Peraturan Pemerintah Pengganti Undang tahun

1

A.

PENDAHULUAN
Indonesia sedang dilanda konflik yang menurut penulis sebuah konflik yang

sebenarnya tidak layak untuk dibesar-besarkan karena menyangkut masalah ras dan suku,
apalagi Indonesia adalah negara yang majemuk, dimana ras dan suku berada dibawah kaki
bumi pertiwi yang sama. Misal saja rasisme yang menjadi permasalahan di Indonesia ini,
sebanrnya sudah lama terjadi di masa lampau hingga beberapa puluh tahun yang lalu, di
Amerika contohnya, sekarang masih bertahan sebuah kelompok yang menamakan dirinya
kelompok KU KLUX KLAN (KKK), atau yang lebih dikenal dengan nama ”The Klan”.
Mereka adalah kelompok rasis paling ekstrim di Amerika yang sudah berdiri sejak tahun
1865 hingga saat ini. Sedikit mengenai kelompok ini, para anggota KKK berkeyakinan
bahwa ras kulit putih adalah yang terbaik di dunia, sehingga kelompok ini didirikan untuk
memberantas kaum kulit hitam dan minoritas seperti Yahudi, Asia, dan Katolik Roma yang
hidup di Amerika pada saat itu, meskipun mereka telah di umumkan oleh pemerintah sebagai
kelompok illegal, namun mereka masih menjalankan aksinya dengan membunuh orang-orang
kulit hitam, sehingga puncaknya pada pertengahan tahun 1950-1960 muncul perlawanan dari
kelompok orang kulit hitam yang


kemudian memunculkan tokoh yang menyerukan

persamaan hak dan anti-rasisme seperti Malcolm X atau Martin Luther King. Namun hingga
saat ini, pemerintah terkesan acuh terhadap kelompok ini dan sepertinya tidak pernah
melakukan usaha serius untuk memberantas kelompok berbahaya ini.
Di Indonesia, banyak gerakan aktif kiri yang berkembang melalui ormas. Mereka
terkesan bersembunyi dibalik bingkai agama sehingga sulit dijangkau oleh penegak hukum,
mulai dari issu merubah sistem pemertintahan menjadi Khilafah Islamiyah atau Daulah Al
Islamiyah, merubah pancasila, hingga issu rasisme yang akhir-akhir ini mencuat. Puncaknya
setelah Gubernur Jakarta Basuki Thahaja Purnama (Ahok) melontarkan pernyataan sensitif

2
yang menurut sebagian orang menyinggung issu agama. Setelah itu muncul berbagai aksi
demo yang di motori oleh ormas “abg” dan melupakan kemajemukan yang ada di Indonesia.
Pemerintah dalam hal ini Presiden RI kemudian mengambil langkah yang menurut saya
langkah yang “ambigu”, sebuah tindakan yang menurut analisa saya sebagai kebijakan yang
akan menimbulkan multitafsir dari sekian kalangan orang pintar yang ada di Indonesia.
Pemerintah dalam hal ini kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (PERPPU) Nomor 2 Tahun 2017 yang disebut sebagai Perppu Organisasi

Kemasyarakatan (Ormas) pada bulan Juli lalu dan diajukan ke DPR untuk disahkan menjadi
Undang-Undang (UU). Dan pada hari Selasa (24/10/2017), DPR menggelar rapat paripurna
untuk menolak atau mengesahkan Peraturan Pengganti Undang-undang (Perppu) No 2 Tahun
2017 tersebut dan diubah menyesuaikan dengan isi PERPPU dan UU Ormas yang ada.
Sebanyak tujuh fraksi di DPR dengan kekuatan 314 kursi berhasil mengesahkan Perppu
Ormas menjadi UU yaitu PPP, PKB, PDIP, Partai Demokrat, Partai Nasional Demokrat,
Partai Golkar, dan Partai Hanura. Sementara pihak yang kontra atau tidak setuju hanya
berkekuatan 131 kursi yaitu fraksi PKS, Gerindra, dan PAN.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam),
Jenderal (Purn) Wiranto yang pertama kali mengumumkan Perppu Ormas melalui konferensi
pers yang digelar di kantornya, pada 12 Juli 2017 lalu. Dalam konferensi pers tersebut,
Wiranto menegaskan bahwa UU Ormas dianggap kurang sempurna, karena tidak memenuhi
asas "contrarius actus." Menurut dia, semestinya lembaga yang mengeluarkan izin
pembentukan ormas atau yang memberikan pengesahan lisensi ormas, adalah lembaga yang
seharusnya mempunyai wewenang untuk mencabut atau membatalkannya. Dengan asas
tersebut, seharusnya pihak yang mengeluarkan kebijakan, berhak mencabut kembali
kebijakan tersebut. Dalam hal ini, UU Nomor 17 Tahun 2013, tidak memberikan kewenangan

