Hak Asasi Manusia Nilai Etika dan Ham

I.1 Latar Belakang
Budaya di hampir semua daerah di Indonesia hingga kini masih banyak menjadi pemicu
terjadinya pelanggaran hak azasi manusia (HAM). Budaya yang dinilai bertentangan dengan
HAM itu antara lain budaya patriarki, sistem kasta, yang cenderung menerapkan perlakuan
diskriminatif dalam memperoleh akses pendidikan, kesehatan dan lainnya. “Budaya-budaya
yang bertentangan dengan HAM itu hampir tersebar di seluruh daerah di Indonesia,”. Budayabudaya diskriminatif seperti itu perlu dikikis terus demi terwujudnya nilai budaya baru yang
egaliter, yang memosisikan semua orang dalam kesetaraan. Diduga kuat, masih adanya budayabudaya yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip HAM ini ikut memicu tingginya terjadinya
kasus-kasus pelanggaran HAM yang dilaporkan ke Komisi Nasional Hak Azasi Manusia. Selama
2009 misalnya, kasus-kasus pelanggaran HAM yang masuk ke Komnas HAM tak kurang dari
5000 kasus. Dan hampir semua laporan kasus yang masuk itu sudah direkomendasikan ke
instansi penegak hukum untuk diproses lebih lanjut.
Seperti halnya, Hubungan antara suku bangsa dengan ras sangatlah erat. Perbedaan ras banyak
ditunjukan dengan perbedaan biologis fisik. Misalnya ada anggapan bahwa berkulit hitam pasti
berambut keriting, sedangkan berkulit kuning berambut lurus. Faktor rasa ini sampai sekarang
tidak dapat diubah dengan teknologi dan tidak dapat disembunyikan. Bisakah Indonesia damai
dalam keberagaman? Konflik yang bernuansa suku, agama dan ras makin sering terjadi di
Indonesia, dalam hal kebudayaan. Hal ini dipicu oleh masyarakat Indonesia yang
dilatarbelakangi oleh beragam suku, agama, dan golongan yang berbeda. Relasi yang kurang
harmonis, prasangka, dan kesalah-pahaman sering terjadi dan sering pula menimbulkan konflik
dan tindak kekerasan. Kalaupun usaha yang mengarah ke resolusi penyelesaian masalah sudah
sering dilakukan, nampaknya akar masalah belum terkuak sehingga konflik sering terulang

kembali. (Sumber: http://www.beritakaget.com/arsip/contoh-kasus-ham-dalam-bidangkeragaman-budaya-indonesia.html, 27 – 11 – 2012).
I.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalahan di atas, pembahasan makalah ini akan membahas dalam
hal: “Potensi Keberagaman Budaya”, “Karakteristik Budaya Nasional”, “Hubungan Budaya Lokal,
Dan Budaya Nasional”, “Sikap Toleransi Dan Empati”, “Membangun Sikap Kritis, Toleransi Dan
Empati Dalam Masyarakat Kultural”, “Masalah Yang Muncul Akibat Keberagaman Budaya”,
“Manfaat Keberagaman Budaya”, “Peran Masyarakat dalam menjaga Keberagaman Budaya”,
“Peran Pemerintah dalam menjaga Keberagaman Budaya”.
I.3 Tujuan
Supaya kita mengetahui apa pengertian, pada keberagaman budaya sebagai wujud aktualisasi
nilai – nilai Hak Asasi Manusia.
I.4 Tinjauan Pustaka
I.4.1 Pengertian HAM
HAM berurusan dengan dua hal. Pertama, menyangkut hak dan kedua, mengenai manusia.
Untuk menghubungkan keduanya maka dalam perdebatan filosofis, HAM pertama-tama
merupakan bagian dari hak moral yang bersemayam dalam kemanusiaan seseorang. Hak moral

adalah hak yang didasarkan atas norma-norma dan nilai-nilai moral. Sehingga, sumber langsung
HAM adalah martabat luhur yang merupakan nilai yang melekat dalam diri setiap manusia.
Karena itu, secara harafiah, hak-hak asasi manusia berarti hak yang dimiliki seseorang sematamata karena ia seorang manusia (Donnelly dalam Ceunfin, 2004: 6).

Kesadaran akan pentingnya hak-hak semakin menguat seiring dengan kesadaran moral umat
manusia yang juga makin berkembang. Penghargaan dan pengakuan terhadap hak-hak,
berhubungan erat dengan penghayatan nilai-nilai, khususnya moral. Dalam hubungannya
dengan HAM, penghargaan tersebut merupakan suatu imperatif moral dan bukan soal belas
kasih dan keputusan pribadi (Ceunfin, 2004: xxi). Imperatif tersebut hadir ke permukaan
sebagai kebajikan manusia yang melahirkan keyakinan tentang adanya hak-hak dasar yang tidak
boleh dilanggar. Pelanggaran atau pengurangan hak-hak tersebut akan mengurangi martabat
manusia, sehingga untuk alasan apa pun hak-hak tersebut tidak boleh dikurangi, dilanggar
maupun diabaikan. Meskipun seseorang melakukan perjanjian untuk menyerahkan atau
mengurangi kebebasannya, kontrak tersebut tidak akan dianggap sah dan esensi HAMnya tidak
akan dikurangi (Onaga & Manuel, 2004: 8).
Menurut Amartya Sen, hak asasi manusia dipandang terbaik dan secara mendasar hadir sebagai
komitmen dalam etika sosial yang dapat dibandingkan dengan – tapi sekaligus sangat berbeda
dari – penerimaan logika utilitarian yang diusung oleh Jeremy Bentham dan pendukungnya.
Sebagaimana prinsip etik lainnya, HAM dapat dan tentu saja dipersengketakan, tapi disana
tuntutannya adalah bahwa HAM akan tetap bertahan hidup dengan membuka diri dan
terinformasikan secara cermat dan jeli (Sen, dalam Andreassen dan Marks, 2006: 3). HAM
dalam pemikiran Sen berhubungan dengan dinamika dan perkembangan peradaban manusia
yang memberi isi bagi HAM. Isi tersebut (HAM) selanjutnya diuji dalam ruang publik untuk
mengukur, apakah klaim yang mengusung pembenarannya dapat dipertahankan secara etis.

