Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi
(Analisis Semiotik pada Buku “Ketika Indonesia Dipertanyakan”)

SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Malang
Sebagai Persyaratan untuk Mendapatkan Gelar Sarjana (S-1)

Oleh :
Anggoro Ragil Arianto
06220261

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2011

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah saya panjatkan kehadirat Allah SWT. Sholawat serta
salam


saya curahkan atas junjungan kita

Nabi Muhammad SAW,

atas

terselesaikannya tugas akhir ini. Dengan perjuangan keras dan dukungan dari banyak
pihak, akhirnya saya dapat menyelesaikan studi di Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) ini.
Dengan

terselesaikannya

Skripsi

saya

yang


berjudul

“Representasi

Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku “Ketika
Indonesia Dipertanyakan)”, maka selesai sudah masa studi Strata 1 saya di kampus
tercinta ini. Walaupun mungkin masih banyak terdapat kelemahan pada penelitian
yang saya

lakukan, Insyaallah

skripsi ini menjadikan acuan saya guna

mengembangkan terus keilmuan saya di bidang Ilmu Komunikasi yang sudah saya
dapatkan.
Penelitian ini berawal dari minat saya menekuni fotografi sejak masuk ke
bangku kuliah. Selama beberapa tahun saya mencoba mendalaminya, ternyata saya
sadar bahwa fotografi tidak hanya sebatas pemahaman teknis penggunaan kamera.
Fotografi bukan sekedar membuat foto bagus dan indah. Tapi esensi fotografi yang
paling penting adalah alat untuk berkomunikasi. Suatu sarana untuk kita (pembuat

foto) menyampaikan sebuah informasi kepada khalayak (penikmat foto) melalui
media gambar/visual. Untuk itu, kesadaran saya mengarah pada asumsi bahwa
fotografi tidak bisa bicara layaknya Televisi atau Radio, untuk itu kita yang
diharuskan untuk membacanya. Untuk membaca bahasa visual diperlukan pula
penggunaan beberapa teori untuk memahaminya. Diantara beberapa teori tentang

pesan fotografi, saya mencoba untuk mendalami salah satunya yaitu semiotika. Tanpa
disadari atau tidak, fotografi tersurat banyak tanda untuk berkomunikasi dan dari
tanda itu tersirat makna-makna yang mungkin dimaksud pembuat karya untuk
menyampaikan pesannya. Aplikasi penggunaan semiotika kali ini diterapkan pada
buku Ketika Indonesia Dipertanyakan karya dari rekan-rekan saya sendiri Atmajaya
Photography Club (APC) Yogyakarta dimana saya pribadi mencoba menggali
representasi sebuah karya foto dalam hal nasionalisme.
Semoga ulasan skripsi saya walaupun tidak begitu sempurna dapat menjadi
wacana umum di kalangan pegiat ilmu komunikasi terutama pada fotograferfotografer di tanah air. Paling tidak dengan menguasai fotografi secara teknis dan
wacana keilmuannya, harapan saya pribadi hal ini dapat menambah daya saing
fotografer-fotografer lokal maupun nasional dengan fotografer lainnya. Dan juga
dengan kesederhanaan skripsi saya, semoga ini menjadi motivasi untuk semua pihak
yang melakukan penelitian sejenis untuk menambah atau menyempurnakannya. Amin


Malang, 21 April 2011

Penulis

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL ...................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN ....................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................ iii
PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................................. iv
BERITA ACARA BIMBINGAN SKRIPSI ............................................... v
ABSTRAKSI............................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ................................................................................ viii
LEMBAR PERSEMBAHAN ..................................................................... x
DAFTAR ISI .............................................................................................. xiii

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang....................................................................... 1

B. Rumusan Masalah.................................................................. 8
C. Tujuan Penelitian ................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian ................................................................. 9
E. Tinjauan Pustaka.................................................................... 9
E.1. Kekuatan Fotografi Sebagai Media Komunikasi Efektif 9
E.1.1. Foto Dokumenter sebagai Suatu Kritik Sosial ..... 13
E.1.2. Subjektifitas dan Objektifitas Fotografer dalam
Sebuah Karya Foto................................................. 15
E.2. Semiotika dan Fotografi................................................. 18
E.2.1. Kesadaran Manusia akan Pemaknaan Tanda ....... 18
E.2.2. Fungsi Fotografi dalam Kacamata Roland
Barthes................................................................... 20
E.2.3. Membaca Perspektif Fotografer Dengan
Semiotika ............................................................ 25

E.3. Nasionalisme dan Fotografi .......................................... 27
E.3.1. Dinamika Nasionalisme di Nusantara ................. 27
E.3.2. Problematika Nasionalisme di Perbatasan ........... 32

E.3.3. Fotografi Sebagai Media Nasionalisme ............... 34

F. Definisi Konseptual ............................................................... 37
F.1. Representasi.................................................................... 37
F.2. Nasionalisme .................................................................. 38
F.3. Fotografi ........................................................................ 39
G. Metode Penelitian .................................................................. 39
G.1. Pendekatan Penelitian ................................................... 39
G.2. Ruang Lingkup Penelitian............................................. 40
G.3. Unit Analisis................................................................. 40
G.4. Teknik Pengumpulan Data............................................ 40
G.5. Teknik Analisis Data .................................................... 40

BAB II

GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN
A. Sekilas Tentang Atmajaya Photography Club (APC).............. 42
A.1 Pelatihan ......................................................................... 43
A.2. Ekspedisi........................................................................ 43
A.3. Pameran ......................................................................... 44
A.4. Alumni ........................................................................... 45
B. Tinjuan Tentang Buku Ketika Indonesia Dipertanyakan ..... 45

B.1. Gambaran Umum ........................................................... 45
B.1.1. Data Buku............................................................... 45
B.1.2. Hak Cipta dan Penerbit ........................................... 47
B.2. Sinopsis.......................................................................... 47
B.3. Komentar ....................................................................... 52
B.4. Biodata Fotografer.......................................................... 54

BAB III PEMBAHASAN
A. Proses Representasi Dalam Karya Fotografi .......................... 58
A.1 Budaya ............................................................................ 68
A.2. Pendidikan .................................................................... 70
A.1.1. Siswa SD ................................................................ 70
A.1.2. Guru ....................................................................... 72

A.3. Warisan Cara Hidup ....................................................... 75
B. Wujud Nasionalisme Melalui Karya Fotografi pada Buku
Ketika Indonesia Dipertanyakan ........................................ 77
B.1. Budaya Sebagai Warisan Kearifan Lokal ....................... 77
B.2. Semangat Pendidikan Anak Negeri ................................ 80
B.2.1. Anak-anak Sebagai Calon Penerus Bangsa ............. 80

B.2.2. Pahlawan Tanpa Tanda Jasa ................................... 83
B.3. Gemah Ripah Loh Jinawi ............................................... 87

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan............................................................................ 91
B. Saran ..................................................................................... 94

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

Daftar Pustaka

Buku :
Ajidarma, Seno Gumira. 2002. Kisah Mata: Fotografi antara Dua
Subyek: Perbincangan Tentang Ada. Gelang Press. Jakarta

Barthes, Roland. 2010. Imaji, Musik dan Teks: Analisis Semiologi
atas Fotografi, Iklan, Film, Musik, Al-Kitab, Penulisan dan
Pembacaan serta Kritik Sastra. Jalasutra. Yogyakarta


Fasya,

Teuku

Kemal.