3
kepada pihak yang mengeluarkan keabsahan Ormas, yakni Kementerian Hukum dan HAM

(Kemenkumham) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), untuk mencabut keabsahan
dan lisensi Ormas yang bermasalah. Di UU tersebut diatur proses pencabutan keabsahan
Ormas, harus diawali dengan surat peringatan kepada Ormas terkait. Setelah itu, kementerian
yang mengeluarkan keabsahan bisa meminta pertimbangan dari Mahkamah Agung (MA)
untuk pencabutan. Proses selanjutnya adalah kementerian terkait yang bermodal rekomendasi
dari MA, meminta Kejaksaan mendaftarkan gugatan hukum ke pengadilan setempat.
Keabsahan Ormas bisa dicabut, setelah ada putusan pengadilan.
Melalui Perppu Nomor 2 Tahun 2017, pemerintah mencoba menyederhanakan
mekanisme pencabutan keabsahan Ormas, atau bahasa kasarnya “Pembubaran Ormas”. Di
Perppu tersebut diatur bahwa kementerian yang mengeluarkan keabsahan, bisa mencabut
kembali keabsahan tersebut, tanpa harus melalui mekanisme putusan pengadilan. Dari salinan
Perppu yang diunduh dari situs resmi Kementerian Sekretaris Negara, www.setneg.go.id,
diketahui aturan pencabutan badan hukum atau keabsahan sebuah Ormas, diatur dalam pasal
61, berikut salinan pasal tersebut:
Aturan ancaman pencabutan badan hukum, dicantumkan dalam pengubahan pasal 61,
yang berbunyi:
(1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) terdiri atas:
a. Peringatan tertulis;
b. Penghentian kegiatan; dan/atau
c. Pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) berupa:
a. Pencabutan surat keterangan terdaftar oleh Menteri; atau
b. Pencabutan status badan hukum oleh menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.

4
(3) Dalam melakukan pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum dan hak asasi manusia, dapat meminta pertimbangan dari instansi terkait.
Soal mekanisme pencabutan badan hukum, hal itu diatur pada pengubahan pasal 62
yang berbunyi:
(1) Peringatan tertulis sebagaimala dimaksud dalam Pasal 61 ayat (l) huruf a
diberikan hanya 1 (satu) kali dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak
tanggal diterbitkan peringatan.
(2) Dalam hal Ormas tidak mematuhi peringatan terhrlis dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia,
sesuai dengan kewenangannya menjatuhkan sanksi penghentian kegiatan.
(3) Dalam hal Ormas tidak mematuhi sanksi penghentian kegiatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan

pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia sesuai dengan
kewenangannya melakukan pencabutan surat keterangan terdaftar atau
pencabutan status badan hukum.
Didalam UU tentang Ormas, pasal 62, 63 dan 64 diatur bahwa Ormas berhak
mendapat surat peringatan sebanyak tiga kali. Pada Perppu Nomor 2 Tahun 2017, ketentuan
pasal 63 dan 64 dihapuskan. Sementara mekanisme pembubaran ormas, yang di pasal 65
sampai pasal 78 UU tentang Ormas diatur bahwa proses pembubaran dilakukan melalui
mekanisme pengadilan, dalam Perppu nomor 2 tahun 2017 dihapuskan. Di Dalamnya juga
diatur bahwa setiap ormas tidak boleh bertentangan dengan Pancasila, dan Undang-Undang
Dasar 1945. Dalam perppu tersebut pemerintah menambahkan sejumlah perubahan, terkait
hal-hal yang dilarang dilakukan ormas.
Larangan tersebut diatur di pasal 59 ayat 3 dan ayat 4 yang berbunyi:
(1) Ormas dilarang
a. Melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, rasa atau golongan
b. Melakukan penyalahgunaan, penistaan atau penodaan terhadap agama yang
dianut di Indonesia

