Buku Panduan Simposium Katulistiwa 2016

Program Magister Ilmu Religi dan
Budaya, Universitas Sanata
Dharma, Yogyakarta
Sabtu-Minggu, 29-30 Oktober 2016
09.00 - 16.30 WIB

Seri Khatulistiwa 2011 - 2022
Pada 2010, Yayasan Biennale
Yogyakarta (YBY) merancang dan
meluncurkan proyek BJ sebagai
rangkaian pameran dengan agenda
jangka panjang yang akan berlangsung
sampai dengan 2022 mendatang. YBY
bertekad menjadikan Yogyakarta dan
Indonesia secara lebih luas sebagai
lokasi yang harus diperhitungkan dalam
konstelasi seni rupa internasional.
Di tengah dinamika medan seni rupa
global yang sangat dinamis—seolah-olah
inklusif dan egaliter—hierarki antara
pusat dan pinggiran sebetulnya masih

sangat nyata. Oleh karena itu pula,
kebutuhan-kebutuhan untuk melakukan
intervensi menjadi sangat mendesak.
YBY mengangankan suatu sarana
(platform) bersama yang mampu
menyanggah, menyela atau sekurangkurangnya memprovokasi dominasi
sang pusat, dan memunculkan alternatif
melalui keragaman praktik seni rupa
kontemporer dari perspektif Indonesia.
Dalam waktu 10 tahun ke depan,
yang dimulai pada 2011, YBY akan
menyelenggarakan BJ sebagai rangkaian
pameran yang berangkat dari satu
tema besar, yaitu KHATULISTIWA
(EQUATOR). Rangkaian biennale
ini akan mematok batasan geografis
tertentu di planet bumi sebagai wilayah
kerjanya, yakni kawasan yang terentang
di antara 23.27 LU dan 23.27 LS. Dalam
setiap penyelenggaraannya BJ akan


bekerja dengan satu atau lebih negara
atau kawasan, sebagai 'rekanan', dengan
mengundang seniman-seniman dari
negara-negara yang berada di wilayah
ini untuk bekerja sama, berkarya,
berpameran, bertemu, dan berdialog
dengan seniman-seniman, kelompokkelompok, organisasi-organisasi seni,
dan budaya Indonesia di Yogyakarta.

ruang gerak, kerja, serta jejaring
baru yang dibangun BJ yang setiap
penyelenggaraannya terbatas pada kerja
sama dengan satu wilayah atau bahkan
satu negara secara khusus. SK dirancang
untuk menjaga hubungan-hubungan
yang sudah terbangun dan pada waktu
yang bersamaan membangun hubungan
baru di sepanjang khatulistiwa. SK
pertama dilaksanakan pada 2014,

dan selanjutnya akan diadakan setiap
dua tahun sekali (2016, 2018, 2020).
Kerja BJ dan SK pada akhirnya
akan ditutup dengan KONFERENSI
KHATULISTIWA pada 2022.

Perjalanan mengelilingi planet bumi di
sekitar khatulistiwa ini dimulai dengan
berjalan ke arah barat. Biennale Jogja
tidak mengawali perjalanan ini ke arah
timur karena menyadari keterbatasan
pengetahuan tentang Pasifik dan bahkan
Nusantara itu sendiri.
Mengapa 'Khatulistiwa'?
Konsep 'khatulistiwa' tidak saja
Wilayah-wilayah atau negara-negara di
diangankan untuk menjadi semacam
sekitar khatulistiwa yang direncanakan
bingkai yang mewadahi kesamaan,
akan bekerja sama dengan BJ sampai

tapi juga sebagai titik berangkat untuk
dengan 2021 adalah: India (BJ XI 2011), mengejawantahkan berbagai keragaman
negara-negara Arab (BJ XII 2013),
budaya masyarakat global dewasa ini.
negara-negara di benua Afrika (BJ
'Khatulistiwa' adalah sarana bersama
XIII 2015), negara-negara di Amerika
untuk 'membaca kembali' dunia.
Latin (BJ XIV 2017), negara-negara
di Kepulauan Pasifik dan Australia,
Perjumpaan melalui kegiatan seni
termasuk Indonesia sebagai Nusantara
rupa dalam BJ Khatulistiwa akan
(BJ XV 2019)—karena kekhasan
diselenggarakan dengan semangat
cakupan ini, BJ XV bisa disebut sebagai
membangun jejaring yang berkelanjutan,
'Biennale Laut' (Ocean Biennale), dan
sehingga dialog, kerja sama, dan
yang terakhir adalah negara-negara di

kemitraan dapat melahirkan kerja
Asia Tenggara (BJ XVI 2021).
sama-kerja sama baru yang lebih luas
dan berkesinambungan, di antara
Beriringan dengan BJ, pada tahun yang para praktisi di kawasan khatulistiwa.
berselang, YBY juga menyelenggarakan
Dengan demikian BJ dapat memberikan
Simposium Khatulistiwa (SK). Berbasis
kontribusi pada terbentuknya
pada pertukaran pengetahuan,
topografi medan seni rupa global yang
SK bertugas untuk memperluas
dirumuskan secara baru.

PENGANTAR
Simposium Khatulistiwa 2016
MEMBANGUN DUNIA KEMBALI:
Visi Alternatif dari Khatulistiwa
Prodi Ilmu Religi dan Budaya,
Universitas Sanata Dharma

29-30 Oktober 2016

Gema
Inspirasi
Khatulistiwa

Bagi sejumlah orang, istilah khatulistiwa
yang spesifik bisa menjadi romantik.
Bagi peserta simposium ini, garis
imajiner khatulistiwa menjadi sangat
aktual sekaligus prospektif. Mengundang
keterlibatan konkret dan berkelanjutan.
Ya, aktual karena kita semua bermukim
di situ dengan dinamika dan aneka
ragam problematika yang terus-menerus
digeluti. Dari perkara yang sifatnya
aksidental atau bahkan laten. Biennale
Jogja telah menjadikan khatulistiwa
sebagai serial pembahasan dan ekspresi
yang dirayakan.

