Dampak konsensus Washington dan ratifikasi gats terhadap kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia studi kasus : undang- undang pendidikan tinggi no. 12 tahun 2012

(1)

Dampak KonsensusWashington Dan Ratifikasi GATS Terhadap

Kebijakan Pendidikan Tinggi Di Indonesia Studi Kasus :

Undang-Undang PendidikanTinggi No. 12 Tahun 2012.

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

oleh:

Muhammad Ikhsan

106083003661

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2013


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAKSI

Skripsi ini menganalisis dampak Dampak Konsensus Washington Dan Ratifikasi GATS Terhadap Kebijakan Pendidikan Tinggi Di Indonesia Studi Kasus: Undang-Undang PendidikanTinggi No. 20 Tahun 2012. Isu ini sangat menarik untuk diteliti karena kebijakan pendidikan di Indonesia saat mengadopsi kesepakatan GATS, skripsi ini juga banyak membicarakan mengenai perkembangan kebijakan pendidikan di Indonesia dimulai sejak Indonesia merdeka lewat UU No.22 tahun 1961, hingga UU No. 12 tahun 2012. Selanjutnya kebijakan pendidikan Tinggi di Indonesia terpengaruhi ketentuan GATS. Skripsi ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang dilakukan melalui studi kepustakaan yang banyak mengandalkan data–data primer dan sekunder.

Skripsi ini memakai teori neoliberalisme yang didefinisikan oleh Balaam dan Veseth, Andrew Heywood, serta Francis dan Wibowo, serta pandangan Washington Konsensus dari John Wiliamson, Josepth Stiglish, Theo F. Toemion dan John Perkin. Dan juga dalam pandangan ekonomi politik internasional menurut Susan Strange, Rowland Maddock serta Michael Veseth. Dampak yang ditimbulkan oleh Washington Konsensus di Indonesia di bidang pendidikan adalah dikeluarkannya PP No. 60 Tahun 1999 dan PP No.61 Tahun 1999 tentang status tentang status pendidikan tinggi negeri (PTN) berubah statusnya dari lembaga yang berada dibawah Depdiknas menjadi sebuah lembaga otonom yang dapat dimiliki oleh pihak swasta. Tahun 2000, dikeluarkan peraturan pemerintah tentang perubahan status beberapa PTN menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Lalu dampak dari pemberlakuan GATS adalah dikeluarkannya UU BHP tahun 2003 (telah dimakzulkan oleh Mahkamah Konstitusi) dan yang saat ini berlaku adalah UU Perguruan Tinggi No.12 tahun 2012.

Kata Kunci : GATS, IMF, Washington Konsensus, UU Perguruan Tinggi no. 12 tahun 2012.


(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur bagi Allah SWT atas segala rahmat dan nikmat-Nya, sehingga terselesaikanlah skripsi ini untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar sarjana pada jurusan Hubungan Internasional.

Tantangan dan hambatan serta rintangan dalam menyelasikan skripsi ini sangatlah berat, dikarenakan rasa malas yang selalu menghatui, namun berkat keinginan untuk segera lulus maka rasa malas itu harus segera dihilangkan dengan memulai mengerjakan lagi skripsi. Disamping rasa malas juga ada beberapa usaha yang sulit untuk ditinggalkan (maklumlah nama juga cari uang) antara lain penerbitan buku yakni MKM (Mega Kreasi Media), parapromo.net (bisnis dibidang perdagangan dan penyedian barang jasa) serta CV. BSM bersama teman-teman kampus. Namun akhirnya demi skripsi maka di istirahatkanlah sejenak urusan cari uangnya.

Rasa syukur dan terima kasih tak lupa saya ucapkan kepada Ibunda tercinta beserta Ayahanda serta yang selalu dekat Astri Novita Nurmaya, Ketua Jurusan Bapak Kiki Rizky Msi, pembimbing saya Bapak Arisman Msi. Tak lupa pula teman-teman Hubungan Internasional Angkatan 2006 baik kelas A dan B antara lain; M. firmanysah, Maman, KW, Eta, Yeni, Ibnu, Wer, Cukong, Nanda, dan semuanya tanpa bisa disebutkan satu persatu terutama gelombang terakhir.


(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI... i

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR SINGKATAN... iiv

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Pernyataan Masalah……….………..………..1

B. Pertanyaan Penelitian………..………….7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………...……….7

C.1 Tujuan penelitian……….8

C.2 Manfaat Penelitian……….………..8

D. Tinjauan Pustaka………..…………8

E. Kerangka Teoritis………...……10 E.1 Neoliberalisme………...……11

E.2 Washington Konsensus………..13

E.3 Ekonomi Politik Internasional………...15

E.4 Ratifikasi………18

E.5 Pendidikan Nasional………..………18

E.6 Privatisasi……….…..19 F. Metode Penelitian………..21 G. Sistematika Penulisan………...….22


(9)

BAB II LATAR BELAKANG TERBENTUKNYA KONSEP

KONSENSUS WASHINGTON………25

A. Proses terbentuknya IMF dan World Bank………..……..25 B. Pandangan Konsensus Washington menurut John Wiliamson…..28

C. Peran Indonesia di WTO dan GATS………31

C.1 Ratifikasi Indonesia dalam GATS di bidang

pendidikan……….……….33

BAB III KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI INDONESIA SEBELUM

DAN SESUDAH RATIFIKASI GATS………...…………..36

A. Kebijakan pendidikan tinggi menurut Undang-undang nomor 22 tahun 1961 tentang perguruan tinggi serta UU No.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional……….……….36

B. Globalisasi dan Kebijakan Pendidikan Tinggi………...…40 B1. Kebijakan Pendidikan Tinggi menurut PP No. 60 Tahun

1999 dan PP No.61 Tahun 1999……….…44 C. Latar belakang pembentukan Undang-Undang Badan Hukum


(10)

C.1 Privatisasi Pendidikan Melalui UU BHP……….………48

D. Latar belakang pembentukan Undang-Undang Pendidikan Tinggi No. 12 Tahun 2012……….….52

BAB IV ANALISIS DAMPAK RATIFIKASI GATS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN TINGGI DI INDONESIA………54

A. Undang-Undang Pendidikan Tinggi No.12 Tahun 2012 dalam kerangka GATS………...54

B. Analisis dampak penerapan Undang-undang Perguruan Tinggi no. 12 tahun 2012………..…..…57

BAB V KESIMPULAN……….…....67

DAFTAR PUSTAKA………71


(11)

DAFTAR SINGKATAN

AS Amerika Serikat

BHMN Badan Hukum Milik Negara

BUMN Badan Usaha Milik Negara

COWDOG common wisdom of the dominant group Depdiknas Departemen Pendidikan Nasional

FDI Foreign Direct Investment

GATT General Agreement on Tariffs and Trade GATS General Agreement on Tariffs and Services

IFC International Finance Corporation

IDA International Development Association

IPB Institut Pertanian Bogor

ITB Institut Teknologi Bandung

ITO International Trade Organization

IBRD International Bank for Reconstruction and Development

Krismon Krisis Moneter

LoI Letter Of Intent

LIPI Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

OECD Organization for Economic Co-operation and Development

PP Peraturan Pemerintah

PDB Produk Domestik Bruto

PTN Pendidikan Tinggi Negeri

PPM Post Program Monitoring

RUU BHP Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan

SAP Structural Adjustment Programmed Sisdiknas Sistem Pendidikan Nasional

SPMB Mandiri Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru Mandiri TNCs Trans National Corporations

TRIPS Trade Related Intellectual Property Rights

UI Universitas Indonesia

UGM Universitas Gajah Mada USU Universitas Sumatera Utara UUD 1945 Undang-Undang Dasar 1945 WTO World Trade Organization


(12)

DAFTAR TABEL

1. Tabel 1.1. UU No.22 Tahun 1961 2. Tabel 1.2. UU No.2 Tahun 1989


(13)

DAFTAR LAMPIRAN.

1. UU Perguruan Tinggi No. 12 Tahun 2012

2. Sofian Effendi. Berkas Perkara di Mahkamah Konstitusi No. 103/PUU/X/2012 tentang Pengujian Undang-undang Republik Indonesia No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi terhadap UUD NRI 1945. 3. TANYA-JAWAB SEPUTAR UU DIKTI NOMOR 12 TAHUN 2012


(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah

Skripsi ini memaparkan dampak Konsensus Washington dan ratifikasi pemerintah Indonesia terhadap kebijakan GATS atas pendidikan studi kasus : Undang-undang pendidikan Tinggi No.12 tahun 2012. Isu ini sangat menarik untuk diteliti karena kebijakan Konsensus Washington dan kebijakan GATS terhadap pendidikan di Indonesia sangat berpengaruh terhadap ketetapan undang-undang pendidikan tinggi.Pengaruh kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia,telah diawali oleh kebijakan Washington yang terhitung sejak tahun 13 November 1998 dengan di tandatanganinya LoI (Letter of Intent) antara Indonesia dan IMF (Letter of Inten Indonesia and IMF, Jakarta:1998). Pada tahun 1998 awal mula perjanijian tersebut, pemerintah diwajibkan mematuhi kesepakatan di bidang ekonomi, politik dan sosial melalui ketetapan Loi.Formulasi Konsensus Washington sangat berpengaruh dalam penetapan kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia khususnya pada penerapan LoI (Letter of Intent) antara Indonesia dan IMF (International Monetary Found) selanjutnya kebijakan pendidikan Tinggi di Indonesia terpengaruhi ketentuan GATS.

Penulisan skripsi ini difokuskan kepada dampak yang ditimbulkan atas formulasi Konsensus Washington terhadap kebijakan pendidikan di Indonesia, dalam hal ini formulasi Konsensus Washington masuk melalui sektor sosial ekonomi politik yang kemudian di apresiasi kedalam sektor pendidikan melalui


(15)

kekuatan utama liberalisasi yakni; IMF, (International Monetary Found)dan World Bank. Selanjutnya WTO (World Trade Organization) melalui kebijakan GATS (General Agreement on Tarrifs and Services) yang kemudian kebijakan tersebut diadopsi oleh pemerintah Indonesia dengan kedalam Undang-Undang Pendidikan Tinggi No. 12 tahun 2012.

Konsep kebijakan pendidikan sudah menjadi agenda IMF atau International Monetary Found sejak tahun 1989, melalui konsep Konsensus Washington yang dikemukakan oleh ekonom Amerika Serikat atau AS yang bernama John Wiliamson.Indonesia resmi bergabung dengan IMF Indonesia pada tanggal 15 April 1954 dan pada bulan Mei tahun 1965 Indonesia keluar dari IMF. Kemudian Indonesia kembali menjadi anggota IMF pada tanggal 23 Februari 1967 (Syamsul hadi et al. 2004A:51). Pada tahun 1954 ketika Orde Lama Indonesia mendapat bantuan IMF Sebesar AS$17 juta, dengan syarat-syarat yang dimaksud mencakup: restrukturisasi kebijakan perekonomian, devaluasi nilai rupiah, penundaan subsisdi, dan pengetatan anggaran belanja. Bantuan yang diberikan Indonesia tersebut tercantum dalam Contaiment policy AS untuk menangkal penyebaran komunis di Asia Tenggara (Syamsul Hadi et al. 2007B:52). Dengan pinjaman tersebut mulailah masuk investasi asing atau sering disebut FDI (Foreign Direct Invesment).