5
c. Melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketentraman dan ketertiban
umum, merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial

d. Melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
(2) Ormas dilarang
a. Menggunakan nama, lambang, bendera atau simbol organisasi yang
mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama,
lambang, bendera atau simbol gerakan separatis atau organisasi terlarang
b. Melakukan kegaitan separatis yang menganccamkedaulatan negara kesatuan
Republik Indonesia
c. Mengantu, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang
bertentangan dengan Pancasila
Korban pertama dari Perppu tersebut adalah Kelompok Hizbut Tahrir Indonesia
(HTI). Wiranto dalam sejumlah

wawancara,

mengatakan gagasan

khilafah

atau


kepemimpinan sesuai ajaran Islam, bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar (UUD) 1945. Dan hingga saat ini, sidang uji materi atas Perppu tersebut yang diajukan
HTI, masih berlangsung di Mahkaah Konstitusi (MK). Dengan Perppu ormas, pemerintah
menghilangkan mekanisme pengadilan, di mana ormas berhak melakukan sanggahan atas
tuduhan-tuduhan yang dilontarkan pemerintah. Namun menurut Wiranto, proses pengadilan
masih ada, akan tetapi proses tersebut ditempuh setelah pemerintah membubarkan Ormas.

B.

EKSPLANASI (Realita) pelaksanaan program
Dari beberapa pandangan diatas, ada beberapa poin yang dianggap sebagai realitas

dan dianggap sebagai “jalan lurus” yang ditempuh pemerintah bahwa kenapa UU Ormas ini
disahkan. Menurut analisa penulis, tentu ini adalah usaha pemerintah dalam menjaga dan
mempertahankan keutuhan NKRI, sebab secara logika, pemimpin mana yang ingin negara
kekuasaannya hancur. Pemerintah dalam hal ini pengambil kebijakan sudah tentu memikirkan
segala kemungkinan yang akan terjadi jika kebijakan tersebut diambil. Sama ketika seorang

6

Presiden BJ Habibie dalam mengambil keputusan untuk melepaskan Timur Timor dari
Indonesia, atau mempertahankan tetapi banyak orang yang mati sia-sia. Dan tidak bisa
dipungkiri bahwa sebuah kebijakan pemerintah pasti akan selalu salah di mata beberapa
orang, namun itulah resiko seorang pemimpin.
Kedua, adalah adanya keinginan Presiden untuk merevisi UU tersebut yang menjadi
syarat beberapa fraksi dalam menerima pengesahan ini. Menurut mereka, keinginan merevisi
merupakan kebijakan jalan tengah yang diambil pemerintah tanpa harus menghapus UU
Ormas sebelumnya dan menggantinya Perppu tersebut menjadi UU Ormas yang baru. Salah
satu elite poltik dari parti yang memberi syarat menyatakan bahwa revisi UU tersebut bisa
masuk program Legislasi Nasional (Prolegnas) di tahun mendatang. Menurut pengamat
politik Universitas Gadjah Mada Erwan Agus Purwanto, revisi diperkirakan akan dilakukan
terhadap sejumlah pasal yang dianggap krusial. Persetujuan dari pihak Pemerintah itu tak
lepas dari sejumlah kondisi, terutama kondisi HTI. Pertama, misi membubarkan HTI sudah
tercapai lewat Perppu Ormas. Pembubaran HTI didorong akibat misi organisasi ini yang
menyebarkan ajaran khilafah yang bertentangan dengan ideologi Pancasila.
Ketiga, kemungkinan adanya barter politik dengan Parpol pendorong revisi UU
Ormas yang bisa menguntungkan posisi Jokowi, terutama di Pemilu Presiden 2019. Hal itu
tak luput dari kehadiran Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di
Istana Negara. Sebelum pertemuan itu, SBY mengatakan pemerintah terancam sanksi berat
bila inkar janji untuk tak merevisi UU Ormas. Bahkan, Partai Demokrat akan membuat petisi

politik terhadap pemerintah bila tidak ada revisi. Seperti diketahui, proses revisi UU akan
diawali melalui pembahasan di Badan Legislasi (Baleg) DPR. Jika suatu UU disetujui untuk
direvisi maka UU tersebut akan masuk Prolegnas. Peluang revisi ini juga hadir dari celah di
prolegnas 2018. Anggota Baleg DPR Hendrawan Supratikno mengatakan, masih ada satu

