial kepada kementerian hukum setempat, di Indonesia sendiri,
HKI dibawah Kementerian Hukum Ditjen HAKI. Atau dapat menyewa
jasa pelayanan hukum setempat untuk mendapatkan sertifikat tersebut;
b. Perusahaan melengkapi biaya administrasi kepada Kementerian Hukum
setempat;
c. Perusahaan wajib memberikan berkas-berkas mengenai perusahaan atau
badan usaha yang sedang menjalankan;
d. Setelah memberikan berkas-berkas mengenai perusahan atau badan usaha
yang dimaksud, kementerian setempat melakukan proses sesuai dengan
hak kekayaan yang ingin dibuat;
e. Kementerian setempat melakukan pemeriksaan administrasi, pemeriksaan
subtansif dan pengumuman mendapatkan sertifikat yang dikeluarkan
selama waktu yang ditentukan, jika di Indonesia memakan waktu 6 s/d 24
bulan.
4.2. Collateral (agunan) Perbankan
Secara umum, konsep HKI berjalan pesat di negara-negara barat,
khususnya Eropa yang sudah terjamin pasti kepastian hukum HKI-nya.
Pentingnya Hak Kekayaan Intelektual dapat dijadikan jaminan kepemilikan
dimana suatu perusahaan membutuhkan banyak modal untuk meneruskan dunia
usaha dengan mengadakan perjanjian jaminan sertifikat HKI.
Menurut Deborah Scavei Ruff, et. Al (1999), penggunaan merek dagang
sebagai jaminan atas pembiayaan yang aman telah menjadi pilihan yang menarik
bagi peminjam.3 Merek dagang sebagai jaminan dapat diakui dan bahkan menjadi
hal yang diminati. Mengingat kredit yang lebih rendah, dan menghasilkan
pembiayaan peminjaman yang rendah pula, bahkan jaminan merek dagang
seringkali dapat melindiungi pembiayaan terhadap peminjam tanpa mengubah
struktur modalnya.
3

Sri Mulyani, Pengembangan Hak Kekayaan Intelektual sebagai Collateral
(Agunan) untuk mendapatkan Kredit Perbankan di Indonesia, (Semarang,
2012) , http://fh.unsoed.ac.id

Hak Kekayaan Intelektual merupakan Intangiable Assets yang diatur
dalam PSAK nomor 19 tahun 2000 yang menyatakan, ”Aset tidak berwujud
adalah aset nonmoneter yang dapat diidentifikasi dan tidak mempunyai wujud
fisik serta dimiliki untuk digunakan dalam menghasilkan atau menyerahkan
barang atau jasa, disewakan kepada pihak lainnya, atau untuk tujuan
administratif.”4 Hal ini juga termasuk Ilmu Pengetahuan, Teknologi, gagasan baru,
lisensi, HKI, market place dan merek dagang.
Jadi, HKI sudah diakui sebagai Intangiable asset (aset tidak berwujud)
yang harus dijaga dalam laporan keuangan suatu perusahaan untuk mengetahui
nilai aset suatu perusahaan itu sendiri. Ditambah dengan nilai HKI yang dimiliki.
Disamping itu, dengan pemanfaat dan pengelolaan iIntellctual capital yang baik
dalam

suatu

perusahaan,

dapat

meningkatkan

market

yang

luas

dan

mempermudah akses dalam melakukan kredit perbankan.
4.3. Jaminan Fidusia
Fidusia, menurut asal katanya berasal dari kata “fides” yang berarti
kepercayaan. Sesuai dengan arti kata ini, maka hubungan (hukum) antara debitor
(pemberi fidusia) dan kreditor (penerima fidusia) merupakan hubungan hukum
yang berdasarkan kepercayaan. Pemberi fidusia percaya bahwa penerima fidusia
mau mengembalikan hak milik barang yang telah diserahkan, setelah utangnya
dilunasi. Sebaliknya penerima fidusia percaya bahwa pemberi fidusia tidak akan
menyalahgunakan barang jaminan yang berada dalam kekuasaannya
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa didalam hak cipta
terdapat hak moral dan hak ekonomi. Jika dikaitkan hak kebendaan yang bersifat
memberikan jaminan maka hak ekonomi pada suatu ciptaan dapat juga
memberikan keyakinan kepada bank bahwa debitur akan melunasi hutanghutangnya, menjamin agar debitur berperan serta dalam transaksi untuk
membiayai usahanya, serta memberikan dorongan untuk memenuhi janjinya
kepada bank sesuai dengan fungsi jaminan. Hal tersebut disebabkan karena

