Di antara Karang Karang Frustrasi dan Ko
Di antara Karang-Karang Frustrasi dan Korupsi :
Nafas Aktivisme dan Transformasi Sosial hari-hari ini1
Hizkia Yosie Polimpung2
Peneliti di Koperasi Riset Purusha dan Editor Jurnal IndoProgress
Saya hendak memulai diskusi kita pada pertanyaan yang sedikit puitik, namun relevan:
masih adakah nafas kita untuk melakukan transformasi sosial hari-hari ini?
Ya, hari-hari ini. Diskusi kita tidak akan memiliki faedahnya apabila ia tidak
dipancangkan pada situasi kekinian, pada kontemporalitas, pada yang “hari ini.” Berbicara
mengenai situasi politik hari-hari ini, kita tentu bisa menderetkan beberapa hal secara spontan:
demokrasi yang tersabotase oligarki, birokratisme dan teknokratisme politik, korupsi partai
politik berikut politisinya, politik transaksional nir-idiologi, mahasiswa pragmatis, NGO
berorientasi proyek, korporasi membeli negara, mandulnya kritisisme kampus, kongkalingkong
dengan korporasi asing, tunduknya kedaulatan di hadapan kapital dan negara besar, dst. Inilah
yang kerap kita dengar, baca, saksikan, bahkan alami di kehidupan kita sehari-hari. Dimanamana kita temukan kedangkalan, kepalsuan, dan kebohongan. Situasi demikian kemudian
memroduksi subyek-subyek pragmatis, sinis dan egois, di satu sisi. Namun di sisi lain, merekamereka yang idealis dan menjunjung-tinggi kejujuran, garis idiologi/perjuangan, dan integritas,
harus memungut puing-puing keyakinannya yang hancur berkeping-keping. Sinisme dan
asketisme akhirnya menjadi subyektivitas mereka-mereka yang belakangan ini, jika bukan malah
menjadi konformis dan menjadi pragmatis.
Saya kira, inilah masalah bagi topik utama kita pada kesempatan kali ini: aktivisme. Halhal yang terjadi di tingkatan nasional, bahkan global, perlahan-lahan tapi pasti semakin
menghantarkan efek yang nyata di kehidupan kita sehari-hari. Semakin tinggi harga-harga
kebutuhan sehari-hari, biaya sekolah, biaya ini dan itu. Pekerjaan menjadi semakin langka, dan
semakin tidak menentu – baik dari segi masa kerja, remunerasi dan kepastian kerja. Persaingan
makin ketat dan individualis. Proyek-proyek penelitian, pemberdayaan, advokasi, dst., menjadi
semakin seret untuk para aktivis NGO. Demikian pula kejujuran, keterus-terangan dan
keberpihakan para jurnalis yang berkomitmen semakin menjadi hal yang di-daftar-hitamkan
pimpinan-pimpinan media pada umumnya. Himpitan-himpitan kehidupan individu dari hari
ke hari ini berefek pada panjang pendeknya nafas mereka-mereka yang berupaya untuk
Makalah disampaikan pada kuliah umum “Idiologi Aktivisme dan Perubahan Sosial,” dlm acara Pembukaan
Sekolah Idiologi dan Gerakan Sosial, In-Trans Institute, Malang, 14 Februari 2015.
2 Kontak: [email protected]
1
[1]
mewujudkan suatu perubahan sosial-politik yang berarti, mereka-mereka yang dikenal sebagai
“aktivis”: kita.
Inilah pergumulan yang dihadapkan pada kita aktivis. Banyak kita lihat, dan bahkan
rasakan sendiri, bagaimana memompa nafas untuk tetap teguh di jalur aktivisme adalah hal yang
sukar. Sering pula kita lihat jatuh bangun gerakan, NGO, lembaga penelitian dan organisasiorganisasi perserikatan yang mempraktikkan aktivisme, karena masalah keuangan seperti
keterbatasan donor dan pemasukan yang tidak menentu. Di rumah, para aktivis harus
berhadapan dengan suami/istri, anak-anak, mertua, dan orang tua. “Asap dapur harus
mengepul,” demikian yang kerap terucap. Ironisnya, di lain sisi, semakin idealis suatu riset
dilakukan, semakin susah sang peneliti mendapat donor. Semakin suatu kegiatan pemberdayaan
menyasar permasalahan mendasar seperti ketimpangan kesempatan berproduksi dan jejaring
penguasa, semakin jauh suatu NGO dari donor atau program pemberdayaan pemerintah.
Semakin suatu aktivitas sosial jauh dari indikator profitability, maka semakin program CSR
korporasi susah diakses. Siapapun yang mau mempraktikkan aktivisme hari-hari ini, pasti akan
berhadapan dengan tantangan seperti ini.