7
tempat bagi satu revisi/rancangan UU di Prolegnas 2018. Rinciannya, baru ada 49 RUU dari
50 RUU yang jadi jatah di Prolegnas 2018.
Sementara itu Sekretaris Jenderal PPP Asrul Sani mengaku bahwa pihaknya akan
mendorong UU Ormas masuk dalam Prolegnas 2018. Namun hal itu bisa dilakukan setelah
UU Ormas diregistrasi dan diundangkan dalam Lembaran Negara (LN). Menurut salah
seorang anggota Baleg DPR, ada tiga poin penting yang harus direvisi dalam UU Ormas.
Pertama, Pasal 62 UU Ormas baru yang mengatur pembubaran Ormas tanpa proses
pengadilan. Walaupun ada jalur gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN),
pembubaran Ormas tanpa pengadilan dianggap sebagai hal yang dapat merusak demokrasi.
Kedua, pengaturan soal penelitian mendalam terhadap satu ormas sebelum pemberian status
badan hukum. Sebab dalam UU Ormas lama, pendaftaran badan hukum suatu ormas hanya
mencantumkan tahapan dan syarat pendaftaran. Ketiga, lanjutnya, pasal 82A UU Ormas baru
yang mengatur ketentuan pidana bagi Ormas yang melanggar aturan. Bahwa, setiap orang
yang menjadi anggota dan atau pengurus Ormas bisa dikenakan hukuman selama enam bulan

sampai seumur hidup.

C.

KEPATUHAN (Sesuai prosedur atau tidak)
Wakil Presiden RI Jusuf Kalla (JK) menegaskan jika penerbitan Perppu Nomor 2

Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Masyarakat (Ormas) telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Perppu
itu juga sesuai dengan kondisi nasional saat ini sehingga memungkinkan pemerintah untuk
menerbitkan Perppu untuk membubarkan Ormas yang bertentangan dengan ideologi
Pancasila dan mengancam keutuhan NKRI. Pembubaran ormas kata JK merupakan hal yang
wajar dan sudah sesuai ketentuan yang ada karena sejatinya peraturan tentang Ormas telah

8
diatur dalam UU Ormas. Sehingga tak perlu ditanggapi secara berlebihan. Menurut JK,
sebagai pemerintah, perundang-undangan-lah yang merupakan cara yang paling efektif kalau
ada ormas melanggar sesuai izin. Kalau ada organisasi mahasiswa tidak sesuai aturan
organisasi, tidak sesuai izinnya, perusahaan pun bisa dibubarkan oleh yang mengeluarkan
izin.

Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Prof. Dr. H. Jimly Asshiddiqie,
MH mengungkapkan bahwa pengesahan UU Ormas sudah sesuai ketentuan yang ada, jalan
itu bisa diambil oleh pemerintah jika merasa ada Ormas yang menentang ideologi Pancasila,
namun menurutnya ada dua hal yang harus menjadi perhatian, terutama dalam merevisi
Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan ( UU Ormas) yang telah disetujui DPR. Jimly
menjelaskan, seseorang yang menjadi anggota suatu ormas, sebelum dibubarkan pemerintah
tidak bisa dipidana karena hal tersebut bukan merupakan kejahatan. Kecuali, seseorang yang
menolak ormasnya dibubarkan setelah terbukti melakukan pelanggaran.
Ketentuan pidana diatur dalam Pasal 82A Ayat (2) dan Ayat (3) UU Ormas bahwa
Sanksi pidana dapat dikenakan kepada setiap orang yang menjadi anggota dan atau pengurus
ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung menganut paham yang
bertentangan dengan Pancasila. Sedangkan hukuman pidananya mulai dari seumur hidup atau
pidana penjara penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun. Selain itu, anggota
ormas anti-Pancasila dapat pula dikenai dengan pidana tambahan sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, Jimly juga menyoroti peran
pengadilan dalam membubarkan suatu ormas. Menurut dia, UU Ormas tidak boleh
menghilangkan ketentuan pembubaran ormas tanpa melalui proses pengadilan. Seperti yang
diketahui, sebanyak tujuh fraksi menerima perppu tersebut sebagai undang-undang yakni
fraksi PDI-P, PPP, PKB, Golkar, Nasdem, Demokrat, dan Hanura meskipun PPP, PKB, dan