Selanjutnya pada tahun 1980-an, setelah Indonesia banyak menderita kerugian akibat jatuhnya harga minyak dunia (Riwanto 2007:41). melaui International Monetary Funds (IMF) dan Bank Dunia lewat kebijakan SAP (Structural Adjustment Programme) mendesak pemerintah Indonesia untuk


(16)

melakukan reformasi dalam bentuk deregulasi, liberalisasi ekonomi, dan privatisasi BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Selanjutnya Indonesia mulai melakukan deregulasi dan liberalisasi sektor ekonomi, antara lain, keuangan, perbankan, dan industri, yang dilaksanakan sejak pertengahan tahun 1980-an hingga awal tahun 1990-an. Menurut Rizal Malarangeng meskipun deregulasi dan liberalisasi ekonomi dipandang cukup berhasil, privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak terjadi. Setelah tahun 1991-1992, deregulasi mulai melambat seiring dengan naiknya kelompok konglomerat dan melebarnya kesenjangan ekonomi antara kaum kaya dan kaum miskin (2002:17-18).

Lalu pada krisis ekonomi global atau lebih dikenal krisis moneter (krismon) berawal dari Thailand pada bulan Juli 1997 membawa negara-negara di Asia (Indonesia, Malaysia, Philipina, Korea Selatan) ke dalam situasi yang buruk. Kemajuan yang sangat mengesankan selama tiga dasawarsa, dengan pendapatan perkapita yang telah meningkat, kesehatan membaik, kemiskinan telah berkurang, secara amat dramatis hancur dalam sesaat. Awal dasawarsa 90an, negara-negara di Asia telah meliberalisasikan pasar keuangan dan pasar modal mereka, bukan karena mereka memerlukan tambahan dana, tetapi karena tekanan internasional, termasuk tekanan dari Departemen Keuangan Amerika Serikat. Perubahan ini telah merangsang masuknya modal berjangka pendek. Yakni jenis modal yang mencari keuntungan sebesar-besarnya setiap hari, minggu, atau bulan berikutnya (Stiglitz 2002:15).


(17)

Programe).SAP tersebut tertuang dalam perjanjian Letter Of Intent antara Indonesia dengan IMF (Syamsul Hadi et al. 2004B:51). Pada letter of intent diatur mengenai sejak tahun 1999 melalui penghematan belanja negara dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah atau PP No. 60 Tahun 1999 dan PP No.61 Tahun 1999 tentang status pendidikan tinggi negeri (PTN) berubah statusnya dari lembaga yang berada dibawah Depdiknas menjadi sebuah lembaga otonom yang dapat dibantu oleh pihak swasta. Tahun 2000, dikeluarkan peraturan pemerintah tentang perubahan status beberapa PTN menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Proses pem-BHMN-an PTN mengakibatkan kampus negeri yang sempat menjadi harapan rakyat Indonesia menjadi semakin sulit terjangkau, karena biayanya yang menjadi semakin mahal (Ruslan. Wajah Buruk Dunia Pendidikan).

Berlanjut ke RUU BHP (Rancangan Undang-undang badan hukum pendidikan) yang merupakan amanat UU No.20/2003 yang kemudian menjadi Undang-undang BHPberisi tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Pada Pasal 51 Ayat (1) UU ini menyebutkan bahwa pengelola satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan menengah dilaksanakan dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah. Selanjutnya, Pasal 24 dan Pasal 50 Ayat (6) memerintahkan agar perguruan tinggi memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya.

Untuk mewujudkan manajemen berbasis sekolah/ madrasah dan otonomi perguruan tinggi, maka Pasal 53 UU No.20/2003 mengamanatkan pembentukan badan hukum pendidikan. Badan hukum pendidikan berfungsi memberikan


(18)

pelayanan pendidikan formal kepada peserta pendidikan.Privatisasi pendidikan berawal dari apa yang dilakukan oleh aktor-aktor utamanya, yaitu Trans National Corporations (TNCs), yang dibantu oleh Bank Dunia/IMF (Internasional Monetary Fund), melalui kesepakatan yang dibuat dalam WTO (World Trade Organization) yang menganut paham, bahwa pertumbuhan ekonomi hanya bisa dicapai sebagai hasil normal melalui kompetisi bebas (Nurdin, Pro-Kontra Undang-Undang Bhp Dalam Konteks Mutu Pendidikan).

Mekanisme ekonomi benar-benar diserahkan pada pasar bebas tanpa campur tangan pemerintah dan negara. Implikasinya, pemerintah dijauhkan dari campur tangan untuk meregulasi perusahaan-perusahaan swasta. Semua aspek mengalami liberalisasi dan kapitalisasi, termasuk bidang pendidikan. Proses otonomi kampus dan pencabutan subsidi pendidikan dilakukan karena dianggap akan menghambat persaingan bebas dalam bidang pendidikan, serta subsidi yang berlebihan di bidang pendidikan.

Upaya Privatisasi atau upaya pelepasan tanggung jawab pemerintah dalam menyelenggarakan dan membiayai pendidikan, terutama pendidikan dasar sembilan tahun secara gratis dan bermutu, sudah terlihat dalam legalitas pendidikan. Diawali dari kemunculan sejumlah pasal di Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Hal itu terlihat dari berkurangnya kewajiban pemerintah sebagai penanggung jawab utama dalam pendidikan dasar rakyat menjadi kewajiban bersama dengan masyarakat. Hal Ini terlihat pada Pasal 9 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, yang menyatakan bahwa masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya


(19)

dalam penyelenggaraan pendidikan, Pasal 12 Ayat 2 (b) yang memberi kewajiban terhadap peserta didik untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, terkecuali bagi yang dibebaskan dari kewajibannya sesuai undang-undang yang ada.

Pasal 50 ayat 6, perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya. Di tingkat perguruan tinggi, di Indonesia pada tahun 2000 beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) diubah bentuknya menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Beberapa Perguruan Tinggi Negeri pavorit seperti Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gajah Mada (UGM), Institut Pertanian Bogor (IPB) kemudian membuka jalur khusus dalam menerima mahasiswanya dengan biaya yang sangat besar (http://edukasi.kompas.com, Lulus SNMPTN, Kok, Bayarnya Mahal Juga?).

Penjelasan di atas tentu sangat bertentangan dengan konstitusi Undang-Unang Dasar 1945. Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan dengan tegas bahwa Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Kemudian dipertegas lagi dalam ayat (4) yang menyebutkan Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Tetapi apa yang terjadi, Pemerintah justru ingin berbagi tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan. Munculnya Rancangan


(20)

Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) menjadi bukti nyata sebagai ujung pelegalan privatisasi edukasi negeri ini.

Setelah adanya undang-undang BHP yang kemudian di makzulkan oleh Mahkamah Konstitusi maka, Pada tanggal 13 Juli 2012, DPR-RI mengesahkan UU Nomor 12 Tahun 2012 Pendidikan Tinggi yang menggantikan UU BHP sebagai payung hukum penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia (http://suaramerdeka.com, Pembatalan UU BHP Munculkan Masalah Baru). Dan pada skripsi ini lebih lanjut akan membahas dampak konsensus washington dan ratifikasi GATS terhadap kebijakan pendidikan tinggi di indonesia studi kasus undang-undang pendidikan tinggi no. 20 tahun 2012

B. Pertanyaan Penelitian

Pengaruh dari Globalisasi dan perdagangan bebas, memaksa negara-negara berkembang dan dunia ketiga masuk dalam skenario Konsensus Washington. Lalu ditambah pula dengan momentum Krisis ekonomi Asia 1997 atas dasar inilah begitu banyak negara Berkembang dan Dunia Ketiga terjebak dalam pengaruh kebijakan Konsensus Washington. Berdasarkan pernyataan masalah diatas maka dirumuskan kedalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:

Bagaimana dampak Konsensus Washington dan ratifikasi GATS terhadap kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia studi kasus : Undang-Undang


(21)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dalam penelitian atau kajian ilmiah dilakukan untuk memberikan gambaran objektif mengenai fenomena persoalan tertentu. Oleh karena itu, penulisan skripsi ini memiliki beberapa tujuan, antara lain:

C.1 Tujuan penelitian :

1. Penelitian ini bertujuan untuk memahami konsep Konsensus Washington dan Ratifikasi GATS terhadap kebijakan pendidikan di Indonesia.

2. Untuk mengkaji dampak teori neoliberalisme dalam ekonomi politik melalui kerangka IMF dan World Bank beserta turunannya yakni WTO dan GATS.

3. Untuk kelengkapan dalam memperoleh gelar kesarjanaan pada jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

C.2 Manfaat Penelitian :

1. Untuk menambah wawasan mahasiswa terhadap dampak Konsensus Washington dan Ratifikasi GATS dalam liberalisasi pendidikan di Indonesia.

2. Secara akademis dapat menambah pemahaman mahasiswa terhadap kebijakan Konsensus Washington.


(22)

D. Tinjauan Pustaka

Menurut Viktor Nalle dalam Jurnal Konstitusi Volume 8 Nomor 4 Agustus 2011 dengan judul Mengembalikan Tanggung Jawab Negara Dalam Pendidikan: Kritik Terhadap Liberalisasi Pendidikan Dalam UU Sisdiknas Dan UU BHP. Dalam jurnal tersebut beliau menguraikan tentang tanggung jawab negara terhadap pendidikan, khususnya pendidikan tinggi agar bersesuaian dengan UUD 45. Lebih lanjut dalam jurnal tersebut negara dituntut untuk lebih bertangung jawab terhadap pendidikan. Menurut viktor Nalle pemakzulan UU No.9 tahun 2009 tentang sudah bersesuaian dengan UUD 45 karena menurut beliau ketetapan WTO dan GATS mengharuskan untuk meliberalisasi pendidikan di Indonesia khususnya Pendidikan Tinggi.

Penelitian lain tentang tentang Konsensus Washington dan liberalisasi

tertuang dalam judul skripsi “Globalisasi dan Kebijakan Ekonomi Indonesia Pasca

Orde Baru : Perspektif Joseph E. Stiglitz” penelitian ini dilakukan pada tahun 2011 oleh R. Ferdiansyah mengangkat tentang dominasi IMF dan World Bank dalam memberikan bantuan kepada negara berkembang melalui kerangka Konsensus Washington. Dijelaskan lebih lanjut dalam peneltian tersebut mengangkat perspektif Stiglitz, Stiglitz menjelaskan banyak negara berkembang yang terjebak dengan dominasi kekuatan IMF dan World Bank dalam rangka membrikan bantuan melalui kerangka formulasi Konsensus Washington. Dalam penjelasannya Stiglitz mengunkapkan bahwa formulasi Konsensus Washington mempengaruhi negara debitor IMF dan World bank untuk mengurangi alokasi subsidi di bidang sosial khsusnya pendidikan. Penelitian tersebut tidak


(23)

menjelaskan secara mendetail mengenai permasalahan liberalisasi pendidikan di dalam Globalisasi. Oleh karena itu posisi penelitian tersebut hanya mengungkapkan tentang formulasi Konsensus Washington terhadap kebijakan ekonomi politik secara umum.

