Relasi Teori dan Pendekatan Arkeologi de

Relasi Teori dan Pendekatan Arkeologi dengan Pembabakan
Masa Prasejarah menurut Para Ahli

Oleh:
Peniel Chandra

JURUSAN ARKEOLOGI
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013

Pembagian Masa Prasejarah
1. Berdasarkan Teknologinya menurut C.J. Thomsen
Christian Jurgensen Thomsen (29 Desember 1788 – 21 Mei 1865) adalah seorang
antiquarian (ahli barang-barang antik) asal Denmark. Thomsen terlahir di keluarga pedagang
kaya, sejak kecil ia sudah berurusan dengan benda-benda yang memiliki gaya yang berbedabeda dan ia mulai sadar akan adanya perubahan gaya pada suatu benda karena waktu yang
terus berjalan.
Pada tahun 1816, ia menjadi kepala Museum Nasional Denmark dan sejak saat itulah ia
mulai memilah-milah temuan-temuan yang ada di sana berdasarkan teknologinya. Teorinya
yang sangat terkenal hingga saat ini adalah tentang sistem tiga zaman (three age system).

Sistem tiga zaman dicetuskan pertama kali oleh Thomsen pada tahun 1836. Thomsen
membagi masa prasejarah menjadi tiga zaman karena pada saat itu, belum ada
pengklasifikasian temuan yang jelas dan sesuai yang ia telah simpulkan bahwa gaya
teknologi pada temuan berbeda satu dengan yang lain karena masanya berbeda pula.
Menurut Thomsen, masa prasejarah dibedakan menjadi tiga zaman yaitu, Zaman Batu,
Zaman Perunggu, dan Zaman Besi. Zaman Batu merupakan masa prasejarah dimana
teknologi yang digunakan sebagian besar masih menggunakan batu, disamping mereka
menggunakan tulang dan kayu. Pada tahun 1865, Zaman Batu milik Thomsen kemudian
dikembangkan oleh arkeolog asal Inggris bernama Sir John Lubbock, yang menambahkan
Periode Paleolitikum (Batu Tua) dan Neolitikum (Batu Muda). Kemudian, seorang
antropolog perancis bernama J. Allen Brown mengatakan bahwa ada rentang waktu yang
panjang dari Paleolitikum ke Neolitikum dan proses waktu yang membuat gaya teknologi
berubah, dalam artian memiliki ciri kedua teknologi dari dua periode yang di ajukan oleh
Lubbock. Maka dari itu, di antara Periode Paleolitikum dan Neolitikum, ada periode yang
disebut sebagai Periode Peralihan yaitu Periode Mesolitikum (Batu Madya).
Untuk lebih jelasnya, lihat pada tabel di bawah ini.
Zaman

Periode
Paleolitikum


Zaman Batu
Mesolitikum

Teknologi
Teknologi yang mereka gunakan masih menggunakan batu,
tulang hewan, dan kayu sebagai bahan dasarnya, bentuknya
masih kasar dan ukurannya agak besar. Alat-alat yang
dihasilkan antara lain, kapak genggam dan kapak perimbas.
Teknologinya lebih maju dari zaman paleolithik, dari segi
ukuran yang lebih kecil dari zaman sebelumnya dan lebih
hasil. Alat-alat yang dihasilkan antara lain, tombak, mata
panah, dan busur.

Neolitikum

Tembaga
Zaman
perunggu


Perunggu

Zaman Besi

Teknologi yang digunakan disesuaikan dengan tata cara
hidup mereka. Pada zaman ini, tembikar sudah ditemukan.
Alat-alat yang terbuat dari batu antara lain, kapak lonjong
dan kapak persegi.
Teknologi yang digunakan terbuat dari tembaga, seperti
kapak corong.
Teknologi yang digunakan terbuat dari perunggu, seperti
kapak corong dan nekara perunggu. Peralatan ini
berhubungan dengan religi.
Besi merupakan bahan dasar dari teknologi yang
digunakan pada zaman ini. Biasanya, peralatan yang
dihasilkan pada zaman ini berhubungan dengan peralatan
perang, seperti pedang, tameng, baju zirah, dll.

