MUSIK GAMAT DARI SENI PERTUNJUKAN PENTAS

MUSIK GAMAT DARI SENI PERTUNJUKAN PENTAS
KE SENI PERTUNJUKAN PROSESI
(Sebuah Tinjauan Historis)
Oleh: Martarosa

Dalam Jurnal Ekspresi Seni (Jurnal Ilmu Pengetahuan Dan Karya
Seni), ISSN: 1412-1662, Vol. 10, No. 1, 2008.
Abstract
Tumbuh dan berkembangnya musik gamat khusus bentuk pertunjukan prosesi
di daerah Sumatera Barat (Minangkabau), satu-satunya adalah didapati di daerah
kecamatan Koto XI Tarusan. Dalam tinjauan historis bentuk awal pertunjukan musik
tersebut adalah berasal dari bentuk pertunjukan yang disajikan di dalam rumah atau
dipentaskan. Namun terwujudnya hal tersebut adalah berdasarkan keinginan dan
kehendak yang dipelopori oleh para pekerja musik itu sendiri, ketika salah satu
diantara mereka melakukan pernikahan dalam acara prosesi pengantennya. Kemudian
musik gamat prosesi (bentuk baru) itu tampa disadari oleh para anggota musik
gamat yang akan menikah lainnya juga tertarik untuk melakukan hal yang sama.
Dengan demikian secara bertahap pertunjukan musik gamat yang berbentuk prosesi
tersebut akhirnya dilegitimasi oleh masyarakat sekitarnya, sehingga dapat
berkembang dan membudaya sampai sekarang ini.
Kata Kunci: Musik Gamat dan Historis


1

MUSIK GAMAT:
DARI SENI PERTUNJUKAN PENTAS
KE SENI PERTUNJUKAN PROSESI
Martarosa, S.Sn., M.Hum.
I. PENGANTAR
Ditilik musik gamat dari seni pertunjukan pentas ke seni pertunjukan prosesi
di daerah Kecamatan Koto XI Tarusan, Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tentunya
tidak akan terlepas berbicira tentang sejarah tumbuh dan berkembangnya musik
gamat di daerah pesisir Minangkabau. Menurut Navis, ditinjau dari asal-usulnya
musik gamat yang berkembang di daerah Pesisir Minangkabau, berkemungkinan
dikenalkan oleh orang Portugis melalui pelaut Melayu. Dimana musik gamat
tersebut merupakan kesenian bandar tempat kapal berlabuh dan keperluan hiburan
anak kapal yang sifatnya sama dengan joget dari kesenian Melayu. Hal ini terbukti
bahwa adanya kesan Portugis, karena adanya instrumen biola dan nyanyian yang
salah satunya bernama kaparinyo (berasal dari kata caprecciol atau capreccio yang
artinya; lincah, atau riang jenaka). Begitu juga instrumen yang dipakai pada musik
gamat awalnya hanya terdiri dari biola dan gendang, karena tangganadanya diatonis

sehingga instrumen Barat lainnya juga dapat dimainkan.1
Bertitik-tolak dari pendapat tersebut, pada tulisan ini penulis mencoba
meninjau kembali dan melengkapi sekilas tentang informasi dan fakta yang
mendukungnya. Salah satu fakta pendukung itu dapat dibuktikan dengan adanya
koleksi foto rombongan musik awal abad ke-20 dalam buku Padang Riwayatmu
Dulu, seperti terlihat pada gambar 1 sebagai berikut.

1

A.A. Navis, 1982, “Seni Minangkabau Tradisional Sumbangan Budaya Dalam Pembangunan
Nasional”, dalam Analisis Kebudayaan, Depdikbud, Jakarta, p. 96-97.

2

Gambar 1
Sebuah kelompok musik di kota Padang pada awal abad ke-20
(Direpro dari buku Padang Riwayatmu Dulu) 2

II. ORIENTASI PEMIKIRAN


Ditilik dari sisi sosial ekonomi masyarakat Minangkabau dan masyarakat
Melayu (Malaka) cukup lama menjalin hubungan perdagangan seperti diungkapkan
oleh Dobin sebagai berikut.
…Munculnya Kesultanan Malaka dalam abad kelima belas memantapkan
keamanan di selat, dan emas Minangkabau menjadi salah satu penopang
utama perdagangan Malaka, dan situasi ini berlanjut selama abad ke enam
belas dan awal abad ketujuh belas setelah Malaka jatuh ketangan Portugal…
Sementara perdagangan emas Minangkabau timur dengan dunia Selat Malaka
berlanjut setelah Portugis menguasai Malaka, daerah Selo di Tanah Datar bisa
2

Rusli Amran, 1988, Padang Riwayatmu Dulu, CV. Yasaguna Jakarta, p. 192.

3

melakukan perdagangan emas melalui pantai barat, dibawah pengawasan
Bendahara Sungai Tarab.3

Selanjutnya banyak tanda-tanda bahwa orang Portugis pernah bermukim di
Padang atau kota-kota pantai barat Sumatera lainnya, seperti diungkapkan oleh Rusli

Amran yang ceritanya berasal dari Diogo de Couto sebagai berikut.
Dalam bulan April 1560, sebuah kapal bernama S Paulo dengan kapten Ruy
de Mello, meninggalkan Lisabon tujuan Brazil. Maksud semula untuk tinggal
agak lama di Brasil, tetapi karena keadaan kapal tidak baik, kapten
memutuskan agar meneruskan pelayaran arah pulau Sumatera, melalui Selat
Sunda ke India. Kapal S Paulo meninggalkan Brasilia, tanggal 15 September
1560 dan tanggal 20 Januari 1561 telah melihat pantai barat Sumatera sedikit
agak keselatan Khatulistiwa. Rupa-rupanya arus angin dan gelombang
menarik kapal ke arah utara. Walaupun awak kapal bekerja sepenuh tenaga,
namun kapal akhirnya terhempas juga ke pantai dan semua terpaksa
meninggalkan kapal. Penduduk di tepi laut yang menerima mereka terdiri dari
orang-orang miskin yang berusaha menjual hasil-hasil mereka pada para
orang asing itu. Portugis tidak takut atas serangan raknyat setempat, karena
yang terdampar itu jumlahnya tidak sedikit, sekitar 700 orang. Maka mulailah
mereka mendirikan gubuk-gubuk ala kadarnya. Semua isi kapal diturunkan ke
darat dan dari kayu-kayu bekas kapal yang masih dapat dipakai, mereka
berhasil membuat dua perahu kecil. Oleh karena perahu-perahu ini tidak
sanggup menampung semua orang, maka hanya tiga perempat dari jumlah
mereka menyusur pantai dalam perahu. Selebihnya berjalan kaki tetapi
bersamaan dengan perahu-perahu tersebut yang tidak lepas dari pandangan