9
Demokrat menerima Perppu tersebut dengan catatan agar pemerintah bersama DPR segera
merevisi Perppu yang baru saja diundangkan itu. Sementara, tiga fraksi lainnya yakni PKS,
PAN, dan Gerindra menolak Perppu Ormas karena menganggap bertentangan dengan asas
negara hukum karena menghapus proses pengadilan dalam mekanisme pembubaran ormas.
Analisa saya, kita sebagai masyarakat terutama Ormas hanya tinggal mengikuti
mekanisme putusan DPR yang dalam hal ini sebagai pengabsah kebijakan pemerintah, apatah
lagi proses tersebut sudah sesuai prosedur yang ada. Meskipun kebijakan tersebut terkesan
(sekali lagi) “ambigu”, terlepas dari itu semua, kita sebagai warga negara yang baik
mengikuti proses tersebut dengan baik. Lagipula jika kita menilik memang seharusnya UU
Ormas harus lebih dirinci lagi sehingga tidak ada lagi oknum yang memanfaatkan celah
tersebut sebagai senjata untuk kepentingan pribadi “busuk”nya.

D.

AUDITING (Tepat sasaran atau tidak)
Terlepas dari banyaknya issu kontroversi dari pengesahan UU Ormas ini, kontra dan

non-kontra, setuju dan tidak setuju, sah dan nonabsah dan lain sebagainya, maka harus digaris
bawahi terutama oleh penulis disini adalah kesungguhan pemerintah dalam memperketat
aturan ormas yang tidak sesuai dengan ideology Pancasila. Bukan karena pemerintah antiislam, atau tidak mengikuti sunnah dan Al-Qur’an, melainkan asas negara kita adalah
Pancasila yang dibangun oleh para pejuang dalam mempertahankan NKRI. Jika serta merta
Indonesia dijadikan sebagai khilafah maka semua aturan dan organisasi yang ada seharusnya
ikut berubah, mulai dari presiden, penghapusan menteri, penghapusan MPR, DPR, DPD,
penghapusan partai, penghapusan undang-undang serta ideology Pancasila.
Namun dari kacamata penulis, pemerintah sepertinya hendak memilih jalan tengah,
tanpa harus menekan satu diatas yang lainnya, pemerintah memilih memperketat aturan

10
oramas yang tidak mendukung kesatuan NKRI, namun pemerintah masih memilih merivisi
poin-poin penting yang ada diadalamnya, akibatnya ormas-ormas yang mengatas namakan
dirinya “pembela negara” tidak akan lagi memanfaatkan celah UU Ormas yang masih
“longgar”. Oleh sebab itu, berdasarkan penjabaran di situs setneg.go.id, ormas berbadan
hukum dapat berbentuk perkumpulan atau yayasan. Ormas yang tidak berbadan hukum dapat
memiliki struktur kepengurusan berjenjang atau tidak berjenjang, sesuai Anggaran Dasar
(ADA) / Anggaran Rumah Tangga (ART) Ormas tersebut yang telah diundangkan oleh
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly pada 6 Desember 2016. Peraturan Pemerintah
(PP) ini menegaskan, Ormas berbadan hukum dinyatakan terdaftar setelah mendapatkan
pengesahan badan hukum dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang hukum dan hak asasi manusia. Apabila telah mendapat pengesahan badan hukum,
ormas tersebut tidak lagi memerlukan Surat Keterangan Terdaftar (SKT).
Pendaftaran ormas berstuktur kepengurusan berjenjang dilakukan pengurus ormas
tingkat

pusat.

Pengurus

ormas

sebagaimana

dimaksud

melaporkan

keberadaan

kepengurusannya di daerah kepada pemerintah daerah setempat dengan melampirkan SKT
dan kepengurusan daerah. Pada Pasal 16 PP tentang Ormas disebutkan, pengurus harus
mengajukan SKT apabila terjadi perubahan nama, bidang kegiatan/pokok kegiatan, nomor
pokok wajib pajak (NPWP), dan/atau alamat ormas.
Sedangkan bagi warga negara asing yang ingin mendirikan ormas atau Ormas Warga
Asing (OWA) jika merujuk kepada PP ini, Ormas yang didirikan warga negara asing dapat
melakukan kegiatan di wilayah Indonesia, yang terdiri atas:
a. Badan hukum yayasan asing atau sebutan lain;
b. Badan hukum yayasan yang didirikan oleh warga negara asing bersama warga negara
Indonesia; atau
c. Badan hukum yayasan yang didirikan oleh badan hukum asing.