Thomsen melihat masa prasejarah dengan kacamata orang Eropa yang tinggalan
arkeologisnya sangat jelas perbedaanya, sehingga masa prasejarah menurut Thomsen

dibedakan berdasarkan teknologinya. Jika di Eropa memiliki batas-batas yang jelas,
bagaimanakah dengan Indonesia?

2. Berdasarkan Sosial Ekonominya menurut R.P. Soejono
Raden Pandji Soejono (27 November 1926 – 16 Mei 2011) merupakan seorang arkeolog
asal Indonesia yang bergelar ―Bapak Prasejarah Indonesia‖. Berkat kegigihannya, arkeologi
Indonesia yang pada awalnya berciri amatiran menjadi satu cabang ilmu pengetahuan dalam
kegiatan yang diatur sesuai standar internasional. Berkat kegigihanya pula, arkeologi
Indonesia menjadi nasionalistik dan mandiri. Lembaga yang (pernah) dipimpinnya pun, Pusat
Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) menjadi pusat penelitian yang disegani di
dunia internasional.
Kiprah R.P. Soejono di bidang arkeologi prasejarah dimulai tahun 1950, ketika empat
mahasiswa Universitas Indonesia membuat kesepakatan. Soekmono dan Satyawati
Soelaiman, dua dari empat mahasiswa pertama jurusan sejarah kuno dan ilmu purbakala,
memilih bidang klasik (masa Hindu-Buddha). Boechari memilih bidang epigrafi (ilmu
tentang prasasti). Soejono sendiri memilih bidang prasejarah.
Tiga bidang yang dirintis tahun 1950 itu menonjol dalam pengkajian arkeologi di
Indonesia, khususnya masalah kepurbakalaan yang ditangani ahli-ahli Indonesia. Menyusul
kemudian Uka Tjandrasasmita yang mengambil spesialisasi bidang Islam. Empat bidang
berdasarkan periodesasi itu—prasejarah, klasik, Islam, dan epigrafi—tetap bertahan hingga

kini.

Mulanya, Soejono mengambil jurusan sejarah. Karena dianggap kurang cocok, dia pindah
ke arkeologi. Tentang arkeologi, dia mengutip cendekiawan Denmark, Worsaae. Bangsa yang
menghargai dirinya sendiri dan kemerdekaannya tidak mungkin puas dengan hanya
memandang kepada masa kininya. Dia harus memberikan perhatian kepada masa-masa
lampaunya.
Soejono pernah menjabat Kepala Puslit Arkenas periode 1977-1987. Saat itu Puslit
Arkenas menjadi bagian dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Namun saat ini Puslit
Arkenas masuk ke dalam Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Namanya pun diembelembeli Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional (Puslitbang Arkenas).
Soejono tidak setuju dengan hal tersebut. Arkeologi di Indonesia dipandangnya sudah ‖mati
suri‖. Akibatnya menurut Soejono, penelitian tidak lagi seramai tahun-tahun 80-an.
Arkeologi disempitkan dalam sisi manajemen, sedangkan ilmunya tidak. Mengembangkan
dan memperkenalkan kekayaan alam dan manusia Indonesia memang perlu, tetapi yang tidak
kalah penting adalah isi, ilmu yang menjadi sarana dan fondasi awal mula suatu masyarakat
modern Indonesia.
Menjawab pertanyaan sebelumnya tentang masa prasejarah di Indonesia, Soejono sangat
berbeda

dengan


Thomsen

yang

mengklasifikasikan

masa

prasejarah

berdasarkan

teknologinya, tetapi Soejono lebih mengarah ke Sosial Ekonomi dalam masyarakat. Beliau
berpendapat bahwa teknologi prasejarah di Indonesia sangat berbeda dengan yang ada di
Eropa. Secara teknologi, masa prasejarah Indonesia tidak memiliki rentang waktu yang jelas
karena teknologi yang ada di Periode Paleolitikum masih digunakan hingga Periode
Mesolitikum. Akan tetapi, dilihat dari Sosial Ekonominya, Soejono dapat membagi masa
prasejarah menjadi empat periode yaitu, Periode Berburu dan Mengumpulkan Makanan
Tingkat Sederhana, Berburu dan Mengumpulkan Makanan Tingkat Lanjut, Bercocok Tanam,