4

Ikatan Akuntan Indonesia, http://www.iaiglobal.or.id

pencipta (debitur) pun menyadari nilai ekonomis yang terdapat dalam suatu
ciptaan yang dijadikan jaminan.
Jaminan kebendaan itu sendiri dapat digolongkan menjadi beberapa
macam seperti gadai, hak tanggungan, fidusia, dan hipotik. Masing-masing
jaminan memiliki objek jaminan yang berbeda yang diatur oleh KUH Perdata
maupun peraturan perundang-undangan tersendiri. Mengacu pada objek hak
tanggungan dan hipotik jelas dapat dikatakan bahwa hak cipta tidak memenuhi
syarat dari kedua jenis jaminan tersebut. Ciri-ciri yang diperlukan untuk
mengikatkan suatu benda menggunakan gadai sebagian besar telah dipenuhi oleh
hak cipta seperti benda bergerak dan benda berwujud atau tidak berwujud.
Namun, proses pelepasan gadai tidak dimungkinkan untuk diterapkan pada hak
cipta karena pelepasan penggunaan gadai adalah dengan cara menitipkan benda
yang dijadikan objek gadai kepada kreditur. Hal ini bertentangan dengan sifat hak
cipta yang tidak dapat dititipkan kepemilikannya.
Jaminan Fidusia sangat dianjurkan bagi perusahaan yang ingin melakukan
jaminan atas hutang suatu perusahaan. Karena berdasarkan Pasal 1 angka 2 UUJF
syarat objek jaminan fidusia adalah benda bergerak yang berwujud atau benda
bergerak yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak
khususnya bangunan yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi
Fidusia. Lebih lanjut berdasarkan Pasal 1 angka 1 UUJF proses pengalihan benda
yang dijadikan objek jaminan fidusia dilakukan atas dasar kepercayaan dimana
benda tersebut tetap berada dalam penguasaan debitur.

5. Masalah HKI dalam Syari’ah
Seperti yang sudah diketahui pada pengertian di atas, bahwa Hak
Kekayaan Intelektual merupakan Intangiable Assets (Aset tidak berwujud). Maka,
HKI bukanlah termasuk hak dalam melakukan suatu usaha saja. Melainkan sudah
menjadi Harta bagi perseroan atau perusahaan yang mempunyai nilai guna.

Syaikh Ali al-Khafif dalam kitabnya al-Milkiyyah berkata, "Sebagian
ulama ada yang menyatakan bahwa unsur harta tidak lain hanyalah sifat sesuatu
berdasarkan pada kegiatan orang-orang yang memfungsikannya sebagai harta
kekayaan dan sebagai alat untuk transaksi mereka. Hal ini hanya berlangsung
dengan adanya kebutuhan orang-orang terhadap sesuatu tersebut, sehingga mereka
pun menjadi suka dengannya dan ia bisa dikuasai, dimonopoli dan dilindungi dari
orang lain. Kondisi ini tidak mengharuskan sesuatu itu berbentuk materi yang bisa
disimpan sampai waktu diperlukan, namun cukup dengan adanya kemudahan
untuk mendapatkannya ketika diperlukan, tanpa adanya kesulitan. Semua ini dapat
terealisasi pada manfaat. Sehingga jika hal ini terwujud pada sesuatu, maka ia
dihitung sebagai harta kekayaan berdasarkan kebiasaan dan transaksi orangorang."5
Layaknya harta, permasalahan HKI juga kompleks. Permasalahan tersebut
antara lain;
a. Pemberian HKI yang terdaftar di setiap badan usaha
Banyak pengusaha Mikro, kecil dan menengah tidak memiliki cukup
modal untuk mengembangkan usahanya menjadi usaha yang maju.
Sehingga, Usaha Mikro, kecil dan menengah tidak bisa melebarkan
namanya untuk membuat HKI tersebut. In other Hand, ketidaksempurnaan
dalam proses pencatatan laporan keuangan dari usaha mereka juga menjadi
kendala.
b. Maraknya Pembajakan
Industri besar yang sudah mengantongi izin juga dapat menjadi kendala
dalam pengaturan HKI itu sendiri. Yaitu, pembajakan. Hak paten yang
dibuat oleh perusahaan besar biasanya dapat menguntungkan banyak
pihak. Termasuk pembajak yang mengakui barang bajakannya sebagai
barang asli. Kita dapat mendengar masyarakat membeli barang KW di
pasaran. Entah rekondisi ataupun barang bekas yang menyerupai barang
asli dengan hak paten suatu perusahaan tersebut. Masyarakat percaya dan
yakin bahwa barang tersebut adalah asli. Karena dengan mendengar
merknya saja yang terkenal.
5