Menurut M. Tajudin Nur dalam Jurnal Visi Pendidikan tahun 2012 dengan

judul “Liberalisasi Pendidikan : Sebuah Wacana Kontroversial” menjelaskan

bahwa liberalisasi pendidikan dalam berawal dari masuknya Indonesia kedalam WTO pada tahun 1994. Dengan masuknya Indonesia, secara langsung indonesia harus mengikuti aturan General Agreement on Trade in Services (GATS) yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan tinggi dan pendidikan selama hayat, serta jasa-jasa lainnya. Lebih lanjut dalam artikel tersebut membahas tentang dampak yang ditimbulkan oleh UU BHP.

Dari ketiga penelitian diatas, maka skripsi ini mencoba menyempurnakan penelitian-penelitian sebelumnya dengan memasukkan unsur dominan Washington Konsensus sebagai pijakan awal dari kebijakan pendidikan di Indonesia yang kemudian dilanjutkan dengan pengaruh WTO dan GATS dalam liberalisasi pendidikan.Selanjutnya pada skiripsi ini memaparkan analisis Undang-Undang Perguruan Tinggi tahun 2012.

E. Kerangka Teoritis

Untuk melakukan penelitian diatas maka diperlukan seperangkat teori yang berhubungan dengan judul skripsi diatas sebagai dasar untuk


(24)

memulainya.Berkaitan dengan judul diatas maka diperlukan teori dan pemikiran yang mendasari skripsi ini yakni, Neoliberalisme, Konsensus Washington, Ekonomi Politik Internasional, pendidikan nasional Serta Privatisasi.

E.1 Neoliberalisme

Dalam penelitian ini untuk menguraikan pokok permasalahan penulis, memasukkan kedalam teori ekonomi liberal yang kemudian berkembang menuju neoliberal lalu dipraktikan melalui konsep Washington konsesus. Menurut Andrew Heywood (Heywood, 2002:49). Neoliberalisme di definisikan secara sederhana

“… an updated version of classical political economy that was developed in the writings of free-market economists…”

“…sebuah versi terbaru dariekonomi politikklasikyang dikembangkandalam tulisan-tulisanekonompasar bebas…” (terjemahan).

Definisi yang lebih lengkap dari neoliberalisme dapat ditemukan pada pendapat Balaam dan Veseth (2005:507) yang mengartikan Neoliberalisme sebagai

a viewpoint that favors a return to the economic policies advocated by classical liberals such as Adam Smith and David Ricardo. Neoliberalism emphasizes market deregulation, privatization of government enterprises, minimal government intervention, and open international markets. Unlike classical liberalism, neoliberalism is primarily an agenda of economic policies rather than a political economy perspective”.


(25)

“sudut pandang yang menguntungkan kembali ke kebijakan ekonomi yang dianjurkan oleh kaum liberal klasik seperti Adam Smith dan David Ricardo. Neoliberalisme menekankan deregulasi pasar, privatisasi perusahaan pemerintah, intervensi pemerintah yang minimal, dan pasar internasional terbuka. Tidak seperti liberalisme klasik, neoliberalisme mengutamakan agenda kebijakan ekonomi daripada perspektif ekonomi politik "(terjemahan).

Dari definisi singkat diatas memperjelas tentang teori Neoliberalisme. Selanjutnya ada dua pandangan dasar Neoliberalisme menurut Wibowo dan Francis, yakni penolakan teoritis terhadap negara. Dan menurutnya pemahaman neoliberalisme, adalah segala campur tangan negara yang ditolak oleh para ekonom beraliran Neoliberalisme (Wibowo dan Francis 2003:275). Selanjutnya mekanisme pasar pada dasarnya sudah cukup untuk menggerakkan roda ekonomi, atau bahwa invisible hand cukup membuat lancar produksi, distribusi maupun konsumsi. Setiap campur tangan negara hanya akan menimbulkan distorsi. Perencanaan ekonomi sentralistik, proteksionisme, regulasi ekonomi yang berlebihan, dominasi pemerintah dalam berbagai sektor ekonomi, berkembangnya badan usaha milik negara, subsidi terus-menerus, serta strategi industri subsitusi impor, menjadi sasaran kritik komunitas Neoliberal. Sebagai alternatif mereka menganjurkan kepada pemerintah untuk melakukan reformasi dalam bentuk deregulasi, liberalisasi ekonomi, dan privatisasi badan usaha milik negara untuk mengatasi memburuknya situasi ekonomi (Wibowo dan Francis 2003:277).


(26)

Peranan negara harus keluar dari ekonomi, termasuk keluar dari kegiatan program kesejahteraan karena program ini menimbulkan defisit. Dengan mengurangi program kesejahteraan, kas pemerintah akan diringankan. Situasi ini akan memungkinkan pemerintah untuk menurunkan pajak pada para pelaku bisnis, yang pada gilirannya, akan mendapatkan gairah baru untuk berproduksi. Peningkatan pemikiran neoliberalisme politik adalah keputusan-keputusan yang menawarkan nilai-nilai, sedangkan secara bersamaan neoliberalisme menganggap hanya satu cara rasional untuk mengukur nilai, yaitu pasar. Semua pemikiran diluar pasar dianggap salah. Kapitalisme neoliberal menganggap wilayah politik adalah tempat dimana pasar berkuasa, ditambah dengan konsep globalisasi dengan perdagangan bebas sebagai cara untuk perluasan pasar melalui WTO (World Trade Organization), akhirnya kerap dianggap sebagai Neoimperialisme (Wibowo dan Francis 278:2003).

E.2 Konsensus Washington

Washington consensus adalah Konsensus White House (Gerakan Gedung Putih) adalah penganjur Debirokratikasi, Deregulasi, Privatisasi, dan Stabilisasi , dengan ciri khasnya komitmen kepada demokratik kapitalisme, free market, free enterprises, dan free trade.Semua ini dipaksakan Washington kepada negara-negara yang memanggil IMF masuk ke negaranya (Theo F. Toemion, 2009:19).


(27)

Konsensus Washington merupakan sebuah istilah yang dicetuskan oleh John Williamson pada 1989, di mana negara sebaiknya mengikuti ekonomi pasar untuk meningkatkan kinerja anggaran agar negara tidak terlalu menghabiskan sumber daya ekonominya bagi pengelolaan kepentingan publik, dan lebih berfokus ke pertumbuhan ekonomi serta peningkatan ekspor. Pada saat itu AS menyepakati pemberian bantuan untuk menangani krisis di Amerika Latin dengan mekanisme yang

melibatkan World Bank dan IMF (John Wiliamson “A Short History of

The Washington Consensus”)

John Wiliamson yang merupakan ekonom Amerika mendefinisikan Washinton Konsensus sebagai suatu kesepakatan para pejabat ekonomi Amerika Serikat (AS) pada saat presiden Ronald Reagen memimpin tahun 1981-1989 yang merangkum dalam sepuluh ketentuan yang ia sebut sebagai Konsensus Washington, yaitu : (1) Pengetatan Fiskal, (2) Mengurangi aloksi dan pemerintah untuk sektor public seperti kesehatan, pendidikan, dan pembangunan insfrastruktur, untuk dialihkan ke sektor yang lebih profit. (3) Refomasi Perpajakan. (4) Liberalisasi nilai suku Bunga. (5) Penerapan nilai tukar kompetitif (6) Liberalisasi perdagangan. (7) Liberalisasi investasi asing. (8) Privatisasi. (9) Deregulasi. (10) Jaminan kepemilikan Publik. Di antara sepuluh poin tersebut, privatisasi, liberalisasi, dan disiplin fiscal merupakan pilar utama untuk mendukung terlaksananya fungsi pasar dengan baik (Wiliamson 2004:4-10).


(28)

Sedangkan menurut John Perkin Konsensus Washington diartikan sebagai proses perumusannya yang melibatkan para politisi kongres, teknokrat dan birokrat, pemimpin lembaga financial dan agen-agen ekonomi pemerintah AS yang semuanya berada di Washington. Selain itu, ketentuan ini juga dijalankan juga oleh lembaga-lembaga financial seperti IMF, Bank Dunia dan departemen-departemen keuangan AS yang berpusat di Washington. Dari proses perumusan dan keterlibatan actor-aktor didalamnya dapat dilihat bahw peran dan dominasi AS dalam menerapkan paradigm pasar bebas (free market Paradigm) sangat dominan di era global. Didukung oleh kekuatan ekonomi politik sebesar ini, serta operasi-operasi rahasia baik yang lunak maupun yang kasar Konsensus Washington pun mengedepankan sebagai paradigm utama dalam kebijakan pembangunan Internasional (John Perkin 2005:26).

E.3 Ekonomi Politik Internasional

Pengertian Ekonomi Politik Internasional merupakan sebuah diskursus ilmu sosial yang baik dulu maupun sekarang sudah ada. Kemudian perkembangannya menjadi sebuah studi yang didalamnya terdapat berbagai disiplin ilmu yakni; ilmu politik, sejarah dan filsafat. Namun dimasa sekarang lebih menghadapkan kepada masalah sosial yang menyangkut aspek internasional dan multilasional (Ballam dan veseth 2005 : 4). Namun lebih lanjut Ballam dan veseth berpendapat (2005 : 504);


(29)

“an original element of the bretton woods system that was not successfully implemented. a weaker institution, the GATT, was eventually created to take the place of the ITO alongside the World bank and the IMF.”

“unsur asli dari sistem Bretton Woods yang tidak berhasil dilaksanakan, lembaga lemah,GATT,akhirnya diciptakan untuk menggantikan ITO bersama bank Dunia dan IMF.”(terjemahan).

Namun masih dalam buku International Political Economy oleh David N. Balaam, Michael Veseth. Susan Strange (2005 : 504) mendeskripsikan Ekonomi Politik Internasional (EPI) sebagai berikut; “….a vast, wide open range where anyone interested in the behavior of men and women in society could roam just as freely as the deer and antelope.There were no fences or boundary-post to confine the historians to history, the economist to economics. Political scientist had no exclusive rights to write about politics, nor sociologists to write about social relations.”

“…yang luas, berbagai terbuka lebar di mana siapa saja yang tertarik dalam perilaku laki-laki dan perempuan dalam masyarakat hanya bisa berkeliaran bebas seperti rusa dan kijang. Tidak ada pagar atau batas-pos untuk membatasi sejarawan sejarah, ekonom untuk ekonomi. Ilmuwan politik tidak memiliki hak eksklusif untuk menulis tentang politik, atau sosiolog untuk menulis tentang hubungan sosial.” (terjemahan). Namun Rowland Maddock berpendapat berbeda yakni;

“an international political economy is not a tighly defined and exclusive discipline with a well-established methodology. it is more a set of issues, which need investigating and which tend to be ignored by the more established disciplines, using whatever tools are at hand”

“ekonomi politik internasional bukanlah suatu disiplin ilmu yang sangat ketat didefinisikan dan eksklusif dengan metodologi yang mapan. ini lebih merupakan sekumpulan isu, yang memerlukan penyelidikan dan cenderung diabaikan oleh disiplin yang lebih mapan, dengan menggunakan alat apapun yang yang dihadapi”


(30)

Studi mengenai EPI merupakan studi yang dapat dibilang masih baru, karena studi ini muncul pada saat krisis oil schock tahun 1970an yang telah memunculkan kesadaran bahwa politik dan ekonomi saling mempengaruhi.Sebelum itu para akademisi ekonomi dan politik seringkali memisahkan keduanya. Para Profesor ekonomi percaya bahwa pasar terisolasi dari isu politik (Gilipin,2001; 77). Ekonomi politik internasional sendiri berusaha untuk mengemukakan bahwa sebenarnya ekonomi mempunyai keterikatan dengan power atau politik.