11
Berikut bunyi Pasal 35 PP Nomor 58 Tahun 2016:
“Ormas berbadan hukum yayasan asing atau sebutan lain sebagaimana dimaksud
wajib memiliki izin prinsip yang diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan
luar negeri dan izin operasional yang diberikan oleh pemerintah atau pemerintah
daerah.”
Badan hukum harus disahkan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di
bidang hukum dan HAM setelah mendapatkan pertimbangan Tim Perizinan. Pengawasan
internal dan eksternal diperlukan untuk meningkatkan kinerja dan akuntabilitas serta
menjamin terlaksanananya fungsi dan tujuan ormas. Pengawasan internal dilakukan oleh
pengawas internal dan berfungsi menegakkan kode etik organisasi. Sementara itu,
pengawasan eksternal dilakukan masyarakat, pemerintah, dan/atau pemerintah daerah,
sebagaimana bunyi Pasal 45 ayat (2a, b):
“Pengawasan eksternal oleh pemerintah dikoordinasikan oleh: a. Menteri untuk Ormas
berbadan hukum Indonesia dan tidak berbadan hukum; dan menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang luar negeri bagi ormas berbadan hukum yayasan asing atau
sebutan lain.”
PP ini juga menegaskan, bahwa pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai
lingkup tugas dan kewenangannya menjatuhkan sanksi administratif kepada Ormas yang
melanggar kewajiban dan larangan. Sanksi administratif iterdiri dari peringatan tertulis,
penghentian bantuan dan/atau hibah, penghentian sementara kegiatan, dan/atau pencabutan
SKT atau pencabutan status badan hukum. Pemerintah wajib meminta pertimbangan hukum
Mahkamah Agung dalam penjatuhan sanksi penghentian sementara kegiatan ormas. Apabilia
ormas berbadan hukum tak mematuhi sanksi tersebut, menteri penyelenggara bisa
menjatuhkan sanksi status badan hukum. Sementara penjatuhan sanksi terhadap ormas
berbadan hukum yayasan asing atau sebutan lain diatur dengan peraturan pemerintah
tersendiri sebagaimana bunyi Pasal 74:
“Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.”

12

E.

AKUNTING ( dampak yang ditimbulkan)
Langkah Presiden Republik Indonesia Ir. H. Joko Widodo yang mengambil kebijakan

untuk mengeluarkan Perppu yang berisi pembubaran Ormas anti-Pancasila dinilai sudah tepat
oleh beberapa kalangan. Itu berarti pemerintah dapat sewaktu-waktu membubarkan Ormas
yang dinilai bertentangan dengan ideologi pancasila, yang selama ini dianggap berbahaya
terhadap keberadaan ideologi pancasila, tanpa proses peradilan yang selama ini berlaku
semenjak adanya proses demokratisasi setelah era reformasi. Semenjak era reformasi 1998
yang memberikan ruang lebih luas terhadap proses demokratisasi Indonesia. Indonesia terus
membenahi diri dalam menjalankan proses demokrasi, yang selama era orde baru dikebiri
dengan label "Demokrasi Terpimpin". Organisasi kemasyarakatan (Ormas) adalah bagian
dalam proses demokrasi tersebut, sehingga tindakan pemerintah untuk membatasi keberadaan
ormas dengan Perppu tersebut, adalah kemunduran dalam proses demokrasi yang berjalan di
Indonesia setelah era reformasi 1998.
Dari analisa bebas penulis, keputusan pemerintah untuk mengeluarkan Perppu
pembubaran ormas, tentunya akan memberikan dampak yang luas dan menyeluruh terhadap
kehidupan demokrasi Indonesia, yang selama ini oleh dunia barat, Indonesia dianggap
sebagai salah satu negara yang berhasil menjalankan sistem demokrasi secara baik dan
matang. Berikut adalah dampak Perppu Pembubaran Ormas Anti Pancasila terhadap proses
demokrasi Indonesia.
1).