‫ والعلمات التجارية الصلية‬،‫حقوق الملكية الفكرية‬

6. Alternatif Permasalahan6
Syariat Islam memerintahkan agar bersikap amanah dalam menyandarkan
suatu perkataan atau perbuatan kepada para pelakunya. Sehingga Islam
mengharamkan seseorang mengklaim suatu perkataan, usaha dan karya orang lain
sebagai miliknya atau sebagai milik orang lain yang bukan pemilik aslinya dengan
maksud menghilangkan hak-hak pemiliknya. Islam menjadikan tindakan ini
sebagai kebohongan yang pelakunya berhak mendapatkan hukuman. Di sisi lain,
Islam juga menghormati hak penguasaan lebih dahulu terhadap sesuatu, dan
menjadikan orang yang menguasainya lebih awal lebih berhak dari orang lain.
Diriwayatkan dari Asmar bin Mudharris r.a., ia berkata, "Saya mendatangi
Rasulullah saw. dan berbaiat kepada beliau. Lalu beliau bersabda,

‫لمسن لسبللق لإللى لما ل لسم ي لسسلبسقهه لإل لي سله همسسللمم لفههلو ل لهه‬
"Barang siapa menguasai sesuatu sebelum muslim yang lain, maka sesuatu
tersebut menjadi miliknya." (HR. Abu Dawud dan lainnya dengan sanad hasan,
sebagaimana dikatakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Ishâbah).
Di samping itu, usaha dan harta yang dikeluarkan para pemilik merek
dagang untuk mendapatkannya, menjadikan pemalsuan orang lain terhadapnya
sebagai suatu kezaliman, karena dia telah memakan harta orang lain dan menyianyiakan usahanya dengan cara yang tidak benar dan merugikan. Allah SWT
berfirman;

‫ليا أ لي لهلها ال للذيلن آلمهنوا للا تلأ سك ههلوا أ لسملوال لك هسم بلي سن لك هسم لبال سلبالطلل لإ للا أ لسن تل ه‬
‫كولن‬
‫عسن تللراضض لمن سك هسم‬
‫جالرةة ل‬
‫لت ل‬
"Hai orang-orang yang beriman janganah kamu saling memakan harta
6

Situs Lembaga Fawa Mesir / ‫دار الفتاء المصرية‬, http://www.daralifta.org/ViewFatwa.aspx?ID=426

sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan suka sama suka di antara
kamu." (An-Nisâ`: 29).
Allah juga berfirman;

‫ح ل‬
‫كالم للتلأ سك ههلوا‬
‫لوللا تلأ سك ههلوا أ لسملوال لك هسم بليسن لك هسم لبال سلبالطلل لوتهسدهلوا لبلها لإللى ال س ه‬
‫لفلريةقا لمسن أ لسملوالل ال لنالس لبال سلإث سلم لوأ لن ستهسم تلسعل لهمولن‬
"Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara
kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu
kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda
orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui." (AlBaqarah: 188).
Mengomentari ayat ini, al-Qurthubi dalam tafsirnya berkata, "Ayat ini
ditujukan kepada seluruh umat Muhammad saw.. Dengan demikian, maksud ayat
ini adalah janganlah seseorang di antara kalian memakan harta orang lain dengan
cara yang tidak benar. Termasuk di dalamnya kegiatan perjudian, menipu,
merampas, menolak kewajiban menunaikan hak orang, mengambil harta orang
lain dengan cara yang tidak direlakan oleh pemiliknya, atau dibolehkan oleh
pemiliknya tapi diharamkan oleh syariat, seperti upah perbuatan mesum dan
perdukunan, juga biaya pembelian atau penjualan minuman keras, babi dan lain
sebagainya."
Penggunaan merek dagang tertentu oleh orang lain tanpa seizin
pemiliknya merupakan tindakan pengelabuan bahwa orang itu telah mendapatkan
hak untuk menggunakannya. Hal itu juga merupakan klaim dusta bahwa dia telah
memiliki sesuatu yang bukan miliknya. Diriwayatkan dari Asma` binti Abu Bakar
r.a. bahwa Nabi saw. Bersabda,