2005.

Ritus Kekerasan

dan

Libido

Nasionalisme. Penerbit Buku Baik. Yogyakarta

Hoed, Beny H. 2011. Semiotika & Dinamika Sosial Budaya,
Komunitas Bambu. Depok

Kohn, Hans. 1984. Nasionalisme: Arti dan Sejarahnya. PT.

Pembangunan dan PT. Erlangga. Jakarta

Knapp, Gerrit. 1999. Chepas, Yogyakarta, Photography in the
service of the Sultan. KITLV Press. The Netherland

Mulyana, Dedy. 2005. Pengantar Ilmu Komunikasi. PT Remaja
Rosdakarya. Bandung

Nugroho. R. Amien. 2006. Kamus Fotografi.CV. Andi Offset.
Yogyakarta

Photography

Club,

Atmajaya.

2009.

Ketika


Indonesia

Dipertanyakan: Potrt Kehidupan Masyarakat Palapasang.
Atmajaya Photography Club. Yogyakarta

Sobur, Alex. 2006. Semiotika Komunikasi. PT. Remaja Rosdakarya.
Bandung

Sugiarto,

Atok.

2005.

Paparazzi:

Memahami

Fotografi

Kewartawanan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Sunardi, St. 2002. Semiotika Negativa. Perpustakaan Nasional RI.
Yogyakarta

Tinarbuko,

Sumbo.

2008.

Semiotika

Komunikasi

Visual.

Perpustakaan Nasional RI. Yogyakarta

Yatim, Dr. Badri. 1999. Soekarno, Islam dan Nasionalisme. PT.
Logos Wacana Ilmu. Ciputat

Zoelverdi, Ed. 1985. Mat Kodak: Melihat Untuk Sejuta Mata. PT.
Grafitti Pers. Jakarta

Non Buku :
Majalah Jendela Bidik, Membidik Realita, Agustus 2010
Majalah Jendela Bidik, Membidik Realita, November 2010
Lecture Notes, Susan Sontaq, On (on) Photography
http://id.wikipedia.org/wiki/Garuda (diakses pada tanggal 1 Januari
2011)
http://id.wikipedia.org/wiki/Konfrontasi_Indonesia-Malaysia
(diakses pada tanggal 23 Desember 2010)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk sosial sudahlah menjadi kodrat yang
mewajibkan kita untuk berkomunikasi. Komunikasi merupakan hal dasar
untuk kita berinteraksi dengan orang lain. Fungsi komunikasi sebagai
komunikasi sosial, setidaknya mengisyaratkan bahwa komunikasi itu penting
untuk membangun konsep diri, aktualisasi diri, untuk kelangsungan hidup,
untuk memperoleh kebahagiaan, terhindar dari tekanan dan ketegangan, antara
lain lewat komunikasi yang bersifat menghibur dan memupuk hubungan
dengan orang lain1. Manusia tak akan pernah terlepas akan namanya
komunikasi. Manusia yang tidak pernah berkomunikasi sama saja akan
manusia yang hidup di “hutan”. Manusia yang tidak pernah tahu bagaimana
keadaan lingkungan di sekitarnya. Manusia yang hidup sendiri karena tidak
pernah adanya interaksi dengan individu yang lain.
Perkembangan dari tahun ke tahun jaman ke jaman menuntut komunikasi
berkembang dalam bentuk yang berbeda-beda. Fotografi merupakan media
komunikasi visual yang tercipta dari hasil perkembangan bentuk komunikasi.
Fotografi menyampaikan sesuatu melalui pesan simbolik yang dimaknai
masing-masing personal yang melihatnya. Komunikasi sebagai suatu proses
simbolik menyatakan bahwa kebutuhan simbolisasi dan penggunaan lambang

1

Dedy M ulyana, Pengant ar Ilmu Komunikasi (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2005) p.5

1

adalah salah satu kebutuhan pokok manusia2. Manusia dan hewan adalah salah
satu makhluk yang menggunakan lambang dalam kehidupannya. Lambang
atau simbol sendiri dimaknai sebagai sesuatu yang digunakan untuk menunjuk
sesuatu yang lainnya. Lambang muncul dari kesepakatan bersama tiap-tiap
individu. Lambang bisa muncul dimana-mana dalam kehidupan kita semua.
Rambu-rambu lalu lintas di jalan, warna dalam lampu mobil kita, di kantor, di
manapun kita bisa menemui lambang yang sudah dimaknai secara universal.
Namun ada juga sifat dari lambang yang bervariasi, tiap tempat maupun
negara punya kesepakatan sendiri terhadap lambang itu sendiri. Dari
kebiasaan kita melihat dan memaknai lambang itulah, secara tidak sengaja kita
telah melakukan suatu proses yang dinamakan komunikasi visual. Sejarah
telah membuktikan bahwa penglihatan manusia mempunyai dampak yang
besar terhadap pikiran manusia. Bagaimana dahulu kala manusia masih hidup
di dalam gua mencoba merealisasikan ide gambaran atau angan-angan dalam
pikiran mereka dengan membuat coretan-coretan sampai ke dalam bentuk
suatu simbol tertentu. Simbol-simbol itulah yang pada akhirnya menjadi suatu
bentuk visual yang kita lihat dan kita pahami pesan yang ada di dalamnya.
Fotografi bisa dikatakan sebagai produk dari perkembangan komunikasi
visual. Fotografi itu merupakan kata-kata yang diambil dari bahasa Yunani
yang terdiri dari dua kata yaitu: photos yang artinya cahaya dan graphos yang
artinya lukis. Secara sederhana fotografi bisa diartikan menggambar dengan
cahaya. Serta secara umum, fotografi bisa diartikan suatu proses atau metode

2

Ibid., p. 83

2

untuk menghasilkan gambar atau foto dari suatu obyek dengan merekam
pantulan cahaya yang mengenai obyek tersebut pada media yang peka cahaya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak ada cahaya, berarti tidak ada foto yang
bisa dibuat. Alat paling populer untuk proses ini adalah kamera.
Pasca ditemukannya fotogafi seperti yang tertulis dalam buku The History
of Photography karya Alma Davenport, terbitan University of New Mexico
Press tahun 1991, disebutkan bahwa pada abad ke-5 sebelum Masehi, seorang
pria bernama Mo Ti sudah mengamati sebuah gejala. Apabila pada dinding
ruangan yang gelap terdapat lubang, maka di bagian dalam ruang itu akan
terefleksikan pemandangan di luar ruang secara terbalik lewat lubang tadi3.
Perkembangan fotografi ini sendiri telah melewati beberapa fase mulai dari
era Pra Negatif dimana sebuah foto masih dibuat dari lempengan logam
dimana untuk membuat satu foto saja memerlukan waktu beberapa menit
sampai beberapa jam. Era negatif menjadi sangat populer saat George
Eastman menemukan roll film yang membuat proses fotografis ini menjadi
lebih mudah. Diciptakan juga kamera box pertama berlabel Kodak yang
mengawali kepraktisan dalam bentuk-bentuk kamera. Hingga sampai sekarang
mencapai fase fotografi digital yang membuat segalanya lebih mudah.
Tuntutan akan cepatnya perkembangan jaman dan informasi yang harus
segera tersebar ke seluruh belahan dunia. Saat itu, perkembangan fotografi
digital juga didorong oleh tuntutan para jurnalis saat meliput perang di
Vietnam untuk menyampaikan gambar ke redaksi surat kabar Amerika dan