Negara dalam berhubungan dengan negara lain selalu berkeinginan untuk memenuhi kepentingannya. Untuk itu guna mencapai hal tersebut, negara dapat memanipulasi kekuatan pasar untuk meningkatkan power dan pengaruh (Gilpin, 2001;78). Terbentuknya rezim sebagai alat untuk mengatur pasar turut menciptakan terpenuhinya kebutuhan politik suatu negara. Ketika rezim dapat mempengaruhi distribusi pendapatan maka negara berusaha untuk mempengaruhi desain dan fungsi dari institusi, hal ini untuk memenuhi kebutuhan politik, ekonomi, dan kepentingan lain. Maka studi ekonomi politik internasional mengasumsikan bahwa negara, MNC, dan aktor lainnya menggunakan power yang dimiliki untuk mempengaruhi nature dari rezim internasional. (Gilpin, 2001;78)

Setelah negara menggunakan powernya untuk mempengaruhi rezim internasional seperti WTO dan GATT maka telah terjadi pula


(31)

kepentingan politik yang berhubungan dengan ekonomi. Menurut Gilpin (2001) dalam bukunya Global Political Economy mengungkapkan bahwa ekonomi politik internasional merupakan dinamika interaksi global antara pengejaran kekuasaan (politik) dan pengejaran kekayaan (ekonomi), yang terdapat hubungan timbal balik diantara keduanya. Pengertian lain mengenai ekonomi politik internasional diungkapkan oleh John Ravenhill yang mendefinsikan ekonomi politik internasional sebagai “field of enquiry”, yaitu sebagai suatu subjek permasalahan yang fokus utamanya adalah hubungan (interrelationship) antara kekuasaan publik dan pribadi dalam persoalan pengalokasian sumberdaya yang terbatas atau langka (Ravenhill,2008;21).

E.4 Pendidikan Nasional

Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan/atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan ayat (3) menegaskan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional


(32)

yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. Untuk itu, seluruh komponen bangsa wajib mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan salah satu tujuan negara Indonesia. E.5 Privatisasi

Dalam buku dalam Indra Bastian definisi Privatisasi diartikan kedalam beberapa pandangan diantaranya ; menurut Peacock Privatisasi pada umumnya di definisikan sebagai pemindahan industri dari milik pemerintah ke sektor swasta yang berimplikasikan bahwa saham dominan dalam pemilikan aktiva akan berpindah kepemegang saham. Beesley dan Littlechild mengartikan Privatisasi sebagai pembentukan perusahaan. Dan menurut Company act, bahwa penjualan yang berkelanjutan sekurang-kurangnya sebesar 50 persen dari saham milik pemerintah ke pemegang saham swasta. Tetapi, yang menggarisbawahi ide ini adalah membuat konsep pengembangan industri dengan cara meningkatkan peranan pada kekuatan pasar.

Menurut Clementi terdapat empat batasan dalam kebijakan pemerintahan Thatcer tentang institusi pada perusahaan sektor publik secara keseluruhan, antara lain:

a. Memungkinkan pemindahan terhadap kepemilikan swasta


(33)

c. Menghapus fungsi tertentu yang dilakukan oleh sektor publik secara bersamaan atau melakukan subkontrak kepada sektor swasta sehingga dapat dilakukan dengan biaya yang lebih rendah.

d. Membebani masyarakat pada jasa di sektor publik yang disediakan secara percuma.

Pirie mendefinisikan privatisasi sebagai ide yang melibatkan pemindahan produksi barang dan jasa dari sektor publik ke sektor swasta. Sebagai pembagi terendah, mengerjakan secara swasta yang telah dikerjakan secara publik. Ini bukan kebijakan, tetapi sebuah pendekatan. Sebuah pendekatan yang mengakui bahwa peraturan dimana pasar mengatur aktivitas ekonomi adalah lebih dari peraturan yang dilakukan oleh manusia dan hukum.

Kay dan Thompson mendefinisikan privatisasi adalah terminologi yang digunakan untuk mencakup beberapa perbedaan secara alternatif, yang berarti mencakup perubahan hubungan antara pemerintah dengan sektor swasta. Di antara yang paling penting adalah adanya dinasionalisasi penjualan kepemilikan publik, deregulasi terhadap pengenalan kompetisi ke status monopoli dan kontrak melalui franchise ke perusahaan swasta terhadap produksi barang dan jasa yang dibiayai oleh negara (27-29:2000). F. Metode Penelitian

Penelitian kualitatif adalah metode yang banyak mengandalkan data–data primer dan sekunder.Melalui studi kepustakaan diharapkan dapat


(34)

dipelajari bagaimana dampak Konsensus Washington terhadap liberalisasi Pendidikan Di Indonesia dengan menganalisis Undang-Undang Perguruan Tinggi tahun 2012. Data-data yang digunakan dalam penelitian ini berupa buku-buku, jurnal, hasil penelitian sebelumnya dan media masa.

Dalam penelitian ini pendekatan yang dilakukan adalah melalui pendekatan kualitatif.Artinya data yang dikumpulkan bukan berupa angka-angka, melainkan data tersebut berasal dari, lainnya.Sehingga yang menjadi tujuan dari penelitian kualitatif ini adalah ingin menggambarkan realita empirik di balik fenomena secara mendalam, rinci dan tuntas. Oleh karena itu penggunaan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini adalah dengan mencocokkan antara realita empirik dengan teori yang berlaku dengan menggunakan metode diskriptif.

Menurut Keirl dan Miller dalam Moleong yang dimaksud dengan

penelitian kualitatif adalah “tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial

yang secara fundamental bergantung pada pengamatan, manusia, kawasannya sendiri, dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan peristilahannya”. Metode kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, di mana peneliti adalah sebagai instrument kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara gabungan (Moleong, 2004:131).

Dalam penulisan skripsi ini, menggunakan teknik pengumpulan data dan analisa data. Dalam pengumpulan data skripsi menggunakan studi kepustakaan yakni memperoleh data dari berbagai hasil penelitian, seperti


(35)

buku-buku, jurnal-jurnal, dan artikel online yang bersesuain. Dalam studi kepustakaan, penulis memperoleh data dari Perpustakaan Pusat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia (UI), Perpustakaan Miriam Budiardjo Research Center Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI, Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Perpustakaan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Dalam teknik analisa data, penulis membaca dan mencatat serta mengolah data penelitian, dengan cara menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematis agar lebih mudah dipahami dan disimpulkan. Melalui teknik tersebut, membantu dalam penulisan skiripsi yang berjudul dampak Konsensus Washington ekonomi politik terhadap liberalisasi pendidikan di Indonesia (Undang-Undang Perguruan Tinggi tahun 2012).

E. Sistematika Penulisan

Sistem penulisan skripsi ini adalah :

BAB I PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah B. Pertanyaan Penelitian

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian D. Tinjauan Pustaka

E. Kerangka Teoritis F. Metode Penelitian G. Sistematika Penulisan


(36)

BAB II LATAR BELAKANG TERBENTUKNYA KONSEP KONSENSUS WASHINGTON

A. Proses terbentuknya IMF dan World Bank

B. Pandangan Konsensus Washington menurut John Wiliamson

C. Indonesia dan WTO

BAB III KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI INDONESIA SEBELUM

DAN SESUDAH RATIFIKASI GATS

A. Kebijakan pendidikan tinggi menurut Undang-undang nomor 22 tahun 1961 tentang perguruan tinggi. serta UU No.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional B. Konsensus Washington dan Kebijakan Pendidikan Tinggi.

B1. Kebijakan Pendidikan Tinggi menurut PP No. 60 Tahun 1999 dan PP No.61 Tahun 1999.

C. Latar belakang pembentukan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan di Indonesia (UU BHP).

C.1 Privatisasi Pendidikan Melalui UU BHP.

D. Latar belakang pembentukan Undang-Undang Pendidikan Tinggi No. 12 Tahun 2012.


(37)

BAB IV ANALISIS DAMPAK KONSENSUS WASHINGTON DAN RATIFIKASI GATSTERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN TINGGI DI INDONESIA

A. Undang-Undang Pendidikan Tinggi No.12 Tahun 2012 dalam kerangka GATS.

B. Analisis dampak penerapan Undang-undangPerguruan Tinggi no. 12 tahun 2012.

BAB V KESIMPULAN

Daftar Pustaka Lampiran-lampiran


(38)

BAB II

LATAR BELAKANG TERBENTUKNYA KONSEP

KONSENSUS WASHINGTON

Pada bab ini, dipaparkan mengenai terbentuknya konsep Konsensus Washington. Bab ini terdiri dari Tiga bagian. Bagian pertama menjelaskan tentang proses terbentuknya IMF (International Monetary Fund). Bagian kedua Pandangan Konsensus Washington menurut Joseph Stiglitz dan John Wiliamson.Pada Bagian ketiga menjelaskan tentang peranan Indonesia di WTO (World Trading Organization) dan GATS (General Agreement on Trade in Services).

A. Proses Terbentuknya IMF dan World Bank

Dalam buku IMF (Apakah Dana Moneter Internasional Itu?IMF 2003:1-8) dijelaskan mengenai IMF. IMF merupakan merupakan salah satu badan khusus pada Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang didirikan berdasarkan perjanjian internasional pada tahun 1945 untuk membantu perekonomian dunia.Dengan markas besarnya berlokasi di Washington, D.C., IMF saat ini memiliki anggota sebanyak 184 negara. Pada tanggal 22 Juli 1944 melalui konfrensi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang diselenggarakan di Bretton Woods, New Hampshire Amerika Serikat sepakat untuk IMF. Pada dekade 1930, kegiatan ekonomi di sejumlah negara industri utama melemah, negara-negara industri tersebut berusaha untuk mempertahankan ekonomi mereka masing-masing dengan cara


(39)

perdagangan dunia, tingkat output, dan kesempatan kerja. Tujuan dibentuknya IMF pada saat itu dilakukan untuk menghindari terulangnya kejadian great depression (depresi besar) pada tahun 1930, maka 45 anggota sepakat untuk menyetujui kerangka ekonomi ini.

Negara-negara yang bergabung dengan IMF antara tahun 1945 dan 1971 setuju untuk menjaga nilai tukar mereka (pada dasarnya nilai tukar mata uang mereka dalam nilai dolar A.S., dan, dalam hal ini Amerika Serikat, nilai dolar A.S. dalam nilai emas) ditetapkan pada tingkat yang dapat disesuaikan, tetapi

penyesuaian hanya untuk mengoreksi “ketidakseimbangan fundamental” dalam

neraca pembayaran dan dengan persetujuan IMF. Ini kemudian disebut sistem nilai tukar Bretton Woods yang berlaku sampai tahun 1971 ketika pemerintah A.S. menangguhkan konvertibilitas dolar A.S. (dan cadangan dolar yang dipegang oleh pemerintah lain) menjadi emas. Sejak itu, anggota IMF sudah bebas memilih setiap bentuk pengaturan nilai tukar yang mereka inginkan (kecuali meman- cangkan nilai mata uang mereka pada emas): sejumlah negara sekarang mengizinkan mata uang mereka mengambang dengan bebas, sejumlah negara memancangkan mata uang mereka terhadap mata uang lain atau sekelompok mata uang, sejumlah negara lainnya mengadopsi mata uang negara lain sebagai mata uang mereka sendiri, dan sejumlah negara berpartisipasi dalam blok mata uang. Pada waktu yang sama ketika IMF diciptakan, Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (International Bank forReconstruction and Development—IBRD), lebih umum dikenal sebagai Bank Dunia, didirikan untuk


(40)

mempromosikan pembangunan ekonomi jangka panjang, termasuk melalui pembiayaan proyek infrastruktur, seperti pembangunan jalan dan meningkatkan suplai air. IMF dan Kelompok Bank Dunia—yang termasuk Korporasi Pembiayaan Internasional (International Finance Corporation— IFC) dan Asosiasi Pembangunan Internasional (InternationalDevelopment Association— IDA) saling melengkapi pekerjaan masing-masing.Sementara perhatian IMF terutama pada kinerja ekonomi makro, dan pada kebijakan makro ekonomi dan sekor keuangan, Bank Dunia terutama menangani pembangunan jangka panjang dan isu-isu pengurangan kemiskinan.Kegiatannya termasuk memberikan pinjaman kepada negara-negara berkembang dan negara-negara yang berada dalam transisi, pembiayaan proyek infrastruktur, reformasi sektor ekonomi khusus, dan reformasi struktural yang lebih luas.