Karena itu, klaim hak disini pertama-tama bukan merupakan sesuatu yang imajiner tetapi nyata.
Dworkin menyebutnya dengan istilah hak moral dalam artian yang tegas, sehingga ketika hak
tersebut bersaing dengan hak lain, argumen yang disampaikan benar-benar berhubungan
langsung dengan hak itu. Misalnya, ketika berhadapan dengan suatu undang-undang wajib
militer, dengan mengacu pada hak moralnya yang tegas, seseorang bisa menolak melaksanakan
kewajiban tersebut karena secara agama dia meyakini larangan untuk tidak membunuh.
Meskipun, dia segera dihukum karena pelanggaran tersebut, hak moral itu tidak akan hilang,
tetapi melekat dalam diri orang yang bersangkutan. Demikian halnya dengan larangan undangundang atas suatu keyakinan beragama tertentu, seseorang yang menganut keyakinan tersebut
berdasarkan hak moralnya melawan peraturan tersebut. Meskipun bertentangan dengan
undang-undang, hak moral tersebut tidak bisa diambil atau dikurangi. Ketika hak moral tersebut
tergerus oleh penilaian pemerintah maka itu sama artinya memberi preseden bagi penguasa
untuk berdasarkan alasan hukum, bisa serta merta mencabut hak moral seseorang. Disitu,

pengakuan hak telah kehilangan artinya secara keseluruhan (Dworkin, dalam Ceunfin, 2004:
214-249).
I.4.2 Prinsip – Prinsip HAM
The Vienna Declaration and Programme of Action, sebagai hasil dari Konferensi Dunia tentang
HAM tahun 1993, menegaskan bahwa semua HAM adalah universal dan tidak dapat diasingkan
(inalienable), tidak dapat dibagi (indivisible), saling berhubungan dan tergantung satu sama lain
(interdependent and interrelated). Prinsip-prinsip inilah yang umum dipakai dalam memandang

HAM yang sifatnya kumulatif dan serentak. Berikut ini, merupakan uraian singkat keempat
prinsip tersebut.
Pertama, HAM disebut universal. Diyakini bahwa semua orang dimana pun, dengan
berbagai bahasa dan bentuk ungkapannya memiliki HAM. Namun, ada keraguan terhadap nilai
universalitas tersebut karena landas pijak HAM yang berbeda-beda, misalnya, jika mengacu pada
moral maka hak moral bisa jamak dan saling bersaing satu sama lain (Dworkin dalam Ceunfin,
2004: 230). Disitu, secara substantif sulit untuk menyebut HAM yang diklaim sekelompok orang
sebagai sesuatu yang universal. Menurut Sen, universalitas yang dimiliki HAM memang
tergantung pada kemampuan bertahan yang dia miliki dalam diskusi lintas batas pemegang hak.
Validitas hak-hak tersebut dapat dipertanyakan hanya dengan menunjukan bahwa mereka tidak
dapat bertahan dari kejelian publik (ketika menguji hak-hak tersebut –pen) tapi bukan dengan –
berlawanan dengan keinginan umum – menunjukan fakta bahwa dalam banyak regim represif
yang menghalangi diskusi publik dalam satu aspek atau beberapa aspek, hak-hak tersebut tidak
perhatikan secara sungguh-sungguh. Dalam konteks itu, menurut Sen, berkembang hidupnya
HAM berhubungan dengan apa yang dikatakan John Rawls sebagai “nalar publik (public
reasoning)” (Sen, dalam Andreassen dan Marks, 2006: 3).
Sen, dalam hal ini, menyerahkan universalitas HAM pada diskursus publik yang dalam dirinya
sendiri bertindak sebagai “hakim” atas validitas HAM yang dipertaruhkan. Arena diskusi publik
beragam tapi dalam satu Negara wujudnya antara lain kesepakatan-kesepakatan konstitusional.
Misalnya, HAM yang tertuang dalam UUD 1945 dari amandemen pertama hingga amandemen

keempat, merupakan wujud diskusi publik yang menjadi prinsip moral, politik dan hukum di
Indonesia sebagai negara.
Kedua, HAM tidak dapat diasingkan (inalienable). Disini, hak yang dimiliki setiap orang
tidak dapat dipindahkan atau diambilalih dari orang tersebut dalam berbagai situasi apa pun.
Seseorang tidak akan kehilangan hak-hak tersebut sebagaimana dia tidak akan pernah berhenti
sebagai manusia. Konsep ini merupakan warisan pemikiran hak koderati yang melihat bahwa
hak asasi manusia ada, terutama karena kodrat seseorang sebagai manusia, tidak tergantung
pada afiliasi politik, ikatan kultural, agama, atau relasi sosial apapun, karena manusia adalah
martabat yang terberi (given), sehingga unik dan tak tergantikan (Ceunfin, 2004: xxii).4 John
Locke dalam Two Treatises of Government (1688) menggunakan konsep hak kodrati untuk

mendeskripsikan hak yang dimiliki secara individual, lepas dari pengakuan politik yang
diberikan oleh Negara. Hak kodrat dimiliki lepas dari dan mendahului pembentukan komunitas
politik manapun. Locke berargumen bahwa hak kodrat mengalir dari hukum alam. Dan hukum
alam berasal dari Tuhan.5 Locke memberi pandangan, dengan hak kodrati atau alamiah, setiap
orang karena hukum alam, berhak atas kehidupan, kebebasan dan harta milik agar dapat
bertahan hidup dan berkembang biak (Shapiro, 2006: 85).
Ketiga, HAM tidak dapat dibagi-bagi. Seseorang tidak bisa menyangkal HAM karena alasan
prioritas berdasarkan hierarki, bahwa ada HAM yang lebih penting dari yang lain. Tidak ada
level dalam HAM karena semuanya sama. Sifat HAM adalah mutlak. Makna yang paling kuat

dan menarik perihal sifat mutlak menurut Joel Feinberg adalah sifat sama sekali tidak
terkecualikan, tidak saja dalam bingkai suatu cakupan yang terbatas, tetapi juga keseluruhan
cakupan itu sendiri yang tidak terbatas. Misalnya, hak kebebasan bicara disebut mutlak dalam
arti bila hak itu melindungi semua pembicara tanpa kecuali (Joel Feinberg, dalam Ceunfin,
2004: 139). Seandainya hak berbicara itu pun dipakai untuk menentang suatu regim
pemerintahan yang sah, hak itu tidak akan kehilangan maknanya, meskipun pelakunya dihukum
berdasarkan undang-undang (Dworkin, dalam Ceunfin, 2004: 244-245).
Sifat mutlak dan tidak terkecualikan membuat HAM tidak dapat dibagi karena suatu alasan dan
kondisi tertentu. Namun, dalam perkembangannya, HAM juga bersifat khusus (special rights),
misalnya HAM untuk anak, perempuan, indigenous peoples yang tidak menyebut semua atau
setiap orang. Pengaturan khusus seperti itu, sekilas memperlihatkan HAM seolah-olah terbagi
antara yang umum dengan yang khusus, tertentu dan tidak tertentu, partikular dan universal.
Sehingga, seolah-olah kita bisa memilah dan memilih dengan alat ukur prioritas atau kesesuaian
dengan konteks sosial dimana kita berdiri. Apa benar demikian?
Adalah normal, semua orang menginginkan hidup layak tanpa tekanan, diskriminasi dan
berbagai bentuk opresi lainnya. Perempuan, anak-anak maupun indigenous peoples dalam
sejarah mereka, seringkali mengalami tindakan opresif baik oleh Negara, kelas tertentu maupun
masyarakat dominan. Dalam konteks itu, adanya hak khusus untuk mereka, bukan karena
kemewahan identitas tetapi karena mereka adalah manusia yang juga menginginkan hidupnya
normal, jauh dari diskriminasi dan tindakan opresif. Hak-hak tersebut menjadi HAM, bukan