3

Handout M at eri Dunia Fot ografi ORDAS (Orient asi Dasar), JUFOC (Jurnalist ik Fot ografi Club)2008

3

Eropa dengan cepat. Berbicara tentang perkembangan fotografi yang
merambah ke seluruh dunia, Indonesia juga tidak luput dari imbas
perkembangan fotografi juga. Di indonesia, dunia fotografi masuk pertama
kali pada tahun 1841, saat seorang pegawai kesehatan Belanda bernama
Juriaan Munich mendapat perintah dari Kementerian Kolonial untuk mendarat
di Batavia dengan membawa dauguerreotype. Munich diberi tugas
mengabadikan tanaman-tanaman serta kondisi alam yang ada di Indonesia
sebagai cara untuk mendapatkan informasi seputar kondisi alam. Karena latar
inilah, fotografi mulai berkembang di Indonesia. Ialah Kasian Cephas, warga
lokal asli yang dilahirkan pada tanggal 15 Februari 1844 di Yogyakarta.
Cephas sebenarnya adalah asli pribumi yang kemudian diangkat sebagai anak
oleh pasangan Frederick Bernard Franciscus Schalk dan Eta Philipina Kreeft,
lalu disekolahkan ke Belanda. Cephas-lah yang pertama kali mengenalkan
dunia fotografi ke Indonesia. Meski demikian, literatur-literatur sejarah
Indonesia sangat jarang menyebut namanya sebagai pribumi pertama yang
berkarir sebagai fotografer profesional. Nama Kassian Cephas mulai terlacak
dengan karya fotografi tertuanya buatan tahun 18754.
Dari sejarah singkat fotografi diatas dapat kita lihat, sampai sekarang
fotografi masih berkembang terus-menerus. Penggunaan dan penerapan
fotografi sebagai media komunikasi visual sudah ada dimana-mana.
Penggunakan foto sebagai media komersil untuk menawarkan sesuatu,
bingkai-bingkai foto dirumah sebagai hiasan seni dan pemanis ruangan dan
4

Gerrit Knaap, Chepas, Yogyakart a, Phot ography in t he service of t he Sult an , (The Net herland, KITLV Pr ess,

1999) p.5

4

foto juga mendapatkan tempat spesial dalam media massa sebagai pasangan
dari sebuah teks. Dalam konteks media massa, foto adalah alat untuk
memperkuat penyampaian berita yang lebih dikenal sebagai foto jurnalistik.
Dari fungsinya itu tergambarkan alasan apa yang mendasari akhirnya foto
terpilih menjadi penguat berita dalam media massa, foto mempunyai
kelebihan mampu merekam peristiwa yang aktual dan membentuk sebuah
citra di dalamnya. Foto membuat kita berimajinasi bahwa kita sedang berada
dalam kondisi saat terjadinya berita tersebut terjadi. Kekuatan visual sebuah
foto teribaratkan pembaca sedang hadir dan melihat secara langsung apa yang
sedang diberitakan. Singkatnya, foto membuat imajinasi pembaca bisa lebih
nyata dan menjadi pembuktian akan fakta tentang peristiwa yang sedang
terjadi. Foto sebagai ungkapan berita sesungguhnya punya sifat yang sama
dengan berita tulis. Keduanya harus memuat unsur apa (what), siapa (who), di
mana (where), kapan (when), dan mengapa (why). Bedanya, dalam bentuk
visual/gambar, foto berita punya kelebihan dalam menyampaikan unsur howbagaimana kejadian tersebut berlangsung. Memang, unsur how dalam
peristiwa juga bisa dituangkan lewat tulisan (berita tulis), namun foto bisa
menjawab dan menguraikannya dengan lebih baik5.
Pada dasarnya, itulah perbedaan bahasa tulisan dan bahasa gambar.
Bahasa tulisan memerlukan proses pembacaan dan pemahaman, kemudian
menyentuh emosi. Bahasa gambar, di sisi lain, langsung memberi dampak.
Pemahamannya terjadi lewat penglihatan tanpa perlu diterjemahkan terlebih

5

Atok Sugiarto, Paparazzi; Memahami Fotografi Kewartawanan (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2005),

p. 22.

5

dulu dalam pengertian. Secara langsung gambar menciptakan persepsi
mengenai kejadian tertentu. Singkat kata, gambar menimbulkan respons
emosional lebih cepat daripada tulisan.
Buku “Ketika Indonesia Dipertanyakan” adalah suatu karya dokumentari
yang digali dari riset-riset sebelum akhirnya di”eksekusi” melalui media foto.
Kumpulan foto yang dikemas secara apik tersebut bercerita tentang kehidupan
sosial di daerah Palapasang, perbatasan Indonesia dan Malaysia. Pengambilan
judul “Ketika Indonesia Dipertanyakan” mempunyai korelasi dengan
kehidupan sehari-hari rakyat di desa tersebut, bagaimana yang seharusnya
mereka adalah WNI yang mendapatkan fasilitas yang sama dengan WNI yang
hidup di daerah lain. Kenyataan yang terjadi adalah mereka lebih memilih
ketergantungan dengan negeri tetangga kita Malaysia. Sungguh ironi ketika
hal ini pada akhirnya bertolak-belakang dengan kenyataan yang terjadi perihal
hubungan diplomatik antara Indonesia dan Malaysia. Awal mula perseteruan
Indonesia dengan Malaysia, adalah sejak berdirinya Malaysia atas
persemakmuran dari Inggris, Malaysia sudah memulai hubungan buruk
dengan Indonesia. Saat itu, Inggris meminta Malaysia yang dulunya bernama
Semenanjung Malaya digabungkan dengan bagian Kalimantan Utara dengan
negara yang bernama Malaysia. Konflik perebutan territorial ini, membuat
Presiden Soekarno saat itu marah dengan alasan penyatuan wilayah
merupakan ancaman untuk Indonesia karena Inggris bisa saja menjajah
kembali Indonesia6. Ketidakharmonisan dilanjut ketika terjadi perebutan