IMF, sebaliknya, tidak menyediakan pembiayaan untuk sektor atau proyek khusus tetapi sebagai dukungan umum terhadap neraca pembayaran maupun cadangan devisa suatu negara sementara negara tersebut sedang mengambil langkah kebijakan untuk mengatasi kesulitannya. Ketika IMF dan Bank Dunia didirikan, suatu organisasi untuk mempromosikan liberalisasi perdagangan dunia juga dipikirkan, tetapi baru tahun 1995 Organisasai Perdagangan Dunia (World Trade Organization—WTO) dibentuk. Diselang tahun-tahun tersebut, isu-isu perdagangan diselesaikann melalui Perjanjian Umum Tarif dan Perdagangan (GeneralAgreement on Tariffs and Trade—GATT).


(41)

B. Pandangan Konsensus Washington John Wiliamson

Dalam pidato doktoralnya Mochtar Mas’oed menjelaskan awal perkembangan Konsensus Washington, berawal dari kebijakan ekonomi yang dilakukan Presiden Ronald Reagen bersama-sama dengan Perdana Menteri Inggris Margareth Thatcher mulai menjalankan revolusi neo-liberal di Inggris. Lalu pada saat Ronald Reagan menjadi Presiden AS, gerakan “revolusioner” Perdana Menteri itu ditanggapi dengan gerakan serupa di AS, sehingga muncul julukan Reagan-Thatcherism; yang kemudian juga didukung oleh Kanselir Jerman Helmut Kohl. Dengan dukungan kuat dari ketiga negara yang ber-pengaruh besar ini, neo-liberalisme menyebar ke seluruh dunia mela-lui berbagai lembaga internasional, terutama yang bobot pengaruh keanggotannya ditentukan oleh besarnya sumbangan pendanaannya, seperti the International Monetary Fund (IMF) dan the World Bank (Bank Dunia). Dengan kata lain, “neo-liberalisme” telah menjadi COWDOG (common wisdom of the dominant group) (Mohtar Mas’oed 2002:8-9). Washington Consensus dipicu oleh pengalaman negara-negara Amerika Latin pada dekade 1980an. Saat itu mekanisme pasar di wilayah tersebut tidak berfungsi dengan baik akibat kebijakan-kebijakan pemerintah yang kacau. PDB terus merosot selama tiga tahun berturut-turut, defisit anggaran meleset tajam hingga mencapai tingkat 5-10 persen dari PDB2, sementara pengeluaran pemerintah digunakan untuk mesubsidi sektor negara tidak efisien. Diterapkannya kontrol yang ketat terhadap impor serta dorongan yang minim pada ekspor menghadapkan perusahaan pada insentif yang terbatas untuk meningkatkan efisiensi maupun menjaga kualitas produk sesuai estándar internasional. Awalnya,


(42)

defisit dibiayai melalui pinjaman termasuk pinjaman luar negeri besar-besaran. Dorongan untuk mendaur ulang petrodollars di kalangan perbankan internasional

saat itu serta rendahnya tingkat suku bunga riil membuat “meminjam” menjadi

aktivitas yang sangat menarik bahkan untuk investasi dengan tingkat kembalian yang rendah. Hanya saja, setelah dekade 1980an, melonjaknya tingkat suku bunga riil di Amerika Serikat membatasi berlajutnya pinjaman, meningkatkan beban pembayaran bunga dan memaksa banyak negara terus menerus mencetak uang untuk membiayai kesenjangan antara tingginya belanja publik yang terus berlangsung (serta diperparah oleh membumbungnya pembayaran bunga pinjaman) dengan basis pajak yang terus mengerut. Hasil akhirnya adalah inflasi yang sangat tinggi dan tidak terkendali. Kondisi ini menyebabkan perilaku ekonomi lebih terarah pada upaya untuk melindungi nilai (value) daripada bagi aktivitas investasi produktif. Mekanisme harga kemudian kehilangan fungsi utamanya untuk menyampaikan informasi.

Konsensus Washington bermula ketika John Wiliamson Istilah "Konsensus Washington" diciptakan pada tahun 1989. Penggunaan perrtama Istilah tersebut terdapat pada latar belakang makalah, makalah tersebut digunakan pada Peterson Institute for International Economics diselenggarakan dalam rangka untuk memeriksa sejauh mana ide-ide lama pembangunan ekonomi yang telah diatur kebijakan ekonomi Amerika Latin sejak tahun 1950 yang yang tersingkir oleh seperangkat gagasan yang telah lama diterima sebagai tepat dalam OECD (Organization for Economic Co-operation and development). Dalam rangkauntuk mencoba dan memastikan bahwa latar belakang makalah untuk


(43)

konferensi menggunakan seperangka tmasalah, saya membuat daftar sepuluh kebijakan yang saya pikir lebih atau kurangsemua orang di Washington akan setuju guna membantu Latin Amerika, dan diberi label"Konsensus Washington" (John Wiliamson, A Short History of the Washington Consensus 2004:1)

John Wiliamson menyebutkan pengistilahan Konsensus Washington awalnya tidak ditulis sebagai kebijakan pembangunan (The Washington Consensus as Policy Prescription for Development 2004:1-2) tetapi sebagai saran untuk kebijakan pembangunan di Amerika latin. Lebih lanjut John Wiliamson menyatakan formulasi Konsensus Washington telah digunakan dalam tiga cara yang berbeda yakni;

1. Konsensus Washington merupakan saran atau formulasi reformasi sepuluh kebijakan untuk memperbaiki kondisi ekonomi di Amerika Latin, namun terjadi persengkongkolan untuk menglobalkan formulasi tersebut. 2. Saran Konsensus Washington oleh AS melalui IMF dan World Bank digunakan sebagai formulasi umum guna membantu perekonomian negara berkembang.

3. Kritikus memandang kebijakan Wiliamson sebagai agen neoliberalisme yang tercantum dalam Konsensus Washington.

Dari ketiga cara tersebut John Willimson berpandangan cara-cara IMF-lah yang telah banyak berubah dari tujuan Bretton Woods System sehingga mempermainkan krisis di Asia dengan metode Amerika Latin.


(44)

C. Peran Indonesia di WTO dan GATS.

World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia merupakan satu satunya badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antar negara. Indonesia masuk menjadi anggota WTO

ditandai dengan ratifikasi “Agreement Establising the World TradeOrganization” melalui Undang-Undang No.7 Tahun 1994 tanggal 2 Nopember 1994.Dan resmi menjadi anggota WTO tahun 1995 ( Dani Setiawan Liberalisasi Pendidikan dan WTO 2004:2). Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui suatu persetujuan yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan internasional sebagai hasil perundingan yang telah ditandatangani oleh negara-negara anggota. Persetujuan tersebut merupakan kontrak antar negara-anggota yang mengikat pemerintah untuk mematuhinya dalam pelaksanaan kebijakan perdagangannya.

WTO secara resmi berdiri pada tanggal 1 Januari 1995. Persetujuan umum mengenai tarif dan perdagangan telah membuat aturan-aturan untuk sistem ini. Sejak tahun 1947-1994 sistem GATT memuat peraturan-peraturan mengenai perdagangan dunia dan menghasilkan pertumbuhan perdagangan internasional tertinggi. Hampir setengah abad teks legal GATT masih tetap sama sebagaimana pada tahun 1947 dengan beberapa penambahan diantaranya bentuk persetujuan disepakati oleh beberapa negara saja dan upaya-upaya pengurangan tarif. Masalah-masalah perdagangan diselesaikan melalui serangkaian perundingan


(45)

multilateral yang dikenal dengan nama “Putaran Perdagangan” (Trade Round)”,

sebagai upaya untuk mendorong liberalisasi perdagangan internasional.

Sebagai upaya mewujudkan cita-cita perbaikan ekonomi dunia yang hancur akibat perang dunia ke II. Amerika Serikat mempelopori di selenggarakannya konfresi internasional diadakan di Bretton Woods, New Hampsire, AS pada tangga 22 Juli 1947. Konfrensi yang kemudian di kenal dengan konfrensi Bretton woods di hadiri oleh 44 perwakilan negara. pertemuan selama 22 negara tersebut akhirnya melakukan Havana Charter yang berisikan perjanjian Internasional Monetary Fund (IMF), namun karena kongres AS sebagai inisiator International Trade Organization (ITO) gagal mencapai kesepakatan tentang bentuk organisasi dan sistem operasi ITO, maka pembentukan ITO pun dibubarkan dan kemudian sebagai gantinya di bentuk General on Tarif and Trade (GATT) pada 1947. (Hatta, 2006: 53-56).

Dalam perkembangannya, GATT telah melakukan beberapa perundingan pertama di lakukan di Geneva, Switzerland (1947), kemudian Annency (France 1948) Torguay, Switzerland (1950), Geneva Switzerland (1956), Dillon round, Geneva (1960-1961), Kenedy round, Geneva (1964-1967), Tokyo round, Geneva (1973-1979) dan terakhir Uruguay Round Marrakesh (1986-1994). Perundingan terakhir inilah yang dianggap salah satu perundingan yang paling menentukan perkembangan GATT di masa yang akan datang. Putaran Uruguay merupakan yang menghasilkan persetujuan untuk membentuk sebuah organisasi perdagangan yang di sebut World Trade Organization (WTO) (Cano, Guiomar Alonso, dkk. (eds), 2005: 38-39).


(46)

C.1 Ratifikasi Indonesia dalam GATS di bidang pendidikan.