untuk menguatkan hak seorang perempuan terhadap perempuan lainnya (women qua women),
seorang anak terhadap anak lainnya, suatu komunitas indigenous peoplesterhadap indigenous
peoples lainnya, tapi seorang manusia terhadap manusia lainnya (persons qua persons).7 Karena
mereka manusia, maka kita tidak bisa memilih HAM mana yang boleh dan mana yang tidak
boleh. Pemilah-milahan justru melanggar hak-hak tersebut, karena akan makin lama mereka
berada dalam kubangan diskriminasi dan opresi.
Keempat, HAM saling berhubungan dan tergantung satu sama lain. HAM merupakan
bagian dari kerangka kerja yang sifatnya saling melengkapi satu sama lain. Pemenuhan atas satu

hak, secara keseluruhan atau sebagian, seringkali tergantung pada pemenuhan yang lain. Sebagai
contoh, kemampuan untuk berpartisipasi dalam pemerintahan secara langsung dipengaruhi oleh
hak berekspresi, hak atas pendidikan dan bahkan hak untuk memperoleh hidup yang layak. Tiap
hak berkontribusi terhadap perwujudan martabat kemanusiaan seseorang, lewat pemenuhan
kebutuhan pengembangan fisik, psikis dan spiritual. Karena itu, tidak bisa diterima jika ada
prioritas terhadap hak yang satu, sembari melecehkan hak yang lain.
Dalam sejarah umat manusia, HAM sekaligus merupakan refleksi atas pengalaman sejarah
kekerasan manusia, praktek dan tindakan opresif tertentu atau yang disebut teknik represi
(techniques of repression) yang merupakan bagian dari sistem opresi (system of oppression),
dan penggunaan teknik-teknik represi tersebut untuk membentuk sistem yang selanjutnya
mempabrik hukum dan etika untuk mendukung bekerjanya opresi sistemik.9 Pertalian historis

ini berhubungan satu sama lain, sehingga HAM yang terbentuk dalam setiap generasi memiliki
hubungan dengan generasi sebelumnya dan juga menggandeng generasi berikutnya.
Mengkhususkan diri pada satu generasi HAM, berarti mengabaikan sejarah opresi yang lainnya.
Disitu, secara implisit ada semacam upaya tidak langsung untuk melihat opresi yang lainnya
sebagai sesuatu yang normal, dan karena itu HAM yang merupakan refleksi atas opresi tersebut
tidak perlu dirujuk. Jika terjadi demikian, maka pengakuan atas sebagian HAM tersebut telah
kehilangan maknanya. Karena itu, perlindungan dan pemenuhan HAM tertentu, berhubungan
dan tergantung pada perlindungan dan pemenuhan HAM lainnya. Dengan demikian, saling
tergantung dan berhubungan satu sama lain adalah watak dan prinisp HAM yang melekat dan
serentak berjalan bersama tiga prinsip sebelumnya.
I.4.3 Pengertian Karakteristik dan Kebudayaan
Karakteristik secara etimologis berasal dari bahasa Inggris, yaitu berasal dari kata character.
Articharacter sendiri adalah watak, sifat, dan peran. Karakter bisa diartikan sebagai suatu sifat
ataupun cirri-ciri yang khusus (yang membedakannya dengan yang lain). Characteristic adalah
sifat yang khas, yaitu sebuah keistimewaan atau ciri kahas yang membantu dalam mengenal
seseuatu, memisahkannya dengan yang lain, atau mendeskripsikan secara jelas dan nyata;
sebuah tanda yang berbeda.
Pengertian kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia
dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
Kebudayaan bisa dikatakan sebagai suatu sistem dalam masyarakat dimana terjadi interaksi

antar individu/kelompok dengan idnividu/kelompok lain sehingga menimbulkan suatu pola
tertentu, kemudian menjadi sebuah kesepakatan bersama (baik langsung ataupun tidak
langsung).
I.4.4 Implikasi Karakteristik Kebudayaan
Karakteristik Kebudayaan adalah sesuatu yang dapat dipelajari, dapat ditukar dan dapat
berubah, itu terjadi ‘hanya jika’ ada jaringan interaksi antarmanusia dalam bentuk komunikasi
antarpribadi maupun antarkelompok budaya yang terus menerus. Dalam hal ini, seperti yang
dikatakan oleh Edward T. Hall, budaya adalah komunikasi; komunikasi adalah budaya. Jika
kebudayaan diartikan sebagai sebuah kompleksitas total dari seluruh pikiran, perasaan, dan
perbuatan manusia, maka untuk mendapatkannya dibutuhkan sebuah usaha yang selalu

berurusan dengan orang lain. Disini Edward T. Hall menegaskan bahwa hanya manusialah yang
memiliki kebudayaan, sedengakan binatang tidak. Karaktersitik dari kebudayaan membentuk
perilaku –perilaku komunikasi yang khusus, yang tampil dalam konsep subkultur. Subkultur
adalah kebudayaan yang hanya berlaku bagi anggota sebuah komunitas dalam satu kebudayaan
makro. Sebagai contoh para homosex atau lesbi mempunyai kebudayaan khsus, apakah itu dari
segi pakaian, makanan, istilah, atau bahasa yang digunakan sehari-hari.
Dalam mempelajari kebudayaan tedapat beberapa pendekatan: materi, behaviorisme, dan
ideasional. Pendekatan materi yakni memandang kebudayaan sebagai materi: pada produk yang
dihasilkan sehingga bisa diobservasi. Pendekatan behavirosime kebudayaan dipandang sebagai

suatu pola tindakan dan perilaku atau sebagai suatu sistem adaptif. Sedangakan pada
pendekatan ideasional kebudayaan dipandang sebagai suatu ide, yaitu keseluruhan pengetahuan
yang memungkinkan prosuk dan perilaku ditampakkan.
Dalam memahami kebudayaan kita harus mengacu pada sejumlah karakteristik kebudayaan,
antara lain adalah bahwa kebudayaan itu dimiliki bersama, diperoleh melalui belajar, bersifat
simbolis, bersifat adaptif dan maladapti, bersifat relatif dan universal
Pembahasan
II.1 POTENSI KEBERAGAMAN BUDAYA
Tiap suku bangsa ini memiliki ciri fisik, bahasa, kesenian, adat istiadat yang berbeda. Dengan
demikian dapat dikatakan bangsa Indonesia sebagai negara yang kaya akan budaya. Beberapa
aspek keberagaman budaya Indonesia antara lain suku, bahasa, agama dan kepercayaan, serta
kesenian. Kekayaan budaya ini merupakan daya tarik tersendiri dan potensi yang besar untuk
pariwisata serta bahan kajian bagi banyak ilmuwan untuk memperluas pengetahuan dan
wawasan. Hal yang utama dari kekayaan budaya yang kita miliki adalah adanya kesadaran akan
adanya bangga akan kebudayaan yang kita miliki serta bagaimana dapat memperkuat budaya
nasional sehingga “kesatuan kesadaran “ atau nation bahwa kebudayaan yang berkembang
adalah budaya yang berkembang dalam sebuah NKRI sehingga memperkuat integrasi.
Seperti halnya dalam Pengertian kebudayaan, dimana keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan
hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia
dengan belajar. Kebudayaan bisa dikatakan sebagai suatu sistem dalam masyarakat dimana