Pemerintah dapat membubarkan Ormas Anti Pancasila tanpa proses peradilan
Dengan keluarnya Perppu Nomor 2 tahun 2017, maka secara otomatis UU
Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat, akan tergantikan oleh Perppu
Nomor 2 tahun 2017 tersebut. Pemerintah tentunya akan dapat lebih mudah

13
membubarkan ormas-ormas yang dianggap bertentangan dengan pancasila tanpa
proses peradilan. Masih ingatkah dengan wacana pemerintah beberapa waktu lalu
yang ingin membubarkan ormas HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) yang dianggap
bertentangan denga pancasila? hambatan pemerintah pada saat itu adalah harus
membubarkan ormas HTI dengan mekanisme pengadilan. Sehingga pemerintah
mengurungkan niatnya untuk membubarkan ormas HTI pada beberapa waktu lalu,
sebab jika melalui proses peradilan, maka kemungkinan gugatan pemerintah akan di
tolak di PTUN. Dengan demikian, UU ormas yang telah disahkan menandakan
bahwa ormas tidak lagi merasa berkuasa diatas nama semua demokrasi, dimana
kebanyakan ormaas sudah seperti kelompok yang “tidak tahu diri”,
2).

Pemerintah dapat dengan mudah menyasar ormas-ormas yang bersebrangan
pendapat dengan pemerintah
Dengan adanya Perppu Nomor 2 tahun 2017, maka secara langsung
pemerintah akan mendapatkan payung hukum yang sangat kuat, untuk menggunakan
perppu tersebut sebagai kekuasaan penuh pemerintah, untuk mengontrol ormasormas yang berbeda pandangan dengan pemerintah. Semenjak era reformasi, ormasormas oposisi tumbuh seperti jamur yang tumbuh setelah hujan turun. Maka dari itu
dengan berdalih pemberantasan ormas anti pancasila,
sewenang-wenang

melumpuhkan

ormas-ormas

pemerintah dapat dengan

yang

bersebrangan

dengan

pemerintah, dengan dalih ormas-ormas tersebut tidak sesuai dengan pancasila atau
anti pancasila.
Perppu ini dapat dijadikan senjata-senjata ampuh kembali bagi pemerintah,
untuk melumpuhkan ormas-ormas yang menjadi lawan politik pemerintah. Sehingga

14
Perppu ini akan dijadikan alat bagi pemerintah, untuk membungkam ormas-ormas
kritis yang dianggap bersebrangan dengan pemerintah.
3).

Pemerintah berangsur menghilangkan demokratisasi di Indonesia
Indonesia yang kita kenal semenjak era reformasi, tentunya perlahan-lahan
menjadi negara yang demokratis dalam menjalankan setiap peraturan hukum dan
politiknya. Kebebasan berorganisasi dan berserikat adalah bagian dari demokrasi itu
sendiri. Dengan adanya Perppu pembubaran ormas anti pancasila tersebut. Indonesia
akan bertransformasi menjadi negara kekuasaan, yang mana dalam produk hukum
berupa perppu ini, adalah cara pemerintahan pusat untuk mengekang kebebasan
berpendapat dan berorganisasi yang terjadi selama era reformasi dewasa ini.
Dengan adanya Perppu yang refresif tersebut, adalah cara halus dari
pemerintah untuk mengekang kebebasan berpendapat dengan produk hukum berupa
Perppu ini. Pemerintahan pusat akan bisa berubah menjadi pemerintah otoriter, yang
bisa membungkan setiap sayap-sayap organisasi atau ormas yang dianggap
berbahaya, bagi keberadaan rezimnya dengan menggunakan dalih ormas tersebut
bertentangan dengan pancasila.
Namun, keinginan pemerintah tersebut ternyata tidak terbendung hingga akhirnya

beberapa hari yang lalu, DPR mengesahkan Perppu tersebut menjadi Ormas sebagai
tambahan dari UU Ormas yang telah diterbitkan sebelumnya. Jauh hari sebelum issue
pengesahan UU Ormas berkembang, sudah banyak opinin yang menyebar ditengah
masyarakat, diantaranya yaitu dampak yang ditimbulkan jika ternyata DPR mengesahkan UU
Ormas, salah satunya yang penulis sadur dari situs http://kumparan.com menyatakan bahwa
ada 3 dampak ditimbulkan setelah UU Ormas disahkan,

15
1. Terdapat hukuman pidana bagi anggota dan pengurus ormas yang dinilai
bertentangan

dengan ideologi Pancasila dengan sanksi pidana penjara seumur

hidup, pidana paling

singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun (Pasal 82A ayat 2).