mata mereka. Tiap malam, perahu-perahu tadi berlabuh di pantai dan semua
bisa berkumpul. …Demikian yang ditulis Diogo de Couto. Karena dia sendiri
mendengarnya dari orang lain dan baru menulis dari satu abad sesudah
peristiwanya, bisa dimengerti kalau banyak hal-hal dalam tulisannya yang
kurang jelas. Pertama-tama mengenai lokasinya. Disebut tiga derajat lintang
selatan. Kalau di kota Padang dan sekitarnya dianggap paling banyak
peninggalan kebudayaan Portugis, maka mungkin yang dimaksud penulisnya
adalah 1 derajat lintang selatan. (3 derajat jatuh sedikit di selatan Mukomuko,
2 derajat dekat Indrapura sedangkan 1 derajat di Padang). Atau di sepanjang
pantai antara Padang dan Painan.4

3

Christine Dobbin, 1992, Kibangkitan Islam Dalam Ekonomi Petani Yang Sedang Berubah:
Sumatera Tengah 1784-1847, Terjemahan Lillian D. Terjemahan, INIS, Jakarta, p. 74-75.
4
Ibid., p. 151-152.

4


Hal yang bersamaan juga dipertegas oleh Hamka sebagai berikut.
Di Pariaman terjadi perebutan kekuasaan Portugis dengan Aceh, masyur di
dalam dongeng pahlawan raja ”Nan Tunggal Megat Jabang”, pahlawan Aceh
dengan raja Sipatokah (Portugis) merebut kuasa di pantai Pariaman. Di zaman
Iskandar Muda Mahkota Alam ,raja Aceh yang paling masyur dan besar, yang
mula memerintah tahun 1604, amatlah besar pertentangan itu. Waktu itulah
sengit perebutan pengaruh dengan Barat.5
Fakta lain juga dibuktikan dengan adanya peniggalan budaya Portugis berupa
pakaian pengantin yang berkembang di daerah Pesisir Sumatera Barat, seperti
diungkapkan Dada Meuraxa sebagai berikut.
… Pakaian pengantin laki-laki pesisir yang disebut baju Marapulai adalah
suatu saduran dari pakaian bangsawan Portugis dengan tutup kepala (destar)
gaya Persia. Oleh karena baju Marapulai diberi juga nama julukan baju “Rajo
Sipatoka”. Artinya pakaian raja Portugis (kata Portugis oleh orang Sumatera
Barat di zaman dulu kala disebut “Patoka”). Pakaian pengantin perempuan
yang disebut “Baju Anak Daro”, dipengaruhi oleh perhiasan Tiongkok dan
Indo Cina.6
Selanjutnya, dengan berhasilnya Portugis menduduki kota Malaka pada tahun
1511,7 dan banyak tanda-tanda yang ditemukan di daerah Pesisir Sumatera Barat
seperti yang diuraikan di atas, berkemungkinan memberi pengaruh terhadap

perkembangan musik di Semenanjung Melayu dan Minangkabau. Hal ini dapat
dibuktikan pada jenis alat-alat musik yang dimainkan seperti; biola, gitar, accordeon,
dan gendang. Begitu juga lagu yang berjudul kaparinyo yang merupakan lagu utama
dalam pembukaan pertunjukan musik gamat atau disebut sebagai lagu persembahan
juga dipengaruhi oleh Portugis seperti ditegaskan oleh Rusli Amram “…Anda tentu
kenal lagu kaparinyo yang begitu populer di Padang. Lagu ini, walaupun sedikit
perbedaan, hingga kini masih dilagukan di Portugal”.8
Dari beberapa uraian di atas terlihat bahwa, hubungan sosial budaya antara
masyarakat Minangkabau baik pribumi maupun perantau dengan masyarakat Melayu
5

Hamka, 1984, Islam dan Adat Minangkabau , Penerbit PT. Pustaka Panjimas, Jakarta, p. 11.
Dada Meuraxa, Sejarah Kebudayaan Sumatera. Firman Hasmar, Medan. p. 467.
7
Rusli Amran, 1981, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang, Sinar Harapan, Jakarta, p. 80.
8
Op. cit., 1988, p. 149.
6

5


di Pulau Sumatera bagian Timur atau Semenanjung Melayu, terjadinya saling
mempengaruhi

dalam

perkembangan musik. Hal tersebut terlihat pada

pengggunaan instrumen dan salah satu lagu berjudul kaparinyo yang dipengaruhi
oleh Portugis sebagai ekspresi musikal budayanya. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa tumbuh dan berkembangnya musik gamat sebagai budaya masyarakat Pesisir
Minangkabau dan begitu juga musik Melayu sebagai budaya masyarakat di
Semenanjung

Melayu

adalah

hasil


saling

mempengaruhi

budaya

antara;