‫الهمتللش لبلهع لبلما ل لسم ي هسعلط ك لل للبلس ثلسوبلسي هزوضر‬

"Orang yang mengaku-ngaku memiliki sesuatu padahal ia tidak memilikinya
bagaikan orang yang memakai dua pakaian dusta." (Muttafaq alaih).
Tindakan itu juga merupakan penipuan terhadap masyarakat. Rasulullah
saw. bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a.,

‫غ لشلنا لفل لي سلس لم لنا‬
‫لمسن ل‬
"Barang siapa yang menipu kami, maka ia bukan termasuk golongan kami." (HR.
Muslim).
Dengan demikian, hak cipta, merek dagang dan sejenisnya merupakan
kepunyaan para pemiliknya, sehingga berlaku padanya semua hak yang berkaitan
dengan

kepemilikan

pribadi

seseorang

terhadap

sesuatu.

Seperti

hak

menggunakannya dengan cara apapun yang dibolehkan, hak meminta imbalan
harta terhadapnya jika tidak ada unsur penipuan dan pemalsuan, hak melarang
orang lain menggunakannya tanpa seizinnya, hak melarang orang lain melakukan
tindakan yang dapat merusak barang itu atau merusak manfaatnya, juga hak
melarang orang lain memalsukannya dan memilikinya dengan cara-cara tidak
benar.
Hal inilah yang menjadi keputusan berbagai lembaga-lembaga fikih Islam,
seperti Lembaga Fikih Islam yang berada di bawah naungan Organisasi Konfensi
Islam (OKI). Dalam keputusannya yang bernomor 43 (5/5) yang ditetapkan pada
muktamar ke-5 di Kuwait tanggal 1-6 Jumadil Ula 1409, lembaga ini merumuskan
hal-hal berikut:
a. Nama, alamat dan merek dagang, serta karya tulis, kreasi atau inovasi
merupakan hak-hak khusus para pemiliknya. Dalam masyarakat modern,
hak-hak seperti ini mempunyai nilai ekonomis yang diakui karena orangorang manjadikannya sebagai harta kekayaan. Kepemilikian terhadap hakhak tersebut dilindungi oleh syariat sehingga orang lain tidak boleh
melanggarnya.

b. Para pemilik nama, alamat

dan merek dagang tersebut boleh

memperjualbelikan atau memindahkan kepemilikannya kepada orang lain
dengan imbalan materi, dengan syarat tidak terdapat unsur ketidakpastian,
penipuan dan pemalsuan di dalamnya. Hal itu mengingat benda-benda
tersebut telah menjadi hak kekayaan materi.
c. Hak cipta karya tulis dan kreasi atau inovasi dilindungi oleh syariat. Para
pemiliknya mempunyai kewenangan terhadapnya dan tidak boleh
dilanggar.
Dengan demikian, pemalsuan terhadap hak kekayaan intelektual dan
merek dagang dengan cara apapun yang membuat masyarakat mengira bahwa itu
merupakan merek asli, merupakan tindakan yang diharamkan dalam syariat Islam.
Tindakan tersebut termasuk perbuatan dusta, pemalsuan dan penipuan. Di
samping itu, tindakan tersebut merugikan masyarakat dan termasuk memakan
harta orang lain dengan cara yang tidak benar. Sehingga, diharamkan juga bagi
seseorang untuk membuka toko yang memperdagangkan barang-barang bermerek
palsu yang dapat menyebabkan para konsumen tertipu. Para pegawai dan pekerja
yang ikut andil dalam pemalsuan dan penipuan terhadap masyarakat juga telah
melakukan perbuatan haram. Hal ini didasarkan pada firman Allah;

‫عللى ال سلإث سلم لوال سهعسدلوالن‬
‫عللى ال سلبللر لوالت لسقلوى لوللا تللعالوهنوا ل‬
‫لوتللعالوهنوا ل‬
"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." (Al-Mâidah: 2).
Masyarakat pun tidak boleh melakukan transaksi dengan para pemalsu
merek tersebut dengan membeli produk-produk mereka. Karena setiap muslim
diperintahkan untuk mengingkari semua kemungkaran dan berusaha merubahnya
sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Pembelian masyarakat terhadap
produk mereka adalah tindakan yang bertentangan dengan perintah ini, karena hal
itu berarti membantu mereka dalam kezaliman dan perbuatan yang tidak
dibenarkan. Diriwayatkan dari Anas r.a., bahwa Nabi saw. besabda;