Frustrasi. Kata ini saya kira paling cocok untuk mendeskripsikan gejala psikis yang
ditampakkan3 para aktivis kebanyakan hari ini. Di satu sisi mereka ingin memerjuangkan ide-ide
besar transformasi, pergerakan, dan/atau perlawanan. Namun di sisi lain, semakin mereka
mendalami dan serius terhadap itu semua, semakin pula kerentanan (sosial, ekonomi, politik)
hidup meliputi mereka. Yang memfrustrasikan adalah bahwa para aktivis ini tahu betul bahwa
kerentanan kehidupan yang menguras nafas hidup mereka adalah akibat dari sesuatu yang ingin
mereka transformasikan dan/atau lawan. Seakan-akan sang lawan ini mencekik dari berbagai
penjuru sehingga membuat sang aktivis sulit meneruskan nafas perjuangan mereka. Sayangnya
lawan ini sangat jauh dari jangkauan kita, susah untuk kita tonjok. Seolah-olah mustahil untuk
kita lawan. Frustrasi membuat subyek aktivis berada pada posisi terkulai pasrah yang seolah
tidak mampu berbuat apa-apa untuk meneruskan perjuangannya. Memangnya, seperti apakah
lawan ini ?
Dalam suatu kesempatan, saya pernah terlibat dalam perbincangan awal pembentukan
suatu serikat pekerja. Saat itu, rekan-rekan pekerja ini dibantu oleh beberapa orang “aktivis
senior” untuk pembentukan organisasi. Satu jam berlalu saat sang aktivis senior ini menceritakan
pengalamannya saat mengorganisir demonstrasi pekerja besar-besaran di era 90-an, dan disaatDalam psikoanalisis Jacques Lacan, frustrasi adalah satu dari tiga bentuk “kehilangan obyek hasrat” – dua
lainnya adalah privasi (privation) dan kastrasi (castration). Lih. Lacan, Seminar 4, La relation d’objet (1956-57). Frustrasi,
oleh Lacan diartikan sebagai suatu kondisi saat permintaan subyek akan suatu obyek pemuas hasrat yang mustahil
dihalangi dan sang subyek tahu benar bahwa ia sedang dihalang-halangi (Lacan, S4, 101).
3
[2]
saat menuju reformasi. Seorang pekerja kemudian nyeletuk, “owalah mas, nek jamane sampeyan enak
lha wong mungsune ketok. Saiki po’o mungsune sopo ae gak ngerti…” [ya ampun mas, kalau zamannya
kamu enak karena musuhnya keliatan. Kala sekarang, musuhnya siapa saja kita tidak tahu…].
Saya kira celetukan sang pekerja ini juga dirasakan kita semua hari ini. Jika dulu sang musuh
memfrustrasikan kita dengan represi fisik nan kongkrit, namun sekarang sang musuh hanya bisa
kita rasakan dari kesusahan kita sehari-hari. Saya kira ini, salah satunya, perbedaan konteks
aktivisme hari ini dan dulu.
Mencoba menculaskan perbedaan ini, saya meminjam ilustrasi jenaka seorang filsuf
tentang dua macam ayah: ayah totaliter dan ayah posmodern.4 Suatu hari ayah totaliter
menyuruh anaknya menjenguk nenek yang sedang sakit. Karena disertai suara menggelegar dan
ancaman potong uang saku, maka sang anak dengan terpaksa pergi sekalipun di dalam hati ia
mengumpat kesal. Beda halnya dengan ayah posmodern yang toleran dan demokratis, ia berkata
pada anaknya, “nak, kamu tahu kan kalau nenek sangat menyayangi kamu. Nah sekarang nenek
sakit, dia pasti senang kamu jenguk. Tapi, kalau kamu tidak mau menjenguk, ya tidak apa.”
Efeknya lebih parah dari ayah totaliter. Si anak bukan hanya tetap harus pergi menjenguk sang
nenek, melainkan ia harus merasa “bebas” untuk pergi dan berbahagia dalam menjalankan
proses penjengukan nenek yang sebenarnya ia benci.
Bukankah ini suasana yang kita hadapi saat ini? Kita para aktivis dibuat seakan-akan
percuma untuk melawan, dan sebaliknya kita dipaksa untuk merasa bahwa adalah suatu pilihan
bebas untuk tunduk dan mengikuti koridor-koridor yang disediakan sistem saat himpitan
ekonomi (lengkap ditambah omelan pasangan, rengekan anak, sindiran orang tua/mertua)
semakin mencekik nafas kita. Lawan kita di era posmodern ini memerangi kita tidak hanya
dengan polisi rahasia yang mengintai kita, namun dengan mengondisikan kefrustrasian kita dan
menjadikan kita orang-orang sinis terhadap idealisme perjuangan. Siapa yang tidak tergiur
dengan tawaran proyek pemberdayaan masyarakat dengan rate honor tinggi sekalipun kita tahu
pasti itu hanya merupakan “sogokan” untuk membabat lahan untuk menanam kelapa sawit yang
merusak itu, misalnya, di kala lembaga kita mengalami paceklik pemasukan? Peneliti mana yang
tidak tergiur menjadi pelegitimasi kebijakan dan konsultan pesanan di kala proposal-proposal
riset seriusnya tidak digubris oleh kampus atau pendonor? Lawan kita hari ini memfrustrasikan
kita dengan cara-cara subtil dan halus seperti ini. Seketika saja kita merasa seperti sekrup
berkarat di hadapan arogannya sekawanan Megatron (antagonis dalam film Transformers).