6

http://id.wikipedia.org/wiki/Konfrontasi_Indonesia-Malaysia

6

pulau Sipadan dan Ligitan berlanjut ke Pulau Ambalat yang didalamnya
tersembunyi surga minyak bumi. Kegeraman Indonesia diperparah ketika
Malaysia membuat skenario cantik meng-klaim beberapa kebudayaan
Indonesia sebagai kebudayaan asli mereka. Reog Ponorogo, Tari Pendet,
Wayang, Batik sampai makanan Es Cendol pun tidak luput dari lirikan
Malaysia. Kondisi ini yang pada akhirnya membuat masyarakat Indonesia
geram, berbagai kecaman muncul ditujukan ke Malaysia. Namun kondisi
tersebut tidak menggoyahkan niat Malaysia meng-klaim budaya Indonesia.
Tayangan “Enigmatic Malaysia” muncul di Discovery Channel membuat
klimaks kemarahan rakyat Indonesia semakin parah. Jalur diplomasi pun
akhirnya ditempuh Pemerintah Indonesia untuk mencari penyalesaian
masalah ini.
Kondisi inilah yang menjadikan bias antara kehidupan masyarakat
Indonesia di perbatasan dengan segala ketergantungannya dengan Malaysia
dengan masyarakat Indonesia ditempat lain yang begitu membenci negeri
Jiran tersebut. Mayoritas masyarakat berseru “Ganyang Malaysia”, tapi
minoritas masyarakat di daerah perbatasan tidak bisa menjaga kelangsungan
hidupnya tanpa Malaysia. Hal ini semacam bentuk ketidakadilan antara
perlakuan Pemerintah Indonesia terhadap beberapa masyarakatnya yang
hidup di daerah perbatasan. “Ketika Indonesia Dipertanyakan” bisa jadi
memang judul yang cocok, mengindikasikan apakah selama ini mereka
mempertahankan nasionalisme mereka dengan sia-sia. Realita yang tergambar
dalam sekumpulan foto di buku, mengarahkan seluruh rakyat Indonesia yang

7

membaca buku tersebut terhadap tindakan simpati. Dan dilain sisi, kritik
mendalam juga tersampaikan kepada Pemerintah. Buku ini memaksa
pemerintah untuk membuka mata, menyadari dan kemudian menantikan
sebuah tindakan atas kondisi tersebut.
Untuk itu dengan bekal pemilihan penitian dengan metode Semiotika,
akan digali suatu bentuk representasi dari sisa-sisa Nasionalisme yang tersisa
diantara sekian banyak foto yang menyuguhkan pertanyaan tentang kehadiran
sebuah jiwa nasionalisme. Betapa pentingnya jiwa nasionalisme ini ketika
mereka sendiri mungkin saja sedang dilirik oleh negara tetangga.
Nasionalisme ini sendiri adalah dasar kecintaan yang harus mereka miliki.
Dasar agar mereka terhindar dari pengaruh-pengaruh tertentu dari luar.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka dapat ditarik suatu
rumusan masalah yaitu bagaimana representasi nasionalisme yang ada
dalam buku “Ketika Indonesia Dipertanyakan”.

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui representasi nasionalisme
yang ada dalam buku “Ketika Indonesia Dipertanyakan”.

8

D. Manfaat Penelitian
a. Kegunaan Akademis
Menambah wacana tentang studi semiotika khususnya pada bidang
fotografi dalam menganalisa setiap pesan-pesan sosial yang ada dalam
sebuah media foto terutama yang menyangkut dengan dinamika rakyat
Indonesia.
b. Kegunaan Praktis
Dapat bermanfaat bagi peneliti maupun pihak lain untuk memaknai
sebuah karya foto. Sebuah karya foto pasti dilengkapi dengan beberapa
elemen tanda atau simbol yang bisa diartikan untuk memperkuat isi
pesan yang ingin disampaikan kepada masyarakat luas.

E. Tinjauan Pustaka
E.1. Kekuatan Fotografi Sebagai Media Komunikasi Efektif
Fotografi pada dasarnya adalah wujud suatu gambar/media
visual sama seperti media-media lainnya. Gambar (drawing) dalam
bahasa Jerman adalah zeichen yang berarti tanda. Kata ini kemudian
diturunkan menjadi kata kerja zeichnen yang berarti menggambar,
yaitu membuat tanda. Hubungan serupa juga ada di Italia dimana
segno (tanda) dirunkan menjadi disegno (gambar/design). Sedang di
Inggris yang asal kata sign (tanda) berhubungan dengan kata design
(rancangan

atau

desain),

9

yaitu

suatu

perbuatan/aktifitas

menggambar7. Dengan kata lain gambar itu sendiri adalah tanda.
Tanda yang sengaja dibuat untuk menyampaikan sesuatu. Gambar
itu sendiri terdiri dari beberapa elemen visual yaitu: Garis, Bidang,
Ruang, Warna, Bentuk dan Tekstur8. Setiap elemen yang dibuat pasti
ada tujuan kenapa itu dibuat. Semisal pasti ada alasan kenapa warna
gelap cenderung dipakai untuk menggambarkan kondisi yang suram
atau sedih. Bentuk garis yang tebal mengandung maksud ketegasan
dsb. Kombinasi dari elemen-elemen tersebut jika dikemas secara
baik pada akhirnya memunculkan arti dan makna dari sebuah bentuk
visual.
Pasca Joseph Nicephore Niepce (1765-1833), Louis Jacques
Mande Daguerre (1787-1851) dan William Henry Fox Talbot (18001851) meletakkan batu pertama dalam pondasi fotografi di dunia9.
Foto-foto karya mereka bercerita bahwa fotografi merupakan
duplikasi dari apa yang dilihat oleh mata. Apa yang ingin kita
komunikasikan tentang apa yang kita lihat, bisa dibuktikan dengan
penciptaan sebuah foto. Keberadaan fotografi sebagai representasi
relitas seolah-olah mengancam posisi lukisan sebagai media visual
lainnya. Seorang pelukis bernama Delaroche berkata, ”mulai hari ini,
lukisan sudah mati”10. Lukisan yang dibuat dengan tingkat kesulitan

7

Program St udi Desain Kom unikasi Visual FSR ISI Yogyakart a dan St udio Diskom , Iram a Visual, Dari Toekang

Reklame Sampai Komikat or Visual (Yogyakart a, Jalasut ra, 2009) p. 89
8
Sumbo Tinarbuko, Semiot ika Komunikasi Visual (Yogyakart a, Jalasut ra, 2008) p. xi
9
Handout mat eri ,Dunia Fot ografi Orient asi Dasar (ORDAS) JUFOC 2008
10
Seno Gumira Ajidar ma, Kisah M at a, Fot ografi ant ara Dua Subyek : Perbincangan Tent ang Anda (Jakart a,
Gelang Press, 2002) p. 2