GATS (General Agreement on Trade and Service) adalah kesepakatan multilateral dan berkekuatan hukum yang mengatur tentang perdagangan jasa internasional. Perjanjian ini mengatur 12 sektor jasa termasuk jasa pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. Ada empat metode penyediaan pendidikan oleh asing yaitu: (i) cross border supply, (ii) consumption abroad, (iii) commercial presence, (iv) presence of natural person (Antisipasi Rencana Ratifikasi GATS, UGM : 2005)

Ratifikasi adalah (ra.ti.fi.ka.si n) pengesahan suatu dokumen negara oleh parlemen, khususnya penegesahan undang-undang, perjanjian antar negara, dan persetujuan hukum internasional (KBBI. 2008-1147). Konsekuensi dari komitmen Indonesia masuk menjadi anggota WTO sejak tahun 1994 (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization), telah diikuti dengan kesertaan dalam menandatangani GATS (General Agreement on Trade in Services). Pengaturan mengenai GATS terdapat dalam Annex 1b dalam Piagam WTO, dan merupakan bagian tak terpisahkan dari WTO. Oleh Karena itu, lingkup keberlakuan dari GATS tersebut mencakup negara-negara anggotanya dari seluruh dunia. Khususnya ASEAN, memandang perlu untuk mengambil sikap mengenai kerjasama di bidang jasa, terutama dalam menghadapi


(47)

perdagangan di bidang jasa yang semakin global, khususnya setelah Perundingan putaran Uruguay berhasil memasukkan perdagangan jasa dalam agenda perundingannya yang bermuara pada disepakatinya GATS (Integrasi Ekonomi ASEAN dibidang Jasa, 2009) Kemudian dalam Uruguay round yang ditandatangani pada tahun 1994 menjadi Undang-Undang No.7 Tahun 1994 tanggal 2 Nopember 1994 memberikan waktu kepada Indonesia untuk melaksanakan kebijkan pendidikan dalam aturan GATS yang mengatur liberalisasi perdagangan pada 12 sektor, dimana perjanjian tersebut menetapkan pendidikan sebagai salah satu bentuk pelayanan sektor publik yang harus diprivatisasi. Arah liberalisasi pendidikan sejalan dengan logika ekonomi kapitalisme dengan menjadikan pendidikan sebagai barang komersial (Komoditi). Klasifikasi sektor jasa menurut GATS tersebut ada 12 yaitu :

Business services, Communication services, Construction and related engineering services, Distribution services, Education services, Environmental services, Financial services, Health related and social services, Tourism and travel related services, Recreational, cultural and sporting services, Transportational services, and Other services not included elsewhere.”

Perjanjian tersebut mengatur tata cara perdagangan barang, jasa, dantrade related intellectual property rights (TRIPS) atau hak atas kepemilikan intelektual yang terkait dengan perdagangan. Dalam bidang jasa, yang masuk sebagai obyek pengaturan WTO adalah semua komoditas jasa, tanpa terkecuali bidang pendidikan. Liberalisasi (Kapitalisasi) pendidikan sejatinya merupakan kepentingan kelas pemodal dengan


(48)

orientasi surplus value. Praktek liberalisasi akan menghilangkan tanggung jawab Negara dengan menyerahkan pendidikan kepasar, karena dunia pendidikan merupakan ladang bisnis yang sangat menjanjikan (Victor Nalle 2011:561-560).

Sejak putaran Doha di Qatar tahun 2000, Indonesia sudah berkomitmen dalam GATS dibidang pendidikan hal ini ditandai dengan diundangkannya UU Sisdiknas Tahun 2003 atau UU No.20 Tahun 2003. Namun dengan dimakzulkan UU Sisdiknas tersebut oleh Mahkamah Konstitusi maka saat ini UU tersebut tidak berlaku lagi (Sofian Efendi. GATS: Neo-imprialisme modern dalam Pendidkan 2005:3). Jadi secara tidak langsung segala kesepakatan yang terjadi didalam GATS haruslah dipatuhi dan dijalankan dengan cara meratifikasi perjanjian tersebut menjadi sebuah Undag-Undang, khususnya dalam bahasan skripsi ini adalah Undang-Undang Perguruan Tinggi.


(49)

BAB III

KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI INDONESIA SEBELUM DAN SESUDAH RATIFIKASI GATS

Pada bab ini menjelaskan tentang Kebijakan pendidikan tinggi yang telah dilaksanakan oleh pemerintah dimulai dari Undang-undang nomor 22 tahun 1961 tentang perguruan tinggi hinga Undang-Undang Pendidikan Tinggi No.12 tahun 2012.

A. Kebijakan pendidikan tinggi menurut Undang-Undang nomor 22tahun 1961 tentang perguruan tinggi. serta UU No.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Kebijakan mengenai pendidikan tinggi di Era Orde Lama telah ada dengan di Undangkannya UU nomor 22 tahun 1961 tentang pendidikan tinggi. Didalam UU tersebut terdapat sepuluh bab untuk lebih jelasnya dapat dilihat didalam tabel 1.1 UU No.22 Tahun 1961 berikut ini;

No Bab Pasal Penjelasan

1 BAB I 1-5 Ketentuan umum, seperti; Arti perguruan tinggi, Tujuan, Kebebasan Ilmiah dan Mimbar serta kebebasan berorganisasi.

2 BAB II 6-8 Bentuk, tugas dan susunan perguruan tinggi 3 BAB III 9-10 Tingkat dan susunan pelajar, ujian dan gelar


(50)

4 BAB IV 11-16 Kelengkapan Perguruan Tinggi

5 BAB V 17 Kemahasiswaan dalam Perguruan Tinggi 6 BAB VI 18-21 Definisi Perguruan Tinggi

7 BAB VII 22-30 Perguruan Tinggi Swasta 8 BAB VIII 31-34 Ketentuan Lain

9 BAB IX 36-36 Ketentuan Peralihan

10 BAB X 37 Penutup

Sumber : diolah dari UU No.22 Tahun 1961

Kebijakan mengenai pendidikan tinggi pada masa Orde Lama sangat dipengaruhi oleh pengaruh politik Manipol Usdek. Bahkan dapat dikatakan bahwa pemerintah sadar benar akan posisi pendidikan sebagai mekanisme rekayasa sosial, budaya.ekonomi dan politik karena itu tujuan pendidikan nasional serta upaya pendidikan tak mungkin dilepaskan dari konsep Manipol Usdek. Pancasila-Manipol/Usdek adalah Moral dan Falsafah Hidup BangsaIndonesia serta merupakan manifesto persatuan Bangsa dan Wilayah Indonesia, demikian pula merupakan perasan kesatuan jiwa sebagai Weltanschaung Bangsa Indonesia dalam penghidupan Nasional sebagai landasan bagi semua pelaksanaan Pendidikan Nasional adalah Pancasila-Manipol/Usdek. Dengan demikian, Pancasila-Manipol/Usdek harus menjiwai semua segi Pendidikan Nasional (Pasal 1, Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1965 Tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila)

Pada pasal 1 UU No. Tahun 1961 dijelaskan mengenai Perguruan Tinggi adalah lembaga ilmiah yang mempunyai tugas menyelenggarakan pendidikan dan


(51)

pengajaran di atas perguruan tingkat menengah, dan yang memberikan pendidikan dan pengajaran berdasarkan kebudayaan kebangsaan Indonesia dan dengan cara ilmiah. Dari penjelasan mengenai UU No. 22 Tahun 1961 yang merupakan Undang-undang pertama Pendidikan Tinggi di Indonesia masih memerlukan beberapa penyempurnaan sehingga pada pemerintahan orde baru disempurnakan melalui UU No.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Penyempurnaan pada UU No. 22 tahun 1961 tertuang dalam UU No.2 tahun 1989 tentang sistim pendidikan nasional yang kali ini mengikuti GBHN (Garis Besar Haluan Negara). Pada UU ini terdapat 20 Bab dan 59 pasal yang merupakan penyempurnaan UU sebelumnya, berikut tabel 1.2 UU No.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional;

No Bab Pasal Penjelasan

1 BAB I 1 Ketentuan umum, pendidikan nasional

2 BAB II 2-4 Dasar, Fungsi Dan Tujuan

3 BAB III 5-8 Hak Warga Negara Untuk Memperoleh Pendidikan

4 BAB IV 9-11 Satuan, Jalur Dan Jenis Pendidikan 5 BAB V 12-22 Jenjang Pendidikan

6 BAB VI 23-26 Peserta Didik

7 BAB VII 27-32 Tenaga Kependidikan 8 BAB VIII 33-36 Sumber Daya Pendidikan


(52)

10 BAB X 40 Hari Belajar Dan Libur Sekolah 11 BAB XI 41-42 Bahasa Pengantar

12 BAB XII 43-46 Penilaian

13 BAB XIII 47 Peranserta Masyarakat

14 BAB XIV 48 Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional 15 BAB XV 49-51 Pengelolaan

16 BAB XVI 52-53 Pengawasan

17 BAB XVII 54 Ketentuan Lain-Lain

18 BAB

XVIII

55-56 Ketentuan Pidana

19 BAB XIX 57 Ketentuan Peralihan 20 BAB XX 58-59 Ketentuan Penutup

(Sumber :UU No.2 Tahun 1989)

Dari lima puluh bab dan lima puluh sembilan pasal tersebut, undang-undang tentang sisdiknas ini mencerminkan tentang kebijakan politik orde baru yang berhaluan Pancasila dan GBHN yang ditetapkan oleh Presiden, hal ini terlihat melalui pasal 2 UU No.2 Tahun 1989 tentang sisdiknas.

Menurut peraturan UU No. 2/1989 tentang Sisdiknas yakni Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang; Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;


(53)

Sistem pendidikan nasional adalah satu keseluruhan yang terpadu dari semua satuan dan kegiatan pendidikan yang berkaitan satu dengan lainnya untuk mengusahakan tercapainya tujuan pendidikan nasional; Jenis pendidikan adalah pendidikan yang dikelompokkan sesuai dengan sifat dan kekhususan tujuannya; Jenjang pendidikan adalah suatu tahap dalam pendidikan berkelanjutan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan para peserta didik serta keluasan dan kedalaman bahan pengajaran; Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu;Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dalam penyelenggaraan pendidikan; Tenaga pendidik adalah anggota masyarakat yang bertugas membimbing, mengajar dan/atau melatih peserta didik; Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran sertacara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar; Sumber daya pendidikan adalah pendukung dan penunjang pelaksanaan pendidikan yang terwujud sebagai tenaga, dana, sarana dan prasarana yang tersedia atau diadakan dan didayagunakan oleh keluarga, masyarakat, peserta didik dan Pemerintah, baik sendiri-sendiri maupun bersamasama;Warga negara adalah warga negara Republik Indonesia;Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab atas bidang pendidikan nasional (UU No. 2/1989).


(54)

Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan mengenai arti kata globalisasi yakni :globalisasi (/glo·ba·li·sa·si/ ) proses masuknya ke ruang lingkup dunia (Kamus Besar bahasa Indonesia 2008:455).

Pada dalam buku Stiglitz yang diterjemahkan dan diberi judul Washington Konsensus: Arah Menuju Jurang Kemiskinan yang diterjemahkan oleh Darmawan Triwibowo. Di dalam buku ini, Stiglitz Menjelaskan mengenai kesalahan-kesalahan penerapan resep Konsensus Washington di negara-negara berkembang, yang justru membawa negara-negara berkembang pada kesengsaraan. Selanjutnya dalam buku Globalization and Its Discontent. Buku tersebut mendapat respon dari seluruh dunia karena mengkritik secara tajam Kebijakan Konsensus Washington beserta lembaga-lembaga donor yang terkait didalamnya. Stiglitz berpandangan bahwa dia meyakini globalisasi yaitu penghapusan hambatan-hambatan terhadap perdagangan bebas dan integrasi ekonomi yang semakin kuat dapat menjadi suatu kekuatan yang kekal dan berpotensi untuk memakmurkan setiap orang di dunia, khususnya orang-orang miskin. Tetapi dia juga percaya bahwa jika memang demikian keadaannya, pengelolaan globalisasi selama ini, termasuk berbagai perjanjian perdagangan internasional yang telah memainkan peranan besar dalam menghapuskan hambatan-hambatan tersebut dan kebijakan-kebijakan yang diterapkan pada negara-negara berkembang dalam proses globalisasi, perlu dipertimbangkan kembali secara radikal (Stiglitz 2003:ix-x).