Minangkabau, Melayu dan Portugis.
Berkaitan dengan uraian di atas, keberadaan musik gamat di kota Padang
Rizaldi juga mengungkapakan bahwa kalau ditilik dari ciri-ciri musik tersebut, yaitu
melalui instrumen musik yang digunakan diantaranya: biola, accordeon, dan gitar,
jelas kesemuanya itu adalah hasil teknologi budaya Barat dan berbeda konsepnya
dengan instrumen musik pribumi Minangkabau, baik dari bentuk fisik maupun sistem
tangga nada maupun harmoni. Dalam hal ini bagi masyarakat pribumi khususnya
Padang (Minangkabau Pesisir), instrumen musik tersebut diadaptasikan dengan
budaya musik masyarakat setempat, sehingga lahirlah genre musik baru yang disebut
gamat. Sebalik-nya unsur budaya musik pribumi yang dapat dibaurkan dengan
instrumen musik Barat antara lain: vokal, karena instrumen ini sifatnya fleksibel
dapat


menyesuaikan dari berbagai macam tangganada dan instrumen. Dengan

demkian akan terlihatlah bahwa keberadaan musik gamat dikota Padang adalah
merupakan sebuah akulturasi antara budaya pribumi dan budaya Barat, 9 yang
meliputi; Minangkabau, Melayu, dan Portugis.
Tumbuh dan berkembangnya musik gamat di kota Padang adalah sejak tahun
1920-an, yang fungsi awalnya adalah sebagai hiburan keluarga dan terus
berkembang, sehingga digunakan untuk acara perhelatan perkawinan. Sungguhpun
pada masa itu, musik gambus dan keroncong juga ikut berkembang, tetapi
kehadirannya tidak mempengaruhi perkembangan musik gamat di kota tersebut.
9

Rizaldi, 1995, Musik Gamat Di Kotamadya Padang: Sebuah Bentuk Akulturasi Antara Budaya
Pribumi Dan Budaya Barat, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, p.
135.

6

Namun semenjak itulah dinamikan musik gamat di kota Padang berkembang sampai

sekarang,10 dapat dijadikan budaya tradisional dalam berbagai acara pesta perkawinan
baik oleh masyarakat Padang maupun masyarakat pesisir Minangkabau lainnya.
III. TUMBUH DAN BERKEMBANGNYA MUSIK GAMAT
A. Musik Gamat Sebagai Seni Pertunjukan Pentas
Bertitik tolak dari keberadaan musik gamat di kota Padang, sangat
berpengaruh sekali tumbuh dan berkembangnya musik gamat di kecamatan Koto XI
Tarusan, karena secara geografis kota Padang merupakan daerah perbatasan wilayah
utara Kecamatan Koto XI Tarusan. Dengan demikian, tak mengeherankan kedua
daerah ini mempunyai kebudayaan relatif sama, karena terletak dikawasan pantai
yang berdekatan disebut daerah Rantau Pesisir Minangkabau.
Menurut seorang ulama dan juga sebagai musisi, Khatib Mahyuddin
mengatakan, bahwa kehadiran musik gamat di kecamatan Koto XI Tarusan adalah
dilatar belakangi oleh tumbuh dan berkembangnya musik gambus pada tahun 1930
sampai pada tahun 1945. Oleh karena sebagian besar pemain musik gamat pada masa
itu berasal dari kelompok musik gambus, maka kehadiran musik tersebut merupakan
jembatan untuk berdirinya musik gamat.11
Berkembangnya musik gambus di daerah kecamatan Koto XI Tarusan adalah
hasil belajar yang didapat oleh khatib Mahyuddin dari kota Padang, pada saat itu ia
sekolah (mengaji agama) Tarbiah Islamiah di Teluk Bayur dan Gauang Padang.
Musik ini dikembangkannya di daerah kecamatan Koto XI Tarusan, bersama
temannya bernama Yusup, pada saat itu ia memainkan harmonium, sedangkan Yusup
memainkan biola. Berdasarkan kreatifitas dari kedua orang tersebut, sehingga
10

Ibid, p. 66-68.
Khatib Mahyuddin, adalah sebagai; ulama, khatib, Imam, dan musisi di daerah Kecamatan
Koto XI Tarusan. Sebagai musisi beliau memiliki ketrampilan musik; harmonium, benyol, semenjak
tahun 1930-1945, sedangkan dikia rebana serta vokalis semenjak tahun 1945-1980, (pengertian orkes
hanya sebagai penamaan kelompok musik, pen).
11

7

terbentuklah permainan musik duet dan berkembang sampai menjadi sebuah
kelompok musik gambus. Namun instrumen musik yang dimainkan juga berkembang
meliputi; biola, gitar, harmonium, gambus, benyol, kulele, rumba, marwas, tipa,
gendang dan instrumen lainnya. Pesatnya perkembangan musik gambus tersebut
dapat digunakan untuk acara-acara adat-istiadat seperti acara perhelatan perkawinan,
bahkan pertunjukannya sampai keluar dari wilayah Kecamatan Koto XI Tarusan
seperti Bayang (Pasar Baru). Namun musik ini tidak bertahan lama karena kalah
saingan dengan tumbuhnya dan berkembangnya musik gamat dan orkes (penamaan
kelompok musik).12
Menurut Nazaruddin seorang musisi musik gamat mengatakan bahwa
kehadiran musik gamat di kecamatan Koto XI Tarusan sudah ada semenjak tahun
1932. Pada saat itu kelompok musik gamat bernama Muda Setia. Adapun jenis
instrumen yang dimainkan adalah terdiri dari; biola, harmonium, gitar, gendang dan
tambourin. Keberadaan musik gamat pada waktu itu, hanya berfungsi untuk
kepuasan dan hiburan para pemain dan keluarga (belum digunakan untuk acara pesta
perkawinan). Namun tumbuh dan berkembang musik gamat di kecamatam Koto XI
Tarusan adalah bawaan dari pemuda-pemuda daerah tersebut yang pada saat itu
banyak berkerja di Padang maupun sebagai
pelajar dan sebagainya.13
Menurut Sutan Darwis, sejak tahun 1940 terbentuknya organisasi pemuda
bernama KASGAN di kecamatan Koto XI Tarusan yaitu untuk menampung wadah
berbagai kegaitan seperti kesenian dan olah raga. Semenjak ada organisasi tersebut
terjadinya dikotomi jenis musik yaitu musik gamat dan orkes. Kehadiran kelompok
orkes pada saat itu hanya berfungsi sebagai hiburan dan kepuasan para pemain saja,
kalau ada digunakan masyarakat untuk acara-acara perhelatan perkawinan sangat
12