Lelucon ini disampaikan oleh Slavoj Zizek di berbagai kesempatan diskusi publik. (Beberapa diunggahkan ke
Youtube, misalnya, bisa dicari dengan kata kunci “Zizek Postmodern Father”)
4
[3]
Satu hal yang ingin saya soroti yang menjadi salah satu akibat dari pemfrustrasian ini,
yaitu korupsi. Saya tidak hanya berbicara mengenai korupsi dalam artian sempit (korupsi uang,
jabatan, kekuasaan), yaitu dalam artian penyelewengan. Lebih dari itu. Korupsi bukan hanya
menyangkut hal-hal yang sebenarnya juga non-material, melainkan bagaimana sistem yang
memfrustrasikan ini seakan telah membuat korupsi sebagai suatu hal yang wajar dan normal.5
Sedemikian rupa sehingga korupsi menjadi mekanisme normal berjalan mulusnya sistem yang ia
ciptakan, sekaligus alat yang dilakukan lawan kita untuk mengaburkan kita dari idealismeidealisme perjuangan kita.
Lebih dari hal-hal yang kasat mata seperti uang, kuasa dan jabatan, korupsi muncul saat
kita mulai memberikan pembenaran-pembenaran untuk tindakan kita menyerah pada sistem
dan keadaan, membungkusnya seolah terkesan kita adalah korban yang tak berdaya untuk
terkorupsi (berkorupsi). Pula korupsi memberi justifikasi bagi kita untuk “pura-pura masuk
dalam sistem dan melawannya dari dalam” tanpa argumen jelas dan program terukur. Korupsi
membuat kita bisa menyelamatkan muka dari rasa bersalah, dengan mengatakan “yah
setidaknya kami melakukan sesuatu,” di kala seolah semua yang kita lakukan sia-sia. Korupsi
membuat kita lihai memanipulasi retorika-retorika perubahan sosial untuk menutupi mental
transaksional kita. Korupsi menyabotase aktivisme sebagai panggung untuk semata
meneguhkan identitas diri/organisasi dan ritual identitas aktivis, sementara menjauhkannya dari
mengintervensi keadaan secara berarti. Korupsi membuat kita yang sudah banyak makan asam
garam kehidupan aktivisme mencibir junior dan kawan kita yang lebih muda saat mereka berapiapi terbakar idealismenya. Korupsi membuat kita penuh prasangka dan cemburu saat organisasi
sebelah dapat proyek. Singkatnya, bak para Conquistador Spanyol membuat para Aztec
menghancurkan seluruh produk capaian tinggi kebudayaan Imperium Aztec dengan tangannya
sendiri, demikianlah korupsi menjadikan aktivis agen penghancur dari aktivisme itu sendiri.
Bedanya suku Aztec meratapi ini dengan mendalam, para aktivis justru menjadikan ini sebagai
suatu dirty little (common) secret di antara mereka, suatu “omongan jorok” yang “tahu sama tahu.”
Korupsi adalah salah satu kemungkinan luaran dari frustrasi. Merasa gagal
memperjuangkan hasratnya untuk transformasi sosial yang ideal, subyek mencari-cari
simbolisasi-simbolisasi untuk mengompensasikan hasratnya yang mula-mula.6 Merasa lelah
mencoba dari segala penjuru, sang subyek aktivis akhirnya terjebak pada rutinitas-rutinitas
aktivisme yang selamai ini dilakukannya sebagai aktivis. Absennya dinamika paradigma dan cara
melihat permasalahan. Aktivisme yang makin terhirarkisasi, terpersonifikasi, terbirokratisasi
dan terteknokratisasi. Inilah rupa-rupa gejala terkorupsi aktivisme itu sendiri oleh para aktivis.
Konsep ‘korupsi’ yang dipakai di sini terinspirasi dari pembahasan Michael Hardt dan Antonio Negri, Empire
(2000), subbab “Generation and Corruption.”
6 Lih. Lacan, op.cit.
5
[4]
Yang terpenting adalah “aksi!”, “lakukan sesuatu” dan imperatif-imperatif lainnya. Mungkin
benar kata Zizek, kita harus membalik seruan NATO – no action talk only – menjadi: don’t just do
something, talk! Aktivisme rawan jatuh pada seruan iklan Nike “Just do it!” – ya, pokoknya
lakukan saja meski kita tidak benar-benar tahu apa yang kita lakukan, apakah berarti atau tidak.
Jadi, masih adakah nafas kita untuk melakukan transformasi sosial hari-hari ini?
***
Menutup paparan saya kali ini, saya sendiri bahkan tidak cukup yakin untuk
memberikan jawaban positif (“masih ada”), dan sangat tidak rela untuk memberikan jawaban
negatif (“sudah tidak ada”). Ini hal yang harus kita diskusikan dan pecahkan tentunya. Sekalipun
tidak berusaha memberikan saran yang bijak, setidaknya ada beberapa pelajaran yang bisa kita
petik sebagai turunan dari paparan saya barusan.
Pertama, adalah penting untuk memulai upaya-upaya pengorganisasi kemandirian
ekonomi secara harian di kalangan aktivis. Semenjak urusan dapur mengepul adalah sangat
signifikan bagi panjang pendeknya nafas aktivisme, maka kita harus mulai memikirkan upayaupaya untuk mengamankannya. Kolektivitas dan solidaritas di antara aktivis adalah kapital yang
sangat berharga untuk pengorganisasian ekonomi secara mandiri ini. Koperasi misalnya, adalah
contoh yang bisa dilakukan. Tujuan koperasi yang paling utama adalah pemenuhan kebutuhan
anggota melalui pengorganisasian ekonomi kolektif (dan bukan individualistik). Maka adalah
baik bagi para aktivis untuk mulai mengupayakan satu per satu kebutuhannya dipenuh secara
kolektif melalui koperasi. Diskusi lebih mendetil mengenai usulan ini tentu diperlukan, namun
saya kira ini cukup untuk memberikan sense of importance dari pengorganisasian ekonomi secara
kolektif sebagai basis aktivisme.