Simposium Khatulistiwa kali ini digelar
bekerja sama dengan Program Magister
Ilmu Religi dan Budaya. Terima kasih
untuk kepercayaan dan kerja samanya.
Simposium ini menghadirkan orangorang lintas generasi, lintas bidang,
dan lintas keahlian. Memberi wadah
serta kesempatan berbagi pengalaman
dan pandangan yang berharga. Bisa
dibayangkan kekayaan gagasan dan
pandangan yang saling dikemukakan
dalam forum ini. Semoga diskusi
dan pembicaraan panjang yang akan
berlangsung mampu mencerahkan.
Barangkali tidak terbayangkan, bagi
seorang petani di desa, sebuah situasi
cuaca yang bisa diprediksi untuk jangka
waktu tertentu pada keluasan area
tertentu dengan pergerakan angin
dan suhu udaranya tertangkap oleh
satelit yang mengambil data setiap

kali mengitari bumi. Tapi toh, sang
petani tidak khawatir atau dihantui
ketakutan akan cuaca. Dia terus bekerja

mengolah tanah dan bercocok tanam.
Dia akan terus melakukan kebiasaannya
mengamati perilaku binatang serangga
kecil yang baginya sangat membantu
untuk membaca iklim atau menentukan
saat menanam. Bahkan untuk
menentukan saat memotong bambu
sehingga dapat awet tidak dimakan
rayap.

masih banyak kisah serupa yang
akan bermunculan dalam Simposium
Khatulistiwa ini.

Ibu Edi Sedyawati dengan kompetensi,
keterlibatan, serta beragam

pengalamannya, kiranya akan
mencerahkan dan meneguhkan temanteman muda. Pak Eliza Kissya yang
dengan setia dan bertekun menjaga
Tidak dimungkiri, pemasangan alat-alat kawasannya di Haruku, Maluku
teknologi modern seperti tower penguat
Tengah, kiranya memberi inspirasi yang
gelombang komunikasi juga berpengaruh menggerakkan.
pada keseimbangan ekosistem di sekitar
tempat itu. Seorang teman berkisah,
Praktik dan pengalaman hidup yang
beberapa desa yang didampinginya
beragam dari para peserta yang saling
diserbu hama tikus. Ular yang menjadi
dibagikan sungguh akan menjadi
predator tikus telah menghilang
timbunan pengetahuan. Dan masih
dari wilayah tersebut. Alternatifnya,
akan terus bertambah. Menjadi
dibiakkan predator baru burung hantu
rangkaian-rangkaian yang tidak saling

yang akan memangsa tikus. Siapa tahu, terpisahkan. Menjadi kekayaan bersama
ular menghilang karena frekuensi di
karena kita dipersatukan keyakinan
lokasi tersebut terdistorsi oleh towerserta pengharapan yang telah dihidupi
tower yang dipancang di sana.
dan terus diwujudkan. Kendati pun
selama ini belum saling dijalin dan
Seorang teman lain berkisah
terkomunikasikan.
tentang strateginya menghitung
jarak antartanaman padi. Sehingga
Akhir kata, semoga Simposium
dimungkinkan saat padi telah
Khatulistiwa ini tidak berhenti
mulai berbulir, gesekan antardaun
sampai di sini. Gemanya, energinya,
mengeluarkan efek bunyi seperti desis
pengetahuannya, komitmennya,
ular, sehingga mampu mengusir tikus.
komunikasinya, terus akan berlanjut

Masih ditambah dengan pemasangan
untuk waktu-waktu yang akan datang.
orang-orangan di sawah dan pembuatan
gubuk dengan efek mengusir tikus-tikus.
Praktik-praktik strategis semacam
ini memang tidak banyak ditemukan
dalam literatur pertanian. Kiranya
Yogyakarta, Oktober 2016
akan mendapat tempat dan menjadi
Dr. G. Budi Subanar SJ
pengetahuan yang saling dibagikan di
Kepala Program Magister Ilmu Religi
dalam Simposium. Dan saya bayangkan
dan Budaya,Universitas Sanata Dharma

PENGANTAR
Simposium Khatulistiwa 2016
MEMBANGUN DUNIA KEMBALI:
Visi Alternatif dari Khatulistiwa
Prodi Ilmu Religi dan Budaya,
Universitas Sanata Dharma
29-30 Oktober 2016

Tata Dunia
Baru

Ironi yang pekat memang menandai
cara kita memulai alaf baru ini. Sambil
bersukacita dengan kenyataan bahwa
peradaban manusia memasuki angka
tahun 2000, kita juga sempat khawatir
bahwa komputer dan jaringan Internet
terancam kekacauan karena adanya
“masalah Y2K”. Meskipun tidak terbukti
sungguh-sungguh mengubah dunia,
setidaknya kehebohan millenium
bug itu menandai meningkatnya
peran Internet dalam keseharian kita
hingga jadi sungguh nyata sekarang.
Yang juga jelas berdampak langsung
pada peta hubungan umat manusia
antarbangsa justeru terjadi ketika baru
setahun lebih kita memasuki alaf baru
ini: tragedi yang terjadi saat menara
kembar WTC, New York luluh-lantak.
Lantas Amerika Serikat dan sekutunya
meluncurkan perang terhadap terorisme
dengan membabibuta, merangsek ke
Irak, Afganistan, juga Pakistan dengan
gelombang akibat yang meluas ke
seluruh kawasan sekitarnya, lantas
berbias arah kemana-mana. Dan hari ini
kita jadi terbiasa dengan berita serangan
teror, dari Bali sampai Bangkok, dari
Jakarta sampai Paris, dan berbagai kota
dan tempat lain di dunia.
Persis di ujung dasawarsa alaf baru,
2010, harapan dan kekhawatiran juga
menyertai kehebohan ‘musim semi’
yang bermunculan di beberapa negara
di jazirah Arab. Namun, seperti kita
saksikan hingga hari ini, musim semi
itu justeru berubah jadi musim prahara,
yang mengoyak tatanan sosial-politik
di kawasan itu. Akibatnya, musim
semi—mungkin lebih cocok kita sebut