Ibid.
Nazaruddin disamping sebagai musisi musik gamat, baik yang bentuk pertunjukannya
dipentaskan maupun berbentuk prosesi, beliau juga seorang guru atau pelatih musik gamat di
Kecamatan Koto XI Tarusan. Ketrampilan musik yang dimiliki; biola, dan gitar, sudah dimulai sejak
tahun 1935 sampai sekarang
13

8

jarang sekali. Kecuali acara-acara yang sifatnya untuk para keluarga anggota atau
pemain itu sendiri. Adapun instrumen yang dimainkan pada kelompok orkes terdiri
dari; biola, gitar, string bass, accordeon, conga, tipa, gendang, kolele dan sebagainya.
Namun pada akhirnya lima tahun kemudian musik orkes mengalami berkembangan,
tidak saja difungsikan sebagai hiburan pribadi para pemain saja, akan tetapi sudah
mulai digunakan untuk acara perhelatan perkawinan.14
Tak mengherankan semenjak berdirinya organisasi pemuda itu pulalah fungsi
musik gamat di tengah-tengah masyarakat kecamatan Koto XI Tarusan, mulai
berkembang dari pada masa sebelumnya, keberadaannya tidak saja sebagai hiburan
para pemain dan keluarga, akan tetapi sudah digunakan untuk acara-acara adatistiadat seperti acara perhelatan perkawinan. Oleh karena musik ini sudah merupakan
suatu wadah pertunjukan dalam kegiatan sosial budaya masyarakat, maka disiplin
dalam kegiatan seperti, latihan, pertunjukan, bahkan tata kerama sebagai pemainpun
sudah mulai diperhatikan, sesuai

dengan

aturan-aturan

yang

ada

pada

kelompok musik tersebut. Bentuk pertunjukan pada saat itu belum memakai pentas
hanya bermain di dalam rumah. Tata kerama bermain di dalam rumah ini, sesuai
dengan aturan kedisiplinan mereka, si pemain tidak boleh berpindah-pindah tempat
duduk yang telah ditentukan dari awal bermain musik gamat sampai akhir,
sungguhpun mereka ada yang bernyanyi berdiri atau menari dan sebagainya, namun
mereka harus kembali ke tempat duduk asalnya. Selanjutnya para pemain yang
berada di tempat pertunjukan (di rumah perhelatan) tidak boleh melihat-lihat kekamar
pengantin, karena secara adat dianggap tidak sopan. Kalau hal demikian terjadi ada
sanksi bagi mereka yang melanggar ketentuan tersebut. Dengan demikian pada waktu
itu di daerah kecamatan Koto XI Tarusan sudah adanya tata tertib atau aturan-aturan
kedisiplinan dalam mewujudkan sebuah pertunjukan musik.
Pada tahun 1974-1985 kelompok musik orkes mengalami perubahan dengan
tumbuh dan berkembangnya musik band dengan berbagai instrumen elektronik,
14

Sutan Darwis adalah sebagai musisi yang meliputi; musik gambus, musik orkes dan musik
gamat pada tahun 1940-1955, ketrampilan musik yang dimiliki; string bass. Gitar, dan sebagai vokalis.
Sekarang beliau sebagai tokoh masyarakat di Kecamatan Koto XI Tarusan.

9

sehingga sebagian pemain orkes yang muda-muda berpindah pada kelompok musik
tersebut. Instrumen pada kelompok musik band meliputi; tiga buah gitar elektrik
(masing-masingnya digunakan untuk permainan melodi, akor, dan bass), seperangkat
drums, dan vokal dan seperangkat sound sistem. Dengan munculnya teknologi
elektronik untuk musik band, jenis lagu-lagu yang disajikan tidak saja meliputi; pop,
rock, melayu dan dangdut, tetapi sudah dimulai juga penggabungannya dengan
kelompok musik gamat. Adapun fungsinya adalah sebagai hiburan yang digunakan
dalam acara pesta perkawinan. Sudah merupakan kebiasaan dalam acara perhelatan
perkawinan pertunjukan musik band dilaksanakan pada siang hari, sedangkan untuk
penggabungan musik gamat dengan musik band yang secara aturan pertunjukannya
tetap membawakan lagu-lagu gamat dilaksanakan pada malam hari. Pada saat itu
pulalah tempat pertunjukan berpindah dari dalam rumah ke atas pentas, karena
situasinya tidak memungkin lagi dimainkan didalam ruangan tertutup.15

Pada tahun 1986 berdasarkan pengamatan penulis, kedua jenis musik ini kalah
bersaing dengan masuknya kibord elektrik yang memiliki teknologi canggih, dimana
dengan bermacam-macam jenis musik yang dimainkan oleh satu orang musisi untuk
mewujudkan musik yang diinginkannya, cukup melalui satu instrumen saja, yang
secara keseluruhan dapat disajikan melalui program kibord elektrik tersebut. Hal lain
disebabkan instrumen elektronik yang dimiliki oleh kelompok musik band dan gamat
ini, disamping tidak mampu lagi bersaing dengan perkembangan zaman, juga tidak
mampunya organisasi mereka membeli instrumen elektronik baru yang harganya
relatif mahal.
Secara ekonomis keberadaan musik kibord elektrik ini disamping biaya jemputannya relatif kecil, dibandingkan dengan musik band dan gamat, dan terjangkau
oleh masyarakat umum, sehingga cenderung masyarakat berpikir praktis terhadap
15

Azman BK. adalah sebagai musisi yang meliputi; musik orkes, musik band, dan musik
gamat. Ketrampilan musik yang dimiliki; gitar, accordeon, semenjak tahun 1961. Beliau juga sebagai
pelopor pembahuruan pada setiap dekade perkembangan musik di Kecamatan Koto XI Tarusan.