Kedua, dengan menormalnya dan mewajarnya korupsi, maka penting bagi kita untuk
cukup tajam dan jeli dalam memisahkan, menseparasi, dan memilah-milah suatu hal dari aspekaspek yang mengorupsinya. Dengan mentotalnya praktik korupsi di sistem hari ini, maka semuanya rawan terkorupsi, dan bisa jadi memang telah terkorupsi. Hari ini, bahkan institusi seperti
Bank Dunia pun menyerukan pembangunan desa, perhatian terhadap petani kecil, kesetaraan
jender dan penyediaan akses kesehatan dan pendidikan. Isu-isu ini adalah isu yang tadinya
dibawa oleh para aktivis sosial, namun kini sudah tersabotase kepentingan-kepentingan bisnis
yang menunggangi Bank Dunia tersebut. Singkatnya, jika memerhatikan petani kecil adalah
tindakan progresif, maka Starbucks adalah yang paling radikal. Begitu pula jika mengupayakan
kesetaraan jender adalah radikal, maka Bill dan Melinda Gates adalah pasangan paling
revolusioner abad ini. Maka adalah urjen untuk mampu mengidentifikasi dan membedakan
agenda perjuangan rakyat dari agenda akumulasi profit/kuasa dari suatu ikhwal.
[5]
Ketiga, untuk melakukan hal pada pelajaran kedua di atas, perlu bagi aktivis untuk
mengembangkan sayap intelektualnya lebih lagi. Pasalnya, semakin subtil dan tampak tak
terbedakannya aspirasi penguasa dengan aspirasi kita para rakyat dalam suatu prakti-wacana
seperti, misalnya ‘pembangunan’, ‘demokrasi’, ‘pemberdayaan’, dst., maka semakin mutakhir
pula alat analisis yang diperlukan untuk membedah praktik-wacana tersebut. Riset, adalah hal
yang mutlak bagi aktivisme. Riset merupakan upaya intelektual aktivis, bukan untuk menggurui
aktivis lainnya (!!!), namun untuk menunjukkan posisi kita semua beserta penderitaanpenderitaan kita ke dalam suatu gambaran yang lebih besar dan abstrak. Riset membuat aktivis
untuk tidak terjebak dalam miopia dan kacamata kuda dalam mencandra kejadian demi kejadian
yang terjadi dan/atau menimpa kita di keseharian. Riset menyediakan peta obyektif tentang
sistem pertahanan lawan, menunjukkan celahnya, dan merekomendasikan strategi intervensi.
Keempat, sekaligus yang paling pelik, dengan mewabahnya (sampai taraf pandemik, bisa
jadi) gejala frustrasi di kalangan aktivis, maka penting bagi kita untuk melakukan upaya-upaya
penenangan (katarsis). Tentunya, jalan pintas fanatisme SARA bukanlah solusinya. Potensi
afektif dari suatu kolektivitas dapat menjadi penenang yang produktif sekaligus penyemangat
bagi para aktivis yang dirundung frustrasi. Saling menguatkan dengan menceritakan (dan bukan
menyombongkan, sekalipun itu dibalut frase-frase merendah) pengalaman aktivisme, saling
bertukar informasi, bacaan dan sesekali humor, saling bertukar analisis, dst.: inilah yang
diperlukan para aktivis untuk, tidak hanya merapatkan barisan, melainkan juga tetap menjaga
spirit aktivismenya. (Bahkan mungkin juga mendapatkan pasangan hidup yang sama-sama
aktivisnya, yang konon bisa membuat hidup sebagai aktivis “jadi lebih mudah”!)
Untuk yang keempat ini, saya membayangkan suatu wadah terbuka yang berperan
sebagai semacam impresario dalam suatu opera. Impresario berfungsi sebagai pengatur acara,
pengatur dekorasi, mengundang dan menyeleksi artis dan pementas, mengundang penonton
dan
memastikan
pertunjukan
berjalan
lancar.
Impresario
bertugas
mengumpulkan,
menghimpun, mengundang, dan memfasilitasi orang-orang berkumpul di bawah satu tema
pertunjukkan. Demikian pula halnya “impresario aktivisme,” ia adalah wadah terbuka nonpartisan yang menjadi tempat berkumpulnya para aktivis dari berbagai elemen (mahasiswa,
akademisi, NGO, jurnalis, seniman) untuk saling berdiskusi, memaparkan pandangan dan
pengalamannya, menyosialisasikan hasil riset dan amatannya, tapi juga saling memperhatikan
satu sama lain, bahu membahu memupuk solidaritas dan pengorganisasian ekonomi kolektif, …
kesemuanya di bawah satu spanduk: transformasi sosial.