10

dari kolaborasi mata dan tangan, digeser dengan kemudahan dari
sebuah proses fotografi.
Bentuk media visual apapun pada akhirnya merujuk bahwa
itu adalah sebuah pesan. Pesan yang bisa terartikan dan termaknai.
Sebagai suatu alat komunikasi, fotografi tidak bisa berkata (karena
bukan suatu media audio visual), untuk itu kolaborasi tanda-tanda
yang terkandung dalam foto harus kita lihat, resapi dan kemudian
kita maknai barulah akan muncul apa informasi yang muncul
didalamnya.
Fotografi sebenarnya adalah suatu proses teknologi yang
memungkinkan kita membekukan waktu, gerak atau peristiwa yang
terdapat dalam kenyataannya. Bisa juga diartikan fotografi inilah
suatu wujud yang sebenarnya ada dalam dunia 3 dimensi (yang
dilihat mata kita) menjadi 2 dimensi yang berupa satu atau
serangkaian moment11. Seno Gumira Ajidarma, seorang fotografer
professional di Indonesia mengemukakan beberapa teori tentang
fotografi, diantaranya adalah teori tentang “Fotografi Merupakaan
Kesaaksaraan Visual”12. Teori yang dikutip dari Paul Messaris itu
memaparkan bahwa gambar-gambar yang dihasilkan manusia
termasuk fotografi bisa dipandang sebagai suatu bentuk keaaksaraan
visual. Dengan kata lain gambar merupakan suatu obyek yang bisa
dibaca, gambar adalah salah satu cara manusia berkomunikasi

11
12

Ed Zoelverdi, M at KODAK, M elihat Unt uk Sejut a M at a (Jakart a, PT. Grafit t i Pers, 1985) p. 76
Seno, op. cit p. 26

11

dengan individu lainnya. Hal ini diperkuat oleh Roland Barthez
dalam bukunya “The Photographic Message” (1961) disebutkan
bahwa foto adalah suatu pesan yang dibentuk oleh sumber emisi,
saluran transmisi, dan titik resepsi struktur sebuah foto bukanlah
sebuah struktur terisolasi, karena selalu berada dalam komunikasi
dengan struktur lain yakni teks tertulis, judul, keterangan atau artikel
yang selalu mengiringi foto13. Dengan demikian antara foto dan
pesan keseluruhannya merupakan suatu ko-operasi dua struktur yang
berbeda.
Sedangkan menurut Berger, foto dan makna adalah sesuatu
yang tidak bisa dipisahkan. Sebuah foto menahan aliran waktu
dimana peristiwa yang dipotret pernah ada14. Semua foto adalah dari
masa lalu, dan masa lalu itu tertahan. Tak bisa melaju ke masa kini.
Setiap foto menyajikan dua pesan, pesan menyangkut peristiwa yang
dipotret dan menyangkut sentakan diskontinuitas. Dalam aliran
waktu, sebuah foto membekukan momen seolah-olah merupakan
imaji yang tersimpan. Foto merupakan kajian masa lalu yang
diwujudkan dalam suatu bentuk dokumentasi yang nantinya akan
menjadi bukti di masa depan bahwa di masa lalu pernah terjadi suatu
hal seperti dalam foto. Dengan demikian, foto adalah proses melihat
dan membaca. Mata bukan hanya berfungsi untuk melihat, mata

13
14

Ibid p. 27
Ibid p. 29

12

melihat dalam arti mencari makna dalam dunia, karena tanpa makna
manusia tiada artinya.
E.1.1. Foto Dokumenter sebagai Suatu Kritik Sosial
Para sejarawan sering menganggap foto dokumenter
sebagai bukti atas cermin peristiwa masa lalu. Menurut James Curtis,
fotografi didasarkan pada keyakinan bahwa foto adalah reproduksi
mekanis realitas. Sedangkan Susan Sontag menangkap esensi
momentum pada fotografi, potongan gambar yang dihasilkan kamera
merupakan pernyataan tentang dunia. Potongan-potongan itu
membentuk mosaik sejarah.15
Fotografi

dokumenter

yang

akhirnya

berkembang

membawa kita pada dokumentasi sebuah realita sosial, dimana saat
itu foto dokumenter dimulai dari penggambaran sebuah realita sosial
suatu penduduk. Foto domumenter dikatakan sangat realis ketika
dapat mendokumentasikan secara faktual tentang kejadian, tempat,
momen, obyek dan manusia menjadi sebuah realitas yang benarbenar menggambarkan sesuatu yang terjadi saat itu. Fotografi
dokumenter bisa dikatakan sebuah gambaran nyata dari apa yang
ingin disampaikan oleh seorang fotografer.
Fotografi dokumenter mulai dikenal sejak muncul namanama seperti Eugene Smith, Jacob Riis, Lewis Hine dan Matthew
Brady yang membuat karya fotografinya memasuki ranah sosial

15

Jendela Bidik, M embidik Realit a , Agust us 2010, p. 40

13

kehidupan

masyarakat

dimana

sebelumnya

fotografi

hanya

merupakan sebuah alat untuk dokumentasi biasa16. Di awal tahun
1990an, Lewis Hine mencoba mengangkat suatu realita tentang
buruh pekerja di Amerika Serikat, realita pada hasil kamera Hine
saat itu foto yang berjudul ”Russian Steel Worker” mengungkap
realita tentang kehidupan buruh yang sebelumnya tidak banyak
orang tahu. Eugene Smith dengan kisah “Country Doctor” tentang
seorang dokter tunggal yang bekerja di daerah terpencil dimana dia
kerja secara total tanpa bantuan siapapun. Dari beberapa tokoh diatas
akhirnya fotografi berangkat menuju era baru. Fotografi menjadi
cara persuasif yang efektif untuk kita peka terhadap isu-isu sosial.
Foto dokumenter membawa kita kedalam suatu bentuk kritik sosial,
kritik-kritik yang menyadarkan kita akan sesuatu yang mungkin kita
tidak pernah tahu. Lewis Hine selaku tokoh dalam fotografi
dokumenter berpendapat,”If I could tell the story in words, I
wouldn’t need to lug my camera”17. Indikasinya adalah beberapa
fakta realita akan lebih tersampaikan ke khalayak andaikata tersaji
berupa suatu pesan fotografi.
Melihat adalah proses membaca. Mata kita melihat,
sedangkan pikiran kita membaca. Apa yang kita baca adalah apa
yang kita maknai. Ketika melihat sebuah karya dokumenter, sejenak
kita akan bertanya di batin ”ternyata ada hal seperti ini di dunia ini”.

16
17

Ibid, p. 41
Lect ure Not es, Susan Sont aq, On Phot ography

14

Proses ini muncul karena kita sadar bahwa ada sesuatu yang perlu
kita maknai dari realitas yang ada/sedang terjadi. Sejatinya dunia
adalah sebuah buku, buku yang sangat besar. Buku yang tertulis
penuh dengan realita. Apa yang kita lihat saat itu, adalah apa yang
kita baca. Aktifitas membaca dunia melalui foto akan lebih
sempurna ketika terjadi proses pemaknaan.
E.1.3. Subjektifitas dan Objektifitas Fotografer dalam Sebuah
Karya Foto
Proses pembuatan sebuah karya foto tanpa disadari adalah
suatu proses representasi. Proses representasi pada sebuah karya
fotografi berawal dari sesuatu yang sebelumnya ada atau sedang
terjadi (obyek-realita), dipindahkan dalam suatu proses mekanik
dengan hasil dua dimensi yang disebut foto. Foto mempunyai presisi
yang kuat dalam merekam sesuatu. Sehingga pembawaan sebuah
proses representasi ini tertuang dalam suatu bentuk “rekonstruksi”
realita dari apa yang sedang terjadi menjadi apa yang direkam
sampai pada proses mengkomunikasikannya.
Representasi pada sebuah karya foto ini pada akhirnya
membawa kita mengenal bahwa foto tidak pernah lepas dari
subjektifitas dan objektifitas. Keberadaan sebuah foto tidak
tergantung utuh oleh apa dan siapa objeknya, tapi bagaimana subjek
memandang sesuatu dan memberikan makna. Dalam dunia fotografi,
dikenal istilah ”to make” dan ”to take”. Kedua hal tersebut