10

pengguna-an musik kibord elektrik yang efisien itu. Status musik kibord elektrik ini
bukan milik organisasi akan tetapi adalah milik anggota masyarakat itu sendiri yang
sifatnya pribadi. Dengan munculnya musik tersebut, akibatnya kedua jenis musik
seperti band dan gamat yang dilengkapi oleh peralatan elektronik sederhana itu,
mengalami kemacetan dalam perkembangannya. Oleh karena itu, khusus musik
gamat yang bentuk pertunjukannya dipentaskan, keberadaanya tidak bertahan lama
dalam masyarakat kecamatan Koto XI Tarusan. Dengan demikian khusus musik
gamat bentuk pertunjukannya kembali digelar di rumah, sungguhpun kegunaan dan
fungsinya tidak sepopuler yang bentuk pertun-jukannya dipentaskan, dan mereka
harus bersaing dengan musik kibord elektrik, namun tetap saja bertahan pada posisi
semula yang bentuk pertunjukannya seperti terlihat pada gambar 2 Sebagai beirkut.

Gambar 2
Salah satu kelompok musik gamat di Kecamatan Koto XI Tarusan

11

Sedang latihan yang bentuk pertunjukannya disajikan di dalam rumah atau
dipentaskan (Foto Martarosa)
B. Musik Gamat Sebagai Seni Pertunjukan Prosesi
Berdasarkan pokok pikiran dan uraian di atas, tak mengherankan bahwa
perubahan mungkin saja terjadi, karena keinginan-keinginan kelompok masyarakat
atau

keinginan

individu-individu

yang

ada

dalam

kelompok

masyarakat

pendukungnya. Dalam artian, ketika ada suatu krisis dalam masyarakat yang
bersangkutan, berarti bahwa dalam masyarakat itu ada sejumlah orang yang
menentang keadaan karena mereka sadar akan kekurangan-kekurangan yang ada
dalam masyarakat sekelilingnya dan tidak merasa puas dengan keadaan itu.16
Tak dapat dipungkiri bahwa tanpa adanya kemampuan untuk menciptakan
gagasan baru dan mengubah pola laku yang ada, tidak ada masyarakat manusia yang
dapat bertahan. Sungguhpun kebudayaan tersebut kokoh, mantap, tetapi kadangkadang dengan kelenturannya juga dapat menyesuaikan diri dengan keadaan-keadaan
yang berubah.17 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perubahan merupakan
karakteristik dari semua kebudayaan yang dilakukan oleh para individu-idividu atau
kelompok-kelompok, sehingga dapat berkembang menurut tuntutan zaman.
Berkembangnya suatu kebudayaan sesuai dengan tututan zaman, adalah
produksi perubahan dari waktu ke waktu karena bermacam-macam sebab. Hal yang
demikian dipertegas oleh Havilland sebagai berikut.
Semua kebudayaan pada suatu waktu berubah karena bermacam-macam
sebab. Salah satu sebabnya adalah perubahan lingkungan yang dapat
menuntut perubahan kebudayaan yang bersifat adaptif. Sebab lain adalah
bahwa, melulu karena kebetulan, atau karena sesuatu sebab lain, suatu bangsa
mungkin mengubah pandangannya tentang lingkungannya dan tentang
tempatnya sendiri di dalamnya. Atau, kontak dengan bangsa lain mungkin
menyebabkan diterimanya gagasan “asing”, yang menyebabkan perubahan
16

Koentjaraningrat, 1990, Sejarah Teori Antropologi II, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia,

p. 108.
17

William A. Haviland, 1993, Antropologi, jilid 2, Terjemahan R.G. Soekadijo, Erlangga,
Jakarta, p. 248.

12

dalam nilai-nilai dan tata kelakuan yang ada. Ini bahkan dapat berupa
pemasukannya secara besar-besaran tatacara asing melalui penaklukan
kelompok yang satu oleh kelompok yang lain.18
Berkaitan dengan masyarakat kecamatan Koto XI Tarusan, baik yang
tradisional maupun yang modern, selalu ada keyakinan yang bersifat kontradiktif
terhadap warisan budaya dan perubahan yang terjadi di dalamnya. Hal ini pada sati
sisi mereka menyadari, “sekali air besar sekali tepian berubah”. Dalam artian, bahwa
aturan adat-istiadat mereka dapat menyesuaikan diri dengan gerak perkembangan
zaman dan mereka menyadari adanya sesuatu yang harus mereka terima dari
perkembangan keadaan dan perubahan tersebut.
Pada sisi lain, juga ada pandangan yang melihat segala sesuatunya harus
dipertahankan, karena ada keyakinan bahwa mereka harus memilihara dan menjaga
“warisan budaya” yang diterima dari nenek moyang mereka. Dengan demikian pada
dasarnya masyarakat yang paling tradisional pun, dapat “menerima” adanya
perubahan, walaupun kadang-kadang dihadapi dengan sikap kritis dan hati-hati.
Namun dalam sosio-kultural masyarakat setempat, antara kehendak untuk melakukan
perubahan, atau memperbarui sesuatu yang mereka miliki dengan keinginan untuk
“mempertahankannya”, lebih sering berjalan seiring, sehingga menjadi sumber
dinamika dan kekuatan budaya dalam menghadapi perubahan dan tantangan zaman.19
Pada umumnya perkembangan kesenian yang terjadi dalam kebudayaan
masyarakat selalu mengikuti proses perubahan. Menurut Soemardjan, cepat atau
lambat proses perubahan tersebut dapat berlangsung adalah tergantung pada sikap
golongan di dalam masyarakat yang menerimanya. Hal demikian cenderung terjadi
pada generasi muda yang karena umurnya masih merasa bebas untuk membentuk hari
depannya, terutama generasi terpelajar di dalam masyarakat kota, menunjukan gejala

18

Ibid., p. 251.
Edy Utama, “Budaya dan Seni Pertunjukan Rakyat Minangkabau dalam Perubahan Sosial:
sebuah Pandangan dari Dalam”, dalam Simposium Internasional Ilmu-Ilmu Humaniora Ke-5 Fakultas
Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 8-9 Desember 1998.
19