‘musim rontok’—itu menggugurkan
dan membuyarkan kedamaian hidup
lebih dari sejuta orang yang kemudian
meninggalkan rumah dan kampung
halamannya untuk meraih mimpi hidup
yang lebih baik, menempuh bahaya
dan bencana, mengungsi. Lantas Eropa
menerima imbasnya. Lalu, Inggris—
sambil masih memegang impian masa
lalunya sebagai emporium adijaya—
hengkang dari perserikatan Eropa,
meninggalkan begitu saja semangat
perdamaian dan kerja sama yang pernah
dipercayai Eropa sebagai obat penawar
luka dan trauma selewat Perang Dunia.
Senarai persoalan serba giris yang
mengisi alaf baru ini bisa panjang.
Tambahannya, parlemen dan pemilu,
unsur demokrasi yang dipuja sebagai
bentuk perwujudan kehendak
rakyat, kini terbukti bisa terpiuh dan
terseleweng arahnya, membokongi
demokrasi itu sendiri. Lihat kehebohan
gara-gara Donald Trump maju sebagai
calon Presiden di A.S. Juga, Erdogan di
Turki—seperti Suharto di Indonesia—
memanfaatkan kudeta dadakan
sebagai alasan untuk memberantas
lawan politiknya, baik yang benarbenar musuh ataupun yang dianggap
pesaing. Belum lagi jika kita menelusuri
ketimpangan ekonomi dunia yang masih
dikendalikan mesin ekonomi kapitalisme
neo-liberal berjangkauan global dan
segala manipulasinya. Masih ada soal
kerusakan alam dan lingkungan yang
makin hari makin meyakinkan kita
bahwa kiamat adalah titik kulminasi
ulah sembrono manusia di bumi yang
mengira bahwa keberadaanya tidak
bersangkut paut dengan spesies dan
organisme lain. Imbuhkan juga soal
pandemi—dari MERS sampai Zika—
yang dengan gesit menyebar ke segala
penjuru dunia gara-gara lalu-lintas
orang dan segala wabah yang mungkin
terbawa olehnya juga makin serba cepat.
Bercampur aduk jadi satu, semua
persoalan itu bisa mencegat niat baik,
melumpuhkan asa, menumpulkan akal

sehat, memandulkan prakarsa. Dan
karena itulah, upaya untuk bertemu,
berhimpun, bertukar pendapat,
berbagi pengalaman dan pengetahuan
antarorang, antarkelompok, antarbangsa
menjadi makin penting di masa
sekarang.
Simposium Khatulistiwa bertumpu
pada niat dan semangat untuk bertemu
dan berhimpun tadi. Meneruskan
dan meluaskan hubungan sabuk
khatulistiwa yang terjadi dalam
Biennale Jogja (Biennale Khatulistiwa),
simposium ini adalah upaya yang
berlandas pada kepercayaan bahwa
niat baik masih terus ada, prakarsa
dan kerja demi membina kehidupan
antarsesama yang setara dan damai
adalah nyata dan tetap berlangsung di
sekitar kita. Tanpa mengandaikan diri
sebagai antitesa dari Utara atau Barat,
simposium ini berpijak pada hubunganhubungan sosial-historis yang ada di
antara berbagai negara-bangsa penghuni
wilayah sabuk Khatulistiwa untuk
mengusahakan pencarian berbagai
potensi pertemuan dan persekutuan di
masa sekarang dan masa mendatang.
Hasil dari pertemuan itu kami
bayangkan dapat menjadi sumbangan
penting, tidak hanya bagi para warga
negara-bangsa pesertanya saja, tapi
juga meluas. Dengan menggemakan
ulang seruan Soekarno di hadapan
Majelis Umum PBB, 30 September
1960, Simposium ini ingin mengarahkan
sasaran pada berbagai kemungkinan
yang bisa kita upayakan bersama bagi
hadirnya suatu “tata dunia baru”.

Yogyakarta, Oktober 2016
Enin Supriyanto, Pejabat Pelaksana
Simposium Khatulistiwa

JADWAL
Simposium Khatulistiwa 2016
MEMBANGUN DUNIA KEMBALI:
Visi Alternatif dari Khatulistiwa
Prodi Ilmu Religi dan Budaya,
Universitas Sanata Dharma
29-30 Oktober 2016

Kuliah umum
di bawah
Beringin
Soekarno

Sabtu, 29 Oktober 2016
09.00-09.30 WIB
Pengantar
Simposium Khatulistiwa &
Program Magister Ilmu Religi dan
Budaya, Universitas Sanata Dharma
09.30-10.30 WIB
Kuliah umum oleh Eliza Kissya
“Menjaga kelestarian hutan dan sumber
daya laut bersama kaum muda di
Haruku”

Minggu, 30 Oktober 2016
09.00-10.00 WIB
Kuliah umum oleh Edi Sedyawati
“Indonesia membaca kesenian dunia”

Pembagian
ruang dan
forum

Forum A: Gagasan dan Pemikiran
mengundang sejumlah ahli untuk
menyampaikan pemikiran terkini
mereka atas perkembangan kehidupan
kewarga-negaraan dan sudut pandang
politik kebudayaan.
Dalam Forum A, presentasi narasumber
punya waktu 40 menit. Setiap sesi
dilengkapi dengan dua orang penanggap
dengan perhatian tema yang sejalan.
Waktu untuk tanggapan serta tanya
jawab adalah 20 menit.
Forum B: Gagasan dan Pengalaman
menawarkan beragam perbincangan
mengenai praktik kebudayaan terkini.
Kami mengundang sejumlah seniman,
kurator, aktivis untuk berbagi
pengalamannya bekerja dengan orang
banyak sekaligus mempertemukan
mereka untuk bertukar informasi dan
gagasan.
Forum B adalah presentasi panel. Setiap
narasumber punya waktu (maksimal)
25 menit. Setiap panel dilengkapi
dengan seorang moderator. Waktu untuk
tanggapan serta tanya jawab adalah 30
menit.
Forum A dan Forum B tersebut dibagi ke
dalam tiga ruangan yaitu: Ruang Palma,
Ruang Lontar, dan Ruang Teratai.