dan Perundagian.
Untuk lebih jelasnya, lihat pada tabel di bawah ini.
Periode
Berburu dan Mengumpulkan
Makanan Tingkat Sederhana
Berburu dan Mengumpulkan
Makanan Tingkat Lanjut
Bercocok Tanam

Kehidupan
Berburu dan mengumpulkan makanan secara sederhana,
nomaden (berpindah-pindah).
Masih sama dengan di atas, hanya saja kehidupan pada
masa ini sudah dimungkinkan untuk tinggal menetap.
Pada masa ini, kehidupan ditandai dengan pengolahan
tanah (bertani) dan juga penjinakan hewan (memelihara).
Mereka tinggal menetap. Tinggalan yang menunjukan

Perundagian


mereka menetap adalah sampah kerang-kerangan
(kjokkenmodinger).
Pada masa ini, masyarakat sudah mengenal sistem irigasi
dan sistem pemerintah hirarki (kerajaan). Pada masa ini,
sistem religi sudah berkembang. Sistem religi yang dianut
pada masa perundagian adalah Animisme dan
Dinamisme.

3. Berdasarkan Skala Masyarakatnya Menurut Elman R. Service
Elman Rogers Service (18 Mei 1915 – 14 November 1996) adalah seorang antropolog
budaya asal Amerika Serikat. Beliau memperoleh gelar Sarjana pada tahun 1941 dari
University of Michigan. Dia mendapatkan gelar Ph.D. untuk Ilmu

Antropologi dari

Universitas Columbia pada tahun 1951 dan mengajar di sana 1949-1953. Kemudian, Service
kembali ke University of Michigan untuk mengajar dari tahun 1953 sampai 1969. Dia
kemudian mengajar di University of California di Santa Barbara 1969-1985, kemudian
setelah itu, ia pensiun.
Elman Service meneliti etnologi, evolusi budaya, dan teori dan metode dalam etnologi di

Amerika Latin. Ia belajar evolusi budaya di Paraguay dan belajar budaya di Amerika Latin
dan Karibia. Dalam studinya, ia menghasilkan teori tentang sistem sosial dan munculnya
negara sebagai suatu sistem organisasi politik. Elman Service mengklasifikasikan evolusi
sosial menjadi empat tingkatan organisasi politik yaitu, Bands, Tribes, Chiefdom, dan State.
Untuk lebih jelasnya, lihat pada tabel di bawah ini.
Jenis Kelompok
Bands

Tribes

Chiefdom

State

Ciri-ciri dan Skala Masyarakatnya
Jumlahnya kurang dari 100 orang, hidupnya nomaden dan sumber
makanannya berasal dari lingkungan tempat tinggalnya, sistem
pemerintahan tidak formal, dalam satu kelompok masih memiliki
hubungan kekeluargaan.
Sudah berkembang dari kehidupan yang sebelumnya. Jenis kelompok ini

sudah mengenal sistem bercocok tanam dan beternak. Jumlahnya lebih
banyak dari bands tetapi kurang dari 1000 orang. Sudah mengenal
sistem religi. Pemimpin biasanya seorang yang paling kaya diantara
kelompoknya.
Pada masa ini merupakan awal dari sistem kerajaan yang turun temurun
(feodal) dimana kelompok mempunyai pemimpin yang memiliki
kekuasaan mutlak, ikatan gen, dan prestisenya sehingga rakyatnya
memberi upeti kepada si pemimpin. Sudah ada pengklasifikasian
masyarakat berdasarkan umur, keturunan, dan prestisenya. Jumlah
masyarakat pada jenis ini berkisar antara 5000-20.000.
Pada masa ini, sistem feodal lebih kompleks, biasanya dipimpin oleh
Raja atau Ratu. Kehidupan masyarakat dibedakan berdasarkan status
sosialnya.