13

lebih mudah menerima unsur-unsur kebudayaan lain dari pada yang sudah mereka
alami. Lebih lanjut penegasan tersebut dijelaskannya sebagai berikut.
… generasi muda pada umumnya cenderung untuk menghargai hal-hal yang
baru, juga dalam bidang kesenian, sehingga generasi muda itu cenderung
untuk memberikan apresiasi yang tinggi terhadap kesenian dalam bentuk dan
penampilan yang baru pula. Dalam proses meningkatnya umur para warga
generasinya maka lambat laun generasi muda itu menjadi generasi dewasa,
dan kemudian menjadi generasi tua yang konservatif dan mempertahankan
kebudayaan serta kesenian yang mereka kenal dalam hidup mereka. Secara
umum dapat dikatakan bahwa generasi tua berfungsi memelihara kelestarian
kebudayaan untuk diwariskan kepada generasi muda yang menyusulnya.
Adapun generasi muda berfungsi menerima dan memanfaatkan segala unsur
kebudayaan yang mereka warisi, tetapi dengan diadaptasikan melalui inovasiinovasi supaya lebih sesuai dengan keperluan hidup yang nyata dan mengikuti
selera zaman yang mereka alami.20
Berkaitan dengan musik secara khusus Kaemmer mengungkapkan bahwa, “music
change is basically seen today as variation in the replication of cultural norms as
they pass from generation to generation”.21
Berdasarkan uraian di atas, penulis mencoba mengamati kehidupan seni
pertunjukan rakyat, khususnya yang berubah dan berkembang dalam masyarakat
kecamatan Koto XI Tarusan. Adapun perubahan yang dimaksud pada salah satu seni
pertunjukan tersebut adalah musik gamat yang bentuk pertunjukannya semula di
sajikan di dalam rumah atau dipentaskan, menjadi pertunjukan prosesi yang semakin
membudaya dalam masyarakat kecamatan Koto XI Tarusan.
Dengan adanya fenomena perubahan bentuk penyajian tersebut pertanyaan
yang timbul adalah; sejak kapan dan siapa yang mempelopori pertunjukan musik
gamat dalam bentuk prosesi tersebut. Dalam kenyataannya bentuk penyajian prosesi
musik gamat telah berkembang dan membudaya dalam masyarakat kecamatan Koto
XI Tarusan sampai saat ini. Sudah barang tentu untuk mengetahui secara pasti prihal

20

Selo Soemardjan, op. cit., pp. 21-25.
John E. Kaemmer, op, cit., p. 179.

21

14

pelaku dan sejarah prosesi tersebut bukanlah hal yang mudah. Namun beberapa
informan diasumsikan seperti berikut.
Menurut Sutan Darwis,22 sebelum munculnya musik gamat sebagai musik
prosesi pada tahun 1940, sudah ada musik prosesi yang dinamakan fluit (penamaan
jenis musik khususnya di saerah kecamatan Koto XI Tarusan). Adapun instrumen
yang dimainkan terdiri dari; suling bambu, biola, dan gitar. Dalam artian bentuk
musik yang dimainkan adalah bersifat musik instrumental. Namun musik ini juga
sudah digunakan untuk upacara-upacara adat perhelatan perkawinan yang bersifat
prosesi seperti musik gamat sekarang.
Sekitar tahun 1952, barulah muncul musik gamat sebagai musik prosesi
sebagai pengganti dari musik fluit. Instrumen yang dimainkan terdiri dari; biola, gitar,
gendang, tambourin dan vokal. Corak lagu yang dimainkan adalah berbentuk joget.
Pada waktu itu musik gamat sebagai musik prosesi, baru ada satu kelompok untuk
melayani para peminatnya dalam masyarakat kecamatan Koto XI Tarusan. Adapun
pada saat itu kehadiran para generasi muda dalam berorganisasi sangat kompak
sekali. Kekompakan tersebut membuat seluruh kegitan pemuda baik olah raga
maupun kesenian berjalan dengan baik. Dalam artian, sewaktu kelompok musik
gamat sebagai musik prosesi ini di undang oleh peminatnya untuk acara-acara
perhelatan, tak mengherankan seluruh pemuda juga ikut berprosesi. Sungguhpun
tidak semua pemuda tersebut ikut telibat bernyanyi dalam penyajian musik tersebut.
Pada waktu itu disiplin bermain musik ketat sekali baik dari proses
mempelajarinya, maupun proses pertunjukannya. Mereka juga sudah dikenal dengan
sopan santun serta tata tertib ketika melakukan upacara adat yang bersifat prosesi itu.
Sungguhpun sebelumnya musik talempong pacik sebagai musik prosesi yang
berbentuk etnis Minangkabau asli juga sudah ada.
Lebih lanjut Sutan Darwis mengatakan bahwa, orang yang suka musik gamat
pertanda prilakuknya agak ke kota-kotaan, sebaliknya kalau suka musik talempong
pacik agak ketradisionalan. Sekarang ini peminatnya hanya didapati di daerah-daerah
22

Sutan Darwis Op. cit.

15

pedalaman kecamatan Koto XI Tarusan antara lain; Sungai Tawar, Sungai Nyalo,
Sungai Pinang, dan Mandeh, seperti pada gambar 3 sebagai berikut:

Gambar 3
Bentuk pertunjukan prosesi musik talempong pacik
Menurut Nazaruddin,23 berpendapat bahwa ialah yang pertama kali
memunculkan musik gamat sebagai musik prosesi. Dimana pada waktu itu beliau
menikah pada tahun 1952, sebagai mempelai beliau diprosesikan dari rumah orang
tua beliau sendiri ke tempat calon isterinya. Upacara prosesi ini dilaksanakan pada
malam hari jam 24.00. Ide yang demikian adalah merupakan hasil mufakat mereka
bersama dengan sesama anggota kelompok musik gamat yang bentuk pertunjukannya
disajikan di dalam rumah atau dipentaskan. Oleh karena anggota kelompok musik
gamat pada waktu itu banyak yang muda-muda (belum kawin), sehingga musik
gamat

yang diprosesikan (bentuk baru) itu bergilir antar sesama mereka untuk

mempergunakannya dalam acara perhelatan mereka sendiri. Dengan demikian
peminat musik ini berkembang disamping untuk kelompok sesama pemain musik
23

Nazaruddin Op. cit.