Makan siang
Camilan, teh & kopi

Kelas

Mushola

Pintu masuk

Kelas

Toilet

Kelas

10.30-11.30

Kelas pagi
Forum A

Brigitta Isabella
Geografi yang samar: Upaya awal
menyusun sketsa kartografi afektif
Penanggap Adrian Jonathan Pasaribu &
Wayne Lim

Tyson Tirta
Imperialisme Inggris di Asia
Tenggara pada awal abad ke-19:
Hubungan sosial, percakapan, dan
ragam aspek keberlangsungan di
antara negara-negara dunia ketiga
Penanggap China de Vera & Rosyid
Adiatma

Katrin Bandel
Dilema kajian gender dalam konteks
pascakolonial
Penanggap Ita Fatia Nadia & Nurhady
Sirimorok

11.30-12.30

Makan siang

12.45-13.45

Kelas siang
Forum A

Malcolm Smith
Obat Kuat: Modernitas seksual di
Yogyakarta, 1899-2015
Penanggap Abdurrosyid Ahmad &
Octalyna Puspa Wardany

Wayne Lim
Ruang politis yang abu-abu:
Dekolonisasi dan dewesternisasi
Penanggap Rosyid Adiatma & Sidd Perez

China de Vera
Pembacaan atas sepilihan judul
cerita anak yang membicarakan
perihal lingkungan
Penanggap Edwina Brennan & Maria
Puspitasari

14.00-15.30

Kelas sore
Forum B

Adhisuryo, Octalyna Puspa Wardany
Pada suatu ketika: Satu orang,
satu lingkungan, dan apa yang
dicatatkannya
Moderator Kusen Alipah Hadi

Agustina Ismurjilah, Mardison SM
Simanjorang
Menyikapi perubahan lingkungan
hidup dan bermasyarakat
Moderator Syafiatudina

Serrum, Nia Agustina
Cara Mengajar Siswa Aktif
Moderator Edwina Brennan

15.30-16.00

Camilan sore

10.15-12.15

Kelas pagi
Forum B

Pius Sigit Kuncoro, Wok the Rock,
Charles Esche
Perihal kawasan dalam perspektif
seni rupa
Moderator Enin Supriyanto

Heru Kuswantoro, Hayu Dyah Patria,
Ali Rahayu
Bertindak untuk masa depan
lingkungan dan kesehatan
Moderator Syafiatudina

Saefudin Amsa, Budiman Sudjatmiko,
Nurhady Sirimorok
Mempertahankan nilai dan tata cara
hidup masyarakat desa
Moderator Saleh Abdullah

12.15-13.15

Makan siang

13.30-14.30

Kelas siang
Forum A

Jajang Supriyadi
Memeriksa kembali praktik
seni rupa kontemporer dalam
bingkai pertukaran dan interaksi
transkultural
Penanggap Agung Hujatnikajennong &
Farah Wardani

Sidd Perez
Momok di antara kita: Memainkan
peran dunia ketiga
Penanggap Wayne Lim & Grace Samboh

Gesyada Anissa Namora Siregar
Nashar dan Tiga-Non (Nonprakonsepsi, nonteknik akademis, &
non-estetik akademis)
Penanggap St. Sunardi & Pitra Hutomo

14.45-16.05

Kelas sore
Forum B

Arham Rahman, Leonhard Bartolomeus
Setelah Internet: Manusia sebagai
makhluk sosial
Moderator Puthut EA

Ita Fatia Nadia, Abdurrosyid Ahmad
Mempertimbangkan masa lalu dan
masa depan dalam membangun
kerangka pendidikan
Moderator Kusen Alipah Hadi

Adrian Jonathan Pasaribu, Irfan
Palippui
Pergerakan, perpindahan, dan
pertemuan masyarakat kota
Moderator Maria Puspitasari

16.05-16.30

Camilan sore

NARASUMBER
Simposium Khatulistiwa 2016
MEMBANGUN DUNIA KEMBALI:
Visi Alternatif dari Khatulistiwa
Prodi Ilmu Religi dan Budaya,
Universitas Sanata Dharma
29-30 Oktober 2016

Narasumber

Abdurrosyid Ahmad sekarang
mengasuh Pondok Pesantren Selamat
Kota Magelang. Ia pernah menjabat
sebagai Ketua Pengurus Cabang
Nahdlatul Ulama Magelang. Karya
tulisnya Metodologi dan Ideologi
Al-Måwardiy dalam Al-‘Ahkåm AlShulthåniyyah mengupas sejarah
pemikiran etika politik Islam dan
kaitannya dengan ideologi. Karya ini
sekaligus merupakan kritik sejarah dan
kritik ideologi—yang kerap dihindari
orang karena khawatir dapat menggugat
kemapanan iman.
Adhisuryo (l. Pamekasan, 1982)
menjadikan Bandung sebagai ruang
hidupnya setelah sempat berkuliah
di FMIPA, ITB. Bersama beberapa
seniman, ia mengelola kelas entarmalem
yang merupakan ruang diskusi
nomaden. Dua tahun terakhir ini,
Adhisuryo menjadi kurator untuk
festival yang digagas oleh Illubiung
Forum di kampung kreatif Dago Pojok
dan kajian tindakan Yayasan Kanker
Anak, Bandung.
Adrian Jonathan Pasaribu (l.
Pasuruan, 1988) menempuh pendidikan
Ilmu Komunikasi di Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta. Adrian adalah
penyunting dan salah satu pendiri
sebuah pelantar daring untuk kajian dan
kritik film, Cinema Poetica. Ia adalah
bagian dari Berlinale Talent Campus
2013 sebagai kritikus. Sementara pada
Festival Film Solo 2014, ia menjadi
kurator. Untuk Jakarta Biennale 2015,
ia menjadi penulis dan penyunting
katalog. Belakangan ini, ia juga terlibat