Pasal ini dikritisi oleh

beberapa pihak, karena hukuman yang diberikan dianggap

terlalu lama dan langsung menyasar kepada keseluruhan anggota ormas.
2. Tidak adanya proses pengadilan bagi ormas yang dibubarkan. Artinya, pembubaran
ormas bisa dilakukan secara sepihak tanpa melewati mekanisme peradilan. Dalam
Perppu Nomor 2 Tahun 2017, ketentuan yang mengatur soal pengadilan seperti yang
tertera dalam Pasal 63 sampai dengan pasal 80 UU nomor 17 Tahun 2013 tentang
organisasi masyarakat dihapus. Peniadaan proses hukum tersebut dianggap
sewenang-wenang karena secara sepihak memberikan kewenangan kepada
Menteri Hukum dan HAM untuk mencabut kegiatan ormas dan melakukan
pembubaran dengan sendirinya.
3. Pemerintah bisa menafsirkan sendiri secara sepihak apakah ormas tersebut dianggap
bertentangan dengan ideologi Pancasila, tanpa melewati proses seperti pembelaan
atau klarifikasi ormas di pengadilan. Tentunya itu dianggap menghalangi hak
masyarakat yang ada dalam berkumpul serta ikut serta dalam hidup bermasyarakat.
Tetapi, ketiga poin diatas belum bisa kita simpulkan secara menyeluruh, sebab
putusan tersebut masih sedang berlangsung pe-revisian isi UU yang masih dalam proses
perundingan.

16

F.

KESIMPULAN
Bila dilihat dari sisi hukum dan kenegaraan, maka pemerintah dalam hal ini Presiden

telah mengambil langkah tepat dalam mengesahakn Perppu menjadi UU Ormas. Tidak bisa
dipungkiri bahwa banyaknya ormas yang bertebaran di Indonseia itu tidak terlepas dari
terlalu percayanya pemerintah terhadap sebuah proses administrasi yang kaku, hanya dengan
pengajuan nama, tujuan kelompok, alamat dan lain sebagainya, sejumlah orang sudah bisa
membentuk sebuah Ormas, tanpa adanya pengawasan berlanjut dari pemerintah. Oleh sebab
itu, dengan adanya UU Ormas ini, maka tentu masyarakat pasti akan lebih berpikir dua kali
untuk membentuk sebuah ormas “abal-abal” yang memanfaatkan kondisi dan suasana kacau
negara kita.
Sedangkan dari sisi politik, pemerintah dalam hal ini diuntungkan dengan adanya
revisi UU karena dengan revisi itu akan membuka peluang diskusi dan komunikasi politik
antara pemerintah dan parpol. Dan itu akan menguntungkan pemerintah dalam pertarungan
Pilpres 2019 yang akan datang, selain karena merebut hati banyak parpol, juga pemerintah
telah merebut banyak kursi meskipun beberapa parpol mengajukan syarat-syarat tertentu.
Selain itu, dari sisi yang lainnya lagi. Bagi penggiat parpol yang menolak UU Ormas ini
(PAN, PKS dan Gerindra) maka ini membuka peluang mereka merangkul ormas yang merasa
“tersakiti” oleh UU tersebut dengan tagline “JANGAN MEMILIH PARTAI YANG
MENDUKUNG UU ORMAS” sehingga bagi orang yang pintar melihat situasi, ini adalah
peluang politik “sempurna” untuk merangkul mereka “yang tersakiti” dan digandeng
sehingga memuluskan jalannya untuk Pilpres 2019 yang akan datang. Oleh karena itu, issu
ini masih bisa berkembang lebih besar lagi, kita sebagai akademisi hanya bisa menjangkauu
sampai disini saja tanpa harus mengutak atik urusan orang di atas. Mari kita saksikan taktiktaktik yang dikeluarkan pemerintah dalam melawan radikalisme dan Ormas yang

17
bertentangan dengan ideology pancasila, dan mari kita lihat aksi Ormas tersebut dalam
melawan dan melakukan manuver politik “busuk” yang dipertontonkan dan disaksikan oleh
seluruh masyarakat Indonesia.

G.

SUMBER

Wikipedia Indonesia
Situs CNN https://www.cnnindonesia.com/nasional/20171030065901-32-252048/
Situs Kementrian Sekretaris Negara https://www.setneg.go.id/
Situs Media Online http://kumparan.com
Situs Media Online http://pikiran-rakyat.com
The Various Shady Lives Of The Ku Klux Klan - Time Magazine