‫ لهلذا ن لن سهصهرهه‬،‫ ليا لرهسولل الل لله‬:‫ لقاهلوا‬,‫ان سهصسر أ للخالك لظاللةما أ لسو لمسظهلوةما‬
‫ تلأ سهخهذ لفسولق يللديسله‬:‫ لفك ليسلف ن لن سهصهرهه لظاللةما؟ لقالل‬،‫لمسظهلوةما‬
"Tolonglah saudaramu baik ia berbuat zalim ataupun dizalimi." Seorang sahabat
bertanya, "Wahai Rasulullah, saya akan menolongnya jika ia terzalimi. Tapi, jika
ia yang berbuat zalim, bagaimana saya menolongnya?". Beliau menjawab;
"Kamu menghalanginya dari perbuatan zalim itu, maka itulah cara
menolongnya." (HR. Bukhari).
Adapun sangsi yang diberlakukan atas mereka, maka pada dasarnya ia
masuk dalam masalah ganti rugi nilai kerugian yang ditimbulkan karena tindakan
pemalsuan tersebut. Penentuan nilai kerugian ini diserahkan kepada keputusan
hakim berdasarkan hasil perhitungan para pakar. Selain itu, pemerintah juga dapat
memberlakukan ta'zir (hukuman yang ditetapkan oleh hakim) yang dapat
membuat jera para pemalsu tersebut agar tidak melakukan tindakan yang
merugikan kepentingan pribadi dan kepentingan umum itu.
Sertifikat HKI dalam suatu perusahaan sangat diperlukan demi menjaga
penyelewengan dalam suatu perusahaan itu sendiri. Di samping itu, pemerintah
harus memperhatikan kesejahteraan masyarakat mikro kreatif dalam menyusun
harta mereka yang tak berwujud tersebut. Sama seperti pajak, pengurusan HKI
dalam kepemilikan digabung menjadi satu dan menjadi syarat dalam pendirian
suatu badan usaha. Baik mikro, maupun perusahaan.

7. Kritik Konsep HKI
Seperti dalam konsep yang sudah dijelaskan di awal, bahwa HKI meliputi
Hak Cipta, Hak Ekonomis, Hak kekayaan Industri, Hak paten, Hak Merk dan Hak
Desain industri. Semua konsep dalam HKI tersebut sangat diperlukan dalam
perusahaan atau badan usaha atau pemegang HKI itu sendiri. Selain terhindar dari
pembajakan, dalam bidang ekonomi kita mandapatkan surplus negara yang sangat
besar. Negara lain yang ingin mengambil serta menjiplak karya bangsa harus

seizin negara. Penambahan Hak Syari’ah dalam badan usaha dapat dijadikan suatu
preferen yang baik. Agar tidak ada penyelewengan serta usaha haram yang masuk
ke dalam proyek HKI ini. Serta, menghindari dari pembajakan yang berkembang
biak pada saat ini.

8. Aplikasi dalam Lembaga Keuangan Syari’ah
Sampai saat ini, sertifikat HKI sebagai jaminan Fidusia dan Collaretal
belum beredar. Baik yang dilakukan oleh bank konvensional maupun yang
dilakukan oleh bank syari’ah. Bank syari’ah mempunyai satu akad yang dapat
dijadikan solusi dalam pelaksanaan HKI ini yaitu;
a. Mudharabah Muqayyadah. Nasabah sebagai mudharib memberikan
proposal usaha serta surat permintaan pembuatan sertifikat HKI sebagai
jenis usaha yang akan dijalani, sehingga memudahkan Shahibul Mal dalam
menginvestasikan dananya untuk melakukan usaha dengan mudharib.
Shahibul mal bertanggung jawab akan sertifikat HKI dan dana usaha.
Nisbah dari hasil usaha serta hasil penjualan merk dibagi dua.
b. Rahn. Rahin memberikan sertifikat HKI sebagai jaminan (marhun) kepada
murtahin. Rahin harus membayar jaminan sebagai kewajibannya dengan
syarat dan ketentuan yang sudah dilakukan di awal akad. Jika rahin tidak
dapat membayar kewajibannya, maka Murtahin berhak untuk melelang
sertifikat HKI tersebut sebagai pengganti uang jaminan.