Stiglitz melanjutkan bahwa pentingnya memandang permasalahan secara adil dengan mengesampingkan ideologi serta melihat pada bukti-bukti sebelum


(55)

tidak mengherankan, ketika dia berada di Gedung Putih dan Bank Dunia, dia melihat banyak keputusan dibuat seringkali karena pertimbangan ideologi dan politik. Akibatnya banyak tindakan salah arah yang dilakukan, tindakan yang tidak memecahkan masalah yang ada, tetapi yang sesuai dengan kepentingan atau keyakinan dari orang-orang yang berkuasa. Dengan mengutip Pierre Bourdieu, Stiglitz mengatakan mengenai perlunya para politisi berperilaku layaknya akademisi serta terlibat dalam perdebatan ilmiah yang berdasarkan pada fakta-fakta dan bukti-bukti yang kuat. Sayangnya, hal sebaliknyalah yang justru amat sering terjadi. Ketika para akademisi terlibat dalam pembuatan kebijakan, rekomendasi-rekomendasinya menjadi bernilai politis dan mulai membengkokkan bukti agar sesuai dengan kehendak mereka yang berkuasa (Stiglitz2003:x).

Menurut buku Making Globalization Work melihat persoalan globalisasi secara lebih meluas berikut strategi-strategi praktis yang dapat diacu bagi seluruh pengambil kebijakan di seluruh dunia. Lebih lanjut Stiglitz menuliskan keyakinnya bahwa warga negara yang memilki informasi yang lebih baik mungkin untuk memberikan perhatian terhadap penyalahgunaan perusahaan dan kepentingan keuangan tertentu yang menguasai proses globalisasi, bahwa masyarakat umum di negara industri maju dan negara-negara berkembang memiliki kepentingan yang sama dalam mewujudkan globalisasi keyakinannya akan proses demokrasi (Stiglitz 2009:34-35).

Pandangan-pandangan Stiglitz tentulah sangat relevan untuk menganalisa fenomena-fenomena globalisasi yang terjadi di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Di Indonesia, awal mula dipraktikkannya ide-ide Konsensus


(1)

sudah jelas. Dengan demikian UU Dikti merupakan landasan hukum dan fondasi pembangunan yang kuat untuk mewujudkan kemajuan pendidikan tinggi di Indonesia di masa kini dan masa depan.

 UU Dikti menegaskan peran dan tanggung jawab Pemerintah dalam pendanaan pendidikan tinggi, dalam pengembangan pendidikan tinggi di setiap provinsi, pengembangan akademi komunitas di setiap kabupaten/kota, serta pengembangan perguruan tinggi secara keseluruhan. UU Dikti meletakkan arsitektur pengembangan pendidikan tinggi ke masa depan untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa dan Negara.  Untuk mengimplementasikan UU Dikti dibutuhkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan

Menteri sebagai bentuk perundangan yang lebih rinci dan teknis. Karena merupakan fondasi pengembangan pendidikan tinggi secara komprehensif, maka UU Dikti mengamanahkan beberapa PP dan Permen agar amanah UU ini dapat diimplementasikan secara utuh.

9.

Apakah dalam UU Pendidikan Tinggi terlalu banyak yang diatur?

 UU Dikti memberikan otonomi pada masing-masing perguruan tinggi sesuai dengan misi dan mandat masing-masing perguruan tinggi.

 UU Dikti lebih banyak memberikan tugas dan tanggung jawab yang lebih besar kepada Pemerintah untuk memajukan Pendidikan Tinggi.

 Karena pendidikan tinggi meliputi aspek yang sangat luas dan harus komprehensif, mulai dari peran dan tanggung jawab negara, penyelenggaraan pendidikan tinggi, pendirian perguruan tinggi, hingga pengembangan peradaban bangsa, maka dengan sendirinya lingkup pengaturan dalam UU Dikti cukup luas. UU Dikti hanya mengatur tentang dasar-dasar dan kerangka umum pengaturan yang menekan aspek keterjangkauan, akses, pemerataan dan relevansi antara perkembangan ilmu dengan dunia kerja/kebutuhan masyarakat, negara dan bangsa. Peratuan operasionalnya ada di dalam PP dan Permen.

10.

Apakah UU Pendidikan Tinggi reinkarnasi dari UU BHP?

 UU Dikti bersifat luas tentang pendidikan tinggi secara utuh/keseluruhan, sehingga lingkup pengaturannya komprehensif. Perihal badan hukum hanya merupakan bagian kecil dari UU Dikti sebagai bentuk fasilitasi dan pengaturan Negara untuk terselenggaranya otonomi perguruan tinggi negeri.

 Substansi dan filosofi UU Diktisangat berbeda dengan UU BHP. Pada UU Dikti, subtansi dan filosofi mengatur aspek penyelenggaraan Pendidikan Tinggi sebagai Sub-Sistem Pendidikan Nasional secara utuh/komprehensif. Sedang UU BHP, secara subtantif dan filosofis hanya berfokus pada aspek Badan Hukum Pendidikan dan Tata Kelola PT.Tidak ada kaitan legal-formal antara UU DIKTI dengan UU BHP.

 Dalam UU BHP tugas dan peran Pemerintah lebih sedikit, sehingga komersialisasi dan liberalisasi pendidikan justru sulit dikontrol oleh Pemerintah, akibatnya masyarakat cenderung dirugikan. Hal ini berbeda dengan UU Dikti. UU Dikti, justru dimaksudkan untuk mengantisipasi peluang komersialisasi dan liberalisasi sebagai penyalahgunaan


(2)

11.

Apakah UU Pendidikan Tinggi menyalahi (bertentangan) dengan konstitusi?

 Tidak satupun pasal dalam UU DIKTI yang melanggar konstitusi. UU DIKTI justru disusunkan untuk menjalankan amanah Konstitusi (dalam Pembukaan UUD 1945 Pasal 31 ayat 3 dan ayat 5, sertamelengkapi UU Sisdiknas). UU Dikti justru mengatur tanggung jawab Negara dalam memenuhi hak konstitusional masyarakat untuk mendapatkan pendidikan serta menjamin akses ke pendidikan tinggi secara non diskriminatif.

 UU Dikti justru dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepada publik agar Pemerintah benar-benar mengembangkan sub-sistem pendidikan tinggi yang : 1) menyediakan akses dan keterjangkauan yang luas bagi seluruh lapisan masyarakat serta afirmasi bagi masyarakat kurang mampu secara ekonomi; 2) terjaminnya mutu pendidikan tinggi; 3) tata kelola yang transparan dan bertanggung jawab;

12.

Apakah UU Pendidikan Tinggi membuka pintu masuk bagi PT Asing dan akan membunuh PTS-PTS di Indonesia?

 Saat ini kita sudah meratifikasi perdagangan bebas, bahkan sektor Pendidikan sudah dikeluarkan dari daftar negatif investasi. Untuk mengatasi agar sektor pendidikan (tinggi) tidak menjadi komoditas yang diperjual belikan bahkan membebaskan PT Asing beroperasi begitu saja di Indonesia diperlukan UU yang dapat meregulasi sistem pendidikan tinggi kita. Oleh karena itu diperlukan suatu lex specialis (dalam hal ini UU Dikti) yang dapat mengatur sub-sektor pendidikan tinggi dan meregulasi perguruan tinggi asing yang akan masuk ke Indonesia. Di beberapa negara (Malaysia, Vietnam, Philippina, Kamboja, dsb.) perguruan tinggi asing diperbolehkan masuk bahkan dalam bentuk lembaga komersial dan pemerintahnya bahkan memberikan insentif. Namun di Indonesia, karena konstitusi kitamengamanahkan bahwa pendidikan (tinggi) tidak boleh menjadi barang dagangan (harus bersifat nirlaba) serta keinginan masyarakat untuk melindungi PTN/PTS di dalam Negeri, maka diperlukan pengaturan yang tegas di dalam UU Dikti tentang kehadiran PT Asing tersebut. Kehadiran PT Asing saat ini diatur melalui Peraturan Menteri sehingga tidak cukup kuat untuk membendung dan meregulasinya. Di dalam UU Dikti kehadiran PT Asing dibatasi dengan sangat ketat, bahkan lebih ketat dari Permen yang ada. Pemerintah menetapkan daerah, jenis dan program studi yang boleh diselenggarakan; PT Asing tersebut haruslah PT yang bermutu dan wajib bersifat nirlaba, wajib memperoleh izin Pemerintah, bekerja sama dengan PT di Indonesia, mengutamakan dosen dan tenaga kependidikan WNI; harus mengajarkan Pancasila, bahasa Indonesia, kewarga negaraan Indonesia; serta harus mendukung kepentingan Nasional. Ketentuan-ketentuan tersebut memagari sistem pendidikan tinggi kita dari serangan PT Asing yang hanya bertujuan komersial namun tetap memberi kesempatan bagi PT Asing yang sesuai dengan kepentingan Nasional untuk bekerja sama dengan PT di Indonesia menyelenggarakan pendidikan tinggi yang bermutu.

 Dengan demikian kalaupun ada PT Asing yang hadir di Indonesia (mau untuk tidak komersial/berprinsip nirlaba) diharapkan justru meningkatkan mutu PT yang ada di Indonesia, karena mereka harus bekerja sama dengan PT di Indonesia.


(3)

13.

Apakah adanya UU Pendidikan Tinggi akan menyebabkan inflasi profesor?

 UU Dikti memberi amanat pada Perguruan tinggi untuk mengemban mandat yang luas dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bermanfaat bagi pembangunan bangsa, mengembangkan kebajikan dan kekuatan moral untuk mencari dan menemukan kebenaran ilmiah, dan mengembangkan peradaban bangsa. Profesor sebagai jabatan akademik tertinggi merupakan ujung tombak pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, membangun budaya akademik, mengembangkan kebajikan dan kearifan, menemukan kebenaran ilmiah, dan mentransofmasikannya pada dosen-dosen muda dan mahasiswa. Jabatan akademik profesor memerlukan persyaratan dan kualifikasi akademik dan pengalaman dalam pendidikan, penelitian, maupun pengabdian kepada masyarakat yang ketat. Saat ini jumlah profesor di Indonesia masih sangat sedikit dan banyak yang sudah lanjut usia. Dalam hal kearifan, pengalaman, dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, tentunya pengalaman panjang seorang profesor sangat berharga dan tidak mudah digantikan. Oleh sebab itu UU Dikti mengharuskan Negara tetap mempertahankan profesor hingga usia 70 tahun (saat ini usia tersebut dipandang masih produktif dalam hal akademik dan memberi kearifan dalam pengembangan ilmu pengetahuan). Sebetulnya perubahan tersebut hanya memperkuat praktek saat ini di mana batas usia pensiun seorang profesor adalah 65 tahun tapi dapat diperpanjang hingga 70 tahun.