Saya sangat optimis Sekolah Idiologi dan Gerakan Sosial – In-Trans Institute yang baru
dibentuk ini mampu menjalankan fungsi impesario aktivisme ini. Salam. [HYP]
[6]
Nafas Aktivisme dan Transformasi Sosial hari-hari ini1
Hizkia Yosie Polimpung2
Peneliti di Koperasi Riset Purusha dan Editor Jurnal IndoProgress
Saya hendak memulai diskusi kita pada pertanyaan yang sedikit puitik, namun relevan:
masih adakah nafas kita untuk melakukan transformasi sosial hari-hari ini?
Ya, hari-hari ini. Diskusi kita tidak akan memiliki faedahnya apabila ia tidak
dipancangkan pada situasi kekinian, pada kontemporalitas, pada yang “hari ini.” Berbicara
mengenai situasi politik hari-hari ini, kita tentu bisa menderetkan beberapa hal secara spontan:
demokrasi yang tersabotase oligarki, birokratisme dan teknokratisme politik, korupsi partai
politik berikut politisinya, politik transaksional nir-idiologi, mahasiswa pragmatis, NGO
berorientasi proyek, korporasi membeli negara, mandulnya kritisisme kampus, kongkalingkong
dengan korporasi asing, tunduknya kedaulatan di hadapan kapital dan negara besar, dst. Inilah
yang kerap kita dengar, baca, saksikan, bahkan alami di kehidupan kita sehari-hari. Dimanamana kita temukan kedangkalan, kepalsuan, dan kebohongan. Situasi demikian kemudian
memroduksi subyek-subyek pragmatis, sinis dan egois, di satu sisi. Namun di sisi lain, merekamereka yang idealis dan menjunjung-tinggi kejujuran, garis idiologi/perjuangan, dan integritas,
harus memungut puing-puing keyakinannya yang hancur berkeping-keping. Sinisme dan
asketisme akhirnya menjadi subyektivitas mereka-mereka yang belakangan ini, jika bukan malah
menjadi konformis dan menjadi pragmatis.
Saya kira, inilah masalah bagi topik utama kita pada kesempatan kali ini: aktivisme. Halhal yang terjadi di tingkatan nasional, bahkan global, perlahan-lahan tapi pasti semakin
menghantarkan efek yang nyata di kehidupan kita sehari-hari. Semakin tinggi harga-harga
kebutuhan sehari-hari, biaya sekolah, biaya ini dan itu. Pekerjaan menjadi semakin langka, dan
semakin tidak menentu – baik dari segi masa kerja, remunerasi dan kepastian kerja. Persaingan
makin ketat dan individualis. Proyek-proyek penelitian, pemberdayaan, advokasi, dst., menjadi
semakin seret untuk para aktivis NGO. Demikian pula kejujuran, keterus-terangan dan
keberpihakan para jurnalis yang berkomitmen semakin menjadi hal yang di-daftar-hitamkan
pimpinan-pimpinan media pada umumnya. Himpitan-himpitan kehidupan individu dari hari
ke hari ini berefek pada panjang pendeknya nafas mereka-mereka yang berupaya untuk
Makalah disampaikan pada kuliah umum “Idiologi Aktivisme dan Perubahan Sosial,” dlm acara Pembukaan
Sekolah Idiologi dan Gerakan Sosial, In-Trans Institute, Malang, 14 Februari 2015.
2 Kontak: [email protected]
1
[1]
mewujudkan suatu perubahan sosial-politik yang berarti, mereka-mereka yang dikenal sebagai
“aktivis”: kita.
Inilah pergumulan yang dihadapkan pada kita aktivis. Banyak kita lihat, dan bahkan
rasakan sendiri, bagaimana memompa nafas untuk tetap teguh di jalur aktivisme adalah hal yang
sukar. Sering pula kita lihat jatuh bangun gerakan, NGO, lembaga penelitian dan organisasiorganisasi perserikatan yang mempraktikkan aktivisme, karena masalah keuangan seperti
keterbatasan donor dan pemasukan yang tidak menentu. Di rumah, para aktivis harus
berhadapan dengan suami/istri, anak-anak, mertua, dan orang tua. “Asap dapur harus
mengepul,” demikian yang kerap terucap. Ironisnya, di lain sisi, semakin idealis suatu riset
dilakukan, semakin susah sang peneliti mendapat donor. Semakin suatu kegiatan pemberdayaan
menyasar permasalahan mendasar seperti ketimpangan kesempatan berproduksi dan jejaring
penguasa, semakin jauh suatu NGO dari donor atau program pemberdayaan pemerintah.
Semakin suatu aktivitas sosial jauh dari indikator profitability, maka semakin program CSR
korporasi susah diakses. Siapapun yang mau mempraktikkan aktivisme hari-hari ini, pasti akan
berhadapan dengan tantangan seperti ini.