terjadi interaksi antar individu/kelompok dengan idnividu/kelompok lain sehingga
menimbulkan suatu pola tertentu, kemudian menjadi sebuah kesepakatan bersama (baik
langsung ataupun tidak langsung).
Disatu sisi bangsa Indonesia juga mempunyai permasalahan berkaitan dengan keberagaman
budaya yaitu adanya konflik yang berlatar belakang perbedaan suku dan agama. Banyak pakar
menilai akar masalah konflik ialah kemajemukan masyarakat, atau adanya dominasi budaya

masyarakat yang memilki potensi tinggi dalam kehidupan serta adanya ikatan primordialisme
baik secara vertikal dan horisontal. Disamping itu kesenjangan antara dua kelompok masyarakat
dalam bidang ekonomi, kesempatan memperoleh pendidikan atau mata pencaharian, maupun
sosial dan budaya yang mengakibatkan kecemburuan sosial, terlebih adanya perbedaan dalam
mengakses fasilitas pemerintah juga berbeda (pelayanan kesehatan, pembuatan KTP, SIM atau
sertifikat serta hukum). Semua perbedaan tersebut menimbulkan prasangka atau kontravensi
hingga dapat berakhir dengan konflik.
Dalam mempelajari kebudayaan tedapat beberapa pendekatan: materi, behaviorisme, dan
ideasional. Pendekatan materi yakni memandang kebudayaan sebagai materi: pada produk yang
dihasilkan sehingga bisa diobservasi. Pendekatan behavirosime kebudayaan dipandang sebagai
suatu pola tindakan dan perilaku atau sebagai suatu sistem adaptif. Sedangakan pada
pendekatan ideasional kebudayaan dipandang sebagai suatu ide, yaitu keseluruhan pengetahuan
yang memungkinkan prosuk dan perilaku ditampakkan.
Dalam memahami kebudayaan kita harus mengacu pada sejumlah karakteristik kebudayaan,
antara lain adalah bahwa kebudayaan itu dimiliki bersama, diperoleh melalui belajar, bersifat
simbolis, bersifat adaptif dan maladapti, bersifat relatif dan universal.
Dalam konteks HAM, Kesadaran akan pentingnya hak-hak semakin menguat seiring dengan
kesadaran moral umat manusia yang juga makin berkembang. Penghargaan dan pengakuan
terhadap hak-hak, berhubungan erat dengan penghayatan nilai-nilai, khususnya moral. Dalam
hubungannya dengan HAM, penghargaan tersebut merupakan suatu imperatif moral dan bukan
soal belas kasih dan keputusan pribadi (Ceunfin, 2004: xxi). Imperatif tersebut hadir ke
permukaan sebagai kebajikan manusia yang melahirkan keyakinan tentang adanya hak-hak
dasar yang tidak boleh dilanggar. Pelanggaran atau pengurangan hak-hak tersebut akan
mengurangi martabat manusia, sehingga untuk alasan apa pun hak-hak tersebut tidak boleh
dikurangi, dilanggar maupun diabaikan. Meskipun seseorang melakukan perjanjian untuk
menyerahkan atau mengurangi kebebasannya, kontrak tersebut tidak akan dianggap sah dan
esensi HAMnya tidak akan dikurangi (Onaga & Manuel, 2004: 8).
II.2 KARAKTERISTIK BUDAYA NASIONAL
Ki Hajar Dewantara mengemukakan kebudayaan nasional Indonesia adalah puncak-puncak
kebudayaan daerah, menurut Koentjoroningrat kebudayaan nasional Indonesia adalah
kebudayaan yang didukung sebagian besar rakyat Indonesia, bersifat khas dan dapat
dibanggakan oleh warga Indonesia. Wujud budaya nasional:
a. Bahasa, yaitu bahasa Indonesia. Sebagai bahasa nasional berfungsi sebagai lambang kebangga
nasional, lambang identitas nasional, alat pemersatu berbagai suku bangsa dan alat penghubung
antardaerah dan antar budaya

b. Seni berpakaian, contohnya adalah pakaian batik yang menjadi simbol orang Indonesia dan
non – Indonesia, serta pakaian kebaya
c. Perilaku, misalnya gotong royong (walaupun tiap daerah mempunyai nama yang berbeda,
sambatan, gugur gunung,). Selain gotong royong juga ada musyawarah, misalnya , adanya balai
desa tempat musyawarah tiap desa, atau honai, rumah laki-laki suku Dani serta subak pada
masyarakat Bali. Contoh yang lain adalah ramah tamah dan toleransi. Menurut Dr Bedjo dalam
tulisannya memaknai kembali Bhineka Tunggal Ika dituliskan konsep Bhineka Tunggal Ika
berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 66 tahun 1951, juga merujuk pada sumber asalnya yaitu
Kitab Sutasoma yang ditulis oleh Empu Tantular pada abad XIV. Semboyan tersebut merupakan
seloka yang menekankan pentingnya kerukunan antar umat yang berbeda pada waktu itu yaitu
Syiwa dan Budha. Yang terpenting disini adanya wacana baru yang dikemukakan penulis tentang
semboyan bangsa. Bhineka Tunggal Ika juga ditafsirkan sebagai “Ben Ika Tunggale Ika “ (baca:
ben iko tunggale iko, Bahasa Jawa – red). Kata ‘ben” artinya biarpun, kata ‘ika’ dibaca iko yang
artinya ‘itu atau ini’ dengan menunjuk seseorang atau sekelompok orang didekatnya atau di luar
kelompoknya. Kata ‘tunggale’ artinya ‘sadulur’ atau ‘saudara’. Jadi kalimat diatas dapat dimaknai
menjadi: Biarpun yang ini/itu saudaranya yang ini/itu dan lebih jauh lagi, makna dari Bhineka
Tunggal Ika adalah paseduluran atau persaudaraan. Dengan persaudaraan sebagai sebuah
keluarga besar yang dilahirkan oleh Ibu Pertiwi yang bermakna Indonesia. Jadi memang
kerukunan dan toleransi merupakan akar budaya nasional
d. Peralatan, banyak sekali peralatan, materi atau artefak yang menjadi kebanggaan nasional
misalnya Candi Borobudur dan Prambanan, Monas
Dalam implikasi karakteristik budaya, Kebudayaan adalah sesuatu yang dapat dipelajari,
dapat ditukar dan dapat berubah, itu terjadi ‘hanya jika’ ada jaringan interaksi antar manusia
dalam bentuk komunikasi antarpribadi maupun antar kelompok budaya yang terus menerus.
Dalam hal ini, seperti yang dikatakan oleh Edward T. Hall, budaya adalah komunikasi;
komunikasi adalah budaya. Jika kebudayaan diartikan sebagai sebuah kompleksitas total dari
seluruh pikiran, perasaan, dan perbuatan manusia, maka untuk mendapatkannya dibutuhkan
sebuah usaha yang selalu berurusan dengan orang lain.
Dalam konteks HAM, Sebagaimana prinsip etik budaya, HAM dapat dan tentu saja
dipersengketakan, tapi disana tuntutannya adalah bahwa HAM akan tetap bertahan hidup
dengan membuka diri dan terinformasikan secara cermat dan jeli (Sen, dalam Andreassen dan
Marks, 2006: 3). HAM dalam pemikiran Sen berhubungan dengan dinamika dan perkembangan
peradaban manusia yang memberi isi bagi HAM. Isi tersebut (HAM) selanjutnya diuji dalam
ruang publik untuk mengukur, apakah klaim yang mengusung pembenarannya dapat
dipertahankan secara etis.
II.3 HUBUNGAN BUDAYA LOKAL DAN BUDAYA NASIONAL