 Namun demikian, jaminan usia pensiun 70 tahun bagi profesor harus pula diikuti dengan produktifitas dalam dunia akademik sebagai bentuk akuntabilitas dan tanggung jawab kepada masyarakat. Oleh karena itu UU Dikti juga mengamanahkan agar dosen dan profesor terus melakukan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak melupakan aspek humaniora dan menyebarluaskannya untuk kepentingan bangsa dan Negara melalui publikasi ilmiah maupun mendaya gunakan hasil ciptaan melalui HAKI.  Selain dari itu, UU Dikti memperbaiki praktek yang saat ini tidak adil terhadap dosen

pada pendidikan tinggi vokasi (Politeknik, Akademi) dengan memberi kesempatan yang sama bagi dosen di pendidikan tinggi vokasi untuk mencapai jabatan akademik profesor bila telah memenuhi syarat.

14.

Apakah UU Pendidikan Tinggi justru memperluas dan memperbesar arus komersialisasi dan privatisasi PTN?

 Sebaliknya, UU DIKTI justru menekan arus komersialisasi dan privatisasi PTN. Mengapa? Karena UU Dikti justru mengatur/meregulasiberbagai aspek dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh PTN yang dapat mengarah pada komersialisasi pendidikan tinggi. Hal-hal yang diatur secara jelas dalam UU DIKTI, antara lain : 1) penetapan satuan biaya pendidikan oleh Pemerintah; 2) melindungi calon mahasiswa dari komersialisasi penerimaan mahasiswa baru; 3) mengharuskan seleksi mahasiswa baru PTN semata didasarkan pada kemampuan akademik; 4) mengharuskan PTN mencari dan menjaring calon mahasiswa berpotensi akademik tinggi dari kalangan masyarakat yang secara ekonomi kurang mampu, serta dari daerah terdepan, terluar, dan tertinggl untuk diterima paling sedikit 20% dari seluruh mahasiswa baru; 5) biaya pendidikan tinggi yang ditanggung mahasiswa disesuaikan dengan kemampuan ekonominya; 6) Pemerintah


(4)

operasional pendidikan tinggi negeri, dsb.; serta pengaturan-pengaturan lain seperti keharusan berprinsip nirlaba, dsb. Kesemuanya itu untuk memastikan bahwa ke depan tidak lagi terjadi komersialisasi pendidikan tinggi.

 Pada PTN yang otonom (PTN badan hukum) tanggung jawab Pemerintah tetap ada dan ditekankan di dalam UU Dikti, sehingga tidak terjadi privatisasi dan komersialisasi PTN meskipun telah menjadi badan hukum. Pendanaan PTN badan hukum tetap menjadi tanggung jawab Pemerintah, dengan bentuk pendanaan yang sesuai dengan peraturan perundangan untuk memastikan pendidikan tinggi bermutu yang terjangkau oleh seluruh masyarakat. Pemberian hak untuk mengelola aset secara luas pada PTN badan hukum dimaksudkan agar PTN tersebut dapat memanfaatkan sumber dayanya secara optimal bagi peningkatan mutu pendidikan dan kemajuan PTN tersebut. Pemanfaatan aset harus sepenuhnya dipergunakan untuk kepentingan pendidikan bukan untuk tujuan komersial/orientasi profit. PTN badan hukum sepenuhnya menjadi milik negara, tidak dapat diperjual belikan maupun dipindah tangankan, dengan demikian tidak akan terjadi privatisasi yang selama ini dikhawatirkan oleh masyarakat.

15.

Apakah UU Pendidikan Tinggi melepaskan tanggung jawab Pemerintah?

 Sebaliknya, UU Dikti mempertegas tanggung jawab Pemerintah dalam penyelenggaraan Pendidikan Tinggi di Indonesia. Tanggung jawab Pemerintah yang diamanahkan dalam UU Dikti meliputi penyelenggaraaan Pendidikan Tinggi mencakup perencanaan, pengaturan, pengawasan, pemantauan, dan evaluasi serte pembinaan dan koordinasi.  UU DIKTI memberikan banyak kewajiban kepada Pemerintah, seperti pengembangan

sistem penjaminan mutu, pendanaan pendidikan tinggi, pengembangan Perguruan Tinggi, pembinaan Perguruan Tinggi, penyediaan sistem informasi Pangkalan Data Pendidikan Tinggi, dsb.

16.

Apakah UU Pendidikan Tinggi Diskriminatif?

 UU Pendidikan Tinggi tidak bersifat diskriminatif. Sebaliknya UU Pendidikan Tinggi justru memberikan payung hukum yang komprehensif bagi semua jenis Perguruan Tinggi di Indonesia, baik PTN dan PTS. Dalam hal penyelenggaraaan akademik baik PTN maupun PTS tidak dibedakan. Dalam hal tata kelola PTN diatur oleh Pemerintah sebagai pendiri dan penyelenggaranya, sementara tata kelola PTS diatur oleh badan penyelenggaranya (hal ini tentu tidak bisa dikatakan sebagai diskriminasi, karena sifatnya memang berbeda). Di dalam UU Dikti hak hidup PTS sangat diperhatikan bahkan didukung dengan memberikan berbagai bentuk bantuan dan pembinaan dari Pemerintah (Pemerintah menanggung tunjangan fungsional dosen bagi PTN maupun PTS, tunjangan kehormatan profesor bagi PTN maupun PTS, maupun bantuan pengembangan bagi PTS). Karena PTS didirikan dan diselenggarakan oleh badan hukum penyelenggaranya, hak yayasan dan hak sejarah yayasan sepenuhnya diakui dan dijunjung tinggi dalam UU Dikti. Tata kelola PTS diserahkan sepenuhnya pengaturannya pada yayasan atau badan penyelenggara yang bersifat nirlaba. Hal ini sangat berbeda dengan UU No.9 Tahun 2009


(5)

tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang telah dibatalkan oleh MK karena mengharuskan setiap satuan pendidikan untuk berbadan hukum (penyeragaman bentuk).

17.

Apakah UU Dikti Memberangus Kebebasan Mahasiswa?

 Sebaliknya, justru UU Dikti mengharuskan agar pengembangan potensi Mahasiswa harus difasilitasi oleh Kampus. Hak berorganisasi mahasiswa secara tegas dilindungi di dalam UU ini.

 UU Dikti melindungi kebebasan dengan diakuinya keberadaan organisasi mahasiswa (yang dulu hanya di statuta PT, yang bisa dirubah oleh PT).

 Melindungi mahasiswa untuk menyelesaikan kuliahnya sesuai dengan waktu yang dipersyaratkan.

 UU DIKTI menegaskan adanya fasilitas pinjaman kepada mahasiswa selama proses kuliah berlangsung. Bersifat tanpa agunan dan bisa dibayarkan setelah lulus.

18.

Betulkah UU Pendidikan Tinggi terlalu memberi kebebasan pada PT?  Tingkat kebebasan berbeda tergantung pada status masing-masing PT.

 Tingkat kebebasan yang dimiliki oleh masing-masing PT sesuai dengan kapasitan dan tanggung jawab yang harus dijalankan oleh masing-masing PT.

 Kebebasan yang diberikan kepada masing-masing oleh PT sesungguhnya adalah kebebasan yang bertanggung jawab sehingga tidak ada kebebasan yang mutlak tanpa batasan sebagai status masing-masing PT dan konsekuensi tanggung jawab yang harus dijalankannya sesuai dengan status masing-masing PT.

19.

Betulkah UU Pendidikan Tinggi terlalu mengatur keuangan/tarif (sehingga berlawanan dengan kebutuhan otonomi kampus).

 UU Dikti hanya mengatur keuangan/tarif yang bersumber dari mahasiswa. Pengaturan ini diperlukan agar biaya pendidikan tetap terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat dan tidak terjadi komersialisasi pendidikan tinggi. Tetapi UU Dikti tidak mengatur keuangan /tarif yang bersumber di luar dari biaya yang dikeluarkan oleh mahasiswa. Dengan kata di luar sumber tersebut UU Dikti memberikan keleluasaan kepada masing-masing PT.  Tidak ada jaminan dari semua aspek otonomi kampus itu tidak merugikan masyarakat dan

mahasiswa. Bahkan intreprentasi dan implementasi otonomi kampus masih potensial untuk disalahgunakan sehingga bisa memunculkan dampak negatif bagi masyarakat dan mahasiswa (contoh tarif mahal, tidak jaminan kepada mutu pendidikan dan pelayanan mahasiswa), karena itu pengarutan dibutuhkan agar intrepretasi dan implementasi otonomi kampus benar-benar dijalankan secara arif dan bijaksana.

20.

Apakah UU Pendidikan Tinggi akan memboroskan uang negara untuk membiayai PTS-PTS?

 UU Dikti mempertegas tanggung jawab Pemerintah/Negara dalam pendanaan PTS karena kontribusinya pada penyediaan pendidikan tinggi, meskipun berbeda dengan PTN karena


(6)

misalnya dari : 1) membayar tunjangan fungsional dosen, tunjangan kehormatan profesor, 2) bantuan investai dan pengembangan, 3) dana penelitian.

 UU Dikti sebenarnya mendorong agar PTS lebih bermutu dengan meningkat fasilitas pendidikan yang diberikan kepada mahasiswa.

 Bantuan Pemerintah kepada PTS menunjukkan bahwa UU Dikti ini tidak diskrimintatif kepada PTS.

21.

Betulkah UU Pendidikan Tinggi sarat dengan beragam Peraturan lain seperti PP dan Permen (birokratisasi pendidikan)?

 Pemerintah harus melindungi kepentingan masyarakatdan Negara sehingga Pemerintah harus mengatur sistem pendidikan tinggi tanpa mencampuri kebebasan akademik dan otonomi keilmuan yang ada di dalam masing-masing PT.

 PTN ditanggung Pemerintah karena PT tersebut adalah lembaga pendidikan yang dikelola oleh Pemerfintah.

 PTN diawasi karena menggunakan dana publik (APBN). Transparansi dan akuntabilitas penting sesuai dengan semangat UU Kebebasan Informasi Publik (KIP).

 PTS tetap diberi kebasan dalam mengelolaan khususnya dana. Hanya saja, yang ditekankan oleh UU Dikti dimana PTS harus tetap nirlaba, dimana ia tidak memanfaatkan keuntungannya untuk kepentingan pribadi, atau perusahaan atau bahkan modal/saham PTS bisa diperjualbelikan di pasar modal.

22.

Apakah dengan adanya UU Pendidikan Tinggi justru tidak memungkinkan investasi (asing) dalam pendidikan tinggi (berlawanan dengan negara-negara lain, seperti Malaysia, Vietnam, bahkan China yang membuka sektor Dikti untuk Investasi Asing)?

 Perguruan tinggi asing boleh menyelenggarakan pendidikan tinggi selama bersifat nirlaba, sehingga tidak terjadi komersialisasi pendidikan.

 Boleh selama mengikuti peraturan perundangan dan sejalan dengan kepentingan nasional, sehingga tidak terjadi liberalisasi pendidikan.

 Boleh selama bekerjasama dengan PT dalam negeri, sehingga tidak membunuh PT dalam negeri. PT Asing juga harus mendapat izin Pemerintah.

 Pemerintah mengatur daerah di mana PT asing boleh beroperasi, jenis perguruan tinggi, serta program studi yang boleh diselenggarakan.

Diperoleh dari :

Ir. Djoko Luknanto, M.Sc., Ph.D. Peneliti Sumberdaya Air

di Laboratorium Hidraulika

Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada

Jln. Grafika 2, Yogyakarta 55281, INDONESIA

Tel: +62 (274)-545675, 519788, Fax: +62 (274)-545676, 519788 (melalui http://luk.tsipil.ugm.ac.id/atur/UU12-2012/tanyajawab.html)