Pendekatan-Pendekatan Arkeologi menurut Brian M. Fagan
Fagan

membagi pendekatan-pendekatan arkeologi menjadi empat yaitu, Budaya,

Struktural, Ekologi, dan Evolusi. Pendekatan secara material budaya menjelaskan bahwa

arkeologi melihat dari sudut pandang perbedaan budaya. Hampir sama dengan pendekatan
material budaya, pendekatan struktural melihat dari struktur masyarakat, dalam artian ada
suatu ciri dalam tinggalan arkeologis dilihat dari tingkat kasta dalam masyarakat.
Pendekatan Ekologi mengkaitkan manusia dengan lingkungannya. Ekosistem mereka
melibatkan lingkungan alam dan lingkungan sosial. Penyesuaian lingkungan dengan cara
hidup mereka menghasilkan bentuk kebudayaan yang memiliki ciri. Contohnya, rumah adat
yang menyesuaikan dengan lingkungan sekitar.
Pendekatan Evolusi dikembangkan dari teori kebudayaan abad XIX. Pendekatan ini
melihat dari proses evolusi yang panjang. Akibat adanya proses yang panjang menyebabkan
adanya perubahan kebudayaan di dua tempat yang berbeda walau berada dalam satu waktu.

Teori-Teori Umum dalam Arkeologi
Berburu-Mengumpulkan Makanan
1. Teori-Teori yang Menganggap Manusia Masih Primitif
Inti dari teori ini, beberapa pakar setuju kalau pada masa awal peradaban, manusia
memiliki pemikiran yang masih sederahana. Tingkat kecerdasannya masih pada tingkatan
evolusi yang paling rendah dan ada kemungkinan untuk punah.
2. Teori-Teori Ekologi
Ahli-ahli arkeologi dan antropologi yang membantah teori manusia masih primitif
mengatakan bahwa manusia sudah bisa memilih tempat untuk berteduh yang dekat dengan
sumber makanan. Artinya, manusia sudah berpikir untuk mencari tempat bermukim yang
baik dan kaya dengan sumber makanan.
3. Teori-Teori yang Menganggap Kehidupan Masyarakat Sudah Optimal
Dalam teori ini, masyarakat sudah mencari sumber makanan secara optimal. Ada
pengklasifikasian makanan pada masa itu dan sudah ada kemungkinan manusia untuk tinggal
menetap karena pemikiran manusia sudah maju untuk mengelola sumber makanan secara
efektif.

Domestifikasi
1. Teori Oasis
Teori Oasis dicetuskan oleh Raphael Pumpelly pada tahun 1908, kemudian di
kembangkan oleh Vere Gordon Childe pada tahun 1928. Teori ini menyatakan bahwa
naiknya suhu bumi menyebabkan kekeringan dibeberapa daerah. Manusia pada saat itu harus
berhubungan dengan hewan-hewan disekitarnya dan menyebabkan domestifikasi hewan
seiring berjalannya proses bercocok tanam. Namun, saat ini teori ini memiliki kelemahan
karena banyak arkeolog berpendapat bahwa pada masa bercocok tanam, iklim tidak kering,
melainkan basah.
2. Teori Sisi Bukit
Teori ini diusulkan oleh Robert Braidwood pada tahun 1948 yang memperlihatkan bahwa
pertanian dimulai pada sisi-sisi bukit dan pegunungan Taurus Zagros, di mana iklim tidak
kering seperti yang Childe katakan dan tanah yang subur didukung berbagai tumbuhan dan
hewan yang bisa didomestikasi.
3. Teori Demografi
Teori-teori demografi diusulkan oleh Carl Sauer dan diadaptasi oleh Lewis Binford dan
Kent Flannery yang mengatakan bahwa pemenuhan kebutuhan hidup terjadi karena adanya
kepadatan penduduk. Proses pemenuhan kebutuhan makin kompleks seiring bertambahnya
populasi dalam suatu wilayah.
4. Teori Overpopulation
Pada awalnya, masyarakat yang nomaden sudah bertambah jumlahnya dan mereka sudah
berpikir bahwa mereka harus tinggal menetap. Menurut Cohen, proses domestikasi terjadi
karena bertambahnya jumlah penduduk. Jumlah penduduk yang banyak menyebabkan
pemenuhan kebutuhan bertambah.
5. Teori Koevolusioner
Teori ini mengatakan bahwa proses domestikasi merupakan hasil dari evolusi dan interaksi
antara manusia, hewan, dan habitatnya. Manusia sudah mampu membagi lokasi-lokasi
sekitarnya berdasarkan hasil interaksi. Teori ini di cetuskan oleh David Rindos.
6. Hipotesis tentang Irigasi
Teori ini berkaitan pertambahan jumlah penduduk. Disini, Wafftaggel lebih melihat proses
dari chiefdom ke state. Wafftagel melihat bahwa chiefdom memiliki kecenderungan untuk
berubah menjadi state dikarenakan sistem pengelolaan irigasi yang baik sehingga daerah
tersebut menjadi subur.