dalam penyelenggaraan Festival Film
Dokumenter, di Yogyakarta.
Agustina Ismurjilah (l. 1950) adalah
abdi dalem Keraton Yogyakarta. Selain
menjadi salah seorang penembang
kelompok macapatan, ia juga pemandu
wisata Keraton khusus untuk turis
asing. Dalam buku Elizabeth D.
Inandiak, Forty Nights and of One
Rain yang membaca kembali Serat
Centhini, Agustina terlibat sebagai
penerjemah bahasa Jawa Kuna. Buku
tersebut mendapatkan penghargaan
2003 Literary Prize for Asia. Bagi
sebagian warga Yogyakarta, Agustina
juga dikenal sebagai Eyang Panji,
seseorang yang kerap dihubungi untuk
menghentikan atau mengalihkan hujan.
Menurutnya, ia hanya berkomunikasi
dengan Tuhan menggunakan tata cara
Jawa yang ia kenal.
Ali Rahayu adalah peneliti pada Pusat
Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi
Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan)
yang bergelut dengan nyamuk semenjak
2004. Pada 2012, ia membuktikan,
teknologi serangga mandul mampu
mengurangi populasi nyamuk Aedes
aegypti. Selain untuk menekan angka
penderita Demam Berdarah Dengue
secara drastis, penemuan ini adalah cara
lain pemanfaatan teknologi nuklir, selain
untuk pembangkit listrik.
Arham Rahman (l. Pinrang, 1987)
adalah seorang peneliti seni rupa yang
tinggal dan bekerja di Yogyakarta.
Ia aktif dalam beberapa kantong
kebudayaan, antara lain Erupsi (sebuah

kelompok belajar yang fokus pada kajian
psikoanalisa, seni, dan politik), Yayasan
Colliq Pujie yang adalah salah satu
inisiator Makassar Biennale pertama
(2015), dan Study on Art Practices
(SOAP). Arham juga pernah mengelola
newsletter Yayasan Biennale Yogyakarta,
The Equator (April 2014 – Februari
2016).
Brigitta Isabella (l. Jakarta, 1989)
adalah salah satu anggota KUNCI
Cultural Studies Center. Selepas
menempuh pendidikan Filsafat di
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,
ia melanjutkan dengan mengambil
Critical Methodologies di King’s College,
London. Pada 2014 ia mengikuti program
residensi 89plus x Google Cultural
Institute di Paris dan menginisiasi
proyek seni #frombandungtoberlin. Ia
juga merupakan salah satu akademisi
muda dalam pelantar Ambitious
Alignment: New Histories of Southeast
Asian Art, sebuah penelitian yang
didukung oleh Getty Foundation.
Budiman Sudjatmiko (l. Cilacap, 1970)
saat ini menjabat sebagai anggota DPR
RI dari PDI Perjuangan (dari Daerah
Pemilihan Jawa Tengah VIII: Kabupaten
Banyumas dan Kabupaten Cilacap) dan
duduk di Komisi II (pemerintahan dalam
negeri, otonomi daerah, aparatur negara,
dan agraria); dan juga merupakan
Wakil Ketua Panitia Khusus Rancangan
Undang-Undang Desa. Sebelum era
Reformasi, ia adalah seorang aktivis
sekaligus salah satu pendiri Partai
Rakyat Demokratik yang kerap dituding
menentang Orde Baru.

Charles Esche (l. 1962, Inggris)
adalah seorang penulis, kurator, dan
pendidik seni (rupa) yang sekarang
menjabat sebagai direktur Van
Abbemuseum, Belanda, semenjak
2004. Van Abbemuseum dibangunnya
menjadi lembaga yang proaktif
mengenali dan menyesuaikan diri
dengan percepatan perubahan zaman,
bukan sebagai museum yang mapan dan
stagnan. Senarai biennale yang pernah
dikerjakannya antara lain adalah Tate
Triennial 2000, Gwangju Biennale 2002,
Istanbul Biennale 2005, RIWAQ Biennial
2007 & 2009, São Paulo Biennale 2014,
dan Jakarta Biennale 2015.
China de Vera (l. 1988, Manila) adalah
penyair, pencerita, dan advokat untuk
hak asasi manusia. Ia pernah menjadi
guru sekolah dasar. Ia adalah writing
fellow untuk Palihang Rogelio Sicat dan
pemateri untuk penulisan kreatif di
Cordillera. Karya-karyanya diterbitkan
dalam High Chari, Bukambibig Poetry
Folio of Spoken Words Philippines,
jurnal daring Eastlit, dan jurnal pusat
kebudayaan Filipina ANI. Ia pernah
menerbitkan zine bertajuk Project 150
dan sekarang sedang menyelesaikan
studi masternya di jurusan Araling
Pilipino, University of the Philipinnes.

Eliza Kissya (l. 1949, Haruku) sehariharinya bekerja sebagai tani nelayan.
Secara adat, menyandang jabatan
kewang (penjaga kelestarian hutan
dan sumber daya laut) sekaligus
keamanan dan ketertiban masyarakat
adat. Tantangan terbesarnya adalah
tidak diakuinya hukum adat oleh
pemerintahan, terutama Orde Baru.
Tak jarang, kebijakan pemerintah yang
modelnya terpusat justru mengikis tata
cara adat yang sudah bertahan jauh
lebih lama daripada gagasan Indonesia
sebagai negara. Eliza memilih untuk
mendekati anak muda dan membangun
kecintaan mereka terhadap lingkungan
ketimbang berseteru dengan pemerintah.
Gesyada Anissa Namora Siregar (l.
1994, Medan) baru saja menyelesaikan
studinya di jurusan Seni Murni, FSR
IKJ. Ia mengikuti Lokakarya Kurator
Muda Indonesia yang digelar oleh
ruangrupa dan Dewan Kesenian Jakarta
pada 2013. Gesyada menginisiasi Buka
Warung—kolektif 18 seniman muda
perempuan—di Jakarta, serta menjadi
bagian dari Jakarta 32°C—festival
dua tahunan bagi karya-karya visual
mahasiswa se-Jabodetabek.