Frustrasi. Kata ini saya kira paling cocok untuk mendeskripsikan gejala psikis yang
ditampakkan3 para aktivis kebanyakan hari ini. Di satu sisi mereka ingin memerjuangkan ide-ide
besar transformasi, pergerakan, dan/atau perlawanan. Namun di sisi lain, semakin mereka
mendalami dan serius terhadap itu semua, semakin pula kerentanan (sosial, ekonomi, politik)
hidup meliputi mereka. Yang memfrustrasikan adalah bahwa para aktivis ini tahu betul bahwa
kerentanan kehidupan yang menguras nafas hidup mereka adalah akibat dari sesuatu yang ingin
mereka transformasikan dan/atau lawan. Seakan-akan sang lawan ini mencekik dari berbagai
penjuru sehingga membuat sang aktivis sulit meneruskan nafas perjuangan mereka. Sayangnya
lawan ini sangat jauh dari jangkauan kita, susah untuk kita tonjok. Seolah-olah mustahil untuk
kita lawan. Frustrasi membuat subyek aktivis berada pada posisi terkulai pasrah yang seolah
tidak mampu berbuat apa-apa untuk meneruskan perjuangannya. Memangnya, seperti apakah
lawan ini ?
Dalam suatu kesempatan, saya pernah terlibat dalam perbincangan awal pembentukan
suatu serikat pekerja. Saat itu, rekan-rekan pekerja ini dibantu oleh beberapa orang “aktivis
senior” untuk pembentukan organisasi. Satu jam berlalu saat sang aktivis senior ini menceritakan
pengalamannya saat mengorganisir demonstrasi pekerja besar-besaran di era 90-an, dan disaatDalam psikoanalisis Jacques Lacan, frustrasi adalah satu dari tiga bentuk “kehilangan obyek hasrat” – dua
lainnya adalah privasi (privation) dan kastrasi (castration). Lih. Lacan, Seminar 4, La relation d’objet (1956-57). Frustrasi,
oleh Lacan diartikan sebagai suatu kondisi saat permintaan subyek akan suatu obyek pemuas hasrat yang mustahil
dihalangi dan sang subyek tahu benar bahwa ia sedang dihalang-halangi (Lacan, S4, 101).
3
[2]
saat menuju reformasi. Seorang pekerja kemudian nyeletuk, “owalah mas, nek jamane sampeyan enak
lha wong mungsune ketok. Saiki po’o mungsune sopo ae gak ngerti…” [ya ampun mas, kalau zamannya
kamu enak karena musuhnya keliatan. Kala sekarang, musuhnya siapa saja kita tidak tahu…].
Saya kira celetukan sang pekerja ini juga dirasakan kita semua hari ini. Jika dulu sang musuh
memfrustrasikan kita dengan represi fisik nan kongkrit, namun sekarang sang musuh hanya bisa
kita rasakan dari kesusahan kita sehari-hari. Saya kira ini, salah satunya, perbedaan konteks
aktivisme hari ini dan dulu.
Mencoba menculaskan perbedaan ini, saya meminjam ilustrasi jenaka seorang filsuf
tentang dua macam ayah: ayah totaliter dan ayah posmodern.4 Suatu hari ayah totaliter
menyuruh anaknya menjenguk nenek yang sedang sakit. Karena disertai suara menggelegar dan
ancaman potong uang saku, maka sang anak dengan terpaksa pergi sekalipun di dalam hati ia
mengumpat kesal. Beda halnya dengan ayah posmodern yang toleran dan demokratis, ia berkata
pada anaknya, “nak, kamu tahu kan kalau nenek sangat menyayangi kamu. Nah sekarang nenek
sakit, dia pasti senang kamu jenguk. Tapi, kalau kamu tidak mau menjenguk, ya tidak apa.”
Efeknya lebih parah dari ayah totaliter. Si anak bukan hanya tetap harus pergi menjenguk sang
nenek, melainkan ia harus merasa “bebas” untuk pergi dan berbahagia dalam menjalankan
proses penjengukan nenek yang sebenarnya ia benci.
Bukankah ini suasana yang kita hadapi saat ini? Kita para aktivis dibuat seakan-akan
percuma untuk melawan, dan sebaliknya kita dipaksa untuk merasa bahwa adalah suatu pilihan
bebas untuk tunduk dan mengikuti koridor-koridor yang disediakan sistem saat himpitan
ekonomi (lengkap ditambah omelan pasangan, rengekan anak, sindiran orang tua/mertua)
semakin mencekik nafas kita. Lawan kita di era posmodern ini memerangi kita tidak hanya
dengan polisi rahasia yang mengintai kita, namun dengan mengondisikan kefrustrasian kita dan
menjadikan kita orang-orang sinis terhadap idealisme perjuangan. Siapa yang tidak tergiur
dengan tawaran proyek pemberdayaan masyarakat dengan rate honor tinggi sekalipun kita tahu
pasti itu hanya merupakan “sogokan” untuk membabat lahan untuk menanam kelapa sawit yang
merusak itu, misalnya, di kala lembaga kita mengalami paceklik pemasukan? Peneliti mana yang
tidak tergiur menjadi pelegitimasi kebijakan dan konsultan pesanan di kala proposal-proposal
riset seriusnya tidak digubris oleh kampus atau pendonor? Lawan kita hari ini memfrustrasikan
kita dengan cara-cara subtil dan halus seperti ini. Seketika saja kita merasa seperti sekrup
berkarat di hadapan arogannya sekawanan Megatron (antagonis dalam film Transformers).