16

gamat itu sendiri, juga diminati oleh famili-famili terdekat masing-masing mereka.
Kelompok ini bertahan sampai pada tahun 1966, yang dipimpin oleh teman beliau
bernama Kami yang bertempat di Pasar Tarusan. Bertitik-tolak dari hal yang
demikian pada waktu itu keberadaan musik gamat

sebagai musik prosesi,

sungguhpun baru ada satu kelompok namun dapat berkembang keseluruh lapisan
masyarakat di kecamatan Koto XI Tarusan.
Pada tahun 1967 kelompok musik gamat sebagai musik prosesi ini
berkembang menjadi dua kelompok terdiri dari; kelompok pertama dipimpin oleh
Nazaruddin sendiri, sedangkan kelompok kedua dipimpin oleh teman beliau bernama
Saat (almarhum). Adapun kedua kelompok musik tersebut dapat berkembang sampai
sekarang, meskipun salah satu dari ketua kelompok tersebut sudah meninggal, namun
telah dilanjutkan oleh generasi berikutnya bernama Sawir (Nanggalo). Pada tahun
1991 muncul lagi kelompok musik gamat berikut juga dipimpin oleh seorang pemain
musik gamat bernama Indra (Anau Carocok).
Sepesialisai ketrampilan yang dimiliki dari masing-masing ketua kelompok
musik gamat sebagai musik prosesi seperti Sawir dan Indra adalah sebagai pemain
biola. Ketrampilan bermain biola yang dimilikinya disamping adanya usaha keras
mereka sendiri secara alami untuk mempelajarinya juga banyak belajar kepada
Nazzaruddin. Dengan demikian kehadiran Nazaruddin dapat dikatakan sebagai guru
dalam musik gamat juga sebagai pemain biola tertua atau dianggap senior dalam
musik tersebut di kecamatan Koto XI Tarusan sampai sekarang ini.
Berkaitan dengan instrumen musik yang dimainkan, adapun sebelumnya
terdiri dari: biola, gitar akustik, gendang, tambourin, dan vokal. Semua instrumen ini
dimainkan secara murni (non elektrik). Menurut Azman BK., 24 dengan munculnya
24

Azman BK Op.cit.

17

peralatan elektronik sebagai pengeras suara pada tahun 1974, membawa pengaruh
terhadap warna bunyi instrumen yang disajikan oleh kelompok musik gamat sebagai
musik prosesi. Sesuai dengan kemampuan kelompok untuk memiliki peralatan
elektronik hanya satu buah, maka alat tersebut hanya dapat digunakan untuk dua
instrumen dalam penyajian musik tersebut. Instrumen yang diberi alat pengeras suara
adalah biola dan vokal, sedangkan untuk instrumen gendang dan tambourin tetap
dimainkan secara musik murni. (non elektronik).
Untuk instrumen gitar akustik ternyata secara musikal kehadirannya tanpa alat
pengeras suara tidak lagi seimbang dalam produksi bunyi yang dihasilkan, sehingga
semenjak itu pula untuk instrumen gitar akustik tidak lagi disajikan dalam musik
gamat sebagai musik prosesi. Adapun secara musikal instrurmen yang disajikan
sampai saat ini sama dengan musik gamat yang bentuk pertunjukannya disajikan di
dalam rumah atau dipentaskan yang terdiri dari: biola, gendang, tambourin dan vokal,
seperti terlihat pada gambar 3 sebagai berikut.

Gambar 4

18

Bentuk pertunjukan prosesi musik gamat
(Foto Martarosa)
Dalam bentuk penyajian yang lain, Azman BK. disamping sebagai kepala
desa juga sebagai seorang seniman musik, beliau juga ikut membuat eksperimen
tentang bentuk penyajian musik gamat sebagai musik prosesi. Bagi beliau untuk
memainkan melodi musik tersebut tidak hanya melalui instrumen seperti, biola,
accordeon, harmonium dan sebagainya, akan tetapi juga dapat disajikan melalui
instrumen gitar electrik. Bentuk penyajian musik tersebut pernah beliau sajikan dari
tahun 1977 sampai pada tahun 1984. Hal ini dilanjutkan oleh musisi lain sampai
sekarang. Namun kehadiran kelompok musik tersebut, tidak sepopuler musik gamat
sebagai musik prosesi seperti telah diuraikan di atas, seperti terlihat pada gambar 4
sebagai berikut.

19

Gambar 5
Bentuk pertunjukan prosesi musik gamat dalam bentuk lain yang melodinya disajikan
melalui instrumen gitar elektrik (Foto Martarosa)

Oleh karena itu jumlah kelompok musik gamat sebagai musik prosesi yang
berkembang di kecamatan Koto XI Tarusan pada saat ini ada empat kelompok yang
terdiri dari; tiga kelompok yang melodinya disajikan melalui instrumen biola,
sedangkan yang satu kelompok lagi melodinya disajikan melalui gitar elektrik.
Dengan demikian berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa
pelepor pelaku perubahan bentuk pertunjukan musik gamat dari bentuk pertunjukan
yang disajikan di dalam rumah atau dipentaskan ke bentuk pertunjukan prosesi dalam
budaya masyarakat kecamatan Koto XI Tarusan,

adalah para pekerja musik itu

sendiri. Secara bertahap dengan proses waktu yang cepat, sehingga dapat dilegitimasi
oleh masyarakat pendukungnya sampai sekarang ini.

IV. KESIMPULAN
Pada sebuah artikel yang ditulis oleh Ike Halim, “Haluan”, 1977, dimuat
berita tentang kesenian gamat di Pesisir Selatan. Dikatakan bahwa kesenian yang
sering diadakan pada acara-acara pesta perkawinan yang sekarang ini sudah langka
tersebut banyak digemari kaum muda apalagi kaum tua. Oleh karena kesenian
Minang yang berasal dari tanah Melayu itu tidak diwariskan pada generasi yang
sekarang, makanya jarang ditemukan. Lainnya halnya di Kecamatan Koto XI
Tarusan, kesenian gamat ini dapat ditemui disetiap prosesi penganten atau perhelatan
lainnya sebagai musik iringannya.
Berkaitan dengan apa yang dikatakan oleh Ike Halim, maka sangat kuat
dugaan bahwa keberadaan musik gamat di daerah Kecamatan Koto XI Tarusan