Hayu Dyah Patria (l. 1981,
Jombang) adalah seorang aktivis
Edi Sedyawati (l. 1938, Malang) adalah lingkungan dengan perhatian khusus
seorang penari, ilmuwan, dan birokrat
pada pemberdayaan tanaman liar
seni. Sejak tahun 1969 menulis sejumlah sebagai makanan yang memenuhi
artikel dan ulasan tari di Sinar Harapan, kebutuhan gizi masyarakat. Bermula
Kompas, Budaya Jaya, dan Tempo.
dari wawancara pada para lansia di
Banyak melakukan penelitian bidang
Desa Galengdowo, Jombang, Jawa
ikonografi dan sejarah tari, antara lain:
Timur, mengenai jenis-jenis tanaman
Gaya dalam Seni Area Klasik, Tari
yang mereka makan ketika muda,
dalam Sejarah Kesenian Jawa dan Bali
sekarang, Hayu bersama Mantasa telah
Kuno. Pada 1993, ia menjabat sebagai
mengidentifikasi lebih dari 300 spesies
Dirjen Kebudayaan; dan memprakarsai
dan melibatkan kalangan akademisi dan
diselenggarakannya Art-Summit I (1995) peneliti untuk mengartikulasikan nutrisi
dan II (1998) dan pameran seni rupa
tanaman-tanaman liar tsb. Pada 2011, ia
Gerakan Non-Blok (1995) yang berskala
mendapat SATU INDONESIA AWARD
internasional. Ia punya pemikiran
untuk upaya ini.
bahwa Indonesia mesti mengambil sikap
proaktif untuk memilih, mengundang,
Heru Kuswantoro (l. 1969) adalah
mendatangkan kebudayaan dunia,
peneliti madya pada bidang pemuliaan
ketimbang hanya menunggu diundang.
dan genetika tanaman (kacang

kedelai) di Badang Litbang Pertanian
(Kementrian Pertanian RI). Ia sedang
menangani pembentukan varietas
kedelai toleran lahan kering masam
berbiji besar sekaligus mengawali
pembentukan varietas kedelai toleran
lahan masam pasang surut dengan
metode pemuliaan konvensional dan
molekuler. Sebelumnya, ia bekerja pada
bidang pengelolaan plasma nutfah.

Kota (2003), mengaji pemikiran Sanento
Yuliman (2009), kajian karya-karya G.
Sidharta (2012), dan refleksi pendidikan
seni Indonesia melalui karya-karya
Haryadi Suadi & Radi Arwinda (2013).

Katrin Bandel (l. 1972, Wuppertal,
Jerman) adalah seorang kritikus sastra
Indonesia. Ia belajar mengenai sastra
Indonesia di Universitas Hamburg dan
mendapatkan gelar doktornya dengan
Irfan Palippui adalah penulis dan
tajuk Pengobatan dan Ilmu Gaib dalam
pengajar di Fakultas Ekonomi dan Ilmu- Prosa Modern Indonesia. TulisanIlmu Sosial Universitas Fajar, Makassar. tulisannya telah diterbitkan di berbagai
Ia pernah menjabat sebagai Presiden
media. Pada 2006, ia menerbitkan
BEM Universitas Negeri Makassar dan
Sastra, Perempuan, dan Seks, sebuah
mendorong mahasiswa untuk mengambil buku kritik sastra Indonesia terutama
posisi kritik terhadap beragam
yang ditulis oleh perempuan. Sekarang,
keputusan pemerintah yang tidak masuk ia mengajar di Fakultas Ilmu Religi dan
akal. Saat ini ia sedang mengambil
Budaya di Universitas Sanata Dharma,
doktorat di Jurusan Penciptaan dan
Yogyakarta, Indonesia.
Pengkajian Seni, Program Pascasarjana
ISI Yogyakarta.
Leonhard Bartolomeus (l. 1987,
Depok) adalah seorang kurator
Ita Fatia Nadia (l. 1958, Yogyakarta)
seni rupa. Lulusan Seni Keramik
adalah seorang aktivis perempuan
di Institut Kesenian Jakarta (2012)
dan ahli isu gender. Ia pernah menjadi
ini juga bekerja sebagai koordinator
direktur Kalyanamitra (1993-2000)
artistik di PAMFLET GENERASI,
dan presiden Forum Pendukung Timor
sebuah organisasi pemberdayaan
Timur (1997-1999); ikut mendirikan
anak muda. Leonhard memiliki hasrat
Komnas Perempuan dan memonitor
mengeksplorasi isu-isu mengenai budaya
kekerasan berbasis gender (1998urban dan hubungannya dengan praktik
2006); dan menjadi penasihat untuk
seni. Pada 2013, ia meluncurkan buku
rekonsiliasi dan rekonstruksi tubuh
pertamanya tentang baliho di ruang
pasca-Tsunami dan pasca-konflik di
publik Jakarta bersama para penulis
Aceh (2007-2009). Belakangan ini,
Karbon Journal di mana ia juga sempat
bersama suaminya Hersri Setiawan, ia
bekerja sebagai salah satu editor. Pada
mendirikan Sekolah mBrosot yang ingin 2014, ia berpartisipasi dalam program
membangun ingatan kolektif yang sudah residensi di Hiroshima Museum of
sekian lama dibisukan.
Contemporary Art. Sejak 2015, ia
ditunjuk sebagai kurator tetap untuk
Jajang Supriyadi (l. 1976, Majalengka) RURU Gallery.
adalah seorang seniman dan pengajar
di FDKV Universitas Widyatama,
Malcolm Smith adalah seorang
Bandung. Ia aktif berkarya dan menulis seniman, manajer seni, dan kurator
perihal seni rupa semenjak 1995.
yang tinggal di Yogyakarta. Ia adalah
Jajang ikut menginisiasi komunitas
salah satu pendiri Krack! sebuah studio
Bandung Cempor (1998) dan Terrarupa
cetak grafis dan galeri. Sebelum pindah
(2006). Sejumlah karya tulisnya antara
ke Indonesia, ia menjadi manajer seni
lain adalah Marintan Sirait; Strategi
sekaligus kurator untuk beberapa
Perupaan dan Notasi Tubuh (1999),
pameran di sejumlah ruang seni
Grafiti Bandung: Diri Dalam Lanskap
terdepan di Australia, antara lain