Lelucon ini disampaikan oleh Slavoj Zizek di berbagai kesempatan diskusi publik. (Beberapa diunggahkan ke
Youtube, misalnya, bisa dicari dengan kata kunci “Zizek Postmodern Father”)
4
[3]
Satu hal yang ingin saya soroti yang menjadi salah satu akibat dari pemfrustrasian ini,
yaitu korupsi. Saya tidak hanya berbicara mengenai korupsi dalam artian sempit (korupsi uang,
jabatan, kekuasaan), yaitu dalam artian penyelewengan. Lebih dari itu. Korupsi bukan hanya
menyangkut hal-hal yang sebenarnya juga non-material, melainkan bagaimana sistem yang
memfrustrasikan ini seakan telah membuat korupsi sebagai suatu hal yang wajar dan normal.5
Sedemikian rupa sehingga korupsi menjadi mekanisme normal berjalan mulusnya sistem yang ia
ciptakan, sekaligus alat yang dilakukan lawan kita untuk mengaburkan kita dari idealismeidealisme perjuangan kita.
Lebih dari hal-hal yang kasat mata seperti uang, kuasa dan jabatan, korupsi muncul saat
kita mulai memberikan pembenaran-pembenaran untuk tindakan kita menyerah pada sistem
dan keadaan, membungkusnya seolah terkesan kita adalah korban yang tak berdaya untuk
terkorupsi (berkorupsi). Pula korupsi memberi justifikasi bagi kita untuk “pura-pura masuk
dalam sistem dan melawannya dari dalam” tanpa argumen jelas dan program terukur. Korupsi
membuat kita bisa menyelamatkan muka dari rasa bersalah, dengan mengatakan “yah
setidaknya kami melakukan sesuatu,” di kala seolah semua yang kita lakukan sia-sia. Korupsi
membuat kita lihai memanipulasi retorika-retorika perubahan sosial untuk menutupi mental
transaksional kita. Korupsi menyabotase aktivisme sebagai panggung untuk semata
meneguhkan identitas diri/organisasi dan ritual identitas aktivis, sementara menjauhkannya dari
mengintervensi keadaan secara berarti. Korupsi membuat kita yang sudah banyak makan asam
garam kehidupan aktivisme mencibir junior dan kawan kita yang lebih muda saat mereka berapiapi terbakar idealismenya. Korupsi membuat kita penuh prasangka dan cemburu saat organisasi
sebelah dapat proyek. Singkatnya, bak para Conquistador Spanyol membuat para Aztec
menghancurkan seluruh produk capaian tinggi kebudayaan Imperium Aztec dengan tangannya
sendiri, demikianlah korupsi menjadikan aktivis agen penghancur dari aktivisme itu sendiri.
Bedanya suku Aztec meratapi ini dengan mendalam, para aktivis justru menjadikan ini sebagai
suatu dirty little (common) secret di antara mereka, suatu “omongan jorok” yang “tahu sama tahu.”
Korupsi adalah salah satu kemungkinan luaran dari frustrasi. Merasa gagal
memperjuangkan hasratnya untuk transformasi sosial yang ideal, subyek mencari-cari
simbolisasi-simbolisasi untuk mengompensasikan hasratnya yang mula-mula.6 Merasa lelah
mencoba dari segala penjuru, sang subyek aktivis akhirnya terjebak pada rutinitas-rutinitas
aktivisme yang selamai ini dilakukannya sebagai aktivis. Absennya dinamika paradigma dan cara
melihat permasalahan. Aktivisme yang makin terhirarkisasi, terpersonifikasi, terbirokratisasi
dan terteknokratisasi. Inilah rupa-rupa gejala terkorupsi aktivisme itu sendiri oleh para aktivis.
Konsep ‘korupsi’ yang dipakai di sini terinspirasi dari pembahasan Michael Hardt dan Antonio Negri, Empire
(2000), subbab “Generation and Corruption.”
6 Lih. Lacan, op.cit.
5
[4]
Yang terpenting adalah “aksi!”, “lakukan sesuatu” dan imperatif-imperatif lainnya. Mungkin
benar kata Zizek, kita harus membalik seruan NATO – no action talk only – menjadi: don’t just do
something, talk! Aktivisme rawan jatuh pada seruan iklan Nike “Just do it!” – ya, pokoknya
lakukan saja meski kita tidak benar-benar tahu apa yang kita lakukan, apakah berarti atau tidak.
Jadi, masih adakah nafas kita untuk melakukan transformasi sosial hari-hari ini?
***
Menutup paparan saya kali ini, saya sendiri bahkan tidak cukup yakin untuk
memberikan jawaban positif (“masih ada”), dan sangat tidak rela untuk memberikan jawaban
negatif (“sudah tidak ada”). Ini hal yang harus kita diskusikan dan pecahkan tentunya. Sekalipun
tidak berusaha memberikan saran yang bijak, setidaknya ada beberapa pelajaran yang bisa kita
petik sebagai turunan dari paparan saya barusan.
Pertama, adalah penting untuk memulai upaya-upaya pengorganisasi kemandirian
ekonomi secara harian di kalangan aktivis. Semenjak urusan dapur mengepul adalah sangat
signifikan bagi panjang pendeknya nafas aktivisme, maka kita harus mulai memikirkan upayaupaya untuk mengamankannya. Kolektivitas dan solidaritas di antara aktivis adalah kapital yang
sangat berharga untuk pengorganisasian ekonomi secara mandiri ini. Koperasi misalnya, adalah
contoh yang bisa dilakukan. Tujuan koperasi yang paling utama adalah pemenuhan kebutuhan
anggota melalui pengorganisasian ekonomi kolektif (dan bukan individualistik). Maka adalah
baik bagi para aktivis untuk mulai mengupayakan satu per satu kebutuhannya dipenuh secara
kolektif melalui koperasi. Diskusi lebih mendetil mengenai usulan ini tentu diperlukan, namun
saya kira ini cukup untuk memberikan sense of importance dari pengorganisasian ekonomi secara
kolektif sebagai basis aktivisme.