20

adalah merupakan, hubungan sosial budaya antara masyarakat Minangkabau baik
pribumi maupun perantau dengan masyarakat Melayu di Pulau Sumatera bagian
Timur atau Semenanjung Melayu, terjadinya saling

mempengaruhi

dalam

perkembangan musik. Hal tersebut terlihat pada pengggunaan instrumen dan salah
satu lagu berjudul kaparinyo yang dipengaruhi oleh Portugis sebagai ekspresi musikal
budayanya. Untuk hal tersebut dapat dikatakan bahwa, tumbuh dan berkembangnya
musik gamat sebagai budaya masyarakat Pesisir Minangkabau dan begitu juga musik
Melayu sebagai budaya masyarakat di Semenanjung Melayu adalah hasil saling
mempengaruhi budaya antara; Minangkabau, Melayu dan Portugis.
Keberadaan musik gamat di tanah Minangkabau khususnya kota Padang
sangat berpengaruh sekali bagi tumbuh dan bekembangnya musik gamat di daerah
kecamatan Korto XI Tarusan, karena secara geografis kota Padang merupakan daerah
perbatasan wilayah

utara kecamatan Koto XI Tarusan. Dalam artian tak

mengherankan kedua daerah ini mempunyai kebudayaan relatif sama, karena terletak
dikawasan pantai yang berdekatan disebut Rantau Pesisir Minangkabau.
Tumbuh dan berkembangnya musik gamat khusus bentuk pertunjukan prosesi
di daerah Sumatera Barat (Minangkabau), satu-satunya adalah terdapat di daerah
kecamatan Koto XI Tarusan. Secara historis pada awal bentuk pertunjukan musik
tersebut adalah berasal dari bentuk pertunjukan yang disajikan di dalam rumah atau
dipentaskan. Namun terwujudnya hal tersebut adalah berdasarkan keinginan dan
kehendak yang dipelopori oleh para pekerja musik itu sendiri, ketika salah satu
diantara mereka melakukan pernikahan dalam acara prosesi pengantennya. Dengan
demikian musik gamat prosesi (bentuk baru) itu tampa disadari oleh para anggota
musik gamat yang belum menikah lainnya juga tertarik untuk melakukan hal yang
sama. Secara bertahap dengan proses waktu yang cepat pertunjukan musik gamat
yang berbentuk prosesi tersebut akhirnya dilegitimasi oleh masyarakat sekitarnya,
sehingga dapat berkembang dan membudaya sampai sekarang ini.

21

Catatan
1. A.A. Navis, 1982, “Seni Minangkabau Tradisional Sumbangan Budaya

Dalam

Pembangunan Nasional”, dalam Analisis Kebudayaan, Depdikbud, Jakarta, p. 96-97.
2. Rusli Amran, 1988, Padang Riwayatmu Dulu, CV. Yasaguna Jakarta, p. 192.
3. Christine Dobbin, 1992, Kibangkitan Islam Dalam Ekonomi Petani Yang Sedang Berubah:
Sumatera Tengah 1784-1847, Terjemahan Lillian D. Terjemahan, INIS, Jakarta, p. 74-75.
4. Ibid., p. 151-152.
5. Hamka, Islam Dan Adat Minangkabau, Penerbit PT. Pustaka Panjimas, Jakarta. p. 11.
6. Dada Meuraxa, Sejarah Kebudayaan Sumatera, Firman Hasmar, Medan. p. 467.
7. Rusli Amran, 1981, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang, Sinar Harapan, Jakarta, p. 80.
8. Op. cit., 1988, p. 149.
9. Rizaldi, 1995, Musik Gamat Di Kotamadya Padang: Sebuah Bentuk Akulturasi Antara
Budaya Pribumi Dan Budaya Barat, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, p. 135.
10. Ibid, p. 66-68.
11. Khatib Mahyuddin, adalah sebagai; ulama, khatib, Imam, dan musisi di daerah Kecamatan
Koto XI Tarusan. Sebagai musisi beliau memiliki ketrampilan musik; harmonium, benyol, semenjak
tahun 1930-1945, sedangkan dikia rebana serta vokalis semenjak tahun 1945-1980, (pengertian orkes
hanya sebagai penamaan kelompok musik, pen).
12. Ibid.
13. Nazaruddin disamping sebagai musisi musik gamat, baik yang bentuk pertunjukannya
dipentaskan maupun berbentuk prosesi, beliau juga seorang guru atau pelatih musik gamat di
Kecamatan Koto XI Tarusan. Ketrampilan musik yang dimiliki; biola, dan gitar, sudah dimulai sejak
tahun 1935 sampai sekarang
14. Sutan Darwis adalah sebagai musisi yang meliputi; musik gambus, musik orkes dan musik
gamat pada tahun 1940-1955, ketrampilan musik yang dimiliki; string bass. Gitar, dan sebagai vokalis.
Sekarang beliau sebagai tokoh masyarakat di Kecamatan Koto XI Tarusan.
15. Azman BK. adalah sebagai musisi yang meliputi; musik orkes, musik band, dan musik
gamat. Ketrampilan musik yang dimiliki; gitar, accordeon, semenjak tahun 1961. Beliau juga sebagai
pelopor pembahuruan pada setiap dekade perkembangan musik di Kecamatan Koto XI Tarusan.
16. Koentjaraningrat, 1990, Sejarah Teori Antropologi II, Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, p. 108.
17. William A. Haviland, 1993, Antropologi, jilid 2, Terjemahan R.G. Soekadijo, Erlangga,
Jakarta, p. 248.

22

18. Ibid., p. 251.
19. Edy Utama, “Budaya dan Seni Pertunjukan Rakyat Minangkabau dalam Perubahan Sosial:
sebuah Pandangan dari Dalam”, dalam Simposium Internasional Ilmu-Ilmu Humaniora Ke-5 Fakultas
Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 8-9 Desember 1998.
20. Selo Soemardjan, op. cit., pp. 21-25.
21. John E. Kaemmer, op, cit., p. 179.
22. Sutan Darwis Op. cit.
23. Nazaruddin Op. cit.
24. Azman BK Op.cit.

23