Australian Centre for Photography,
Object: Australian Centre for Craft and
Design, dan 24HR Art, the Northern
Territory Centre for Contemporary Art.
Sekarang ini, ia sedang menyelesaikan
pendidikan pascasarjana di Program
Magister Ilmu Religi dan Budaya,
Universitas Sanata Dharma.
Mardison SM Simanjorang (l. 1969,
Berastagi)adalah seorang aktivis
lingkungan yang ikut membangun
Komunitas Credit Union Modifikasi
“Talenta” di Simalungun. Bermula dari
posisi sebagai pendeta, ia kemudian
mengambil jarak untuk membaca kinerja
Talenta dan menjadikan pengalamannya
sebagai observasi. Ia menyelesaikan
masternya dengan tesis bertajuk
Identitas Politik “Gereja Suku” di
Ruang Publik (2015) dan sekarang
mulai bekerja di wilayah baru, di Jambi.
Nia Agustina adalah seorang guru
dan penari. Ia membangun proyek
Matematarika sebagai laboratorium
observasi, untuk mengembangkan
matematika sebagai objek tema
tari maupun tari sebagai alat bantu
mengajar matematika, agar matematika
lebih mudah diterima siswa. Ia juga
adalah salah satu inisiator Paradance
(sejak 2013), sebuah festival mini seni
gerak dan tari yang diadakan dua bulan
sekali untuk ruang apresiasi bagi karyakarya tari dan seni gerak lainnya.

Ia adalah salah satu pendiri komunitas
gerimisUngu (berdiri pada 2011). Pada
2011-2014, ia mengimplementasikan
proyek seni kolaborasi “Tentang Hutan”
yang melibatkan antropolog dan delapan
seniman muda dari Indonesia dan
Jepang dengan lokasi sumber Desa
Ngadisono, Wonosobo, Jawa Tengah,
Indonesia. Pada 2014, mulai melakukan
penelitian seni dalam hal proses kreatif
yang berkait juga dengan kajian karya.
Ope juga aktif sebagai salah satu
konsultan bidang manajemen dan sistem
keuangan di INSIST.

berbasis di Jakarta. Serrum didirikan
oleh beberapa mahasiswa pendidikan
seni rupa di Universitas Negeri Jakarta
dan berfokus pada isu pendidikan,
sosial-politik, dan perkotaan.
Kemandirian Serrum didukung oleh
kerjanya selaku tenaga ahli instalasi
beragam jenis pameran. Kegiatan
Serrum meliputi proyek seni, pameran,
lokakarya, diskusi dan kampanye
kreatif. Tahun ini, Serrum menginjak
usia ke-10 dan memperingatinya
dengan menyelenggarakan festival
Ekstrakurikulab.

Pius Sigit Kuncoro (l. 1974, Jember)
adalah seniman yang percaya bahwa
seni adalah laku meditasi. Pada 1999,
ia ikut menginisiasi Geber Modus
Operandi, sebuah pelantar untuk
interaksi seni lintas disiplin. Pada 2012,
Pius ikut menginisiasi kelompok diskusi
antarseniman Forum Ceblang-Ceblung.
Aktivitas pameran dan residensinya
antara lain adalah ARCUS, Moriya,
Ibaraki, Jepang (2001-2002); Biennale
Jogja: Countrybution (2003); KHOJ
Bangalore, India (2004); Fukuoka Asian
Art Museum (2005); Biennale Jogja:
Not A Dead End (2013); Kenpoku ART
(2016); dan sekarang sedang bekerja
sebagai kurator terpilih Biennale Jogja
2017 – Equator #4.

Sidd Perez (l. 1989, Manila) adalah
asisten kurator di Museum NUS yang
berfokus pada pengembangan pameran
dan program seputar South & Southeast
Asian Collection. Lahir dan besar di
Manila, ia adalah salah satu pendiri
Planting Rice, sebuah pelantar mandiri
untuk kerja-kerja kuratorial dan
pengarsipan. Sidd juga pernah bekerja
sebagai kurator untuk kedua galeri
The Drawing Room di Singapura dan
Malaysia (2012-2015). Sejumlah proyek
sebelumnya adalah pertukaran seniman
Australia dan Filipina LOSTprojects
(2009-2012); ia pernah juga menjadi
koordinator proyek retrospektif Roberto
Chabet (2011) dan menjadi kurator/
manajer pameran untuk sejumlah galeri
Valentine Willie Fine Art (2008-2011).

Saefudin Amsa (l. 1981) adalah
seorang aktivis yang bekerja dengan
para penyintas dan pencari suaka. Ia
Nurhady Sirimorok (l. 1975)
pernah bekerja dengan Jesuit Refugee
adalah seorang peneliti, penulis, dan
Service sebagai pejabat pendidikan dan,
penerjemah. Ia menulis naskah-naskah
kemudian, sebagai pejabat dan advokat
non-fiksi. Sejumlah terbitannya adalah
informasi (2005-2013); dan sekarang
“Laskar Pemimpi: Andrea Hirata,
bekerja untuk United Nations High
Pembacanya dan Modernisasi Indonesia” Commissioner for Refugees (UNHCR).
(2008); “Membangun Kesadaran Kritis”
Dalam studi pascasarjananya, ia
(2010); “Merdesa” (2010), dan beberapa
meneliti perihal “Rekonstruksi identitas
naskah dalam antologi serta karya-karya diri dan masyarakat. Sebuah kajian
terjemahan.
tentang Majelis Tafsir Alquran (MTA) di
Blora, Jawa Tengah”.
Octalyna Puspa Wardany
(l. Palembang, 1978) aktif
Serrum (l. 2006, Jakarta) adalah sebuah
menyelenggarakan dan menulis
perkumpulan mandiri yang melakukan
pengantar pameran seni rupa sejak 2008. kajian seni rupa dan pendidikan

Tyson Tirta (l. Jakarta, 1988) adalah
sejarahwan dan peneliti sosial. Beberapa
tahun belakangan ini, ia meneliti perihal
pendekatan global dalam penulisan
sejarah. Tesis masternya di Jurusan
Sejarah Kingston University, London,
bertajuk Favourable Interregnum: Raffles
and the British Administration in Java
1811-1816 (2014). Ia ikut menyunting
Terluput dan Terlupa: Musik Klasik di
Masyarakat Indonesia (2016) terbitan
Yayasan Klasikanan; dan sekarang
sedang menyelesaikan buku sejarah
KontraS (Komisi untuk Orang Hilang
dan Korban Tindak Kekerasan).