Budaya lokal yang bernilai positif, bersifat luhur dapat mendukung budaya nasional. Dalam
pembangunan kebudayaan bangsa, nilai-nilai budaya positif baik budaya daerah perlu
dipertahankan dan dikembangkan karena justru menjadi akar atau sumber budaya nasional.
Mengingat budaya bangsa merupakan “hasil budi daya rakyat Indonesia seluruhnya” maka cepat
lambat pertumbuhannya tergantung kearifan peran serta seluruh masyarakatnya. Bagaimana
peran keluarga, sekolah dan pemerintah menanamkan budaya daerah pada generasi berikutnya
dan kearifan generasi muda dalam melestarikan budaya daerah.
Sehingga didalam mempelajari kebudayaan tedapat beberapa pendekatan: materi, behaviorisme,
dan ideasional. Pendekatan materi yakni memandang kebudayaan sebagai materi: pada produk
yang dihasilkan sehingga bisa diobservasi. Pendekatan behavirosime kebudayaan dipandang
sebagai suatu pola tindakan dan perilaku atau sebagai suatu sistem adaptif. Sedangakan pada
pendekatan ideasional kebudayaan dipandang sebagai suatu ide, yaitu keseluruhan pengetahuan
yang memungkinkan prosuk dan perilaku ditampakkan.
Dalam konteks HAM, Kesadaran akan pentingnya hak-hak semakin menguat seiring dengan
kesadaran moral umat manusia yang juga makin berkembang. Penghargaan dan pengakuan
terhadap hak-hak, berhubungan erat dengan penghayatan nilai-nilai kebudayaan, khususnya
moral. Dalam hubungannya dengan HAM, penghargaan tersebut merupakan suatu imperatif
moral dan bukan soal belas kasih dan keputusan pribadi (Ceunfin, 2004: xxi). Imperatif tersebut
hadir ke permukaan sebagai kebajikan manusia yang melahirkan keyakinan tentang adanya hakhak dasar yang tidak boleh dilanggar. Pelanggaran atau pengurangan hak-hak tersebut akan
mengurangi martabat manusia, sehingga untuk alasan apa pun hak-hak tersebut tidak boleh
dikurangi, dilanggar maupun diabaikan. Meskipun seseorang melakukan perjanjian untuk
menyerahkan atau mengurangi kebebasannya, kontrak tersebut tidak akan dianggap sah dan
esensi HAMnya tidak akan dikurangi (Onaga & Manuel, 2004: 8).
II.4 SIKAP TOLERANSI DAN EMPATI
MASYARAKAT MAJEMUK
Masyarakat majemuk sering diidentikan oleh orang awam sebagai masyarakat multikultural.
Uraian dari Supardi Suparlan dapat menjelaskan perbedaan tersebut. Masyarakat majemuk
terbentuk dari dipersatukannya masyarakat-masyarakat suku bangsa oleh sistem nasional yang
biasa dilakukan secara paksa (coercy by force) menjadi sebuah bangsa dalam wadah nasional.
Setelah PD II contoh masyarakat majemuk antara lain, Indonesia, Malaysia, Afrika Selatan dan
Suriname. Ciri yang mencolok dan kritikal majemuk adalah hubungan antara sistem nasional
atau pemerintahan nasional dengan masyarakat suku bangsa dan hubungan di antara
masyarakat suku bangsa yang dipersatukan oleh sistem nasional.
Menurut Pierre L. Van den Berghe mengemukakan karakteristik masyarakat majemuk:

(1) terjadi segmentasi ke dalam bentuk-bentuk kelompok subkebudayaan yang berbeda satu
dengan yang lain
(2) memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat non
komplementer
(3) kurang mengembangkan konsensus diantara para anggota-anggotanya terhadap nilai-nilai
yang bersifat dasar
(4) secara relatif seringkali mengalami konflik di antara kelompok yang satu dengan kelompok
yang lain
(5) secara relatif, integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan
dalam bidang ekonomi
(6) adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok lain
Disini Supardi Suparlan melihat adanya dua kelompok dalam perspektif dominan-minoritas,
tetapi sulit memahami mengapa golongan minoritas didiskriminasi, karena besar populasinya
belum tentu besar kekuatannya. Konsep diskriminasi sebenarnya hanya digunakan untuk
mengacu pada tindakan-tindakan perlakuan yang berbeda dan merugikan terhadap mereka yang
berbeda secara askripsi oleh golongan yang dominan. Yang termasuk golongan askripsi adalah
suku bangsa (termasuk ras, kebudayaan sukubangsa, dan keyakinan beragama), gender , dan
umur.
Dalam menganalisis hubungan antar suku bangsa dan golongan menurut Koentjoroningrat:
(1) sumber-sumber konflik
(2) potensi untuk toleransi
(3) sikap dan pandangan dari suku bangsa atau golongan terhadap sesama

suku bangsa

(4) hubungan pergaulan antar suku – bangsa atau golongan tadi berlangsung
Adapun sumber konflik antar suku bangsa dalam negara berkembang seperti Indonesia, paling
sedikit ada lima macam yakni
(1) jika dua suku bangsa masing-masing bersaing dalam hal mendapatkan lapangan mata
pencaharian hidup yang sama

(2) jika warga suatu suku bangsa mencoba memasukkan unsur-unsur dari kebudayaan kepada
warga dari suatu suku bangsa lain
(3) jika warga satu suku bangsa mencoba memaksakan konsep-konsep agamanya terhadap
warga dari suku bangsa lain yang berbeda agama
(4) jika warga satu suku bangsa berusaha mendominasi suatu suku bangsa secara politis
(5) potensi konflik terpendam dalam hubungan antar suku bangsa yang telah bermusuhan secara
adat
MASYARAKAT MULTIKULTURAL
Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang menekankan pengakuan dan penghargaan pada
kesederajatan perbedaan kebudayaan. Tercakup dalam pengertian kebudayaan adalah para
pendukung kebudayaan, baik secara individu maupun secara kelompok dan terutama ditujukan
terhadap golongan sosial askripsi yaitu suku bangsa (dan ras) , gender dan umur. Ideologi
multikulturalisme ini secara bergandengan tangan saling mendukung dengan proses
demokratisasi, yang pada dasarnya adalah kesederajatan pelaku secara individual (HAM) dalam
berhadapan dengan kekuasaan dan komuniti atau masyarakat setempat. Jadi tidak ada
kebudayaan yang lebih tinggi demikian pula sebaliknya.
Dalam kontek nilai hak asasi manusia, dimana saling berhubungan dan tergantung satu sama
lain. HAM merupakan bagian dari kerangka kerja yang sifatnya saling melengkapi satu sama
lain. Pemenuhan atas satu hak, secara keseluruhan atau sebagian, seringkali tergantung pada
pemenuhan yang lain. Sebagai contoh, kemampuan untuk berpartisipasi dalam pemerintahan
secara langsung dipengaruhi oleh hak berekspresi, hak atas pendidikan dan bahkan hak untuk
memperoleh hidup yang layak. Tiap hak berkontribusi terhadap perwujudan martabat
kemanusiaan seseorang, lewat pemenuhan kebutuhan pengembangan fisik, psikis dan spiritual.
Karena itu, tidak bisa diterima jika ada prioritas terhadap hak yang satu, sembari melecehkan
hak yang lain.
II.5 MEMBANGUN SIKAP KRITIS, TOLERANSI DAN EMPATI DALAM
MASYARAKAT MULTIKULTURAL
Dalam mengatasi masyarakat majemuk , Parsudi Suparlan menawari sebuah menyebaran
konsep multikulturalisme melalui LSM, dan pendidikan dari SD hingga perguruan tinggi.
Alternatif penyelesaian masalah akibat keanekaragaman budaya adalah dengan melakukan
strategi kebudayaan dimana memungkinkan tumbuh kembangnya keberagaman budaya yang
menuju integrasi bangsa dengan tetap memperhatikan kesederajatan budaya-budaya yang