Kedua, dengan menormalnya dan mewajarnya korupsi, maka penting bagi kita untuk
cukup tajam dan jeli dalam memisahkan, menseparasi, dan memilah-milah suatu hal dari aspekaspek yang mengorupsinya. Dengan mentotalnya praktik korupsi di sistem hari ini, maka semuanya rawan terkorupsi, dan bisa jadi memang telah terkorupsi. Hari ini, bahkan institusi seperti
Bank Dunia pun menyerukan pembangunan desa, perhatian terhadap petani kecil, kesetaraan
jender dan penyediaan akses kesehatan dan pendidikan. Isu-isu ini adalah isu yang tadinya
dibawa oleh para aktivis sosial, namun kini sudah tersabotase kepentingan-kepentingan bisnis
yang menunggangi Bank Dunia tersebut. Singkatnya, jika memerhatikan petani kecil adalah
tindakan progresif, maka Starbucks adalah yang paling radikal. Begitu pula jika mengupayakan
kesetaraan jender adalah radikal, maka Bill dan Melinda Gates adalah pasangan paling
revolusioner abad ini. Maka adalah urjen untuk mampu mengidentifikasi dan membedakan
agenda perjuangan rakyat dari agenda akumulasi profit/kuasa dari suatu ikhwal.
[5]
Ketiga, untuk melakukan hal pada pelajaran kedua di atas, perlu bagi aktivis untuk
mengembangkan sayap intelektualnya lebih lagi. Pasalnya, semakin subtil dan tampak tak
terbedakannya aspirasi penguasa dengan aspirasi kita para rakyat dalam suatu prakti-wacana
seperti, misalnya ‘pembangunan’, ‘demokrasi’, ‘pemberdayaan’, dst., maka semakin mutakhir
pula alat analisis yang diperlukan untuk membedah praktik-wacana tersebut. Riset, adalah hal
yang mutlak bagi aktivisme. Riset merupakan upaya intelektual aktivis, bukan untuk menggurui
aktivis lainnya (!!!), namun untuk menunjukkan posisi kita semua beserta penderitaanpenderitaan kita ke dalam suatu gambaran yang lebih besar dan abstrak. Riset membuat aktivis
untuk tidak terjebak dalam miopia dan kacamata kuda dalam mencandra kejadian demi kejadian
yang terjadi dan/atau menimpa kita di keseharian. Riset menyediakan peta obyektif tentang
sistem pertahanan lawan, menunjukkan celahnya, dan merekomendasikan strategi intervensi.
Keempat, sekaligus yang paling pelik, dengan mewabahnya (sampai taraf pandemik, bisa
jadi) gejala frustrasi di kalangan aktivis, maka penting bagi kita untuk melakukan upaya-upaya
penenangan (katarsis). Tentunya, jalan pintas fanatisme SARA bukanlah solusinya. Potensi
afektif dari suatu kolektivitas dapat menjadi penenang yang produktif sekaligus penyemangat
bagi para aktivis yang dirundung frustrasi. Saling menguatkan dengan menceritakan (dan bukan
menyombongkan, sekalipun itu dibalut frase-frase merendah) pengalaman aktivisme, saling
bertukar informasi, bacaan dan sesekali humor, saling bertukar analisis, dst.: inilah yang
diperlukan para aktivis untuk, tidak hanya merapatkan barisan, melainkan juga tetap menjaga
spirit aktivismenya. (Bahkan mungkin juga mendapatkan pasangan hidup yang sama-sama
aktivisnya, yang konon bisa membuat hidup sebagai aktivis “jadi lebih mudah”!)
Untuk yang keempat ini, saya membayangkan suatu wadah terbuka yang berperan
sebagai semacam impresario dalam suatu opera. Impresario berfungsi sebagai pengatur acara,
pengatur dekorasi, mengundang dan menyeleksi artis dan pementas, mengundang penonton
dan
memastikan
pertunjukan
berjalan
lancar.
Impresario
bertugas
mengumpulkan,
menghimpun, mengundang, dan memfasilitasi orang-orang berkumpul di bawah satu tema
pertunjukkan. Demikian pula halnya “impresario aktivisme,” ia adalah wadah terbuka nonpartisan yang menjadi tempat berkumpulnya para aktivis dari berbagai elemen (mahasiswa,
akademisi, NGO, jurnalis, seniman) untuk saling berdiskusi, memaparkan pandangan dan
pengalamannya, menyosialisasikan hasil riset dan amatannya, tapi juga saling memperhatikan
satu sama lain, bahu membahu memupuk solidaritas dan pengorganisasian ekonomi kolektif, …
kesemuanya di bawah satu spanduk: transformasi sosial.
Saya sangat optimis Sekolah Idiologi dan Gerakan Sosial – In-Trans Institute yang baru
dibentuk ini mampu menjalankan fungsi impesario aktivisme ini. Salam. [HYP]
[6]