15

berkenaan erat terhadap suatu subjektifitas dan perspektif seorang
fotografer. Secara sederhana ”make” berarti membuat dan ”take”
berarti mengambil. ”Make” dalam fotografi dikenal sebagai suatu
cara kita merepresentasikan sesuatu. Cara ini sering dipakai karena
keterbatasan

moment

atau

waktu

yang

menyebabkan

kita

mengharuskan membuat suatu bentuk ilustrasi lain. Selain itu make
digunakan ketika memang fotografer menganggap suatu moment
perlu adanya proses penataan agar lebih rapi, berkesan dsb. Seperti
dalam proses pembuatan foto portraiture, fase making ini sering
dipakai Dalam suatu fungsi representasi, fase ini dapat memberikan
makna yang lebih kuat pada pesan fotonya. Yang terpenting dalam
fase ”make” ini adalah realitas tampil sebenarnya sesuai kejadian
aslinya, tambah penambahan atau pengurangan.
Sedangkan ”take” adalah cara kita mengambil apa adanya.
Kita tidak mengubah apapun karena ada disana (tempat terjadinya
moment) saat itu. Kita membuat salinan sesungguhnya dari sebuah
produk moment merubahnya menjadi pesan fotografi. Perhitungan
waktu dan ketepatan seorang fotografer sangat menentukan dalam
hal ini. Layaknya Henri Cartier-Bresson dengan Decisive Momentnya, dia mencoba menangkap informasi melalui karya-karya Street
Photography. Apa yang dia lihat adalah apa yang dia rekam secara
utuh. Dalam posisi fotografer, keduanya sah dan bebas dilakukan

16

oleh siapapun. Tidak ada batasan mana yang harus dilakukan
terlebih dahulu.
Masih berkenaan dengan hal yang sama, subjektifitas
meliputi pilihan cara pandang seorang fotografer. Fotografer secara
”suka-suka” bebas memilih cara mereka membuat karya. Cara ini
meliputi angle, komposisi dan pemilihan simbol-simbol yang mereka
masukkan ke karya masing-masing hingga pada tahap pemilihan
tampilan single (tunggal) atau series (rangkaian). Hal ini dipengaruhi
oleh kapasitas masing-masing personal karena setiap orang
mempunyai cara tersendiri untuk mengkomunikasikan sebuah pesan.
Foto single (tunggal) terpilih karena memang dalam penyampaian
sebuah pesan hanya cukup tergambarkan dengan satu foto saja. Dan
penggunaan foto series (rangkaian) terpakai ketika dengan
menggunakan satu foto saja tidak cukup untuk menceritakan pesan
yang dimaksud. Penyampaian foto dalam bentuk rangkaian ini
menurut Roland Barthes disebut ”Sintaks”. Seiring perkembangan
jaman, metode pendekatan foto series (rangkaian) berkembang
menjadi beberapa bentuk seperti foto stories, essay dan dokumenter.
Seperti dalam buku ”Ketika Indonesia Dipertanyakan”, foto
tertampilkan secara berangkai dan saling melengkapi. Antara satu
foto dengan lainnya memiliki kaitan informasi.
Seperti yang sudah dijelaskan diatas, fotografi adalah
rekaman yang presisi akan sesuatu. Jika diambil contoh kita

17

memotret sebuah gelas, maka yang tertampil adalah serupa bentuk
gelas seperti yang kita foto. Kemudahan ini yang akhirnya membuat
kemajuan teknologi fotografi dimanfaatkan secara baik oleh semua
orang. Dalam sebuah bidang sains, fungsi fotografi berperan besar.
Contoh-contoh penggunaannya bisa kita lihat sehari-hari, foto
hewan-hewan mamalia besar, seekor lalat sampai bentuk jelas
bakteri bisa terekam dengan medium foto. Anggap saja untuk
penikmat yang belum melihat bentuk bakteri, dengan ditunjukkan
foto orang akan berasumsi “inilah bentuk dari bakteri”. Apa
korelasinya? Ialah suatu cerminan sempurna yang dibawa oleh
fotografi untuk menunjukkan sebuah sarana yang tepat. Inilah yang
disebut sebagai kaitan objektifitas dalam sebuah karya foto.
Untuk itu sebabnya sebuah karya fotografi tidak pernah
jauh dari sebuah subjektifitas dan objektifitas pembuatnya. Foto
terlahir selalu merahimi kemauan fotografernya dalam mengolah
pesan dan bentara realita yang sedang disaksikan oleh fotografer itu
sendiri.
E.2. Semiotika dan Fotografi
E.2.1. Kesadaran Manusia akan Pemaknaan Tanda
Dimanapun kita akan bertemu dengan tanda. Dalam bentuk
apapun tanda selalu dibuat dan dimaknai oleh penikmatnya. Rujukan
itulah yang akhirnya mengantarkan akan pemahaman akan ilmu
semiotika. Semiotika mengajarkan kita tanda tidak hanya semata-

18

mata dilihat. Semiotika membawa kita ke bentuk suatu paradigma
kritis ketika melihat sebuah tanda. Untuk itu perlu adanya tindakan
setelahnya dimana kita harus membedah satu-persatu apa yang ada
dalam tanda tersebut. Setiap tanda yang dibuat pasti ada maksud dan
tujuan. Pantas jika akhirnya sebagai bidang keilmuan yang
mempelajari tentang tanda, semiotik ini perlu dipahami.
Strukturalisme Ferdinand de Saussure dengan ”signified
dan signifier”nya. Dimana menurut Saussure sebuah tanda telah
tersusun dan terstruktur secara rapi. Pragmatisme Charles Sanders
Pierce dengan trikotomi ”icon, indeks dan symbol”, membawa kita
dalam suatu bentuk makna bahwa “sesuatu mewakili sesuatu”.
Roland Barthes meneruskan ke-Saussure-an dengan memasukkan
mythologi-nya dalam bentuk pengembangan dari fase konotasi.
Derrida dengan pendekatan “dekonstruksi” dimana dia menahan
kaitan antara penanda dan petanda untuk memperoleh makna lain
dan makna baru. Dan masih banyak lagi mengenalkan kita pada
suatu sistem yang sebenarnya ada selalu disekitar kita. Tergantung
kita saat itu melihat dan memaknainya atau tidak. Bangunan struktur
tanda dalam kehidupan sehari-hari tercipta sangat kaya. Untuk itu
kenapa manusia disebut juga sebagai Homo Semioticus18.
Sebagai makhluk yang paling sempurna dengan kelima
indra dan akal pikiran, manusia mempunyai bekal yang lengkap.