berkembang. Untuk itu komunikasi antar budaya perlu dibangun disertai dengan sikap kritis,
toleransi dan empati.
Hubungan antara suku bangsa dengan ras sangatlah erat. Perbedaan ras banyak ditunjukan
dengan perbedaan biologis fisik. Misalnya ada anggapan bahwa berkulit hitam pasti berambut
keriting, sedangkan berkulit kuning berambut lurus. Faktor rasa ini sampai sekarang tidak dapat
diubah dengan teknologi dan tidak dapat disembunyikan.
HAM tidak dapat dibagi-bagi. Seseorang tidak bisa menyangkal HAM karena alasan prioritas
berdasarkan hierarki, bahwa ada HAM yang lebih penting dari yang lain. Tidak ada level dalam
HAM karena semuanya sama. Sifat HAM adalah mutlak. Makna yang paling kuat dan menarik
perihal sifat mutlak menurut Joel Feinberg adalah sifat sama sekali tidak terkecualikan, tidak
saja dalam bingkai suatu cakupan yang terbatas, tetapi juga keseluruhan cakupan itu sendiri
yang tidak terbatas. Misalnya, hak kebebasan bicara disebut mutlak dalam arti bila hak itu
melindungi semua pembicara tanpa kecuali (Joel Feinberg, dalam Ceunfin, 2004: 139).
Seandainya hak berbicara itu pun dipakai untuk menentang suatu regim pemerintahan yang sah,
hak itu tidak akan kehilangan maknanya, meskipun pelakunya dihukum berdasarkan undangundang (Dworkin, dalam Ceunfin, 2004: 244-245).
Sifat mutlak dan tidak terkecualikan membuat HAM tidak dapat dibagi karena suatu alasan dan
kondisi tertentu. Namun, dalam perkembangannya, HAM juga bersifat khusus (special rights),
misalnya HAM untuk anak, perempuan, indigenous peoples yang tidak menyebut semua atau
setiap orang. Pengaturan khusus seperti itu, sekilas memperlihatkan HAM seolah-olah terbagi
antara yang umum dengan yang khusus, tertentu dan tidak tertentu, partikular dan universal.
Sehingga, seolah-olah kita bisa memilah dan memilih dengan alat ukur prioritas atau kesesuaian
dengan konteks sosial dimana kita berdiri.
II.6 MASALAH YANG MUNCUL AKIBAT KEBERAGAMAN BUDAYA.
1. Konflik
Konflik merupakan proses sosial disosiatif yang memecah kesatuan dalam masayarakat.
Meskipun demikian, tak selamanya konflik itu negatif. Misalnya dari konflik tentang perbedaan
pendapat dalam diskusi. Dari konflik pendapat tersebut dapat memperjelas hal-hal yang
sebelumnya tidak jelas, menyempurnakan hal-hal yang tidak sempurna, bahkan kesalahan dapat
diperbaiki dengan cara-cara kritis dan santun. Berdasarkan tingkatannya, ada dua macam
konflik yaitu konflik tingkat ideologi atau gagasan dan konflik tingkat politik. Berdasarkan
jenisnya ada tiga, yaitu konflik rasial, konflik antar suku dan konflik antar agama.
2. Intergrasi

Integrasi adalah saling ketergantungan yang lebih rapat dan erat antarbagian dalam organisme
hidup atau antar anggota di daam masyarakat sehingga terjadi penyatuan hubungan yang
dianggap harmonis.
3. Disintegrasi
Disintegrasi atau disorganisasi merupakan suatu keadaan yang tidak serasi pada setiap bagian
dari suatu kesatuan. Agar masyarakat dapat berfungsi sebagai organisasi harus ada keserasian
antar bagian – bagiannya.
4. Reintegrasi
Reintgrasi atau reorganisasi dapat dilaksanakan apabila norma-norma dan nilai-nilai baru telah
melembaga dalam diri warga masyarakat.
Sehingga kesemua bentuk karakteristik Kebudayaan adalah sesuatu yang dapat dipelajari, dapat
ditukar dan dapat berubah, itu terjadi ‘hanya jika’ ada jaringan interaksi antarmanusia dalam
bentuk komunikasi antar pribadi maupun antar kelompok budaya yang terus menerus. Dalam
hal ini, seperti yang dikatakan oleh Edward T. Hall, budaya adalah komunikasi; komunikasi
adalah budaya. Jika kebudayaan diartikan sebagai sebuah kompleksitas total dari seluruh
pikiran, perasaan, dan perbuatan manusia, maka untuk mendapatkannya dibutuhkan sebuah
usaha yang selalu berurusan dengan orang lain. Disini Edward T. Hall menegaskan bahwa hanya
manusialah yang memiliki kebudayaan, sedengakan binatang tidak. Karaktersitik dari
kebudayaan membentuk perilaku – perilaku komunikasi yang khusus, yang tampil dalam konsep
subkultur.
Dalam konteks HAM, Menurut Amartya Sen, hak asasi manusia dipandang terbaik dan secara
mendasar hadir sebagai komitmen dalam etika sosial yang dapat dibandingkan dengan – tapi
sekaligus sangat berbeda dari – penerimaan logika utilitarian yang diusung oleh Jeremy
Bentham dan pendukungnya. Sebagaimana prinsip etik lainnya, HAM dapat dan tentu saja
dipersengketakan, tapi disana tuntutannya adalah bahwa HAM akan tetap bertahan hidup
dengan membuka diri dan terinformasikan secara cermat dan jeli (Sen, dalam Andreassen dan
Marks, 2006: 3). HAM dalam pemikiran Sen berhubungan dengan dinamika dan perkembangan
peradaban manusia yang memberi isi bagi HAM. Isi tersebut (HAM) selanjutnya diuji dalam
ruang publik untuk mengukur, apakah klaim yang mengusung pembenarannya dapat
dipertahankan secara etis.
II.7 MANFAAT KEBERAGAMAN BUDAYA.
Kebudayaan masyarakat Indonesia sangat beraneka ragam karena terdiri atas bermacam-macam
suku bangsa, ras, agama, bahasa, adat istiadat, golongan politik dan sebagainya. Keragaman
kebudayaan inilah yang menyebabkan masyarakat di Indonesia menjadi unik dan berbeda
dengan masyarakat lainnya di dunia. Namun keberagaman tersebut menyebabkan kehidupan