Bab III
Penutup
1.

Kesimpulan

HKI adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu
kreativitas intelektual. Objek yang diatur dalam HKI adalah karya-karya yang
timbul atau lahir karena kemmpuan intelektual manusia.
Para ulama Syafi’iyah, Hanabilah, Malikiyah dan Hanafiyah memutuskan
sama dalam penetapan haq ibtikar sebagai harta yang bermanfaat. Dasar hukum
HKI di Indonesia terdapat pada Undang-Undang nomor 19 tahun 2002 tentang
Hak Cipta dan Undang-undang lainnya yang sudah terdaftar pada TRIPS
(Aggrement Related Aspect in Intellectual Property Right).
Secara garis besar, konsep HKI meliputi Hak Cipta, Hak Ekonomis, Hak
Kekayaan Industri, Hak Paten, Hak Merk dan Hak Desain Industri.
Pada lembaga konvensional, HKI dapat dijadikan sertifikat HKI, Agunan
perbankan dan jaminan fidusia untuk perusahaan. Namun, belum ada
perkembangan selanjutnya mengenai HKI ini.
Yang menjadi Problem dalam HKI ini adalah kurangnya modal bagi usaha
mikro dalam mematenkan HKI serta pembajakan yang berkembang biak seiring
dengan perkembangan teknologi. Solusi yang menjadi alternatif adalah sertifikat
HKI harus dilakukan secara kompeten dan berkelanjutan.
Belum ada kritik yang mendalam tentang pembuatan HKI ini. Namun jika
ingin ditambahkan, konsep syari’ah merupakan konsep terpenting.
Belum ada praktik yang jelas, baik dalam perbankan konvensional dan
perbankan syari’ah. Namun jika ingin dikritisisasi, penulis menyarankan untuk
menggunakan akad Mudharabah Muqayyadah dan Rahn sebagai akad sertifikat
HKI ini.

2.

Saran

Kami selaku penulis telah mengeksplorasi bahwa HKI merupakan
Untangiable Assets yang wajib dijaga oleh badan usaha. Penggunaan secara
kompeten. Penggalakan dan sosialisasi secara keseluruhan dan menggunakan

aspek syari’ah menjadi pekerjaan rumah untuk pemerintah dalam menjaga rakyat
dan pengguna usaha, khususnya pengusaha kecil menengah Indonesia.

Daftar Pustaka
Direktorat Jendral Industri Kecil dan Menengah Departemen Perindustrian
Kurlilah, Anisy. Kajian Muamalah. caknenang.blogspot.com/2011/05/normal-0false-false-false-en-us-x-none_02.html. Selasa, 04 Maret 2014 pukul 21:41
Mulyani, Sri. Pengembangan Hak Kekayaan Intelektual sebagai Collateral
(Agunan)

untuk

mendapatkan

Kredit

Perbankan

di

Indonesia.

http://fh.unsoed.ac.id. Selasa, 4 Maret 2014 pukul 18:13
Wikisource Bahasa Indonesia. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002.
id.wikisource.org. Kamis, 6 Maret 2014 pukul 09:32
Ikatan Akuntan Indonesia. www.iaiglobal.or.id . Minggu, 9 Maret 2014 pukul
21:41
Situs Lembaga Fawa Mesir / ‫ والعلمات التجارية‬،‫ حقوق الملكية الفكرية‬.‫دار الفتاء المصرية‬
‫ال صلية‬. http://www.dar-alifta.org/ViewFatwa.aspx?ID=426. Diterjemahkan
oleh

Ponpes

Salafy

Darul

Falah,

http://kapasan-

darulfalah.blogspot.com/2013/06/hak-kekayaan-intelektual-danmerek.html, Senin, 3 Maret 2014 pukul 21.05
Simanjuntak, Edwin R, Hak Cipta sebagai Objek jaminan Fidusia ditinjau dari
Undang-Undang Tentang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak
Cipta

dan

Peraturan

Perundang-Undangan

Tentang

Perbankan.

fh.unpad.ac.id. Selasa, 4 Maret 2014 pukul 21:57
Huda, Nurul, Muhammad Heykal. Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoretis
dan Praktis. Jakarta: Kencana. 2010