Wayne Lim (l. 1989, China) adalah
seniman asal Singapura yang sedang
menyelesaikan pendidikan masternya
di Dutch Art Institute dengan beasiswa
Non-EU Scholarship yang diberikan oleh
ArtEZ University of the Arts. Ia pernah
berpameran dan berkegiatan antara
lain di Singapore Art Museum (SAM,
2009), The Substation (2011), Centre
for Contemporary Art Singapore (CCA,
2011), Ne’na Contemporary Art Space
di Chiangmai Thailand (2012), maumau
Art Space di Istanbul, Turki (2015).
Praktik artistiknya belakangan ini
dipengaruhi oleh filsafat post-humanist,
geopolitik, sejarah, dan perpindahan
pengetahuan antara beragam bentuk
ruang politis dan non-politis.
Wok the Rock (l. 1975, Madiun)
adalah seniman lintas disiplin yang
menghasilkan karya seni berbasis
kolaborasi yang melihat gabungan
penciptaan ruang, penyelidikan
spekulatif dan eksperimentasi medium
sebagai praktik artistiknya. Ia adalah
pendiri netlabel Yes No Wave dan salah
satu pengelola program Yes No Klub.
Saat ini ia menjabat sebagai direktur
Ruang MES 56, sebuah artist-run-space
fotografi kontemporer. Ia adalah kurator
terpilih Biennale Jogja 2015 – Equator
#3.

Grace Samboh adalah seorang kurator
dan pengelola program Simposium
Khatulistiwa (2012-2022).

St. Sunardi telah menulis beberapa
buku mengenai kebudayaan adalah
seorang pengajar di Fakultas Ilmu
Religi dan Budaya, Universitas Sanata
Dharma, Yogyakarta.

Hendra Himawan adalah seorang
kurator dan pengajar di Fakultas Seni
Rupa dan Desain, ISI Surakarta.

Syafiatudina adalah seorang kurator
dan anggota KUNCI Cultural Studies
Center, Yogyakarta.

Teman-teman berpikir
dan bekerja
Melani Budianta, Indah
Widiastuti, Dwi Sujanti Heni,
Saleh Abdullah, Helly
Minarti, Hariyadi, Hendra
Himawan, Wira Adiyaksa
‘Lekir’, Joned Suryatmoko,
Pius Sigit Kuncoro, Wok the
Rock, Farah Wardani, Agung
Hujatnikajennong, Pitra
Hutomo, Lisistrata
Lusandiana, Dwi Rachmanto

Farah Wardani adalah seorang kurator
dan Asisten Direktur (Resource Center)
National Gallery Singapore.

Saleh Abdullah adalah wakil
ketua Indonesian Society for Social
Transformation (INSIST) sebuah
konfederasi dari beberapa komunitas
organisasi yang berpusat pada kerja
langsung dengan masyarakat.

Civitas akademika
Universita Sanata Dharma
Dr. St. Sunardi
Dr. G. Budi Subanar, SJ
Christina Desy

Enin Supriyanto adalah seorang
kurator dan pejabat pelaksana
Simposium Khatulistiwa (2012-2022).

Rosyid Adiatma sedang menempuh
pendidikan pascasarjana di Fakultas
Ilmu Religi dan Budaya, Universitas
Sanata Dharma, Yogyakarta.

Penyantun beasiswa
Teten Masduki, Hilmar Farid,
Handiwirman Saputra, Ricky
Pesik, Amir Sidharta, Oei
Hong Djien, Nasirun, ROH
projects, Natasha Sidharta,
Adeline Ooi, Agung
Kurniawan

Edwina Brennan adalah seorang
fasilitator untuk beragam kegiatan yang
mendukung kesejahteraan hidup kaum
disabilitas dan keluarganya.

Riksa Afiaty adalah seorang kurator.
Baru-baru ini, ia terlibat dalam
penyelenggaraan Jakarta Biennale 2015.

UCAPAN TERIMA KASIH

Agung Hujatnikajennong adalah
seorang kurator dan pengajar di
Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut
Teknologi Bandung.

Tim kerja SK 2016
Pejabat pelaksana
Enin Supriyanto
Pengelola program
Grace Samboh
Pengelola operasional
Ratna Mufida
Bendahara
Sriyati Tri Wulansari
Sekretariat YBY
Monica Kristihani
Sekretariat Program Magister
Ilmu Religi dan Budaya Univ.
Sanata Dharma, Yogyakarta
Christina Desy
Redaktur newsletter &
Koordinator sukarelawan
Maria Puspitasari
Asisten pengelola program
Theodorus Christanto
Pendaftaran peserta
Anne Shakka Ariyani
Pengelola dokumentasi
Dwi Rachmanto
Tim dokumentasi
Galuh Esti, Ana Yuliana,
Muhammad Dzulqoirin, Ezha.
Tim sukarelawan
Thomas Cahyo Susmawanto,
Febrian Adinata Hasibuan,
Nureka Indah, Rahayu Sulasti,
Argha Yudha Pratama, Claudius
Hans Christian Salvatore, Vini
Oktaviani Hendayani

Para moderator dan penanggap

Kusen Alipah Hadi adalah seorang
peneliti kebudayaan dan direktur
Yayasan Umar Kayam, Yogyakarta.

Pitra Hutomo adalah penulis seni rupa
dan peneliti di Indonesian Visual Art
Archive, Yogyakarta.
Puthut EA adalah seorang penulis,
pengamat budaya pop, dan salah satu
pendiri mojok.co.

Y

dengan dukungan

Maria Puspitasari adalah editor
newsletter The Equator (terbitan
Yayasan Biennale Yogyakarta)
yang sedang menempuh pendidikan
pascasarjana di Program Magister Ilmu
Religi dan Budaya, Universitas Sanata
Dharma, Yogyakarta.

adalah kerja sama antara

Lisistrata Lusandiana adalah kepala
program Indonesian Visual Art Archive,
Yogyakarta.