masyarakat Indonesia menjadi rawan konflik. Masyarakat majemuk atau multikultural memiliki
karakteristik heterogen dengan pola hubungan sosial antar individu bersifat toleran dan harus
menerima kenyataan untuk hidup berdampingan secara damai satu sama lain dengan
perbedaan-perbedaan yang melekat pada tiap entitas sosial dan politiknya. Kebesaran
kebudayaan suatu masyarakat atau bangsa terletak pada kemampuannya untuk menampung
berbagai perbedaan dan keberagaman dalam satu ikatan yang berdasarkan prinsip-prinsip hak
asasi manusia dan demokrasi. Manfaat keberagaman budaya suku-suku bangsa adalah sarana
untuk menengahi setiap ada isu konflik separatis dan disintegrasisosial.
Karakteristik atau keberagaman secara etimologis berasal dari bahasa Inggris, yaitu berasal dari
katacharacter. Arti character sendiri adalah watak, sifat, dan peran. Karakter bisa diartikan
sebagai suatu sifat ataupun cirri-ciri yang khusus (yang membedakannya dengan yang
lain). Characteristic adalah sifat yang khas, yaitu sebuah keistimewaan atau ciri kahas yang
membantu dalam mengenal seseuatu, memisahkannya dengan yang lain, atau mendeskripsikan
secara jelas dan nyata; sebuah tanda yang berbeda.
Selain itu, pengertian kebudayaan itu sendiri adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan
hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia
dengan belajar. Kebudayaan bisa dikatakan sebagai suatu sistem dalam masyarakat dimana
terjadi interaksi antar individu/kelompok dengan idnividu/kelompok lain sehingga
menimbulkan suatu pola tertentu, kemudian menjadi sebuah kesepakatan bersama (baik
langsung ataupun tidak langsung).
Dalam konteks HAM, Menurut Amartya Sen, hak asasi manusia dipandang terbaik dan secara
mendasar hadir sebagai komitmen dalam etika sosial yang dapat dibandingkan dengan – tapi
sekaligus sangat berbeda dari – penerimaan logika utilitarian yang diusung oleh Jeremy
Bentham dan pendukungnya. Sebagaimana prinsip etika sosial dan budaya, HAM dapat dan
tentu saja dipersengketakan, tapi disana tuntutannya adalah bahwa HAM akan tetap bertahan
hidup dengan membuka diri dan terinformasikan secara cermat dan jeli (Sen, dalam Andreassen
dan Marks, 2006: 3). HAM dalam pemikiran Sen berhubungan dengan dinamika dan
perkembangan peradaban manusia yang memberi isi bagi HAM. Isi tersebut (HAM) selanjutnya
diuji dalam ruang publik untuk mengukur, apakah klaim yang mengusung pembenarannya dapat
dipertahankan secara etis.
II.8 PERAN MASYARAKAT DALAM MENJAGA KERAGAMAN BUDAYA
Peran masyarakat dalam menjaga keragaman dan keselaran budaya antara lain Mengembangkan
sikap saling menghargai terhadap nilai-nilai dan norma sosial yang berbeda-beda dari anggota
masyarakat, tidak mementingkan kelompok, ras, etnik atau kelompok agamanya. Serta
meninggalkan sikap primodialisme terutama yang menjurus pada sikap etnosentrisme dan
ekstrimisme (berlebih-lebihan). Selain itu menegakan supremasi hukun yang artinya suatu
peraturan formal harus berlaku pada semua warga negara tanpa memandang kedudukan sosial,
ras, etnik dan agama yang mereka anut. Dan mengembangkan rasa nasionalisme terutama

melalui penghayatan wawasan berbangsa dan bernegara namun menghindari sikap chauvimisme
yang akan mengarah pada sikap ekstrim dan menutup diri akan perbedaan yang ada dalam
masyarakat. Atau dengan cara menyelesaikan semua konflik dengan cara yang akomodatif
melalui mediasi, kompromi dan ajudikasi, kemudian mengembangkan kesadaran sosial.
Contoh kongkritnya adalah di Bali sedang digalakkannya program Ajeg Bali guna
mempertahankan kebudayaan di dalam kehidupan masyarakat Bali yang makin lama terlihat
makin memudar karena budaya asing yang masuk begitu saja dalam kehidupan masyarakat.
Program ini ditujukan agar para penerus (generasi muda) tidak melupakan kebudayaannya
selain itu agar masyarakat tau bagaimana cara hidup berdampingan dengan orang yang berbeda
keyakinan dan budaya berdasarkan asas Ajeg Bali itu sendiri.
Dalam konteks HAM, prinsip – prinsip HAM The Vienna Declaration and Programme of Action,
sebagai hasil dari Konferensi Dunia tentang HAM tahun 1993, menegaskan bahwa semua HAM
adalah universal dan tidak dapat diasingkan (inalienable), tidak dapat dibagi (indivisible), saling
berhubungan dan tergantung satu sama lain (interdependent and interrelated). Prinsip-prinsip
inilah yang umum dipakai dalam memandang HAM yang sifatnya kumulatif dan serentak.
II.9 PERAN PEMERINTAH DALAM MENJAGA KERAGAMAN BUDAYA
Menyelenggarakan ajang festival budaya yang diikuti dari berbagai macam perwakilan daerahdaerah di indonesia. Selain itu melakukan pemindahan penduduk secara terprogram melalui
transmigrasi khususnya dari pulau Jawa, Bali dan Madura ke berbagai pulau di Indonesia yang
jarang penduduknya dan memiliki potensi ekonomi yang besar. Selain meningkatkan
kesejahteraan penduduk juga dapat mengenal kebudayaan setempat. Meskipun terlihat bahwa
otonomi daerah lebih menonjolkan sifat-sifat kedaerahannya, namun tidak dapat dipungkiri
bahwa otonomi daerah merupakan langkah cerdas dalam memberikan kesempatan kepada
daerah-daerah yang memiliki perbedaan-perbedaan dalam banyak hal untuk mengembangkan
diri dalam membangun masyarakatnya masing-masing.
Begitu pula yang dilakukan oleh pemerintah dengan pemerataan pendidikan merupakan langkah
strategis, sebab melalui pendidikan dapat ditanamkan nilai-nilai keagamaan. Manusia diciptakan
beraneka ragam semata-mata untuk saling mengisi dan menolong satu sama lainnya. Melalui
pendidikan juga dapat ditanamkan sikap-sikap positif seperti toleransi, kerjasama dan
demokrasi. Contoh nyata adalah Menteri Kebudayaan Indonesia telah membuat program Visit
Indonesia Year 2008 yang bertujuan untuk mempromosikan pariwisata terutama keragaman
budaya di Indonesia yang terkenal sangat unik. Program ini selain ditujukan untuk pihak
mancanegara, juga ditujukan kepada pihak domestik agar masyarakat Indonesia lebih
memperhatikan dan melestarikan kebudayaan yang telah diwariskan oleh nenek moyang kita
dari zaman dahulu agar tetap terjaga. Di samping itu apabila kita mampu menjaga keragaman
budaya, kita akan lebih menunjukan jati diri bangsa dan negara kepada pihak dunia agar budaya
yang jelas-jelas milik kita tidak dengan mudahnya diakui oleh negara lain.