18

Alex Sobur, Semiot ika Komunikasi , (PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2006) p. 13

19

Kebutuhan akan simbol manusia tidak terelakkan, tiap hari, tiap
waktu kita melihat atau bahkan menggunakan simbol itu sendiri.
Simbol seakan-akan meringkas bentuk komunikasi kita menjadi
sederhana tapi dengan maksud yang sama. Membuat suatu bentuk
komunikasi semakin sederhana dan efektif. Bunga mawar merah
untuk ungkapan rasa cinta, kenapa harus merah?, karena itu
melambangkan kekuatan cinta. Kita berhenti di lampu merah,
kenapa merah?, karena merah itu tegas (ungkapan perintah). Biarpun
berwarna sama, ”merah” diartikan berbeda, semua tergantung
konvensi dari budaya masyarakat itu sendiri. Manusia sudah ada
bekal keilmuan, pasti pula bisa juga memaknainya sendiri. Darimana
kita bisa memberi makna andaikata kita tidak membacanya terlebih
dahulu, disinilah peran semiotika perlu dihadirkan.
E.2.2. Fungsi Fotografi dalam Kacamata Roland Barthes
Mulai dari teks, musik, sastra dan film, fotografi adalah
salah satu sasaran penelitian yang ditelusuri oleh Roland Barthes.
Pasca fotografi berkembang di ranah sosial, fotografi menjadi mesin
yang cukup efektif untuk menyentuh perasaan orang lain. Fotografi
menyadarkan beberapa fakta yang memang harus diketahui oleh
masyarakat. Foto berita (press) atau foto jurnalistik lebih tepat
dikenal oleh masyarakat sebagai jendela fakta kehidupan sehari-hari.
Foto berita (press) adalah pesan. Pesan dibangun oleh beberapa
elemen, yakni sumber pemancar pesan, saluran transmisi dan pihak

20

penerima19. Yang disebut sumber pemancar pesan adalah para insan
pers yang berkarya di surat kabar atau sekelompok teknisis yang
bertugas memfoto, memilah, menyusun dan mengotak-atik juga
memberikan judul dan keterangan singkat. Pihak penerima tidak lain
adalah penikmat surat kabar itu sendiri, sedang saluran tranmisinya
adalah

surat

kabar.

Ketiganya

adalah

suatu

sistem

yang

berhubungan. Dimana mulai dari pesan itu dibuat, disunting dan
kemudian siap cetak dan dinikmati khalayak.
Roland Barthes sendiri sangat dikenal dengan penyatuan
myth (mitologi atau mitos) dengan sebuah sistem semiotik. Mitos
berasal berasal dari bahasa Yunani mutos, berarti cerita. Mitos biasa
diartikan sebagai cerita yang tidak benar, cerita yang tidak memiliki
kebenaran historis. Tapi dalam anggapan Barthes, mitos tidak hanya
sekedar sebuah cerita yang berasal dari orang-orang tua atau buku.
Manusia modern sekarang pun juga dikelilingi dengan sebuah mitos.
Manusia modern adalah konsumen juga produsen dari mitos itu
sendiri. Mitos sendiri dibagi dalam tiga tahap, signifier, signified dan
signification. Agar lebih mudah dipahami Barthes menggunakan
istilah yang berbeda yaitu form sejajar dengan signifier, concept
sejajar dengan signified dan signification dengan sign. Mitos ini
dalam tatanan struktur semiotika Barthes terletak pada tingakatan
kedua, dimana tingkatan pertama adalah sistem linguistik, sistem

19

Roland Bart hes, Imaji, M usik dan Teks, Analisis Semiologi at as Fot ografi, Iklan, Film, M usik, Al-Kit ab,
Penulisan, dan Pembacaan Sert a Krit ik Sast ra , (Jalasut ra, Yogyakart a, 2010) p.1

21

kedua adalah sistem mitis yang mempunyai keunikannya. Sistem
kedua memang mengambil model sistem pertama tapi tidak semua
prinsip berlaku jika berada di sistem kedua.
Penggunaan mitos ini juga dicontohkan oleh Barthes dalam
sebuah foto serdadu kulit hitam yang sedang memberikan hormat
pada tricolor (sebutan lain untuk bendera Prancis yang mempunyai
tiga warna) yang muncul di majalah Paris-Match. Sebagai system
semiotic tingkat pertama, gambar itu terdiri dari signifier (foto
serdadu yang member hormat) dan signified (serdadu “beneran”
yang memberikan hormat pada bendera Prancis) dan sign (kesatuan
antara foto dan serdadu). Bagi Barthes sebagai orang Prancis foto itu
tidak hanya tervisualisasikan sebagai foto serdadu yang sedang
hormat kepada bendera. Tapi itu tentang “Kebesaran Prancis”.
Proses keluarnya meaning tentang “Kebesaran Prancis” ini terletak
pada tingkat kedua dengan merujuk dari analisa di tingkat pertama.
Bahkan gambar itu bisa berarti, “Prancis merupakan imperium besar
sehingga seluruh anak-anaknya tanpa pembedaan warna kulit apapun
tetap setia menghormati benderanya”.20 Dengan kata lain ini adalah
salah satu contoh mitos imperialism, dimana tanpa disadari dapat
dipakai untuk mengkomunikasikan tentang kebesaran Prancis.
Contoh lain bisa berupa ketika Indonesia banyak orang suka untuk
meminum anggur. Anggur disini tidak sekedar sebagai minuman

20

St . Sunardi, Semiot ika Negat iva , (Perpust akaan Nasional RI, 2002) p.104

22

beralkohol. Anggur berkonotasi sebagai minuman presticious bagi
kalangan Eropa khususnya di Prancis (Frenchness).21 Manakala
terjadi budaya minum Anggur di Indonesia, mitos terbawa ke budaya
ke-Timuran. Mitos gaya hidup kalangan atas rakyat Prancis.
Merujuk pada ”Photograph cannot say what it lets us see”,
salah satu ungkapan dari Roland Barthes dalam buku ”Camera
Lucida” yang sudah disebut diatas22. Indikasi dari kata-kata tersebut
adalah fotografi adalah semata-mata hanyalah benda 2 dimensi
(panjang dan lebar). Sekarang ini kita kaitkan dengan kajian
semiotika. Fotografi adalah struktur bangunan pesan dengan pondasi
batu bata tanda-tanda di dalamnya. Di semen dan di cat
menggunakan komposisi dan angle yang memukau sehingga jadilah
bangunan pesan yang statis tapi dinamis. Statis karena itu hanya
benda mati, dinamis karena foto merupakan media komunikasi.
Sekarang bangunan rumah foto sudah siap, dipandang pun enak
karena sudah cantik. Tinggal satu hal yang belum, yaitu masuk ke
dalamnya dan menikmati interior di dalamnya. Analogi sederhana ini
sama kaitannya dengan fotografi, foto tidak hanya tampak indah di
luar, tapi untuk menyempurnakan keindahannya kita perlu masuk ke
dalamnya. Kita buka pintu, dan temukan apa yang terkandung di
dalamnya. Dengan begitu kita tahu maksud pesannya.