7. Hipotesis tentang Perang dan Batas Wilayah
Hipotesis ini mengatakan bahwa peperangan merupakan suatu cara singkat dari chiefdom
menuju ke jenjang berikutnya (state). Peperangan merupakan cara paksa untuk merebut suatu
wilayah sehingga terjadi pertambahan penduduk. Daerah yang sudah dikalahkan dalam
perang akan dibatasi wilayahnya.

Relasi Antara Pendekatan dan Teori Arkeologi dengan Pembagian Masa Prasejarah
menurut Para Ahli.
Berdasarkan hasil pengamatan dengan metode pustaka, kami menyimpulkan bahwa ada
keterkaitan antara pendekatan dan teori arkeologi dengan pembagian masa prasejarah
menurut para ahli. Berikut akan diuraikan dalam tabel dibawah ini.
C.J. Thomsen
Paleolithik

R.P. Soejono
Berburu Tingkat
Sederhana
Berburu Tingkat
Lanjut

Elman Service
Bands

Neolithik

Bercocok Tanam

Tribes

Tembaga
Perunggu

Perundagian

Chiefdom

Pembagian Masa Prasejarah

Mesolithik

Batu

Perunggu

State
Besi

Teori
Teori Primitif
Teori Ekologi
Teori Optimal
Teori Oasis
Teori Demografi
Teori Koevolusioner
Teori Oasis
Teori Sisi Bukit
Teori Demografi
Teori Overpopulation
Teori Koevolusioner
Teori Sisi Bukit
Teori Demografi
Teori Overpopulation
Teori Koevolusioner
Hipotesis Irigasi
Teori Overpopulation
Teori Koevolusioner
Hipotesis Irigasi
Hipotesis Perang dan Batas Wilayah

Pendekatan
Pendekatan Material Budaya
Pendekatan Ekologi

Pendekatan Ekologi
Pendekatan Evolusi

Pendekatan Struktural
Pendekatan Ekologi
Pendekatan Evolusi

Pendekatan Material Budaya
Pendekatan Struktural
Pendekatan Ekologi
Pendekatan Evolusi

DAFTAR PUSTAKA
Basid, Abdul. 2011. R.P. Soejono, Bapak Prasejarah Indonesia. (blogspot.penapagi.com; diakses di
Makasaar, 27 Mei 2013; Pukul 22.10 WITA)
Colin, dkk. 1991. Archaeology Theories, Methods, and Practice. London: Thames and Hudson Ltd.
Sumantri, Iwan. 2004. Kepingan Mozaik Sejarah Budaya Sulawesi Selatan. Makassar: Penerbit Ininnawa.
Susanto, Djuliuanto. 2011. Tokoh Arkeologi: Prof. DR. R.P. Soejono. (blogspot.majalaharkeologi.com;
diakses di Makassar, 27 Mei 2013; Pukul 22.11 WITA)
www.wikipedia.com