Dalam konteks HAM berurusan dengan dua hal. Pertama, menyangkut hak dan kedua,
mengenai manusia. Untuk menghubungkan keduanya maka dalam perdebatan filosofis, HAM
pertama-tama merupakan bagian dari hak moral yang bersemayam dalam kemanusiaan
seseorang. Hak moral adalah hak yang didasarkan atas norma-norma dan nilai-nilai moral.
Sehingga, sumber langsung HAM adalah martabat luhur yang merupakan nilai yang melekat
dalam diri setiap manusia. Karena itu, secara harafiah, hak-hak asasi manusia berarti hak yang
dimiliki seseorang semata-mata karena ia seorang manusia (Donnelly dalam Ceunfin, 2004: 6).
Kesadaran pemerintah akan pentingnya hak-hak semakin menguat seiring dengan kesadaran
moral masyarakat yang juga makin berkembang. Penghargaan dan pengakuan terhadap hak-hak,
berhubungan erat dengan penghayatan nilai-nilai, khususnya moral akan budaya. Dalam
hubungannya dengan HAM, penghargaan tersebut merupakan suatu imperatif moral dan bukan
soal belas kasih dan keputusan pribadi (Ceunfin, 2004: xxi). Imperatif tersebut hadir ke
permukaan sebagai kebajikan manusia yang melahirkan keyakinan tentang adanya hak-hak
dasar yang tidak boleh dilanggar. Pelanggaran atau pengurangan hak-haktersebut akan
mengurangi martabat manusia, sehingga untuk alasan apa pun hak-hak tersebut tidak boleh
dikurangi, dilanggar maupun diabaikan. Meskipun seseorang melakukan perjanjian untuk
menyerahkan atau mengurangi kebebasannya, kontrak tersebut tidak akan dianggap sah dan
esensi HAMnya tidak akan dikurangi (Onaga & Manuel, 2004: 8).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia sesuai dengan kiprahnya. Setiap individu
mempunyai keinginan agar HAM-nya terpenuhi, tapi satu hal yang perlu kita ingat bahwa
Jangan pernah melanggar atau menindas HAM orang lain.
Dalam kehidupan bernegara, HAM diatur dan dilindungi oleh perundang-undangan, dimana
setiap bentuk pelanggaran HAM baik yang dilakukan oleh seseorang, kelompok atau suatu
instansi atau bahkan suatu Negara akan diadili dalam pelaksanaan peradilan HAM, pengadilan
HAM menempuh proses pengadilan melalui hukum acara peradilan HAM sebagaimana terdapat
dalam Undang-Undang pengadilan HAM.
Budaya Suku atau Budaya daerah yang tampak maju misalnya Budaya
Sunda, Budaya Bali, Budaya Jawa, da Sebagainya. Kemajuan tersebut akan
melewati batas menyebabkan berbahayanya perkembangan kebudayaan di Indonesia tersebut.
A. Dampak Positif dari Keragaman Budaya daerah antara lain:
1. Keragaman Suku dan Budaya memperkaya ragam suku dan budaya bangsa.
2. Keragaman kekayaan alam di Bumi Indonesia memungkinkan Bangsa Indonesia
dapat memenuhi kebutuhan sendiri bila kekayaan itu di olah dan dibudidayakan untuk
kehidupan.
B. Dampak Negatif Dari Keragaman Budaya daerah antara lain:

1. Keragaman suku bangsa dan budaya mempersulit pemerintahan untuk menetapkan
kebijakan pembangunan.
2. Keragaman keadaan alam menghambat usaha pembangunan saran dan prasarana.
3. Keragaman sikap mental setiap suku bangsa menghambat partisipasi masyarakat
dalam kegiatan pembangunan.
4. Keragaman struktur budaya dapat menjadi penghambat dalam pembentukan satu
budaya.
5. Kurangnya dana Pembangunan.

C. Cara Mengatasi akibat Keragaman Budaya di Indonesia. Dampak
mengatasi akibat Keragaman Budaya di Indonesia antara lain:
1. Terus menerus sikap mental yang berpartisipasi terhadap pembangunan dalam taraf
menjunjung nilai – nilai hak asasi manusia.
2. Mengembangkan Budaya daerah yang luhur dalam rangka membentuk budaya.
3. Memeratakan pendidikan dan pengajaran keseluruhan wilayah Indonesia.
4. Meningkatkan Sumber Daya Manusia menjadi Manusia yang Cerdas, Bertanggung Jawab.
Saran
Upaya agar sadar akan pentingnya Hak Asasi Manusia dan keberagaman budaya, maka penulis
memberikan saran-saran sebagai berikut:
1.

Sebagai makhluk sosial kita harus mampu mempertahankan dan
memperjuangkan HAM kita sendiri.

2.

Kerjasama antara Pemerintah daerah dan warga masyarakat Daerah perlu
ditingkatkan untuk menjaga lestarinya budaya di indonesia.

3.

Kita harus bisa menghormati dan menjaga HAM orang lain jangan sampai kita
melakukan pelanggaran HAM dan Jangan sampai pula HAM kita dilanggar dan
dinjak-injak oleh orang lain dalam hal keberagaman budaya

4.

Pemerintah harus bisa bekerjasama dengan masyarakat dalam mewujudkan
kesejahteraan rakyat.

5.

Pelanggaran hak asasi manusia di negara Indonesia khususnya di daerah –
daerah, seharusnya ditanggapi dengan cepat dan tanggap oleh pemerintah dan
disertai peran serta masyarakat.

6.

Dalam menjaga HAM kita harus mampu menyelaraskan dan mengimbangi
antara HAM kita dengan HAM orang lain.

Referensi

Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: PT LKis Pelangi
Aksara, 2007)
Ceunfin, Frans, (ed), 2004, Hak-Hak Asasi Manusia, jilid 1, Ledalero, Maumere, NTT
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi:Kebudayaan, (Jakarta: PT RINEKA CIPTA,
2002)
Michael, A. Riff (ed), 1995, Kamus Ideologi Politik Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Mudjahirin Thohir, Kebudayaan Indonesia, diakses
darihttp://staff.undip.ac.id/sastra/mudjahirin/2009/04/20/kebudayaan-indonesia/
#more-244 pada tanggal 13 Oktober, 2009, pukul 1.13 AM.
Pengertian diakses dari http://www.thefreedictionary.com/characteristic.
http://huma.or.id/wp-content/uploads/2008/12/Bernadinus-Steny.-Membuat-HamBermakna.pdf
http://tirzarest.wordpress.com/2011/03/23/keberagaman-budaya/