21
22

Benny H. Hoed, Semiot ik & Dinamika Sosial Budaya , (Kom unit as Bam bu, Depok, 2011), p.14
Sunardi, op. cit , p.181

23

Entah disadari atau tidak, suatu pesan fotografis adalah
analogon (turunan, salinan, kopian) yang menjadi sempurna dari
realitas dan justru kesempurnaan analosgis inilah yang diterima
umum sebagai sebagai kekhasan atau kekuatan foto. Saat terjadi
proses fotografi, dimana fotografer mengalami saat intim bersama
kameranya telah terjadi proses konversi realitas menjadi imaji 2
dimensi. Tentu saja, proses ini jauh dari sempurna karena sulit juga
merubah apa yang kita lihat dengan mata berwujud 3 dimensi
menjadi imaji. Untuk itu peran tanda didalamnya harus digali.
Fotografer harus memilah mana tanda yang harus masuk dan mana
yang tidak agar tidak terjadi mis-interpretasi pada penikmatnya.
Tidak jarang semua foto memang tidak lepas dari caption untuk
memperkuat pesan foto dan menjelaskan apa yang tidak bisa
tergambar oleh imaji. Dalam gambar imaji ada dua pesan, pesan
tertunjukkan (denoted message) yang merupakan analogon itu
sendiri dan pesan terartikan (connoted message) yang dipengaruhi
oleh konvensi komunikasi masyarakat. untuk lebih mudah dipahami,
pesan denotasi dan konotasi ibarat suatu pesan yang tersurat dan
tersirat. Ada yang bisa kita lihat dan ada yang kemudian harus kita
pahami. Denotasi membawa kita dalam sebuah salinan realita dan
konotasi membawa kita untuk memaknainya. Di level inilah mitos
berbicara, yaitu pada tingkatan kedua seperti yang sudah dijelaskan
diatas.

24

Masih dalam pandangan Barthes, terdapat tiga aspek dalam
fotografi, Operator yakni fotografer itu sendiri, the image maker
yang tidak lain pembuat karya dan pencipta analogon (kopian)
peristiwanya. Spectator (pemandang), penikmat foto. Calon penelaah
foto itu sendiri, yang akhirnya memberikan pemaknaan. Dan yang
terakhir spektrum, yaitu apapun yang difoto, atau obyek dari foto
tersebut23.
E.2.3. Membaca Perspektif Fotografer Dengan Semiotika
Dalam ”The Photographic Message”, Roland Barthes
membagi 3 tahap dalam membaca foto. Tahap perspektif, kognitif
dan etis-ideologis24. Tahap perspektif terjadi ketika seseorang
mencoba melakukan transformasi gambar ke kategori verbal. Jadi
semacam verbalisasi gambar. Konotasi perspektif tidak lain adalah
imajinasi sintakmatik yang pada dasarnya bersifat perspektif. Tahap
kognitif dilakukan dengan cara mengumpulkan dan menghubungkan
unsur-unsur ”historis” dari analogon ”denotasi”. Ini konotasi yang
dibangun atas dasar imajinasi paradigmatik. Pengetahuan kultural
sangat menentukan. Tahap terakhir adalah tahap etis-ideologis, orang
mengumpulkan berbagai penanda (signifier) yang siap untuk
”dikalimatkan”. Ketiga tahap diatas adalah fase konseptual dimana
kita menentukan arah wacana yang dibawa oleh sebuah pesan
fotografis.

23
24

Seno, op. cit p. 28
Ibid , p.187

25

Dalam sebuah foto dikenal juga dengan istilah studium dan
punctum yang ingin dikenalkan juga oleh Roland Barthes. Studium
adalah kesan keseluruhan secara umum, yang akan mendorong
seorang pemandang untuk memutuskan baik tidaknya sebuah foto,
bermuatan politis atau historis, yang sekaligus mengarah pada
keputusan suka atau tidaknya sebuah foto. Dari kelima fungsi foto
dari Roland Barthes yaitu, to inform, to signify, to paint, to surprise
dan to waken desire25. Sebagai fotografer kita susah untuk
menemukan mana yang menonjol untuk mempercantik studium pada
foto kita. Untuk itu kita perlu mengenali karakter penikmat foto, kita
kaji dan kemudian kita gali kecocokan pilihan mereka yang pada
akhirnya membantu kekuatan pilihan pada karya kita.
Sebaliknya kalau punctum, adalah fase penikmat tertarik
pada sebuah foto. pemandang akan melakukan pengamatan secara
kritis pada fase ini tanpa peduli fase studium-nya. Dalam punctum
inilah terjadi gejala kenapa seseorang memilih untuk memandang
suatu foto secara terus-menerus. Berthes membagi punctum menjadi
dua bagian. Pertama, seperti sudah kita lihat adalah ”field of
unexpected flash which sometimes crosses this field”. Pengalaman
ini berkaitan dengan bentuk atau eksistensi. Kedua, pengalaman
bahwa apa yang saya lihat itu sudah terjadi (that-has-been). Kita
tidak mungkin mengatasi waktu kita sekarang. Kita merasa gamang

25

Sunardi, op. cit , p.191

26

karena berdiri di tebing ”kini” sambil melihat tebing ”dulu” tanpa
bisa menyeberanginya. Inilah yang disebut ”vertigo of the time
defeated”-kegamangan oleh waktu yang tak berdaya. Waktu mitis
kita, yaitu waktu yang kita hayati, dikalahkan oleh waktu dalam
sebuah foto26.
E.3. Nasionalisme dan Fotografi
E.3.1. Dinamika Nasionalisme di Nusantara
Bagi masyarakat awam, nasionalisme biasa diartikan
sebagai suatu wujud/bentuk kesetiaan kita kepada negara. Kesetiaan
ini muncul dari kebanggaan kita akan apa yang dilakukan oleh
negara tersebut. Sebagai contoh karena kita bangga akan perjuangan
pahlawan-pahlawan kita di masa kemerdekaan, hal ini memberikan
efek nasionalisme masyarakat semakin besar. Bisa juga nasionalisme
itu muncul karena kesetiaan terhadap tanah air, tanah air ini
mempunyai maksud tempat dimana kita dilahirkan dan di negara
itulah kita sewajibnya setia
Nasionalisme bisa juga diartikan sebagai suatu paham, yang
berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan
kepada negara kebangsaan27. Hal ini berkaitan juga dengan perasaan
yang mendalam akan suatu ikatan yang erat dengan tumpah
darahnya. Kita harus siap memberikan segala sesuatu yang kita
punya ketika memang negara sedang membutuhkannya.
26

27

Ibid , p.196
Hans Kohn, Nasionalisme, Art i dan Sejarahnya , (Jakart a, PT. Pem bangunan dan PT. Erlangga Jakart a 1984)

p. 11

27

Jika digali dasarnya, Nasionalisme berasal dari kata
“nation” yang berarti bangsa. Bangsa mempunyai dua pengertian,
yaitu dalam antropologis serta sosiologis dan dalam pengertian
politis. Dalam pengertian antropologis dan sosiologis, bangsa adalah
suatu masyarakat yang merupakan persekutuan hidup yang berdiri
sendiri dan masing-masing anggota persekutuan hidup tersebut
merasa satu kesatuan ras, bahasa, agama s